Berikut lirik lagu Mimpi - Putri Ariani:
Senja yang datang di ujung langitHadirkan jingga yang cemerlangSeperti hangatnya sang mentariKu tersenyum menikmatinya
Ku ukir semua mimpi-mimpikuDalam angan-angan yang indahKu berjuang dari rasa sakitSirnakan ragu di hatiku
Seperti camar ku kan terbang menembus awanBebaskanku dari rasa takutKu berdoa semoga hal baik akan tibaDan bahagia selalu bersamaku
Ubah sedih menjadi senyumanUntuk harimu yang lebih cerahBiarkan waktu mengajarkanmuTuk wujudkan semua mimpimu
Aku terbangkan harapan menembus langitKu percaya hatikan menuntunkuMimpiku ini akan jadi nyataDan bahagia selalu ada
Seperti camar kubkan terbang menembus awanBebaskanku dari rasa takutKu berdoa semoga hal baik akan tibaDan bahagia selalu bersamakuAku terbangkan harapan menembus langitKu percaya hatikan menuntunkuMimpiku ini akan jadi nyataDan bahagia selalu adaDan bahagia selalu adaDan bahagia selalu ada.
Tonton juga video berikut:
Bola.com, Jakarta - Kenangan bersamamu kasih
Seumpama mimpi di dalam mimpi
Terasa engkau di sisi
Menemaniku saban hari
Pabila kupejamkan mata
Akan terasa hangatnya asmara
Telah terpadam cinta kita
Mengalir darah yang tak berwarna
Tangisan dalam ketawa
Sedu sedan menjadi syair cinta
Terasa ingin ku sentuh
Walau hanya seketika cuma
Agar hilang rindu dan dahaga
Agar pulih semangat kasih dan mesra
Seperti baru kenal cinta
Kenangan bersamamu kasih
Membakar gedung fikiranku kini
Umpama mimpi dalam mimpi
Berita video spotlight kali ini membahas tentang lima pemain kelas dunia yang perna dilatih Pep Guardiola.
Kenangan bersamamu kasih
Seumpama mimpi di dalam mimpi
Terasa engkau di sisi
Menemaniku saban hari
Pabila kupejamkan mata
Akan terasa hangatnya asmara
Telah terpadam cinta kita
Mengalair darah yang tak berwarna
Tangisan dalam ketawa
Sedu sedan menjadi syair cinta
Terasa ingin ku sentuh
Walau hanya seketika cuma
Agar hilang rindu dan dahaga
Agar pulih semangat kasih dan mesra
Seperti baru kenal cinta
Kenangan bersamamu kasih
Membakar gedung fikiranku kini
Umpama mimpi dalam mimpi
Batu satam cocok dipasangkan dengan aneka perhiasan seperti cincin Batu satam yang masih belum mengalami proses pengolahan Batu satam merupakan serpihan batu meteor yang jatuh di Pulau Belitung Konon, batu satam berasal dari luar angkasa yang jatuh pada ribuan tahun yang lalu Batu satam terbenam di dalam tanah selama bertahun-tahun dan membentuk guratan-guratan indah Selain Belitung, serpihan batuan ini juga menyebar ke Australia dan Cekoslovakia
Bila Anda pernah berkunjung ke Pulau Belitung, mungkin pernah melihat batu yang satu ini. Batu satam namanya. Konon, menurut cerita, batu ini merupakan serpihan batu meteor yang jatuh di salah satu pulau dengan pantai terindah ini.
Salah satu perajin batu satam, Asriyanto, bercerita, batu ini berasal dari luar angkasa. Ribuan tahun yang lalu, sebuah meteor meledak dan sepihan-sepihan kecil yang jatuh ke bumi menyebar ke beberapa daerah seperti Australia, Cekoslowakia, dan Pulau Belitung.
Batu satam terbenam di dalam tanah selama bertahun-tahun. Hingga kemudian, dalam kurun waktu yang panjang, aliran air membuat guratan-guratan yang indah. Guratan-guratan indah yang dimilikinya yang membuat batu berwarna hitam pekat ini banyak dijadikan hiasan untuk dipasangkan pada perhiasan emas seperti cincin, kalung, dan anting.
Keindahan batu satam sudah menyebar hingga ke luar negeri. Karenanya, batu ini menjadi buruan para wisatawan yang berkunjung ke Pulau Belitung. Batu satam menjadi cendera mata khas dari negeri Laskar Pelangi.
Bola.com, Jakarta - Dalam hitam kelap malam
Ku berdiri melawan sepi
Di sini di pantai ini
Telah terkubur sejuta kenangan
Di hempas keras gelombang
Dan tertimbun batu karang
Yang tak kan mungkin dapat terulang
Wajah putih pucat pasi
Tergores luka di hati
kasih asmara yang telah ternoda
Hapuskan semua khayalan
Lenyapkan satu harapan
Ke mana lagi harus mencari
Kau sandarkan sejenak beban diri
Kau taburkan benih kasih
Melambung jauh terbang tinggi
Terlelap dalam lautan emosi
Setelah aku sadar diri
Tinggalkan mimpi yang tiada bertepi
Kini hanya rasa rindu
Serasa sukma melayang pergi
Terbawa arus kasih membara
Berita video musisi legendaris Indonesia, Iwan Fals, menciptakan lagu untuk suporter sepak bola. Seperti apa lagunya?
Laskar Pelangi By : Andrea Hirata ISBN : 979-3062-79-7 1 Laskar Pelangi
Novel Laskar Pelangi, novel yang sangat inspiratif bagi yang punya kemampuan rasa buat menangkapnya, maav mas Andrea, karena aku telah membantu melengkapi 10 bab terakhir yang tidak kutemukan potongan sambungannya di internet, itupun dengan bantuan OCR nya Microsoft Office, jadi maklumin saja kalo ada huruf-huruf yang tidak semestinya tercetak, itu bukan disengaja, tapi karena kemampuan baca OCR-nya yang mungkin kurang sempurna, thanks buat Caslovb yang udah capek-capek ngetik sampe bab 20, juga thanks buat somebody yang udah ngetik bab 21 ampe 24. Buat mas Andrea Hirata, makasih.. Seandainya ada pembaca yang terinspirasi dari novel gratis ini, semoga pahalanya jadi amal jariah buat anda. Buat pembaca budiman yang punya apresiasi bagus atas novel versi gratis ini, belilah novel aslinya, untuk koleksi pribadi atau “kado” buat orang-orang yang menurut anda perlu juga dapat inspirasi dari novel ini.. “Atau sekurang-kurangnya anjurkanlah mereka untuk membeli dan membacanya..” Buat jeyek di fkunri , titik dua -p Adef may 08 Pujian untuk Laskar Pelangi “Saya larut dalam empati yang dalam sekali. Sekiranya novel ini difilmkan, akan dapat membangkitkan ruh bangsa yang sedang mati suri.” --Ahmad Syafi’I Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah “Ramuan pengalaman dan imajinasi yang menarik, yang menjawab inti pertanyaan kita tentang hubungan-hubungan antara gagasan sederhana, kendala, dan kualitas pendidikan.” 2 Laskar Pelangi
--Sapardi Djoko Damono, sastrawan dan guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UI “Cerita Laskar Pelangi sangat inspiratif. Andrea menulis sebuah novel yang akan mengobarkan semangat mereka yang selalu dirundung kesulitan dalam menempuh pendidikan.” --Arwin Rasyid, Dirut Telkom dan Dosen FEUI. “Inilah cerita yang sangat mengharukan tentang dunia pendidikan dengan tokoh-tokoh manusia sederhana, jujur, tulus, gigih, penuh dedikasi, ulet, sabar, tawakal, takwa, [yang] dituturkan secara indah dan cerdas. Pada dasarnya kemiskinan tidak berkorelasi langsung dengan kebodohan atau kegeniusan. Sebagai penyakit sosial, kemiskinan harus diperangi dengan metode pendidikan yang tepat guna. Dalam hubungan itu hendaknya semua pihak berpartisipasi aktif sehingga terbangun sebuah monumen kebajikan di tengah arogansi uang & kekuasaan materi.” --Korrie Layun Rampan, sastrawan dan Ketua Komisi I DPRD Kutai Barat “Di tengah berbagai berita dan hiburan televisi tentang sekolah yang tak cukup memberi inspirasi dan spirit, maka buku ini adalah pilihan yang menarik. Buku ini ditulis dalam semangat realis kehidupan sekolah, sebuah dunia tak tersentuh, sebuah semangat bersama untuk survive dalam semangat humanis yang menyentuh.” --Garin Nugroho, sineas. “Andrea Hirata memberi kita syair indah tentang keragaman dan kekayaan tanah air, sekaligus memberi sebuah pernyataan 3 Laskar Pelangi
keras tentang realita politik, ekonomi, dan situasi pendidikan kita. Tokoh-tokoh dalam novel ini membawa saya pada kerinduan menjadi orang Indonesia…. A must read!!!” --Riri Riza, sutradara “Sebuah memoar dalam bentuk novel yang sulit dicari tandingannya dalam khazanah kontemporer penulis kita.” --Akmal Nasery Basral, jurnalis-penulis “Saya sangat mengagumi Novel Laskar Pelangi karya Mas Andrea Hirata. Ceritanya berkisah tentang perjuangan dua orang guru yang memiliki dedikasi tinggi dalam dunia pendidikan. [Novel ini menunjukkan pada kita] bahwa pendidikan adalah memberi hati kita kepada anak-anak, bukan sekadar memberikan instruksi atau komando, dan bahwa setia panak memiliki potensi unggul yang akan tumbuh menjadi prestasi cemerlang pada masa depan, apabila diberi kesempatan dan keteladanan oleh orang-orang yang mengerti akan makna pendidikan yang sesungguhnya.” --Kak Seto, Ketua Komnas Perlindungan Anak “Andrea berhasil menyajikan kenangannya menjadi cerita yang menarik. Apalagi dibalut sejumlah metafora dan deskripsi yang kuat, filmis ketika memotret lanskap dan budaya….” --Majalah Tempo “Novel tentang dunia anak-anak yang mencuri perhatian. Berhasil memotret fakta pendidikan dan ironi dunia korporasi di tengah komunitas kaum terpinggirkan.” --Gerard Arijo Guritno, Majalah Gatra 4 Laskar Pelangi
“Secuil potret pendidikan di negara kita yang memprihatinkan.” --Majalah Femina “Seru! Novel ini tidak mengajak pembaca menangisi kemiskinan, sebaliknya mengajak kita memandang kemiskinan dengan cara lain.” --Koran Tempo “Sebuah kisah tentang anak-anak yang luar biasa, yang mampu melahirkan semangat serta kreativitas yang men- cengangkan.” --Harian Pikiran Rakyat “Metafora-metafora yang ditulis Andrea demikian kuat karena unik dan orisinal.” --Harian Tribun Jabar “Kehadiran novel realis ini membawa angin segar bagi kesusastraan Indonesia.” --Harian Media Indonesia “Kita akan tertawa, menangis, dan merenung bersama buku ini.” --Harian Belitung Pos “Rasa humor yang halus dan luasnya cakrawala pengetahuan Andrea adalah daya tarik utama Laskar pelangi.” --Harian Bangka Pos “Gaya bahasa yang mengasyikkan, menantang untuk dibaca.” 5 Laskar Pelangi
--Harian galamedia “Sebagai penulis pemula, Andrea menakjubkan karena mampu menampilkan deskripsi dengan detail yang kuat.” --Tabloid Indago “Ketika membaca Laskar Pelangi, kita seolah menemukan gabriel Garcia Marquez, Nicolai Gogol, atau Alan Lightman, sebuah bacaan yang sangat inspiratif dan mampu memberi kekuatan.” --www.indosiar. com “Buku Laskar Pelangi memberiku semangat baru yang tak ternilai untuk mengajar murid-murid meskipun kami selalu dirundung kesusahan demi kesusahan, meskipun dunia tak perduli. Buku ini membuatku sangat bangga menjadi seorang guru.” --Herni Kusyari, guru SD di daerah terpencil. “Andrea seperti sedang trance, menulis Laskar Pelangi dengan kadar emosi demikiankental, bertabur metafora penuh pesona, hanya dalam waktu tiga pekan. ” --Rita Achdris, wartawati Majalah Gatra Spekulasi tentang trance ketika ia menulis, setiap kata dalam Laskar Pelangi berasal dari dalam hati Andrea. Moralitas hubungan antar ibu, anak, guru, dan murid sangat instingtif dan memikat. Sebagai seorang ibu, aku dapat merasakan buku ini memiliki semacam tenaga telepatik.” --Ida Tejawiani, ibu rumah tangga 6 Laskar Pelangi
“Yang trance bukan Andrea, tapi pembacanya….” --Fadly Arifin, dikutip dari milis pasar buku “Kekuatan deskripsi Andrea membuatku ingin sekali berjumpa dengan setiap anggota Laskar Pelangi. Kekuatan karakter tokoh-tokohnya membuatku ingin berbuat sesuatu untuk membantu murid-murid cerdas yang miskin. Laskar Pelangi adalah sebuah buku yang sangat menggerakkan hati untuk berbuat lebih banyak.” --Febi Liana, karyawati di Jakarta, pencinta buku 7 Laskar Pelangi
Buku ini kupersembahkan untuk: Guruku Ibu Muslimah Hafsari dan Bapak Harfan Effendy Noor, Sepuluh sahabat masa kecilku anggota Laskar Pelangi, Ucapan Terima Kasih.. Ucapan terima kasih kusampaikan kepada Ally, Katja Kochling, Saskia de Rooij, Basuni Hamin, Cindy Riza Stella, Heldy Suliswan Hirata, Yan Sancin, Zaharudin, Roxane, Resval, Gatot Indra, Olan, Hazuan Seman Said, K.A. Arizal Artan, Okin di Telkom Jember, dan terutama untuk Mas Gangsar Sukrisno serta Mbak Suhindratia. Shinta di Bentang Pustaka. Isi Buku Ucapan Terima Kasih Bab 1 Sepuluh Murid baru Bab 2 Antediluvium Bab 3 Inisiasi Bab 4 Perempuan-Perempuan Perkasa Bab 5 The Tower of Babel Bab 6 Gedong Bab 7 Zoom Out Bab 8 Center of Excellence Bab 9 Penyakit Gila No. 5 Bab 10 Bodenga Bab 11 Langit Ketujuh Bab 12 Mahar Bab 13 Jam Tangan Plastik Murahan Bab 14 Laskar Pelangi dan Orang-Orang Sawang 8 Laskar Pelangi
Bab 15 Euforia Musim Hujan Bab 16 Puisi Surga dan Kawanan Burung Pelintang Pulau Bab 17 Ada Cinta di Toko Kelontong Bobrok Itu Bab 18 Moran Bab 19 Sebuah Kejahatan Terencana Bab 20 Miang Sui Bab 21 Rindu Bab 22 Early Morning blue Bab 23 Billitonite Bab 24 Tuk Bayan Tula Bab 25 Rencana B Bab 26 Be There or Be Damned! Bab 27 Detik-Detik Kebenaran Bab 28 Societeit de Limpai Bab 29 Pulau Lanun Bab 30 Elvis Has Left the Building Dua belas tahun kemudian Bab 31 Zaal Batu Bab 32 Agnostik Bab 33 Anakronisme Bab 34 Gotik Glosarium Tentang Penulis ***** “… and to every action there is always an equal and opposite or contrary, reaction …” Isaac newton, 1643-1727 9 Laskar Pelangi
Bab 1 Sepuluh Murid Baru PAGI itu, waktu aku masih kecil, aku duduk di bangku panjang di depan sebuah kelas. Sebatang pohon tua yang riang meneduhiku. Ayahku duduk di sampingku, memeluk pundakku dengan kedua lengannya dan tersenyum mengangguk-angguk pada setiap orangtua dan anak-anaknya yang duduk berderet-deret di bangku panjang lain di depan kami. Hari itu adalah hari yang agak penting: hari pertama masuk SD. Di ujung bangku-bangku panjang tadi ada sebuah pintu terbuka. Kosen pintu itu miring karena seluruh bangunan sekolah sudah doyong seolah akan roboh. Di mulut pintu berdiri dua orang guru seperti para penyambut tamu dalam perhelatan. Mereka adalah seorang bapak tua berwajah sabar, Bapak K.A. Harfan Efendy Noor, sang kepala sekolah dan seorang wanita muda berjilbab, Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus. Seperti ayahku, mereka berdua juga tersenyum. Namun, senyum Bu Mus adalah senyum getir yang dipaksakan karena tampak jelas beliau sedang cemas. Wajahnya tegang dan gerak-geriknya gelisah. Ia berulang kali menghitung jumlah anak-anak yang duduk di bangku panjang. Ia demikian 10 Laskar Pelangi
khawatir sehingga tak peduli pada peluh yang mengalir masuk ke pelupuk matanya. Titik-titik keringat yang bertimbulan di seputar hidungnya menghapus bedak tepung beras yang dikenakannya, membuat wajahnya coreng moreng seperti pameran emban bagi permaisuri dalam Dul Muluk, sandiwara kuno kampung kami. “Sembilan orang … baru sembilan orang Pamanda Guru, masih kurang satu…,” katanya gusar pada bapak kepala sekolah. Pak Harfan menatapnya kosong. Aku juga merasa cemas. Aku cemas karena melihat Bu Mus yang resah dan karena beban perasaan ayahku menjalar ke sekujur tubuhku. Meskipun beliau begitu ramah pagi ini tapi lengan kasarnya yang melingkari leherku mengalirkan degup jantung yang cepat. Aku tahu beliau sedang gugup dan aku maklum bahwa tak mudah bagi seorang pria berusia empat puluh tujuh tahun, seorang buruh tambang yang beranak banyak dan bergaji kecil, untuk menyerahkan anak laki-lakinya ke sekolah. Lebih mudah menyerahkannya pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut atau pada juragan pantai untuk menjadi kuli kopra agar dapat membantu ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak berarti mengikatkan diri pada biaya selama belasan tahun dan hal itu bukan perkara gampang bagi keluarga kami. “Kasihan ayahku ….. Maka aku tak sampai hati memandang wajahnya. “Barangkali sebaiknya aku pulang saja, melupakan keinginan sekolah, dan mengikuti jejak beberapa abang dan sepupu- sepupuku, menjadi kuli ….. Tapi agaknya bukan hanya ayahku yang gentar. Setiap wajah orangtua di depanku mengesankan bahwa mereka tidak sedang duduk di bangku panjang itu, karena pikiran mereka, seperti pikiran ayahku, melayang-layang ke pasar pagi atau ke keramba di tepian laut membayangkan anak lelakinya lebih baik menjadi pesuruh di sana. Para orangtua ini sama sekali tak yakin bahwa pendidikan anaknya yang hanya mampu mereka biayai paling tinggi sampai 11 Laskar Pelangi
SMP akan dapat mempercerah masa depan keluarga. Pagi ini mereka terpaksa berada di sekolah ini untuk menghindarkan diri dari celaan aparat desa karena tak menyekolahkan anak atau sebagai orang yang terjebak tuntutan zaman baru, tuntutan memerdekakan anak dari buta huruf. Aku mengenal para orangtua dan anak-anaknya yang duduk di depanku. Kecuali seorang anak lelaki kecil kotor berambut keriting merah yang meronta-ronta dari pegangan ayahnya. Ayahnya itu tak beralas kaki dan bercelana kain belacu. Aku tak mengenal anak beranak itu. Selebihnya adalah teman baikku. Trapani misalnya, yang duduk di pangkuan ibunya, atau Kucai yang duduk di samping ayahnya, atau Syahdan yang tak diantar siapa-siapa. Kami bertetangga dan kami adalah orang-orang Melayu belitong dari sebuah komunitas yang paling miskin di pulau itu. Adapun sekolah ini, SD Muhammadiyah, juga sekolah kampung yang paling miskin di Belitong. Ada tiga alasan mengapa para orangtua mendaftarkan- anaknya di sini. Pertama, karena sekolah Muhammadiyah tidak menetapkan iuran dalam bentuk apa pun, para orangtua hanya menyumbang sukarela semampu mereka. Kedua, karena firasat,- anak-anak mereka dianggap memiliki karakter yang mudah disesatkan iblis sehingga sejak usia muda harus mendapatkan pendadaran Islam yang tangguh. Ketiga, karena anaknya memang tak diterima di sekolah mana pun. Bu Mus yang semakin khawatir memancang pandangannya ke jalan raya di seberang lapangan sekolah berharap kalau-kalau masih ada pendaftar baru . Kami prihatin melihat harapan hampa itu. Maka tidak seperti suasana di SD lain yang penuh kegembiraan ketika menerima murid angkatan baru, suasana hari pertama di SD Muhammadiyah penuh dengan kerisauan, dan yang paling risau adalah Bu Mus dan Pak Harfan. Guru-guru yang sederhana ini berada dalam situasi genting karena Pengawas Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah memperingatkan bahwa jika SD Muhammadiyah hanya mendapat murid baru kurang dari sepuluh orang maka sekolah paling tua di 12 Laskar Pelangi
Belitong ini harus ditutup. Karena itu sekarang Bu Mus dan Pak Harfan cemas sebab sekolah mereka akan tamat riwayatnya, sedangkan para orangtua cemas karena biaya, dan kami, sembilan anak-anak kecil ini yang terperangkap di tengah cemas kalau- kalau kami tak jadi sekolah. Tahun lalu SD Muhammadiyah hanya mendapatkan sebelas siswa, dan tahun ini Pak Harfan pesimis dapat memenuhi target sepuluh. Maka diam-diam beliau telah mempersiapkan sebuah pidato pembubaran sekolah di depan para orangtua murid pada kesempatan pagi ini. Kenyataan bahwa beliau hanya memerlukan satu siswa lagi untuk memenuhi target itu menyebabkan pidato ini akan menjadi sesuatu yang menyakitkan hati. “Kita tunggu sampai pukul sebelas,” kata Pak Harfan pada Bu Mus dan seluruh orangtua yang telah pasrah. Suasana hening. Para orang tua mungkin menganggap kekurangan satu murid sebagai pertanda bagi anak-anaknya bahwa mereka memang sebaik nya didaftarkan pada para juragan saja. Sedangkan aku dan agaknya juga anak-anak yang lain merasa amat pedih: pedih pada orangtua kami yang tak mampu, pedih menyaksikan detik-detik terakhir sebuah sekolah tua yang tutup justru pada hari pertama kami ingin sekolah, dan pedih pada niat kuat kami untuk belajar tapi tinggal selangkah lagi harus terhenti hanya karena kekurangan satu murid. Kami menunduk dalam-dalam. Saat itu sudah pukul sebelas kurang lima dan Bu Mus semakin gundah. Lima tahun pengabdiannya di sekolah melarat yang amat ia cintai dan tiga puluh dua tahun pengabdian tanpa pamrih pada Pak Harfan, pamannya, akan berakhir di pagi yang sendu ini. “Baru sembilan orang Pamanda Guru …,” ucap Bu Mus bergetar sekali lagi. Ia sudah tak bisa berpikir jernih. Ia berulang kali mengucapkan hal yang sama yang telah diketahui semua orang. Suaranya berat selayaknya orang yang tertekan batinnya. Akhirnya, waktu habis karena telah pukul sebelas lewat lima dan jumlah murid tak juga genap sepuluh. Semangat besarku untuk 13 Laskar Pelangi
sekolah perlahan-lahan runtuh. Aku melepaskan lengan ayahku dari pundakku. Sahara menangis terisak-isak mendekap ibunya karena ia benar-benar ingin sekolah di SD Muhammadiyah. Ia memakai sepatu, kaus kaki, jilbab, dan baju, serta telah punya buku-buku, botol air minum, dan tas punggung yang semuanya baru. Pak Harfan menghampiri orangtua murid dan menyalami mereka satu per satu. Sebuah pemandangan yang pilu. Para orangtua menepuk-nepuk bahunya untuk membesarkan hatinya. Mata Bu Mus berkilauan karena air mata yang menggenang. Pak Harfan berdiri di depan para orangtua, wajahnya muram. Beliau bersiap-siap memberikan pidato terakhir. Wajahnya tampak putus asa. Namun ketika beliau akan mengucapkan kata pertama Assalamu’alaikum seluruh hadirin terperanjat karena Tripani berteriak sambil menunjuk ke pinggir lapangan rumput luas halaman sekolah itu. “Harun!. Kami serentak menoleh dan di kejauhan tampak seorang pria kurus tinggi berjalar terseok-seok. Pakaian dan sisiran rambutnya sangat rapi. Ia berkemeja lengan panjang putih yang dimasukkan ke dalam. Kaki dan langkahnya membentuk huruf x sehingga jika berjalan seluruh tubuhnya bergoyang-goyang hebat. Seorang wanita gemuk setengah baya yang berseri-seri susah payah memeganginya. Pria itu adalah Harun, pria jenaka sahabat kami semua, yang sudah berusia lima belas tahun dan agak terbelakang mentalnya. Ia sangat gembira dan berjalan cepat setengah berlari tak sabar menghampiri kami. Ia tak menghiraukan ibunya yang tercepuk-cepuk kewalahan menggandeng-nya. Mereka berdua hampir kehabisan napas ketika tiba di depan Pak Harfan. “Bapak Guru …, ” kata ibunya terengah-engah. “Terimalah Harun, Pak, karena SLB hanya ada di Pulau Bangka, dan kami tak punya biaya untuk menyekolahkannya ke 14 Laskar Pelangi
sana. Lagi pula lebih baik kutitipkan dia disekolah ini daripada di rumah ia hanya mengejar -ngejar anak-anak ayamku ….. Harun tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya yang kuning panjang-panjang. Pak Harfan juga terseyum, beliau melirik Bu Mus sambil mengangkat bahunya. “Genap sepuluh orang …,” katanya. Harun telah menyelamatkan kami dan kami pun bersorak. Sahara berdiri tegak merapikan lipatan jilbabnya & menyandang tasnya dengan gagah, ia tak mau duduk lagi. Bu Mus tersipu. Air mata guru muda ini surut dan ia menyeka keringat di wajahnya yang belepotan karena bercampur dengan bedak tepung beras. 15 Laskar Pelangi
Bab 2 Antediluvium IBU Muslimah yang beberapa menit lalu sembab, gelisah, dan coreng-moreng kini menjelma menjadi sekuntum Crinum giganteum. Sebab tiba-tiba ia mekar sumringah dan posturnya yang jangkung persis tangkai bunga itu. Kerudungnya juga berwarna bunga crinum demikian pula bau bajunya, persis crinum yang mirip bau vanili. Sekarang dengan ceria beliau mengatur tempat duduk kami. Bu Mus mendekati setiap orangtua murid di bangku panjang tadi, berdialog sebentar dengan ramah, dan mengabsen kami. Semua telah masuk ke dalam kelas, telah mendapatkan teman sebangkunya masing-masing, kecuali aku dan anak laki-laki kecil kotor berambut keriting merah yang tak kukenal tadi. Ia tak bisa tenang. Anak ini berbau hangus seperti karet terbakar. “Anak Pak Cik akan sebangku dengan Lintang,” kata Bu Mus pada ayahku. Oh, itulah rupanya namanya, Lintang, sebuah nama yang aneh. Mendengar keputusan itu Lintang meronta-ronta ingin segera masuk kelas. Ayahnya berusaha keras menenangkannya, tapi ia 16 Laskar Pelangi
memberontak, menepis pegangan ayahnya, melonjak, dan menghambur ke dalam kelas mencari bangku kosongnya sendiri. Di bangku itu ia seumpama balita yang dinaikkan ke atas tank, girang tak alang kepalang, tak mau turun lagi. Ayah nya telah melepaskan belut yang licin itu, dan anaknya baru saja meloncati nasib, merebut pendidikan. Bu Mus menghampiri ayah Lintang. Pria itu berpotongan seperti pohon cemara angin yang mati karena disambar petir: hitam, meranggas, kurus, dan kaku. Beliau adalah seorang nelayan, namun pembukaan wajahnya yang mirip orang Bushman adalah raut wajah yang lembut, baik hati, dan menyimpan harap. Beliau pasti termasuk dalam sebagian besar warga negara Indonesia yang menganggap bahwa pendidikan bukan hak asasi. Tidak seperti kebanyakan nelayan, nada bicaranya pelan. Lalu beliau bercerita pada Bu Mus bahwa kemarin sore kawalaburung pelintang pulau mengunjungi pesisir. Burung-burung keramat itu hinggap sebentar di puncak pohon ketapang demi menebar pertanda bahwa laut akan diaduk badai. Cuaca cenderung semakin memburuk akhir-akhir ini maka hasil melaut tak pernah memadai. Apalagi ia hanya semacam petani penggarap, bukan karena ia tak punya laut, tapi karena ia tak punya perahu. Agaknya selama turun temurun keluarga laki-laki cemara angin itu tak mampu terangkat dari endemik kemiskinan komunitas Melayu yang menjadi nelayan. Tahun ini beliau meng-inginkan perubahan dan ia memutuskan anak laki-laki tertuanya, Lintang, tak akan menjadi seperti dirinya. Lintang akan dudu k di samping pria kecil berambut ikal yaitu aku, dan ia akan sekolah di sini lalu pulang pergi setiap hari naik sepeda. Jika panggilan nasibnya memang harus menjadi nelayan maka biarkan jalan kerikil batu merah empat puluh kilometer mematahkan semangatnya. Bau hangus yang kucium tadi ternyata adalah bau sandal cunghai, yakni sandal yang dibuat dari ban mobil, yang aus karena Lintang terlalu jauh mengayuh sepeda. Keluarga Lintang berasal dari Tanjong Kelumpang, desa nun jauh di pinggir laut. Menuju kesana harus melewati empat kawasan 17 Laskar Pelangi
pohon nipah, tempat berawa-rawa yang dianggap seram di kampung kami. Selainitu di sana juga tak jarang buaya sebesar pangkal pohon sagu melintasi jalan. Kampung pesisir itu secara geografis dapat dikatakan sebagai wilayah paling timur di Sumatra, daerah minus nun jauh masuk ke pedalaman Pulau Belitong. Bagi Lintang, kota kecamatan, tempat sekolah kami ini, adalah metropolitan yang harus ditempuh dengan sepeda sejak subuh. Ah! Anak sekecil itu …. Ketika aku menyusul Lintang kedalam kelas ia menyalamiku dengan kuat seperti pegangan tangan calon mertua yang menerima pinangan. Energi yang berlebihan di tubuhnya serta-merta menjalar padaku laksana tersengat listrik. Ia berbicara tak henti- henti penuh minat dengan dialek Belitong yang lucu, tipikal orang Belitong pelosok. Bola matanya bergerak-gerak cepat dan menyala-nyala. Ia seperti pilea, bunga meriam itu, yang jika butiran air jatuh di atas daunnya, ia melontarkan tepung sari, semarak, spontan, mekar, dan penuh daya hidup. Di dekatnya, aku merasa seperti ditantang mengambil ancang-ancang untuk sprint seratus meter. Sekencang apa engkau berlari? Begitulah makna tatapannya. Aku sendiri masih bingung. Terlalu banyak perasaan untuk ditanggung seorang anak kecil dalam waktu demikian singkat. Cemas, senang, gugup, malu, teman baru, guru baru … semuanya bercampur aduk. Ditambah lagi satu perasaan ngilu karena sepasang sepatu baru yang dibelikan ibuku. Sepatu ini selalu kusembunyikan ke belakang. Aku selalu menekuk lututku karena warna sepatu itu hitam bergaris-garis putih maka ia tampak seperti sepatu sepak bola, jelek sekali. Bahannya pun dari plastik yang keras. Abang-abangku sakit perut menahan tawa melihat sepatu itu waktu kami sarapan pagi tadi. Tapi pandangan ayahku menyuruh mereka bungkam, membuat perut mereka k aku. Kakiku sakit dan hatiku malu dibuat sepatu ini. Sementara itu, kepala Lintang terus berputar-putar seperti burung hantu. Baginya, penggaris kayu satu meter, vas bunga tanah liat hasil prakarya anak kelas enam di atas meja Bu Mus, papan tulis lusuh, dan kapur tumpul yang berserakan di atas lantai kelas yang 18 Laskar Pelangi
sebagian telah menjadi tanah, adalah benda-benda yang menakjubkan. Kemudian kulihat lagi pria cemara anginitu. Melihat anaknya demikian bergairah ia tersenyum getir. Aku mengerti bahwa pira yang tak tahu tanggal dan bulan kelahirannya itu gamang membayangkan kehancuran hati anaknya jika sampai drop out saat kelas dua atau tiga SMP nanti karena alasan klasik: biaya atau tuntutan nafkah. Bagi beliau pendidikan adalah enigma, sebuah misteri. Dari empat garis generasi yang diingatnya, baru Lintang yang sekolah. Generasi kelima sebelumnya adalah masa antediluvium, suatu masa yang amat lampau ketika orang-orang Melayu masih berkelana sebagai nomad. Mereka berpakaian kulit kayu dan menyembah bulan. UMUMNYA Bu Mus mengelompokkan tempat duduk kami berdasarkan kemiripan. Aku dan Lintang sebangku karena kami sama-sama berambut ikal. Trapani duduk dengan Mahar karena mereka berdua paling tampan. Penampilan mereka seperti para penaltun irama semenanjung idola orang Melayu pedalaman. Trapani tak tertarik dengan kelas, ia mencuri-curi pandang ke jendela, melirik kepala ibunya yang muncul sekali-sekali di antara kepala orangtua lainnya. Tapi Borek, (bacanya Bore’, “e”-nya itu seperti membaca elang, bukan seperti menyebut “e” pada kata edan, dan “k ”-nya itu bukan “k” penuh, Anda tentu paham maksud saya) dan Kucai didudukkan berdua bukan karena mereka mirip tapi karena sama-sama susah diatur. Baru beberapa saat di kelas Borek sudah mencoreng muka Kucai dengan penghapus papan tulis. Tingkah ini diikuti Sahara yang sengaja menumpahkan air minum A Kiong sehingga anak Hokian itu menangis sejadi-jadinya seperti orang ketakutan dipeluk setan. N.A. Sahara Aulia Fadillah binti K.A. Muslim Ramdhani Fadillah, gadis kecil berkerudung itu, memang keras kepala luar biasa. Kejadian itu menandai perseteruan mereka yang akan berlangsung akut bertahun-tahun. Tangisan A Kiong nyaris merusak acara perkenalan yang menyenangkan pagi itu. Sebaliknya, bagiku pagi itu adalah pagi yang tak terlupakan sampai puluhan tahun mendatang karena pagi itu aku melihat Lintang dengan canggung 19 Laskar Pelangi
menggenggam sebuah pensil besar yang belum diserut seperti memegang sebilah belati. Ayahnya pasti telah keliru membeli pensil karena pensil itu memiliki warna yang berbeda di kedua ujungnya. Salah satu ujungnya berwarna merah dan ujung lainnya biru. Bukankah pensil semacam itu dipakai para tukang jahit untuk menggaris kain? Atau para tukang sol sepatu untuk membuat garis pola pada permukaan kulit? Sama sekali bukan untuk menulis. Buku yang dibeli juga keliru. Buku bersampul biru tua itu bergaris tiga. Bukankah buku semacam itu baru akan kami pakai nanti saat kelas dua untuk pelajaran menulis rangkai indah? Hal yang tak akan pernah kulupakan adalah bahwa pagi itu aku menyaksikan seorang anak pesisir melarat—teman sebangku—untuk pertama kalinya memegang pensil dan buku, dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya, setiap apa pun yang ditulisnya merupakan buah pikiran yang gilang gemilang, karena nanti ia—seorang anak miskin pesisir—akan menerangi nebula yang melingkupi sekolah miskinini sebab ia akan berkembang menjadi manusia paling genius yang pernah kujumpai seumur hidupku. ******** 20 Laskar Pelangi
Bab 3 Inisiasi TAK susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan. Kami memiliki enam kelas kecil-kecil, pagi untuk SD Muhammadiyah dan sore untuk SMP Muhammadiyah. Maka kami, sepuluh siswa baru ini bercokol selama sembilan tahun di sekolah yang sama dan kelas-kelas yang sama, bahkan susunan kawan sebangku pun tak berubah selama sembilan tahun SD dan SMP itu. Kami kekurangan guru dan sebagian besar siswa SD Muhammadiyah ke sekolah memakai sandal. Kami bahkan tak punya seragam. Kami juga tak punya kotak P3K. Jika kami sakit, sakit apa pun: diare, bengkak, batuk, flu, atau gatal-gatal maka guru kami akan memberikan sebuah pil berwarna putih, berukuran besar bulat seperti kancing jas hujan, yang rasanya sangat pahit. Jika diminum kita bisa merasa kenyang. Pada pil itu ada tulisan besar APC. Itulah pil APC yang legendaris di kalangan rakyat pinggiran 21 Laskar Pelangi
Belitong. Obat ajaib yang bisa menyembuhkan segala rupa penyakit. Sekolah Muhammadiyah tak pernah dikunjungi pejabat, penjual kaligrafi, pengawas sekolah, apalagi anggota dewan. Yang rutin berkunjung hanyalah seorang pria yang berpakaian seperti ninja. Di punggungnya tergantung sebuah tabung aluminium besar dengan slang yang menjalar ke sana kemari. Ia seperti akan berangkat ke bulan. Pria ini adalah utusan dari dinas kesehatan yang menyemprot sarang nyamuk dengan DDT. Ketika asap putih tebal mengepul seperti kebakaran hebat, kami pun bersorak- sorak kegirangan. Sekolah kami tidak dijaga karena tidak ada benda berharga yang layak dicuri. Satu-satunya benda yang menandakan bangunan itu sekolah adalah sebatang tiang bendera dari bambu kuning dan sebuah papan tulis hijau yang tergantung miring di dekat lonceng. Lonceng kami adalah besi bulat berlubang-lubang bekas tungku. Di papan tulis itu terpampang gambar matahari dengan garis- garis sinar berwarna putih. Di tengahnya tertulis: SD MD Sekolah Dasar Muhammadiyah Lalu persis di bawah mathari tadi tertera huruf-huruf arab gundul yang nanti setelah kelas dua, setelah aku pandai membaca huruf arab, aku tahu bahwa tulisan itu berbunyi amar makruf nahi mungkarartinya: menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar”. Itulah pedoman utama warga Muhammadiyah. Kata-kata itu melekat dalam kalbu kami sampai dewasa nanti. Kata-kata yang begitu kami kenal seperti kami mengenal bau alami ibu-ibu kami. Jika dilihat dari jauh sekolah kami seolah akan tumpah karena tiang- tiang kayu yang tua sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka, sekolah kami sangat mirip gudang kopra. Konstruksi bangunan yang menyalahi prinsip arsitektur ini menyebabkan tak ada daun pintu dan jendela yang bisa dikun ci karena sudah tidak simetris dengan rangkakusennya. Tapi buat apa pula dikunci? Di dalam kelas kami tidak terdapat tempelan poster operasi kali-kalian 22 Laskar Pelangi
seperti umumnya terdapat di kelas-kelas sekolah dasar. Kami juga tidak memiliki kalender dan tak ada gambar presiden dan wakilnya, atau gambar seekor burung aneh berekor delapan helai yang selalu menoleh ke kanan itu. Satu-satunya tempelan di sana adalah sebuah poster, persis di belakang meja Bu Mus untuk menutupi lubang besar di dinding papan. Poster itu memperlihatkan gambar seorang pria berjenggot lebat, memakai jubah, dan ia memegang sebuah gitar penuh gaya. Matanya sayu tapi meradang, seperti telah mengalami cobaan hidup yang mahadahsyat. Dan agaknya ia memang telah bertekad bulat melawan segala bentuk kemaksiatan di muka bumi. Di dalam gambar tersebut sang pria tadi melongok ke langit dan banyak sekali uang-uang kertas serta logam berjatuhan menimpa wajahnya. Di bagian bawah poster itu terdapat dua baris kalimat yang tak kupahami. Tapi nanti setelah naik ke kelas dua dan sudah pintar membaca, aku mengerti bunyi kedua kalimat itu adalah: RHOMA IRAMA, HUJAN DUIT! Maka pada intinya tak ada yang baru dalam pembicaraan tentang sekolah yang atapnya bocor, berdinding papan, berlantai tanah, atau yang kalau malam dipakai untuk menyimpan ternak, semua itu telah dialami oleh sekolah kami. Lebih menarik membicarakan tentang orang-orang seperti apa yang rela menghabiskan hidupnya bertahan di sekolah semacam ini. Orang- orang itu tentu saja kepala sekolah kami Pak K.A. Harfan Efendy Noor bin K.A. Fadillah Zein Noor dan Ibu N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid. Pak Harfan, seperti halnya sekolah ini, tak susah digambarkan. Kumisnya tebal, cabangnya tersambung pada jenggot lebat berwarna kecokelatan yang kusam dan beruban. Hemat kata, wajahnya mirip Tom Hanks, tapi hanya Tom Hanks di dalam film di mana ia terdampar di sebuah pulau sepi, tujuh belas bulan tidak pernah bertemu manusia dan mulai berbicara dengan sebuah bola voli. Jika kita bertanya tentang jenggotnya yang awut-awtuan, beliau tidak akan repot-repot berdalih tapi segera menyodorkan sebuah buku karya Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandhallawi Rah, R.A. yang berjudul Keutamaan Memelihara Jenggot . Cukup membaca pengantarnya saja Anda akan merasa malu sudah bertanya. K.A. pada nama depan Pak Harfan berarti Ki Agus. Gelar 23 Laskar Pelangi
K.A. mengalir dalam garis laki-laki silsilah Kerajaan Belitong. Selama puluhan tahun keluarga besar yang amat bersahaja ini berdiri pada garda depan pendidikan di sana. Pak Harfan telah puluhan tahun mengabdi di sekolah Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan apa pun demi motif syiar Islam. Beliau menghidupi keluarga dari sebidang kebun palawija di pekarangan rumahnya. Hari ini Pak Harfan mengenakan baju takwa yang dulu pasti berwarna hijau tapi kini warnanya pudar menjadi putih. Bekas- bekas warna hijau masih kelihatan di baju itu. Kaus dalamnya berlubang di beberapa bagian dan beliau mengenakan celana panjang yang lusuh karena terlalu sering dicuci. Seutas ikat pinggang plastik murahan bermotif ketupat melilit tubuhnya. Lubang ikat pinggang itu banyak berderet-deret, mungkin telah dipakai sejak beliau berusia belasan. Karena penampilan Pak Harfan agak seperti beruang madu maka ketika pertama kali melihatnya kami merasa takut. Anak kecil yang tak kuat mental bisa-bisa langsung terkena sawan. Namun, ketika beliau angkat bicara, tak dinyana, meluncurlah mutiara- mutiara nan puitis sebagai prolog penerimaan selamat datang penuh atmosfer sukacita di sekolahnya yang sederhana. Kemudian dalam waktu yang amat singkat beliau telah merebut hati kami. Bapak yang jahitan kerah kemejanya telah lepas itu bercerita tentang perahu Nabi Nuh serta pasangan-pasangan binatang yang selamat dari banjir bandang. “Mereka yang ingkar telah diingatkan bahwa air bah akan datang …,” demikian ceritanya dengan wajah penuh penghayatan. “Namun, kesombongan membutakan mata dan menulikan telinga mereka, hingga mereka musnah dilamun ombak ….. Sebuah kisah yang sangat mengesankan. Pelajaran moral pertama bagiku: jika tak rajin sahalat maka pandai-pandailah berenang. Cerita selanjutnya sangat memukau. Sebuah cerita peperangan besar zaman Rasulullah di mana kekuatan dibentuk oleh iman bukan oleh jumlah tentara: perang Badar! Tiga ratus tiga 24 Laskar Pelangi
belas tentara Islam mengalahkan ribuan tentara Quraisy yang kalap dan bersenjata lengkap. “Ketahuilah wahai keluarga Ghudar, berangkatlah kalian ke tempat-tempat kematian kalian dalam masa tiga hari!” Demikian Pak Harfan berteriak lantang sambil menatap langit melalui jendela kelas kami. Beliau memekikkan firasat mimpi seorang penduduk Mekkah, firasat kehancuran Quraisy dalam kehebatan perang Badar. Mendengar teriakan itu rasanya aku ingin melonjak dari tempat duduk. Kami ternganga karena suara Pak Harfan yang berat menggetarkan benang-ben ang halus dalam kalbu kami. Kami menanti liku demi liku cerita dalam detik-detik menegangkan dengan dada berkobar-kobar ingin membela perjuangan para penegak Islam. Lalu Pak Harfan mendinginkan suasana yang berkisah tentang penderitaan dan tekanan yang dialami seorang pria bernama Zubair bin Awam. Dulu nun di tahun 1929 tokoh ini bersusah payah, seperti kesulitan Rasulullah ketika pertama tiba di Madinah, mendirikan sekolah dari jerjak kayu bulat seperti kandang. Itulah sekolah pertama di Belitong. Kemudian muncul para tokoh seperti K.A. Abdul Hamid dan Ibrahim bin Zaidin yang berkorban habis-habisan melanjutkan sekolah kandang itu menjadi sekolah Muhammadiyah. Sekolah ini adalah sekolah Islam pertama di Belitong, bahkan mungkin di Sumatra Selatan. Pak Harfan menceritakan semua itu dengan semangat perang badar sekaligus setenang hembusan angin pagi. Kami terpesona pada setiap pilihan kata dan gerak lakunya yang memikat. Ada semacam pengaruh yang lembut dan baik terpancar darinya. Ia mengesankan sebagai pria yang kenyang akan pahit getir perjuangan dan kesusahan hidup, berpengetahuan seluas samudra, bijak, berani mengambil risiko, dan menikmati daya tarik dalam mencari-cari bagaimana cara menjelaskan sesuatu agar setiap orang mengerti. Pak Harfan tampak amat bahagia menghadapi murid, tipikal “guru” yang sesungguhnya, seperti dalam lingua asalnya, India, yaitu orang yang tak hanya mentransfer sebuah pelajaran, tapi juga yang secara pribadi menjadi sahabat dan pembimbing spiritual bagi muridnya. Beliau sering men aikturunkan intonasi, menekan kedua 25 Laskar Pelangi
ujung meja sambil mempertegas kata-kata tertentu, dan mengangkat kedua tangannya laksana orang berdoa minta hujan. Ketika mengajukan pertanyaan beliau berlari-lari kecil mendekati kami, menatap kami penuh arti dengan pandangan matanya yang teduh seolah kami adalah anak-anak Melayu yang paling berharga. Lalu membisikkan sesuatu di telinga kami, menyitir dengan lancarayat-ayat suci, menantang pengetahuan kami, berpantun, membelai hati kami dengan wawasan ilmu, lalu diam, diam berpikir seperti kekasih merindu, indah sekali. Beliau menorehkan benang merah kebenaran hidup yang sederhana melalui kata- katanya yang ringan namun bertenaga seumpama titik-titik air hujan. Beliau mengobarkan semangat kami utnuk belajar dan membuat kami tercengang dengan petuahnya tentang keberanian pantang men yerah melawan kesulitan apa pun. Pak Harfan memberi kami pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, tentang ketekun an, tentang keinginan kuat untuk mencapai cita- cita. Beliau meyakinkan kami bahwa hidup bisa demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban untuk sesama. Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap jauh ke dalam dadaku serta memberi arah bagiku hingga dewasa, yaitu bahwa hiduplah untuk memberi sebanyak -banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya. Kami tak berkedip menatap sang juru kisah yang ulung ini. Pria ini buruk rupa dan buruk pula setiapapa yang di-sandangnya, tapi pemikirannya jernih dan kata-katanya bercahaya. Jika ia mengucapkan sesuatu kami pun terpaku menyimaknya dan tak sabar menunggu untaian kata berikutnya. Tiba-tiba aku merasa sangat beruntung didaftarkan orangtuaku di sekolah miskin Muhammadiyah. Aku merasa lelah terselamatkan karena orang tuaku memilih sebuah sekolah Islam sebagai pendidikan paling dasar bagiku. Aku merasa amat beruntung berada di sini, di tengah orang-orang yang luar biasa ini. Ada keindahan di sekolah Islam melarat ini. Keindahan yang tak ‘kan kutukar dengan seribu kemewahan sekolah lain. 26 Laskar Pelangi
Setiap kali Pak Harfan ingin menguji apa yang telah diceritakannya kami berebutan mengangkat tangan, bahkan kami mengacung meskipun beliau tak bertanya, dan kami mengacung walaupun kami tak pasti akan jawaban. Sayangnya bapak yang penuh daya tarik ini harus mohon diri. Satu jam dengannya terasa hanya satu menit. Kami mengikuti setiap inci langkahnya ketika meninggalkan kelas. Pandangan kami melekat tak lepas-lepas darinya karena kami telah jatuh cinta padanya. Beliau telah membuat kami menyayangi sekolah tua ini. Kuliah umum dari Pak Harfan di hari pertama kami masuk SD Muhammadiyah langsung menancapkan tekad dalam hati kami untuk membela sekolah yang hampir rubuh ini, apa pun yang terjadi. Kelas diambil alih oleh Bu Mus. Acaranya adalah perkenalan dan akhirnya tibalah giliran A Kiong. Tangisnya sudah reda tapi ia masih terisak. Ketika diminta ke depan kelas ia senang bukan main. Sekarang di sela-sela isaknya ia tersenyum. Ia menggoyang- goyangkan tubuhnya. Tangan kirinya memegang botol air yang kosong—karena isinya tadi ditumpahkan Sahara—dan tangan kanannya menggenggam kuat tutup botol itu. “Silahkan ananda perkenalkan nama dan alamat rumah …,” pinta Bu Mus lembut pada anak Hokian itu. A Kiong menatap Bu Mus dengan ragu kemudian ia kembali tersenyum. Bapaknya menyeruak di antara kerumunan orangtua lainnya, ingin menyaksikan anaknya beraksi. Namun, meskipun berulang kali ditanya A Kiong tidak menjawab sepatah kata pun. Ia terus tersenyum dan hanya tersenyum saja. “Silakan ananda …,” Bu Mus meminta sekali lagi dengan sabar. Namun sayang A Kiong hanya menjawabnya dengan kembali tersenyum. Ia berkali-kali melirik bapaknya yang kelihatan tak sabar. Aku dapat membaca pikiran ayahnya, “Ayolah anakku, kuatkan hatimu, sebutkan namamu! Paling tidak sebutkan nama bapakmu ini, sekali saja! Jangan bikin malu orang Hokian!” Bapak Tionghoa berwajah ramah ini dikenal 27 Laskar Pelangi
sebagai seorang Tionghoa kebun, strata ekonomi terendah dalam kelas sosial orang-orang Tionghoa di Belitong. Namun, sampai waktu akan berakhir a Kiong masih tetap saja tersenyum. Bu Mus membujuknya lagi. “Baiklah ini kesempatan terakhir untukmu mengenalkan diri, jika belum bersedia maka harus kembali ke tempat duduk.. A Kiong malah semakin senang. Ia masih sama sekali tak menjawab. Ia tersenyum lebar, matanya yang sipit menghilang. Pelajaran moral nomor dua: jangan tanyakan nama dan alamat pada orang yang tinggal di kebun. Maka berakhirlah perkenalan di bulan Februari yang mengesankan itu. 28 Laskar Pelangi
Bab 4 Perempuan-Perempuan Perkasa AKU pernah membaca kisah tentang wanita yang membelah batu karang untuk mengalirkan air, wanita yang menenggelamkan diri belasan tahun sendirian di tengah rimba untuk menyelamatkan beberapa keluarga orang utan, atau wanita yang berani mengambil risiko tertular virus ganas demi menyembuhkan penyakit seorang anak yang sama sekali tak dikenalnya nun jauh di Somalia. Di sekolah Muhammadiyah setiap hari aku membaca keberanian berkorban semacam itu di wajah wanita muda ini. N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, atau kami memanggilnya Bu Mus, hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri), namun beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya—K.A. Abdul Hamid, pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong—untuk terus mengobarkan pendidikan Islam. Tekad itu memberinya kesulitan hidup yang tak terkira, karena kami kekurangan guru—lagi pula siapa yang rela diupah beras 15 kilo setiap bulan? Maka selama enam tahun di SD Muhammadiyah, beliau sendiri yang mengajar semua mata pelajaran—mulai dari 29 Laskar Pelangi
Menulis Indah, Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, Ilmu Bumi, sampai Matematika, Geografi, Prakarya, dan Praktik Olahraga. Setelah seharian mengajar, beliau melanjutkan bekerja menerima jahitan sampai jauh malam untuk mencari nafkah, menopang hidup dirinya dan adik-adinya. BU MUS adalah seroang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri silabus pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan kepada kami sejak dini pandangan-pandangan dasar moral, demokrasi, hukum, keadilan, dan hak-hak asasi—jauh hari sebelum orang-orang sekarang meributkan soal materialisme versus pembangunan spiritual dalam pendidikan. Dasar-dasar moral itu menuntun kami membuat konstruksi imajiner nilai-nilai integritas pribadi dalam konteks Islam. Kami diajarkan menggali nilai luhur di dalam diri sendiri agar berperilaku baik karena kesadaran pribadi. Materi pelajaran Budi Pekerti yang hanya diajarkan di sekolah Muhammadiyah sama sekali tidak seperti kode perilaku formal yang ada dalam konteks legalitas institusional seperti sapta prasetya atau pedoman-pedoman pengalaman lainnya. “Shalatlah tepat waktu, biar dapat pahala lebih banyak,” demikian Bu Mus selalu menasihati kami. Bukankah ini kata-kata yang diilhami surah An-Nisa dan telah diucapkan ratusan kali oleh puluhan khatib? Sering kali dianggap sambil lalu saja oleh umat. Tapi jika yang mengucapkannya Bu Mus kata-kata itu demikian berbeda, begitu sakti, berdengung- dengung di dalam kalbu. Yang terasa kemudian adalah penyesalan mengapa telah terlamabat shalat. Pada kesempatan lain, karena masih kecil tentu saja, kami sering mengeluh mengapa sekolah kami tak seperti sekolah-sekolah lain. Terutama atap sekolah yang bocor dan sangat menyusahkan saat musim hujan. Beliau tak menanggapi keluhan itu tapi mengeluarkan sebuah buku berbahasa Belanda dan memerplihatkan sebuah gambar. Gambar itu adalah sebuah ruangan yang sempit, dikelilingi tembok tebal yang suram, tinggi, gelap, dan berjeruji. Kesan di 30 Laskar Pelangi
