TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Harga tiket Kereta Api (KA) Bandara dari Medan ke Kualanamu turun jadi Rp 40.000 mulai hari ini, Senin (1/7/2024).
Penyesuaian harga tiket ini merupakan hasil evaluasi bersama Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan RI dan PT Railink sebagai operator pengelola kereta bandara di wilayah Sumatera Utara.
Berlaku mulai 1 Juli 2024, penumpang dapat menikmati harga tiket KA Rp.40.000,- untuk perjalanan menuju Stasiun Medan ataupun menuju Kualanamu International Airport.
Sebelumnya tiket KA Bandara Kualanamu seharga Rp 65.000,- dan saat ini semua berganti nama menjadi KA Srilelawangsa dengan harga yang lebih terjangkau.
Penurunan harga tersebut turut membuat pengguna layanan Kereta Api senang, sebab harganya jauh lebih ekonomis.
"Saya sudah sering menggunakan kereta api, hari ini saya terkejut dengan harganya yang lebih murah. Lebih ekonomis ya, tentu senang dengan harga baru ini," ujar pengguna KA Bandara Agita, kepada Tribun Medan, Senin (1/7/2024).
Agita akan melakukan perjalanan ke Jakarta, menurutnya, menggunakan kereta api jauh lebih efektif untuk menyesuaikan waktu keberangkatan pesawat.
"Waktu berangkatnya on time, jadi kita bisa sesuaikan dengan jadwal pesawat. Lebih nyaman kalau perihal waktu ya. Juga fasilitasnya cukup nyaman," ungkapnya.
Jarak tempuh dari stasiun kereta api Medan menuju Kualanamu juga relatif lebih singkat, Agita mengatakan meskipun begitu ia menaruh saran agar ada tambahan fasilitas charge hp di kereta api.
"Kalau saran saya sih ada tambahan fasilitas charge hp didalam kereta lah ya," katanya.
Pengguna lain Rukiat adalah warga Jakarta yang sedang melakukan perjalanan di Medan. Ia memilih untuk menggunakan KA Bandara menuju Kualanamu.
Dikatakannya, memilih kereta api karena waktunya yang sesuai, dan fasilitas nyaman.
"Ini pertama kalinya naik kereta api di Medan, menurut saya cukup nyaman, dan harganya juga ekonomis," pungkasnya.
PT Railink sebagai operator pengelola kereta bandara di wilayah Sumatera Utara menyediakan 12 perjalanan setiap harinya, baik itu Medan-Kualanamu maupun sebaliknya.
Regency in Yogyakarta, Indonesia
Kulon Progo Regency (Javanese: ꦏꦸꦭꦺꦴꦤ꧀ꦥꦿꦒ, romanized: Kulon Praga, Javanese pronunciation: [ˈkulɔn ˈprɔɡɔ], Indonesian pronunciation: [ˈkulɔn pəˈroɡo]) is one of the four regencies within the Yogyakarta Special Region, Indonesia. It is located on the island of Java, with a coastline on the south of that island. The regency's name stems from the fact that it is situated to the west (in Javanese "kulon") of the Progo River. The capital is Wates. The greatest part of the population of the regency work as farmers. Kulon Progo Regency is surrounded by the Menoreh Hills. The area of the regency is 586.28 km2, and the population was 388,755 at the 2010 census[2] and 436,395 at the 2020 census;[3] the official estimate as at mid 2023 was 443,053 - comprising 219,451 males and 223,602 females.[1]
In 1674, Keraton Mataram, Yogyakarta was attacked by Trunojoyo who received assistance from Macassar, resulting in damage to the palace; the king Amangkurat I had to flee and asked the Netherlands for help, till he died in Tegal during flight.
To anticipate attacks from Trunojoyo's followers, in 1677 the palace of Mataram led by Amangkurat II as the crown prince of Amangkurat I asked for the regent Ponorogo to obtain the palace protection by bala Warok famous skilled in war and asked for help from the Dutch colonial to capture Trunojoyo. After Mataram palace was guarded by Warok of Ponorogo, Tronojoyo had difficulties to penetrate the palace and was arrested and finally sentenced to death in 1679.
The Warok who managed to protect the palace got the prize a place to stay in the west of Mataram palace to facilitate the palace defence in case of an attack against the palace. The place was named Kulon Ponorogo and is now known as Kulon Progo which means Keraton Mataram western Ponorogo.
The area which currently includes the regency of Kulon Progo was - until the end of Dutch colonial rule - the territory of two regencies, namely the former Kulon Progo (which was a regency of the Ngayogyakarta Sultanate) and Adikarto (which was a regency of the Pakualaman Duchy). Both regencies were merged into Kulon Progo administration on 15 October 1951.
Yogyakarta International Airport
The central Indonesian government has indicated that a new airport for the Yogyakarta Special Region will be located in the Kulon Progo Regency. The plan is to build an airport with a 3,250 metre runway with 45 meters width and dual linear terminals to serve as an international gateway. The initial plan is to provide facilities to serve up to 10 million passengers per year for 28 aircraft together. Later expansions might accommodate up to 20 million passengers per year in phase-3. Around 637 hectares of land is being set aside for the project. Of this, 40% is classified as "Paku Alam (Sultan)" land while the rest belongs to local communities. The location is in Temon District between Congot Beach and Glagah Beach (which covers Palihan village, Sindutan village, Jangkaran village and Glagah village). In August 2013, 75 percent of land has been occupied.[5][6]
An airport train has been planned to serve Yogyakarta and the airport. The rail use existing rail plus 4 kilometers new rail from Kedundang Station to Temon Airport. Due to new rail is only short, so the train hopefully will be ready when the airport is ready to operate.[7]
Local residents of the Kulon Regency have been resisting the plans for the new airport. They claim there are several environmental issues with the proposed site as well as issues of safety, due to the area being at high risk for tsunamis and other natural disasters. There is also concern that the local residents who currently make their living by farming the area would be displaced.[8]
Tidak jauh dari Bandara Yogyakarta International Airport (YIA) Kulon Progo, terdapat tempat kuliner bernama Kopi Jolotundo. Restoran bernuansa Jawa dengan suguhan pemandangan sawah ini banyak dikunjungi publik figur hingga pejabat negara.