dalamnya begitu pengap, angker, penuh kekerasan dan kesedihan. “inilah sel Pak Karno di sebuah penjara di Bandung, di sini beliau menjalani hukuman dan setiap hari belajar, setiap waktu membaca buku. Beliau adalah salah satu orang tercerdas yang pernah dimiliki bangsa ini.. Beliau tak melanjutkan ceritanya.. Kami tersihir dalam senyap. Mulai saat itu kami tak pernah lagi memprotes keadaan sekolah kami. Pernah suatu ketika hujan turun amat lebat, petir sambar menyambar. Trapani dan Mahar memakai terindak, topi kerucut dari daun lais khas tentara Vietkong, untuk melindungi jambul mereka. Kucai, Borek, dan Sahara memakai jas hujan kuning bergambar gerigi metal besar di punggungnya dengan tulisan “UPT Bel” (Unit Penambangan Timah Belitong)—jas hujan jatah PN Timah milik bapaknya. Kami sisanya hampir basah kuyup. Tapi sehari pun kami tak pernah bolos, dan kami tak pernah mengeluh, tidak, sedikit pun kami tak pernah mengeluh. Bagi kami Pak Harfan dan Bu Mus adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya. Merekalah mentor, penjaga, sahabat, pengajar, dan guru spiritual. Mereka yang pertama menjelaskan secara gamblang implikasi amar makruf nahi mungkar sebagai pegangan moral kami sepanjang hayat. Mereka mengajari kami membuat rumah- rumahan dari perdu apit-apit, mengusap luka-luka di kaki kami, membimbing kami cara mengambil wudu, melongok ke dalam sarung kami ketika kami disunat, mengajari kami doa sebelum tidur, memompa ban sepeda kami, dan kadang- kadang membuatkan kami air jeruk sambal. Mereka adalah ksatria tampa pamrih, pangeran keikhlasan, dan sumur jernih ilmu pengetahuan di ladang yang ditinggalkan. Sumbangan mereka laksana manfaat yang diberikan pohon filicium yang menaungi atap kelas kami. Pohon ini meneduhi kami dan dialah saksi seluruh drama ini. Seperti guru-guru kami, filicium memberi napas kehidupan bagi ribuan organise dan menjadi tonggak penting mata rantai ekosistem. 31 Laskar Pelangi
Bab 5 The Tower of Babel JUMLAH orang Tionghoa di kampung kami sekitar sepertiga dari total populasi. Ada orang Kek, ada orang Hokian, ada orang Tongsan, dan ada yang tak tahu asal usulnya. Bisa saja mereka yang lebih dulu mendiami pulau ini daripada siapa pun. Aichang, phok, kiaw, dan khaknai, seluruhnya adalah perangkat penambangan timah primitf yang sekarang dianggap temuan arkeologi, bukti bahwa nenek moyang mereka telah lama sekali berada di Pulau Belitong. Komunitas ini selalu tipikal: rendah hati ddan pekerja keras. Meskipun jauh terpisah dari akar budayanya namun mereka senantiasa memelihara adat istiadatnya, dan di Belitong mereka beruntung karena mereka tak perlu jauh-jauh datang ke Jinchanying kalau hanya ingin melihat Tembok Besar Cina. Persis bersebelahan dengan toko-toko kelontong milik warga Tionghoa ini berdiri tembok tinggi yang panjang dan di sana sini tergantung papan peringatan: “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”. Di atas tembok ini tidak hanya ditancapi pecahan-pecahan kaca yang mengancam tapi juga dililitkan empat jalur kawat berduri seperti di kamp Auschwitz. Namun, tidak seperti Temok Besar Cina 32 Laskar Pelangi
yang melindungi berbagai dinasti dari sebuan suku-suku Mongol di utara, di Belitong tembok yang angkuh dan berkelak-kelok sepanjang kiloan meter ini adalah pengukuhan sebuah dominasi dan perbedaan status sosial. Di balik tembok itu terlindung sebuah kawasan yang disebut Gedong, yaitu negeri asing yang jika berada di dalamnya orang akan merasa tak sedang berada di Belitong. Dan di dalam sana berdiri sekolah-sekolah PN. Sekolah PN adalah sebutan untuk sekolah milik PN (Perusahaan Negara) Timah, sebuah perusahaan yang paling berpengaruh di Belitong, bahkan sebuah hegemoni lebih tepatnya, karena timah adalah denyut nadi pulau kecil itu. Suatu sore seorang gentleman keluar dari balik tembok itu untuk berkeliling kampung dengan sebuah Chevrolet Corvette, lalu esoknya di depan sebuah majelis ia mencibir. “Tak satu pun kulihat ada anak muda memegang pacul! Tak pernah kulihat orang- orang muda demikian malas seperti di sini.. Ha? Apa dia kira kami bangsa petani? Kami adalah buruh- buruh tambang yang bangga, padi tak tumbuh di atas tanah-tanah kami yang kaya material tambang! LAKSANA the Tower of Babel— yakni Menara Babel, metafora tangga menuju surga yang ditegakkan bangsa babylonia sebagai perlambang kemakmuran 5.600 tahun lalu, yang berdiri arogan di antara Sungai Tigris dan Eufrat di tanah yang sekarang disebut Irak—timah di Belitong adalah menara gading kemakmuran berkah Tuhan yang menjalar sepanjang Semenanjung Malaka, tak putus-putus seperti jalian urat di punggung.tangan. Orang Melayu yang mer ogohkan tangannya ke dalam lapisan dangkal aluvium, hampir di sembarang tempat, akan mendapati lengannya berkilauan karena dilumuri ilmenit atau timah kosong. Bermil-mil dari pesisir, Belitong tampak sebagai garis pantai kuning berkilauan karena bijih-bijih timah dan kuarsa yang disirami cahaya matahari. Pantulan cahaya itu adalah citra yang lebih kemilau dari riak-riak gelombang laut dan membentuk semacam fatamorgana pelangi sebagai mercusuar yang menuntun para nakhoda. 33 Laskar Pelangi
Tuhan memberkahi Belitong dengan timah bukan agar kapal yang berlayar ke pulau itu tidak menyimpang ke Laut Cina Selatan, tetapi timah dialirkan-Nya ke sana untuk menjadi mercusuar bagi penduduk pulau itu sendiri. Adakah mereka telah semena- mena pada rezeki Tuhan sehingga nanti terlunta-lunta seperti di kala Tuhan menguji bangsa Lemuria? Kilau itu terus menyala sampai jauh malam. Eksploitasi timah besar-besaran secara nonstop diterangi ribuan lampu dengan energi jutaan kilo watt. Jika disaksikan dari udara di malam hari Pulau Belitong tampak seperti familia besar Ctenopore, yakni ubur-ubur yang memancarkan cahaya terang berwarna biru dalam kegelapan latu: sendiri, kecil, bersinar, indah, dan kaya raya. Belitong melayang-layang di antara Selat Gaspar dan Karimata bak mutiara dalam tangkupan kerang. Dan terberkatilah tanah yang dialiri timah karena ia seperti knautia yang dirubung beragam jenis lebah madu. Timah selalu mengikat material ikutan, yakni harta karun tak ternilai yang melimpah ruah: granit, zirkonium, silika, senotim, monazite, ilmenit, siderit, hematit, clay, emas, galena, tembaga, kaolin, kuarsa, dan topas …. Semuanya berlapis- lapis, meluap-luap, beribu-ribu ton di bawah rumah-rumah panggung kami. Kekayaan ini adalah bahan dasar kaca berkualitas paling tinggi, bijih besi dan titanium yang bernas, … material terbaik untuk superkonduktor, timah kosong ilmenit yang digunakan laboratorium roket NASA sebagai materi antipanas ekstrem, zirkonium sebagai bahan dasar produk-produk tahan api, emas murni dan timah hitam yang amat mahal, bahkan kami memiliki sumber tenaga nuklir: uranium yang kaya raya. Semua ini sangat kontradiktif dengan kemiskinan turun temurun penduduk asli Melayu Belitong yang hidup berserakan di atasnya. Kami seperti sekawanan tikus yang paceklik di lumbung padi. Belitong dalam batas kuasa eksklusif PN Timah adalah kota praja Konstantinopel yang makmur. PN adalah penguasa tunggal Pulau Belitung yang termasyhur di seluruh negeri sebagai Pulautimah. Nama itu tercetak di setiap buku geografi atau buku Himpunan Pengetahuan Umum pustaka wajib sekolah dasar. PN amat kaya. Ia punya jalan raya, jembatan, pelabuhan, real estate, 34 Laskar Pelangi
bendungan, dok kapal, saran a telekomunikasi, air, listrik, rumah- rumah sakit, sarana olahraga—termasuk beberapa padang golf, kelengkapan sarana hiburan, dan sekolah-sekolah. PN menjadikan Belitong --sebuah pulau kecil-- seumpama desa perusahaan dengan aset triliunan rupiah. PN merupakan penghasil timah nasional terbesar yang mempekerjakan tak kurang dari 14.000 orang. Ia menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong dan menghasilkan devisa jutaan dolar. Lahan eksploiotasinya tak terbatas. Lahan itu disebut kuasa penambangan dan secara ketat dimonopoli. Legitimasi ini diperoleh melalui pembayaran royalti—lebih pas disebut upeti—miliaran rupiah kepada pemerintah. PN mengoperasikan 16 unit emmer bageratau kapal keruk yang bergerak lamban, mengorek isi bumi dengan 150 buah mangkuk-mangkuk baja raksasa, siang malam merambah laut, sungai, dan rawa-rawa, bersuara mengerikan laksana kawanan dinosaurus. Di titik tertinggi siklus komidi putar, di masa keemasan itu, penumpangnya mabuk ketinggian dan tertidur nyenyak, melanjutkan mimpi gelap yang ditiup-tiupkan kolonialis. Sejak zaman penjajahan, sebagai platform infrastruktur ekon omi, PN tidak hanya memonopoli faktor produksi terpenting tapi juga mewarisi mental bobrok feodalistis ala Belanda. Sementara seperti sering dialami oleh warga pribumi dimanapun yang sumber daya alamnya dieksploitasi habis-habisan, sebagaian komunitas di Belitong juga termarginalkan dalam ketidak adilan kompensasi tanah ulayah, persamaan kesempatan, dan trickle down effects . 35 Laskar Pelangi
Bab 6 Gedong PULAU Belitong yang makmur seperti mengasingkan diri dari tanah Sumatra yang membujur dan di sana mengalir kebudayaan Melayu yang tua. Pada abad ke-19, ketika korporasi secara sistematis mengeksploitasi timah, kebudayaan bersahaja itu mulai hidup dalam karakteristik sosiologi tertentu yang atribut-atributnya mencerminkan perbedaan sangat mencolok seolah berdasarkan status berkasta-kasta. Kasta majemuk itu tersusun rapi mulai dari para petinggi PN Timah yang disebut “orang staf” atau urang setap dalam dialek lokal sampai pada para tukang pikul pipa di instalasi penambangan serta warga suku Sawang yang menjadi buruh-buruh yuka penjahit karung timah. Salah satu atribut diskriminasi itu adalah sekolah-sekolah PN. Maka lahirlah kaum menak, implikasi dari institusi yang ingin memelihara citra aristokrat. PN melimpahi orang staf dengan penghasilan dan fasilitas kesehatan, pendidikan, promosi, transportasi, hiburan, dan logistik yang sangat diskriminatif dibanding kompensasi yang diberikan kepada mereka yang bukan orang staf. Mereka, kaum borjuis ini, bersemayam di kawasan eksklusif yang disebut Gedong. Mereka seperti orang-orang kulit putih di wilayah selatan Amerika pada tahun 70-an. Feodalisme di 36 Laskar Pelangi
Belitong adalah sesuatu yang unik, karena ia merupakan konsekuensi dari adanya budaya korporasi, bukan karena tradisi paternalistik dari silsilah, subkultur, atau privilese yang di anugerahkan oleh penguasa seperti biasa terjadi di berbagai tempat lain. Sepadan dengan kebun gantung yang memesona di pelataran menara Babylonia, sebuah taman kesayangan Tiran Nebuchadnezzar III untuk memuja Dewa Marduk, Gedong adalah landmark Belitong. Ia terisolasi tembok tinggi berkeliling dengan satu akses keluar masuk seperti konsep cul de sac dalam konsep pemukiman modern. Arsitektur dan desain lanskapnya bergaya sangat kolonial. Orang-orang yang tinggal di.dalamnya memiliki nama-nama yang aneh, misalnya Susilo, Cokro, Ivonne, Setiawan, atau Kuntoro, tak ada Muas, Jamali, Sa’indun, Ramli, atau Mahader seperti nama orang- orang Melayu, dan mereka tidak pernah menggunakan bin atau binti. Gedong lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh para Polsus (Polisi Khusus) Timah. Jika ada yang lancang masuk maka koboi-koboi tengik itu akan menyergap, mengintergoasi, lalu interogasi akan ditutup dengan mengingatkan sang tangkapan pada tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” yang bertaburan secara mencolok pada berbagai akses dan fasilitas di sana, sebuah power Statement tipikal kompeni. Kawasan warisan Belanda ini menjunjung tinggi kesan menjaga jarak , dan kesan itu diperkuat oleh jajaran pohon-pohon saga tua yang menjatuhkan butir-butir buah semerah darah di atas kap mobil-mobil mahal yang berjejal-jejal sampai keluar garasi. Di sana, rumah-rumah mewah besar bergaya Victoria memiliki jendela- jendela kaca lebar dan tinggi dengan tirai yang berlapis-lapis laksana layar bioskop. Rumah-rumah itu ditempatkan pada kontur yang agak tinggi sehingga kelihatan seperti kastil-kastil kaum bangsawan dengan halaman terpelihara rapi dan danau-danau buatan. Di dalamnya hidup tenteram sebuah keluarga kecil dengan dua atau tiga-anak yang selalu tampak damai, temaram, dan sejuk. Setiap rumah memiliki empat bangunan terpisah yang disambungkan oleh selasar- selasar panjang. Itulah rumah utama sang majikan, rumah bagi para pembantu, garasi, dan gudang- gudang. Selasar-selasar itu mengelilingi kolam kecil yang ditumbuhi 37 Laskar Pelangi
Nymphaea caereulea atau the blue water lily yang sangat menawan dan di tengahnya terdapat patung anak-anak gendut semacam Manequin Piss legenda negeri Belgia yang menyemprotkan air mancur sepanjang waktu dari kemaluan kecilnya yang lucu. Pot-pot kayu anggrek mahal Tainia shimadai Dan Chysis digantungkan berderet- deret di bibiratap selasar dan di bawahnya tersusun rapi bejana keramik antik bertangga- tangga berisi kaktus Chaemasereas dan Parodia scopa . Untuk urusan bunga ini ada petugas khusus yang merawatnya. Di luar lingkar kolam didirikan sebuah kandang berlubang kotak-kotak kecil persegi berbentuk piramida yang berseni dan ditopang oelh sebuah pilar bergaya Romawi, itulah rumah burung merpati Inggris. Di dalam rumah utama sang majikan terdapat ruang tamu dengan lampu-lampu yang teduh dan perabot utama di sana adalah sebuah sofa Victorian rosewood berwarna merah. Jika duduk di atasnya seseorang dapat merasa dirinya seperti seorang paduka raja. Di samping ruang tamu adalah ruang makan tempat para penghuni rumah makan malam mengenakan busana senja yang terbaik dan bersepatu. Di meja makan mewah dengan kayu Cinnamonglaze , mereka duduk mengelilingi makanan yang namanya bahkan belum ada terjemahannya. Pertama-tama perangsang lapar pumpkin and Gorgonzola soup , lalu hadir caesar salad menu utama, chicken cordon bleu, vitello alla Provenzale , atau … Pada bagian akhir sebagai makanan penutup adalah creamy cheesecake topped with stawberry puree , buah-buah persik dan prem. Mereka makan dengan tenang sembari mendengarkan musik klasik yang elegan: Mozart: Haffner No. 35 in D Major . Mereka mematuhi table manner’ Setelah melampirkan serbet di atas pangkuannya makan malam dimulai nyaris tanpa suara dan tak ada seorang pun yang menekan bibir meja dengan sikunya... Sarapan pagi disajikan di ruangan yang berbeda. Ruangan ini terbuka, menghadap ke kebun anggrek dan kolam renang dangkal yang biru. Mejanya juga berbeda yakni terracotta tile top oval yang lucu namun berkelas. Di pagi hari mereka senang mencicipi omelet dan menyeruput the. Earl Grey, atau cappuccino, lalu mereka melemparkan remah-remah roti pada burung-burung merpati Inggris yang berebutan, rakus tapi jinak. 38 Laskar Pelangi
Halaman setiap rumah sangat luas dan tak dipagar. Kebanyakan didekorasi dengan karya seni instalasi dari konstruksi logam yang maknanya tak mudah dicerna orang awam. Hamparan rumput manila di halaman menyentuh lembut bibir jalan raya dengan tinggi permukaan yang sama. Ada daya tarik tersendiri di situ. Tak ada parit, karena semua sistem pembuangan diatur di bawah tanah. Pekarangan ditumbuhi pinang raja, bambu Jepang, pisang kipas, dan berjenis-jenis palem yang berselang-seling di antara taman-taman bunga umum, ornamen, galeri, angsa-angsa besar yang berkeliaran, kafe members only , patung-patung, nooker bar , sudut-sudut tempat bermain anak-anak berisi ayam-ayam kalkun yang dibiarkan bebas, trotoar untuk membawa anjing jalan- jalan, kolam-kolam renang, dan lapangan-lapangan golf. Tenang dan tidak berisik, kecuali sedikit bunyi, rupanya anjing pudel sedang mengejar beberapa ekor kucing anggora. Namun, selain suara hewan-hewan lucu itu sore ini terdengar lamat-lamat denting piano dari salah satu kastil Victoria yang terututp rapat berpilar-pilar itu. Floriana atau Flo yang tomboi, salah seorang siswa sekolah PN, sedang les piano. Guru privatnya sangat bersemangat tapi Flo sendiri terkantuk-kantuk tanpa minat. Kedua tangannya menopang wajah murungnya sambil menguap berulang- ulang di samping sebuah instrumen megah: grand piano merk Steinway and sons yang hitam, dingin, dan berkilauan. Wajah Flo seperti kucing kebanyakan tidur dan bangun magrib-magrib. Bapaknya—seorang Mollen Bas , kepala semua kapal keruk—duduk di sebuah kursi besar semacam singgasana sehingga tubuh kecilnya tenggelam. Kakinya dibungkus sepatu mahal De Carlo cokelat yang elegan, tergantung berayun-ayun lucu. Ia geram pada tingkah si tomboi dan malu pada sang guru, seorang wanita berkacamata, setengah baya, berwajah cerdas dan hanya bisa tersenyum-senyum. Beliau tak henti-henti memohon maaf pada wanita Jawa yang sangat santun itu atas kelakuan anaknya. Bapak Flo adalah orang hebat, seseorang yang amat terpelajar. Ia adalah insinyur lulusan terbaik dari Technische 39 Laskar Pelangi
Universiteit Delf di Holland dari Fakultas Werktuiq bouwkunde, Maritieme techniek & technische materiaal wetenschappen, yang artinya kurang lebih: jago teknik. Ia adalah salah satu dari segelintir orang Melayu asli Belitong yang berhak tinggal di Gedong dan orang kampung yang mampu mencapai karier tinggi di jajaran elite orang staf karena kepintarannya. Sebagai Mollen Bas, beliau sanggup mengendalikan shift ribuan karyawan, memperbaiki kerusakan kapal keruk yang tenaga-tenaga ahli asing sendiri sudah menyerah, dan mengendalikan aset produksi miliaran dolar. Tapi menghadapi anak perempuan kecilnya, si tomboi gasing yang tak bisa diatur ini, beliau hampir menyerah. Semakin keras suara bapaknya menghardik semakin lebar Flo menguap. Pokok perkaranya sederhana, yakni beliau telah memiliki beberapa anak laki-laki dan Flo si bungsu, adalah anak perempuan satu-satunya. Namun anak perempuannya ini bersikeras ingin menjadi laki-laki. Setiap hari beliau berusaha memerempuankan Flo antara lain dengan memaksanya kursus piano. Grand piano itu didatangkan dengan kapal khusus dari Jakarta. Guru privat yang merupakan seorang instruktur musik profesional, juga khusus dijemput dari Tanjong Pandan. Lebih dari itu, di sela kesibukannya, bapaknya rela menunggui Flo kursus, namun yang beliau dapat tak lebih dari uapan- uapan itu. Flo bahkan tak berminat menyentuh tuts-tuts hitam putih yang berkilat-kilat karena pikirannya melayang ke sasana tempat ia latihan kick boxing dan angkat barbel. Flo tak suka menerima dirinya sebagai seorang perempuan. Mungkin karena pengharuh dari saudara-saudara kandungnya yang seluruhnya laki-laki atau karena suatu ketidak seimbangan dalam kimia tubuhnya. Maka ia memotong rambut dengan model lurus pendek dan ia belajar mengubah ekspresi wajah cantiknya agar merefleksikan seringai laki-laki. Ia bercelana jeans , kaos oblong, dan membuang anting- anting yang dibelikan ibunya. Guru privat itu memperkenalkan dengan lembut notasi do, mi, sol, si dalam lintasan empat oktaf dan memperlihatkan posisi jari-jemari pada setiap notasi itu sebagai dasar bagi Flo untuk berlatih fingering . Flo menguap lagi... 40 Laskar Pelangi
Bab 7 Zoom Out TAK disangsikan, jika di- zoom out , kampung kami adalah kampung terkaya di Indonesia. Inilah kampung tambang yang menghasilkan timah dengan harga segenggam lebih mahal puluhan kali lipat dibanding segantang padi. Triliunan rupiah aset tertanam di sana, miliaran rupiah uang berputar sangat cepat seperti putaran mesin parut, dan miliaran dolar devisa mengalir deras seperti kawanan tikus terpanggil pemain seruling ajaib Der Rattenfanger von Hameln . Namun jika di- zoom in , kekayaan itu terperangkap di satu tempat, ia tertimbun di dalam batas tembok-tembok tinggi Gedong. Hanya beberapa jengkal di luar lingkaran tembok tersaji pemandangan kontras seperti langit dan bumi. Berlebihan jika disebut daerah kumuh tapi tak keliru jika diumpamakan kota yang dilanda gerhana berkepanjangan sejakera pencerahan revolusi industri. Di sana, di luar lingkar tembok Gedong hidup komunitas Melayu Belitong yang jika belum punya enam anak belum berhenti beranak pinak. Mereka menyalahkan pemerintah karena tidak menyediakan hiburan yang memadai sehingga jika malam tiba mereka tak punya kegiatan lain selain membuat anak-anak itu. 41 Laskar Pelangi
Di luar tembok feodal tadi berdirilah rumah-rumah kami, beberapa sekolah negeri, dan satu sekolah kampung Muhammadiyah. Tak ada orang kaya di sana, yang ada hanya kerumunan toko miskin di pasar tradisional dan rumah-rumah panggung yang renta dalam berbagai ukuran. Rumah-rumah asli Melayu ini sudah ditinggalkan zaman keemasannya. Pemiliknya tak ingin merubuhkannya karena tak ingin berpisah dengan kenangan masa jaya, atau karena tak punya uang. Di antara rumah panggung itu berdesak-desakan kantor polisi, gudang-gudang logistik PN, kantor telepon, toapekong, kantor camat, gardu listrik, KUA, masjid, kantor pos, bangunan pemerintah—yang dibuat tanpa perencanaan yang masuk akal sehingga menjadi bangunan kosong telantar, tandon air, warung kopi, rumah gadai yang selalu dipenuhi pengunjung, dan rumah panjang suku Sawang. Komunitas Tionghoa tinggal di bangunan permanen yang juga digunakan sebagai toko. Mereka tidak memiliki pekarangan. Adapun pekarangan rumah orang Melayu ditumbuhi jarak pagar, beluntas, beledu, kembang sepatu, dan semak belukaryang membosankan. Pagar kayu saling-silang di parit bersemak di mana tergenang air mati berwarna cokelat—juga sangat membosankan. Entok dan ayam kampung berkeliaran seenaknya. Kambing yang tak dijaga melalap tanaman bunga kesayangan sehingga sering menimbulkan keributan kecil. Jalan raya di kampung ini panas menggelegak dan ingar- bingar oleh suara logam yang saling beradu ketika truk-truk reyot lalu-lalang membawa berbagai peralatan teknik eksplorasi timah. Kawasan kampung ini dapat disebut sebagai urban atau perkotaan. Umumnya tujuh macam profesi tumpang tindih di sini: kuli PN sebagai mayoritas, penjaga toko, pegawai negeri, pengangguran, pegawai kantor desa, pedagang, dan pensiunan. Sepanjang waktu mereka hilir mudik dengan sepeda. Semuanya, para penduduk, kambing, entok, ayam, dan seluruh bangunan itu tampak berdebu, tak teratur, tak berseni, dan kusam. Keseharian orang pinggiran ini amat monoton. Pagi yang sunyi senyap mendadak sontak berantakan ketika kantor pusat PN Timah membunyikan sirine, pukul 7 kurang 10. Sirine itu 42 Laskar Pelangi
memekakkan telinga dalam radius puluhan kilometer seperti peringatan serangan Jepang dalam pengeboman Pearl Harbour. Demi mendengar sirine itu, dari rumah-rumah panggung, jalan-jalan kecil, sudut-sudut kampung, rumah-rumah dinas permanen berdinding papan, dan gang-gang sempit bermunculan- lah parakuli PN bertopi kuning membanjiri jalan raya. Mereka berdesakan, terburu-buru mengayuh sepeda dalam rombongan besaratau berjalan kaki, karena sepuluh menit lagi jam kerja dimulai. Jumlah mereka ribuan. Mereka menyerbu tempat kerja masing-masing: bengkel bubut, kilang minyak, gudang beras, dok kapal, dan unit-unit pencucian timah. Parakuli yang bekerja shift di kapal keruk melompat berjejal-jejal ke dalam bak truk terbuka seperti sapi yang akan digiring ke penjagalan. Tepat pukul 7 kembali dibunyikan sirene kedua tanda jam resmi masuk kerja. Lalu tiba-tiba jalan-jalan raya, kampung-kampung, dan pasar kembali lengang, sunyi senyap. Setelah pukul 7 pagi, rumah orang Melayu Belitong hanya dihuni kaum wanita, para pensiunan, dan anak-anak kecil yang belum sekolah. Kampung kembali hidup pada pukul 10, yaitu ketika wanita-wanita itu memainkan orkestra menumbuk bumbu. Suara alu yang dilantakkan ke dalam lumpang kayu bertalu-talu, sahut- menyahut dari rumah ke rumah. Pukul 12 sirine kembali berbunyi, kali ini adalah sebagai tanda istirahat. Dalam sekejap jalan raya dipenuhi parakuli yang pulang sebentar. Lapar membuat mereka tampak seperti semut-semut hitam yang sarangnya terbakar, lebih tergesa dibanding waktu mereka berangkat pagi tadi. Pukul 2 siang sirine berdengung lagi memanggil mereka bekerja. Parakuli ini akan kembali pulang ke peraduan setelah terdengar sirine yang sangat panjang tepat pukul 5 sore. Demikianlah yang berlangsung selama puluhan tahun lamanya. **** TIDAK seperti di Gedong, jika makan orang urban ini tidak mengenal appetizer sebagai perangsang selera, tak mengenal main course , ataupun dessert . Bagi mereka semuanya adalah menu 43 Laskar Pelangi
utama. Pada musim barat ketika nelayan enggan melaut, menu utama itu adalah ikangabus. Parakuli yang bernafsu makan besar sesuai dengan pembakaran kalorinya itu jika makan seluruh tubuhnya seakan tumpah ke atas meja. Agar lebih praktis tak jarang baskom kecil nasi langsung digunakan sebagai piring. Di situlah diguyur semangkuk gangan , yaitu masakan tradisional dengan bumbu kunir. Ketika makan mereka tak diiringi karya MozartHaffner No. 35 in D Major tapi diiringi rengekan anak -anaknya yang minta dibelikan baju pramuka. Setiap subuh para istri meniup siong (potongan bambu) untuk menghidupkan tumpukan kayu bakar. Asap mengepul masuk ke dalam rumah, menyembul keluar melalui celah dinding papan, dan membangunkan entok yang dipelihara di bawah rumah panggung. Asap itu membuat penghuni rumah terbatuk-batuk, namun ia amat diperlukan guna menyalakan gemuk sapi yang dibeli bulan sebelumnya dan digantungkan berjuntai- juntai seperti cucian di atas perapian. Gemuk sapi itulah sarapan mereka setiap pagi. Sebelum berangkat parakuli itu tidak minum teh Earlgrey atau cappuccino , melainkan minum air gula aren dicampur jadam untuk menimbulkan efek ten aga kerbau yang akan digunakan sepanjang hari. Apabila persediaan gemuk sapi menipis dan angin barat semakin kencang, maka menu yang disajikan sangatlah istimewa, yaitu lauk yang diasap untuk sarapan, lauk yang diasin untuk makan siang, dan lauk yang dipepes untuk makan malam, seluruhnya terbuat dari ikangabus. DI luar lingkungan urban, berpencar menuju dua arah besaradalah wilayah rural atau pedesaan. Daerah ini memanjang dalam jarak puluhan kilometer menuju ke barat ibu kota Kabupaten Tanjong Pandan. Sebaliknya, ke arah selatan akan menelusuri jalur ke pedalaman. Jalur ini berangsur-angsur berubah dari aspal menjadi jalan batu merah dan lama-kelamaan menjadi jalan tanah setapak yang berakhir di laut. Di sepanjang jalur pedesaan rumah penduduk berserakan, berhadap-hadapan dipisahkan oleh jalan raya. Dulu nenek moyang 44 Laskar Pelangi
mereka berladang di hutan. Belanda menggiring mereka ke pinggir jalan raya, agar mudah dikendalikan tentu saja. Orang-orang pedesaan ini hidup bersahaja, umumnya berkebun, mengambil hasil hutan, dan mendapat bonus musiman dari siklus buah-buahan, lebah madu, dan ikan air tawar. Mereka mendiami tanah ulayat dan di belakang rumah mereka terhampar ribuan hektar tanah tak bertuan, padang sabana, rawa-rawa layaknya laboratorium alam yang lengkap, dan aliran air bening yang belum tercemar. Kekuatan ekonomi Belitong dipimpin oleh orang staf PN dan para cukong swasta yang mengerjakan setiap konsesi eksploitasi timah. Mereka menempati strata tertinggi dalam lapisan yang sangat tipis. Kelas menengah tak ada, oh atau mungkin juga ada, yaitu para camat, para kepala dinas dan pejabat-pejabat publik yang korupsi kecil- kecilan, dan aparat pen egak hukum yang mendapat uang dari menggertaki cukong- cukong itu. Sisanya berada di lapisan terendah, jumlahnya banyak dan perbedaannya amat mencolok dibanding kelas di atasnya. Mereka adalah para pegawai kantor desa, karyawan rendahan PN, pencari madu dan nira, para pemain organ tunggal, semua orang Sawang, semua orang Tionghoa kebun, semua orang Melayu yang hidup di pesisir, para tenaga honorer Pemda, dan semua guru dan kepala sekolah—baik sekolah negeri maupun sekolah kampung—kecuali guru dan kepala sekolah PN. 45 Laskar Pelangi
Bab 8 Center of Excellence SEKOLAH-SEKOLAH PN Timah, yaitu TK, SD, dan SMP PN berada dalam kawasan Gedong. Sekolah-sekolah ini berdiri megah di bawah naungan Aghatis berusia ratusan tahun dan dikelilingi pagar besi tinggi berulir melambangkan kedisiplinan dan mutu tinggi pendidikan. Sekolah PN merupakan center of excellence atau tempat bagi semua hal yang terbaik. Sekolah ini demikian kaya raya karena didukung sepenuhnya oleh PN Timah, sebuah korporasi yang kelebihan duit. Institusi pendidikan yang sangat modern ini lebih tepat disebut percontohan bagaimana seharusnya generasi muda dibina. Gedung-gedung sekolah PN didesain dengan arsitektur yang tak kalah indahnya dengan rumah bergaya Victoria di sekitarnya. Ruangan kelasnya dicat warna-warni dengan tempelangambar kartun yang edukatif, poster operasi dasar matematika, tabel pemetaan unsur kimia, peta dunia, jam dinding, termometer, foto para ilmuwan dan penjelajah yang memberi inspirasi, dan ada kapstok topi. Di setiap kelas ada patung anatomi tubuh yang lengkap, globe yang besar, white board , dan alat peraga konstelasi planet-planet. 46 Laskar Pelangi
Di dalam kelas-kelas itu puluhan siswa brilian bersaing ketat dalam standar mutu yang sanggat tinggi. Sekolah-sekolah ini memiliki perpustakaan, kantin, guru BP, laboratorium, perlengkapan kesenian, kegiatan ekstra kurikuler yang bermutu, fasilitas hiburan, dan sarana olahraga —termasuk sebuah kolam renang yang masih disebut dalam bahasa Belanda: zwembad. Di depan pintu masuk kolam renang ini tentu saja terpampang peringatan tegas “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”. Di setiap kelas ada kotak P3K berisi obat-obat pertolongan pertama. Kalau ada siswanya yang sakit maka ia akan angsung mendapatkan pertolongan cepat secara profesional atau segera dijemput oleh mobil ambulans yang meraung-raung. Mereka memiliki petugas-petugas kebersihan khusus, guru- guru yang bergaji mahal, dan para penjaga sekolah yang berseragam seperti polisi lalu lintas dan selalu meniup-niup peluit. Tali merah bergulung-gulung keren sekali di bahu seragamnya itu. “Jumlah gurunya banyak.. Demikian ujar Bang Amran Isnaini bin Muntazis Ilham—yang pernah sekolah di sana—persis pada malam sebelum esoknya aku masuk pertama kali di SD Muhammadiyah itu. Aku termenung. “Setiap pelajaran ada gurunya masing-masing, walaupun kau baru kelas satu.” Maka pada malam itu aku tak bsia tidurakibat pusing menghitung berapa banyak jumlah guru di sekolah PN, tentu saja juga selain karena rasa senang akan masuk sekolah besok. Murid PN umumnya anak-anak orang luar Belitong yang bapaknya menjadi petinggi di PN. Sekolah ini juga menerima anak kampung seperti Bang Amran, tapi tentu saja yang orangtuanya sudah menjadi orang staf. Mereka semua bersih-bersih, rapi, kaya, necis, dan pintar-pintar luar biasa. Mereka selalu mengharumkan nama Belitong dalam lomba-lomba kecerdasan, bahkan sampai tingkat nasional. Sekolah PN sering dikunjungi para pejabat, pengawas sekolah, atau sekolah lain untuk melakukan semacam benchmarking melihat bagaimana seharusnya ilmu pengetahuan 47 Laskar Pelangi
ditransfer dan bagaimana anak-anak kecil dididik secara ilmiah. Pendaftaran hari pertama di sekolah PN adalah sebuah perayaan penuh sukacita. Puluhan mobil mewah berder et di depan sekolah dan ratusan anak orang kaya mendaftar. Ada bazar dan pertunjukan seni para siswa. Setiap kelas bisa menampung hampir sebanyak 40 siswa dan paling tidak ada 4 kelas untuk setiap tingkat. SD PN tidak akan membagi satu pun siswanya kepada sekolah-sekolah lain yang kekurangan murid karena sekolah itu memiliki sumber daya yang melimpah ruah untuk mengakomodasi berapapun jumlah siswa baru. Lebih dari itu, bersekolah di PN adalah sebuah kehormatan, hingga tak seorang pun yang berhak sekolah di situ sudi dilungsurkan ke sekolah lain. Ketika mendaftar badan mereka langsung diukur untuk tiga macam seragam harian dan dua macam pakaian olah raga. Mereka juga langsung mendapat kartu perpustakaan dan bertumpuk- tumpuk buku acuan wajib. Seragamnya untuk hari Senin adalah baju biru bermotif bunga rambat yang indah. Sepatu yang dikenakan berhak dan berwarna hitam mengilat. Sangat gagah ketika ber-marching band melintasi kampung. Melihat mereka aku segera teringat pada sekawanan anak kecil yang lucu, putih, dan bersayap, yang turun dari awan—seperti yang biasa kita lihat pada gambar-gambar buku komik. Setiap pagi para murid PN dijemput oleh bus-bus sekolah ber warna biru. Kepala sekolahnya adalah seorang pejabat penting, Ibu Frischa namanya. Caranya ber- make up jelas memperlihatkan dirinya sedang bertempur mati-matian melawan usia dan tampak jelas pula, dalam pertempuran itu, beliau telah kalah. Ia seorang wanita keras yang terpelajar, progresif, ambisius, dan sering habis- habisan menghina sekolah kampung. Gerak geriknya diatur sedemikian rupa sebagai penegasan kelas sosialnya. Di dekatnya siapa pun akan merasa terintimidasi. Kalau sempat berbicara dengan beliau, maka ia sama seperti orang Melayu yang baru belajar memasak, bumbunya cukup tiga macam: pembicaraan tentang fasilitas- fasilitas sekolah PN, anggaran ekstrakurikuler jutaan rupiah, dan tentang murid-muridnya yang telah menajdi dokter, insinyur, ahli ekonomi, pengusaha, dan orang-orang sukses di kota atau bahkan di luar negeri. Bagi kami yang waktu itu masih kecil, 48 Laskar Pelangi
masih berpandangan hitam putih, beliau adalah seorang tokoh antagonis. Yang dimaksud dengan sekolah kampung tentu saja adalah perguruan Muhammadiyah dan beberapa sekolah swasta miskin lainnya di Belitong. Selain sekolah miskinitu memang terdapat pula beberapa sekolah negeri di kampung kami. Namun kondisi sekolah negeri tentu lebih baik karena mereka disokong oleh negara. Sementara sekolah kampung adalah sekolah swadaya yang kelelahan menyokong dirinya sendiri. 49 Laskar Pelangi
Bab 9 Penyakit Gila No. 5 FILICIUM decipiens biasa ditanam botanikus untuk mengundang burung. Daunnya lebat tak kenal musim. Bentuk daunnya cekung sehingga dapat menampung embun untuk burung-burung kecil minum. Dahannya pun mungil, menarik hati burung segala ukuran. Lebih dari itu, dalam jarak 50 meter dari pohon ini, di belakang sekolah kami, berdiri kekar menjulang awan sebatang pohon tua ganitri (Elaeocarpus sphaericus schum). Tingginya hampir 20 meter, dua kali lebih tinggi dari filicium . Konfigurasi ini menguntungkan bagi burung-burung kecil cantik nan aduhai yang diciptakan untuk selalu menjaga jarak dengan manusia (sepertinya setiap makhluk yang merasa dirinya cantik memang cenderung menjaga jarak), yaitu red breasted hanging parrots atau tak lain serindit Melayu. Sebelum menyerbu filicium , serindit Melayu terlebih dulu melakukan pengawasan dari dahan-dahan tinggi ganitri sambil jungkir balik seperti pemain trapeze . Melangak- longok ke sana kemari apakah ada saingan atau musuh. Buah ganitri yang biru mampu menyamarkan kehadiran mereka. Kemampuan burung ini berakrobat menyebabkan ahli ornitologi Inggris menambahkan nama hanging pada nama gaulnya itu . Jika keadaan sudah aman 50 Laskar Pelangi
kawanan ini akan menukik tajam menuju dahan-dahan filicium dan tanpa ampun, dengan paruhnya yang mampu memutuskan kawat, secepat kilat, unggas mungil rakus ini menjarah buah-buah kecil filicium dengan kepala waspada menoleh ke kiri dan kanan. Pelajaran moral nomor tiga: “Jika Anda cantik, hidup Anda tak tenang.. Seumpama suku-suku Badui di Jazirah Arab yang menggantungkan hidup pada oasis maka filicium tua yang menaungi atap kelas kami ini adalah mata air bagi kami. Hari-hari kami terorientasi pada pohon itu. Ia saksi bagi drama masa kecil kami. Di dahannya kami membuat rumah-rumahan. Di balik daunnya kami bersembunyi jika bolos pelajaran kewarganegaraan. Di batang pohonnya kami menuliskan janji setia persahabatan dan mengukir nama-nama kecil kami dengan pisau lipat. Di akarnya yang menonjol kami duduk berkeliling mendengar kisah Bu Mus tentang petualangan Hang Jebat, dan di bawah keteduhan daunnya yang rindang kami bermain lompat kodok, berlatih sandiwara Romeo dan Juliet, tertawa, menangis, bernyanyi, belajar, dan bertengkar. Setelah serindit Melayu terbang melesat pergi seperti anak panah Winetou menembus langit maka hadirlah beberapa keluarga jalak kerbau. Penampilan burung ini sangat tak istimewa. Karena tak istimewa maka tak ada yang memerhatikannya. Mereka santai saja bertamu ke haribaan dedaunan filicium , menikmati setiap gigitan buah kecilnya, buang hajat sesuka hatinya.. Bahkan ketika mulutnya penuh, mereka pun kan membersihkan paruhnya dengan menggosok-gosokkannya padakulit filicium yang seperti handuk kering. Mereka kemudian ak an turun ke tanah, buncit, penuh daging, bulat beringsut-ingsut laksana seorang MC. Tak peduli pada dunia. Sebaliknya, kami pun tak tertarik menggodanya. Interaksi kami dengan jalak kerbau adalah dingin dan individualistis. Demikian pula hubungan kami dengan burung ungkut-ungkut yang mematuki ulat di kulit filicium . Menurutku ungkut-ungkut mendapat nama lokal yang tidak adil. Bayangkan, nama bukunya adalah coppersmith barbet . Nyatanya ia tak lebih dari burung biru pucat membosankan dengan bunyi yang lebih membosankan 51 Laskar Pelangi
kut...kut...kut... namun kehadirannya sangat kami tunggu karena ia selalu mengunjungi pohon filicium sekitar pukul 10 pagi. Pada jam ini kami mendapat pelajaran kewarganegaraan yang jauh lebih membosankan. Suarakut-kut-kut persis di luar jendela kelas kami jelas lebih menghibur dibanding materi pelajaran bergaya indoktrin asi itu. Setelah ungkut-ungkut berlalu hinggaplah kawanan cinenen kelabu yang mencari serangga sisa garapan ungkut-ungkut. Tak pernah kulihat mereka hadir bersamaan karena peringai Coppersmith yang tak pernah mau kalah. Lalu silih berganti sampai menjelang sore berkunjung burung-burung madu sepah, pipit, jalak biasa, gelatik batu, dan burung matahari yang berjingkat-jingkat riang dari dahan ke dahan. Demikian harmonisnya ekosistem yang terpusat pada sebatang pohon filicium anggota familia Acacia ini. Seperti para guru yang mengabdi di bawahnya, pohon ini tak henti-hentinya menyokong kehidupan sekian banyak spesies. Padam usim hujan ia semakin semarak. Puluhan jenis kupu-kupu, belalang sembah, bunglon, lintah, jamur telur beracun, kumbang, capung, ulat bulu, dan ular daun saling berebutan tempat. Drama, opera, dan orkestra yang manggung di dahan-dahan filicium sepanjang hari tak kalah seru dengan panggung sandiwara yang dilakoni sepuluh homo sapiens di sebuah kelas di bawahnya. Seperti episode pagi ini misalnya. “Aku mau ikut ke pasar, Cai,” Syahdan memohon kepada Kucai, ketika kami dibagi kelompok dalam pelajaran pekerjaan tangan dan harus membli kertas kajang di pasar. “Tapi sandal dan bajuku buruk begini”, katanya lagi dengan polos dan tahu diri sambil melipat karung kecampang yang dipakainya sebagai tas sekolah. “Jangan kau bikin malu aku, Dan, apa kata anak- anak SD PN nanti?” jawab Kucai sok gengsi padahal satu pun ia tak kenal anak- anak kaya itu. Mengesankan dirinya kenal dengan anak-anak 52 Laskar Pelangi
sekolah PN dikiranya mampu menaikkan martabatnya di mata kami. Maka sepatuku yang seperti sepatu bola itu kupinjamkan padanya. Borek rela menukar dulu bajunya dengan baju Syahdan. Lalu Syahdan pun, yang memang berpembawaan ceria, kali ini terlihat sangat gembira. Ia tak peduli kalau baju Borek kebesaran dan sebenarnya tak lebih bagus dari bajunya. Ada pula kemungkinan Borek kurapan, aku pernah melihat kurap itu ketika kami ramai-ramai mandi di dam tempo hari. Seperti Lintang, Syahdan yang miskin juga anak seorang nelayan. Tapi bukan maksudku mencela dia, karena kenyataannya secara ekonomi kami, sepuluh kawan sekelas ini, memang semuanya orang susah. Ayahku, contohnya, hanya pegawai rendahan di PN Timah. Beliau bekerja selama 25 tahun mencedok tailing , yaitu material buangan dalam instalasi pencucian timah yang disebut wasserij . Selain bergaji rendah, beliau juga rentanpada risiko kontaminasi radio aktif dari monazite dan senotim. Penghasilan ayahku lebih rendah dibandingkan penghasilan ayah Syahdan yang bekerja di bagan dan gudang kopra, penghasilan sampingan Syahdan sendiri sebagai tukang dempul perahu, serta ibunya yang menggerus pohon karet jika digabungkan sekaligus. Masalahnya di mata Syahdan, gedung sekolah, bagan ikan, dan gudang kopra tempat kelapa-kelapa busuk itu bersemedi adalah sama saja. Ia tidak punya sense of fashion sama sekali dan di lingkungannya tidak ada yang mengingatkannya bahwa sekolah berbeda dengan keramba. Sebangku dengan Syahdan adalah A Kiong, sebuah anomali. Tak tahu apa yang merasuki kepala bapaknya, --yaitu A Liong, seorang Kong Hu Cu sejati,-- waktu mendaftarkan anak laki-laki satu-satunya itu ke sekolah Islam puritan dan miskinini. Mungkin karena keluarga Hokian itu, yang menghidupi keluarga dari sebidang kebun sawi, juga amat miskin. Tapi jika melihat A Kiong, siapa pun akan maklum kenapa nasibnya berakhir di SD kampung ini. Ia memang memiliki penampilan akan ditolak di mana-mana. Wajahnya seperti baru 53 Laskar Pelangi
keluar dari bengkel ketok magic , alias menyerupai Frankenstein. Mukanya lbar dan berbentuk kotak, rambutnya serupa landak, matanya tertarik ke atas seperti sebilah pedang dan ia hampir tidak punya alis. Seluruh giginya tonggos dan hanya tinggal setengah akibat digerogoti phyrite Dan markacite dari air minum. Guru mana pun yang melihat wajahnya akan tertekan jiwanya, membayangkan betapa susahnya menjejalkan ilmu ke dalam kepala aluminiumnya itu. Dia sangat naif dan tak peduli seperti jalak kerbau. Jika kitam engatakan bahwa dunia akan kiamat besok maka ia pasti akan bergegas pulang untuk menjual satu-satunya ayam yang ia miliki, bahkan meskipun sang ayam sedang mengeram. Dunia baginya hitam putih dan hidupadalah sekeping jembatan papan lurus yang harus dititi. Namun, meskipun wajahnya horor, hatinya baik luar biasa. Ia penolong dan ramah, kecuali pada Sahara. Tapi tak dinyana, sekian lama waktu berlalu, rupanya kepala kalengnya cepat juga menangkap ilmu. Justru pria beraut manis manja yang duduk di depannya dan berpenampilan layaknya orangpintar serta selalu mengangguk-angguk kalau menerima pelajaran, ternyata lemot bukan main, namanya Kucai. Kucai sedikit tak beruntung. Kekurangan gizi yang parah ketika kecil mungkin menyebabkan ia menderita miopia alias rabun jauh. Selian itu pandangan matanya tidak fokus, melenceng sekitar 20 derajat. Mak a jika ia memandang lurus ke depan artinya yang ia lihat adalah ben da di samping benda yang ada persis di depannya dan demikian sebaliknya, sehingga saat berbicara dengan seseorang ia tidak memandang lawan bicaranya tapi ia menoleh ke samping. Namun, Kucai adalah orang paling optimis yang pernah aku jumpai. Kekurangannya secara fisik tak sedikit pun membuatnya minder. Sebaliknya, ia memiliki kepribadian populis, oportunis, bermulut besar, banyak teori, dan sok tahu. Kucai memiliki Network yang luas. Ia pintar bermain kata- kata. Kalau hanya perkara perselisihan pen eng sepeda dengan aparat desa, informasi di mana bisa menjual beras jatah PN, atau bagaimana cara mendapatkan karcis pasar malam separuh harga, serahkan saja padanya, ia bisa memberi solusi total. Kelemahannya 54 Laskar Pelangi
adalah nilai-nilai ulangannya tidak pernah melampaui angka enam karena ia termasuk murid yang agak kurang pintar, bodoh yang diperhalus. Maka jika digabungkan sifat populis, sok tahu, dan oportunis dengan otaknya yang lemot Kucai memiliki semua kualitas untuk menjadi seorang politisi. Kenyataannya memang begitu. Seperti kebanyakan politisi jika ia bicara tatapan matanya dan gayanya sangat meyakinkan walaupun dungunya minta ampun. Kualitas kepolitisiannya itu mungkin menurun dari bapaknya. Beliau adalah seorang pensiunan tukang bagi beras di PN Timah dan telah bertahun-tahun menjabat sebagai ketua Badan Amil masjid kampung. Kucai juga bertahun-tahun menjadi ketua kelas kami namun bagi kami ketua kelas adalah jabatan yang paling tidak men yenangkan. Jabatan itu menyebalkan antara lain karena harus mengingatkan anggota kelas agar jangan berisik padahal diri sendiri tak bisa diam. Ini men yebabkan tak ada dari kami yang ingin menjadi ketua kelas, apalagi kelas kami ini sudah terkenal susah dikendalikan. Berulang kali Kucai menolak diangkat kembali menduduki jabatan itu, namun setiap kali Bu Mus mengingatkan betapa mulianya menjadi seorang pemimpin, Kucai pun luluh dan dengan terpaksa bersedia menjabat lagi. Suatu hari dalam pelajaran bdui pekerti kemuhamadiyahan, Bu Mus menjelaskan tentang karakter yang dituntut Islam dari seorang amir. Amir dapat berarti seorang pemimpin. Beliau menyitir perkataan Khalifah Umar bin Khatab. “Barangsiapa yang kami tunjuk sebagai amir dan telah kami tetapkan gajinya untuk itu, maka apa pun yang ia terima selain gajinya itu adalah penipuan!. Rupanya Bu Mus geram dengan korupsi yang merajalela di negeri ini dan beliau menyambung dengan lan tang. “Kata-kata itu mengajarkan arti penting memegang amanah sebagai pemimpin dan Al-Qur’an mengingatkan bahwa kepemimpinan seseorang akan dipertanggung jawabkan nanti di akhirat ..... 55 Laskar Pelangi
Kami terpesona mendengarnya, namun Kucai gemetar. Mendapati dirinya sebagai seorang pemimpin kelas ia gamang pada pertanggungjawaban setelah mati nanti, apalagi sebagai seorang politisi ia menganggap bahwa menjadi ketua kelas itu tidak ada keuntungannya sama sekali. Tidak adil! Lagi pula ia sudah muak mengurusi kami. Kami terkejut karena serta-merta ia berdiri dan berdalih secara diplomatis. “Ibunda Guru, Ibunda mesti tahu bahwa anak-anak kuli ini kelakuannya seperti setan. Sama sekali tak bisa disuruh diam, terutama Borek, kalautak ada guru ulahnya ibarat pasien rumah sakit jiwa yang buas. Aku sudah tak tahan, Ibunda, aku menuntut pemungutan suara yang demokratis untuk memilih ketua kelas baru. Aku juga tak sanggup mempertanggung jawabkan kepemimpinanku di padang Masyar nanti, anak-anak kumal ini yang tak bisa diatur ini hanya akan memberatkan hisabku!. Kucai tampak sangat emosional. Tangannya menunjuk-nunjuk ke atas dan napasnya tersengal setelah menghamburkan unek-unek yang mungkin telah dipendamnya bertahun-tahun. Ia menatap Bu Mus dengan mata nanar tapi pandangannya ke arah gambar R.H. Oma Irama Hujan Duit. Kami semua menahan tawa melihat pemandangan itu tapi Kucai sedang sangat serius, kami tak ingin melukai hatinya. Bu Mus juga terkejut. Tak pernah sebelumnya beliau menerima tanggapan selugas itu dari muridnya, tapi beliau meklum pada beban yang dipikul Kucai. Beliau ingin bersikap seimbang maka beliau segera menyuruh kami menuliskan nama ketua kelas baru yang kami inginkan di selembar kertas, melipatnya, dan menyerahkannya kepada beliau. Kami menulis pilihan kami dengan bersungguh-sungguh dan saling berahasiakan pilihan itu dengan sangat ketat. Kucai senang sekali. Wajahnya berseri-seri. Ia merasa telah mendapatkan keadilan dan menganggap bahwa bebannya sebagai ketua kelas akan segera berakhir. Suasana menjadi tegang menunggu detik-detik penghitungan suara. Kami gugup mengantisipasi siapa yang akan menjadi ketua kelas baru. 56 Laskar Pelangi
Sembilangulungan kertas telah berada dalam genggaman Bu Mus. Beliau sendiri kelihatangugup. Beliau membuka gulungan pertama. “Borek!” teriak Bu Mus. Borek pucat dan Kucai melonjak girang. Terang-terangan ia menunjukkan bahwa ia sendiri yang telah memilih Borek, kawan sebangkunya yang ia anggap pasien rumah sakit jiwa yang buas. Bu Mus melanjutkan. “Kucai!. Kali ini Borek yang melonjak dan Kucai terdiam. Kertas ketiga. “Kucai!. Kucai tersenyum pahit. Kertas keempat. “Kucai!. Kertas kelima. “Kucai!. Kucai pucat pasi. Demikian seterusnya sampai kertas kesembilan. Kucai terpuruk. Ia jengkel sekali kepada Borek yang tubuhnya menggigil menahan tawa. Ia memandang Borek dengan tajam tapi matanya mengawasi Trapani. Karena Harun tak bisa menulis maka jumlah kertas hanya sembilan tapi Bu Mus tetap menghargai hak asasi politiknya. Ketika Bu Mus mengalihkan pandangan kepada Harun, Harun mengeluarkan senyum khas dengan gigi-gigi panjgannya dan berteriak pasti. “Kucai ...!. Kucai terkulai lemas. Hari ini kami mendapat pelajaran penting tentang demokrasi, yaitu bahwa ternyata prinsip-prinsipnya 57 Laskar Pelangi
tidakefektif untuk suksesi jabatan kering. Bu Mus menghampirinya dengan lembut sambil tersenyum jenaka. “Memegang amanah sebagai pemimpin memang berat tapi jangan khawatir orang yang akan mendoakan. Tidakkah Ananda sering mendengar di berbagai upacara petugas sering mengucap doa: Ya, Allah lindungilah para pemimpin kami? Jarang sekali kita mendengar doa: Ya Allah lindungilah anak-anak buah kami ....” DUDUK di pojok sana adalah Trapani. Namanya diambil dari nama sebuah kota pantai di Sisilia. Nyatanya ia memang seelok kota pantai itu. Ia memesona seumpama bondol peking. Si rapi jali ini adalah maskot kelas kami. Seorang perfeksionis berwajah seindah rembulan. Ia tipe pria yang langsung disukai wanita melalui sekali pandang. Jambul, baju, celana, ikat pinggang, kaus kaki, dan sepatunya selalu bersih, serasi warnanya, dan licin. Ia tak bicara jika tak perlu dan jika angkat bicara ia akan menggunakan kata-kata yang dipilih dengan baik. Baunya pun harum. Ia seorang pemuda santun harapan bangsa yang memenuhi semua syarat Dasa Dharma Pramuka. Cita- citanya ingin jadi guru yang mengajar di daerah terpencil untuk memajukan pendidikan orang Melayu pedalaman, sungguh mulia. Seluruh kehidupannya seolah terinspirasi lagu Wajib Belajar karya R.N. Sutarmas. Ia sangat berbakti kepada orangtua, khususnya ibunya. Sebaliknya, ia juga diperhatikan ibunya layaknya anakemas. Mungkin karena ia satu-satunya laki-laki di antara lima saudara perempuan lainnya. Ayahnya adalah seorang operator vessel board di kantor telepon PN sekaligus tukang sirine. Meskipun rumahnya dekat dengan sekolah tapi sampai kelas tiga ia masih diantar jemput ibunya. Ibu adalah pusat gravitasi hidupnya. Trapani agak pendiam, otaknya lumayan, dan selalu menduduki peringkat ketiga. Aku sering cemburu karena aku kebajiran salam dari sepupu-sepupuku untuk disampaikan pada laki-laki muda flamboyan ini. Dia tak pernah menanggapi salam- salam itu. Di sisi lain kami juga sering jengkel pada Trapani karena setiap kali kami punya “acara”, misalnya menyangkutkan sepeda Pak Fahimi—guru kelas empat yang tak bermutu dan selalu 58 Laskar Pelangi
menggertak murid—di dahan pohongayam, Trapani harus minta izin dulu pada ibunya. Lalu ada Sahara, satu-satunya hawa di kelas kami. Dia secantik grey cheeked green , atau burung punai lenguak. Ia ramping, berjilbab, dan sedikit lebih beruntung. Bapaknya seorang Taikong, yaitu atasan para Kepala Parit, orang-orang lapangan di PN. Sifatnya yang utama: penuh perhatian dan kepala batu. Maka tak ada yang berani bikin gara-gara dengannya karena ia tak pernah segan mencakar. Jika marah ia akan mengaum dan kedua alisnya bertemu. Sahara sangat temperamental, tapi ia pintar. Peringkatnya bersaing ketat dengan Trapani. Kebalikan daira Kiong, Sahara sangat skeptis, susah diyakinkan, dan tak mudah dibaut terkesan. Sifat lain Sahara yang amat menonjol adalah kejujurannya yang luar biasa dan benar-benar menghargai kebenaran. Ia pantang berbohong. Walaupun diancam akan dicampakkan ke dalam lautan api yang berkobar- kobar, tak satu pun dusta akan keluar dari mulutnya. Musuh abadi Sahara adalah A Kiong. Mereka bertengkar hebat, berbaikan, lalu bertengkar lagi. Sepertinya mereka sengaja dipertemukan nasib untuk selalu berselisih. Mereka saling memprotes dan berbeda pendapat untuk hal-hal sepele. Sahara menganggap apa pun yang dilakukan A Kiong selalu salah, dan demikian pula sebaliknya. Kadang-kadang perseteruan mereka itu lucu dan membuka wawasan. Milsanya ketika kami berkumpul dan Trapani bercerita tentang bagusnya buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk , karya legendaris Buya Hamka. “Aku juga sudah pernah membaca buku itu, maaf aku tak suka, terlalu banyak nama dan tempat, susah aku mengingatnya.” Demikian komentara Kiong mencari penyakit. Sahara yang sangat menghargai buku tertusuk hatinya dan menyalak tanpa ampun, “Masya Allah! Dengaranak muda, mana bisa kauhargai karya sastra bermutu, nanti jika Buya menulis lagi buku berjudul Si Kancil Anak Nakal Suka Mencuri Timun barulah buku seperti itu cocok buatmu ….. Kami semua tertawa sampai berguling-guling. 59 Laskar Pelangi
A Kiong tersinggung, tapi ia kehabisan kata, maka ditelannya saja ejekan itu mentah-mentah, pahit memang. Apa boleh buat, ia tak bisa mengonter cemoohan secerdas itu. Sebaliknya, Sahara sangat lembut jika berhadapan dengan Harun. Harun adalah seorang pria santun, pendiam, dan murah senyum. Ia juga merupakan teman yang menyenangkan. Model rambutnya seperti Chairil Anwar dan pakaiannya selalu rapi. Masalah pakaian itu benar-benar diperhatikan oleh ibunya. Ia lebih kelihatan seperti pejabat kantoran di PN daripada anak sekolahan. Bagian belakang bajunya, yang disetrika dengan lipatan berpola kotak-kotak—lagi mode ketika itu—tampak serasi di punggung Harun. Harun memiliki hobi mengunyah permen asam jawa dan sama sekali tidak bisa menangkap pelajaran membaca atau menulis. Jika Bu Mus menjelaskan pelajaran, ia duduk tenang dan terus-menerus tersenyum. Pada setiap mata pelajaran, pelajaran apa pun, ia akan mengacung sekali dan menanyakan pertanyaan yang sama, setiap hari, sepanjang tahun, “Ibunda Guru, kapan kita akan libur lebaran?. “Sebentar lagi Anakku, sebentar lagi …,” jawab Bu Mus sabar, berulang-ulang, puluhan kali, sepanjang tahun, lalu Harun pun bertepuk tangan. Jika istirahat siang Sahara dan Harun duduk berdua di bawah pohon filicium . Mereka memiliki kaitan emosi yang unik, seperti persahabatan Tupai dan Kura-Kura. Harun dengan bersemangat menceritakan kucingnya yang berbelang tiga baru saja melahirkan tiga ekoranak yang semuanya berbelang tiga pada tanggal tiga kemarin. Sahara selalu sabar mendengarkan cerita itu walaupun Harun menceritakannya setiap hari, berulang-ulang, puluhan kali, sepanjang tahun, dari kelas satu SD sampai kelas tiga SMP. Sahara tetap setia mendengarkan. Jika kami naik kelas harun juga ikut naik kelas meskipun ia tak punya rapor. Pengecualian dari sistem , demikian orang-orang pintar di Jakarta menyebut kasus seperti ini. Aku sering 60 Laskar Pelangi
memandangi wajahnya lama-lama untuk menebak apa yang ada di dalam pikirannya. Dia hanya tersen yum menanggapi tingkahku. Harun adalah anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa. Pria kedelapan adalah Borek. Pada awalnya dia adalah murid biasa, kelakuan dan prestasi sekolahnya sangat biasa, rata-rata air. Tapi pertemuan tak sengajanya dengan sebuah kaleng bekas minyak penumbuh bulu yang kiranya berasal dari sebuah negeri nun jauh di Jazirah Arab sana telah mengubah total arah hidupnya. Gambar di kaleng itu memperlihatkan seorang pria bercelana dalam merah, berbadan tinggi besar, berotot kawat tulang besi, dan berbulu laksana seekor gorila jantan. Ia menemukan kaleng itu di dapur seorang pedagang kaki lima spesialis penumbuh segala jenis rambut. Sejak itu Borek tidak tertarik lagi dengan hal lain dalam hidup ini selain sesuatu yang berhubungan dengan upaya membesarkan ototnya. Karena latihan keras, ia berhasil, dan mendapat julukan Samson. Sebuah gelar ningrat yang disandangnya dengan penuh rasa bangga. Agak aneh memang, tapi paling tidak sejak usia muda Borek sudah menjadi dirinya sendiri dan sudah tau pasti ingin menjadi apa dia nanti, l.alu secara konsisten ia berusaha mencapainya. Ia melompati suatu tahap pencarian identitas yang tak jarang mengombang-ambingkan orang sampai tua. Bahkan sering sekali mereka yang tak kunjung menemukan identitas menjalani hidup sebagai orang lain. Borek lebih baik dari mereka. Samson demikian terobsesi dengan body building dan tergila- gila dengan citra cowok macho, dan pada suatu hari aku termakan hasutannya. AKU tak mengerti dari mana ia mendapat sebuah pengetahuan rahasia untuk membesarkan otot dada. “Jangan bilang siapa-siapa …!” katanya berbisik. Ia menoleh ke kiri dan kanan, seakan takut ada yang memerhatikan dan mencuri idenya. Lalu ia menarik tanganku, kami pun berlari menuju belakang sekolah, sembunyi di ruangan bekas gardu listrik. 61 Laskar Pelangi
Daridalam tasnya ia mengeluarkan sebuah bola tenis yang dibelah dua. “Kalau ingin dadamu menonjol seperti dadaku, inilah rahasianya!” Kembali ia berbisik walaupun ia tahu di sana tak mungkin ada siapa-siapa. Agaknya bola tenis itu mengandung sebuah keajaiban. “Pasti sebuah penemuan yang hebat, rupanya bola tenis inilah rahasia keindahan tubuhnya,” pikirku. Tapi akan diapakan aku ini? “Buka bajumu!” perintahnya. “Biar kujadikan kau pria sejati pujaan kaum Hawa….” Wajahnya menunjukkan bahwa ia tak habis pikir mengapa semua laki-laki di lua sana tidak melakukan metode praktisnya ini, jalan pintas menuju kesempurnaan penampilan seorang lelaki. Sesungguhnya aku ragu tapi tak punya pilihan lain. Pintu gardu sudah ditutup. “Cepatlah!. Aku semakin ragu. Namun, belum sempat aku berpikir jauh tiba-tiba ia merangsek maju ke arahku dan dengan keras menekankan bola tenis itu ke dadaku. Aku terjajar ke belakang sampai hampir jatuh. Aku tak berdaya. Dengan leluasa dan sekuat tenaga ia membenamkan benda sialan itu ke kulit dadaku karena sekarang punggungku terhalang oleh tumpukan balok. Badannya jauh lebih besar, tenaganya seperti kuli, alisnya sampai bertemu karena ia mengerahkan segenap kekuatannya, membuatku meronta-ronta. Kupaham, belahan bola tenis ini dimaksudkan bekerja seperti sebuah benda aneh bertangkai kayu dan berujung karet yang dipakai orang untuk menguras lubang WC. Bola tenis itu adalah alat bekam yang akan menarik otot sehingga menonjol dan bidang, itu idenya.. Sekarang tekanan tenaga Samson dan daya isap bola tenis itu mulai bereaksi menyiksaku.Yang akurasakan adalah seluruh isi dadaku: jantung, hati, paru-paru, limpa, berikut isi perut dan darahku seperti terisap oleh bola tenis itu. Bahkan mataku rasanya akan meloncat. Aku tercekat, tak sanggup mengeluarkan kata-kata. Aku memberi isyarat agar ia melepaskan pembekam itu. 62 Laskar Pelangi
“Belum waktunya, harus seslesai hitung nama dan orangtua, baru ada khasiatnya!. Hitung nama dan orangtua? Aduh! Celaka! Hitung nama dan orangtua adalah inovasi konyol kami sendiri, yaitu mengerjakan sesuatu dalam durasi menyebut nama sekaligus nama orang tua, misalnya Trapani Ihsan Jamari bin Zainuddin Ilham Jamari atau Harun Ardhli Ramadhan bin Syamsul Hazana Ramadhan. Aku sudah tak sanggup menanggungkan benda yang menyedot dadaku ini selama menyebut nama sepuluh teman sekelas apalagi dengan nama orangtuanya. Nama orang Melayu tak pernah singkat. Samson tak peduli, ia tetap menekan belahan bola tenis itu tanpa perasaan. Ini adalah adu kekuatan antara David yang kecil dan goliath sang raksasa. Aku terperangkap seperti ikan kepuyu di dalam bubu. Aku mulai sesak napas. Tubuhku rasanya akan meledak. Isapan bola tenis itu laksana sengatan lebah tanah kuning yang paling berbisa dan tubuhku mulai terasa menciut. Kakiku mengais-ngais putus asa seperti banteng bernafsu menanduk matador. Namun, pada detik paling gawat itu rupanya Tuhan menyelamatkanku karena tanpa diduga salah satu balok di belakangku jatuh sehingga sekarang aku memiliki ruang utnuk mengambil ancang-ancang. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, kuambil seluruh tenaga terakhir yang tersisa lalu dengan sekali jurus kutendang selangkang Samson, tepat di belahan pelirnya, sekuat- kuatnya, persis pegulat Jepang Antonio Inoki menghantam Muhammad Ali di lokasi tak sopan itu pada pertarungan absurd tahun ’76. Samson melolong-lolong seperti kumbang terperangkap dalam stoples. Aku melompat kabur pontang-panting. Belahan bola tenis inovasi genius dunia body building itu pun terpental ke udara dan jatuh berguling-guling lesu di atas tumpukan jerami. Sempat aku menoleh ke belakang dan melihat Samson masih berputar-putar memegangi selangkang-nya, lalu manusia Herucles itu pun tumbang berdebam di atas tanah. Di dadaku melingkar tanda bulat merah kehitam-hitaman, sebuah jejak kemaha-tololan. 63 Laskar Pelangi
Ketika ibuku bertanya tentang tanda itu aku tak berkutik, karena pelajaran Budi Pekerti Kemuhammaddiyahan setiap Jumat pagi tak membolehkan aku membohongi orangtua, apalagi ibu. Maka dengan amat sangat terpaksa kutelanjangi kebodohan- ku sendiri. Abang-abang dan ayahku tertawa sampai menggigil dan saat itulah untuk pertama kalinya aku mendengar teori canggih ibuku tentang penyakit gila. “Gila itu ada 44 macam,” kata ibuku seperti seorang psikiater ahli sambil mengunyah gambir dan sirih. “Semakin kecil nomornya semakin parah gilanya,” beliau menggeleng-gelengkan kepalanya & menatapku seperti sedang menghadapi seorang pasien rumah sakit jiwa. “Maka orang-orang yang sudah tidak berpakaian dan lupa diri di jalan-jalan, itulah gila no.1, dan gila yang kau buat dengan bola tenis itu sudah bisa masuk no. 5. Cukup serius! Hati-hati, kalautak pakai akal sehat dalam setiap kelakuanmu maka angka itu bisa segera mengecil.. Bukan bermaksud berpolemik dengan temuan para ahli jiwa. Kami mengerti bahwa teori ini tentu saja hanya untuk mengingatkan anak-anaknya agar jangan bertindak keterlaluan. Tapi begitulah teori penyakit gila versi ibuku dan bagiku teori itu efektif. Aku malu sudah bertindak konyol. **** Aku tak yakin apakah Samson benar-benar menerapkan teknik sinting itu untuk memperbesar otot-ototnya, ataukah ia hanya ingin membodohi aku. Yang kutahu pasti adalah selama tiga hari berikutnya ia ke sekolah dengan berjalan terkangkang-kangkang seperti orang pengkor, badannya yang besar membuat ia tampak seperti kingkong. PADA sebuah pagi yang lain, pukul sepuluh, seharusnya burung kut-kut sudah datang. Tapi pagi ini senyap. Aku tersenyum sendiri 64 Laskar Pelangi
melamunkan seifat-sifat kawan sekelasku. Lalu aku memandangi guruku Bu Mus, seseorang yang bersedia menerima kami apa adanya dengan sepenuh hatinya, segenap jiwanya. Ia p aham betul kemiskinan dan posisi kami yang rentan sehingga tak pernah membuat kebijakan apa punyang mengandung implikasi biaya. Ia selalu membesarkan hati kami. Kupandangi juga sembilan teman sekelasku, orang-orang muda yang luar biasa. Sebagian mereka ke sekolah hanya memakai sandal, sementara yang bersepatu selalu tampak kebesaran sepatunya. Orangtua kami yang tak mampu memang sengaja membeli sepatu dua nomor lebih besaragar dapat dipakai dalam dua tahun ajaran. Ada keindahan yang unik dalam interaksi masing-masing sifat para sahabatku.Tersembunyi daya tarik pada cara mereka mengartikan sekstan untuk mengukur diri sendiri, menilai kemampuan orang tua, melihat arah masa depan, dan memersepsi pandangan lingkungan terhadap mereka. Kadang kala pemikiran mereka kontradiktif terhadap pendapat umum, laksana gurun bertemu pantai atau ibarat hujan ketika matahari sedang terik. Tak jarang mereka seperti kelelawar yang tersasar masuk ke kamar, menabrak-nabrak kaca ingin keluar dan frustasi. Mereka juga seperti seekor parkit yang terkurung di dalam gua, kebingungan dengan gema suaranya sendiri. Sejak kecil aku tertarik untuk menjadi pengamat kehidupan dan sekarang aku menemukan kenyataan yang memesona dalam sosiologi lingkungan kami yang ironis. Di sini ada sekolahku yang sederhana, para sahabatku yang melarat, orang Melayu yang terabaikan, juga ada orang staf dan sekolah PN mereka yang glamor, serta PN Timah yang gemah ripah dengan gedong, tembok feodalistisnya. Semua elemen itu adalah perpustakaan berjalan yang memberiku pengetahuan baru setiap hari. Pengetahuan terbesar terutama kudapat dari sekolahku, karena perguruan Muhammadiyah bukanlah center of excellence , tapi ia merupakan pusat marginalitas sehingga ia adalah sebuah universitas kehidupan. Di sekolah ini aku memahami arti keikhlasan, perjuangan, dan integritas. Lebih dari itu, perintis peruguran ini mewariskan pelajaran yang amat berharga tentang ide-ide besar 65 Laskar Pelangi
Islam yang mulia, keberanian untuk merealisasi ide itu meskipun tak putus-putus dirundung kesulitan, dan konsep menjalani hidup dengan gagasan memberi manfaat sebesar-besarnya untuk orang lain melalui pengorbanan tanpa pamrih. Maka sejak waktu virtual tercipta dalam definisi hipotesis manusia tatkala nebula mengeras dalam teori lubang hitam, di antara titik-titik kurunnya yang merentang panjang tak tahu akan berhenti sampai kapan, aku pada titik ini, di tempat ini, merasa bersyukur menjadi orang Melayu Belitong yang sempat menjadi murid Muhammadiyah. Dan sembilan teman sekelasku memberiku hari-hari yang lebih dari cukup untuk suatu ketika di masa depan nanti kuceritakan pada setiap orang bahwa masa kecilku amat bahagia. Kebahagiaan yang spesifik karena kami hidup dengan persepsi tentang kesenangan sekolah dan persahabatan yang kami terjemahkan sendiri. Kami adalah sepuluh umpan nasib dan kami seumpama kerang-kerang halus yang melekat erat satu sama lain dihantam deburan ombak ilmu. Kami seperti anak-anak bebek. Tak terpisahkan dalam susah dan senang. Induknya adalah Bu Mus. Sekali lagi kulihat wajah mereka, Harun yang murah senyum, Trapani yang rupawan, Syahdan yang lilipu, Kucai yang sok gengsi, Sahara yang ketus, A Kiong yang polos, dan pria kedelapan— yaitu Samson—yang duduk seperti patung Ganesha. Lalu siapa pria yang kesembilan dan kesepuluh? Lintang dan Mahar. Pelajaran apa yang mereka tawarkan? Mereka adalah pria- pria muda yang sangat istimewa. Memerlukan bab tersendiri untuk menceritakannya. Sampai di sini, aku sudah merasa menjadi seorang anak kecil yang sangat beruntung. 66 Laskar Pelangi
Bab 10 Bodenga PAGI ini Lintang terlambat masuk kelas. Kami tercengang mendengar ceritanya. “Aku tak bisa melintas. Seekor buaya sebesar pohon kelapa tak mau beranjak, menghalang di tengah jalan. Tak ada siapa-siapa yang bisakumintai bantuan. Aku hanya berdiri mematung, berbicara dengan diriku sendiri.. Lima belas meter. “Buaya sebesar itu tak ‘kan mampu menyerangku dalam jarak ini, ia lamban, pasti kalah langkah. Kalau cukup waktu aku dapat menghitung hubungan massa, jarak, dan tenaga, baik aku maupun buaya itu, sehingga aku dapat memperkirakan kecepatannya menyambarku dan peluangku untuk lolos. Ilmu menyebabkan aku berani maju beberapa langkah lagi. Apalagi fisikia tidak mempertimbangkan psy war , kalau aku maju ia pasti akan terintimidasi dan masuk lagi ke dalam air. “Aku maju sedikit, membunyikan lonceng sepeda, bertepuk tangan, berdeham- deham, membuat bun yi-bunyian agar dia 67 Laskar Pelangi
merayap pergi. Tapi ia bergeming. Ukurannya dan teritip yang tumbuh di punggungnya memperlihatkan dia penguasa rawa ini. Dan sekarang saatnya mandi matahari. Secara fisik dan psikologis binatang atau secara apa pun, buaya ini akan men ang. Ilmu tak berlaku di sini. “Tapi lebih dari setengah perjalalasudah, aku tak ‘kan kembali pulang gara-gara buaya bodoh ini. Tak adakata bolos dalam kamu sku, dan hari ini ada tarikh Islam, mata pelajaran yang menarik. Ingin kudebatkan kisah ayat-ayat suci yang memastikan kemenangan Byzantium tujuh tahun sebelum kejadian. Sudah siang, aku maju sedikit, aku pasti terlambat tiba di sekolah.” Dua belas meter “Aku hanya sendirian. Jika ada orang lain aku berani lebih frontal. Tahukah hewan ini pentingnya pendidikan? Aku tak berani lebih dekat. Ia menganga dan bersuara rendah, suara dari perut yang menggetarkan seperti sendawa seekor singa atau seperti suara orang menggeser sebuah lemari yang sangat besar. Aku diam menunggu. Tak ada jaluralternatif dan kekuatan jelas tak berimbang. Aku mulai frustasi. Suasana sunyi senyap. Yang ada hanya aku, seekor buaya ganas yang egois, dan intaian maut.. Kami prihatin dan tegang mendengar kisah perjuangan Lintang menuju sekolah. “Tiba-tiba dari arah samping kudengar riak air. Aku terkejut dan takut. Menyeruak di antara lumut kumpai, membelah genangan setinggi dada, seorang laki-laki seram naik dari rawa. Ia berjalan menghampiriku, kakinya bengkok seperti huruf O,” lanjutnya. “Siapa laki-laki itu Lintang?” tanya Sahara tercekat. “Bodenga ….. “Ooh …,” kami serentak menutup mulut dengan tangan. Menakutkan sekali. Tak ada yang berani berkomentar. Tegang menunggu kelanjutan cerita Lintang. “Aku lebih takut padanya daripada buaya mana pun. Pria ini tak mau dikenal orang tapi sepanjang pesisir Belitong Timur, siapa tak kenal dia? “Dia melewatiku seperti aku tak ada dan dia melangkah tanpa ragu 68 Laskar Pelangi
mendekati binatang buas itu. Dia menyentuhnya! Men epuk-nepuk lembut kulitnya sambil menggumamkan sesuatu. Ganjil sekali, buaya itu seperti takluk, mengibas-ngibaskan ekornya laksana seekoranjing yang ingin mengambil hati tuannya, lalu mendadak sontak, dengan sebuah lompatan dahsyat seperti terbang reptil zaman Cretaceous itu terjun ke rawa menimbulkan suara laksana tujuh pohon kelapa tumbang sekaligus. Lintang menarik napas. “Aku terkesima dan tadi telah salah hitung. Jika binatang purba itu mengejarku maka orang-orang hanya akan menemukan sepeda reyot ini. Fisika sialan. Memprediksi perilaku hewan yang telah bertahan hidup jutaan tahun adalah tindakan bodoh nan sombong. “Dari permukaan air yang bening jelas kulihat binatang itu menggoyangkan ekor panjangnya untuk mengambil tenaga dorong sehingga badannya yang hidrodinamis menghujam mengerikan ke dasar air. “Bodenga berbalik ke arahku. Seperti selalu, ekspresinya dingin dan jelas tak menginginkan ucapan terima kasih. Kenyataannya aku tak berani menatapnya, nayliku runtuh. Dengan sekali sentak ia bisa menenggelamkanku sekaligus sepeda ini ke dalam rawa. Aku mengenal reputasi laki-laki liar ini. Tapi aku merasa beruntung karena aku telah menjadi segelintir orang yang pernah secara langsung menyaksikan kehebatan ilmu buaya Bo denga.. AKU termenung mendengar cerita Lintang. Aku memang tidak pernah menyaksikan langsung Bodenga beraksi tapi aku mengenal Bodenga lebih dari Lintang mengenalnya. Bagiku Bodenga adalah guru firasat dan semua hal yang berhubungan dengan perasaan gamang, pilu, dan sedih. Tak seorang pun ingin menjadi sahabat Bodenga. Wajahnya carut-marut, berusia empat puluhan. Ia menyelimuti dirinya dengan dahan-dahan kelapa dan tidur melingkar seperti tupai di bawah p 69 Laskar Pelangi
ohon nifah selama dua hari dua malam. Jika lapar ia terjun ke sumur tua di kantor polisi lama, menyelam, menangkap belut yang terperangkap di bawah sana dan langsung memakannya ketika masih di dalam air. Ia makhluk yang merdeka. Ia seperti angin. Ia bukan Melayu, bukan Tionghoa, dan bukan pula Sawang, bukan siapa-siapa. Tak ada yang tahu asal usulnya. Ia tak memiliki agama dan tak bsia bicara. Ia bukan pengemis bukan pula penjahat. Namanya tak terdaftar di kantor desa. Dan telinganya sudah tak bisa mendengar karena ia pernah menyelami dasar Sungai Lenggang untuk mengambil bijih-bijih timah, demikian dalam hingga telinganya mengeluarkan darah, setelah itu menjadi tuli. Bodenga kini sebatang kara. Satu-satunya ekluarga yang pernah diketahui orang adalah ayahnya yang buntung kaki kanannya. Orang bilang karena tumbal ilmu buaya. Ayahnya itu seorang dukun buaya terkenal. Serbuan Islam yang tak terbendung ke seantero kampung membuat orang menjauhi mereka, karena mereka menolak meninggalkan penyembahan buaya sebagai Tuhan. Ayahnya telah mati karena melilit tubuhnya sendiri kuat-kuat dari mata kaki sampai ke leher dengan akar jawi lalu menerjunkan diri ke Sungai Mirang. Ia sengaja mengumpankan tubuhnya pada buaya-buaya ganas di sana. Masyarakat hanya menemukan potongan kaki buntungnya. Kini Bodenga lebih banyak menghabiskan waktu memandangi aliran Sungai Mirang, sendirian sampai jauh malam. Pada suatu sore warga kampung berduyun-duyun menuju lapangan basket Sekolah Nasional. Karena baru saja ditangkap seekor buaya yang diyakini telah menyambar seorang wanita yang sedang mencuci pakaian di Manggar. Karena aku masih kecil maka aku tak dapat menembus kerumunan orang yang mengelilingi buaya itu, aku hanya dapat melihatnya dari sela-sela kaki pengunjung yang rapat berselang-seling. Mulut buaya besar itu dibuka dan disangga dengan sepotong kayu bakar. 70 Laskar Pelangi
Ketika perutnya dibelah, ditemukan rambut, baju, jam tangan, dan kalung. Saat itulah aku melihat Bodenga mendesak maju di antara pengunjung. Lalu ia bersimpuh di samping sang buaya. Wajahnya pucat pasi. Ia memberi isyarat kepada orang-orang, memohon agar berhenti mencincang binatang itu. Orang-orang mundur dan melepaskan kayu bakaryang menyangga mulut buaya tersebut. Mereka paham bahwa penganut ilmu buaya percaya jika mati mereka akan menjadi buaya. Dan mereka maklum bahwa bagi Bodenga buaya ini adalah ayahnya karena salah satu kaki buaya ini buntung. Bodenga menangis... Suaranya pedih memilukan. “Baya … Baya … Baya …,” panggilnya lirih. Beberapa orang menangis sesenggukan. Aku menyaksikan dari sela-sela kaki pengunjung air matanya mengalir membasahi pipinya yang rusak berbintik-bintik hitam. Air mataku juga mengalir tak mampu kutahan. Buaya ini satu-satunya cinta dalam hidupnya yang terbuang, dalam dunianya yang sunyi senyap. Ia mengucapkan ratapan yang tak jelas dari mulutnya yang gagu. Ia mengikat sang buaya, membawanya ke sungai, menyeret bangkai ayahnya itu sepanjang pinggiran sungai menuju ke muara. Bodenga tak pernah kembali lagi. Bodenga dalam fragmen sore itu menciptakan cetak biru rasa belas kasihan dan kesedihan di alam bawah sadarku. Mungkin aku masih terlalu kecil utnuk menyaksikan tragedi sepedih itu. Ia mewakili sesuatu yang gelap di kepalaku. Pada tahun-tahun mendatang bayangannya sering mengunjungiku. Jika aku dihadapkan pada situasi yang menyedihkan maka perlahan-lahan ia akan hadir, mewakili semua citra kepedihan di dalam otakku. Maka sore itu sesungguhnya Bodenga telah mengajariku ilmu firasat. Ia juga yang pertama kali memeprlihatkan padaku bahwa nasib bisa memperlakukan manusia dengan sangat buruk, dan cinta bisa menjadi demikian buta. Lintang memang tak memiliki pengalaman emosional dengan Bodenga seperti yang aku alami, tapi bukan baru sekali itu ia dihadang buaya dalam perjalanan ke sekolah. Dapat dikatakan tak jarang Lintang mempertaruhkan nyawa demi menempuh 71 Laskar Pelangi
pendidikan, namun tak sehari pun ia pernah bolos. Delapan puluh kilometer pulang pergi ditempuhnya dengan sepeda setiap hari. Tak pernah mengeluh. Jika kegiatan sekolah berlangsung sampai sore, ia akan tiba malam hari di rumahnya. Sering aku merasa ngeri membayangkan perjalan annya. Kesulitan itu belum termasuk jalan yang tergenang air, ban sepeda yang bocor, dan musim hujan berkepanjangan dengan petir yang menyambar-nyambar. Suatu hari rantai sepedanya putus dan tak bisa disambung lagi karena sudah terlalu pendek sebab terlalu sering putus, tapi ia tak menyerah. Dituntunnya sepeda itu puluhan kilometer, dan sampai di sekolah kami sudah bersiap-siapakan pulang. Saat itu adalah pelajaran seni suara dan dia begitu bahagia karena masih sempat menyan yikan lagu Padamu Negeri Di depan kelas. Kami termenung mendengarkan ia bernyanyi dengan sepenuh jiwa, tak tampak kelelahan di matanya yang berbinar jenaka. Setelah itu ia pulang dengan menuntun sepedanya lagi sejauh empat puluh kilometer. Pada musim hujan lebat yang bisa mengubah jalan menjadi sungai, menggenangi daratan dengan air setinggi dada, membuat guruh dan halilintar membabat pohon kelapa hingga tumbang bergelimpangan terbelah dua, pada musim panas yang begitu terik hingga alam memuai ingin meledak, pada musim badai yang membuat hasil laut nihil hingga berbulan-bulan semua orang tak punya uang sepeser pun, pada musim buaya berkembang biak sehingga mereka menjadi semakinganas, pada musim angin barat putting beliung, pada musim demam, pada musim sampar—sehari pun Lintang tak pernah bolos. Dulu ayahnya pernah mengira putranya itu akan takluk pada minggu-minggu pertama sekolah dan prasangka itu terbukti keliru. Hari demi hari semangat Lintang bukan semakin pudar tapi malah meroket karena ia sangat mencintai sekolah, mencintai teman- temannya, menyukai persahabatan kami yang mengasyikkan, dan mulai kecanduan pada daya tarik rahasia-rahasia ilmu. Jika tiba di rumah ia tak langsung beristirahat melainkan segera ber gabung degan anak-anak seusia di kampungnya untuk bekerja sebagai kuli kopra. Itulah penghasilan sampingan keluarganya dan juga sebagai 72 Laskar Pelangi
kompensasi terbebasnya dia dari pekerjaan di laut serta ganjaran yang ia dapat dari “kemewahan” bersekolah. Ayahnya, yang seperti orang Bushman itu, sekarang menganggap keputusan menyekolahkan Lintang adalah keputusan yang tepat, paling tidak ia senang melihat semangat anaknya menggelegak. Ia berharap suatu waktu di masa depan nanti Lintang mampu menyekolahkan lima orang adik-adiknya yang lahir setahun sekali sehingga berderet-deret rapat seperti pagar, dan lebih dari itu ia berharap Lintang dapat mengeluarkan mereka dari lingkaran kemiskinanyang telah lama mengikat mereka hingga sulit bernapas. Maka ia sekuat tenaga mendukung pendidikan Lintang dengan cara-caranya sendiri, sejauh kemampuannya. Ketika kelas satu dulu pernah Lintang menanyakan kepada ayahnya sebuah persoalan perkerjaan rumah kali-kalian sederhana dalam mata pelajaran berhitung. “Kemarilah Ayahanda … berapa empat kali empat?. Ayahnya yang buta huruf hilir mudik. Memandang jauh ke laut luas melalui jendela, lalu ketika Lintang lengah ia diam-diam menyelinap keluar melalui pintu belakang. Ia meloncat dari rumah panggungnya dan tanpa diketahui Lintang ia berlari sekencang- kencangnya menerabas ilalang. Laki-laki cemara anginitu berlari pontang- panting sederas pelanduk untuk minta bantuan orang- orang di kantor desa. Lalu secepat kilat pula ia menyelinap ke dalam rumah dan tiba-tiba sudah berada di depan Lintang. “Em … emm… empat belasss … bujangku … tak diragukan lagi empat belasss .. tak lebih tak kurang …,” jawab beliau sembari tersengal-sengal kehabisan napas tapi juga tersenyum lebar riang gembira. Lintang menatap mata ayahnya dalam-dalam, rasa ngilu menyelinap dalam hatinya yang masih belia, rasa ngilu yang mengikrarkan nazar aku harus jadi manusia pintar , karena Lintang tahu jawaban itu bukan datang dari ayahnya. Ayahnya bahkan telah salah mengutip jawaban pegawai kantor desa. Enam belas, itulah seharusnya jwaban nya, tapi yang 73 Laskar Pelangi
diingat ayahnya selalu hanya angka empat belas, yaitu jumlah nyawa yang ditanggungnya setiap hari. Setelah itu Lintang tak pernah lagi minta bantuan ayahnya. Mereka tak pernah membahas kejadian itu. Ayahnya diam-diam maklum dan mendukung Lintang dengan cara lain, yakni memberikan padanya sebuah sepeda laki bermerk Rally Robinson, made in England . Sepeda laki adalah sebutan orang Melayu untuk sepeda yang biasa dipakai kaum lelaki. Berbeda dengan sepeda bini, sepeda laki lebih tinggi, ukurannya panjang, sadelnya lebar, keriningannya lebih maskulin, dan di bagian tengahnya terdapat batang besi besar yang tersambung antara sadel dan setang. Sepeda ini adalah harta warisan keluarga turun-temurun dan benda satu- satunya yang paoling berharga di rumah mereka. Lintang menaiki sepeda itu dengan terseok-seok. Kakinya yang pendek menyebabkan ia tidak bisa duduk di sadel, melainkan di atas batang sepeda, dengan ujung-ujung jari kaki menjangkau-jangkau pedal. Ia akan beringsut-ingsut dan terlonjak-lonjak hebat di atas batangan besi itu sambil menggigit bibirnya, mengumpulkan tenaga. Demikian perjuangannya mengayuh sepeda ke pulang dan pergi ke sekolah, delapan puluh kilometer setiap hari. Ibu Lintang, seperti halnya Bu Mus dan Sahara adalah seorang N.A. Itu adalah singkatan dari Nyi Ayu, yakni sebuah gelar bangsawan kerajaan lama Belitong khusus bagi wanita dari ayah seorang K.A. atau Ki Agus. Adat istiadat menyarankan agar gelar itu diputus pada seorang wanita sehingga Lintang dan adik-adik per empuannya tak menyandang K.A. atau N.A. di depan nama-nama mereka. Meskipun begitu, tak jarang pria-pria keturunan N.A. menggunakangelar K.A., dan hal itu bukanlah persoalan karena gelar-gelar itu adalah identitas kebanggaan sebagai orang Melayu Belitong asli. Jika benar kecerdasan bersifat genetik maka kecerdasan Lintang pasti mengalir dari keturunan nenek mo yang ibunya. Meskipun buta huruf dan kurang beruntung karena waktu kecil terkena polio sehingga salah satu kakinya tak bertenaga, tapi ibu Lintang berada dalam garis langsung silsilah K.A. Cakraningrat Depati Muhammad Rahat, seseorang bangsawan cerdas anggota 74 Laskar Pelangi
keluarga Sultan Nangkup. Sultan ini adalah utusan Kerajaan Mataram yang membangun keningratan di tanah Belitong. Beliau membentuk pemerintahan dan menciptakan klan K.A. dan N.A. itu. Anak cucunya tidak diwarisi kekuasaan dan kekayaan tapi kebijakan, syariat Islam, dan kecendekiawanan. Maka Lintang sesungguhnya adalah pewaris darah orang-orang pintar masa lampau. Meskipun tak bisa membaca, ibu Lintang senang sekali melihat barisan huruf dan angka di dalam buku Lintang. Beliau tak peduli, atau tak tahu, jika melihat sebuah buku secara terbalik. Di beranda rumahnya beliau merasa takjub mengamati rangkaian kata dan terkagum-kagum bagaimana baca-tulis dapat mengubah masa dep an seseorang. Beranda itu sendiri merupakan bagian dari gubuk panggung dengan tiang-tiang tinggi untuk berjaga-jaga jika laut pasang hingga meluap jauh ke pesisir. Adapun gubuk ini merupakan bagian dari pemukiman komunitas orang Melayu Belitong yang hidup di sepanjang pesisir, mengikuti kebiasaan leluhur mereka para penggawa dan kerabat kerajaan. Oleh karena itu, dalam lingkungan Lintang banyak bersemayam keluarga- keluarga K.A. dan N. A. Gubuk itu beratap daun sagu dan berdinding lelak dari kulit pohon meranti. Apa pun yang dilakukan orang di dalam gubuk itu dapat dilihat dari luar karena dinding kulit kayu yang telah berusia puluhan tahun merekah pecah seperti lumpur musim kemarau. Ruangan di dalamnya sempit dan berbentuk memanjang dengan dua pintu di depan dan belakang. Seluruh pintu dan jendela tidak memiliki kunci, jika malam mereka ditutup dengan cara diikatkan padakusennya. Benda di dalam rumah itu ada enam macam: beberapa helai tikar lais dan bantal, sajadah dan Al-Qur’an, sebuah lemari kaca kecil yang sudah tidak ada lagi kacanya, tungku dan alat-alat dapur, tumpukan cucian, dan enam ekor kucing yang dipasangi kelintingan sehinga rumah itu bersuara gemerincing sepanjang hari. Di luar bangunan sempit memanjang tadi ada semacam pelataranyang digunakan oleh empat orang tua untuk menjalin 75 Laskar Pelangi
pukat. Bagian ini hanya ditutupi beberapa keping papan yang disandarkan saja pada dahan-dahan kapuk yang menjulur-julur, bahkan untuk memaku papan-papan itu pun keluarga ini tak punya uang. Empat orang tua itu adalah bapak dan ibu dari bapak dan ibu Lintang. Semuanya sudah sepuh dan kulit mereka keriput sehingga dapat dikumpulkan dan digenggam. Jika tidak sedang menjalin pukat, keempat orang itu duduk menekuri sebuah tampah memunguti kutu-kutu dan ulat-ulat lentik di antara bulir-bulir beras kelas tiga yang mampu mereka beli, berjam-jam lamanya karena demikian banyak kutu dan ulat pada beras buruk itu. Selain empat orang itu ikut pula dalam keluarga ini dua orang adik laki-laki ayah Lintang, yaitu seorang pria mudayang kerjanya hanya melamun saja sepanjang hari karena agak terganggu jiwanya dan seorang bujang lapuk yang tak dapat bekerja keras karena menderita burut akibat persoalan kand ung kemih. Maka ditambah lima adik perempuan Lintang, Lintang sendiri, dan kedua orangtuan ya, seluruhnya berjumlah empat belas orang. Mereka hidup bersama, berdesak-desakan di dalam rumah sempit memanjang itu. Empat orangtua yang sudah sepuh, dua adik laki-laki yang tak dapat diharapkan, semua ini membuat keempat belas itu kelangsungan hidupnya dipanggul sendiri oleh ayah Lintang. Setiap hari beliau menunggu tetangganya yang memiliki perahu atau juragan pukat harimau memintanya untuk membantu mereka di laut. Beliau tidak mendapatkan persentasi dari berapa pun hasil tangkapan, tapi memperoleh upah atas kekuatan fisiknya. Beliau adalah orang yang mencari nafkah dengan menjual tenaga. Tambahan penghasilan sesekali beliau dapat dari Lintang yang sudah bisa menjadi kuli kopra dan anak-anak perempuannya yang mengumpulkan kerang saat angin teduh musim selatan. Lintang hanya dapat belajar setelah agak larut karena rumahnya gaduh, sulit menemukan tempat kosong, dan karena harus berebut lampu minyak. Namun sekali ia memegang buku, terbanglah ia meninggalkangubuk doyong berdinding kulit itu. Belajar adalah hiburan yang membuatnya lupa pada seluruh penat dan kesulitan hidup. Buku baginya adalah obat dan sumur kehidupan yang airnya selalu memberi kekuatan baru agar ia mampu mengayuh sepeda menantang angin setiap hari. Jika 76 Laskar Pelangi
berhdapan dengan buku ia akan terisap oleh setiap kalimat ilmu yang dibacanya, ia tergoda oleh sayap-sayap kata yang diucapkan oleh para cerdik cendekia, ia melirik maksud tersembunyi dari sebuah rumus, sesuatu yang mungkin tak kasat mata bagi orang lain. Lalu pada suatu ketika, saat hari sudah jauh malam, di bawah temaram sinar lampu minyak, ditemani deburan ombak pasang, dengan wajah mungil dan matanya yang berbinar-biran, jari-jari kurus Lintang membentang lembar demi lembar buku lusuh stensilan berjudul Astronomi dan Ilmu Ukur. Dalam sekejap ia tenggelam dilamun kata- kata ajaib pembangkangan galileo Galilei terhadap kosmologi Aristoteles, ia dimabuk rasa takjub pada gagasangila para astronom zaman kuno yang terobsesi ingin mengukur berapa jarak bumi ke Andromeda dan nebula-nebula Triangulum. Lintang menahan napas ketika membaca bahwa gravitasi dapat membelokkan cahaya saat mempelajari tentang analisis spektral yang dikembangkan untuk studi bintang gemintang, dan juga saat tahu mengenai teori Edwin Hubble yang menyatakan bahwa alam hidup mengembang semakin membesar. Lintang terkesima pada bintang yang mati jutaan tahun silam dan ia terkagum-kagum pada pengembaraan benda-benda langit di sudut- sudut gelap kosmos yang mungkin hanya per nah dikunjungi oleh pemikiran-pemikiran Nicolaus Copernicus dan Isaac Newton. Ketika sampai pada Bab Ilmu Ukur ia tersenyum riang karena nalarnya demikian ringan mengikuti logika matematis pada simulasi ruang berbagai dimensi. Ia dengan cepat segera menguasai dekomposisi tetrahedral yang rumit luar biasa, aksioma arah, dan teorema Phytagorean. Semua materi ini sangat jauh melampaui tingkat usia dan pendidikannya. Ia merenungkan ilmu yang amat menarik ini. Ia melamun dalam lingkar temaram lampu minyak. Dan tepat ketika itu, dalam kesepian malam yang mencekam, lamunannya sirna karena ia terkejut menyaksikan keanehan di atas lembar- lembar buram yang dibacanya. Ia terheran-heran menyaksikan angka-angka tua yang samar di lembaran itu seakan bergerak-gerak hidup, menggeliat, berkelap-kelip, lalu menjelma menjadi kunang-kunang yang ramai beterbangan memasuki pori- pori kepalanya. Ia tak sadar bahwa saat itu arwah para pendiri 77 Laskar Pelangi
geometri sedang tersenyum padanya dan Copernicus serta Lucretius sedang duduk di sisi kiri dan kanannya. Di sebuah rumah panggung sempiot, di sebuah keluarga Melayu pedalaman yang sangat miskin, nun jauh di pinggir laut, seorang genius alami telah lahir. Esoknya di sekolah Lintang heran melihat kami yang kebingungan dengan persoalan jurusan tiga angka. “Apa, sih yang dipusingkan orang-orang kampung ini dengan arah anginitu?” Demikian suara dari dalam hatinya. Seperti juga kebodohanyang sering tak disadari, beberapa orang juga tak menyadari bahwa dirinya telah terpilih, telah ditakdirkan Tuhan untuk ditunangkan dengan ilmu. 78 Laskar Pelangi
Bab 11 Langit ketujuh KEBODOHAN berbentuk seperti asap, uapair, kabut. Dan ia beracun. Ia berasal dari sebuah tempat yang namanya tak pernah dikenal manusia. Jika ingin menemui kebodohan maka berangkatlah dari tempat di mana saja di planet biru ini dengan menggunakan tabung roket atau semacamnya, meluncur ke atas secara vertikal, jangan pernah sekali pun berhenti. Gapailah gumpalan awan dalam lapisan troposfer, lalu naiklah terus menuju stratosfer, menembus lapisan ozon, ionosfer, dan bulan-bulan di planet yang asing. Meluncurlah terus sampai ketinggian di mana gravitasi bumi sudah tak peduli. Arungi samudra bintang gemintang dalam suhu dingin yang mampu meledakkan benda padat. Lintasi hujan meteor sampai tiba di eksosfer—lapisan paling luaratmosfer dengan bentangan selebar 1.200 kilometer, dan teruslah melaju menaklukkan langit ketujuh. Kita hanya dapat menyebutnya langit ketujuh sebagai gambaran imajiner tempat tertinggi dari yang paling tinggi. Di tempat asing itu, tempat yang tak ‘kan pernah memiliki nama, di atas langit ke tujuh, di situlah kebodohan bersemanyam. Rupanya seperti kabut tipis, seperti asap cangklong, melayang-layang pelan, memabukkan .makaapabila kita tanyakan sesuatu kepada orang- 79 Laskar Pelangi
orang bodoh, mereka akan menjawab dengan merancau, menyembunyikan ketidaktahuannya dalam omongan cepat, mencari beragam alasan, atau membelokkan arah pertanyaan. Sebagaian yang lain diam terpaku, mulutnya ternganga, ia diselubungi kabut dengan tatapan mata yang kosong dan jauh. Kedua jenis reaksi ini adalah akibat keracunan asap tebal kebodohan yang mengepul di kepala mereka. Kita tak perlu men empuh ekspedisi gila-gilaan itu. Karena seluruh lapisan langit dan gugusan planit itu sesungguhnya terkonstelasi di dalam kepala kita sen diri. Apa yang ada pada pikiran kita, dalam gumpalan otak seukurangenggam, dapat menjangkau ruang seluas jagat raya. Para pemimpi seperti Nicolaus Copernicus, Battista Della Porta, dan Lippershey malah menciptakan jagat rayanya sendiri, di dalam imajinasinya, dengan sistem tata suryanya sendiri, dan Lucretius, juga seoerang pemimpi, menuliskan ilmu dalam puisi-puisi. Tempat di atas langit ketujuh, tempat kebodohan bersemanyam, adalah metafor dari suatu tempat di mana manusia tak bisa mempertanyakan zat-zat Allah. Setiap usaha mempertanyakannya hanya akan berujung dengan kesimpulan yang mempertontonkan kemahatololan sang penanya sendiri. Maka semua jangkauan akal telah berakhir di langit ketujuh tadi. Di tempat asing tersebut, barangkali Arasy, di sana kembali metafor kagungan Tuhan bertakhta. Di bawah takhta-Nya tergelar Lauhul Mahfuzh, muara dari segala cabang anak-anak sungai ilmu dan kebijakan, kitab yang telah mencatat setiap lembar daunyang akan jatuh. Ia juga menyimpan rahasia ke mana nasibakan membawa sepuluh siswa baru perguruan Muhammadiyah tahun ini. Karena takdir dan nasib termasuk dalam zat-Nya. Tuhan menakdirkan orang-orang tertentu untuk memiliki hati yang terang agar dapat memberi pencerahan pada sekelilingnya. Dan di malam yang tua dulu ketika Copernicus dan Lucretius duduk di samping Lintang, ketika angka-angka dan huruf menjelma menjadi kunang-kunang yang berkelap-kelip, saat itu Tuhan menyemaikan bijizarah klecerdasan, zarah yang jatuh dari langit dan menghantam kening Lin tang. 80 Laskar Pelangi
Sejak hari perkenalan dulu aku sudah terkagum-kagum pada Lintang. Anak pengumpul kerang ini pintar sekali. Matanya menyala-nyala memancarkan inteligensi, keingintahuan menguasai dirinya seperti orang kesurupan. Jarinya tak pernah berhenti mengacung tanda ia bisa menjawab. Kalau melipat dia paling cepat, kalau membaca dia paling hebat. Ketika kami masih gagap menjumlahkan angka-angka genap ia sudah terampil mengalikan angka-angka ganjil. Kami baru saja bisa mencongak, dia sudah pintar membagi angka desimal, menghitung akar dan menemukan pangkat, lalu, tidak hanya menggunakan, tapi juga mampu menjelaskan hubungan keduanya dalam tabel logaritma. Kelemahannya, aku tak yakin apakah hal ini bisa disebut kelemahan, adalah tulisannya yang cakarayam tak keruan, tentu karena mekanisme motorik jemarinya tak mampu mengejar pikiran nya yang berlari sederas kijang. “13 kali 6 kali 7 tambah 83 kurang 39!” tantang Bu Mus di depan kelas. Lalu kami tergopoh-gopoh membuka karet yang mengikat segenggam lidi, untuk mengambil tiga belas lidi, mengelompokkannya menjadi enam tumpukan, susah payah menjumlahkan semua tu mpukan itu, hasilnya kembali disusun menjadi tujuh kelompok, dihitung satu per satu sebagai total dua tahap perkalian, ditambah lagi 83 lidi lalu diambil 39. Otak terlalu penuh untuk mengorganisasi sinyal-sinyal agar mengambil tindakan praktis mengurangkan dulu 39 dari 83. Menyimpang sedikit dari urutan cara berpikir orang kebanyakan adalah kesalahan fatal yang akan mengacaukan ilmu hitung aljabar. Rata-rata dari kami menghabiskan waktu hampir selama 7 menit. Efektif memang, tapi tidak efisien, repot sekali. Sementara Lintang, tidak memegang sebatang lidi pun, tidak berpikir dengan cara orang kebanyakan, hanya memjamkan matanya sebentar, tak lebih dari 5 detik ia bersorak. “590!. 81 Laskar Pelangi
Tak sebiji pun meleset, meruntuhkan semangat kami yang sedang belepotan memegangi potongan lidi, bahan belum selesai dengan operasi perkalian tahap pertama. Aku jengkel tapi kagum. Waktu itu kami baru masuk hari pertama di kelas dua SD! “Superb ! Anak pesisir, superb !” puji Bu Mus. Beliau pun tergoda untuk menjangkau batas daya pikir Lintang. “18 kali 14 kali 23 tambah 11 tambah 14 kali 16 kali 7!. Kami berkecil hati, temangu-mangu menggenggami lidi, lalu kurang dari tujuh detik, tanpa membuat catatan apa pun, tanpa keraguan, tanpa ketergesa-gesaan, bahkan tanpa berkedip, Lintang berkumandang. “651.952!. “Purnama! Lintang, bulan purnama di atas Dermaga Olivir, indah sekali! Itulah jawabanmu, ke mana kau bersembunyi selama ini …?. Ibu Mus bersusah payah menahan tawanya. Ia menatap Lintang seolah telah seumur hidup mencari murid seperti ini. Ia tak mungkin tertawa lepas, agama melarang itu. Ia menggeleng- gelengkan kepalanya. Kami terpesona dan bertanya-tanya bagaimana cara Lintang melakukan semua itu. Dan inilah resepnya …. “Hafalkan luar kepala semua perkalian sesama angka ganjil, itulah yang sering menyusahkan. Hilangkan angka satuan dari perkalian dua angka puluhan karena lebih mudah mengalikan dengan angka berujung nol, kerjakan sisanya kemudian, dan jangan kekenyangan kalau makan malam, itu akan membuat telingamu tuli dan otakmu tumpul!” Polos, tapi ia telah menunjukkan kualifikasi highly cognitive complex dengan mengembangkan sendiri teknik- teknik melokalisasi kesulitan, menganalisis, dan memecahkannya. Ingat dia baru kelas dua SD dan ini adalah hari pertamanya. Selainitu ia juga telah mendemonstrasikan kualitas nalar kuantitatif level tinggi. Sekarang aku mengerti, aku sering melihatnya berkonsentrasi memandangi angka-angka. Saat itu dari keningnya 82 Laskar Pelangi
seolah terpancar seberkas sinar, mungkinitulah cahaya ilmu. Anak semuda itu telah mampu mengontemplasikan bagaimana angka- angka saling bereaksi dalam suatu operasi matematika. Kontemplasi- kontemplasi ini rupanya melahirkan resep ajaib tadi. Lintang adalah pribadi yang unik. Banyak orang merasa dirinya pin tar lalu bersikap seenaknya, congkak, tidak disiplin, dan tak punya integritas. Tapi Lintang sebaliknya. Ia tak pernah tinggi hati, karena ia merasa ilmu demikian luas untuk disombongkan dan menggali ilmu tak akan ada habis-habisnya. Meskipun rumahnya paling jauh tapi kalau datang ia paling pagi. Wajah manisnya senantiasa bersinar walaupun baju, celana, dan sandal cunghai -nya buruknya minta ampun. Namun sungguh kuasa Allah, di dalam tempurung kepalanya yang ditumbuhi rambut gimbal awut-awutan itu tersimpan cairan otak yang encer sekali. Pada setiap rangkaian kata yang ditulisnya secara acak-acakan tersirat kecemerlangan pemikiran yang gilang gemilang. Di balik tubuhnya yang tak terawat, kotor, miskin, serta berbau hangus, dia memiliki an absolutely beautiful mind . Ia adalah buah akal yang jernih, bibit genius asli, yang lahir di sebuah tempat nun jauh di pinggir laut, dari sebuah keluarga yang tak satu pun bisa membaca. Lebih dari itu, seperti dulu kesan pertama yang kutangkap darinya, ia laksana bunga meriam yang melontarkan tepung sari. Ia lucu, semarak, dan penuh vitalitas. Ia memperlihatkan bagaimana ilmu bisa menjadi begitu menarik dan ia menebarkan hawa positif sehingga kami ingin belajar keras dan berusaha menunjukkan yang terbaik. Jika kami kesulitan, ia mengajari kami dengan sabar dan selalu membesarkan hati kami. Keunggulannya tidak menimbulkan perasaan terancam bagi sekitarnya, kecemerlangannya tidak menerbitkan iri dengki, dan kehebatannya tidak sedikit pun mengisyaratkan sifat-sifat angkuh. Kami bangga dan jatuh hati padanya sebagai seorang sahabat dan sebagai seorang murid yang cerdas luar biasa. Lintang yang miskin duafa adalah mutiara, galena, kuarsa, dan topas yang paling berharga bagi kelas kami. Lintang selalu terobsesi dengan hal-hal baru, setiap informasi adalaha sumbu ilmu yang dapat meledakkan rasa ingin tahunya 83 Laskar Pelangi