Mulai dari artis Wulan Guritno, presenter kondang Ramzi Geys Thebe hingga ustadz beken Gus Miftah tercatat pernah l ke Jolotundo. Bahkan, salah satu pejabat negara sekaligus tokoh nasional, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Indonesia, Mahfud MD sudah beberapa kali ke sini untuk menyantap kuliner "ndeso" sembari menikmati momen terbenamnya mentari.
"Yang cukup sering ke sini ada Pak Profesor Mahfud MD, beliau sudah tiga kali. Jadi ketika beliau punya kesempatan ke Jogja, pasti menyempatkan datang ke Jolotundo. Biasanya sambil nunggu (pesawat ) kembali ke Jakarta, beliau prefer datang ke Jolotundo, khususnya di waktu sore untuk menikmati sunset," ucap pengelola Jolotundo, Wawan Gunawan, saat ditemui di lokasi, Minggu (6/8/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jolotundo terletak di area persawahan wilayah Kalurahan Sogan, Kapanewon Wates, Kulon Progo. Lokasinya tergolong dekat dengan bandara YIA, yakni berkisar 8,7 km atau 15 menit perjalanan menggunakan kendaraan bermotor.
Tempat kuliner yang baru beroperasi sekitar dua tahun terakhir ini mengusung konsep tradisional Jawa. Bisa dilihat dari struktur bangunan yang menggunakan joglo khas Jogja komplit dengan ornamen pendukungnya.
Umumnya restoran Jawa, Jolotundo juga menyediakan hidangan tradisional atau yang beken disebut menu "ndeso". Menu andalannya yakni sayur lodeh, tempe lombok hijau, tumis kikil, ayam bumbu lengkuas dan oseng daun pepaya.
"Menu andalan kami ada sayur lodeh tempe lombok ijo karena itu paling banyak dicari. Kemudian menu favorit lainnya dan ada ada tumis kikil, ayam goreng lengkuas serta oseng daun kates (pepaya) yang sudah diolah sedemikian rupa sehingga pahitnya tidak terlalu terasa," ujar Wawan.
Sembari menyantap hidangan ndeso, pengunjung bisa menikmati pemandangan alam sekitar berupa hamparan sawah. Jika datang saat sore hari, pengunjung dapat menyaksikan momen terbenamnya matahari yang tampak jelas dari tempat ini.
"Untuk menikmati suasana alam, dengan view sawah tadi saya rekomendasikan datang Jam 10 sampai jam jelang sunset. Karena best viewnya itu sunset, jadi orang makan di pinggir sawah nah itu sambil menikmati sunsetnya," ucap Wawan.
Wawan mengatakan, pihaknya juga menyediakan fasilitas lain berupa keliling pedesaan mengucapkan mobil Jeep. Cukup merogoh kocek Rp50 ribu per orang, pengunjung bisa jalan-jalan santai berkeliling desa dan area persawahan sekitar.
Simak lebih lengkap di halaman berikutnya.....
"Additional servis kami selain bisa makan dengan nuansa joglo dan sawah, ada juga Jolotundo Jeep and adventure. Jadi kami siapkan jeep bagi customer yang setelah makan dan ngopi, bisa juga jalan-jalan pakai Jeep kita keliling Desa Sogan. Tarifnya terjangkau satu trip Rp 50 ribu untuk empat orang maksimal dengan durasinya 15-20 menit," terangnya.
Salah satu pengunjung Kopi Jolotundo, Kurnia Astuti mengaku terkesan dengan suasana yang dihadirkan restoran ini. Selain itu, menu yang dihidangkan komplit dengan rasa yang pas bagi lidahnya.
"Pertama kali ke sini suasananya enak ya. Adem, terus rindang banyak pohon. Makanannya juga cukup enak, bumbunya terasa banget. Kebetulan tadi coba kikil sama daun pepaya lauk tempe bacem," ucapnya.
Sementara itu, pengunjung lain, Noviayu mengaku cukup sering berkunjung ke Jolotundo. Biasanya dia mampir untuk menghabiskan waktu menunggu keberangkatan pesawat di YIA.
"Karena deket bandara ya, jadi kalau pas ada jadwal ke luar kota naik pesawat pasti mampirnya ke sini dulu, sekalian healing," ujarnya.
Administrative districts
Kulon Progo Regency is divided into twelve districts (kapanewon), listed below with their areas and their populations at the 2010 census[2] and the 2020 census,[3] together with the official estimates as at mid 2023.[1] The table also includes the locations of the district administrative centres, the number of administrative villages (classed as kalurahan) in each district, and its post code.
Some local development efforts, carried on with the support of local cooperatives, work towards reafforestation activities. Trees being planted in the regency for both commercial and social reasons include Jati (Teak or Tecnona grandis), Mahogany (Swietenia mahagoni), Albasia (Albizia), and sono keliling (Blackwood or Rosewoon, Dalbergia latifolia).[4]