kapan saja. Kejadian ini terjadi ketika kami kelas lima, pada hari ketika ia diselamatkan oleh Bodenga. “Al-Qur’an kadangkala menyebut nama tempat yang harus diterjemahkan dengan teliti ….” Demikian penjelasan Bu Mus dalam tarikh Islam, pelajaran wajib perguruan Muhammadiyah. Jangan harap naik kelas kalau mendapat angka merah untuk ajaran ini. “Misalnya negeri yang terdekat yang ditaklukkan tentara Persia pada tahun ….” “620 Masehi! Persia merebut kekaisaran Heraklius yang juga berada dalam ancaman pemberontakan Mesopotamia, Sisilia, dan Palestina. Ia juga diserbu bangsa Avar, Slavia, dan Armenia ….. Lintang memotong penuh minat, kami ternganga-nganga, Bu Mus tersenyum senang. Beliau menyampingkan ego. Tak keberatan kuliahnya dipotong. Beliau memang menciptakan atmosfer kelas seperti ini sejak awal. Memfasilitasi kecerdasan muridnya adalah yang paling penting bagi beliau. Tidak semua guru memiliki kualitas seperti ini. Bu Mus menyambung, “Negeri yang terdekat itu ….. “Byzantium! Namakuno untuk Konstantinopel, mendapat nama belakangan itu dari The Great Constantine. Tujuh tahun kemudian negeri itu merebut lagi kemerdekaannya, kemerdekaanyang diingatkan dalam kitab suci dan diingkari kaum musyrik Arab, mengapa ia disebut negeri yang terdekat Ibunda Guru? Dan mengapa kitab suci ditentang?. “Sabarlah anakku, pertanyaanmu menyangkut pernjelasan tafsir surah Ar-Ruum dan itu adalah ilmu yang telah berusia paling tidak seribu empat ratus tahun. Tafsir baru akan ktia diskusikan nanti kalau kelas dua SMP….. “Tak mau Ibunda, pagi ini ketika berangkat sekolah aku hampir diterkam buaya, maka aku tak punya waktu menunggu, jelaskan di sini, sekarang juga! ” Kami bersorak dan untuk pertama kalinya kami mengerti makna adnal ardli , yaitu tempat yang dekat atau negeri yang terdekat dalam arti harfiah dan tempat paling 84 Laskar Pelangi
rendah di bumi dalam konteks tafsir, tak lain dari Byzantium di kekaisaran Roma sebelah timur. Kami bersorak tentu bukan karena adnal ardli , apalagi Byzantium yang merdeka, tapi karena kagum dengan sikap Lintang menantang intelektualitasnya sendiri. Kami merasa beruntung menjadi saksi bagaimana seseorang tumbuh dalam evolusi inteligensi. Dan ternyata jika hati kita tulus berada di dekat orang berilmu, kita akan disinari pancaran pencerahan, karena seperti halnya kebodohan, kepintaran pun sesungguhnya demikian mudah menjalar. ORANG cerdas memahami konsekuensi setiap jawaban dan menemukan bahwa di balik sebuah jawaban tersembunyi beberapa pertanyaan baru. Pertanyaan baru tersebut memiliki pasangan sejumlah jawaban yang kembali akan membawa pertanyaan baru dalam deretan eksponensial. Sehingga mereka yang benar-benar cerdas kebanyakan rendah hati, sebab mereka gamang pada akibat dari sebuah jawaban. Konsekuensi-konsekuensi itu mereka temui dalam jalur-jalur seperti labirin, jalur yang jauh menjalar- jalar, jalur yang tak dikenal di lokus-lokus antah berantah, tiada ber ujung. Mereka mengarungi jalur pemikiran ini, tersesat di jauh di dalamnya, sendirian. Godaan-godaan besar bersemayam di dalam kepala orang- orang cerdas. Di dalamnya gaduh karena penuh dengan skeptisisme. Selesai menyerahkan tugas kepada dosen, mereka selalu merasa tidak puas, selalu merasa bisa berbuat lebih baik dari apa yang telah mereka presentasikan. Bahkan ketika mendapat nilai A plus tertinggi, merek amasih saja mengutuki dirinya sep anjang malam. Orang cerdas berdiri di dalam gelap, sehingga mereka bisa melihat sesuatu yangtak bisa dilihat orang lain. Mereka yang tak dipahami oleh lingkungannya, terperangkap dalam kegelapan itu. Semakin cerdas, semakin terkucil, semakin aneh mereka. Kita menyebut mereka: orang-orang yang sulit. Orang-orang sulit ini tak berteman, dan mereka berteriak putus asa memohon pengertyian. Ditambah sedikit saja dengan sikap introver, maka orang-orang cerdas semacam ini tak jarang berakhir di sebuah kamar dengan perabot berwarna teduh dan musik klasik yang terdengar lamat- lamat, itulah ruang terapi kejiwaan. Sebagian dari mereka amat menderita. 85 Laskar Pelangi
Sebaliknya, orang-orang yang tidak cerdas hidupnya lebih bahagia. Jiwanya sehat walafiat. Isi kepalanya damai, tenteram, sekaligu s sepi, karena tak ada apa-apa di situ, kosong. Jika ada suara memasuki telinga mereka, maka suara itu akan terpantul- pantul sendirian di dalam sebuah ruangan yang sempit, berdengung-dengung sebentar, lalu segera keluar kembali melalui mulut mereka. Jika menyerahkan tugas, mereka puas sekali karena telah berhasil memenuhi batas akhir, dan ketika mendapat nilai C, mereka tak henti-hentinya bersyukur karena telah lulus. Mereka hidup di dalam terang. Sebuah senter menyiramkan sinar tepat di atas kepala mereka dan pemikiran mereka hanya sampai pada batas lingkaran cahaya senter itu. Di luar itu adalah gelap. Mereka selalu berbicara keras-keras karena takut akan kegelapan yang mengepung mereka. Bagi sebagian orang, ketidaktahuan adalah berkah yang tak terkira. Aku pernah mengen al berbagai jenis orang cerdas. Ada orang genius yang jika menerangkan sesuatu lebih bodoh dari orang yang p aling bodoh. Semakin keras ia berusaha menjelaskan, semakin bingung kita dibuatnya. Hal ini biasanya dilakukan oleh mereka yang sangat cerdas. Ada pula yang kurang cerdas, bahkan bodoh sebenarnya, tapi kalau bicara ia terlihat paling pintar. Ada orang yang memiliki kecerdasan sesaat, kekuatan menghafal yang fotografis, namun tanpa kemampuan analisis. Ada juga yang cerdas tapi berpura-pura bodoh, dan elbih banyak lagi yang bodoh tapi berpura-pura cerdas. Namun, sahabatku Lintang memiliki hampir semua dimensi kecerdasan. Dia seperti toko serba ada kepandaian. Yang paling menonjol adalah kecerdasan spasialnya,sehingga ia sangat unggul dalam geometri multidimensional. Ia dengan cepat dapat membayangkan wajah sebuah konstruksi suatu fungsi jika digerak - gerakkan dalam variabel derajat. Ia mampu memecahkan kasus- kasus dekomposisi modern yang runyam dan mengajari kami teknik menghitung luas poligon dengan cara membongkar sisi- sisinya 86 Laskar Pelangi
sesuai Dalil Geometri Euclidian. Ingin kukatakan bahwa ini sama sekali bukan perkara mudah. Ia sering membuat permainan dan mendesain visualisasi guna menerjemahkan rumusangeometris pada tingkat kesulitan yang sangat tinggi. Tujuannya agar gampang disimulasikan sehingga kami sekelas dapat dengan mudah memahami kerumitan Teorema Kupu- Kupu atau Teorema Morley yang menyatakan bahwa pertemuan segitiga yang ditarik dari trisektor segitiga bentuk apa pun akan membentuk segitiga inti yang sama sisi. Semua itu dilengkapinya dengan bukti-bukti matematis dalam jangkauan analisis yang melibatkan kemampuan logika yang sangat tinggi. Ini juga sama sekali bukan urusan mudah, terutama untuk tingkat pendidikan serendah kami serta. Dan mengingat kopra makakuanggapapa yang dilaku kan Lintang sangat luar biasa. Lintang juga cerdas secara experiential yang membuyatnya piawai menghubungkan setiap informasi dengan konteks yang lebih luas. Dalam kaitan ini, ia memiliki kapasitas metadiscourse selayaknya orang-orang yang memang dilharikan sebagai seorang genius. Artinya adalah jika dalam pelajaran biologi kami baru mempelajari fungsi-fungsi otot sebagai subkomponen yang membentuk sistem mekanik parsial sepotong kaki maka Lintang telah memahami sistem mekanika seluruh tubuh dan ia mampu menjelaskan peran sepotong kaki itu dalam keseluruhan mekanika persendian dan otot-otot yang terintegrasi. Kecerdasannya yang lain adalah kecerdasan linguistik. Ia mudah memahami bahasa, efektif dalam berkomunikasi, memiliki nalar verbal dan logikakualitatif. Ia juga mempunyai descriptive power , yakni suatu kemampuan menggambarkan sesuatu dan mengambil contoh yang tepat. Pengalamanku dengan pelajaran bahasa Inggris di hari- hari pertama kelas 2 SMP nanti membuktikan hal itu. Saat itu aku mendapat kritikan tajam dari ayahku karena nilai bahasa Inggris yang tak kunjung membaik. Aku pun akhirnya menghadap pemegang kunci pintu ilmu filsafat untuk mendapat satu dua resep ajaib. Aku keluhkan kesulitanku memahami tense . “Kalautak salah jumlahnya sampai enam belas, dan jika ia sudah berada dalam sebuah narasi aku ekhliangan jejak dalam 87 Laskar Pelangi
konteks tense apa aku berada? Pun ketika ingin membentuk sebuah kalimat, bingung aku menentukan tense -nya. Bahasa Inggrisku tak maju-maju.. “Begini,” kata Lintang sabar menghadapi ketololanku. Ketika itu ia sedang memaku sandal cungha i -nya yang menganga seperti buaya lapar. Kupikir ia pasti mengira bahwa aku mengalami disorientasi waktu dan akan menjelaskan makna tense secara membosankan. Tapi petuahnya sungguh tak kuduga. “Memikirkan struktur dan dimensi waktu dalam sebuah bahasa asing yang baru saja kita kenal tidak lebih dari hanya akan merepotkan diri sendiri. Sadarkah kau bahasa apa pun di dunia ini, di mana pun, mulai dari bahasa Navajo yang dipakai sebagai sandi tak terpecahkan di perang dunia kedua, bahsa Gaelic yang amat langka, bahasa Melayu pesisir yang berayun-ayun, sampai bahasa Mohican yang telah punah, semuanya adalah kumpulan kalimat, dan kalimat tak lain adalah kumpulan kata=kata, paham kau sampai di sini?. Aku mengangguk, semua oarng tahu itu. Lalu ia melanjutkan, “Nah, kata apa pun, pada dasarnya adalah kata ben da, kata kerja, kata sifat, dan kata keterangan, paham? Ini bukan masalah bahasa yang sulit tapi masalah cara berpikir.. Sekarang mulai menarik. “Berangkatlah dari sana, pelajari bagaimana menggunakan kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata keterangan dalam sebuah kalimat Inggris, itu saja, Kal. Tak lebih dari itu!. Belajar kata terlebih dulu, bukan belajar bahasa, itulah inti paradigma belajar bahsa Inggris versi Lintang. Sebuah ide cemerlang yang hanya terpikirkan oleh orang- orang yang memahami prinsip-prinsip belajar behasa. Dengan paradigma ini aku mengalami kemajuan pesat, bukan hanya karena aku dapat mempelajari bahsa Inggris dengan bantuan analogi bahasa Indonesia, tapi petuahnya mampu melenyapkan sugesti kesulitan belajar bahasa asing yang umum melanda siswa-siswa daerah. 88 Laskar Pelangi
Bahwa bahasa, baik lokal maupun asing, adalah permainan kata- kata, tak lebih dari itu! Setelah aku mampu membangun konstruksiku sendiri dalam memahami kalimat- kalimat Inggris, kemudain Lintang menunjukkan cara meningkatkan kualitas tata bahasaku dengan mengenalkan teori strktur dan aturan-aturan tense . Pendekatan ini diam- diam kami sebarkan pada seluruh teman sekelas. Dan ternyata hal ini sukses besar, sehingga dapat dikatakan Lintanglah yang telah mengakhiri masa kejahiliahan bahasa Inggris di kelas kami. Mungkin kami telah belajar bahasa Inggris dengan pendekatanyang keliru, tapi cara ini efektif. Dan cara ini diajarkan oleh seseorang yang percaya bahwa setiap orang memiliki jalan yang berbeda untuk memahami bahasa. Aku kagum dengan daya pikir Lintang, dalam usia semuda itu ia mampu melihat elemen- elemen filosofis sebuah ilmu lalu jmenerjemahkannya menjadi taktik-taktik praktsi untuk menguasainya. Yang lebih istimewa, orang yang mengajariku ini bahkan tak mampu membeli buku teks wajib bahasa Inggris. Lintang memasuki suatu tahap kreatif yang melibatkan intuisi dan pengembangan pemikiran divergen yang orisinal. Ia menggali rasai ngin tahunya dan tak henti mencoba- coba. Indikasi kegeniusannya dapat dilihat dari kefasihannya dalam berbahasa numerik, yaitu ia terampil memproses sebuah pernyataan matematis mulai dari hipotesis sampai pada kesimpulan. Ia membuat penyangkalan berdasarkan teorema, bukan hanya berdasarkan pembuktian kesalahan, apalagi simulasi. Dalam usia muda dia telah memasuki area yang amat teoretis, cara berpikirnya mendobrak, mengambil risiko, tak biasa, dan menerobos. Setiap hari kami merubungnya untuk menemukan kejutan-kejutan pemikirannya. Baru naik ke kelas satu SMP, ketika kami masih pusing tujuh keliling memetakan absis dan ordinat pada produk cartesius dalam topik relasi himpunan sebagai dasar fungsi linear, Lintang telah mengutak-atik materi-materi untuk kelas yangj auh lebih tinggi di tingkat lanjutan atas bahkan di tingkat awal per guruan tinggi seperti implikasi, biimplikasi, filosofi Pascal, binomial Newton, limit, diferensial, integral, teori-teori peluang, dan vektor. Ketika kami baru 89 Laskar Pelangi
saja mengenal dasar-dasar binomial ia telah beranjak ke pengetahuan tentang aturan multinomial dan teknik eksploitasi polinomial, ia mengobrak-abrik pertidaksamaan eksponensial, mengilustrasikangrafik-grafik sinus, dan membuat pembuktian sifat matematis menggu nakan fungsi-gunsgi trigonometri dan aturan ruang tiga dimensi. Suatu waktu kami belajar sistem persamaa nlinier dan tertatih- tatih mengurai- uraikan kasusnya dengan substitusi agar dapat menemukan nilai sebuah variabel, ia bosan dan menghambur ke depan kelas, memenuhi papan tulis dengan alternatif-alternatif solusi linier, di antaranya dengan metode eliminasi Gaus-Jordan, metode Crammer, metode determinan, bahkan dengan nilai Eigen. Setelah itu Lintang mulai menggarap dan tampak sangat menguasai prinsip- prinsip penyelesaian kasus nonlinier. Ia dengan amat lancar menejlaskan persamaan multivariabel, mengeksploitasi rumus kuadrat, bahkan menyelesaikan operasi persamaan menggunakan metode matriks! Padahal dasar-dasar matriks paling tidak baru dikhotbahkan para guru pada kelas dua SMA. Yang lebih menakjubkan adalah semua pengetahuan itu ia pelajari sendiri dengan membaca bermacam-macam buku milik kepala sekolah kami jika ia mendapat giliran tugas menyapu di ruangan beliau. Ia bersimpuh di balik pintu ayun, semacam pintu koboi, menekuni angka-angka yang bicara, bahkan dalam buku-buku berbahasa Belanda. Ia memperlihatkan bakat kalkulus yang amat besar dan keahliannya tidak hanya sebatas menghitung guna menemukan solusi, tapi ia memahami filosofi operasi-operasi matematika dalam hubungannya dengan aplikasi seperti yang dipelajari para mahasiswa tingkat lanjut dalam subjek metodologi riset. Ia membuat hitunganyang iseng namun cerdas mengenai berapa waktu yang dapat dihemat atau berapa tambahan surat yang dapat diantar per hari oleh Tuan Pos jika mengubah rute antarnya. Ia membuat perkiraan ketahanan benang gelas dalam adu layangan untuk berbagai ukuran nilon berdasarkan perkiraan kekuatan angin, ukuran layangan, dan panjang benang. Rekomendasinya menyebabkan kami tak pernah terkalahkan. 90 Laskar Pelangi
Prediksinya tak pernah meleset dalam menghitung waktu kuncup, bersemi, dan mati untuk bunga red hot cat tail dengan meneliti kadar pupuk, suplai air, dan sinar matahari. Ia mengompilasi dengan cermat tabel pengamatan distribusi durasi, frekuensi dan waktu curah hujan lalu menghitung rata-rata, variansi, dan koefisien korelasi dalam rangka memperkirakan berapa kali Pak Harfan bolos karena bengek itu menunjukkan pola yang konsisten terhadap fungsi hujan dan lebih ajaib lagi Lintang mampu membuat persentase bias dugaannya. Lintang bereksperimen merumuskan metode jembatan keledainya sendiri untuk pelajaran-pelajaran hafalan. Biologi misalnya. Ia menciptyakan sebuah konfigurasi belajar metabolisme dengan merancang kelompok sistem biologis mulai dari sistem alat tubuh, pernapasan, pencernaan, gerak, sampai sistem saraf dan indra, baik untuk manusia, vertebrata, maupun avertebrata, sehingga mudah dipahami. Maka jika kita tanyakan padanya bagaiaman seekor cacing melakukan hajat ke3cilnya, siap-siap saja menerima penjelasan yang rapi, kronologis, terperinci, dan sangat cerdas mengenai cara kerja rambut getar di dalam sel-sel api, lalu dengan santai saja, seumpama seekor monyet sedang mencari kutu di punggung pacarnya, ia akan membuat analogi buang hajat cacing itu pada sistem ekskresi protozoa dengan anatomi vakuola kontraktil yang rumit itu, bahkan jika tidak distop, ia akan dengan senang hati menjelaskan fungsi-fungsi korteks, simpai bowman, medulla, lapisan malpigi, dan dermis dalam sistem ekskresi manusia. Karena bagi Lintang, melalui desain jembatan keledainya tadi, benda-benda hafalan ini dengan mudah dapat iakuasai, satu malam saja, sekali tepuk. Masih dalam pelajaran biologi, terjadi perdebatan sengit di antara kami tentang teori yang memaksakan pendapat bahwa manusia berasal dari nenek moyang semacam lutung, kami terperangah oleh argumentasi lintang: “Persoalannya adalah apakah Anda seorang religius, seorang darwinian, atau sekadar seorang oportunis? Pilihan sesungguhnya hanya antara religius dan darwinian, sebab yang tidak memilih adalah oportunis! Yaitu 91 Laskar Pelangi
mereka yang berubah-ubah sikapnya sesuai situasi mana yang akan lebih menguntungkan mereka. Lalu pilihan itu seharusnya menentukan perilaku dalam menghargai hidup ini. Jika Anda seorang darwinian, silakan berperilaku seolah tak ada tuntutan akhirat, karena bagi Anda ktia bsuci yang memaktub bahwa manusia berasal dari Nabi Adam adalah dusta. Tapi jika Anda seorang religius maka Anda tahu bahwa teori evolusi itu palsu, dan ketika Anda tak kunjung mempersiapkan diri untuk dihisab nanti dalam hidup setelah mati, maka dalam hal ini anda tak lebih dari seorang sekuler oportunis yang akan dibakar di dasar neraka!. Itulah Lintang dengan pandangannya. Pikirannya memang telah sangat jauh meninggalkan kami. Dan dengarlah itu, bicaranya lebih pintar dari bicara seluruh menteri penerangan yang pernah dimiliki republik ini. “Ayo yang lain, jangan hanya anak Tanjong keriting ini saja yang terus menjawab,” perintah Bu Mus. Biasanay setelah itu aku tergoda utnuk menjawab, agak ragu- ragu, canggung, dan kurang yakin, sehingga sering sekali salah, lalu Lintang membetulkan jawabanku, dengan semangat konstruktif penuh rasa akrab persahabatan. Lintang adalah seorang cerdas yang rendah hati dan tak pernah segan membagi ilmu. Aku belajar keras sepanjang malam, tapi tak pernah sedikit pun, sedetik pun bisa melampaui Lintang. Nilaiku sedikit lebih baik dari rata-rata kelas namun jauh tertinggal dari nilainya. Aku berada di bawah bayang-bayangnya sekian lama, sudah terlalu lama malah. Rangking duaku abadi, tak berubah sejak caturwulan pertama kelas satu SD. Abadi seperti lukisan ibu menggendong anak di bulan. Rival terberatku, musuh bebuyutanku adalah temanku sebangku, yang aku sayangi. Dapat dikatakan bahwa Bu Mus sering kewalahan mengh adapi Lintang, terutama utnuk pelajaran matematika, sehingga ia sering diminta membantu. Ketika Lintang menerangkan sebuah persoalan rumit dan membaut simbol-simbol rahasia matematika menjadi sinar yang memberi terang bagi kami, Bu Mus memerhatikan dengan seksama bukan hanya apa yang diucapkan 92 Laskar Pelangi
Lintang tapi juga pendekatannya dalam menjelaskan. Lalu beliau menggeleng-gelengkan kepalanya, komat-kamit, berbicara sendiri tak jelas seperti orang menggerendeng. Belakangan aku tahu apa yang dikomat-kamitkan beliau.; Bu Mus mengucapkan pelan-pelan kata-kata penuh kagum, “Subhanallah….Subhanallah….. “Yang paling membautku terpesona,” cerita Bu Mus pada ibuku. “Adalah kemampuannya menemukan jawaban dengan cara lain, cara yang tak pernah terpikirkan olehku,” sambungnya sambil membetulkan jilbab. “Lintang mampu menjawab sebuah pertanyaan matematika melalui paling tidak tiga cara, padahal aku hanya mengajarkan satu cara. Dan ia menunjukkan padaku bagaimaan menemukan jawaban tersebut melalui tiga cara lainnya yang tak pernah sedikit pun aku ajarkan! Logikanya luar biasa, daya pikirnya meluap-luap. Aku sudah tak bisa lagi mengatasi anak pesisir ini Ibunda Guru.. Bu Mus tampak bingung sekaligus bangga memiliki murid sepandai itu. Sebaliknya, ibuku, seperti biasa, sangat tertarik pada hal-hal yang aneh. “Ceritakan lagi padaku kehebatannya yang lain,” pancing beliau memanasi Bu Mus sambil memajukan posisi duduknya, mendekatkan keminangan tempat cupu-cupu gambir dan kapur, lalu meludahkan sirih melalui jendela rumah panggung kami. Dan tak ada yang lebih membahagiakan seorang guru selain mendapatkan seorang murid yang pintar. Kecemerlangan Lintang membawa gairah segar di sekolah tua kami yang mulai kehabisan napas, megap-megap melawan paradigma materialisme sistem pendidikan zaman baru. Sekarang suasana belajar mengajar di sekolah kami menjadi berbeda karena kehadiran Lintang, hanya tinggal menunggu kesempatan saja baginya untuk mengharumkan nama perguruan Muhammadiyah. Lintang dengan segala daya tarik kecerdasannya daalah gemerincing tamborin yang nakal, bernada miring, dalam alunan stambul gaya lama. Dialah mantar dalam rima-rima gurindam yang itu-itu saja. Dia ikan lele yang menggeliat dalam timbunan lumpur berku kemarau sekolah kami yang telah 93 Laskar Pelangi
bosan dihina. Tubuhnya yang kurus menjadi siku-siku yang mengerakkan kembali tiang utama perguruan Muhammadiyah yang bahkan belum tentu tahun depan mendapatkan murid baru. Dewan guru tak henti-hentinya membicarakan nilai rapor Lintang. Angka sembilan berjejer mulai dari pelajaran Aqaid (akidah), Al-Qur’an, fikih, tarikh Islam, budi pekerti, Kemuhammadiyahan, pendidikan kewarganegaraan, ilmu bumi, dan bahasa Inggris. Untuk biologi, matematika dan semua variannya: ilmu ukur, aritmatika, aljabar, dan ilmu pengetahuan alam bahkan Bu Mus berani bertanggung jawab untuk memberi nilai sempurna: sepuluh. Kehebatan Lintang tak terbendung, kepiawaiannya mulai kondang ke seantero kampung. Dan yang lebih mendebarkan, karena reputasinya itu, kami dipertimbangkan untuk diundang mengikuti lomba kecerdasan antarsekolah yang daat menaikkangengsi sekolah setinggi rasi bintang Auriga. Sudah demik ian lama kami tak diundang dalam acara bergengsi ini karena prestasi sekolah selalu di bawah rata-rata. Nilai terendah di rapor Lintang, yaitu delapan, hanya pada mata pelajaran kesenian. Walaupun sudah berusaha sekuat tenaga dan mengerahkan segenap daya pikir dia tak mampu mencapai angka sembilan karena tak memapu bersaing dengan seorang pria muda berpenampilan eksentrik, bertubuh ceking, dan berwajah tampan yang duduk di pojok sana sebangku dengan Trapani. Nilai sembilan untuk pelajaran kesenian selalu milik pria itu, namanya Mahar. 94 Laskar Pelangi
BAB 12 MAHAR BAKAT laksana Area 51 di Gurun Nevada, tempat di mana mayat-mayat alien disembunyikan: misterius! Jika setiap orang tahu dengan pasti apa bakatnya maka itu adalah utopia. Sayangnya utopia tak ada dalam dunia nyata. Bakat tidak seperti alergi, dan ia tidak otomatis timbul seperti jerawat, tapi dalam banyak kejadian ia harus ditemukan. Banyak orang yang berusaha mati-matian menemukan bakatnya dan banyak pula yang menunggu seumur hidup agar bakatnya atau dirinya ditemukan, tap i lebih banyak lagi yang merasa dirinya berbakat padahal tidak. Bakat menghinggapi orang tanpa diundang. Bakat main bola seperti Van Basten mungkin diam- diam dimiliki sorang tukang taksir di kantor pegadaian di Tanjong Pandan. Seorang Karl Marx yang lain bisa saja sekarang sedang duduk menjaga wartel di sebuah kampus di Bandung. Seorang kondektur ternyata adalah John Denver, seorang salesman ternyata berpotensi menjadi penembak jitu, atau salah seorang tukang nasi bebek di Surabaya ternyata berbakat menjadi komposer besar seperti Zuybin Mehta Namun, mereka sendiri tak pernah mengetahui hal itu. Si tukang taksir terlalu sibuk melayani orang Belitong yang kehabisan uang sehingga tak punya waktu main bola, 95 Laskar Pelangi
sang penjaga wartel sepanjang hari hanya duduk memandangi struk yang menjulur- julur dari printer Epson yang bunyinya merisaukan seperti lidah wanita dalam film Perempuan Berambut Api , kondektur dan salesman setiap hari mengukur jalan, dan lingkungan si tukang nasi bebek sama sekali jauh dari sesuatu yang berhubungan dengan musik klasik. Ia hanya tahu bahwa jika mendengarkan orkestra telinganya mampu melacak nada demi nada yang berdenting dari setiap instrumen dan hatinya bergetar hebat. Sayangnya sepanjang hidupnya ia tak pernah mendapat kesempatan sekali pun memegang alat musik, dan tak juga pernah ada seorang pun yang menemukannya. Maka ketika ia mati, bakat besar gilang ge3milang pun ikut terkubur bersamanya. Seperti mutiara yang tertelan kerang, tak pern ah seorang pun melihat kilaunya Karena bakat sering kali harus ditemukan, maka ada orang yang berprofesi sebagai pemandu bakat. Di Amerika orang-orang seperti ini khusus berkeliling dari satu negara bagian ke negara baigan lain untuk mencari pemain baseball potensial. Jika—satu di antara sejuta kemungkinan—orang ini tak pernah menghampiri seseorang yang sesungguhnya berbakat, maka hanya nasib yang menentukan apakah bakat seseorang tersebut pernah ditemukan atau tidak, pelajaran moral nomor empat: Ternyata nasib yang juga sangat misterius itu adalah seorang pemandu bakat! Hal ini paling tidak dibuktikan oelh Forest Gump, jika ia tidak mendaftar menjadi tentara dan jika ia tidak mengikuti kegiatan ekstraku rikuler di barak pada suatu sore maka mungkinia tak pernah tahu kalau ia sangat berbakat bermain tenis meja. Ritchie Blackmore juga begitu, kalau orang tuanya membelikan papan catur untuk hadiah ulang tahun mungkinia tak pernah tahu kalau dia berbakat menjadi seorang gitaris classic rock . Dan di siang yang panas menggelegak ini, ketika pelajaran seni suara, di salah satu sudut kumuh perguran miskin Muhammadiyah, kami menjadi saksi bagaimana nasib menemukan bakat Mahar. Mulanya Bu Mus meminta A Kiong maju ke depan kelas untuk menyanyikan sebuah lagu, dan seperti diduga—hal ini sudah delapan belas kali terjadi—ia akan membawakan lagu yang sama yaitu Berkibarlah Benderaku karya Ibu Sud. 96 Laskar Pelangi
“…berkiballah bendelaku….. “…lambang suci gagah pelwila ….. “… bergelak-bergelak! Selentak … selentak … !. A Kiong membawakan lagu itu dengan gaya mars tanpa rasa sama sekali. Ia memandang keluar jendela dan pikirannya tertuju pada labu siam yang merambati dahan- dahan rendah filicium serta buah-buahnya yang gendut-gendut bergelantungan. Ia bahkan tidak sedikit pun memandang ke arah kami. Ia mengkhianati penonton. Telinganya tak mendengarkan suaranya sendiri karena ia agaknya mendengarkan suara ribut burung-burung kecil prenjak saya pgaris yang berteriak-teriak beradu kencang dengan suarakumbang-kumbang betina pantat kuning. Ia tak mengindahkan jangkauan suaranya serta tak ambil pusing dengan notasi. Kali ini ia mengkhianati harmoni. Kami juga tak memerhatikannya bernyanyi. Lintang sibuk dengan rumus phytagoras, Harun tertid ur pulas sambil mendengkur, Samson menggambar seorang pria yang sedang mengangkat sebuah rumah dengan satu tangan kiri. Sahara asyik menyulam kruistik kaligrafi tulisan Arab Kulil Haqqu Walau Kana Murron artinya: Katakan kebenaran walaupun pahit dan Trapani melipat-lipat sapu tangan ibunya. Sementara itu Syahdan, aku dan Kucai sibuk mendiskusikan rencana kami menyembunyikan sandal Pak Fahimi (guru kelas empat yang galak itu) di Masjid Al-Hikmah. Maharadalah orang satu-satunya yang menyimaknya. Sedangkan Bu Mus menutup wajahnya dengan kedua tangan, beliau berusaha keras menahan kantuk dan tawa mendengar lolongan A Kiong. Lalu giliran aku. Tak kalah membosankan, lebih membosankan malah. Setelah dimarahi karena selalu menyanyikan lagu Potong Bebek Angsa , kini aku membuat sedikit kemajuan dengan lagu baru Indonesia Tetap Merdeka karya C. Simanjuntak yang diaransemen Damoro IS. Ketika aku mulai menyanyi Sahar mengangkat sebentar wajahnya dari kruistiknya dan terang-terangan memandangku dengan jijik karena aku menyanyikan lagu cepat- 97 Laskar Pelangi
tegap itu dengan nada yang berlari-lari liar sesuka hati, ke sana kemari tanpa harmonisasi. Aku tak peduli dengan pelecehan itu dan tetap bersemangat. “…Sorak-sorai bergembira…ber gembira semua….. “…telah bebas negeri kita…Indonesia merdeka ….. Namun, aku menyanyi melompati beberapa oktaf secara drastis tanpa dapat kukendalikan sehingga tak ada keselarasan nada dan tempo. Aku telah mengkhianati keindahan. Kali ini Bu Mus sudah tak bisal agi menahan tawanya, beliau terpingkal-pingkal sampai berair matanya. Aku berusaha keras memperbaiki harmonisasi lagu itu tapi semakin keras aku berusaha semakin an eh kedengarannya. Inilah yang dimaksud dengan tidak punya bakat. Aku susah payah menyelesaikan lagu itu dan teman- temanku sama sekali tak mengindahkan penderitaanku karena mereka juga menderita menahan kantuk, lapar, dan haus di tengah hari yang panas ini, dan batin mereka semakin tertekan karena mendengar suaraku. Bu Mus menyelamatkan aku dengan buru-buru menyuruhku berhenti bernyanyi sebelum lagu merdu itu selesai, dan sekarang beliau menunjuk Samson. Kenyataannya semakin parah, Samson menyanyikan lagu yang berjudul Teguh Kukuh Berlapis Baja juga karya C. Simanjuntak sesuai dengan citra tubuh raksasanya. Ia menyanyikan lagu itu dengan sangat nyaring sambil menunduk dalam dan menghentak-hentakkan kakinya dengan keras. “…Teguh kukuh berlapis baja!. “…rantai smangat mengikat padu!. “…tegak benteng Indonesia!. Tapi ia juga sama sekali tidak tahu konsep harmonisasi sehingga ia menjadikan lagu itu seperti sebuah lagu lain yang belum pernah kami kenal. Ia mengkhianati C. 98 Laskar Pelangi
Simanjuntak. Maka sebelum bait pertama selesai, Bu Mus segera menyuruhnya kembali ke tempat duduk. Samson membatu, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya, ia terheran- heran. “mengapa aku dihentikan, Ibunda Guru …?. Inilah yang dimaksud dengan tak punya bakat dan tak tahu diri. Maka seni suara adalah mata pelajaran yang paling tidak prospektif di kelas kami. Oleh karena itu, ia ditempatkan di bagian akhir paling siang. Fungsinya hanya untuk menunggu waktu Zuhur, yaitu saatnya kami pulang, atua untuk sekadar hiburan bagi Bu Mus karena dengan menyuruh kami bernyanyi beliau bisa menertawakan kami. Pada umumnya kami memang tak bisa menyanyi. Bahkan Lintang hanya bisa menampilkan dua buah lagu, yaitu Padamu Negeri dan Topi Saya Bundar . Lagu tentang topi ini adlaah lagu superringkas dengan bait yang dibalik-balik. Lintang menyanyikannya dengan tergesa-gesa sehingga seperti rapalan agar tugas itu cepat selesai. Adapun Trapani, sejak kelas satu SD tak pernah menyanyikan lagu lain selain lagu Kasih Ibu Sepanjang Jalan . Sahar menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa dengan gaya seperti seriosa yang menurut dia sangat bagus padahal sumbangnya minta ampun. Sedangkan Kucai—juga dari kelas satu SD—hanya menampilkan dua buah lagu yang sama, kalautidak lagu Rukun Islam ia akan menyanyikan lagu Rukun Ima n . “Masih ada lima menit sebelum azan zuhur. Ah, masih bisa satu lagu lagi,” kata Bu Mus sambil tersenyum simpul. Kami memandang beliau dengan benci. “Ibunda, kenapa tak pulang saja!. Kami sudah mengantuk, lelah, lapar, dan haus. Siang ini panas sekali. Burung- burung prenjak sayap garis semakin banyak 99 Laskar Pelangi
dan tak mau kalah dengan kumbang- kumbang betina pantat kuning. Kadang-kadang mereka hinggap di jendela kelas sambil menjerit sejadi-jadinya, menimbulkan suara bising yang memusingkan bagi perut-perut yang keroncongan. “Nah, sekarang giliran ….” Bu Mus memandangi kami satu per satu untuk menjatuhkan pilihan secara acak … dan kali ini pandangannya berhenti pada Mahar. “Ya, Mahar, silakan ke depan anakku, nyanyikan sebuah lagu sambil kita menunggu azan zuhur.. Bu Mus terus tersenyum mengantisipasi kekonyolan apa lagi yang akan ditampilkan muridnya. Sebelumnya kami tak pernah mendengar Mahar bernyanyi, karena setiap kali tiba gilirannya, azan zuhur telanjur berkumandang sehingga ia tak pernah mendapat kesempatan tampil. Kami tidak peduli ketika Mahar beranjak. Ia menyandang tasnya, sebuah karung kecampang, karena ia juga sudah bersiap- siapakan pulang. Kami sibuk sendiri-sendiri. Sahara sama sekali tak memalingkan wajah dari kruistiknya, Lintang terus menghitung, Samson masih menggambar, dan yang lain asyik berdiskusi. Mahar melangkah ke depan dengan tenang, anggun, tak tergesa-gesa. Di depan kelas ia tak langsung menyanyikan lagu pilihannya, tapi menatap kami satu per satu. Kami terheran-heran melihat tingkahnya yang ganjil, namun tatapannya penuh arti, seperti sebuah tatapan kerinduan dari seorang penyanyi pop gaek yang melakukan konser khusus untuk para ibu-ibu single parent , dan kaum ibu ini adalah para penggemar setia yang sudah amat lama tak bersua dengan sang artis nostalgia. Setelah memandangi kami cukup lama, ia memalingkan wajahnya ke arah Bu Mus sambil tersenyum kecil dan menunduk, layaknya peserta lomba bintang radio yang memberi hormat kepada dewan juri. Mahar merapatkan kedua tangannya di dadanya seperti 100 Laskar Pelangi
seniman India, seperti orang memohon doa. Tampak jelas jari-jari kurusnya yang berminyak seperti lilin dan ujung-ujung kukunya yang bertaburan bekas-bekas luka kecil sehingga seluruh kukunya hampir cacat. Sejak kelas dua SD Mahar bekerja sampingan sebagai pesuruh tukang parut kelapa di sebuah toko sayur milik seorang Tiongho a miskin. Tangannya berminyak karena berjam-jam meremas ampas kelapa sehingga tampak licin, sedangkan jemari dan kukunya cacat karena disayat gigi-gigi mesin parut yang tajam dan berputar kencang. Mesinitu mengepulkan asap hitam dan harus dihidupkan dengan tenaga orang dewasa dengan cara menarik sebuah tuas berulang- ulang. Bunyi mesinitu juga merisaukan, suatu bunyi kemelaratan, kerja keras, dan hidup tanpa pilihan. la membantu menghidupi keluar ga dengan menjadi pesuruh tukang parut karena ayahnya telah lama sakit-sakitan. Bu Mus membalas hormat takzimnya yang santun dengan tersenyum ganjil. “Anak muda ini pasti tak pandai melantun tapi jelas ia menghargai seni,\" mungkin demikian yang ada dalam hati Bu Mus. Tapi tetap saja beliau menahan tawa. Lalu Mahar mengucapkan semacam prolog. “Aku akan membawakan sebuah lagu tentang cinta Ibunda Guru, cinta yang teraniaya lebih tepatnya . .... Tuhanku! Kami terperangah dan Bu Mus terkejut. Prolog semacam ini tak pernah kami lakukan, dan tema lagu pilihan Mahar sangat tak biasa. Lagu kami hanya tiga ma- cam yaitu: lagu nasional, lagu kasidah, dan lagu anak-anak. Lagu apakah gerangan yang akan dibawakan anak muda berwajah manis ini? Kini kami semua memandanginya de- ngan heran, Sahara melepaskan kruistiknya. Belum sempat kami mencerna ia menyambung kalem dengan gaya seperti seorang bijak berpetuah. \"Lagu ini bercerita tentang seseorang yang patah hati karena kekasih yang sangat ia cintai direbut oleh teman baiknya sendiri ..... Mahar tercenung syahdu, tatapan matanya kosong jauh melintasi jendela, jauh melintasi awan-awan berarakan, hidup memang kejam .... 101 Laskar Pelangi
Bu Mus termenung ragu-ragu. Beliau menatap Mahar sambil tersenyu m penuh tanda tanya. Hati kami juga penasaran. Lalu Bu Mus mengamb il sebuah keputusan yang puitis. \"Jalan ke ladang berliku-liku , jangan lewat hutan cemara, segera nyanyikan lagumu , biar kutahu engkau merana ..... Mahar tersenyum dalam duka. \"Terima kasih Ibunda Guru.. Mahar bersiap-siap, kami menunggu penu h keingin tahuan, dan kami semak in takjub ketika ia membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah alat musik: ukulele! Suasana jadi hening dan kemu dian perlahan-lahan Mahar memulai intro lagunya dengan memainkan melodi ukulele yang mendayu-dayu, ukulele itu dipelu knya dengan sendu , matanya terpejam, dan wajahnya syah du pen uh kesed ihanyang mengharu biru, pias menahan kan rasa. Jiwanya seolah terbang tak berada di tempat itu. Lalu dengan interlude yang halus meluncur lah syair-syair lagu menakjubkan dalam tempo pelan penuh nuansa duka yang dinyanyikan dengan keindahan andante ma estoso yang tak terlu kiskan kata-kata \"...I was dancing with my darling to the Tennesse waltz.... \"...when an old friend I happened to see... . \"..into duced her to my love one and while they were dancing... \"...my friend stole my sweetheart from me.... Seketika kami tersentak dalam pesona, itulah lagu Tennesse Wa ltz yang sangat terken al karya Anne Muray, dan lagu itu dibawakan Mahar dengan tekn ik menyanyi seindah Patti Page yang melambungkan lagu lama itu. Ritme ukulele mengiringi vibrasi sempurna suaranya disertai sebuah penghayatan yang luar biasa sehingga ia tampak demik ian men derita karena kehilangan seorang kekasih. 102 Laskar Pelangi
Syair demi syair lagu itu merambati dinding-dinding papan tua kelas kami, hinggap di daun-daun kecil linaria seperti kup u-kupu cantik thistle crescent , lalu terbang hanyut dibawa awan-awan tipis menuju ke utara. Suara Mahar terdengar pilu merasuki relung hati setiap orang yang ada di ruangan. Intonasinya lembut membelai- belai kalbu dan Mahar memaku hati kami dalam rasa pukau menyaksikannya menyanyi sambil men itikkan air mata. Apa p unyang sedang kami kerjakan terhenti karena kami telah terkesima. Kami tersihir oleh aura seni yang terpancar dari soso kanak mu da tampanyang menyanyi dari jiwanya, bukan hanya dari mulutnya, sehingga lagu itu menjadi sebuah simfoni yang agung. Kami terbawa suasana melankolis karena Mahar benar-benar mengembuskan napas lagu itu. Rasa kantu k, lapar, dan dahaga menjadi tak terasa. Bahkan kumbang-kumbarrg dan kawanan burung prenjak sayap gar is menjadi senyap, berhenti menjerit-jerit demi mendengar lan tunannya. Suhu u dara yang panas perlahan-lahan menjadi sejuk menghanyutkan. Ketika Mahar bernyanyi seluruh alam diam menyimak. Kami merasakan sesuatu tergerak di dalam hati bukan karena Mahar ber nyanyi dengan tempo yang tepat, tek nik vokal yang baik, nada yang pas, interpretasi yang benar, atau chord uku lele yang sesuai, tapi karena ketika ia menyanyikan Tennesse Waltz kami ikut merasakan kepedihan yang mendalam seperti kami sendiri telah kehilangan kekasih yang p aling dicin tai. Kemampuan menggerakkan inilah barangkali yang dimak su d dengan bakat. Siang itu , ketika sedang menunggu azan zuhur, ternyata seorang sen iman besar telah lahir di sekolah gudang kopra perguruan Muhammadiyah. Mahar mengakhiri lagunya secara fade o ut disertai linangan air mata. “...I lost my litle darling the nig ht they were playing the beautiful Tennesse waltz .... Dan kami ser entak berd iri memberi standing appla use yang sangat panjang untuknya, lima menit! Bu Mus berusaha keras menyembunyikan air mata yang menggenang berkilauan di pelupuk mata sabarnya. 103 Laskar Pelangi
Tak dinyana, beberapa menit yang lalu , ketika Bu Mus menunjuk Mahar secara acaku ntuk menyanyi, saat itulah nasib menyapanya. Itulah momen nasib yang sedang bertindak selaku pemandu bakat. Siang ini, komidi putar Mahar mulai menggelinding dalam velositas yang bereskalasi. 104 Laskar Pelangi
Bab 13 Jam tangan plastik murahan SETELAH tampil dengan lagu memukau Tennesse Waltz kami menemukan Mahar sebagai lawan virtual rasionalitas Lintang. Ia adalah penyeimbang perahu kelas kami yang cender ung oleng ke kiri karena tarikan otak kiri Lintang. Sebaliknya, otak seb elah kanan Mahar meluap-luap melimpah ruah. Mereka berdua membangun tonggak artistik daya tarik kelas kami sehingga tak pernah membosankan. Jika Lintang memiliki level intelektualitas yang demik ian tinggi maka Mahar memperlihatkan bakat sen i selevel dengan tingginya inteligensia Lintang. Mahar memiliki harnpir setiapaspek kecerdasan sen i yang tersimpan seperti persediaan amunisi kreativitas dalam lokus-loku s di kepalanya. Kapasitas estetika yang tinggi melahirkannya sebagai seniman serba bisa, ia seorang pelantungurindam, sutradara teater, penulis yang berbakat, pelukis natural, koreografer, penyanyi, pendongeng yang ulung, dan pemain sitar yang fenomenal. 105 Laskar Pelangi
Lintang dan Mahar seperti Faraday kecil dan Warhol mungil dalam satu kelas, atau laksana Thomas Alva Edison muda dan Rabindranath Tagore junior yang berkumpul. Keduanya penuh inovasi dan kejutan-kejutan kreativitas dalam bidangnya masing- masing. Tanpa mereka, kelas kami tak lebih dari sekumpulan kuli tambang melarat yang mencoba belajar tulis rangkai indah di atas kertas bergaris tiga. Dan di antara mereka berdua kami terjebak di tengah-tengah seperti orang-orang dungu yang ditantang Columbus mendirikan telur. Karena Lintang dan Mahar duduk berseberangan maka kami sering menoleh ke kiri dan ke kanan dengan cepat, persis penonton pertandingan pingpong, terkagum-kagum pada kegeniusan mereka. Jika tak ada guru, Lintang tampil ke depan, menggambar rangkaian teknik bagaimana membuat perahu dari pelepah sagu. Perahu ini digerakkan baling-baling yang disambungkan dengan motor yang diambil dari tape recorder dan ditenagai dua buah batu baterai. Ia membuat perhitungan matematis yang canggih untuk memanipulasi gerak mekanik motor tape dan menjelaskan kepada kami hukum-hukum pokok hidrolik. Perhitungan matematikanya itu dapat memperkirakan dengan sangat akurat laju kecepatan perahu berdasarkan massanya. Aku terpesona melihat perahu kecil itu berputar-putar sendiri di dalam baskom. Setelah itu Mahar maju, menundukkan kepala dengan takzim di depan kami seperti seniman istana yang ingin bersenandung atas perkenan tuan raja, lalu dengan manis ia membawakan lagu Leaving on a Jet Pla ne dengan gitarnya dengan ketukan-ketukan bernuansa hadrah. Di tangan orang yang tepat musik ternyata bisa menjadi demikian indah. Mahar juga membaca beberapa bait puisi parodi tentang orang-orang Melayu yang mendadak kaya atau tentang burung-burung putih di Pantai Tanjong Kelayang. Mahar dengan aksesori-aksesori etniknya ibarat orang yang dititipi Engelbert Humperdink suara emas dan diwarisi Salvador Dali sikap- sikap nyentrik. Persahabatannya dengan para seniman lokal dan 106 Laskar Pelangi
seorang penyiar radio AM yang memiliki beragam koleksi musik memperkaya wawasan seni dan perbendaharaan lagu Mahar. Pada kesempatan lain Lintang mempresentasikan percobaan memunculkan arus listrik dengan mengerak-gerakkan magnet secara mekanik dan menjelaskan prinsip- prinsip kerja dinamo. Mahar memperagakan cara membuat sketsa-sketsa kartun dan cara menyusun alur cerita bergambar. Lintang menjelaskan aplikasi geometri dan aero- dinamika dalam mendesain layangan, Mahar menceritakan kisah yang memukau tentang bangsa-bangsa yang punah. Pernah juga Lintang menyusun potongan-potongan kaca yang dibentuk cekung seperti parabola dan menghadapkannya ke arah matahari agar mendapatkan suhu yang sangat tinggi, rancangan energi matahari katanya. Sebaliknya Mahar tak mau kalah, ia menggotong sebuah meja putar dan mendemonstrasikan seni membuat gerabah yang indah, teknik-teknik melukis gerabah itu dan mewarnainya. Lintang memperagakan cara kerja sekstan dan menjelaskan beberapa perhitungan matematika geometris dengan alat itu, Mahar membaca puisi yang ditulisnya sendiri dengan judul Doa dan dibawakan secara memukau dengan gaya tilawatil Qur'an, belum pernah aku melihat orang membaca puisi seperti itu. Kadang kala mereka berkolaborasi, misalnya Mahar menginginkan sebuah gitar elektrik yang gampang dibawa seperti tas biasa, sehingga tak merepotkan jika naik sepeda, maka Lintang datang dengan sebuah desain produk yang belum pernah ada dalam industri instrumen musik, yaitu desain stang gitar yang dipotong lalu dipasangi semacam engsel sehingga terciptalah gitar yang bisa dilipat. Sungguh istimewa. Sudah banyak aku melihat keanehan di dunia pentas—misalnya pemain biola yang ketiduran ketika sedang manggung, panggung yang roboh, musisi yang menghancurkan alat-alat musik, pemain gitar yang kesetrum, seorang pria midland yang makan kelelawar, atau orang-orang kampung yang meniru-niru Mick Jagger—tapi gitar dilipat sehingga menjadi seperti papan catur, baru kali ini aku saksikan. Dan jika Mahar dan Lintang beraksi, kami berkumpul di tengah-tengah kelas, bertumpuk-tumpuk kegirangan, terbuai keindahan, dan 107 Laskar Pelangi
menggumamkan subhanallah berulang-ulang, atas dua macam kepintaran meng- asyikkan yang dianugerahkan Ilahi kepada mereka. Mahar sangat imajinatif dan tak logis—seseorang dengan bakat seni yang sangat besar. Sesuatu yang berasal dari Mahar selalu menerbitkan inspirasi, aneh, lucu, janggal, ganjil, dan menggoda keyakinan. Namun, mungkin karena otak sebelah kanannya benar- benaraktif maka ia menjadi pengkhayal luar biasa. Di sisi lainia adalah magnet, simply irresistable! Ia penggemar berat dongeng-dongeng yang tidak masuk akal dan segala sesuatu yang berbau paranormal. Tanyalah padanya hikayat lama dan mitologi setempat, ia hafal luar kepala, mulai dari dongeng naga-naga raksasa Laut Cina Selatan sampai cerita raja berekor yang diyakininya pernah menjajah Belitong. Ia sangat percaya bahwa alien itu benar-benarada dan suatu ketika nanti akan turun ke Belitong menyamar sebagai mantri suntik di klinik PN Timah, penjaga sekolah, muazin di Masjid Al-Hikmah, atau wasit sepak bola. Dalam keadaan tertentu ia sangat konyol misalnya ia menganggap dirinya ketua persatuan paranormal internasional yang akan memimpin perjuangan umat manusia mengusir serbuan alien dengan kibasan daun- daun beluntas. Aku ingat kejadian ini, suatu ketika untuk nilai raporakhir kelas enam, Bu Mus yang berpendirian progresif dan terbuka terhadag ide-ide baru, membebaskan kami ber- ekspresi. Kami diminta menyetor sebuah master piece , karya yang berhak mendapat tempat terhormat, dipajang di ruang kepala sekolah. Maka esoknya kami membawa ce- lengan bebek dari tanah liat dan asbak dari cetakan lilin. Sebagian lainnya membawa replika rumah panggung Melayu dari bahan perdu apit-apit dan simpai dari jalinan rotan untuk mengikat sapu lidi. Trapani menyetorkan peta Pulau Belitong yang dibuat dari serbuk kayu. Syahdan membuat karya yang persis sama tapi bahannya bubur koran, jelek sekali dan busuk baunya. Harun menyetorkan tiga buah botol bekas kecap, itu saja, botol kecap! Tak lebih tak kurang. Aku sendiri hanya mampu 108 Laskar Pelangi
membuat tirai dari biji-biji buah berang yang di- kombinasikan dengan tali rapiah yang digulung kecil-kecil. Setiap tiga buah biji berang berarti satu ketupat kecil tali rapiah berwarna-warni. Sebuah karya norak yang sangat tidak berseni. Tapi masih mending. A Kiong membuat lampion tanpa perhitungan akal sehat. Ketika dinyalakan lampion itu terbakar berkobar-kobar sehingga dengan terpaksa, demi keamanan, Samson melemparkan benda itu keluar jendela. Padahal A Kiong tak tidur barang sepicing pun membuatnya. Karena karya kami sangat tidak memuaskan, kami semua mendapat nilai tak lebih dari angka 6,5 . Sungguh tak sebanding dengan jerih payah yang dikeluarkan. Amat berbeda dengan Mahar. Ia datang membawa sebuah bingkai besar yang ditutupi selembar kain hitam. Kami sangka ia membuat sebuah lukisan. Tapi setelah kainitu pelan-pelan dilucuti, sangat mengejutkan! Di baliknya muncul semacam cetakan tenggelam di atas batu apung. C etakan kerangka seekor makhluk purbakala yang sangat janggal dan mengesankan sangat buas. Makhluk ini bukan acanthopholis , sauropodomorphas , kera anthropoid , dinosaurus atau saurus-saurus semacamnya, dan bukan pula makhluk-makhluk prasejarah seperti yang telah kita kenal. Sebaliknya, Mahar membuat sebuah cetakan fosil kelelawar raksasa semacam Palaeochiropterxy tupaiodon tapi dengan bentuk yang dimodifikasi sehingga tampak ganjil dan mengerikan. Anatomi makhluk itu tentu tak pernah teridentifikasi oleh para ahli karena ia hanya ada di kepala Mahar, di dalam imajinasi seorang seniman. Fosil di atas batu apung tipis itu dibuat begitu orisinal sehingga mengesankan seperti temuan paleontologi yang autentik. Ia menggunakan semacam lapisan karbon untuk memperkuat kesan purba pada setiap detail fosil itu. Lalu karyanya dibingkai dengan potongan-potongan balak lapuk yang sudut-sudutnya diikat tali p ohon jawi agar kesan purbanya benar-b enar terasa. 109 Laskar Pelangi
\"Inilah seni, Bung!\" khotbahnya di hadapan kami yang terkesima. Gayanya seperti pesulap sehabis membuka genggaman tangan untuk memperlihatkan burung merp ati. Dan ia mendapat angka sembilan, tak ada lawannya. Angka itu adalah nilai kesenian tertinggi yang pernah dianugerahkan Bu Mus sepanjang karier mengajarnya. Bahkan Lintang sekalipun tak berkutik. Imajinasi Mahar meloncat-loncat liaramat mengesankan. Sesungguhnya, seperti Lintang, ia juga sangat cerdas, dan aku belum pernah menjumpai seseorang dengan kecerdasan dalam genre seperti ini. Ia tak pernah kehabisan ide. Kreativitasnya tak terduga, unik, tak biasa, memberontak, segar, dan menerobos. Misalnya, ia melatih kera peliharaannya sedemikian rupa sehingga mampu berperilaku layaknya seorang instruktur. Maka dalam sebuah penampilan, keranya itu memerintahkannya untuk melakukan sesuatu yang dalam pertunjukan biasa hal itu seharusnya dilakukan sang kera. Sang kera dengan gaya seorang instruktur menyuruh Mahar bernyanyi, menari-nari, dan berakrobat. Mahar telah menjungkirbalikkan paradigma seni sirkus, yang menurutku merupakan sebuah terobosan yang sangat genius. Pada kesempatan lain Mahar bergabung dengan grup rebana Masjid Al-Hikmah dan mengolaborasikan permainan sitar di dalamnya. Jika grup ini mendapat tawaran mengisi acara di sebuah hajatan perkawinan, para undangan lebih senang menonton mereka daripada menyalami kedua mempelai. Mahar pula yang membentuk sekaligus menyutradarai grup teater kecil SD Muhammadiyah. Penampilan favorit kami adalah cerita perang Uhud dalam episode Siti Hindun. Dikisahkan bahwa wanita pemarah ini mengupah seorang budak untuk membunuh Hamzah sebagai balas dendam atas kematian suaminya. Setelah Hamzah mati wanita itu membelah dadanya dan memakan hati 110 Laskar Pelangi
panglima besar itu. A Kiong memerankan Hamzah, dan Sahara sangat menikmati perannya sebagai Siti Hindun. Juga karena inisiatif Mahar, akhirnya kami membentuk sebuah grup band . Alat- alat musik kami adalah electone yang dimainkan Sahara, standing bass yang dibetot tanpa ampun oleh Samson, sebuah drum, tiga buah tabla , ser ta dua buah rebana yang dipinjam dari badan amil Masjid Al-Hikmah. Pemain rebana adalah aku dan A Kiong. Mahar menambahkan kendang dan seruling yang dimainkan secara sekaligus oleh Trapani melalui bantuan sebuah kawat agar seruling tersebut dapat dijangkau mulutnya tanpa meninggalkan kendang itu. Maka pada aransemen tertentu Trapani leluasa menggunakan tangan kanannya untuk menabuh kendang sementara jemari tangan kirinya menutu p-nutup enam lubang seruling. Sebuah pemandangan spektakuler seperti sirkus musik. Setiap wanita muda dipastikan bertekuk lutut, terbius seperti orang mabuk sehabis kebanyakan makan jengkol jika melihat Trapani yang tampan berimprovisasi. Trapani adalah salah satu daya tarik terbesar band kami. Hanya ada sedikit masalah, yaitu ia mogok tampil jika ibunya tidak ikut menonton. Insiden sempat terjadi pada awal pembentukan band ini karena Harun bersikeras menjadi drumer padahal ia sama sekali buta nada dan tak paham konsep tempo. . \"Dengarkan musiknya, Bang, ikuti iramanya,\" kata Mahar sabar. \"Drum itu tak bisa kauperlakukan semena-mena.. Setelah dimarahi seperti itu biasanya Harun tersenyum kecil dan memperhalus tabuhannya. Tapi itu tak berlangsung lama. Beberapa saat kemudian, meskipun kami sedang membawakan irama bertempo pelan nan syahdu, misalnya lagu Semenanjung Tak Seinda h Wajah yang syairnya bercerita tentang seorang pria Melayu duafa meratapratap karena ditipu kekasihnya, Harun kembali menghantam drum itu sekuat ten aganya seperti memainkan lagu rock Deep Purple yang berjudul Burn . Dan ia 111 Laskar Pelangi
sendiri tak pernah tahu kapan harus berhenti. la hanya tertawa riang dan menghantam drum itu sejadi-jadinya. Mahar tetap sabar menghadapi Harun dan berusaha menuntunnya pelan-pelan, namun akhirnya kesabaran Mahar habis ketika kami membawakan lagu Ligh t My Fire milik The Doors. Di sepanjang lagu yang inspiratif itu Harun menghajar hith at , tenor drum , simbal , serta menginjak-injak pedal bass drum sejadi- jadinya. Dengan stik drum ia menghajarapa saja dalam jangkauannya, persis drumer Tarantula melakukan end fill untuk menutup lagu rock dangdut Wakuncar . \"Dengar kata adikmu ini, Abangda Harun, kalau Abang bermain drum seperti itu bisa-bisa Jim Morrison melompat dari liang kuburnya! . Diperlukan waktu berhari-hari dan permen asam jawa hampir setengah kilo untuk membujuk Harun agar mau melepaskan jabatan sebagai drumer dan menerima promosi jabatan baru sebagai tukang pikul drum itu ke mana pun kami tampil. Maharadalah pen ata musik setiap lagu yang kami bawakan dan racun pada setiaparansemennya menyengat ketika ia memainkan melodi dengan sitarnya. Ia berimprovisasi, berdiri di tengah pertunjukan, dan dengan wajah demikian syahdu ia mengekspresikan setiap denting senar sitar yang bercerita tentang daun-daun pohon bintang yang melayang jatuh di permukaan Sungai Lenggang yang tenang lalu hanyut sampai jauh ke muara, tentang angin selatan yang meniup punggung Gunung Selumar, berbelok dalam kesenyapan Hutan Jangkang, lalu menyelinap diam-diam ke perkampungan. Ah, indahnya, pria muda ini memiliki konsep yang jelas bagaimana seharusnya sebuah sitar berbunyi. Maharadalah arranger berbakat dengan musikalitas yang nakal. Ia piawai memilih lagu dan mengadaptasikan karakter lagu tersebut ke dalam instrumen-instrumen kami yang sederhana. Misalnya pada lagu Owner of a Lonely Heart karya group rock Yess. 112 Laskar Pelangi
Mahar mengawali komposisinya dengan intro permainan solo tabla yang menghentak bertalu-talu dalam tempo tinggi. Ia mengajari Syahdan menyelipkan-nyelipkan wana tabuhan Afrika dan padang pasir pada fondasi tabuhangaya suku Sawang. Sangat eksotis. Gebrakan solo Syahdan seumpama garam bagi mereka yang darah tinggi: berbahaya, beracun, dan memicu adrenalin. Syahdan mengudara sendirian dengan letupan-letupan yang menggairahkan sampai beberapa bar. Lalu Syahdan menurunkan sedikit tempo bahana tabla -nya dan pada momen itu, kami—para pemain rebana dan dua pemain tabla lainnya-pelan-pelan masuk secara elegan mendampingi suara tabla Syahdan yang surut, namun tak lama kemudian kembali bereskalasi menjadi tempo yang semakin cepat, semakingarang, semakingan as memuncak . Kami mengh antam tabuh- tabuhan ini sekuat ten aga dengan tempo secepat-cepatnya beserta semangat Spartan, para penonton menahan napas karena berada dalam tekanan puncakekstase, lalu tepat pada pun cak kehebohan, suara alat-alat perkusi ini secara mendadak kami hentikan , tiga detik yang diam, lengang, sunyi, dan senyap. Ketika penonton mulai melep askan kembali napas panjangnya dengan penuh kenyamanan perlahan-lahan hadirlah dentingan sitar Mahar menyambut perasaan damai itu. Mahar melantunkan dawai sitar sendirian dalam nada-nada minor nan syah du bergelombang seperti buluh perindu. Pilihan nada ini demikian indah hingga terdeng ar laksana aliran sungai-sungai di bawah taman surga. Dada terasa lapang seperti memandang laut lepas landai tak bertepi di sebuah sore yang jingga. Pada bagian ini b iasanya penonton menghambur ke bibir panggung. Lalu Mahar meningkahi sitar dengan in tonasi naik turun dalam jangkauan hamp ir empat oktaf. Dengan gaya India klasik, Mahar berimp rovisasi. Ia memainkan sitar dengan sepenuh jiwa seolah eso k ia telah punya janji pasti dengan malaikat maut. Matanya terpejam mengikuti alur skala min or yang menyentuh langsung bagian terindah dari alam 113 Laskar Pelangi
bawah sadar manusia yang mamp u menikmati sari p ati manisnya musik. Jemarinya yang kurus panjang mengaduk-aduk senar sitar dengan teknik yang memu kau. Ia menyerahkan segenap jiwa raganya, terbang dalam daya bius melodi mu sik. Suara sitar itu menyayat-nyayat, berderai-derai seperti hati yang sepi, meraung- raung seperti jiwa yang tersesat karena khianat cinta, merintih seperti arwah yang tak diterima bu mi. Rendah, tinggi, pelan, kencang, berbisik laksana awan, marah laksan a to pan, memekakkan laksana ledakangunung berapi, lalu diam tenang laksana danau di tengah rimba raya. Semakin lama semakin keras dan semakin cepat, kembali memun cak , semakin lama semakin tinggi dan pada titik nadirnya Trapani serta-merta menyambut dengan sorak melengking melalui tiupan seruling, panjang, satu no t, menjerit-jerit nyaring pada tingkat nada tertinggi yang dapat dicapai seruling bambu tradison al itu. Mereka ber dua bertanding, berlomba-lomba meninggikan nada dan mengeraskan suara instrumen masing-masing. Mereka seperti seteru lama yang menanggungkan dendam membara, seruling clan sitar saling menggertak, menghardik, dan memb entak galak . .. namun dengan harmoni yang terpelihara rapi. Tiba-tiba, amat mengejutkan, sama sekali tak terd uga, secara mendadak mereka br ea k! Tiga detik diam. Setelah itu serta-merta datang menyerbu, menyalak galak, menghambur masuk bertalu-talu seluruh suara alat musik: drum, sta n ding bass , seluruh ta bl a , sitar, seruling, seluruh r eban a, dan electone sekeras-kerasnya. Tepat pada puncak bahana seluruh alat musik secara mendadak kami b rea k lagi, satu detik diam, napas penonton tertahan, lalu pada detik kedua Mahar melon cat seperti tupai, merebut mikrofon dan langsung menjerit-jerit menyanyikan lagu Ow n er of a Lonel y Hea rt dalam nada tinggi yang terkendali. Para penonton histeris dalam sensasi, kemudian tubuh mereka terpatah-patah mengikuti hentakan-hentakan staccato yang dinamis sepanjang lagu itu. Inilah musik, kawan. Musik yang dibawakan dengan sepenuh kalbu. Mahar menekankan konsep akustik dalam komposisi ini, misalnya dengan mengambil gaya piano grand pada electone dengan tambahan sedikit efek sustain . Keseluruhan komposisi dan 114 Laskar Pelangi
konsep ini ternyata menghasilkan interpretasi yang unik terhadap lagu Owner of a Lonely Heart . Kami yakin sedikit banyak kami telah berhasil menangkap semangat lagu itu, termasukesensi pesannya, yaitu hati yang sepi lebih baik dari hati yang patah, seperti dimaksudkan orang-orang hebat dalam grup Yess. Maka tak ayal lagu rock modern tersebut adalah master piece penampilan kami selain sebuah lagu Melayu berjudul Patah Kemudi karya Ibu Hajah Dahlia Kasim. Mahar juga adalah seorang seniman idealis. Pernah sebuah parpol ingin memanfaatkangrup kami yang mulai kondang un tuk menarik massa melalui iming-iming uang dan berbagai mainan anak-anak, Mahar men olak mentah -mentah. \"Orang-orang itu sudah terkenal dengan tabiatnya menghamburkan janji yang tak'kan ditepatinya,\" demikian Mahar berorasi di tengah-tengah kami yang duduk meling- kar di bawah filicium . Jarinya menunjuk-nunjuk langit seperti seorang koordinator demonstrasi. \"Kita tidak akan pernah menjadi bagian dari segerombolan penipu! Sekolah kita adalah sekolah Islam bermartabat, kita tidak akan menjual kehormatan kita demi sebuah jam tangan plastik murahan!. Mahar demikian berapi-api dan kami bersorak-sorai mendukung pendiriannya. Dan mungkin karena kecewa kepada para pemimpin bangsa maka Mahar memberi sebuah nama yang sangat memberi inspirasi untuk band kami, yaitu: Republik Dangdut. Maharadalah Jules Verne kami. la penuh ide gila yang tak terpikirkan orang lain, walaupun tak jarang idenya itu absurd dan lucu. Salah satu contohnya adalah ketika ketua RT punya masalah dengan televisinya. TV hitam putih satu-satunya hanya ada di rumah beliau dan tidak bisa dikeluarkan dari kamarnya yang sempit karena kabel antenanya sangat pendek dan ia kesulitan mendapatkan kab el untuk memperpanjangnya. Kab el itu tersambung pada antena di puncak pohon randu. Keadaan 115 Laskar Pelangi
mendesak sebab malam itu ada pertandingan final badminton All Englandantara Svend Pri melawan Iie Sumirat. Begitu banyak penonton akan hadir, tapi ruangan TV sangat sempit. Sejak sore Pak Ketua RT takenak hati karena banyak handai taulan yang akan bertamu tapi tak 'kan semua mendapat kesempatan menonton pertandingan seru itu. Ketika beliau berkeluh kesah pada kepala sekolah kami, maka Mahar yang sudah kondang akal dan taktiknya segera dipanggil dan ia muncul dengan ide ajaib ini: \"Gambar TV itu bisa dipantul- pantulkan melalui kaca, Ayahanda Guru,\" kata Mahar berbinar- binar dengan ekspresi lugunya. Pak Harfan melonjak girang seperti akan meneriakkan \"eureka!\" Maka digotonglah dua buah lemari pakaian berkaca besar ke rumah ketua. Lemari pertama diletakkan di ruang tamu dengan po sisi frontal terhadap layar TV dan ruangan itu paling tidak menampung 17 orang. Sedangk an lemari kedua ditempatkan di beranda. Lemari kaca kedua diposisikan sedemikian rupa sehingga :dapat menangkap gambar TV dari lemari kaca pertama. Ada sekitar 20 orang menonton TV melalui lemari kaca di beranda. Tak ada satu pun penonton yang tak kebagian melihat aksi Iie Sumirat. Penonton merasa puas dan benar-benar menonton dari layar kaca dalam arti sesungguhnya. Meskipun Svend Pri yang kidal di layar TV menjadi normal di kaca yang pertama dan kembali menjadi kidal pada layar lemari kaca kedua. Menurutku inilah ide paling revolusioner, paling lucu, dan paling hebat yang pernah terjadi pada dunia penyiaran. Aku rasa yang dapat menandingi ide kr eatif ini hanya penemuan remo te contr ol beberapa waktu kemudian. Kepada majelis penonton TV yang terhormat Pak Harfan berulang kali menyampaikan bahwa semua itu adalah ide Mahar, dan bahwa Mahar itu adalah muridnya. Murid yang dibanggakannya habis-habisan. 116 Laskar Pelangi
Sayangnya, seperti banyak dialami seniman hebat lainnya, mereka jarang sekali mendapat perhatian dan penghargaan yang memadai. Gaya hidup dan pemikiran mereka yang mengawang- awang sering kali disalahartikan. Misalnya Mahar, kami sering menganggapnya manusia aneh, pembual, dan tukang khayal yang tidak dapat membedakan antara realitas dan lamunan. Keadaan ini diperparah lagi dengan ketidakmampuan kami mengapresiasi karya- karya seninya. Sehingga beberapa karya hebatnya malah mendapat cemo ohan. Kenya- taannya adalah kami tidak mampu menjangkau daya imajinasi dan pesan-pesan abstrak yang ia sampaikan melalui karya-karya tersebut. Kami selalu membesar -besarkan ke- kurangannya ketika sebuah pertunjukangagal total, tapi jika berhasil kami jarang ingin memujinya. Mungkin karena masih kecil, maka kami sering tidak adil padanya. 117 Laskar Pelangi
Bab 14 Orang-orang sawang PAPILIO blumei , kupu-kupu tropis yang men awan berwarna hitam bergaris biru-hijau itu mengunjungi pucuk filicium . Kehadiran mereka semakin cantik karena kehadiran kupu- kupu kuning berbintik metalik yang disebut pure clouded yellow . Mereka dan lidah atap sirap cokelat yang rapuh menyajikan komposisi warna kontras di atas sekolah Muhammadiyah. Dua jenis bidadari taman itu melayanglayang tanpa bobot bersukacita. Tak lama kemudian, seperti tumpah dari langit, ikut bergabung kupu-kupu lain, danube clouded yellow . Hanya para ahli yang dapat membedakan pure clouded yellow dengan danube clouded yellow , berturut-turut nama latin mereka adalah Colias crocea dan Colias myrmidone . Di mata awam kecantikan mereka sama: absolut, dan hanya dapat dibayangkan melalui keindahan namanya. Keduanya adalah si kuning berawan yang memesona laksana Danau Danube yang melintasi Eropa: sejuk, elegan, dan misterius. Berbeda dengan tabiat unggas yang cenderung agresif dan eksibisionis, makhluk- makhluk bisu berumur pendek ini bahkan tak 118 Laskar Pelangi
tahu kalau dirinya cantik. Meskipun jumlahnya ratusan, tapi kepak sayapnya senyap dan mulut mungil indahnya diam dalam kerupawanan yang melebihi taman lotus. Melihat mereka rasanya aku ingin menulis puisi. Saat ratusan pasang danube clouded yellow berpatroli melingkari lingkaran daun- daun filicium , maka mereka menjelma menjadi pasir kuning di Dermaga Olivir. Sayap- sayap yang menyala itu adalah fatamorgana pantulan cahaya matahari, berkilauan di atas.butiran-butiran ilmenit yang terangkat ab rasi. Sebuah daya tarik Belitong yang lain, pesona pantai dan kekayaan material tambang yang menggoda. Kupu-kupu clouded yellow dan Papilio blumei saling bercengkrama dengan harmonis seperti sebuah reuni besar bidadari penghuni berbagai surga dari agama yang berbeda-beda. Jika diperhatikan dengan saksama, setiap gerakan mereka, sekecil apa pun, seolah digerakkan oleh semacam mesin keserasian. Mereka adalah orkestra warna , dengan insting sebagai konduktornya. Dan agaknya dulu memang telah diatur jauh-jauh hari sebelum mereka bermetamorfosis, telah tercatat di Lauhul Mahfuzh saat mereka masih meringkuk berbedak-bedak tebal dalam gulungan- gulungan daun pisang, bahwa sore ini mereka akan menari-nari di pucuk- pucuk filicium , bersenda gurau, untuk memberiku pelajaran tentang keagungan Tuhan. Kupu-kupu ini sering melakukan reuni setelah hujan lebat. Sayangnya sore ini, pemandangan seperti butiran-butiran cat berwarna-warni yang dihamburkan dari langit itu serentak bubar dan harmoni ekosistem hancur berantakan karena serbuan sepuluh sosok Homo sapiens. Makhluk brutal ini memanjati dahan-dahan filicium, bersoraksorai, dan bergelantungan mengklaim dahannya masingmasing. Kawanan itu dipimpin oleh setan kecil bernama Kucai. Berada pada posisi puncak rantai makanan seolah melegitimasi kecenderungan Homo sapiens untuk merusak tatanan alam. Kucai mengangkangi dahan tertinggi, sedangkan Sahara, satu- satunya betina dalam kawanan itu, bersilang kaki di atas dahan 119 Laskar Pelangi
terendah. Pengaturan semacam itu tentu bukan karena budaya patriarki begitu kental dalam komunitas Melayu, tapi semata-mata karena pakaian Sahara tidak memungkinkan ia berada di atas kami. Ia adalah muslimah yang menjaga aurat rapat-rapat. Kepentingan kami tak kalah mendesak dibanding keperluan kaum unggas, fungi, dan makhluk lainnya terhadap filicium karena dari dahan-dahannya kami dapat dengan leluasa memandang pelangi. Kami sangat menyukai pelangi. Bagi kami pelangi adalah lukisan alam, sketsa Tuhan yang mengandung daya tarik men cengangkan. Tak tahu siapa di antara kami yang pertama kali memu lai hobi ini, tapi jika musim hujan tiba kami tak sabar menunggu kehadiran lukisan langit menakjubkan itu. Karena kegemaran kolektif terhadap pelangi maka Bu Mus menamai kelompok kami Laskar Pelangi. Sore ini, setelah hujan lebat sepanjang hari, terbentang pelangi sempurna, setengah lingkaran penuh , terang benderang dengan enam lapis warna. Ujung kanannya berangkat dari Muara Genting seperti pantulan permadani cermin sedangkan ujung kirinya tertanam di kerimbunan hu tan pinus di lereng Gunung Selu mar . Pelangi yang menghunjam di daratan ini melengkung laksana jutaan bidadari berkebaya war na-warn i terjun menukik ke sebuah danau terpencil, bersembunyi malu karena kecantikannya. Kini filicium men jadi gaduh karena kami bertengkar bertentangan pen dapat tentang panorama ajaib yang terb entang melingkupi Belitong Timur. Berbagai versi cerita mengenai pelangi menjadi debat kusir. Dongeng yang paling seru tentu saja dikisah kan oleh Mahar. Ketika kami mendesak nya ia sempat ragu -ragu. Pandangan matanya mengisyaratkan bahwa: kalian tidak akan bisa men jaga informasi yang sangat penting ini! Dia diam demi membuat pertimbangan serius, namun akhirnya ia menyerah, bukan kepada kami yang memohon tapi kepada hasratnya sendiri yang tak terkekang untuk membual. 120 Laskar Pelangi
\"Tahukah kalian ...,\" katanya sambil memandang jauh. \"Pelangi sebenarnya adalah sebuah lorong waktu!\" Kami terdiam, suasana jadi bisu , terlen a khayalan Mahar. - \"Jika kita berhasil melintasi pelangi maka kita akan bertemu dengan orang- orang Belitong tempo dulu dan n enek moyang orang-orang Sawang. . Wajahnya tampak menyesal seperti baru saja membongkar sebuah rahasia keluarga yang terdalam dan telah disimpan tujuh turunan . Lalu dengan nada terpak sa ia melanjutkan, \"Tapi jangan sampai kalian bertemu dengan orang Belitong p rimitif dan leluh ur Sawang itu , karena mereka itu adalah kaum kanibal ...!!. Sekarang wajahnya pasrah. A Kiong menutup mulutnya dengan tangan dan hampir saja tertungging dari dahan karena melepaskan pegangan. Sejak kelas satu SD, A Kiong adalah pengikut setia Mahar. Ia percaya-dengan sep enuh jiwa-apa p unyang dikatakan Mahar. Ia memposisikan Mahar sebagai seorang suhu dan penasihat sprir itual. Mereka berdua telah menasbihkan diri sendiri dalam sebuah sek te ketololan kolektif. Demi mendengar kisah Mahar, Syahdan yang bertengger persis di belakang pendongeng itu dengan gerakan sangat takzim, tanpa diketahui Mahar, menyilangkan jari di atas keningnya dan mengesek-gesekkannya beberapa kali. Mahar tidak mengerti apa yang sedang terjadi di belakangnya. Sakit perut kami menahan tawa melihat kelakuan Syah dan. Baginya Mahar sudah tak waras. Lintang menepuk-nepuk punggung Mahar, menghargai ceritanya yang menakjubkan, tapi ia tersenyum simpul dan pura- pura batuk untuk menyamarkan tawanya. Kami terus memandangi keindahan pelangi tapi kali ini kami tak lagi berdebat. Kami diam sampai matahari membenamkan diri. Azan magrib menggema dipantulkan tiang-tiang tinggi rumah panggung orang Melayu, sahut-menyahut dari masjid ke masjid. 121 Laskar Pelangi
Sang lorong waktu perlahan hilang ditelan malam. Kami diajari tak bicara jika azan berkumandang. \"Diam dan simaklah panggilan menuju kemenangan itu ...,\" pesan orangtua kami. KAMI orang-orang Melayu adalah pribadi-pribadi sederhana yang memperoleh kebijakan hidup dari para guru mengaji dan orang-orang tua di surau-surau sehabis salat magrib. Kebijakan itu disarikan dari hikayat para nabi, kisah Hang Tuah, dan rima-rima gurindam. Ras kami adalah ras yang tua. Malay atau Melayu telah dikenal Albert Buffon sejak lampau ketika ia mengidentifikasi ras-ras besar Kau kasia, Negroid, dan Mongoloid. Meskipun banyak antropolog berp endapat bahwa ras Melayu Belitong tidak sama dengan ras Malay versi Buffon- dengan kata lain kami sebenarnya bukan orang Melayu—tapi kami tak membesar besarkan pendapat itu. Pertama karena orang-orang Belitong tak paham akan hal itu dan kedua karena kami tak memiliki semangat primordialisme. Bagi kami, orang-orang sepan jang pesisir selat Malaka sampai ke Malaysia adalah Melayu- atas dasar ketergila- gilaan mereka pada irama semenanjung, dentaman rebana, dan pantun yang sambut: menyambut-bukan atas dasar bahasa, warnakulit, kepercayaan, atau struktur bangun tulang-belulang. Kami adalah ras egalitarian. Aku melamun merenungkan cerita Mahar. Aku tak tertarik dengan lor ong waktu, tapi terpancang pada ceritanya tentang orang-orang Belitong tempo dulu. Minggu lalu ketika sedang memperbaiki sound system di masjid, demi melihat kabel centang perenang yang dianggapnya benda ajaib zaman baru, muazin kami yang telah berusia 70 tahun menceritakan sesuatu yang membuatku terkesiap. Cerita itu adalah tentang kakek beliau yang sempat bercerita kepadanya bahwa orangtua kakeknya itu, berarti mbah buyut atau datuk muazin kami, hidup berkelompok mengembara di sepanjang 122 Laskar Pelangi
pesisir Belitong. Mereka berpakaian kulit kayu dan mencari makan dengan cara menombak binatang atau menjeratnya dengan akar- akar pohon. Mereka tidur di dahan-dahan pohon santigi untuk menghindari terkaman binatang buas. Kala bulan purnama mereka menyalakan api dan memuja bulan serta bintang gemintang. Aku merinding memikirkan betapa masih dekatnya komunitas kami dengan kebudayaan primitif. \"Kita telah lama bersekutu dengan orang-orang Sawang. Mereka adalah pelaut ulung yang hidup di perahu. Suku itu berkelana dari pulau ke pulau. Di Teluk Balok leluhur kita menukar pelanduk, rotan, buah pinang, dan damar dengan garam buatan wanita-wanita Sawang . .., \" cerita muazinitu . Seperti ikan yang hidup dalam akuarium, selatiasa lupa akan air , begitu lah kami. Sekian lama hidup berdampingan dengan orang Sawang kami tak menyadari bahwa mereka sesungguhnya sebuah fenomena antro pologi. Dibanding orang Melayu pen ampilan mereka amat berb eda. Mereka seperti orang-orang Aborigin . Kulit gelap, rahang tegas, mata dalam, p andangan tajam, bidang kening yang semp it, str uktur tengkorak seperti suku Teuton, dan berambut kasat lurus sep er ti sikat. PN Timah mempekerjakan suku masku linini sebagai buruh yu ka, yaitu penjahit karung timah , pekerjaan strata terendah di gudang beras. Dan mereka bahagia dengan sistem pembayaran setiap hari Senin. Su lit dikatakan uang itu akan bertahan sampai Rabu. Tak ada kepelitan mengalir dalam pembuluh daraharang Sawang. Mereka memb elanjakan uang seperti tak ada lagi hari esok dan berutang seperti akan hidup selamanya. 123 Laskar Pelangi
Karena kekacauan perso alan manajemen keuang an ini, orang Sawang tak jarang menjadi korban stereotip di kalangan mayoritas Melayu. Setiap perilaku min us takayal langsung diasosiasikan dengan mereka. Diskredit ini adalah refleksi sikap disk riminatif sebagian orang Melayu yang takut direbut pekerjaan nya karena malas bekerja kasar. Sejarah men unjuk kan bahwa orang - orang Sawang memiliki integ ritas, mereka hidu peksk lusif dalam komunitasnya sen diri, tak usil dengan ur usan orang lain , memiliki eto s kerja ting gi, jujur , dan tak per nah berurusan dengan hu kum. Lebih dari itu, mereka tak pern ah lari dari u tang- utangnya. Orang Sawang senang sekali memarginalkan diri s end ir i. Itulah sifat alamiah mereka. Bagi mereka hid up ini hanya terd iri atas mandor yang mau membayar mereka setiap minggu dan pekerjaan kasar yang tak sang gup dikerjakan suku lain. Mereka tak memahami kon sep aristo krasi karenakultur mereka tak mengenal power distance . Orang yang tak memaklumi hal ini akan menganggap mereka tak tahu tata krama. Satu-satunya manusia terhormat di antara mereka adalah sang kepala suku, seorang shaman s ekalig us du kun , dan jabatan itu sama sekali bukan hereditas. PN memukimkan orang Sawang di Sebuah rumah panjang yang ber sekat- sekat. Di situ hidup 3 0 kepala keluarga.Tak ada catatanpasti dari mana mereka berasal. Mungkin kah mereka belum terpetak an oleh para antro polog? Tahu kah para pembuat kebijakan bahwa tingkat kelah iran mereka amat rendah sedangkan mortalitasnya begitu tinggi sehingg a di ru mah panjang hanya tertinggal b eberapa keluarga yang berdarah mur ni Sawang? Akan kah bahasa mereka yang indah hilang ditelan zaman? 124 Laskar Pelangi
Bab 15 Euforia musim hujan TAMBANG hitam terbentang cekung di atas permukaan air berwarna cokelat yang bergelora. Ujung tambang yang diikat dengan sepotong kayu bercabang tersangkut ke sebuah dahan kar et tua yang rapuh di tengah aliran sungai. Tadi Samson yang telah melemparkannya dengan gugup. Hampir tujuh belas meter jarak antara tepian sungai dan dahan karet tempat kayu satu meter itu tersangkut. Berarti lebar sungai ini paling tidak tiga p uluh meter dan dalamnya hanya Tuhan yang tahu. Alirannya meluncur deras tergesa-gesa, tipikal sungai di Belitong yang berawal dan berak hir di laut. Bagian membu jur permukaan sungai tampak berkilat-kilat disinari cahaya matahari. Sekarang ujung tambang satunya dipegangi A Kiong yang pucat pasi pada posisi melintang. Ia memanjat pohon kepang rindang yang berseberangan dengan pohon karet tadi dan menambatkan tali pada salah satu cabangnya. Badanku gemetar ketika aku melintas menuju pohon karet dengan cara menggeser- geserkangenggaman tanganku yang mencekik tambang erat-erat. Aku bergelantungan seperti tentara latihan perang. Kadang-kadang kakiku terlepas dari tambang dan menyentuh permukaan air yang meliuk-liuk, membuat darahku dingin berdesir. 125 Laskar Pelangi
Kulihat samar bayanganku di atas air yang keruh. Kalau aku terjatuh maka aku akan ditemukan tersangkut di akar-akar pohon bakau dekat jembatan Lenggang, lima puluh kilometer dari sini. SEMUA susah payah melawan larangan orangtua itu hanyalah untuk memetik buah-buah karet dan demi sedikit taruhan harga diri dalam arena tarak . Atau barangkali perbuatan bodoh itu justru digerakkan oleh keinginan untuk membongkar rahasia buah karet yang misterius. Kekuatan kulit buah karet tak bisa diramalkan dari bentuk dan warnanya. Pada rahasia itulah tersimpan daya tarik permainan mengadu kekuatan kulitnya. Permainan kunonan legendaris itu disebut tarak. Cuma ada satu hal yang agak berlaku umum, yaitu pohon-pohon karet yang buahnya sekeras batu selalu berada di tempat-tempat yang jauh di dalam hutan dan memerlukan nyali lebih, atau sikap nekat yang tolol, untuk mengambilnya. Di dalam ta rak , dua buah karet ditumpuk kemudian dipukul dengan telapak tangan. Buah yang tak pecah adalah pemenangnya. Inilah permainan pembukaan musim hujan di kampung kami, semacam pemanasan untuk menghadapi permainan-permainan lainnya yang jauh lebih seru pada saat air bah tumpah dari langit. SEIRING dengan semakingencarnya hujan mengguyur kampung-kampung orang Melayu Belitong, aura ta rak perlahan- lahan redup. Jika ta rak sudah tak dimainkan maka ` itulah akhir bulan September, begitulah tanda alam yang dibaca secara primitif. Wilayah- wilayah tropis di muka bumi akan mengalami mendung seharian dan hujan berkepajangan. Sementara di Barat sana, orang- orang menjalani hari-hari yang kelabu menjelang musim salju. Pada sepanjang bulan berakhiran \"-ber\", seisi dunia tampak lebih murung, maka tidak mengherankan di beberapa bagian barat angka statistik bunuh diri meningkat. Aku melongok keluar jendela, RRI mengumandangkan sebuah lagu lama sebelum siaran berita, Rayuan Pulau Kelapa . Alunan nada Hawaian yang tak lekang dimakan waktu mendayu-dayu membuat mata mengantuk . Sebuah siang yang syahdu, sesyahdu How ling Wolf saat menyanyikan lagu blues How Long Bab y, How Long . 126 Laskar Pelangi
Tapi suasana agak berbeda bagi kami. Acara sedih di bulan- bulan penghujung tahun ini adalah urusan orang dewasa. Bagi kami hujan yang pertama adalah berkah dari langit yang disambut dengan sukacita tak terkira-kira. Dan tak pernah kulihat di wilayah lain, hujan turun sedemikian lebat seperti di Belitong. Tujuh puluh persen daratan di Belitong adalah rain forest alias hutan hujan. Pulau kecil itu berada pada titik pertemuan Laut Cina Selatan di sisi barat dan Laut Jawa di sisi timur. Adapun di sisi utara dan selatan ia diapit oleh Selat Karimata dan Selat Gaspar. Letaknya yang terlindung daratan luas Pulau Jawa dan Kalimantan melindungi pantainya dari gelombang ekstrem musim barat, namun uapan jutaan kubik air selama musim kemarau dari samudra berkeliling itu akan tumpah seharian selama berbulan- bulan pada musim hujan. Maka hujan di Belitong tak pernah sebentar dan tak pern ah kecil. Hujan di Belitong selalu lama dan sejadi-jadinya seperti air bah tumpah ruah dari langit, dan semakin lebat hujan itu, semakingempar guruh menggelegar, semakin kencang angin mengaduk-aduk kampung, semakin dahsyat petir sambar- menyambar, semakin giranglah hati kami. Kami biarkan hujan yang deras mengguyur tubuh kami yang kumal. Ancaman dibabat rotan oleh orangtua kami anggap sepi. Ancaman tersebut tak sebanding dengan daya tarik luar biasa air hujan, binatang-binatang aneh yang muncul dari dasar parit, mobil-mobil proyek timah yang terb enam, dan bau air hujan yang menyejukkan rongga dada. Kami akan berhenti sendiri setelah bibir membiru dan jemari tak terasa karena kedinginan. Seluruh dunia tak bisa mencegah kami. Kami adalah para duta besar yang berkuasa penuh saat musim hujan. Para orangtua hanya menggerutu, frustrasi merasa dirinya tak dianggap. Kami berlarian, bermain sepak bola, membuat candi dari pasir, ber- pura-pura menjadi biawak, ber enang di lumpur, memanggil-manggil pesawat terbang yang melintas, dan berteriak keras-keras tak keruan kepada hujan, langit, dan halilintar seperti orang lupa diri. 127 Laskar Pelangi
Tapi lebih dari itu, yang paling seru adalah permainan tanpa nama yang melibatkan pelepah-pelepah pohon pinang hantu. Satu atau dua orang duduk di atas pelepah selebar sajadah, kemudian dua atau tiga orang lainnya menarik pelepah itu dengan kencang. Maka terjadilah pemandangan seperti orang main ski es, tapi secara manual karena ditarik tenaga manusia. Penumpang yang duduk di depan memegangi pelepah seperti penunggang unta sedangkan penumpang di belakang memeluknya erat-erat agar tidak tergelincir. Mereka yang bertubuh paling besar, yaitu Samson, Trapani, dan A Kiong menduduki jabatan penarik pelepah dan mereka amat bangga dengan jabatan itu. Puncak permainan ini adalah momen ketika para penarik pelepah yang bertenaga sekuat kuda beban berbelok mendadak serta dengan sengaja menambah kekuatannya di belokan itu. Maka penumpangnya akan melaju sangat kencang, terseret sejajar ke arah samping, meluncur mulus tapi deras sekali di atas permukaan lumpur yang licin, lalu menikung tajam dalam kecepatan tinggi. Aku rasakan tingkungan itu membanting tubuhku tanpa dapat kukendalikan dan sempat kulihat cipratan air bercampur lumpur yang besar menghempas dari sisi kanan pelepah mengotori para penonton: Sahara, Harun, Kucai, Mahar, dan Lintang. Mereka gembira luar biasa menerima cipratan air kotor itu , semakin kotorairnya semakin senang mereka. Mereka bertepuk tangan girang menyemangati kami. Sementara Syahdan yang duduk di belakangku memegang tubuhku kuat-kuat sambil bersorak-sorai. Syahdan bertindak selaku co-p ilot , dan aku pilotnya. Kami meluncur menyamping dengan tubuh rebah persis seperti gerakan laki-laki gondrong pengendara sepeda motor tong setan di sirkus atau lebih keren lagi seperti gerakan speed ra cer yang merendahkan tubuhnya untuk mengambil belokan maut. Sebuah gaya rebah yang penuh aksi. Pada saat menikung itu aku merasakan sensasi tertinggi dari permainan tradisional yang asyik ini. 128 Laskar Pelangi
Namun, cerita tidak selesai sampai di situ. Karena sudut belokan tersebut tidak masuk akal maka tikungan tersebut tak `kan pernah bisa diselesaikan. Para penarik bertabrakan sesama dirinya sendiri, terjatuh-jatuh jumpalitan, terbanting-banting tak tentu arah, sementara aku dan Syahdan terpental dari pelepah, terhempas, terguling-guling, lalu kami berdua terkapar di dalam parit. Kepalaku terasa berat, kuraba-raba dan benjolan kecilkecil bermunculan. Air masuk melalui hidungku, suaraku jadi aneh, seperti robot, dan ada rasa pening di bagian kepala seb elah kanan yang menjalar ke mata. Rasa itu hanya sebentar, biasa kita alami kalau air memasuki hidung. Aku tersedak-sedak kecil seperti kambing batuk. Lalu aku mencari-cari Syahdan. Ia terbanting agak jauh dariku. Tubuhnya telentang, tergeletak tak berdaya, air menggenangi setengah tubuhnya di dalam parit. Ia tak bergerak . Kami menghambur ke arah Syahdan. Aduh! Gawat, apakah ia pingsan? Atau gegar otak? Atau malah mati? Karena ia tak bernapas sama sekali dan tadi ia terpelanting seperti tong jatuh dari truk. Di sudut bibirnya dan dari lubang hidungnyakulihat darah mengalir, pelan dan pekat. Kami merubung tubuhnya yang diam seperti mayat. Sahara mulai terisak-isak, wajahnya pias. Aku memandangi wajah temanku yang lain, semuanya pucat pasi. A Kiong gemetar hebat, Trapani memanggil-manggil ibunya, aku sangat cemas. Aku menampar-nampar pipinya. \"Dan! Dan ...!\" Aku pegang urat di lehernya, seperti pernah kulihat dalam film Little House on The Prairie . Namun sayang sebenarnya aku sendiri tak mengerti apa yang kupegang, karena itu aku tak merasakan apa-apa. Samson, Kucai, dan Trapani turut menggoyang-goyang tubuh Syahdan, berusaha menyadarkannya. Tapi Syahdan diam kaku tak bereaksi. Bibirnya pucat dan tubuhnya dingin seperti es. Sahara menangis keras, diikuti oleh A Kiong. \"Syahdan ... Syahdan .., bangun Dan ...,\" ratap Sahara pedih dan ketakutan. 129 Laskar Pelangi
Kami semakin panik, tak tahu harus berbuat apa. Aku terus- menerus memanggil- manggil nama Syahdan, tapi ia diam saja, kaku, tak bernyawa, Syahdan telah mati. Kasihan sekali Syahdan, anak nelayan melarat yang mungil ini harus mengalami nasib tragis seperti ini. Kami menggigil ketakutan dad Samson memberi isyarat agar mengangkat Syahdan. Ketika kami angkat tubuhnya telah keras seperti sepotong balokes. Aku memegang bagian kepalanya. Kami gotong tubuh kecilnya sambil berlari. Sahara dan A Kiong meraung-raung. Kami benar-benar panik, namun dalam kegentinganyang memuncak tiba-tiba di gumpalan bulat kepala keriting yang kupeluk kulihat deretangigi-gigi hitam keropos dan runcing-runcing seperti dimakan kutu meringis ke arahku, kemudian ku- dengar pelan suara tertawa terkekeh-kekeh. Ha! Rupanya co-pilot -ku ini hanya berpura-pura tewas! Sekian lama ia membekukan tubuhnya dan berusaha menahan napas agar kami menyangka ia mati. Kurang ajar betul, lalu kami membalas penipuannya dengan melemparkannya kembali ke dalam parit kotor tadi. Dia senang bukan main. Ia terpingkal-pingkal melihat kami kebingungan. Kami pun ikut tertawa. Sahara menghapus tangisnya dengan lengannya yang kotor. Makin lama tawa kami makin keras. Kulirik lagi Syahdan, ia meringis kesakitan tapi tawanya keras sekali sampai- sampai keluarair matanya. Air matanya itu bercampur dengan air hujan. Anehnya, justru peristiwa terjatuh, terhempas, dan terguling- guling yang menciderai, lalu disusul dengan tertawa keras saling mengejekitulah yang kami anggap sebagai daya tarik terbesar permainan pelepah pinang. Tak jarang kami mengulanginya berkali- kali dan peristiwa jatuh seperti itu bukan lagi karena sudut tikungan, kecepatan, dan massa yang melanggar hukum fisika, tapi memang karena ketololan yang disengaja yang secara tidak sadar digerakkan 130 Laskar Pelangi
oleh spirit euforia musim hujan. Pesta musim hujan adalah sebuah perhelatan meriah yang diselenggarakan oleh alam bagi kami anak- anak Melayu tak mampu. 131 Laskar Pelangi
Bab 16 Puisi Surga Dan Kawanan Burung Pelintang Pulau NAH, seluruh kejadian ini terjadi pada bulan Agustus saat aku berada di kelas dua SMP. Kemarau masih belum mau per gi. Pohon-pohon angsana menjadi gundul, bambu- bambu kun ing meranggas. Jalan berbatu-batu kecil merah, setiap dihemp as kendaraan, mengembuskan debu yang melekat pada sir ip-sirip daun jendela kayu. Kota kecilku kering dan bau karat. Warga Tionghoa semakin rajin menekuni kebiasaannya: mandi saat tengah har i, menyisir rambutnya yang masih basah ke belakang, lalu memotongi ujung-ujung kukunya dengan antip. Hanya mereka yang tampak sed ikit bersih pada bulan-bulan seperti ini. Adapun warga suku Sawang termangu-mangu memeluk tiang- tiang rumah panjang mereka, terlalu panas untuk tidur di bawah atap seng tak berplafon dan terlalu lelah untuk kembali bekerja, dilematis. Orang-orang Melayu semakin kumal. Sesekali anak-anaknya melewati jalan raya membawa balok-balokes dan botol sirop Capilano. Hawa pengap tak ‘kan menguap sampai malam. Sebaliknya, menjelang dini hari suhu akan turun drastis, dingin tak 132 Laskar Pelangi
terkira, menguji iman umat Nabi Muhammad untuk beranjak dari tempat tidur dan shalat subuh di masjid. Perubahan ekstrem suhu adalah konsekuensi geografis pulau kecil yang dikelilingi samu dra. Karena itu kemarau di kampung kami menjadi sangat tidak menyen angkan. Kepekatan oksigen menyebabkan tu buh cepat lelah dan mata mudah mengan tuk. Namun, ada suka di mana-mana. Anda tentu paham mak sud saya. Bulan ini amat semarak karena banyak perayaan berken aan dengan hari besar negeri ini. Agustus, semuanya serba menggairahkan! Begitu banyak kegiatan yang kami rencanakan setiap bulan Agustus, antara lain berkemah! Ketika anak-anak SMP PN dengan bus birunya berek reasi ke Tanjong Pendam, mengunjungi kebun binatang atau museum di Tanjong Pan dan, bahkan verloop * ber sama orangtuanya ke Jakarta. Kami, SMP Muhammadiyah, pergi ke Pantai Pangkalan Punai. Jauh nya kira- kira 60 km, ditempuh naik sepeda. Semacam liburan murah yang asyik luar biasa. Meskipun setiap tahun kami mengunjungi Pangkalan Punai, aku tak pernah bosan dengan tempat ini. Setiap kali berdiri di bibir p antai aku selalu merasa terkeju t, persis seperti pasukan Alexanderagung pertama kali menemukan India. Jika laut berakhir di puluhan hektar daratan landai yang dipenuh i bebatuan sebesar rumah dan pohon -pohon rimba yang rindang merapat ke tepi paling akhir ombak pasang mengempas, maka kita akan menemukan keindahan pantai dengan cita rasa yang berbeda. Itulah kesan utama yang dapat kukatakan mengen ai Pangkalan Pun ai. Tak jauh dari p antai mengalirlah anak-anak sungai berair payau dan di sanalah para penduduk lokal tinggal di dalam rumah p anggung tinggi-ting gi dengan formasi berkeliling. Mereka juga orang-orang Melayu, orang Melayu yang menjadi nelayan. Berarti rumah-rumah ini tepatnya terkurung oleh hu tan lalu di tengahnya mengalir anak-anak sungai dan posisinya cenderung menjorok ke pinggir laut. Sebuah komposisi lanskap hasil karaya 133 Laskar Pelangi
tangan Tuhan . Keindahan seperti digambarkan dalam buku -buku komik Hans Christian ander sen. Namun, pemandangan semakin cantik jika kita mendaki bukit kecil di sisi barat daya Pangkalan. Saat sore menjelang, aku senang berlama- lama duduk sendiri di punggung bukit ini. Men dengar sayup-sayup suara anak-anak nelayan—laki-laki dan perempuan— menendang-nendang pelampung, bermain bola tanpa tiang gawang n un di bawah sana. Teriakan mereka terasa damai. Sekitar pu kul empat sor e, sinar matahar i akan meng guyur barisan pohon cemara angin yang tumbuh lebat di undakan bukit yang lebih tinggi di sisi timur laut. Sinar yang terhalang pepoh onan cemara anginitu membentu k segitiga gelap rak sasa, persis di tempat aku dudu k. Sebaliknya, di sisi lain, sinarnya ayang kontras menghunjam ke atas permukaan pan tai yang dangkal, sehingga dari kejauhan dapat kulihat pasir putih dasar laut. Jika aku menoleh ke belakang, maka aku dapat menyaksikan pemandangan padang sabana. Ribuan burung pipit menggelayuti rumput-rump ut tinggi, menjerit-jerit tak kar uan, berebu tan tempat tidur. Di sebelah sabana itu adalah ratusan pohon kelapa bersaling- silang dan di antara celah-celahnya aku melihat batu-batu raksasa khas Pangkalan Punai. Batu-batu raksasa yang membatasi tepian Laut Cina Selatan yang biru berkilauan dan luas tak terbatas. Seluruh bagian ini disirami sinar matahari dan aliran sungai payau tampak sampai jauh berkelok-kelok seperti cucuran perak yang dicairkan . Sebaliknya, jika aku melemparkan pandangan lurus ke bawah, ke arah formasi rumah panggung yang ber keliling tadi, maka sinar matahari yang mulai jingga jatuh persis di atas atap-atap daun nanga’ yang menyembul-nyembul di antara rindangnya dedaunan pohon santigi. Asap mengepul dari tungku-tungku yang membakar serabut kelapa untuk mengusir serangga magrib. Asap itu , diiringi suara azan magrib, merayap menembus celah-celah atap daun, hanyut pelan-pelan menaungi kampung seperti hantu, lamat-lamat merambati dahan-dahan pohon bintang yang berbuah manis, lalu hilang tersapu semilirangin, ditelan samud ra luas. Dari balik jendela-jendela kecil rumah panggung yang ber serakan di bawah 134 Laskar Pelangi
sana sinar lampu minyak yang lembut dan kuntum- kuntum api pelita menari-nari sepi. Pesona hakiki Pangkalan Pun ai membayangiku menit demi menit sampai terbawa-bawa mimpi. Mimp i ini kemudian kutulis menjadi sebuah puisi karena, sebagai bagian dari program berkemah, kami harus menyerahkan tugas untuk pelajaran kesenian berupa karangan, lukisan , atau pekerjaan tangan dari bahan-bahan yang didapat di pinggir pantai. Inilah puisiku. Aku Bermimpi Melihat Surga Sungguh, malam ketiga di Pangkalan Punai aku mimpi melihat surga Ternyata surga tidak megah, hanya sebuah istana kecil di tengah hutan Tidak ada bidadari seperti disebut di kitab-kitab suci Aku meniti jembatan kecil Seorang wanita berw ajah jernih menyambutku “Inilah surga” katanya. Ia tersenyum, kerling matanya mengajakku menengadah Seketika aku terkesiap oleh pantulan sinar matahari senja Menyirami kuba h-kubah istana Mengapa sina r matahari berwarna perak, jingga, dan biru? Sebuah keindahan yang asing Di istana surga Dahan-dahan pohon ara menjalar ke dalam kamar-kamar sunyi yang bertingkat- tingkat Gelas-gelas kristal berdenting dialiri air zamzam Menebarkan rasa kesejukan Bunga petunia ditanam di dalam pot-pot kayu Pot-pot itu digantungkan pada kosen-kosen jendela tua berwarna biru Di beranda, lampu-lampu kecil disembunyikan di balik tilam, indah sekali 135 Laskar Pelangi
Sinarnya memancarkan kedamaian Tembus membelah perdu-perdu di halaman Surga begitu sepi Tapi aku ingin tetap di sini Karenaku ingat janjimu Tuhan Kalau aku datang dengan berjalan ENGKAU akan menjemputku dengan berlari-lari Dengan puisi ini, un tuk pertama kalinya aku mendapat n ilai kesenian yang sedikit leb ih baik dari nilai Mahar, tapi hal itu hanya terjadi sekali itu saja. Puisiku ini membu ktikan bahwa karya seni yang baik, setidaknya baik bagi Bu Mus, adalah karya seni yang jujur. Namun, aku punya cerita yang panjang dan kurasa cukup penting mengapa kali ini Mahar tidak mendapatkan nilai kesenian tertinggi seperti baisanya. Semua itu gara-gara sekawanan burung hebat nan misterius yang din amai orang-orang Belitong sebagai burung pelintang p ulau. Nama burung pelintang pulau selalu menarik perhatian siapa saja, di mana saja, terutama di pesisir. Sebagian orang malah menganggap burung ini semacam makhluk gaib. Nama burung ini mampu menggetarkan nurani orang-orang pesisir sehubungan dengan nilai-nilai mitos dan pesan yang dibawanya. Burung pelin tang pulau amat asing. Para pencinta bur ung lokal dan orang-orang pesisir hanya memiliki pengetahuan yang amat minim mengenai b urung ini. Di mana habitatnya, bagaimana rupa dan ukuran aslinya, dan apa makanannya, selalu jadi polemik. Hanya segelintir orang yang sedang beruntung saja pernah melihatnya langsung. Burung ini tak pern ah tertangkap hidup- hidup. Kerahasiaan bruung ini adalah konsekuensi dari kebiasaannya. Nama pelintang pulau adalah cerminan kebiasaan burung ini terbang sangat kencang dan jauh tinggi melintang (melintasi) pulau demi pulau. Mereka hanya singgah sebentar dan selalu hinggap di 136 Laskar Pelangi
puncak tertinggi dari pohon-p ohon yang tingginya puluhan meter seperti pohon medang dan tanjung. Singg ahnya pun tak pern ah lama, tidak untuk makan apa pun. Mereka sangat liar, tidak mungkin bisa didekati. Setelah hinggap sebentar dengan kawanan lima atau enam ekor mereka terburu- buru terbang dengan kencang ke arah yang sama sekali tak dapat diduga. Banyak orangyang percaya bahwa mereka hidup di pulau-pulau kecil yang tak dihuni manusia. Sementara mitos lain mengatakan bahwa burung-burung ini hanya hinggap sekali saja pada sebuah kanopi di setiap pulau. Merekam enghabiskan sebagian b esar hidupnya terbang tinggi di angkasa, melintas dari satu p ulau ke pulau lain yang berjumlah puluhan di perairan Belitong. Orang-orang Melayu pesisir percaya bahwa jika burung ini singgah di kampung maka per tan da di laut sedang terjadi badai hebat atau angin puting beliung. Sering sekali kehadirannya membatalkan niat nelayan yang akan melaut. Tapi ada penjelasan lo gis untuk pesan ini, yaitu jika mereka memang tinggal di pulauterpencil maka badai laut akan menyap u p ulautersebut dan saat itulah mereka menghindar menuju pesisir lain. Burung yangkon on sangat cantik dengan do minasi warna biru dan kuning ini berukuran seperti burung bayan. Tapi aku agak kurang setuju dengan pendapat itu. Aku setuju dengan warnanya, tapi ukurannya pasti jauh lebih besar , karena saksi mata melihatnya berteng ger pulu han meter darinya sehingga akan tampak lebih kecil. Perkiraanku burung itu paling tidak berpenampilan seperti burung rawe yang beringas atau peregam segagah rajawali. Demikianlah burugn pelintang pulau, semakin misterius keberadaan nya, semakin legendaris ceritanya. Mungkinkah burung ini b elu m terpetakan oleh para ahli ornitologi? Namun, burung apa p un itu, ketika melakukan semacam penelitian untuk membuat tu gas kesenian yang ia putuskan berupa lukisan, Mahar mengaku melihat burung pelintang pulau nun jauh tinggi berayun -ayun di pucuk- 137 Laskar Pelangi
pucuk meranti. Ia pontang-p anting menuju tenda untuk memberitahukan apa yang baru saja dilihatnya, dan kami pun menghambur masuk ke hutan untuk menyaksikan salah satu spesies paling langka kekayaan fauna pulau B elitong itu. Sayangnya yang kami sak sikan hanya dahan-dahan yang kosong, beberapa ekoranak lutung yang masih berwar na kuning, dan langit hampa yang luas menyilaukan. Mahar menjebak dirinya sendiri. Maka, seperti biasa, mengalirlah ejekan untuk Mahar. “Kalau makan buah bintang kebanyakan, manisnya memang dapat membaut orang mabuk, Har, pandangan kabur, dan mulut melantur,” Samson menarik pelatuk dan pengh ujatan pun dimulai. “Sungguh Son, yang kulihat tadi burung pelintang pulau kawanan lima ekor.. “Dalam laut dapat kukira, dalamnya dusta siapa sangka,” dengan rima pantun yang seder hana Ku cai menohok Mahar.tanpa perasaan. Keputusasaan terpancar di wajah Mahar yang tanpa dosa, matanya mencari- cari dari dahan ke dahan. Aku iba melihatnya, dengan cara apa aku dapat membelanya? Tanpa saksi yang menguatkan, posisinya tak berdaya. Kulihat dalam-dalam mata Mahar dan aku yakin yang baru saja dilihatnya memang burung-burung keramat itu. Ah! Beruntung sekali. Sayangnya upaya Mahar meyakinkan kami sia-sia karena reputasinya sendiri yang senang membual. Itulah susahnya jadi pembual, sekali mengajukan kebenaran hakiki di antara seribu macam dusta, orang hanya akan menganggap kebenaran itu sebagai salah satu dari buah kebohongan lainnya. “Mungkin yang kau lihat tadi burung ayam-ayam yang sengaja hinggap di dahan tepat di atasmu utnuk mengencingi jambulmu itu,” cela Kucai. Tawa kami meledak menusuk perasaan Mahar. Burung ayam- ayaman tidak ek sklusif, terdapat di mana- mana, dan senang 138 Laskar Pelangi
bercanda di sepanjang saluran pembuangan pasar ikan. Perut-perut ikan adalah caviar bagi mereka. Burung itu selalu digunakan orang Melayu sebagai perlambang untuk menghina. Belum reda tawa kami Sahara berusaha menyadarkan kesesatan Mahar “Jangan kaucampuradukkan imajinasi dan dusta, kawan. Tak tahukah engkau, kebohongan adalah pantangan kita, larangan itu bertalu- talu diseb utkan dalam buku Budi Pekerti Muhammadiyah. . Trapan i mencoba sedikit berlogika, “Barangkali kau salah lihat Har, keluarga Lintang saja yang sudah empat turunan tinggal di pesisir tak pernah sekalipun melihat burung itu apa lagi kita yangbaru berkemah dua hari. . Masukakal juga, tapi nasib orang siapa tahu? Situasi makin kacau ketika sore itu ber itakunjungan burung pelin tang pulau menyebar ke kampung dan b eberapa nelayan batal melaut. Ibu Mus takenak hati tapi tak mengerti bagaimana menetralisasi suasana. Mahar semakin terpojok dan merasa bersalah. Namun percaya atau tidak, malamnya angin bertiup sangat kencang mengobrak-abr ik tenda kami. Beberapa batang poh on cemara tumbang. Di laut kami melihat petir menyambar-nyambar dengan dahsyat dan awan hitam di atasnya berugulung-gulung mengerikan. Kami lari terbirit-birit men cari perlindungan ke rumah penduduk. “Mungkin yang kau lihat tadi sore benar-bear burung pelintang pulau , Har,. kata Syahdan gemetar. Mahar diam saja. Aku tahu kata “mungkin” itu tidak tepat. Bagaimanapun juga badai ini sedikit banyak memihak ceritanya, mengurangi rasa ber salahnya, dan dapat menghindarkannya dari cap pembual, apalagi esoknya para nelayan berterima kasih padanya. Namun, ternyata temannya masih meragu kannya dengan menggunakan kata “mungkin”, padahal tenda kami sudah hancur lebur diaduk-aduk badai. Rasa tersinggungnya tidak berkurang sedikit pun. Pada tingkat ini dia sudah merasa dirinya seorang persona nongrata , orang yang tak disukai. 139 Laskar Pelangi
Demikianlah dari waktu ke waktu kami selalu memperlaku kan Mahar tanpa perasaan. Kami lebih melihatnya sebagai seorang bohemian yang aneh. Kami dibutakan tabiat orang pada umumnya, yaitu menganggap diri paling baik, tidak mau mengakui keunggulan orang, dan mencari-cari kekurangan orang lain untuk menutu pi ketidakbecusan diri sendiri. Kami jarang sekali ingin secarao bjektif membu ka mata melihat bakat seni hebat yang dimiliki Mahar dan bagaimaan bakat itu berkembang secara alami dengan menak jubkan. Namun, tak mengapa, lihatlah sebentar lagi, seluruh ketidak adilan selama beberapa tahun ini akan segara dibalas tuntas olehnya dengan setimpal. Cerita akan semakin seru! Besoknya Mahar membuat lukisan berjudu l “Kawanan Burung Pelintang Pulau”. Sebuah tema yang menarik. Lukisan itu berupa lima ekor burung yang tak jelas bentuknya melaju secepat kilat menembus celah-celah pucuk pohon meranti. Latar belakangnya adalah gumpalana awan kelam yang memancing badai hebat. Hamparan laut dilukis biru gelap dan per mukaannya berkilat-kilat memantulkan cahaya halilintar di atasnya. Kelima ekor burung itu hanya ditampakkan beru pa ser pihan- serpihan warna hijau dan kuning dengan ilustrasi tak jelas, seperti sesuatu yang berkelebat sangat cepat. Jika dilihat sepin tas, memang masih terlihat samar-samar seperti lima kawanan burung tapi kesan seluruhnya adalah seperti sambaran petir berwarna-warni. Sebuah lukisan penuh daya mito s yang menggettarkan. Dengan kekuatan imajinasinya Mahar berusaha mengabadikan sifat-sifat misterius burung ini. Yang ada dalam pemikiran di balik lukisan nya bukanlah bentuk an ato mis burung pelintang pulautapi representasi sebuah legenda magis, sifat-sifat alami burung pelintang pulau yang fenomenal, keterbatasan pengetahuan kita tentang mereka, karakternya yang suka menjauhi manusia, dan mitos-mitos ganjil yang menggerayangi setiap kepala orang pesisir. 140 Laskar Pelangi
Lukisan Mahar sesungguhnya merup akan swebuah karya hebat yang memiliki nyawa, mengand ung ribuan kisah, menentang keyakinan, dan mampu menggugah perasaan. Namun, Mahar tetaplah anak kecil dengan keterbatasan kosa kata untuk menjelaskan maksudnya. Ia kesulitan menemukan orang yang dapat memahaminya, dan lebih dari itu , ia juga seniman yang bekerja berdasarkan suasana hati. Maka ketika Samson, Syahdan, dan Sahara berpendapat bahwa bentuk burung yang tak jelas karena Mahar sebenarnya tak pern ah melihatnya, Mahar kembali tenggelam dalam sarkasme, mood -nya rusak beran takan. Inilah kenyataan pahit dunia nyata. Begitu banyak seniman bagus yang hidup di an tara orang-orang bu ta seni. Lingkungan umumnya tak memahami mereka dan lebih parah lagi, tanpa beban berani memberi komentar seenak udelnya. Ketika Mahar sudah berpikir dalam tataran imajinasi, simbol, dan substansi, Samson, Syahdan , dan Sahara masih berpikir harfiah. Kasihan Mahar, seniman besar kami yang sering dilecehkan. Karena kecewa sebab karyanya dianggap tak jujur, Mahar setengah hati menyerahkan karyanya kepada Bu Mus sehingga terlambat. Inilah yang menyebabkan nilai Maharagak berkurang sedikit. Yaitu karena melanggar tata tertib batas penyerahan tugas, bukan karena pertimbangan artistik . Ironis memang. “Kali ini Ibunda tidak memberimu nilai terbaik untuk mendidikmu sendiri,” kata Bu Mus dengan bijak pada Mahar yang cuek saja. “Bu kan karena karyamu tidak bermutu, tapi dalam bekerja apa pun kita harus memiliki disiplin.. Aku rasa pandangan ini cukup adil. Sebaliknya, aku dan kami sekelas tidak menganggap keunggulanku dalam nilai kesenian sebagai momentu m lahirnya sen iman baru di kelas kami. Seniman besar kami tetap Mahar, the one and only . Adapun Mahar yang nyentrik sama sekali tidak peduli. Ia tak ambil p using mengen ai bagaimana karya-karya seninya dinilai 141 Laskar Pelangi
dalam skala angka-angka, apalagi sekarang ia sedang sibuk. Ia sedang berusaha keras memikirkan konsep seni untuk karnaval 17 Agustus. 142 Laskar Pelangi
Bab 17 Ada Cinta Di Toko Kelontong Bobrok Itu MEMANG menyenangkan menginjak remaja. Di sekolah, mata pelajaran mulai terasa berman faat. Misalnya pelajaran membuat telurasin, menyemai biji sawi, membedah perut kodok, keterampilan menyulam, menata janur, membuat pupuk dari kotoran hewan, dan praktek memasak. Konon di Jep ang pada tingkat ini para siswa telah belajar semikon duktor, sudah bisa menjelaskan perbedaan antara istilahan alog dan digital, sudah belajar membuat animasi, belajar software development , ser ta praktik merakit robot. Tak mengapa, lebih dari itu kami mulai terbata-bata berbahasa Inggris: Good this , good that, excuse me, I beg yo ur pardon, dan I am fine thank you. Tugas yang paling menyenangkan adalah belajar menerjemahkan lagu. Lagu lama Have I Told You Lately That I Love You ternyata mengandung arti yang aduhai. Dengarlah lagu penuh peson a cin ta ini. Bermacam-macam vokalis kelas satu telah membawakannya termasuk pria midlan d bersuara serak: Mr. Rod Stewart. Tapi sedapat mungkin dengarlah versi Kenny Rogers dalam album Vote For Lo ve Volume 1 . Lagu can tik itu ada di trek pertama. Syair lagu itu kira-kira bercerita tentang seorang anak muda yang benci sekali jika disuruh gurunya membeli kapur tulis, sampai 143 Laskar Pelangi
pada suatuhari ketika ia berangkat dengan jengkel untuk membeli kapur tersebut, tanpa disadarinya, nasib telah menunggunya di pasar ikan dan menyergapnya tanpa ampun . Membeli kapuradalah salah satu tu gas kelas yang paling tidak menyen angkan. Pekerjaan lain yang amat kami benci adalah menyiram bunga. Beragam familia pakis mu lai dari kembang tanduk rusa sampai puluhan po t suplir kesayangan Bu Mus serta rupa-rupa kaktus topi uskup , Parodia , dan Mammillaria harus diperlaku kan dengan sopan seperti porselen mahal dari Tiongkok. Belum lagi deretanpanjang p ot amarilis, kalimatis, azalea, nanas sabrang, C alathea , Stro man the , Abutilon , kalmus, damar kamar, dan anggrek Dendrobium dengan berbagai variannya. Berlaku semena- men a terhadap bunga-bunga ini merupakan pelanggaran ser ius. “Ini adalah bagian dari pen didikan! ” pesan Bu Mus serius. Masalahnya adalah mengambil air dari dalam sumur di belakang sekolah merupakan pekerjaan kuli kasar. Selain harus mengisi penuh dua buah kaleng cat 15 kilogram dan pontang-pan ting memikulnya, sumur tua yang angker itu sangat mengerikan . Sumur itu hitam, berlumut, gelap, dan menakutkan. Diameternya kecil, dasarnya tak kelihatan saking dalamnya, seolah tersambung ke dunia lain , ke sarang makhluk jadi-jadian . Beban hidup terasa berat sekali jika pagi-pagi sekali harus menimba air dan menund uk ke dalam sumur itu. Hanya ketika menyirami bunga strip ped canna beauty aku merasa sed ikit terhibur. Ah, indahnya bunga yang semula tumbuh liar di bukit-bukit lembap di Brazil ini. Masih dalam familia Apocynaceae maka agak sedikit mirip dengan alamanda tapi strip- strip putih pada bunganya yang berwarna kuning adalah daya tarik tersendiri yang tak dimiliki jenis canna lain. Daun hijaunya yang menjulur gemuk-gemuk kontras dengan gradasi warna kuntum bunga sepanjang musim, menghadirkan pesona keindahan p urba. Orang Parsi menyebutnya bunga surga. Jika ia merekah maka dunia 144 Laskar Pelangi
tersenyum. Ia adalah bunga yang emosional, maka menyiramnya harus berhati- hati. Tidak semua orang dapat menumbuhkannya. Konon hanya mereka yang bertangan dingin, berhati lembut putih bersih yang mamp u membiakkannya, ialah Bu Muslimah, guru kami. Kami memiliki b eberapa pot stripped canna beauty dan sep akat menempatkan nya pada po sisi yang terhormat di antara tanaman-tanaman kerdil nan cantik Peperomia , daun picisan, sekulen, dan Ardisia . Ketika tiba musim bersemi bersamaan, maka tersaji sebuah pemandangan seperti kue lapis di dalam nampan. Aku selalu tergesa-g esa menyirami bunga biar tugas itu cepat selesai, namun jika tiba pada bagian canna itu dan para tetangganya tadi, aku berusaha setenang- tenangnya. Aku menikmati suatu lamunan, menduga-d uga apa yang dibayangkan orang jika berada di tengah-tengah surga kecil ini. Apakah mereka merasa sedang berada di taman Jurassic? Aku melihat sekeliling kebun bunga kecil kami. Letaknya persis di depan kantor kepala sekolah. Ada jalan kecil dari batu-batu persegi empat menu ju kebun ini. Di sisi kiri kanan jalan itu melimpah ruah Monstera , Nolina , Violces , kacang polong, cemara udang, keladi, begonia , dan aster yang tumbuh tinggi-tinggi serta tak per lu disiram. Bunga-bunga ini tak teratur, kaya raya akan nektar, berdesak- desakan dengan bunga berwarna menyala yang tak dikenal, bermacam-macam rump ut liar, kerasak , dan semak ilalang. Secara umum kebun bunga kami mengensankan taman yang dirawat sekaligus kebun yang tak terpelihara, dan hal ini justru secara tak sengaja menghadirkan paduan yang menarik hati. Latar belakang kebun itu adalah sekolah kami yang doyong, seperti bangunan kosong tak dihuni yang dilupakan zaman. Semuanya memperkuat kesan sebuah paradiso liar, keeksotisan tropika. Lalu erambat pada tiang lonceng adalah dahan jalar labu air. Seperti tangan rak sasa ia menggerayangi dinding papan pelepak sekolah kami, tak terbendung menujangkau-jangkau atap sirap yang 145 Laskar Pelangi
terlep as dari pakunya. Sebag ian dahannya merambati pohon jambu mawar dan dlima yang meneduhi atap kantor itu. Cabang- cabang buah muda labu air terkulai di depan jendela kantor sehingga dapat dijangkau tangan . Burung-burugngelatik rajin bergelantungan di situ. Sepanjang pagi tempat itu riuh r endah oleh suarakumbang dan lebah madu. Jika aku memusatkan pendengaran pada dengungan ribuan lebah madu itu, lama-kelamaan tubuhku seakan kehilangan daya berat, mengapung di udara. Itulah kebun sekolah muhammadiyah, indah dalam ketidakteraturan, seperti lukisan Kandinsky. Kalau bukangara-gara su mur sarang jin yang hor or itu, pekerjaan menyiram bung a seharusnya b isa menjadi tugas yang menyen angkan. Namun, tugas memebli kapuradalah pekerjaan yang jauh lebih horor . Toko Sinar Harapan, pemasok kapur satu-satunya di Belitong Timur, amat jauh letaknya. Sesampainya di sana—di sebuah toko yang sesak di kawasan kumuh pasar ikan yang becek— jika perut tidak kuat, siapa pun akan muntah karena bau lobak asin, tauco, kanji, keru puk udang, ikan teri, asam jawa, air tahu, terasi, kembang kol, pedak cumi, jengkol, dan kacang merah yang ditelantarkan di dalam baskom- baskom karatan di depan toko. Jika beran i masu k ke dalam toko, bau itu akan bercampur dengan bau plastik bungkus mainan anak-anak, aroma kapur barus yang membuat mata berair, bau cat minyak, bau gaharu , bau sabun colek, bau obat nyamuk, bau ban dalam sepeda yang bergelantungan di sembarang tempat di seantero toko, dan bau tembakau lapu k di atas rak -rak b esi yang telah ber tahun-tahun tak laku dijual. Dagangan yang tak laku ini tidak dibuang karena pemiliknya menderita suatu gejala psikologis yang disebut hoarding , sakit gila n o. 28, yaitu hobi aneh mengumpulkan barang-barang rongso kan tak berguna tapi sayang dibuang. Seluruh akumulasi bau tengik itu masih ditambah lagi dengan aroma keringat kuli-kuli panggul yang petantang-p etenteng membawa gancu, ingar- bingar dengan 146 Laskar Pelangi
bahasanya sendiri, dan lalu- lalang seenaknya memanggu l karung tepung terigu. Belum seberapa, pusat bau busuk yang sesung guhnya berada di lo s pasar ikan yang bersebelahan langsung dengan Toko Sinar Harapan. Di sini ikan hiu dan pari dsangkutkan pada can tolan paku dengan cara menusukkan banar mulai dari insang sampai ke mulu t binatang malang itu, sebuah pemandangan yang mengerikan. Bau amis darah menyebar keseluruh sudut pasar. Perut-perut ikan dibiarkan bertump uk-tumpuk di sep anjang meja, berjejal tumpah berserakan di lantai yang tak pernah dibersihkan. Dan bau yang paling parah berasal dari makh luk-makh luk laut hampir busuk yang disimpan dalam peti-p eti terbuka dengan es seadanya. Pagi itu giliran aku dan Syahdan berangkat ke toko bobrok itu. Kami naik sepeda dan membuat perjanjian yang bersungguh - sungguh, bahwa saat berangkat ia akan memboncengku. Ia akan mengayuh sepeda setengah jalan sampai ke sebuh kuburan Tionghoa. Lalu aku akan menggantikannya mengayuh sampai ke pasar. Nanti pulangnya berlaku aturan yang sama. Suatu pengaturan tidak masuk akal yang dibuat oleh orang-orang frustrasi. Ditambah lagi satu syarat cerewt lainnya, yaitu setiap jalan menan jak kami harus turun dari sepeda lalu sepeda dituntun bergantian dengan umlah langkah yang diperhitungkan secara teliti. Tu buh Syahdan yang kecil terlonjak-lonjak di atas batang sepeda laki punya Pak Harfan saat ia bersusah payah mengayuh pedal. Sepeda itu terlalu besar untuknya sehingga tampak seperti kendaraana yang tak bisa iakuasai, apalagi dibebani tu buhku di tempat duduk belakang. Namun, ia bertekad terus mengayuh sekuat tenaga. Siapa pun yang melihat pemandangan itu pasti prihatin sekaligus tertawa. Tapi suasana hatiku sedang tidak peka untuk segala bentuk komedi. Aku duduk di belakang, tak acuh pada kesusahannya. “Turun d ulu, tuan raja ...,” Syahdan menggodaku ketika sep eda kami menanjak. 147 Laskar Pelangi
Ia ngos-ngosan, tapi tersenyum lebar dan membungkuk laksana seorangp enjilat. Syahdan selalu riang menerima tugas apa pun, termasuk menyiram bunga, asalkan dirinya dapat menghin darkan diri dari pelajaran di kelas. Baginya acara pembelian kapur ini adalah vakansi kecil-kecilan sambil melihat beragam kegiatan di pasar dan kesempatan mengobrol dengan b eberapa wanita muda pujaan nya. Aku turun dengan malas, dingin, tak tertarik dengan kelakarnya, dan tak punya waktu untuk bertoleransi pada penderitaan p ria kecil ini. Kami sampai di sebuah Toapekong. Di depannya ada bangunan rendah berbentuk seperti kue bulan dan di tengah bangunan itu tertempel foto hitam putih wajah serius seorang nyonya yang disimpan dalam bidang yang ditutupi kaca. Lelehan lilin merah berserakan di sekitarnya. Itulah kuburan yang kumaksud taid dalam perjan jian kami, maka tibalah giliranku mengayuh sepeda. Aku naiki sepeda itu tanpa selera, setengah hati, dan sejak gelindingan ro da yang pertama aku sudah memarahi diriku sen diri, menyesali tugas ini, toko busuk itu, dan pengaturan bodoh yang kami baut. Aku menggerutu karena rantai sepeda reyo t itu terlalu kencang sehingga berat untuk aku mengayuhnya. Aku juga mengeluh karena hukum yang tak pernah memihak orang kecil: sadel yang terlalu tinggi, para koruptor yang bebas berkeliaran seperti ayam h utan, Syahdan yang berat meskipun badannya kecil, dunia yang tak pernahadil, dan baut dinamo sepeda yang longgar sehingga gir- nya menempel di ban akibatnya semakin berat mengayuhnya dan menyalakan lampu sepeda di siang bolong ini persis kendaraan pembawa jenazah. Syahdan du duk dengan penuh nikmat di tempat du duk belakang sambil menyiul-nyiulkan lagu Semalam di Malaysia . Ia tak ambil pusing mendegar ocehanku, peluh hampir masuk ke dalam kelopak matanya tapi wajahnya riang gembira tak alang kepalang. 148 Laskar Pelangi
Lalu kami memasuki wilayah bangunan permanen yang berderet- deret, berhadapan satu sama lain hampir beradu atap. Inilah jejeran toko kelontong dengan konsep menjual semua jenis barang. Sepeda kami meliuk-liuk di antara truk-truk rak sasa yang diparkir seenak nya di depan warung-warung kopi. Di sana hiruk pikuk para karyawan rendahan PN Timah, pengangguran, b romocorah, pensiun an, pemulung besi, polisi pamong praja, kuli panggul, sopir mobil omprengan, para penjaga malam, dan pegawai negeri. Pemb icaraan mereka selalu seru , tapi selalu tentang satu topik, yaitu memaki-maki pemerintah. Setelah deretan warung kopi lalu berdiri hitam berminyak- minyak beberapa bengkel sepeda dan tenda-tenda pedagang kaki lima. Kelompok ini berada di sela-sela mobil omp rengan dan para pedagang dadakan dari kampung yang menjual berbagai hasil bumi dalam keranjang-keranjang pempang. Pedagang kampung ini menjual beragam jenis rebung, umb i-umbian, pinang, sirih, kayu bakar, mad u pahit, jeru k nipis, gaharu, dan pelanduk yang telah diasap. Bagian ak hir pasar ini adalah meja-meja tua panjang, par it- parit kecil yang mampet, dan tong-tong besar untuk menampung jeroan ikan, sapi, dan ayam. Baunya membuat perut mual. Inilah pasar ikan. Pasar ini sengaja ditempatkan di tepi seungai dengan maksud seluruh limbahnya, termasuk limbah pasar ikan, dapat dengan mudah dilungsurkan ke sungai. Tapi pasar ini berada di dataran rendah. Akibatnya jika laut pasang tinggi sungai akan menghanyutkan kembali gunungan sampah organik itu menu ju lorong-lorong sempit pasar. Lalu ketika air surut sampah itu tersangkut pada kaki-kaki meja, tumpukan kaleng, pagar-pagar yang telah patah , pangkal-pangkal pohon seri, dan tiang-tiang kayu yang cen tang perenang. Demikianlah pasar kami, hasil karya perencanaan kota yang canggih dari para arsitek Melayu yang paling kampungan . Tidak dekaden tapi kacau balau bukan main. 149 Laskar Pelangi
Toko Sinar Harapan terletak sangat strategis di tengah p usaran bau busuk. Ia berada di antara para pedagang kaki lima, bengkel sepeda, mobil-mobil omprengan, dan pasar ikan. Pembelian sekotak kapuradalah transaksi yang tak penting sehingga pembelinya harus menunggu sampai juragan toko selesai melayani sekelompok pria dan wanita yang menutup kepalanya dengan sarung dan berpakaian dengan dominasi warna kuning, hijau , dan merah. Di sekujur tubuh wanita-wanita ini bertaburan perhiasan emas—asli maupun imitasi, perak, dan kuningan yang sangat mencolok. Mereka tidak tertarik untuk berbasa-basi dengan orang-orang Melayu di sekelilingnya. Mereka hanya berbicara sesama mereka sendiri atau sed ikit bicara dengan Bang Sadatau “bangsat”. Itulah panggilan untuk Bang Arsyad, orang Melayu, tangan kalaA Miauw sang juragan Toko Sinar Harapan, karena kadang-kadang tabiat Bang Sad tak jauh dari namanya. Pria-pria bersar ung ini berbicara sangat cepat dengan nada yang beresklasi harmonis naik turun dalam band yang lebar , maka akan terdengar persis pola akumulatif suara ombak menghemp as pantai, suatu lingua yang sangat cantik. A Miauw sendiri adalah sesosok teror. Pira yang sok mendapat hoki ini sangat berlagak bagai b os. Tubuhnya gend ut dan ia selalu memakai kaus kutang, celan a pendek, dan sandal jepit. Di tangannya tak pernah lepas sebuah buku kecil panjang bersampul motif batik, buku u tang. Pensil terselip di daun telinganya yang berdaging seperti bakso dan di atas mejanya ada sempoa besar yang jika dimain kan bunyinya mampu merisaukan pikiran. Tokoknya lebih cocok jika disebut gudang rabat. Ratusan jenis barang bertumpuk-tu mpuk mencapai plafon di dalam ruangan kecil yang sesak. Selain berbagai jenis sayur, buah, dan makanan di dalam baskom-baskom karatan tadi, toko ini juga menjual sajadah, asinan kedondong dalam stopelas-stoples tua, pita mesin tik, dan cat besi dengan bonus kalender wanita berpakaian seadanya.Di dalam sebuah bufet kaca panjang dip ajang bedak kerang pemutih wajah murahan, tawas, mercon, peluru senapan angin, racun tikus, kembang api, dan antena TV. Jika kita terburu-buru membeli obat 150 Laskar Pelangi
diare cap kupu-kupu, maka jangan harap A Miauw dapat segera menemukannya. Kadang-kadang ia sendiri tak tahu di mana puyer itu disimpan. Ia seperti tertimbun dagangan dan tenggelam di tengah pusaran barang-barang kelontong. Kiak-kiak! . A Miauw memanggil tak sabar, dan Bang Sad tergo poh- gopoh menghampirinya. . Ma gai di Mangg ara masempo linna? . Orang-orang bersarung keberatan ketika mengamati har ga kaus lampu petromaks. Di Manggar leb ih murah kata mereka. . Kito lui, ba? Nga pe de Manggar harge e lebe mura? . Bang Sad menyampaikan keluhan itu pada juragannya dalam bahasa Kek campur Melayu. Aku sudah muak di dalam toko bau ini tapi sedikit terhibur dengan percakapan tersebut. Aku bar u saja menyaksikan bagaimana kompleksitas per bedaan budaya dalam komunitas kami didemonstrasikan. Tiga orang pria dari akar etnik yang sama sekali berbeda berko munikasi dengan tiga macam bahasa ibu masing- masing, campuraduk. Orang-orang yang berjiwa penuh prasangka akan menduga A Miau w sengaja merekayasa konfigurasi komunikasi seperti itu untuk keuntungannya sendiri, namun mari ku gambarkan sedikit kepribadian A Miauw. Ia memang pria congkak dengan intonasi bicara takenak didengar, wajahnya juga seperti orang yang selalu ingin memerintah, kata-katanya tidak bersahabat, dan badannya 151 Laskar Pelangi
bau tengik bawang putih, tapi ia adalah seorang Kong Hu Cu yang taat dan dalam hal berniaga ia jujur tak ada bandingannya. Maka dalam harmoni masyarakat kami, warga Tionghoa adalah pedagang yang efisien. Adapun para produsen berada di negeri antah berantah, mereka hanya kami kenal melalui tulisan made in ... yang tertera di buntut-buntut panci. Orang-orang Melayu adalah kaum konsumen yang semakin miskin justru semakin konsumtif. Sedangkan orang-orang pulau berkerudung tadi adalah para pembuka lapangan kerja musiman bagi warga suku Sawang yang memanggil belanjaan mereka. . S egere! Siun! Siun! ” hardik tiga orang Sawang, kuli panggul, yang numpang lewat, membyuarkan lamun anku. Mereka adalah kawan yang telah lamakukenal. Dolen, Baset, dan Kunyit, begitulah nama mereka. Agak nya urusan A Miauw dengan orang-orang berkerudung itu telah selesai dan sekarang masuk lah ia ke transaksi kap ur. “Aya...ya. .., Muhammadiyah! Kap ur tulis!” keluh A Miauw menarik napas panjang, seolah kami hanya akan merusak hokinya. Acara pemb elian kap uradalah rutin dan sama. Setelah menunggu sekian lama sampai hampir pingsan di dalam toko bau itu, A Miauw akan berteriak nyaring memerintahkan seseorang mengambil sekotak kapur. Lalu dari ruang belakang akan terdengar teriakan jawaban dari seseorang— yang selalu kuduga seorang gadis kecil— yang juga berbicara nyaring, lantang, dan cepat seperti kicauan burung murai batu. Kotak kapur dikeluarkan melalui sebuah lubang kecil per segi empat seperti kandang burung mer pati. Yang terlihat hanya sebuah tangan halus, sebelah kanan, yang sangat putih bersih, menjulurkan kotak kapur melalui lubang itu. Wajah pemilik tangan ini adlaah 152 Laskar Pelangi
misterius, sang burung murai batu tadi, tersembunyi di balik dinding papan yang membatasi ruangan tengah toko dengan gudang barang dagangan di belakang. Sang misteri ini tidak pernah b icara sepatah kata pun padaku. Ia menjulurkan kotak kapur dengan tergesa-gesa dan menarik tangannya cep at-cepat seperti orang mengumpankan daging ke kandang macan. Demikianlah berlangsung bertahun-tahun, prosedurnya tetap, itu-itu saja, tak berubah. Jika tangan nya menjulur tak kulihat ada cin cin di jari- jemarinya yang lentik, halus, panjang-panjang, dan ramping, namun siuka , gelang giok indah berwarna hijau tampak berkarakter dan melingkar garang pada pergelangan tangannya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Dalam hatiku, jika kau berani macam-macam p astilah jemarinya secepat patukan bangau menusuk kedua bola mataku dengan gerakan kuntau yang tak terlihat. Mungkin pula gelang giok yang selalu membuatku segan itu diwarisinya dari kakeknya, seorang suhu sakti, yang mendapatkangelang itu dari mulut seekor naga setelah naga itu dibinasaan dalam pertarunagan dahsyat untuk merebut hati neneknya. Ah! Kiranya aku terlalu banyak nonton film shaolin. Namun, tahu kah Anda? Di balik kesan yang garang itu , di ujung jari-jemari lentik si misterius ini tertanam paras-paras kuku nan indah luar biasa, terawat amat baik, dan sangat memesona, jauh lebih memeson a dibanding gelang g iok tadi. Tak pernah kulihat kuku orang Melayu seindah itu, apalagi kuku orang Sawang. Ia tak pernah memakai kuteks. Aliran urat-urat halus berwarna merah tersembunyi samar- samar di dalam kukunya yang saking halus dan putihnya sampai tampak transparan. Ujung- ujung kuku itu dipo tong dengan pr esisi yang mengagumkan dalam bentuk seperti bulan sabit sehingga membentuk harmoni pada kelima jarin ya. Permukaan kulit di seputar kukunya sangat rapi, menandakan perawtan intensif dengan merendamnya lama-lama di dalam bejan 153 Laskar Pelangi
a yang berisi air hangat dan pucuk- pucuk daun kenanga. Ketika memanjang, kuku -kuku itu bergerak maju ke dep an dengan bentuk menunduk dan menguncup, semakinindah seperti batu-batu kecu bung dari Martapura, atau lebih tepatnya seperti batu kinyang air muda kebiru -biruan yang tersembunyi di kedalaman dasar Sungai Mirang. Amat berb eda dengan kuku Sahar yang jika memanjang ia akan melebar dan makin lama semakin menganga, persis seperti mata pacul. Dan yang tercantik dari yang paling cantik adalah kuku jari manisnya. Ia memperlihatkan seni perawatan kuku tingkat itnggi melalui potongan pendek natural dengan tepian kuku berwarnakulit yang klasik. Tak berleb ihan jikakukatakan bahwa paras kuku jari manis nona misterius ini laksana batu merah delima yang terindah di antara tumpukan harta karun raja brana yang tak ternilai harganya. Aku sudah terlalu sering mendapatkan tugas membeli kap ur yang menjengkelkan ini, sudah puluhan kali. Satu-satunya penghiburan dari tugas hor or ini adalah kesempatan menyaksikan sekilas kuku-kuku itu lalu menertawakan bagaimana kontrasnyakuku-kuku zamru d khatulistiwa tersebut dibanding potongan- potongan kecil terasi busuk di seantero toko bobrok ini. Karena terlalu sering, aku jadi hafal jadwal si nona misterius memotong kukunya setiap hari Jumat, lima minggu sekali. Demikianlah berlangsung selama beberapa tahun. Aku tak pernah seklai pun melihat wajah non aini dan ia pun sama sekali tak berminat melihat bagaimana rupaku. Bah kan setiap kuucapkan kamsia setelah kuterima kotak kapurnya, ia juga tidak menjawab. Diam seribu bahasa. Non penuh rahasia ini seperti pengejawantahan makhluk asing dari negeri antah berantah, dan ia dengan sangat konsisten menjaga jarak denganku. Tidak ada basa basi, tak adangobrol-ngobrol, tak ada buang-buang waktu untuk soal remeh-temeh, yang ada hanya b isnis! Kadangkala aku penasaran ingin melihat bagaimana wajah pemilik kuku -kuku nirwana itu . Apakah wajahnya seindah kuku- kukunya? Apakah jari-jari tangan kirinya seindah jari-jari tangan kan 154 Laskar Pelangi
annya? Atau .. . apakah dia Cuma punya satu tangan? Jangan- jangan dia tidak punya wajah ! Tapi semua pikiran itu hanya di dalam hatiku saja. Tak adaniat sedikit pun untuk mengintip wajahnya. Mendapat kesempatan memandangi kuku-kukunya saja pun cukuplah untuk membuatku bahagia. Kawan , aku tidak termasuk dalam golongan pria-pria yang kurang ajar. Biasanya setelah mengambil kapur, ikami langsung pulang, A Miauw akan mencatat di buku utang dan nanti akan dilunasi Pak Har fan setiapakhir bulan. Kami tak berurusan dengan masalah keuangan, dan ketika kami berlalu, si juragan itu tak sedikit pun melirik kami. Ia menjentikkan dengan keras biji-biji sempoe seolah mengingatkan “Utang kalian sudah menumpuk!. Bagi A Miauw kami adalah pelanggan yang tidak menguntungkan, alias hanya merepo tkan saja. Kalau sekali-kali Syah dan mendekatinya untuk meminjam pompa sepeda, ia akan meminjamkan pompa itu sambil mengomel meledak-ledak. Aku benci sekali melihat kaus kutangnya itu. Sekarang sudah hampir tengah hari, udara s emakin panas. Berada di tengah toko ini serasa direbus dalam panci sayur lo deh yang mendidih. Cuaca mendung tapi gerahnya tak terkira. Aku sudah tak tahan dan mau muntah. Untungnya A Miauw, seperti biasa, menjerit memerintah kan nona misterius agar menjulurkan kap ur di kotak merpati. Dengan pandangan matanya yang sok kuasa A Miauw memberiku isyarat untuk mengambil kapur itu. Aku berjalan cepat melintas iakrung- karung bawang putih tengik sambil menutup hid ung. Aku bergegas agar tugas penuh siksaan ini segera selesai. Namun, tinggal beberapa langkah mencapai kotak merpati sekejapangin semilir yang sejuk berembus meniup telingaku—hanya sekejap saja. Saat itu tak kusadari bahwa sang nasib yang gaib menyelinap ke dalam toko bobrok itu, mengepungku, dan menyergapku tanpa ampun, karena tepat pada momen itu ku dengar si nona berteriak keras mengejutkan: “Haiyaaaaa... . !!!. 155 Laskar Pelangi
Ber samaan dengan teriakan itu terdengar suara puluhan batangan kap ur jatuh di atas lantai ubin. Rupanya si kuku cantik semb rono sehingga ia menjatuh kan kotak kapur sebelum aku sempat mengambilnya. Maka kapur-kap ur itu sekarang berserakan di lantai. “Ah.. .,” keluh ku. Agaknya aku harus merangkak-rangkak, memunguti kapur- kapur itu di sela-sela karung buah kemiri, meskipun kulitnya telah dikelu pas, tapi buahnya masih basah sehingga berbau memusingkan kepala. Kuperlu kan ban tuan Syahdan, namun kulihat ia sedang berbicara dengan p utri tukang hok lo pan atau martabak terang bulan seperti orang men ceritakan dirinya sedang banyakuang karena baru saja selesai men jual 15 ekor sapi. Aku tak mau mengganggu saat-saat go mbalnya itu. Maka apa boleh buat, kup unguti susah payah kap ur-kapur itu. Sebagian kapur itu jatuh di bawah daun pintu terbuka yang dibatasi oleh tirai yang amat rapat, terbuat dari rangkaian keong- keong kecil. Aku tahu di balik tirai itu, sang nona itu juga memunguti kapur karenaku dengar gerutuan nya. “Haiyaaa . .. haiyaaa .. ... Ketika aku sampai pada kapur-kapur yang berserakan persis di bawah tirai itu, hatiku berkata pasti nona ini akan segera menutup pintu agaraku tidak punya kesempatan sedikit pun untuk melihat dia lebih dari melihat kukunya, namun yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan. Kejadiannya sangat mengeju tkan, karena amat cepat, tanpa disangka sama sekali, si n ona misterius justru tiba-tiba membuka tirai dan tindakan cer obohnya itu membuat wajah kami sama-sama terperanjat hampir bersentuhan!!! Kami beradu pandang dekat sekali ... dan suasana seketika menjadi hening ... . Mata kami bertatapan dengan perasaan yang tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Kapur-kapur yang telah iakumpulkan terlepas dari geng gamannya, jatuh berserakan, sedangkan kapur-kap ur yang ada di 156 Laskar Pelangi
genggamanku terasa dingin membeku seperti aku sedang men cengkeram batangan-batangan es lilin. Saat itu kau merasa jarum detik seluruh jam yang ada dunia ini berhenti berdetak. Semua gerakan alam tersentak diam dipotret Tuhan dengan kamera raksasa dari langit, blitz -nya membutakan, flash !!! Menyilaukan dan membekukan. Aku terpan a dan merasa seperti melayang, mati suri, dan mau pingsan dalam ekstase. Aku tahu A Miauw pasti sedang ber teriak- teriak tap i aku tak mendengar sepatah kata p un dan aku tahu per sis bau busuk toko itu semkin menjadi-jadi dalam udara pengap di bawah atap seng, tapi pancaindraku telah mati. Aliran darah di sekujur tubuhku menjadi dingin, jantungku berhenti berdetak seb entar kemudian berdegup kencang sekali dengan ritme yang kacau seperti kode morse yang meletup-letup kan pesan SOS. Leb ih dari itu aku menduga bahwa dia, si misterius berkuku seindah pelangi, yang tertegun seperti patung persis di depan hidungku ini, agaknya juga dilanda perasaan yang sama. . Siun! Siun! Segere...! ” teriak kuli-kuli Sawang, terdengar samar, menggema jauh berulang-ulang seperti didengungkan di dalam gua yang panjang dan dalam, mereka memintaku minggir. Tapi kami berdua masih terpaku pandang tanpa mampu berkata apa pun, lidahku terasa kelu, mu lutku terkunci rapat— leb ih tepatnya ternganga. Takada satu kata pun yang dapat terlaksana. Aku tak sanggup beranjak. Wanita ini memiliki aura yang melumpuhkan. Tatapan matanya itu mencengkeram hatiku. Ia memiliki struktur wajah lonjong dengan air muka yang sangat menawan. Hidungnya kecil dan bangir. Garis wajahnya tirus dengan tatapan mata k harismatik menyejukkan seklaigus menguatkan hati, seperti tatapan wanita-wan ita yang telah menjadi ibu suri. Jika menerima nasihat dari wanita bermata semacam ini, semangat pria mana pun akan berkobar. 157 Laskar Pelangi
Bajunya ketat dan bagus seperti akan berangkat kondangan, dengan dasar biru dan motif kembang p ortlan dica kecil-kecil berwarna hijau mu da menyala. Kerah baju itu memiliki kancing sebesar jari kelingking, tinggi sampai ke leher, merefleksikan keanggunan seorang wanita yang menjaga integritasnya dengan keras. Alisnya indah alami dan jarak antara alis dengan batas rambut di keningnya membentuk pr oporsi yang cantik memesona. Ia adalah lukisan Monalisa yang ditenggelamkan dalam danau yang dangkal dan dipandangi melalui terang cahaya bulan. Seperti kebanyakan ras Mongoloid , tu lang pipinya tidak men onjol, tapi bidang wajahnya, bangun bahunya, jenjang lehernya, potongan rambutnya, dan jatuh dagunya yang elegan menciptakan keseluruhan kesan dirinya benar-benar mirip Michelle Yeoh, bintang film Malaysia yang cantik itu. Maka terkuaklah rahasia yang tertutup rapi selama bertahun-tahun. Sang pemilik kuku-kuku indah itu ternyata seorang wanita mu da cantik jelita dengan aura yang tak dapat dilukiskan dengan cara apa pun. Kejadian ini membaut pipinya yang putih bersih tiba-tiba memerah dan matanya yang sipit bening seperti ingin menghamburkan air mata. Aku tahu bahwa selain sejuta perasaan tadi yang mungkin sama-sama melanda kami, ia juga merasakan malu tak terkira. Ia bangkit dengan cepat dan membanting pintu tanpa ampun. Ia tak peduli dengan kapur-kapuritu dan tak peduli padaku yang masih hilang dalam temp at dan waktu. Suara keras bantingan pintu itu membuatku siuman dari sebuah peson a yang memabukkan dan menyadarkan aku bah wa aku telah jatuh cinta. Aku limbung, kepalaku pening dan pandangan mataku berkunang-kun ang karena syok berat. Beberapa waktu berlalu aku masih ter duduk terbengong- bengong bertu mpu di atas lu tutku yang gemetar. Aku mencoba mengatur napas dan darahku berdesir menyelusuri seluruh tubuhku yang berkeringat dingin . Aku bar u saja dihantam secara dahsyat oleh cinta pertama pada pandangan yang paling pertama. Sebuah perasaan hebat luar biasa yang mungkin dirasakan manusia. 158 Laskar Pelangi
Aku berupaya keras bangun dan ketika aku menoleh ke belakang, orang-orang di sekelilingku , Syahdan yang menghamp iriku, A Miau w yang menunjuk-nunjuk, orang-orang bersarung yang pergi beriringan , dan kuli-kuli Sawang yang terhu yung- huyung karena beban piku lan nya, mereka semuanya, seolah bergerak seperti dalam slow motion , demikian indah , demikian anggun. Bahkan para uli panggul yang memilikul karung jengkol tiba-tiba bergerak penuh wibawa, santun, lembu t, dan berseni, seolah mereka sedang memperagakan busana Armani yang sangat mahal di atas catwalk . Aku tak peduli lagi dengan kotak kap ur yang isinya tinggal setengah. Aku berbalik meninggalkan toko dan merasa kehilangan seluruh b obot tubuh dan beban hidupku. Langkahku ringan laksana orang suci yang mampu berjalan di atas air. A ku menghampiri sepeda reyot Pak Harfan yang sekarang terlihat seperti sepeda keranjang baru. Aku dihinggapi semacam perasasaan bahagia yang aneh, sebu ah rasa bahagia bentuk lain yang b elu m pernah kualami sebelumnya. Rasa bahagia ini melebihi ketika aku men dapat hadiah radio tran sistor 2- ba nd dari ibuku sebagai upah mau disunat tempo hari. Ketika memp ersiapkan sepeda untuk p ulang, aku mencuri pandang ke dalam toko. Kulihat dengan jelas Michele Yeoh mengintipku dari balik tirai keong itu. Ia berlindung, tap i sama sekali tak menyembunyikan persaaannya. Aku kembali melayang menembus bintang gemerlapan, menari-nari di atas awan , menyanyikan lagu nostalgia Have I To ld You Lately That I Love You . Aku menoleh lagi ke b elakang, di situ, di antara tumpukan kemiri basah yang tengik, kaleng-kaleng minyak tanah, dan karung- karung pedak cumi aku telah menemukan cinta. Kutatap Syahdan dengan senyum terbaik yang aku memiliki— ia membalas dengan pandangan aneh— lalu kuangkat tubuhnya yang ekcil untuk mendudukkannya di atas sepeda. Aku ingin, degnangemira, mengayuh sepeda itu, membon ceng Syahdan, mengantarnya ke tempat-tempat di mana saja di jagad raya ini yang ia inginkan. Oh, inilah rupanya yang disebut mabuk kepayang! 159 Laskar Pelangi
Dalam perjalanan pulang aku dengan sengaja melanggar perjanjian. Setelah kuburan Tiongh oa aku tak meminta Syahdan menggantikanku. Karena aku sedang bersu kacita. Seluruh energi positif ko smis telah memberiku kekuatan ajaib. Semua terasa adil kalau sedang jatuh cinta. Cinta memang sering memb uat perhitungan menjadi kacau . Sepanjang perjalanan aku bersiul dengan lagu yang tak jelas. Lagu tanpa harmoni; lagu yang belum pernah tercipta, karena yang menyanyi bukan mulutku, tapi hatiku. Jika sedang tak bersiul di telingaku tak henti-henti berkumandang lagu All I Have to Do is Dream . Seusai pelajaran aku dan Syahdan dipanggil Bu Mus untuk mempertanggungjawabkan kapur yang kurang. Aku diam meatung, tak mau berdusta, tak mau menjawabapa pun yang ditanyakan, dan tak mau membantah apa pun yang dituduhkan. Aku siap menerima hukuman seberat apa pun—termasuk jikalau harus mengambil ember yang kemarin dijatuhkan Trapani di sumur horor itu. Saat itu yang ada di pikiranku hanyalah Michele Yeoh , Michele Yeoh, dan Michele Yeoh, serta detik -detik ketika cinta menyergapku tadi. Hukuman yang kejam hanya akan menambah sentimentil suasana romantis di mana aku rela masuk sumur mau t dunia lain sebagai pahlawan cinta pertama .... Ah! Cinta ... Benar saja hukumannya seperti kud uga. Sebelum turun ke dalam sumur sempat kulihat Bu Mus menginterogasi Syahdan yang mengangkat- angkat bahunya yang kecil, menggeleng-gelengkan kepalanya, dan menyilangkan jarinya di kening. “Hah! Ia menuduhku sudah sinting .. .?. 160 Laskar Pelangi
Bab 18 Moran BARU kali ini Mahar menjadi penata artistik karnaval, dan karnaval ini tidak main-main, inilah peristiwa besar yang sangat penting, karnaval 17 Agustus. Sebenar nya guru-guru kami agak pesimis karena alasan klasik, yaitu biaya. Kami demikian miskin sehingga tak pernah punya cukup dana untuk membuat karnaval yang representatif. Para guru juga merasa malu karena parade kami kumuh dan itu-itu saja. Namun, ada sedikit harapan tahun ini. Harapan itu adalah Mahar. Karnaval 17 Agustus sangat potensial untuk meningkatkangengsi sekolah, sebab ada penilaian serius di sana. Ada kategori busana terbaik, parade paling megah, peserta paling serasi, dan yang paling bergengsi: penampil seni terbaik. Gengsi ini juga tak terlepas dari integritas para juri yang dipimpin oleh seorang seniman senior yang sudah kondang, Mbah Suro namanya. Mbah Suro adalah orang Jawa, ia seniman Yogyakarta yang hijrah ke Belitong karena idealisme berkeseniannya. Karena sangat idelais maka tentu saja Mbah Suro juga sangat melarat. Seperti telah diduga siapa pun, seluruh kategori—mulai dari juara pertama sampai juara harapan ketiga—selalu diborong 161 Laskar Pelangi
sekolah PN. Kadang-kadang sekolah negeri mendapat satu dua sisa juara harapan. Sekolah kampung tak pernah mendapat penghargaan apa pun karena memang tasmpil sangat apa adanya. Tak lebih dari penggembira. Sekolah-sekolah negeri mampu menyewa pakaian adat lengkap sehingga tampil memesona. Sekolah-sekolah PN lebih keren lagi. Parade mereka berlapis-lapis, paling panjang, dan selalu berada di posisi paling strategis. Barisan terdep an adalah puluhan sepeda keranjang baru yang dihias berwarna-warni. Bukan hanya sepedanya, pengendaranya pun dihias dengan pakaian lucu. Lonceng sepeda edibunyikan dengan keras bersama-sama, sungguh semarak. Pada lapisan kedua berjejer mobil-mobil hias yang dindandani berbentuk perahu, pesawat terbang, helikopter, pesawat ulang alik Apollo, taman bunga, rumah adat Melayu, bahkan kapal keruk. Di atas mobil-mobil ini berkeliaran putri-putri kecil berpakaian putih bersih, bermahkota, dengan rok lebar seperti C inderella. Putri-putri peri ini membawa tongkat berujung bintang, melambai-lambaikan tangan pada para penonton yang bersukacita dan melempar-lemparkan permen. Setelah parade mobil hias muncullah barisan para profesional, yaitu para murid yang berdandan sesuai dengan cita-cita mereka. Banyak di antara mereka yang berjubah putih, berkacamata tebal, dan mengalungkan stetoskop. Tentulah anak-anak ini nanti jika sudah besar ingin jadi dokter. Ada juga para insinyur dengan pakaian overall dan berbagai alat, seperti test pen , obeng ,dan berbagai jenis kunci. Beberapa siswa membawa buku-buku tebal, mikroskop, dan teropong bintang karena ingin menjadi dosen, ilmuwan, dan astronom. Selebihnya berseragam pilot, pramugari, tentara, kapten kapal, dan polisi, gagah sekali. Guru- gurunya—di bawah komando Ibu Frischa— tampak sangat bangga, mengawal di depan, belakang, dan samping barisan, masing-masing membawa hand y talky . 162 Laskar Pelangi
Setelah lapisan profesi tadi muncul lapisan penghibur yang menarik. Inilah kelompok badut-badut, para pahlawan super seperti Superman, Batman, dan Captain America. Balon-balongas menyembul-nyembul dibawa oleh kurcaci dengan tali-tali setinggi tiang telepon. Dalam barisan ini juga banyak peserta yang memakai baju binatang, mereka menjadi kuda, laba-laba, ayam jago, atau ular-ular naga. Mereka menari-nari raing dengan koreografi yang menarik. Mereka juga bernyanyi-nyanyi sepanjang jalan, mendendangkan lagu anak-anak yang riang. Yang paling menponjol dari penampilan kelompokini adalah serombongan anak-anak yang berjalan-jalan memakai engrang. Di antara mereka ada seorang anak perempuan dengan egrang paling tinggi melintas dengan tangkas tanpa terlihat takut akan jatuh. Dialah Flo, dan dia melangkah ke sana kemari sesuka hatinya tanpa aturan. Penata rombongan ini susah payah menertibkannya tapi ia tak peduli. Ayah ibunya tergopoh-gopoh mengikutinya, berteriak- teriak menyuruhnya berhati-hati, Flo berlari-lari kecil di atas egrang itu membuat kacau barisannya. Penutup barisan karnaval sekolah PN adalah barisan marching band . Bagian yang paling aku sukai. Tiupan puluhan trambon laksana sangkakala hari kiamat dan dentuman timpani menggetarkan dadaku. Marching band sekolah PN memang bukan sembarangan. Mereka disponsori sepenuhnya oleh PN Timah. Koreografer, penata busana, dan penata musiknya didatangkan khusus dari Jakarta. Tidak kurang dari seratus lima puluh siswa terlibat dalam marching band ini, termasuk para colour guard yang atraktif. Tanpa marching band sekolah PN, karnav al 17 Agustus akan kehilangan jiwanya. Puncak penampilan parade karnaval sekolah PN adalah saat barisan panjang marching band membentuk fomrasi dua kali putaran jajarangenjang sambil memberi penghormatan di depan podium kehormatan. Dengan penataan musik, koregrafi, dan busana yang demikian luar biasa, marching band PN selalu menyabet juara pertama untuk kategori yang paling bergengsi tadi, 163 Laskar Pelangi
yaitu Penampil Seni Terbaik. Kategori ini sangat menekankan konsep performing art dalam trofinya adalah idaman seluruh peserta. Sudah belasan tahun terakhir, tak tergoyahkan, trofi tersebut terpajang abadi di lemari prestisius lambang supremasi sekolah PN. Podium kehormatan merupakan tempat terhormat yang ditempati makhluk- makhluk terhormat, yaitu Kepala Wilayah Operasi PN Timah, sekretarisnya, seseorang yang selalu membawa walky talky , beberapa pejabat tinggi PN Timah, Pak C amat, Pak Lurah, Kapolsek, Komandan Kodim, para Kepala Desa, para tauke, Kepala Puskesmas, para Kepala Din as, Tuan Pos, Kepala Cabang Bank BRI, Kep ala Suku Sawang, dan kepala-kepala lainnya, b eserta ibu. Podium ini berada di tengah-tengah pasar dan di sanalah pusat penonton yang paling ramai. Masyarakat lebih suka menonton di dekat podium daripada di pinggir-pinggir jalan, karena di podium para peserta diwajibkan beraksi, menunjukkan kelebihan, dan mempertontonkan atraksi andalannya sambil memberi penghormatan. Di sudut podium itulah bercokol Mbah Suro dan para juri yang akan memberi penilaian. Bagi sebagian warga Muhammadiyah, karnaval justru pengalamanyang kurang menyenangkan, kalautidak bisa dibilang traumatis. Karnaval kami hanya terdiri atas serombongan anak kecil berbaris banjar tiga, dipimpin oleh dua orang siswa yang membawa spanduk lambang Muhammadiyah yang terbuat dari kain belacu yang sudah lusuh. Spanduk itu tergantung menyedihkan di antara dua buah bambu kuning seadanya. Di belakangnya berbaris para siswa yang memakai sarung, kopiah, dan baju takwa. Mereka melambangkan tokoh-tokoh Sarekat Islam dan pelopor Muhammadiyah tempo dulu. Samson selalu berpakaian seperti penjaga pintu air. Tentu bukan karena setelah besar ia ingin jadi penjaga pintu air seperti ayahnya, tapi hanya itulah kostum karnaval yang ia punya. 164 Laskar Pelangi
Sedangkan pakaian tetap Syahdan adalah pakaian nelayan, juga sesuai dengan profesi ayahnya. Adapun A Kiong selalu mengenakan baju seperti juri kunci penunggu gong sebuah perguruan shaolin. Sebagian besar siswa memakai sepatu bot tinggi, baju kerja terusan, dan helm pengaman. Pakaian ini juga milik orangtuanya. Mereka memperagakan diri sebagai buruh kasar PN Timah. B eberapa orang yang tidak memiliki sepatu bot atau helm tetap nekat berparade memakai baju terusan. Jika ditanya, mereka mengatakan bahwa mereka adalah buruh timah yang sedang cuti. Selebihnya memanggul setandan pisang, jagung, dan semanggar kelapa. Ada pula yang membawa cangkul, pancing, beberapa jerat tradisional, radio, ubi kayu, tempat sampah, dan gitar. Agar lebih dramatis Syahdan membawa sekarung pukat, Lintang meniup-niup peluit karena ia wasit sepak bola, sementara aku dan Trapani berlari ke sana kemari mengibas-ngibaskan bendera merah karena kami adalah hakim garis. Beberapa siswa memikul kerangka besar tulang belulang ikan paus, membawa tanduk rusa, membalut dirinya dengan kulit buaya, dan menuntun beruk peliharaan—tak jelas apa maksudnya. Seorang siswa tampak berpakaian rapi, memakai sepatu hitam, celana panjang warna gelap, ikat pinggang besar, baju putih lengan panjang dan menenteng sebuah tas koper besar. Siswa ajaib ini adalah Harun. Tak jelas profesi apa yang diwakilinya. Di mataku dia tampak seperti orang yang diusir mertua. Demikianlah karnaval kami seetiap tahun. Tak melambangkan cita-cita. Mungkin karena kami tak berani bercita-cita. Setiap siswa disarankan memakai pakaian profesi orangtua karena kami tak punya biaya untuk membuat atau menyewa baju karnaval. Semuanya adalah wakil profesi kaum marginal. Maka dalam hal ini Kucai juga berpakaian rapi seperti Harun dan ia melambai- lambaikan sepucuk kartu pensiun kepada para penonton sebabayahnya adalah pensiunan. Sedangkan beberapa adik keclasku terpaksa tidak bisa mengikuti karnaval karena ayahnya pengangguran. 165 Laskar Pelangi
Satu-satunya daya tarik karnaval kami adalah Mujis. Meskipun bukan murid Muhammadiyah namun tukang semprot nyamuk ini selalu inginikut. Dengan dua buah tabung seperti penyelam di punggungnya dan topeng yang berfungsi sebagai kacamata dan penutup mulut seperti moncong babi, ia menyemprotkan asap tebal dan anak-anak kecil yang menonton di pinggir jalan berduyun-duyun mengikutinya. Jika melewati podium kehormatan, biasanya kami berjalan cepat-cepat dan berdoa agar parade itu cepat selesai. Nyaris tak ada kesenangan karena minder. Hanya Harun, dengan koper zaman The Beatles-nya tadi yang melenggang pelan penuh percaya diri dan melemparkan senyum penuharti kepada para petinggi di podium kehormatan. Mungkin dalam hati para tamu terhormat itu bertanya-tanya, “Apa yang dilakukan anak-anak beb ek ini?. Kenyataan inilah yang memicu pro dan kontra di antara murid dan guru Muhammadiyah setiap kali akan karnaval. Beberapa guru menyarankan agar jangan ikut saja daripada tampil seadanya dan bikin malu. Mereka yang gengsian dan tak kuat mental seperti Sahara jauh-jauh hari sudah menolak berpartisipasi. Maka sore ini, Pak Harfan, yang berjiwa demokratis, mengadakan rapat terbuka di bawah pohon fillicium . Rapat ini melibatkan seluruh guru dan murid dan Mujis. Beliau diserang bertubi-tubi oleh para guru yang tak setuju ikut karnaval, tapi beliau dan Bu Mus berpendirian sebaliknya. Suasana memanas. Kami terjebak di tengah. “Karnaval ini adalah satu-satunya cara untuk menunjukkan kepada dunia bahwa sekolah kita ini masiheksis di muka bumi ini. Sekolah kita ini adalah sekolah Islam yang mengedepankan pengajaran nilai-nilai religi, kita harus bangga dengan hal itu!. 166 Laskar Pelangi
Suara Pak Harfan ber gemuruh. Sebuah pidato yang menggetarkan. Kami bersorak sorai mendukung beliau. Tapi tak berhenti sampai di situ. “Kita harus karnaval! Apa pun yang terjadi! Dan biarlah tahun ini para guru tidak ikut campur, mari kita beri kesempatan kepada orang-orang muda berbakat seperti Mahar untuk menunjukkan kreativitasnya, tahukah kalian ... dia adalah seniman yang genius!. Kali ini tepuk tangan kami yang bergemuruh, gegap gempita sambil berteriak- teriak seperti suku Mohawk berperang. Pak Harfan telah membakar semangat kami sehingga kami siap tempur. Kami sangat mendukung keputusan Pak Harfan dan sangat senang karena akan digarap oleh Mahar, teman kami sekelas. Kami mengelu- elukannya, tapi ia tak tampak. Ooh, rupanya dia sedang bertengger di salah satu dahan filicium . Dia tersenyum. Sebagai kelanjutan kep utusan rapat akbar, Mahar serta-merta mengangkat A Kiong sebagai General Affairassistant , yaitu pembantu segala macam urusan. A Kiong mengatakan padaku tiga malam dia tak bisa tidur saking bangganya dengan penunjukan itu. Dan telah tiga malam pula Mahar bersemadi mencari inspirasi. Tak bisa diganggu. Kalau masuk kelas Mahar diam seribu bahasa. Belum pernah aku melihatnya seserius ini. Ia menyadari bahwa semua orang berharap padanya. Setiap hari kami dan para guru menunggu dengan was was konsep seni kejutan seperti apa yang akan ia tawarkan. Kami menunggu seperti orang menunggu buku baru Agatha Christie. Jika kami ingin berbicara dengannya dia buru-buru melintangkan jari di bibirnya menyuruh kami diam. Menyebalkan! Tapi begitulah seniman bekerja. Dia melakukan semacam riset, mengkhayal, dan berkontemplasi. Dia duduk sendirian menabuh tabla , mencari-cari musik, sampai sore di bawah filicium . Tak boleh didekati. Ia duduk melamun menatap langit lalu tiba-tiba berdiri, mereka-reka koreografi, berjingkrak-jingkrak sendiri, meloncat, duduk, berlari berkeliling, diam, berteriak-teriak seperti orang gila, menjatuhkan 167 Laskar Pelangi
tubuhnya, berguling- guling di tanah, lalu dia duduk lagi, melamun berlama-lama, bernyanyi tak jelas, tiba-tiba berdiri kembali, berlari ke sana kemari. Tak ada ombak tak ada anginia menyeruduk- nyeruduk seperti hewan kena sampar. Apakah ia sedang menciptakan sebuah master piece? Apakah ia akan berhasil membuktikan sesuatu pada event yang mempertaruhkan reputasi ini? Apakah ia akan berhasil membalikkan kenyataan sekolah kami yang telah dipandang sebelah mata dalam karnaval selama dua puluh tahun? Apakah ia benar-benar seorang penerobos, seorang pendobrak yang akan menciptakan sebuah prestasi fenomenal? Haruskan ia menanggung beban seberat ini? Bagaimanapun ia masih tetap seorang anak kecil. Kuamati ia dari jauh. Kasihan sahabatku seniman yang kesepian itu, yang tak mendapatkan cukup apresiasi, yang selalu kami ejek. Wajahnya tampak kusut semrawut. Sudah seminggu berlalu, ia belum juga muncul dengan konsep apa pun. Lalu pada suatu Sabtu pagi yang cerah ia datang ke sekolah dengan bersiul-siul. Kami paham ia telah mendapat pencerahan. Jin-jin telah meraupi wajah kucel kurang tidurnya dengan ilham, dan Dionisos, sang dewa misteri dan teater, telah meniup ubun- ubunnya subuh tadi. Ia akan muncul dengan ide seni yang seksi. Kami sekelas dan banyak siswa dari kelas lain serta para guru merubungnya. Ia maju ke depan siap mempresentasikan rencananya. Wajahnya optimis. Semua diam siap mendengarkan. Ia sengaja mengulur waktu, menikmati ketidaksabaran kami. Kami memang sudah sangat penasaran. Ia menatap kami satu per satu seperti akan memperlihatkan sebuah bola ajaib bercahaya pada sekumpulan anak kecil. “Tak ada petani, buruh timah, guru ngaji, atau penjaga pintu air lagi utnuk karnaval tahun ini!” teriaknya lantang, kami terkejut. 168 Laskar Pelangi
Dan ia berteriak lagi. “Semua kekuatan sekolah Muhammadiyah akan kita satukan untuk satu hal!!!. Kami hanya terperangah, belum mengerti apa maksudnya, tapi Mahar optimis sekali. “Apa itu Har? Ayolah, bagaimana nanti kami akan tampil, jangan bertele-tele!. tanya kami penasaran hampir bersamaan. Lalu inilah ledakan ide gemilangnya. “Kalian akan tampil dalam koreografi massal suku Masai dari Afrika! . Kami saling berpandangan, serasa tak percaya dengan pendengaran sendiri. Ide itu begitu menyengat seperti belut listrik melilit lingkaran pinggang kami. Kami masih kaget dengan ide luar biasa itu ketika Mahar kembali berteriak menggelegar melambungkangairah kami. “Lima puluh penari! Tiga puluh penabuh tabla! Berputar-putar seperti gasing, kita ledakkan podium kehormatan!. Oh, Tuhan, aku mau pingsan. Serta-merta kami melonjak girang seperti kesurupan, bertepuk tangan, bersorak sorai senang membayangkan kehebohan penampilan kami nanti. Mahar memang sama sekali tak bisa diduga. Imajinasinya liar meloncat-loncat, mendobrak, baru, dan segar. “Dengan rumbai-rumbai!” kata suara keras di belakang. Suara Pak Harfan sok tahu. Kami semakingegap gempita. Wajah beliau sumringah penuh minat. “Dengan bulu-bulu ayam!” sambung Bu Mus. Kami semakin riuh rendah. 169 Laskar Pelangi
“Dengan surai-surai!. “Dengan lukisan tubuh!. “Dengan aksesori!. Demikianguru-guru lain sambung-menyambung. “Belum pernah ada ide seperti ini!” kata Pak Harfan lagi. Para guru mengangguk-angguk salut dengan ide Mahar. Mereka salut karena selain kana menampilkan sesuatu yang berbeda, menampilkan suku terasing di Afrika adalah ide yang cerdas. Suku itu tentu berpakaian seadanya. Semakin sedikit pakaiannya— atau dengan kata lain semakin tidak berpakaian suku itu—maka anggaran biaya untuk pakaian semakin sedikit. Ide Mahar bukan saja baru dan yahud dari segi nilai seni tapi juga aspiratif terhadap kondisi kas sekolah. Ide yang sangat istimewa. Seluruh kalangan di perguruan Muhammadiyah sekarang menjadi satu hati dan mendukung penuh konsep Mahar. Semangat kami berkobar, kepercayaan diri kami meroket. Kami saling berpelukan dan men eriak kan nama Mahar. Ia laksana pahlawan. Kami akan menampilkan sebuah tarian spektakuler yang belum pernah ditampilkan sebelumnya. Dengan suara tabla bergemuruh, dengan kostum suku Masai yang eksotis, dengan koreografi yang memukau, maka semua itu akan seperti festival Rio. Kami sudah membayangkan penonton yang terpeona. Kali ini, untuk pertama kalinya, kami beran i bersaing. Setelah itu, setiap sore, di bawah pohon filicium , kami bekerja keras berhari-hari melatih tarian aneh dari negeri yang jauh. Sesuai dengan arahan Mahar tarian ini harus dilakukan dengan gerakan cepat penuh tenaga. Kaki dihentakkan-hentakkan ke bumi, tangan dibuang ke langit, berputar-putar bersama membentuk formasi lingkaran, kemudian cepat-cepat menunduk seperti sapi akan menanduk, lalu melompat berbalik, lari semburat tanpa arah dan 170 Laskar Pelangi
mundur kembali ke formasi semula dengan gerakan seperti banteng mundur. Kaki harus mengais tanah dengan garang. Demikian berulang-ulang. Tak ada gerakan santai atau lembut, semuanya cepat, ganas, rancak, dan patah-patah. Mahar menciptakan koreografi yang keras tapi penuh nilai seni. Asyik ditarikan dan merupakan olah raga yang menyehatkan. Tahukah Anda apa yang dimaksud dengan bahagia? Ialah apa yang aku rasakan sekarang. Aku memiliki minat besar pada seni, akan emmbuat sebuah performing art bersama para sahabat karib—dan kemungkinan ditonton oleh cinta pertama? Aku mengalami kebahagiaan paling besar yang mungkin dicapai seorang laki-laki muda. Kami sangat menyukai gerakan- gerakan nerjik rekaan Mahar dan kuat dugaanku bahwa kami sedang menarikan kegembiraan suku Masai karena sapi-sapi peliharaannya baru saja beranak. Selainitu selama menari kami harus meneriakkan kata-kata yang tak kami pahami artinya seperti, “Habuna! Habuna! Habuna! Baraba... baraba...baraba..habba...habba..homm!. Ketika kami tanyakan makna kata-kata itu, dengan gaya seperti orang memiliki pengetahuan yang amat luas sampai melampaui benua Mahar menjawab bahwa itulah pantun orang Afrika. Aku baru tahu ternyata orang Afrika juga memiliki kebiasaan seperti orang Melayu, gemar berpantun. Aku simpan baik-baik pengetahuan ini. Namun mengenai maksud, ternyata aku salah duga. Semula aku menyangka bahwa kami berdelapan—karena Sahara tak ikut dan Mahar sendiri menjadi pemain tabla—adlaah anggota suku Masai yang gembira karena sapi-sapinya beranak. Tapi ternyata kami adalha sapi-sapi itu sendiri. Karena setelah kami menari demikian riang gembira, kemudian kami diserbu oleh dua puluh ekor cheetah. Mereka mengepung, mencabik-cabik harmonisasi 171 Laskar Pelangi
formasi tarian kami, meneror, menerkam, mengelilingi kami, dan mengaum-aum dengan garang. Lalu situasi menjadi kritis dan kacau balau bagi paras api dan pada saat itulah menyerbu dua puluh orang Moran atau prajurit Masai yang sangat terkenal itu. Prajurit- prajurit ini menyelamatkan para sapi dan berkelahi dengan cheetah yang menyerang kami. Gerakan cheetah itu direka-reka Mahar dengan sangat genius sehingga mereka benar-benar tampak seperti binatang yang telah tiga hari tidak makan. Sedangkan para Moran dilatih lebih khusus sebab menyangkut keterampilan memainkan properti-properti seperti tombak, cambuk, dan parang. Demikianlah cerita koreografi Mahar. Keseluruhan fragmen itu diiringi oleh tabuhan tiga puluh tabla yang lantang bertalu-talu memecah langit. Para penabuh tabla juga menari-nari dengan gerakan dinamis memesona. Hasil akhirnya adalah sebuah drama seru pertarungan massal antara manusia melawan binatang dalam alam Afrika yang liar, sebuah karya yang memukau, master piece Mahar. Nuansa karnaval semakin tebal menggantung di awan Belitong Timur. Hari H semakin dekat. Seluruh sekolah sibuk dengna berbagai latihan. Marching band sekolah PN sepanjang sore melakukangeladi sepanjang jalan kampung. Baru latihannya saja penonton sudah membludak. Meneror semangat peserta lain. Tapi kami tak gentar. Situasi moril kami sedang tinggi. Melihat kepemimpinan, kepiawaian, dan gaya Mahar kepercayaan diri kami meletup-letup. Ia tampil laksana para event organizeratau para seniman, atau mereka yang menyangka dirinya seniman. Pakaiannya serba hitam dengan tas pinggang berisi walkman, pulpen, kacamata hitam, batu baterai, kaset, dan deodoran. Kami mengerahkan seluruh sumber daya civitas akademika Muhammadiyah. Latihan kami semakin serius dan yang palihng sering membaut kesalahan adalah Kucai. Meskipun dia ketua kelas tapi di panggung sandiwara ini Maharlah yang berkuasa. 172 Laskar Pelangi
Mahar mencoba menjelaskan maksudnya dengan berbagai cara. Kadang-kadang ia demikian terperinci seperti buku resep masakan, dan lebih sering ia merasa frustrasi. Namun, kami sangat patuh pada setiap perintahnya walaupun kadang-kadang tidak masuk akal. Tapi ini seni, Bung, tak ada hubungannya dengan logika. “Dalam tarian ini kalian harus mengeluarkan seluruh ener gi dan h arus tampak gembira! Bersukacita seperti karyawan PN baru terima jatah kain, seprti orang Saqwang dapat utangan, seperti para pelaut terdampar di sekolah perawat!. Aku sungguh kagum dari mana Mahar menemukan kata-kata seperti itu. Ketika istirahat A Kiong berbisik pada Samson, “Son, aku baru tahu kalau di Belitong ada sekolah perawat di pinggir laut?. Rupanya bisikan polos itu terdengar oleh Sahara yang kemduian, seperti biasa, merepet panjang mencela keluguan A Kiong, “Apa kau tak paham kalau itu perumpamaan! Banyak - banyaklah membaca buku sastra!. 173 Laskar Pelangi
Bab 19 Sebuah Kejahatan Terencana DAN tibalah hari karnaval. Hari yang sangat mendebarkan. Mahar merancang pakaian untuk cheetah dengan bahan semacam terpal yang dicat kuning bertutul-tutul sehingga dua puluh orang adik kelasku benar-benar mirip hewan itu. Wajah mereka dilukis seperti kucing dan rambut mereka dicat kuning menyala-nyala dengan bahan wantek. Tiga puluh pemain tabla seluruh tubuhnya dicat hitam berkilat tapi wajahnya dicat putih mencolok sehingga menimbulkan pemandangan yang sangat aneh. Sedangkan dua puluh Moran atau prajurit Masai sekujur tubuhnya dicat merah, mereka menggunakan penutup kepala berup a jalinan besar ilalang, membawa tombak panjang, dan mengenakan jubah berwarna merah yang sangat besar. Tampak sangat garang dan megah . Tampaknya Mahar memberi perhatian istimewa pada delapan ekor sapi. Pakaian kami paling artistik. Kami memakai celana merah tua yang menutup pusar sampai ke bawah lutut. Seluruh tubuh kami dicat cokelat muda seperti sapi Afrika. Wajah dilukis berbelang- belang. Pergelangan kaki dipasangi rumbai-rumbai seperti kuda 174 Laskar Pelangi
terbang dengan lonceng-lonceng kecil sehingga ketika melangkah terdengar suara gemerincing semarak. Di pinggang dililitkan selendang lebar dari bahan bulu ayam. Kami juga memakai beragam jenis aksesoris yang indah, yaitu anting-anting besar yang dijepit dan gelang-gelang yang dibuat dari akar-akar kayu. Yang paling istimewa adalah penutup kepala. Tak cocok jika disebut topi, tapi lebih sesuai jika disebut mahkota seribu rupa. Mahkota ini sangat besar, dibuat dari lilitan kain semacam stagen yang sangat panjang. Lalu berbagai jenis benda diselipkan, dijepit, atau dijahit pada stagen itu. Puluhan bulu angsa dan belibis, berbagai jenis perdu sepanjang hampir satu meter, dahan sapu- sapu, berbagai bunga liar, berbagai jenis daun, dan bendera- bendera kecil. Empat hari Sahara membuat mahkota hebat ini. Lalu punggung kami dipasangi sesuatu seperti surai kuda, bahannya— seperti tertulis pada sketsa—adalah tali rafia. Kami adalah sapi yang anggun dan megah. Inilah rancangan adiguna karya Mahar. Secara umum kami tidak tampak seperti sapi. Dilihat dari belakang kami lebih mirip manusia keledai, dari samping seperti ayam kalkun, dari atas seperti sarang burung bangau. Jika dilihat dari wajah, kami seperti hantu. Aksesori yang tampaknya biasa saja adlaah untaian kalung. Juga sesuai dengan sketsa rancangan Mahar, kami akan memakai kalung besar yang terbuat dari benda-benda bulat sebesar bola pingp ong berwarna hijau. Tak ada yang istimewa dengan kalung ini dan tak seorang pun mau membicarakannya. Kami sibuk membahas mahkota kami. Kami yakin mahkota ini akan membuat orang kampung ternga-nga mulutnya dan wanita-wanita muda di kawasan pasar ikan berebutan kirim salam. Tak disangka ternyata kalung yang tak menarik perhatian itulah sesungguhnya sentral ide seluruh koreografi ini. Tak ada seorang yang menduga bahwa pada untaian anak-anak kalung itu Mahar menyimpan rahasia terdalam daya magis pen ampilan kami, yang membuatnya tidak tidur tiga hari tiga malam. Sesungguhnya kalung itulah puncak tertinggi kreativitas Mahar. 175 Laskar Pelangi
Setelah seluruh pakaian siap, Mahar mengeluarkan aksesori terakhir dari dalam karung, yaitu kalung tadi. Jumlahnya delapan sejumlah sapi. Kami semakingirang. Tentu Mahar telah bersusah payah sendirian membuatnya. Kalung itu dibaut dari buah pohon aren yang masih hijau sebesar bola pingpong yang ditusuk seperti sate dengan tali rotan kecil. Kami berebutan memakainya. Tak banyak pengetahuan kami mengenai buah hutan ini. Sebelum parade kami berkumpul berpegangan tangan, menundukkan kepala untuk berdoa, mengharukan. Seperti telah kami duga, sambutan penonton di sepanajng jalan sangat luar biasa. Mereka bertepuk tangan dan berlarian mengikuti dari belakang untuk melihat penampilan kami di depan podium kehormatan. Menjelang podium kami mendengar gelegar suara sepuluh unit trimpani, yaitu drum terbesar. Suaranya menggetarkan dada dan ditimpali oleh suara membahan a puluhan instrumen brass mulai dari tuba, horn, trombon, klarinet, trompet, saksopon tenor dan bariton yang dimainkan puluhan siswa. Marching band sekolah PN sedang beraksi! Pakaian pemain marching band dibedakan berdasarkan instrumen yang dimainkan. Yang paling gagah adalah barisan bass drum yang tampil menggunakan pakaian prajurit Romawi. Mereka membuat helm bertanduk runcing dan benar- benar mencetak aluminium menjadi rompi lalu mengecatnya dengan warnakuningan. Pemain simbal memakai rompi berwarna- warni dan bawahan celana p anjang biru yang dimasukkan dalam sepatu bot Pendragon yang mahal setinggi lutut. Mereka seperti sekawanan ksatria yang baru turun dari punggung kuda-kuda putih. Marching band PN tampil semakin baik setiap tahun. Mereka selalu menunjukkan bahwa mereka yang terbaik. Sebagai entry podium kehormatan mereka melantunkan glenn Miller’s In the Mood dengan interpretasi yang pas. Penonton melenggak-lenggok diayun irama swing yang asyik. Para colour guard serta-merta menyesuaikan koreografinya dengan gaya kabaret khas tahun 60-an. Panggung kasino Las Vegas segera berpindah ke 176 Laskar Pelangi
sudut pasar ikan Belitong yang kumuh. Setiap siswa yang terlibat dalam marching band ini belum- belum sudah mengumbar senyum kemenangan seolah seperti tahun-tahun lalu: Penampil Seni Terbaik tahun ini pasti mereka sabet. Tapi jika menyaksikan mereka beraksi agaknya keyakinan itu memang sangat beralasan. Sebagai puncak atraksi di depan podium mereka membawakan Concerto for Trumpet dan Orchestra yang biasa dilantunkan Wynton Marsalis. Dalam nomor ini penampilan mereka amat mengagumkan. Agaknya mereka sudah bisa dikompetisikan di luar negeri. Komposisi ini sesungguhnya adalah musik klasik karya Johann Hummel tapi oleh Marching Band PN dibawakan kembali dalam aransemen big band dengan kekuatan brass section yang memukau. Bagian intro Concerto indah itu diisi atraksi lima belas pemain blira dengan pecahan suara satu, dua, dan tiga. Lalu ikut bergabung hentakan-hentakan sepuluh pasang simbal, bass drum, dan timpani. Tempo dan bahana mereka pelankan ketika puluhan snare drum mengambil alih. Jiwa siapa pun yang mendengarnya akan tergetar. Belum tuntas sensasi penonton dengan buaian snare drum yang cantik rancak tiba-tiba para colour guard memasuki medan, membentuk formasi dan menampilkan tarian kontemporer yang memikat. Bayangkan indahnya: sebuah big band dengan kekuatan brasss, kostum yang gemerlapan, dan koreografi kontemporer. Ribuan penonton bertepuk tangan kagum. Kemudian mereka bersorak-sorai ketika tiga orang mayoret—ratu segala pesona— dengan sangat terampil melempar- lemparkan tongkatnya tanpa membuat kesalahan sedikit pun. Para mayoret cantik, bertubuh ramping tinggi, dengan senyum khas yang dijaga keanggunannya, meliuk-liuk laksana burung merak sedang memamerkan ekornya. Wanita-wanita muda yang meloncat dari gambar-gambar di almanak ini mengenakan rok mini degnan stocking berwarna hitam dan sepatu bot Cortez metalik tinggi sampai ke lutut. Sarung tangannya putih sampai ke lengan atas dan mereka bergerak demikian lincah tanpa sedikit pun terhalangi hak sepatunya yang tinggi. 177 Laskar Pelangi
Topinya adalah baret putih yang diselipi selembar bulu angsa putih bersih seperti topi Robin Hood. Mereka tidak sekadar mayoret, mereka adalah pergawati. Langkahnya cepat panjang-panjang dan sering kali memekik memberi perintah. Pandangannya menyapu seluruh penonton seperti tipuna sihir yang membius. Wajahnya mencerminkan suatu kebiasaan bergaul dengan barang-barang impor dan tidak mau menghabiskan waktu untuk soal remeh-temeh. Jika sore mereka berjalan- jalan dengan beberapa ekor anjing chihuahua dan malam hari makan di bawah temaram cahaya lilin. Tak pernah kekenyangan dan tak pernah berserdawa. Garis matanya memperlihatkan kemanjaan, kesejahteraan dan masa depan yang gilang gemilang. Mereka seperti orang-orang yang tak’kan pernah kami kenal namanya, seperti orang yang berasal dari tempat yang sangat jauh dan hanya mampir sebentar untuk membuat kami ternganga. Mereka seperti orang-orang yang hanya memakan bunga-bunga putih melati dan emngisap embun untuk hidup. Jubahnya dari bahan sutera berkilat, berkibar-kibar tertiup angin, men ebarkan bau harum memabukkan. Sementara di sini, di sudut ini, kami terpojok di pinggir, seperti segerombolan spesies primata aneh yang menyembul-nyembul dari sela-sela akar p ohon beringin. Hitam, kumal, dan coreng-moreng, terheran-heran melihat gemerlap dunia. Tapi kami segera membentuk barisan, tak surut semangat, tak sabar menunggu giliran. Segera setelah ujung Marching Band PN meninggalkan arena podium dan perlahan-lahan menghilang bersama lagu syahdu penutup sensasi: Georgia on My Mind, diiringi tepuk tangan dan suitanpanjang penonton, seketika itu juga, tanpa membuang tempo, dengan amat ejli mencuri momen, secara sangat mendadak Mahar bersama tiga puluh pemain tabla menghambur tak beraturan menguasai arena depan podium. Gerakan mereka mengagetkan. Dengan dentuman tabla bertalu-talu serta tingkah tarian yang sangat 178 Laskar Pelangi
dinamis, penonton pun terperanjat. Mahar menyajikan pemandangan natural, asli, yang sama sekali kontras dengan marching band modern. Melalui lantakan tabla sekuat tenaga dan gerak tari seperti ratusan monyet sedang berebutan dengan tupai menjarah buah kuini, Mahar menyeret fantasi penonton ke alam liarafrika. Penonton terbelalak menerima sajian musik etnik menghentak yang tak diduga- duga. Mereka berdesak-desakan maju merepotkan para pengaman. Para penonton terbius oleh irama yang belum pernah mereka dengar dan pakaian serta tarian yang belum pernah mereka lihat. Demi mendengar lengkingan tabla yang memecah langit, barisan Marching Band PN terpecah konsentrasinya dan berbalik arah ke podium. Mereka membubarkan diri tanpa komando lalu bergabung dengan para penonton yang terpaku. Mereka keheranan melihat tarian liar yang tak seperti Campak Darat, yaitu tarian Belitong paling kuno dengan gerakan tetap maju mundur, dan irama yang tak seperti Betiong yakni irama asli Belitong yang biasa mereka dengar. Sebaliknya yang mereka saksikan adalah gerakan rancak tanpa pola dan ekspresi bebas spontan dari tubuh - tubuh muda yang lentik meliuk-liuk seperti gelombang samudra, garang seperti luak, dan menyengat laksana lebah tanah. Koreo grafi Mahar berkarakter dance drumming dari suku-suku sub Sahara yang mengandung fragmen survival ribuan tahun dari spesies yang hidup saling memangsa. Inilah adzohu, sebuah manifestasi perjuangan eksistensi dalam metafora gesture tubuh manusia yang memaknai ketukan tabla laksana tiupan mantra-mantra nan magis. Koreografi ini mengandung tenaga gaib yang emnyihir. Mahar memvisualisasikan alam ganas di mana hu kum rimba berkuasa. Maka musik tari ini tak hanya mendetak degup jantung karena tabla yang berdentum-dentum tapi membran vibrasinya juga menggetarkan jiwa karena tenaga mistik sebuah ritual suci siklus hidup. Penonton semakin merangsek ke depan dan mulai terpukau pada tarian etnik Afrika yang eksotis. Mereka mengamati satu per satu wajah kami yang tersamar dalam coreng moreng, ingin tahu siapa penampil tak biasa ini. Namun tanpa disadari tubuh mereka bergerak-gerak patah-patah mengikuti potongan-potongan irama 179 Laskar Pelangi
yang dilantakkan dan tanpa diminta tepuk tangan, siulan, dan sorak- sorai ribuan penonton membahana menyambut kejutan aksi seksi tabla. Penonton riuh rendah berdecak kagum. Pada detik itu aku tahu bahwa penampilan kami telah berhasil. Mahar telah melakukan entry dengan sukses. Semua seniman panggung mengerti jika entr y telah sukses biasanya seluruh pertunjukan akan selamat. Para hadirin telah terbeli tunai! Kesuksesan entry pemain tabla mengangkat kepercayaan diri kami sampai level tertinggi. Kami, delapan ekor sapi, yang akan tampil pada plot kedua, gemetar menunggu aba-aba dari Mahar untuk menerjang arena. Kami tak sabar dan rasanya kaki sudah gatal ingin mendemons-trasikan kehebatan mamalia menari. Kami adalah remaja-remaja kelebihan energi dan laparakan perhatian. Lima belas meter dari tempat kami berdiri adalah arena utama dan kami mengambil ancang-ancang laksana peluru-peluru meriam yang siap diledakkan. Sangat mendebarkan, apalagi penonton semakin menggila tak terkendali mengikuti ketukan tabla. Mereka membentuk lingkaran yang rapat, ikut menari, bertepuk tangan, bersuit-suit panjang, dan berteriak-teriak histeris. “Tabahkan hati kalian, keluarkan seluruh kemampuan!” ledak Bu Mus memberi semangat kepada kami, para mamalia. Pak Harfan sudah tidak bisa bicara apa-apa. Tangannya membekap dada seperti orang berdoa. Tapi di tengah penantian menegangkan itu aku merasakan sedikit keanehan di lingkaran leherku. Seperti ada kawat panas menggantung. Aku juga merasa heran melihat warna telinga teman- temanku yang berubah menjadi merah, demikian pula kalung kami, membentuk lingkaran berwarna kelam di kulit. Aku merasakan panas pada bagian dada, wajah, dan telinga, lalu rasa panas itu berubah menjadi gatal. Dalam waktu singkat rasa gatla meningkat dan aku mulai menggaruk-garuk di seputar leher. Sekarang kami sadar bahwa rasa gatal itu berasal dari getah buah aren yang menjadi mata kalung kami. Hasil rancangan adibusana Mahar. Buah aren yang ditusuk 180 Laskar Pelangi
dengan tali rotan itu mengeluarkangetah yang pelan-pelan melelh di lingkaran leher. Rasa gatal itu semakin menjadi-jadi tapi kami takb isa berbuat apa-apa karena untuk melepaskan kalung itu berarti harus melepaskan mahkota. Dan melepaskan mahkota besar yang beratnya hampir satu setengah kilogram ini bukan persoalan mudah. Mahkota raksasa ini sengaja dirancang Mahar untuk dikenakan dengan lilitan tiga kali melalui dagu sehingga tanpa bantuan seseorang tak mungkin membukanya sendiri. Tak mungkin melakukan itu apalagi Mahar sekarang telah melakukan gerakan seperti menyembah- nyembah ke arah kami. Itulah isyarat kami harus masuk dan beraksi. Maka semua usaha untuk berbuat sesuatu pada kalung itu terlambat dan yang terjadi berikutnya tak ‘kan pernah kulupakan seumur hidupku. Kami menyerbu aren a dengan semangat spartan. Tepuk tangan penonton bergemuruh. Pada awalnya kami menari bersukacita sesuai dengan skenario. Lalu kami, para sapi ini, mulai bergerak- gerak aneh dan sedikit melenceng dari gerakan seharusnya karena kami diserang oleh rasa gatal yang luar biasa. Rasa gatal ini begitu dahsyat. Aku tak pernah merasakangatal demikian hebat dan jelas berasal getah buah aren muda yang menjadi mata kalung kami. Pertama-tama rasanya panas, perih, lalu geli dan gatal sekali. Jika digaruk bukannya sembuh tapi akan semakin menjadi-jadi, bertambah gatal dua kali lipat. Karena gerakan kami rancak dengan tangan mengibas-ngibas ke sana kemari maka getah aren itu menyebar ke seluruh tubuh. Sekarang seluruh tubuh kami dilanda gatal tak tertahankan. Kami berusaha tidak menggaruk-garuk karena hal itu akan merusak koreografi, kami bertekad mengalahkan Marching Band PN. Selain tu menggaruk hanya akan memperparah keadaan, maka kami bertahan dalam penderitaan. Satu-satunya cara mengalihkan siksaangatal adalah dengan terus-menerus bergerak jumpalitan seperti orang lupa diri. Maka sekarang kami bergerak sendiri-sendiri tak terkendali seperti orang kesetanan. Kami berteriak-teriak, meraung, saling menanduk, saling menerkam, saling mencakar, 181 Laskar Pelangi
merayap, berguling-guling di tanah, menggelepar-gelepar. Semua itu tak terdapat dalam skenario. Lintang komat-kamit tak jelas dan matanya memerah seperti buah saga. Trapani sama sekali menguap ketampanannya, wajah manisnya berubah menjadi wajah algojo yang sedang kalap. Sedangkan A Kiong menampar-nampar dirinya sendiri dengan keras seperti orang kesurupan. Telinganya seolah mengeluarkan asap dan wajahnya seperti kaleng biskuit R oma. Wajah kami memerah seperti terbakarapi dan urat-urat lengan bertimbulan menahankangatal. Kami bergerak demikian beringas, berjingkrak-jingkrak seperti sekaleng cacing yang dicurahkan di atas aspal yang panas mendidih. Sebaliknya, melihat kami sangat menjiwai, para pemain tabla pun terbakar semangatnya. Mereka mempercepat tempo untuk mengikuti gerakan-gerakan liar kami. Kami menari dengan tenaga dua kali lipat dari latihan dan gerakan dua kali lebih cepat dari seharusnya. Kami seolah berkejaran dengan tabuhan tabla. Menimbulkan pemandangan yang menakjubkan. Bahkan orang Afrika sendiri tak pernah menari sehebat ini. Sesungguhnya maksud kami bukan itu. Tapi kami senewen menanggungkan gatal. Penonton yang tidak memahami situasi mengira suara tabla itu mengandung sihir dan telah membuat kami, delapan ekor sapi ini, kesurupan, maka mereka bertepuk tangan gegap gempita karena kagum dengan daya magis tarian Afrika. Mereka berteriak-teriak histeris memberi semangat dan salut kepada kami yang mampu mencapai penghayatan setinggi itu. Penonton semakin merapat dan petinggi di podium kehormatan menghambur ke depan meninggalkan tempat-tempat duduknya yang teduh dan nyaman. Mereka berebutan menyaksikan kami dari dekat. Mereka takjub dengan sebuah pemandangan aneh. Bagi mereka ini adalah ekspresi seni yang luar biasa. Sementara kami semakin tunggang- langgang, berputar-putar seperti gasing. Kami sudah tak peduli dengan pantun Afrika yang harusnya kami lantunkan. Teriakan kami sekarang menjadi: “Hushhhhhhh ...hushh...hushhhh! Habbaa...habbbaaa... habbaaaa...!! !. Penonton malah mengira itu mantra-mantra gaib. Aku melirik Mahar. Aneh sekali, wajahnya tapak senang tak alang kepalang, 182 Laskar Pelangi
gembira bukan main. Ia tampak sangat setuju dengan seluruh gerakangila kami walaupun tidak seperti yang dilatihkannya dulu. “Terus Kawan, hebat sekali, ayo berguling- guling, inilah maksudnya,” bisiknya di antara kami sambil berlari-lari memikul tabla. Aku mulai curiga. Tapi aku tak sempat berpikir jauh karena kami sekarang sedang diserang oleh dua puluh ekor cheetah. Suasana semakin seru. Kami semakin sinting karena gatal dan panas. Kami merasa sangat haus, menderita dehidrasi. Ketika cheetah menyerang, kami berbalik menyerang. Kami sudah lupa diri. Seharusnya hal ini tak terjadi. Skenarionya tidak begitu. Skenarionya adalah kami seharusnya menguik-nguik ketakutan sampai prajurit Masai, Moran yang gagah berani itu, datang sebagai pahlawan untuk menyelamatkan kami. Tapi sebaliknya sekarang kami dengan beringas membalas serangan cheetah karena kami tak mungkin diam, jika diam rasa gatal rasanya akan memecahkan pembuluh darah kami. Para cheetah kebingungan. Ketika mereka men erjang kami membalas, cheetah berlari kocar-kacir dan kembali menyerang, demikian terjadi berulang-ulang. Namun anehnya skenario yang kacau balautak direncanakan ini justru memunculkan karakter asli binatang yang pada suatu ketika bisa demikianganas tanpa ampun dan pada keadaan yang lain terbirit-birit ketakutan jika kekuatannya tak berimbang. Sebalik nya sekali lagi kulirik Mahar. Ia senang sekali dengan improvisasi spontan ini, tabuhan tablanya semakinganas. Senyumnya mengembang. Tak pernah aku melihatnya sebahagia itu. Surai kuda, selendang yang melilit pinggang, dan mahkota kami melambai-lambai eksotis karena kami melonjak-lonjak tak terkendali. Kami menari seperti orang dirasuki iblis yang paling jahat, seperti ditiup Lucifer sang raja hantu. Arena semakin membara dan gairah tarian mend idih ketika dua puluh prajurit Masai menyerbu masuk untuk menyelamatkan kami, yang terjadi adalah pertarungan dahsyat antara sapi dan prajurit Masai melawan dua puluh ekor cheetah. Ada enam puluh penari termasuk pemain 183 Laskar Pelangi
tabla yang sekarang saling menyerang dalam hentakan musik Masai. Penonton riuh rendah dalam kekaguman. Para fotografer sampai kehabisan film. Pasir-pasir halus yang bertaburan di atas arena membubung menjadi debu tebal yang mengaburkan pandangan. Debu itu mengelilingi kami yang berputar seperti pusaran angin. Di tengah pusaran itu kami bertempur habis-habisan dalam sebuah ritual liaralam Afrika yang kami tarikan seperti binatang buas yang terluka. Dalam kekacau-balauan terdengar teriakan-teriakan histeris, auman binatang, dan suara tabla berdentum-dentum. Keseluruhan koreografi yang menampilkan fragmen pertempuran manusia melawan binatang dengan gerakan spontan di depan podium kehormatan itu ternyata menghasilkan karya seni yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Sebuah formasi gerakan chaos orisinal yang tercipta secara tidak sengaja. Para penonton tersihir melihat kami trance secara kolektif, mereka tersentak dalam histeria menyaksikan pemandangan magis yang menkjubkan. Sebuah pemandangan eksotis dari totalitas tarian yang menciptakan efek seni yang luar biasa. Sebuah efek seni yang memang diharapkan Mahar, efek seni yang akan membawa kami menjadi Penampil Seni Terbaik tahun ini, tak diragukan, tak ada bandingannya. Pak Harfan, Bu Mus, dan guru-guru kami sangat bangga dan seolah tak percaya melihat murid-muridnya memiliki kemampuan seperti itu. Mereka tak sadar bahwa kami menderita berat karena gatal dan gerakan kami tak ada hubungannya dengan Moran, cheetah, dan bunyi-bunyian tabla yang memecah gendang telinga. Tiga puluh menit kami tampil serasa tiga puluh jam. Kami, para sapi, memang dirancang untuk meninggalkan arena pertama kali. Pemain tabla, cheetah, dan prajurit Masai masih harus melan jutkan fragmen. Segera setelah meninggalkan arena kami berlari pontang panting mencari air. Sayangnya air terdekat adalah sebuah kolam kangkung butek di belakang sebuah toko kelontong. Kolam itu adalah tempat pembuangan akhir ikan-ikan bsuuk yang tak laku dijual. Apa boleh baut, kami ramai-ramai menceburkan diri di sana. 184 Laskar Pelangi
Kami tak melihat ketika penonton memberikan standing applause selama tujuh menit. Kami tak menyaksikanguru-guru kami menangis karena bangga. Aku kagum kepada Mahar, ia berhasil memompa kepercayaan diri kami dan dengan kepercayaan diri ternyata siapa pun dapat membuat prestasi yang mencengangkan. Hal itu dibuktikan oleh sekolah Muhammadiyah yang mampu mematahkan mitos bahwa sekolah kampung tidak mungkin menang melawan sekolah PN dalam karnaval. Sayangnya saat itu kami tak dapat ber gembira seperti warga Muhammadiyah di podium dan kami jgua tak mendengar ketika ketua dewan juri, Mbah Suro, naik mimbar. Beliau mengucapkan pidato panjang puji-pujian utnuk kami: “Sekolah Muhammadiyah telah menciptakan daripada suatu arwah baru dalam karnaval ini. Maka dari itu mereka telah mencanangkan suatu daripada standar baru yang semakin kompetitif dari pada mutu festival seni ini. Mereka mendobrak dengan ide kreatif, tampil all out, dan berhasil menginterpretasikan dengan sempurna daripada sebuah tarian dan musik dari negeri yang jauh. Para penarinya tampil penuh penghayatan, dengan spontanitas dan totalitas yang mengagumkan sebagai suatu manifestasi daripada penghargaan daripada mereka terhadap seni pertunjukan itu sendiri. Penampilan Muhammadiyah tahun ini adalah daripada suatu puncak pencapaian seni yang gilang gemilang dan oleh karena itu dewan juri tak punya daripada pilihan lain selian daripada menganugerahkan penghargaan daripada penampila seni terbaik tahun ini kepada sekolah Muhammadiyah !. Whai dewan juri yang terhormat, mari kuberitahukan pada bapak-bapak sekalian, tahu apa bapak-bapak soal seni, interpr etasi seni kami adlaah interpretasi getah buah aren yang gatalnya membakar lingkaran leher kami sampai ke pangkal-pangkal paha dengan perasaan seperti memakan api. Itulah yang membuat kami menari seperti orang yang tidak waras, dan tiulah interpretasi seni kami. Mendengar pidato itu para penonton kembali bergemuruh dan seluruh warga Muhammadiyah bersorak-sorai senang karena sebuah kemenangan yang fenomenal. 185 Laskar Pelangi
Sebaliknya kami, delapan ekor ternak dalam koreografi hebat itu, tetap tak tahu semua kejadian yang menggemparkan itu, dan kami juga masih tak tahu ketika Mahar diarak warga Muhammadiyah setelah sekolah menerima trofi bergengsi Penampil Seni Terbaik tahun ini. Trofi yang telah dua puluh tahun kami idamakan dan selama itu pula bercokol di sekolah PN. Baru pertama kali ini trofi itu dibawa pulang oleh sekolah kampung. Trofi yang tak ‘kan membuat sekolah kami dihina lagi. Kami tak tahu semua itu karena ketika itu kami sedang berkubang di dalam lumpur kolam kangkung, menggosok-gosok leher dengan daungenjer. Yang kami tahu hanyalah bahwa Mahar telah membalas kami dengan setimpal karena pelecehan kami padanya selama ini. Buah-buah aren itu sungguh merupakan sebuah ran cangan kalung etnik properti adi busana koreografi yang bernilai seni, hasil perenungan Mahar berjam- jam sambil memandangi langit di bawah pohon filicium. Itulah sebuah perenungan tingkat tinggi yang membuat hatinya bergejolak sepanjang malam karena girang akan memberi kami pelajaran, sebuah perenungan pembalasan dendam yang telah ia rencanakan dengan rapi selama bertahun-tahun. Wajah manisnya pasti sedang tersenyum sekarang dan senyumnya tak berhenti mengembang jika ia ingat penderitaan kami. Di kolam busuk luar biasa sehingga merontokkan bulu hidung ini kami membayangkan Mahar melonjak-lonjak girang disirami sinaragung prestasi dan kata-kata pujian setinggi langit. Sedangkan kami agaknya memang patut dihukum di kolam perut ikan ini. Mahar membalas kami sekaligus merebut penghar gaan terbaik— sekali tepuk dua nyamuk tumbang. Pria muda yang nyeni itu memang genius luar baisa, dan baginya pembalasan ini maniiiiis sekali, semanis buah bintang. 186 Laskar Pelangi
Bab 2 0 Miang Sui AWAN-AWAN kapas berwarna biru lembut turun. Mengapung rendah ingin menyentuh permukaan laut yang surut jauh, beratus- ratus hektare luasnya, hanya setinggi lutut, meninggalkan pohon- pohon kelapa yang membujur di sepanjang Pantai Tanjong Kelayang. Aku tahu bahwa awan-awan kapas biru muda itu dapat menjadi penghibur bagi mataku, tapi dia tak kan pernah menjadi sahabat bagi jiwaku, karena sejak minggu lalu aku telah menjadi sekuntum daffodil yang gelisah, sejak kukenal sebuah kosakata baru dalam hidupku: rindu. Kini setiap hari aku dilanda rindu padanonakuku cantik itu. Aku rindu pada wajahnya, rindu pada paras kuku-kukunya, dan rindu pada senyumnya ketika memandangku. Aku juga rindu pada sandal kayunya, rindu pada rambut-rambut liar di dahinya, rindu pada caranya mengucapkan huruf “r”, serta rindu pada caranya merapikan lipatan-lipatan lengan bajunya. Kadang-kadang aku bersembunyi di bawah pohon filicium , melamun sendiri, dadku sesak sepanjang waktu. Aku segera mengerti bahwa aku adalah tipe laki-laki yang tak kuat menahankan rindu. Lalu aku berpikir keras mencari jalan untuk meringankan 187 Laskar Pelangi
beban itu. Setelah melalui pengkajian berbagai taktik, akhirnya aku sampai pada kesimpulan bahwa rinduku hanya bisa diobati dengan cara sering-sering membeli kapur dan untuk itu Bu Mus adalah satu- satunya peluangku. Maka aku mengerahkan segala daya upaya, memohon sepenuh hati, agar tugas membeli kapur tulis diserahkan padaku, kalau perlu kapur tulis untuk seluruh kelas SD dan SMP Muhammadiyah, sepanjang tahun ini. “Bukankah kau paling benci tugas itu Ikal?. Aku tersipu. Ironis, aku telah menemukan definisi ironi yang sebenarnya. Penyebabnya tentu bukan karena Toko Sinar Harapan telah menjadi wangi, tapi semata- mata karena ada putri Gurungobi menungguku di sana. Maka ironi bukanlah persoalan substansi, ia tak lain hanyalah soal kompensasi. Itulah definisi ironi, tak kurang tak lebih. Bu Mus tak berminat mendebatku dan kulihat perubahan wajahnya. Pastilah instingnya selama bertahun-tahun menjadi guru secara naluriah telah membunyikan lonceng di kepalanya bahwa hal ini sedikit banyak berhubungan dengan urusan cinta monyet. Dengan jiwa penuh pengertian dan sebuah senyum jengkel b eliau mengiyakan sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Asal jangan kau hilangkan lagi kapur-kapur itu, perlu kau tahu, kapur itu dibeli dari uang sumbangan umat!. Kemudian aku dan Syahdan menjadi tim yang solid dalam pengadaan kapur. Aku menjadi semacam manajer pembelian, Syahdan tak perlu mengayuh sepeda, cukup duduk di belakang, memegang kotak-kotak kapur kuat-kuat dan menjaga mulutnya rapat-rapat, karena hubungan antar-ras adalah isu yang sensitif ketika itu. Kami menikmati ketegangan perjanjian rahasia ini dan selama beberapa bulan setelah itu aku telah menjadi tukang kapur yang berdedikasi tinggi. Sebaliknya Syahdan, tentu saja melalui 188 Laskar Pelangi
rekomendasiku pada Bu Mus, selalu ikut denganku. Ia gembira karena semakin lama meninggalkan kelas sekligus leluasa mendekati putri tukang hok lo pan . Sesampainya di toko biasanya aku langsung cepat-cepat masuk dan berdiri tegak dengan saksama di tengah-tengah lautan barang kelontong. Minyak kayu putih kukipas- kipaskan di bawah hidung untuk melawan bau tengik. Aku menyeka keringat dan tak sabar menunggu menit-menit ajaib, yaitu ketika A Miauw memberi perintah kepada burung murai batu di balik tirai yang terbuat dari keong-keong kecil itu. Aku megnhampiri kotak merpati saat ia menjulurkan kapur. Setiap kali ini terjadi jantungku berdebar. Ia masih tetap tak berkata apa pun, diam seribu bahasa, demikian juga aku. Tapi aku tahu ia sekarang tak lagi cepat-cep at menarik tangannya. Ia memberiku kesempatan lebih lama memandangi kuku-kukunya. Hal itu cukup membuatku demikian bahagia sampai seminggu berikutnya. Demikianlah berlangsung selama beberapa bulan. Setiap Senin pagi aku dapat menjumpai belahan jiwaku, walaupun hanyakuku-kukunya saja. Hanya sampai di situ saja kemajuan hubungan kami, takada sapa, takada kata, hanya hati yang bicara melalui kuku-kuku yang cantik. Tak ada perkenalan, tak ada tatap muka, tak ada rayuan, dan tak ada pertemuan. Cinta kami adalah cinta yang bisu, cinta yang sederhana, dan cinta yang sangat malu, tapi indah, indah sekali tak terperikan. Kadang-kadang ia menjentikkan jarinya atau menggodaku sambil terus memegang kotak kapur ketika akan kuambil sehingga kami saling tarik. Kadang kala ia mengepalkan tinjunya, mungkin maksudnya: kenapa kamu terlambat? Sering telah kusiapkan diri berminggu-minggu untuk sedikit saja memegang tangannya atau untuk mengatakan betapa aku rindu padanya. Tapi setiap kali aku melihat kuku-kukunya, semua kata yang telah ditulis rapi pun sirna, menguap bersama aroma keringat orang Sawang dan seluruh keberanian lenyap tertimbun tumpukan lobak asin. Tirai yang terbuat dari keong-keong kecil itu demikian kukuh untuk ditembus oleh mental laki-laki sekecil aku. 189 Laskar Pelangi
Sudah dua musim berlalu, sudah dua kali orang-orang bersarung turun dari perahu, aku merasa sudah saatnya untuk tahu siapa namanya. Namun sekali lagi, walaupun sudah berhari-hari mengumpulkan keberanian untuk bertanya langsung ketika tangannya menjuilur, aku menjadi bisu dan tuli. Aku begitu kerdil di depannya. Maka kutugaskan Syahdan mencari informasi. Ia sangat girang mendapat tugas itu. Lagaknya seperti intel Melayu, mengendap-endap, berjingkat-jingkat penuh rahasia. “Namanya A Ling ...!” bisiknya ketika kami sedang khatam Al-Qur’an di Masjid Al Hikmah. Jantungku berdetak kencang. “Seangkatan dengan ktia, di sekolah nasional!” Dan pyarrr!! Kopiah resaman Taikong Razak menghantam rihalan Syahdan. “Jaga adatmu di muka kitaballah anak muda!!. Syahdan meringis dan kembali menekuri Khatamul Qur’an. Sekolah nasional adalah sekolah khusus anak-anak Tionghoa. Aku menatap Syahdan dengan serius. Sekolah nasional ...? “Jangan sampai tahu ibuku,” kataku cemas, “Bisa-bisa kau ken a rajam.. Syahdan tak mau menanggapi peringatkanku yang tidak kontekstual dengan infonya yang berharga tadi. Wajahnya mengisyaratkan bahwa ia punya keju tan lain. “A Ling adalah sepupu A Kiong ...!. Aku terkejut, rasanya seperti tertelan biji rambutan yang macet di tenggorokanku. A Kiong, pria kaleng kerupuk itu! Mana mungkin dia punya sepupu bidadari? Syahdan membaca pikiranku, ia mengangguk- angguk yakin memastikan, “Iya, betul sekali, Kawan, A Kiong kita itu, tapi aku tak pasti, apakah A Kiong seperti itu karena tumbal ilmu sesat, titisan yang keliru, atau anomali genetika?. 190 Laskar Pelangi
Syahdan vulgar dan sok tahu. Aku segera teringat pada A Kiong. Beberapa hari ini ia belajar di kelas sambil berdiri karena lima biji bisul padi bermunculan di pantatnya sehingga ia tak bisa duduk. Tapi ia berkeras ingin tetap sekolah. Aku tak dapat menggamabrkan perasaanku atas semua info ini. Kenyataan bahwa A Ling adalah sepupu a Kiong membuatku bersemangat sekaligus waswas. Aku dan Syahdan berunding serius membahas perkembangan ini dan kami putuskan untuk menceritakan situasinya pada A Kiong. Kami menganggap dialah satu-satunya peluang untuk menembus tirai keong itu. Kami giring A Kiong menuju kebun bunga sekolah dan kami dudukkan di abngku kecil dekat kelompok perdu kamar Beloperone , Pittosporum , dan kembang sepatu yang saat itu sedang bersemi, tempat yang sempurna untuk bermusyawarah soal cinta. “Mudahnya begini saja, Kiong,” kataku tak sabar. “Aku akan menitipkan padamu surat dan puisi untuk A Ling, maukah kau memberikan padanya? Serahkan padanya kalau kalian sembahyang di kelenteng, pahamkah engkau?. Ia mengernyitkan dahinya, rambut landaknya berdiri tegak, wajahnya yang bulat gemuk tampak semakin jenaka. Ketika ia melepaskan kembali kernyitannya itu pipinya yang tembem jatuh berayun-ayun lucu. Dia adalah pria berwajah mengerikan tapi lucu. “Mengapa tak kauberikan langsung padahal setiap Senin pagi kau bertemu dengannya? Tidak masuk akal!” A Kiong tak mengucapkan kata-kata itu tapi inilah arti kernyitannya itu. Aku juga menjawabnya dari dalam hati, semacam telepati. “Hei, anak Hokian, sejak kapan cinta masuk akal?. Aku menarik napas panjang, membalikkan badanku, memandang jauh ke lapangan hijau pekarangan sekolah kami. Seperti sedang berakting dalam sebuah teater aku merenggut daun- daun Dracaena , meremas- remasnya lalu melemparkannya ke udara. 191 Laskar Pelangi
“Aku malu, A Kiong, nyaliku lumpuh kalau berada satu meter darinya, aku adalah seorang pria yang kompulsif, jika ceroboh aku takut ketahuan bapaknya, kalau itu terjadi, tak terbayangkan akibatnya!. Kudapat kata-kata itu dari majalah Aktuil langganan abangku, barangkali agak kurang tepat, tapi apa peduliku. Demi mendengar kata-kata seperti naskah sandiwara radio itu Syahdan memeluk erat- erat pohon petai cina di sampingnya. Aku kehabisan kata untuk menjelaskan pada A Kiong bahwa titip-menitip dalam dunia percintaan mengandung nilai romansa yang tinggi karena ada unsur-unsur kejutan di sana. Rupanya A Kiong menangkap keputusasaan dalam nada suaraku. Ia adalah siswa yang tidak terlalu pintar tapi ia setia kawan. Sepanjang masih bisa diusahakan ia tak ‘kan pernah membiarkan sahabatnya patah harapan. Luluh hatinya melihat aktingku. Sekarang ia tersenyum dan aku menyembahnya seperti murid shaolin berpamitanpada suhunya untuk memberantas kejahatan. Namun karena turunan darah wiraswasta leluhurnya, A Kiong tentu menuntut kompensasi yang rasional. Aku tak keberatan menggarap PR tata buku hitung dagangnya. Lalu, tak terbendung, melalui A Kiong, puisi-puisi cintaku mengalir deras menyerbu pasar ikan. Baginya itu hanyalah tugas mduha. Sebaliknya, ia mulai merasakan kenikmatan eskalasi gengsi akibat nilai-nilai tata buku hitung dagang yang membaik. Hubungan A Kiong, aku dan Syahdan adalah simbiosis mutualisme, seperti burung cako dengan kerbau. Ia sama sekali tak menyadari bahwa persoalan titip menitip ini dapat membawa risiko ia pecah kongsi dengan pamannya A Miauw. Aku selalu mendesak A Kiong untuk menceritakan bagaimana wajah A Ling ketika menerima puisi dariku. “Seperti bebek ketemu kolam,” kata A Kiong penuh godaan persahabatan. 192 Laskar Pelangi
Dan pada suatu sore yang indah, di bulan Juli yang juga indah, di tempat duduk bulat, sendirian di kebun bunga kami, aku menulis puisi ini untuk A Ling: Bunga Krisan A Ling, lihatlah ke langit Jauh tinggi di angkasa Awan-awan putih yang berarak itu Aku mengirim bunga-bunga krisan untukmu Ketikaku masukkan puisi ke dalam sampul surat, aku tersenyum, tak percaya aku bisa menulis puisi seperti itu. Cinta barangkali dapat memunculkan sesuatu, kemampuan atau sifat-sifat rahasia, yang tak kita sadari sedang bersembunyi di dalam tubuh kita. Namun ketika itu aku selalu merasa heran mengapa A Ling selalu mengembalikan puisiku? Barangkali di tokonya yang sesak tak ada lagi tempat untuk menyimpan kertas. Demikianlah pikiranku, bukankah anak kecil selalu berpikir positif. Aku tak ambil pusing soal itu lagi pula saat ini pikiranku sedang tak keruan karena pada kotak kapur yang kuambil pagi ini ada tulisan: Jumpai aku di acara sembahyang rebut Tulisan tangan A Ling! Ini adalah lompatan raksasa dalam hubungan kami. Bagiku catatan kecil ini sangat penting seperti katebelece presiden untuk menaikkangaji seluruh pegawai negeri. Keinginanku melihat kembali wajah Michele Yeoh-ku setelah insiden tirai dulu adalah tabungan rindu dalam celengan tanah liat yang setiap saat hampir meledak. Dan dalam waktu 92 jam, 15 menit, 10 detik dari sekarang aku akan menjumpainya langsung! Di halaman kelenteng. 193 Laskar Pelangi
Hari-hari menjelang pertyemuan adalah hari-hari tak bisa tidur. Klasik sekali memang, tapi apa boleh buiat karena memang itu kenyataannya maka harus kuceritakan. Berkali-kali kubaca pesan di atas kotak kapur itu tapi masih tetap isinya tentang janji ketemu. Dibaca dari arah mana pun, dari belakang seperti membaca huruf Arab, dari depan, dari atas, dari jauh, dari dekat, dipantulkan di cermin, digerus dengan lilin, dibaca dengan kaca pembesar, dibaca di balik api, ditaburi tepung terigu, diawasi lama-lama seperti melihat gamabr tiga dimensi yang tersamar, isinya tetap sama yaitu “jumpai aku di acara sembah yang rebut”. Itu adalah kalimat bahasa Indonesia yang jelas, bukan idiom, bukan isyarat atau simbol. Aku seolah tak percaya dengan pesan itu tapi aku, si Ikal ini, akan segera berjumpa dengan cinta pertamanya! Tak diragukan lagi, dunia boleh iri. Kotak kapur yang ada tulisan pesan A Ling itu kusimpan di kamarku seperti benda koleksi yang bernilai tinggi. Syahdan dan A Kiong sampai bosan terus-menerus mendengar kisahku tentang pesan itu. Mereka muak. Satu pelajaran berharga, orang yang sedang jatuh cinta adalah orang yang egois. Aku seolah tak percaya pada apa yang ak an terjadi, mimpikah ini? “Bukan, Kawan, bukan mimpi, mandilah bersih-bersih dan tunggu dia pukul emapt sore di halaman kelenteng, saat persiapan sembah yang rebut. Dia wanita yang baik, dia akan datang untuk janjinya,” nasihat A Kiong, event organizer pertemuan penting ini, yang tiba-tiba menjadi amat bijaksana. Chiong Si Ku atau sembahyang rebut diadakan setiap tahun. Sebuah acara semarak di mana seluruh warga Tionghoa berkumpul. Tak jarang anak -anaknya yang merantau pulang kampung untuk acara ini. Banyak hiburan lain ditempelkan pada ritual keagamaan ini, misalnya panjat pinang, komidi putar, dan orkes Melayu, sehingga menarik minat setiap orang untuk berkunjung. Dengan demikian ajang ini dapat disebut sebagai media tempat empat komponen utama kelompok subetnik di kampung kami: orang Tionghoa, orang Melayu, orang pulau bersarung, dan orang Sawang berkumpul. 194 Laskar Pelangi
Orang Sawang tak terlalu tertarik dengan hiburan-hiburan tadi tapi mata mereka tak lepas dari tiga buah meja berukuran besar dengan panjang kira-kira 12 meter, lebar dan tingginya kira-kira 2 meter. Di atas meja itu ditimbun berlimpah ruah barang-barang keperluan rumah tangga, mainan, dan berjenis-jenis makanan. Barang-barang ini adalah sumbangan dari setiap warga Tionghoa. Tak kurang dari 150 jenis barang mulai dari wajan, radio transistor, bahkan televisi, berbagai jenis kue, biskuit, gula, kopi, beras, rokok, bahan tekstil, berbagai botol dan kaleng minuman ringan, gayung, pasta gigi, sirop, ban sepeda, tikar, tas, sabun, payung, jaket, ubi jalar, baju, ember, celana, buah mangga, kursi plastik, batu baterai, sampai beragam produk kecantikan disusun bertumpuk-tumpuk laksana gunung di atas meja- meja besar tadi. Daya tarik terkuat dari sembahyang rebut adalah sebuah benda kecil yang disebut fung pu, yakni secarik kain merah yang disembunyikan di sela-sela barang- barang tadi. Benda ini merupakan incaran setiap orang karena ia perlambang hoki dan yang mendapatkannya dapat menjualnya kembali pada warga Tionghoa dengan harga jutaan rupiah. Meja itu diletakkan di depan sebuah Thai Tse Ya, yaitu patung raja hantu yang dibuat dari bambu dan kertas-kertas berwarna- warni. Tinggi Thai Tse Ya mencapai 5 meter dengan diameter perut 2 meter. Ia adalah sesosok hantu raksasa yang menyeramkan. Matanya sebesar semangka dan lidahnya panjang menjuntai seperti ingin menjilati jejeran babi berminyak-minyak yang dipanggang berayun di bawahnya. Thai Tse Ya tak lain adalah representasi sifat- sifat buruk dan kesialan manusia. Sepanjang sore dan malam hari, warga Tionghoa yang Kong Hu Cu tentu saja melakukan sembahyang di depan Thai Tse Ya ini. Tepat tengah malam salah seorang paderi akan memukul sebuah tempayan besar pertanda seluruh hadirin dapat mengambil—lebih tepatnya merebut—semua barang yang ada di tiga meja besar tadi. Oleh karena itu Chiong Si Ku disebut juga acara sembah yang rebut. Ketika tempayan itu dipukul bertalu-talu tanda mulai berebut aku menyaksikan salah satu peristiwa paling dahsyat yang pernah dilakukan manusia. Gunungan beratus- ratus jenis barang tersebut 195 Laskar Pelangi
lenyap dalam waktu tak lebih dari satu menit—25 detik lebih tepatnya, dan tempat itu berubah menjadi kekacaubalauan yang tak tertuliskan kata-kata. Debu tebal mengepul ketika ratusan orang dengan garang menyerbu meja-meja tinggi itu dengan semangat seperti orang kesetanan. Tak jarang meja-meja itu hancur berantakan dan para perebut cidera berat. Mereka yang berhasil naik ke atas meja dengan gerakan secep at kilat melemparkan barang-barang secara sistematis kepada rekan- rekannya yang menunggu di bawah. Mereka yang bertindak sendiri naik ke atas meja dan memasukkan apa saja yang ada di dekatnya ke dalam sebuah karung—juga dengan kecepatan kilat—sampai kadang kala tak bisa menurunkan karungnya itu karena sudah di luar batas ten aganya. Kadang kala belasan orang ber ebut sebuah barang sehingga terjadi semacam perkelahian di tengah tumpukan barang dan b eberapa di antaranya terjengkang, jatuh menabrak barang-barang rebutan, lalu terjembab ke tanah. Para penonton tak sempat bertepuk tangan tapi hanya terpana menyaksikan pemandangan sekilas yang mahadahsyat sekaligus ngeri membayangkan bagaimana manusia bisa begitu serakah dan beringas. Mereka yang tidak membawa karung memasukkan apa saja ke dalam seluruh saku baju dan celana bahkan ke dalam bajunya sehingga tampak seperti badut. Dalam situasi berebutan yang sangat cepat otak sudah tidak bisa menalar, kadang kala butir-butir beras dan gula juga dimasukkan ke dalam saku celana. Mereka yang saku baju dan celananya—bahkan bagian dalam bajunya—telah penuh memasukkan apa saja ke dalam mulutnya, mereka makan apa saja, sebanyak mungkin, ketika masih berada di atas meja, jika perlu mereka akan menyimpan barang di dalam lubang-lubang hidung dan telinga, luar biasa! Jika berhasil merebut radio transistor jangan harapakan membawanya pulang dengan utuh karena ketika masih di atas meja radio itu akan direbut oleh lima belas orang sekaligus sehingga yang tersisa hanya tombol-tombol atau antenanya saja. Prinsipnya tak mengapa mendapatkan tombolnya saja asalkan 196 Laskar Pelangi
orang lain juga tak mendapatkan radio seutuhnya. Perkara radio itu menjadi hancur tak bisa dipakai adalah urusan lain yang tak penting. Inilah manifestasi dasar keserakahan manusia. Chiong Si Ku adalah bukti nyata tak terbantah terhadap teori yang dip ercaya para antropolog tentang kecenderungan egois, tamak, merusak, dan agresif sebagai sifat-sifat dasar homo sapiens. Superstar dalam Chiong Si Ku tentu saja orang-orang Sawang. Tanpa mereka bisa-bisa acara ini kehlilangan sensasinya. Mereka sukses setiap tahun karena pengorganisasian yang solid. Sejak sore mereka telah melakukan riset di mana posisi barang-barang berharga, dari sudut mana harus menyerbu, berapa tenaga yang diperlukan, dan mengkalkulasi perkiraan perolehan. Berhari-hari sebelu m sembahyang rebut mereka telah menyusun strategi. Pembagian tugasnya jelas, yaitu mereka yang berbadan besar bertugas menjegal kelompok perebut lain, yang kecil menyerbu naik ke atas meja seperti gerakan monyet: cepat, jeli, dan tangkas, dan sisanya menunggu di bawah, siaga menangkapapa saja yang dilemparkan dari atas meja. Kelompok ini beranggotakan sampai dua puluh orang. Seorang pria Sawang kurus bermata liar ditugaskan khusus selama bertahun-tahun untuk menjarah fung pu . Ketika ia beraksi ekspresinya datar seolah ia tak punya urusan dengan perebut-perebut serakah lainnya. Tingkah lakunya persis budak yang dijanjikan merdeka oleh Siti Hindun jika berhasil membunuh Hamzah sang panglima pada perang Uhud. Sang budak tak ada urusan dengan perang Uhud, perang itu bukan perangnya, setelah menombak dada Hamzah ia bergegas pulang. Demikian pula pria bermata liar ini. Ketika paderi memukul tempayan pertama kali ia langsung memanjat meja seperti manusia laba-laba, lalu dengan cekatan ia berjingkat-jingkat di antara lautan barang-barang. Matanya yang tajam nanar jelalatan melacak ke sana kemari dan dalam waktu singkat ia mampu menemukan fung fu . Ia selalu sukses meskipun paderi telah menyembunyikan benda kecil keramat itu dengan amat rapi di antara tumpukan terdalam lipatan daster, di dalam salah satu dari puluhan kaleng biskuit Khong Guan yang paling sulit dijangkau, di dalam karung ekmiri, di sela- sela dedaunan tebu, bahkan di dalam buah jeruk kelapa. Setelah mendapatkan fung pu ia menyelipkan 197 Laskar Pelangi
carikan merah itu di pinggangnya dan melompat turun seperti pemilikilmu peringan tubuh. Ia tak sedikit pun peduli dengan barang-barang berharga lainnya serta kecamuk ratusan pria kasar yang berebut dengan brutal. Sang legenda hidup Chiong Si Ku itu mendarat ke bumi tanpa menimbulkan suara lalu sedetik kemudian ia menghilang di tengah kerumunan massa membawa lari lambang supremasi Chiong Si Ku. Ia lenyap di telangelap, asap gaharu, dan aroma dupa. Orang-orang Melayu, sebagaimana baisa, susah ber- organisasi. Bukannya fokus pada ikhtar untuk mencapai tujuan dan memenangkan persaingan tapi sebaliknya mereka gemar sekali berpolitik sesama mereka sendiri. Tak terima jika dikoreksi dan jarang ada yang mau berintrospeksi. Di antara mereka selalu saja berbeda pendapat dan mereka senang bukan main dengan pertengkaran yang tak konstruktif. Tak mengapa tujuan tak tercapai asal tak jatuh nama dalam debat kusir. Dan selalu terjadi suatu gejala yang paling umum yaitu: yang paling bodoh dan paling tak berpendidikan adalah paling lantang dan paling pintar kalau bicara. Jika orang Melayu membentuk sebuah tim maka setiap orang ingin menjadi pemimpin. Akhirnya tim yang solid tak pernah terbentuk. Akibatnya dalam sembahyang rebut mereka beroperasi secara individu dan berjuang secara soliter maka yang berhasil dibawa pulang hanya tubuh yang remuk redam, sebatang tebu, beberapa bungkus sagon, sebelah kaos kaki Mundo, beberapa butir kepala boneka, bibit kelapa yang tak dipedulikan orang Sawang, dan pompa air—itu pun hanya sumbatnya saja. Chiong Si Ku diakhiri dengan membakar Thai Tse Ya dengan harapan tak ada sifat-sifat buruk dan kesialan melanda sepanjang tahun ini. Sebuah acara keagamaan tua yang syarat makna, berseni, dan sangat memesona. Pukul 3.30 selesai shalat Ashar. Pesan di kotak kapur! Seperti message in a botle . Aku berdiri tegak di bawah pohon seri di halaman kelenteng sambil memegangi sepedaku, menunggu. Anak-anak muda Tionghoa hilir mudik. Mereka sibuk mendirikan Thai Tse Ya setinggi lima meter. 198 Laskar Pelangi
Ada A Kiong diantara mereka, ia berulang kali mengacungkan jempolnya menyemangatiku. “Tabahlah, Kawan, ambil semua risiko, begitulah hidup,” demikian barangkali maksudnya. Aku membalas dengan senyum kecut karena aku gelisah. Aku gelisah membayangkan apa yang ada di pikiran seorang wanita muda Tionghoa tentang laki-laki Melayu kampung seperti aku. Dan berada di tengah lingkungan mereka membuat aku semakin ragu. Apa aku pulang saja? Tapi aku rindu. Dan rinduku telanjur berdarah-darah. Seperti terjadi setiap hari, pukul 3.30 sore matahari masih terasa sangat panas dan dengan berdiri di sini sebagian tubuhku tersiram cahayanya. Aku dapat merasakan keringatku mengalir pelan di leher baju takwa putih berlengan panjang, baju terbaik yang aku miliki, hadiah hiburan lomba azan. Jantungku berdetak kacau, aku gugup luar biasa. Burung matahari akwanan tujuh ekor yang berkicau-kicau di dahan-dahan rendah seri jelas-jelas menggodaku. Mereka berjingkat-jingkat dan ribut sekali. Kumbang juga menerorku, seperti suara ambulans mereka sibuk melubangi kayu-kayu besar bercat merah mencolok yang menyangga atap kelenteng. Suaranya merisaukanku. Aku tak sabar menunggu. Pukul 3.55 Sudah 25 menit aku mematung di sini, tak ada tanda-tanda kehadiran A Ling. Wajah A Kiong menaruh belas kasihan padaku. Barangkali tadi aku tiba terlalu awal, harusnya aku datang terlambat saja, atau tak datang sama sekali. Berbagai pikiran aneh mulai merasukiku. Aku merasa lelah karena tegang. Kakiku kesemutan. Mataku tak lepas-lepas memandang ke arah satu-satunya jalan yang menghubungkan kelenteng dengan pasarikan. Di sepanjang kiri kanan jalan ini tumbuh berderet-deret pohon saga. Cabang- 199 Laskar Pelangi
cabang atasnya bertemu meneduhi jalan di bawahnya sehingga jalan ini tampak seperti gua. Setelah deretan pohon-pohon saga, jalan ini berbelok ke kanan. Pinggir jalan ini dipagari bekas-bekas tulang bangunan yang terlantar. Tulang-tulang bangunan itu dirambati dengan lebat tak beraturan ke sana kemari oleh Bougainvillea spectabilis liaratau kembang kertas dan berakhir pada ujung sebuah jalan buntu. Di ujung jalan ini berdiri toko Sinar Harapan, rumah A Ling. Maka berdiri dua puluh meter persis di depan Thak Si Ya adalah posisi yang telah kuperhitungkan dengan matang. Jika ia muncul di belokan itu, maka dari posisi ini aku dapat melihatnya langsung berjalan anggun seperti burung sekretaris menuju ke arahku. Pasti ia akan menunduk tersenyum-senyum, atau, seperti film India, ia akan berlari kecil membawa seikat bunga, lalu merentangkan tangannya untuk memelukku. Ah, aku bermimpi. Tapi ia tak muncul-muncul dan aku berulang kali mengusap mataku yang kelelahan memelototi belokan itu. Kakiku penat dan aku mulai merasa pusing karena ketegangan berkepanjangan. Sekarang Thak Si Ya telah berdiri, para pemuda Tionghoa bertepuk tangan, sementara aku semakingelisah. Aku melirik Thak Si Ya yang berdiri tinggi tegak, matanya seram sekali mengawasi gerak gerikku. Sekarang sudah pukul 3.57, tiga menit menjelang tenggat waktu. Aku menghitung dengan jariku, jika sampai hitungan keenam puluh ia tak muncul maka aku akan pergi saja. Aku kepanasan dan merasa mual. Karena tegang, perutku naik membaut ngilu ulu hatiku. Kalautadi pikiran yang bukan-bukan merasukiku, kini pikiranku dilanda keraguan. Apakah ia benar-benar seperti persepsiku selama ini? Apakah yang kuabyangkan tentang dirinya akan sama sekali berbeda kenyataannya? Mungkinkah sekarang ia sedang menyiangi tauge, lupa akan janjinya? Tahukah ia betapa berarti pesannya itu untukku? Dan sekarang ia tak datang, betapa hancur hatiku. Ingin segera kukayuh sepeda ini, lari sekencang-kencangnya menceburkan diri ke Sungai Lenggang. 200 Laskar Pelangi
Pukul 4.02, lewat sudah batas janji. Tik! Tok! Tik! Tok! Tik! Tok! Sudah 60! Hitunganku sampai. Ia ingkar! Aku berada di puncak kegelisahan. Tanganku dingin, jantungku berdetak makin cepat. Suara kumbang-kumbang semakin riuh merubung aku, menerorku tanpa ampun. Ngiung! Ngiung! Ngiung ... Dadaku sesak karena rindu dan marah, aku naiki sadel sepeda, sudah tak tahan ingin berlalu dari neraka ini. Namun ketika aku akan mengayuh sepeda, aku mendengar persis di belakangku suara itu. Suara yang lembut seperti tofu. Suara yang membuat kumbang-kumbang terdiam bungkam. Inilah suara yang sejuk seperti angin selatan, suara terindah yang pernah kudengar seumur hidupku, laksana denting harpa dari surga. “Siapa namamu?. Aku berbalik cepat dan terkejut. Aku tak mampu mengucapkan sep atah kata pun. Karena di situ, persis di situ, tiga meter di depanku, berdirilah ia, the distinguished Miss A Ling herself! Michele Yeoh-ku. Ia datang dari arah yang sama sekali tak kuduga karena sebenarnya dari tadi ia sudah berada di dalam kelenteng memerhatikanku, dan pada detik-detik terakhiraku akan kecewa, ia hadir, memberiku kejutan listrik voltase tinggi, menghancurkan setiap butiran- butiran darah merah di tubuhku. Setelah lima tahun mengenalnya, baru tu juh bulan yang lalu pertama melihat wajahnya, setelah puluhan puisi yang kutulis untuknya, setelah berton-ton rindu untuknya, baru sore ini dia akan tahu namaku. Aku tergagap-gagap seeprti orang Melayu belajar mengaji. Ia mengulum senyum, manis sekali tak terperikan. Hadir dalam balutan chong kiun , baju acara penting yang memesona, di suatu bulan Juli yang meriah, ia turun ke bumi bagai venus dari 201 Laskar Pelangi
Laut Cina Selatan. Baju itu mengikuti lekuk tubuhnya dari atas mata kaki sampai ke leher dan dikunci dengan kancing tinggi berbentuk seperti paku. Tubuhnya yang ramping bertumpu di atas sepasang sandal kayu berwarna biru. Cantik rupawan melebihi mayoret mana pun. Tingginya tak kurang dari 175 cm, jelas lebih tinggi dariku. Serasi dengan rumpun genayun yang tumbuh kurus menjulang di sampingnya ia mengikat rambutnya menjadi satu ikatan besar dan ikatan itu ditegakkan tinggi-tinggi. Beberapa helai rambut yang disatukan jatuh di atas pundak chong kiun berwarna lam set , biru muda, dengan motif bunga ros besar-besar. Beberapa helai rambut lainnya dibiarkan jatuh melintasi wajahnya yang teduh jelita. Kuku-kukunya yang cantik memegang hio utnuk sembahyang. Ada sedikit kilasan kedewasaan pada pancaran matanya dibanding terakhir kami bertemu. Teori yang memaksakan pendapat bahwa wanita bermata besar kelihatan lebih cantik akan runtuh berantakan jika melihat A Ling. Matanya yang sipit sedikti tertarik ke atas, senada dengan bentuk alis yang dibiarkan alami. Dalam lukisan wajah yang tirus bentuk mata seperti itu menciptakan rasa kecantikan dengan karakter yang kaut. Inilah pusat gravitasi pesona wajah A Ling. Sejujurnya aku tak sanggup mengatasi keanggunan pada level seperti ini. Ini bukan untukku. Aku merasa tak pantas. Bagiku ia seperti seseorang yang akan selalu menjadi milik orang lain. Dan aku, tak lebih dari pengisi data nama dan alamat pada buku simfoninya yang akan terlupakan sebulan setelah ini. Aku tak mungkin berada di dalam liga ini. Aku rasanya ingin pulang saja. Ia membaca itu. Lalu memegang mata kiang lian , seuntai kalung yang menggantung panjang di lehernya. Mata kalung itu batu giok dan bertulisan Tionghoa. Aku tak paham makna tulisan itu. Miang sui ,” kata A Ling. Nasib, itulah artinya. 202 Laskar Pelangi
Dan lilin besar merah pun dinyalakan, cahayanya berkibar- kibar, ratusan jumlahnya. Mata Thai Tse Ya berkilat-kilat karena lilin menyinari wajahnya dari bawah. Ia tampak makin seram tapi aura A Ling membuatnya tak lebih dari boneka kertas yang jenaka dan kumbang-kumbang yang nakal tadi tak berani muncul lagi. A Ling menarik tanganku, kami berlari meninggalkan halaman kelenteng, terus berlari melintasi kebun kosong tak terurus, menyibak-nyibakkan rumput apit-apit setinggi dada, tertawa kecil menuju lapangan rumput halaman sekolah nasional. Kami merebahkan diri kelelahan, memandangi awan senja berarakan. “Aku membaca puisimu, Bunga Krisan, di depan kelas!” katanya serius. “Puisi yang indah ..... Aku melambung. Wajah A Ling yang cantik berair karena keringat, seperti embun di permukaan kaca. Ia bangkit, lalu berjalan hilir mudik di depanku yang memandanginya seperti bayi melihat kelereng. Lalu dengangaya seperti dosen ia menggenggam jemarinya, bercerita penuh semangat tentang minatnya pada sketsa dan cita-citanya men jadi perancang busana. Sebaliknya, aku menceritakan minatku pada seni. Di dekatnya aku merasa berarti, merasa menjadi seseorang, di dekatnya aku merasa ingin menjadi seorang pria yang lebih baik. Di dekatnya aku merasa seperti sedang berada dalam sebuah adegan dalam film. Dari lapangan itu kami kemudian berlari-lari menuju komidi putar. Bukankah komidi putaradalah sebuah benda yang menakjubkan? Setelah seorang priakumal mengangkat sebuah tuas lalu benda itu secara mekanik memutarinsan-insan yang dimabuk cinta yang duduk berimpitan di dalam sebuah tempat seperti mentudung. Lalu tiba-tiba semuanya menjadi mudah karena semua hal disaksikan dari suatu jarak. Bagiku mentudung-mentudung itu seumpama pelaminan di mana orang berusaha menikmati 203 Laskar Pelangi
keindahan cinta dalam kesederhanaan sensasi yang ditawarkan sebuah komidi putar. Keindahan yang sederhana ini membuatku belajar menghargai cinta yang sekarang duduk di sampingku. Inilah sore terindah dalam hidupku. Aku bertanya-tanya pada diri sendiri: ke manakah nasibakan membawaku setelah ini? Dari putaran tertinggi komidi aku dapat melihat lapangan tempat tadi kami memandangi awan. 204 Laskar Pelangi
BAB 21 Rindu DI sebuah buku aku melihatnya mengendarai kuda dengan cara memeluk erat perut hewan itu seperti prajurit Kubilai Khan. Matanya berkilat-kilat karena dewa mata tombak telah melukai hatinya. Darahku menggelegak ketika ia mengendap-endap mendekati seekor moose jantan. Dan aku tak kuasa membalik satu lembar terakhir saat ia mengatakan bahwa ia akan mencampakkan cinta wanita-wanita berdarah campuran Tututni dan Chimakuan. Semua itu karena ia tak mau mencemari darah Indian Pequot yang mengalir deras di tubuhnya, dan yang paling memilukan, karena ia adalah pria terakhir dalam sukunya. Maka air kelaki-lakiannya bersimbah di punggung-punggung kuda tak berpelana dan ia mengembara sendirian di lautan padang rumput Vellowstone yang tak bertepi. Ia menjerit sepanjang hari dan menari menantang matahari sehingga pandangan matanya gelap gulita. Ia merangkak-rangkak, berdoa agar salah satu wanita dari sukunya akan muncul di antara kawanan coyote seperti para dewa telah menghadirkan wanita-wanita Sguamish. Tapi waktu yang 205 Laskar Pelangi
mengutus angin juga telah tega mengkhianatinya, sehingga ia menjadi tua, dan saat maut menagih janjinya, ia mati masih perjaka. Pagi itu langit melapangkan kedua tangan, menyambut darah asli Pequot. Chinookcuk, yang terakhir dari kaumnya itu adalah prajurit yang memutuskan untuk mengucilkan diri karena ingin menjaga kesucian darah Pequot. Sama seperti suatu suku terasing di Sepahua Amazon. Mereka melarikan diri jauh ke rimba yang dalam karena ingin menghindarkan diri dari wabah kolera. Sejak tahun 1500 tak seorang pun pernah melihat mereka. Isolated by choice, demikian para ahli menyebutnya, yaitu sikap sengaja mengasingkan diri. Sedangkan yang mengumbar keberadaan dirinya seperti suku- suku Osage, Huron, Lakmiut, Cherokee, Sawang, atau Melayu Belitong umumnya mengalami hambatan-hambatan geografis sehingga terisolasi. Meskipun dalam kasus tertentu isolasi sengaja itu juga terjadi karena pertimbangan komersial, misalnya Sheffield yang tiga tahun lalu memutuskan untuk mengucilkan diri dengan menutup bandaranya karena tidak menghasilkan keuntungan. Adapun suku-suku Perupian itu memang terasing karena rimba belantara yang sulit ditembus, sungai-sungai yang liar, dan gunung gemu-nung yang terjal. Pada suatu ketika Melayu Belitong sempat terisolasi karena mereka tinggal di sebuah pulau kecil yang dikelilingi samudra, sementara tidak semua peta memuat pulau ini. Waktu itu di sana belum berdiri BTS-BTS atau antena gelombang mikro untuk telekomunikasi. Satu- satunya akses suku ini kepada dunia luar adalah melalui sebuah pintu baja setebal 30 sentimeter. Bagi orang Belitong, pintu baja itu adalah tabir pemisah kehidupan jahiliah dan dunia modern, sekaligus laksana teropong kapal selam yang timbul untuk melongok- longok dunia luar. Pintu baja tulen itu menutup sebuah ruangan sempit rahasia yang menyimpan benda-benda keramat berwarna-warni. Ruangan ini disebut kluis dan merupakan bagian utama dari sebuah kantor peninggalan Belanda. Jika pintu ini ditutup maka orang Melayu Belitong merasa bahwa di dunia ini Tuhan hanya menciptakan mereka dan bumi ber-bentuk lonjong. Kluis adalah jendela alam semesta bagi suku Melayu Belitong. 206 Laskar Pelangi
Oleh karena itu, kluis sangat penting dan kuncennya bukan orang sembarangan. Di dunia ini hanya ia dan Tuhan yang tahu kombinasi sebelas digit nomor benteng pertama kluis. Setelah memutar kombinasi itu ia harus melalui tiga tahap lagi untuk membukanya. Pertama, ia harus memasukkan dua buah anak kunci tembaga kurus panjang ke dalam dua lubang kunci dan memutarnya setengah lingkaran secara bersamaan. Kedua, ia kembali memasukkan sebuah anak kunci besar yang harus diputar dengan kedua tangan karena harus cukup tenaga untuk membalik enam buah batangan baja murni sebesar lengan manusia dewasa dari penyekatnya. Inilah tuas kunci utama kluis. Dan ketiga, setelah pintu besi 30 sentimeter itu terbuka ternyata masih ada lagi pintu besi jeruji yang dikunci dengan gembok tembaga selebar telapak tangan. Ruangan kluis ini tahan api dan jika diledakkan dengan dinamit 100 kilogram ia masih tak akan bergerak. Di dalamnya gelap pekat tak ada udara, apabila terperangkap di sana dipastikan akan mati lemas dalam waktu singkat. Jika pintu itu rusak, hanya seorang pria tua bernama Hans Ritsema Van Horn dari Uttrech yang bisa membetulkannya. Pengamanan dibuat demikian ketat berlapis-lapis karena dalam kluis itu terdapat benda-benda keramat berwarna- warni, benda inilah sang penguasa waktu. Ia bukan sema-cam lorong waktu yang dapat membalik tempo tapi ia lebih seperti time slider pada DVD player, dan ia disimpan dalam portepel-portepel. Dengan Rp200, perangko kilat, tujuh hari insya Allah sampai kepada alamat penerima, menuju tujuan kota mana pun di Pulau Jawa, dan Rp75 adalah perangko biasa, jika ingin sampai saat Hari Raya Idul Adha maka kirimlah sebelum Hari Raya Idul Fitri. Pria pemegang kunci kluis itu merupakan orang terpilih dan Tuhan diam- diam telah menciptakan untuknya sebuah pekerjaan yang bukan hanya bergaji rendah tapi juga unik dan bisa memacu otak sekaligus jantungnya. Dan kepada pemangku pekerjaan inilah seharusnya kita, khususnya kami, orang-orang Melayu Belitong, menghaturkan terima kasih yang tak terperikan. Meskipun The Beatles telah menunjukkan sedikit respek kepadanya dengan menulis lagu Mr. Postman, tapi masih jarang sekali pujangga-pujangga Melayu yang 207 Laskar Pelangi
tersohor merangkai gurindam, mengarang puisi, atau sekadar menulis cerpen tentang kiprahnya. Pekerjaan kuncen kluis yang memacu otak dan jantung kumaksud di atas adalah pekerjaan Pak Pos yang sekaligus menjadi kepala kantor pos di kecamatan-kecamatan. Dalam susunan organisasi, mereka menamainya Pengurus Kantor Pos Pembantu, tapi di kampung kami beliau disebut Tuan Pos. Beliaulah yang memungkinkan kami berkomunikasi dengan budaya luar melalui benda keramat berwarna-warni, yaitu perangko-perangko itu, dan beliau pula yang menyampaikan koran-koran terlambat sebulan dari Jakarta sehingga kami tahu rupa kepala suku republik ini. Pada suatu kurun waktu pernah angin barat berkepan-jangan berembus demikian kencang, akibatnya kapal-kapal harus memilih muatan secara selektif dan orang-orang Belitong juga terpaksa memilih: mau makan beras atau makan kertas? Karena di kampung kami tidak ada sawah maka kapal-kapal itu memutuskan untuk membawa barang-barang penting saja, dan koran dianggap kurang penting. Maka koran- koran itu terlambat selama tiga puluh dua tahun. Kami tak tahu apa yang terjadi di Jakarta. Tapi setelah koran-koran itu tiba kami tak kecewa meskipun telah terlambat selama itu karena ternyata sang kepala suku masih orang yang sama. Tuan Pos memacu otak karena ia menguras pikirannya untuk membuat perencanaan cash flow dan benda pos guna keperluan bulan depan. Ia harus memperkirakan berapa orang yang akan menarik tabanas, menguangkan wesel, menerima pensiun, dan mengirim surat, kartu, dan paket. Lalu setelah sepanjang hari melayani pelanggan di loket, menjelang sore Tuan Pos mengeluarkan sepeda untuk berkeliling kampung mengantar surat, ia pun memacu jantungnya. Tuan Pos kami adalah tuan sekaligus anak buah bagi dirinya sendiri karena semua pekerjaan ia kerjakan sendiri. Beliau bekerja sejak subuh: memasak sagu untuk lem, mengangkat karung paket, menjual perangko, menerima dan membayar tabanas dan wesel, mencap surat. Kadang-kadang beliau membantu pelanggan menulis dan malah membacakan surat cinta untuk para kekasih yang buta huruf. Ketika BUMN yang sok progresif sekarang ribut soal Good Corporate Citizenship, Tuan Pos kami telah jauh-jauh hari 208 Laskar Pelangi
mempraktik-kannya. Beliau menyortir surat sejak su-buh dan mengantarnya di bawah hujan dan panas. Sudah begitu tak jarang pula beliau menerima keluhan yang pedas dari pelanggan. Sekilas dalam hati aku berdoa: \"Ya, Allah, cita-citaku adalah menjadi seorang penulis atau pemain bulu tangkis, tapi jika gagal jadikan aku apa saja kalau besar nanti, asal jangan jadikan aku pegawai pos. Dan jangan beri aku pekerjaan sejak subuh.\" \"APA anak-anak muda di kelas ini sudah boleh menerima surat cinta, Ibunda Guru?\" Itulah kata-kata dari sepotong kepala yang melongok dari balik daun pintu kelas kami. Bu Mus tersenyum ramah pada Tuan Pos yang tiba-tiba muncul. Beliau biasa menerima kiriman majalah syiar Islam Panji Masyarakat dari sebuah kantor Muhammadiyah di Jawa Tengah. Tapi kali ini Tuan Pos membawa surat untukku. Istimewa sekali! Inilah surat pertama yang kuterima dari Perum Pos. Dulu aku sering mengantar nenekku ke kantor pos untuk mengambil pensiun. Tapi secara pribadi, baru kali ini aku menerima layanan dari perusahaan umum yang sangat bersahaja ini, sahabat orang kecil, pos giro. Aku bangga dan sekilas merasa menjadi orang yang agak sedikit penting. Apakah surat ini dari redaksi majalah Kawanku atau majalah Hai untuk puisi-puisi yang tak pernah kukirimkan? Tentu saja tak mungkin. Surat ini dialamatkan ke sekolah, tak adanama dan alamat pengirimnya, sampulnya biru muda, indah, dan harum pula baunya. Apakah salah alamat? Mungkin untuk Samson atau Sahara dari sahabat pena mereka di Kuala Tungkai, Sungai Penuh, Lubuk Sikaping, atau Gunung Sitoli. Mengapa para sahabat pena selalu berasal dari tempat-tempat yang namanya aneh? Atau mungkin untuk Trapani yang tampan dari seorang pengagum rahasia? Pak Pos tersenyum menggoda. Beliau mengeluarkan form xl3. Tanda terima kiriman penting. \"Surat ini untukmu, rambut ikal, cepat tanda tangan di sini, tak 'kan kuhabiskan waktuku di 209 Laskar Pelangi
sekolahmu ini, masih banyak kerjaan, sekarang musim bayar pajak, masih ratusan SPT pajak harus diantar, cepatlah .... \"Pak Pos belum puas dengan godaannya. \"Ada gadis kecil datang ke kantor pos pagi-pagi. Mengirimimu kilat khusus dalam kota! Mungkin asap hio membuatnya sedikit linglung, pakai perangko biasa pun pasti kuantar hari ini. Ia berkeras dengan kilat khusus, begitu pentingkah urusanmu belakangan ini, ikal mayang?\" Aha, asap hio! Sekarang aku paham, kurampas surat itu. Dadaku berdebar- debar. Menunggu waktu pulang untuk membuka isi surat itu rasanya seperti menunggu rakaat terakhir shalat tarawih hari ketiga puluh. Saat itu imam membaca hampir setengah Surah Al-Baqarah sementara ketupat sudah menari-nari di depan mata. Aku duduk sendiri di bawah filicium ketika seluruh siswa sudah pulang. Surat bersampul biru itu berisi puisi. Rindu Cinta benar-benar telah menyusahkanku Ketika kita saling memandang saat sembahyang rebut Malamnya aku tak bisa tidur karena wajahmu tak Mau pergi dari kamarku Kepala ku pusing sejak itu... Siapa dirimu? Yang berani merusak tidur dan selera makanku ? Yang membuatku melamun sepanjang waktu? Kamu tak lebih dari seorang anak muda pengganggu! Namun ingin kukatakan padamu 210 Laskar Pelangi
Setiap malam aku bersyukur kita telah bertemu Karena hanya padamu, aku akan merasa rindu .... A Ling Aku terpaku memandangi kertas itu. Tanganku gemetar. Aku membaca puisi itu dengan menanggung firasat sepi tak tertahankan yang diam-diam menyelinap. Aku bahagia tapi dilanda kesedihan yang gelap, ada rasa kehilangan yang mengharu biru. Tak lama kemudian aku melihat pagar-pagar sekolahku perlahan-lahan berubah menjadi kaki-kaki manusia yang rapat berselang-seling. Ada seseorang duduk bersimpuh di tengah lapangan dikelilingi kaki- kaki itu. Dan ada bangkai seekor buaya terbujur kaku disampingnya, Ia tampak samar-samar dan terlihat sangat putus asa. Lalu wajah samar laki-laki itu mulai mendekat, dia menoleh ke arahku, air mata mengalir di pipinya yang carut marut berbintik hitam. Hari itu aku paham bahwa kepedihan Bodenga yang kusaksikan bertahun-tahun lampau di lapangan basket sekolah nasional telah melekat dalam benakku sebagai sebuah trauma, dan hari itu, setelah sekian ta-hun berlalu, untuk.pertama kalinya Bodenga mengunjungiku. ****** 211 Laskar Pelangi
BAB 22 Early Morning Blue TEKANAN darahku terlalu rendah. Penderita hipo-tensi tidak bisa bangun tidur dengan tergesa-gesa. Jika langsung berdiri maka pandangan mata akan berkunang-kunang lalu bisa-bisa ambruk dan kembali tidur dalam bentuk yang lain. Sebuah konsekuensi yang mengerikan. Namun, Samson sungguh tak punya perasaan. Ia membabat kakiku tanpa ampun dengan gulungan tikar lais saat aku se-dang tertidur lelap. \"Bangun!\" hardiknya. \"Wak Haji sudah datang, sebentar lagi azan, disiramnya kau nanti!\" Dan aku terbangkit mendadak, meracau tak keruan antara tidur dan terjaga, tergagap-gagap. Kurasakan dunia berputar-putar, pandanganku gelap. Aku merangkak berlindung di balik pilar agar tak ketahuan Wak Haji yang sedang membuka jendela- jendela masjid. Sempat kulihat Lintang, Trapani, Mahar, Syahdan, dan Harun terbirit- birit menyerbu tempat wudu. Tidur di ruang utama masjid adalah pelanggaran. Kami seharusnya tidur di belakang, di ruangan beduk dan usungan jenazah. Aku tersandar tanpa daya pada pilar yang beku, berusaha meregang-regangkan mataku, jantungku terengah- engah, aku bersusah payah mengumpul-ngumpulkan nyawa. 212 Laskar Pelangi
Angin dingin menyerbu lewat jendela. Mataku terpicing mengintip keluar jendela. Sisa cahaya bulan yang telah pudar jatuh di halaman rumput, sepi dan murung. Inilah early morning blue, semacam hipokondria, perasaan malas, sakit, pesimis, dan kelabu tanpa alasan jelas yang selalu melandaku jika bangun terlalu dini. Teringat puisi A Ling untukku, aku ingin tidur lagi dan baru bangun minggu depan. Setelah Wak Haji selesai mengumandangkan azan baru kurasakan jiwa dan ragaku bersatu. Kucai yang telah mengambil wudu dengan sengaja melewatiku, jaraknya dekat sekali, bahkan hampir melangkahiku. Ia menjentik-jentikkan air kewajahku. Kibasan sarung panjangnya menampar mukaku. \"Pemalas!\" katanya. Malam minggu ini kami menginap di Masjid Al Hikmah karena setelah shalat subuh nanti kami punya acara seru, yaitu naik gunung! Gunung Selumar tidak terlalu tinggi tapi puncaknya merupakan tempat tertinggi di Belitong Timur. Jika memasuki kampung kami dari arah utara maka harus melewati bahu kiri gunung ini. Dari kejauhan, gunung ini tampak seperti perahu yang terbalik, kukuh, biru, dan samar-samar. Di sepanjang tanjakan dan turunan menyusuri bahu kiri Gunung Selumar berderet-deret rumah-rumah penduduk Selinsing dan Selumar. Mereka memagari pekarangannya dengan bambu tali yang ditanam rapat-rapat dan dipangkas rendah- rendah. Kampung kembar ini dipisahkan oleh sebuah lembah yang digenangi air yang tenang. Danau Merantik, demikian namanya. Jika mengendarai sepeda maka stamina tubuh akan diuji oleh sebuah tanjakan pendek namun curam menjelang Desa Selinsing. Pemuda-pemuda Melayu yang berusaha membuat kekasihnya terkesan tak 'kan membiarkannya turun dari sepeda. Mereka nekat mengayuh sampai ke puncak, mengerahkan segenap tenaga, tertatih-tatih sehingga sepeda tak lurus lagi jalannya. Setelah tanjakan Selinsing ini ditaklukkan maka sepeda akan menukik turun. Sang pemuda akan tersenyum puas, meminta kekasihnya memeluk 213 Laskar Pelangi
pinggangnya erat-erat dan meyakinkannya bahwa ia kurang lebih tidak akan terlalu memalukan nanti kalau dijadikan suami. Pada tukikan ini sepeda akan meluncur turun dengan deras, menikung sedikit, sebanyak dua kali, menelusuri lembah Danau Merantik, lalu disambut lagi oleh tanjakan kampung Selumar. Kekasih mana pun akan maklum kalau diminta turun, karena tanjakan Selumar meskipun tak securam tanjakan Selinsing namun jarak tanjaknya sangat panjang. Baru seperempat saja menempuh tanjakan Selumar maka sepeda yang dituntun akan terasa berat. Pagar bambu tali yang dibentuk laksana anak-anak tangga tampak berbayang-bayang karena mata berkunang-kunang akibat kelelahan. Semakin ke puncak langkah semakin berat seperti dibebani batu. Keringat bercucuran mengalir deras melalui celah-celah leher baju, daun telinga, dan mata, sampai membasahi celana. Tapi saat mencapai puncaknya, yaitu puncak bahu kiri Gunung Selumar, semua kelelahan itu akan terbayar. Di hadapan mata terhampar luas Belitong Timur yang indah, dibatasi pesisir pantai yang panjang membiru, dinaungi awan-awan putih yang mengapung rendah, dan barisan rapi pohon-pohon cemara angin. Dari puncak bahu ini tampak rumah-rumah penduduk terurai- urai mengikuti pola anak- anak Sungai Langkang yang berkelak- kelok seperti ular. Kelompok rumah ini tak lagi dipagari oleh bambu tali namun berselang-seling di antara padang ilalang liar tak bertuan. Semakin jauh, jalur pemukiman penduduk semakin menyebar membentuk dua arah. Pemukiman yang berbelok ke arah barat daya terlihat sayup-sayup mengikuti alur jalan raya satu-satunya menuju Tanjong Pandan. Dan yang terdesak terus ke utara terputus oleh aliran sebuah sungai lebar bergelombang yang tersambung ke laut lepas Sungai Lenggang yang melegenda. Di seberang Sungai Lenggang rumah-rumah penduduk semakin rapat mengitari pasar tua kami yang kusam. Jangan terburu-buru menuruni lembah. Berhentilah untuk beristirahat. Sandarkan tubuh berlama-lama di salah satu pokok pohon angsana tempat anak-anak tupai ekor kuning rajin bermain. 214 Laskar Pelangi
Dengarkan orkestra daun-daun pohon jarum dan jeritan histeris burung- burung kecil matahari yang berebut sari bunga jambu mawar dengan kumbang hitam. Nikmati komposisi lanskap yang manis antara gu-nung, lembah, sungai, dan laut. Longgarkan kancing baju dan hirup sejuk angin selatan yang membawa aroma daun Anthurium andraeanum, yaitu bunga hati yang tumbuh semakin subur beranak pinak mengikuti ketinggian. Dinamakan bunga hati karena daunnya berbentuk hati. Aku sendiri tak pasti, apakah aroma harum a-lami yang melapangkan dada itu berasal andraeanum sendiri atau dari simbiosisnya, sebangsa fungi Clitocybe gibba yaitu jamur daun tak bertangkai yang rajin merambati akar-akar familia keladi itu. Jamur ini bersemi dalam suhu yang semakin lembap saat memasuki musim angin barat pada bulan-bulan yang berakhiran ber. Bentuknya tegap, rendah, dan gemuk-gemuk. Kami sudah sangat sering piknik ke Gunung Selumar dan agak sedikit bosan dengan sensasinya. Biasanya kami tidak sampai ke puncak, sudah cukup puas dengan pemandangan dari 75% ketinggiannya. Lagi pula komposisi batu granit di atas lereng gunung ini membuat jalur pendakian ke puncak menjadi licin. Namun, kali ini aku amat bergairah dan bertekad untuk mendaki sampai ke puncak. Laskar Pelangi menyambut baik semangatku. Belum apa- apa mereka telah sibuk bercerita tentang pemandangan hebat yang akan kami saksikan nanti dari puncak, yaitu seluruh jembatan di kampung kami, kapal-kapal ikan, dan tongkang pasir gelas yang bersandar di dermaga. Tapi aku tak peduli dengan semua pemandangan itu karena aku punya misi rahasia. Rahasia ini menyangkut sebuah pemandangan menakjubkan yang hanya bisa disaksikan dari puncak tertinggi Gunung Selumar. Rahasia ini juga berhubungan dengan bunga- bunga kecil nan rupawan yang hanya tumbuh di puncak tertinggi. Mereka adalah bunga liar Callistemon laevis atau bunga jarum merah, atau kalau beruntung, bunga kecil kuning kelopak empat semacam Dip lotaxis muralis. 215 Laskar Pelangi
Aku menyebutnya bunga rumput gunung, istilahku sendiri, karena ia senang menyelinap, enam atau tujuh tangkai seperanakan, di antara rerumputan zebra liar di puncak-puncak gunung dekat laut. Kelopaknya selebar ibu jari, berwarna kuning redup dan tangkai yang menopangnya berwarna hijau muda dengan ukuran tak sepadan, natural, spontan, lucu, dan cantik. Daun-daunnya tak dapat dikatakan indah karena bentuk dan warnanya, bukan kurannya, lebih seperti daun Vitex trif olia biasa. Namun jika kita siangi daunnya dan berhasil mengumpulkan paling tidak 15 kuntum lalu disatukan dengan jumlah yang lebih sedikit dari kuntum bunga jarum merah maka satu kata untuk mereka: fantastik! Bunga jarum merah berbentuk jarum yang lebat dengan ujung bulat kecil-kecil berwarna kuning. Ketika bunga jarum digabungkan dengan bunga rumput gunung tanpa diatur maka mereka seolah berebutan tampil. Ikatlah mereka dengan pita rambut berwarna biru muda dan tulislah sebuah puisi, maka Anda akan mampu mendinginkan hati wanita mana pun. Setelah tiga jam mendaki kami tiba di puncak. Lelah, haus, dan berkeringat, tapi tampak jelas rasa puas pada setiap orang, sebuah ekspresi \"telah mampu menaklukkan\". Aku yakin perasaan inilah yang memicu sikap obsesif setiap pendaki gunung profesional untuk menaklukkan atap-atap dunia. Kiranya daya tarik mendaki gunung berkaitan langsung dengan fitrah manusia. Lalu dengan hiruk pikuk sahut-menyahut teman- temanku, para Laskar Pelangi, berkomentar tentang pemandangan yang terhampar luas di bawah mereka. \"Lihatlah sekolah kita,\" pekik Sahara. Bangunan itu tampak menyedihkan dari jauh. Rupanya dilihat dari sudut dan jarak bagaimanapun, sekolah kami tetap seperti gudang kopra! Lalu Kucai menunjuk sebuah bangunan,\"Hai! Tengoklah! Itu masjid kita. Seluruh khalayak meneriakinya, tak terima. \"Itu kelenteng, bodoh!\" Dan mereka pun terbelah dalam dua kelompok debat kusir. 216 Laskar Pelangi
Sebagaimana biasa Mahar mulai berdongeng, menurutnya Gunung Selumar adalah seekor ular naga yang sedang menggulung diri dan telah tidur panjang selama berabad- abad. \"Ular ini akan bangun nanti kalau hari kiamat. Kepalanya ada di puncak gunung ini. Berarti tepat berada di bawah kaki-kaki kita sekarang! Dan ekornya melingkar di muara Sungai Lenggang,\" katanya absurd. \"Maka jangan terlalu ribut di sini, nanti kalian kualat,\" tambahnya lagi belum puas membodohi diri sendiri. Teman-temanku riuh rendah mendengar cerita itu dalam pro dan kontra. Tapi seperti biasa pula, A Kiong-lah yang selalu termakan dongeng Mahar, ia tampak serius dan percaya seratus persen. Mungkin sebagai ungkapan rasa kagum atas cerita yang sangat bermanfaat itu, dengan takzim ia memberikan bekal pisang rebusnya kepada Mahar. Sikapnya seperti seorang anggota suku primitif menyerahkan upeti kepada dukun yang telah menyembuhkannya dari penyakit kudis. Mahar menyambar upeti itu dan secara kilat memasukkannya ke dalam sistem pencernaannya tanpa peduli bahwa dia sedang dianggap sangat berwibawa oleh A Kiong. Meledaklah tawa Laskar Pelangi melihat pemandangan itu. Namun A Kiong tetap serius, ia sama sekali tidak tertawa, baginya kejadian itu tidak lucu. Demikian pula aku. Aku juga tidak tertawa. Karena aku sedang merasa sepi di keramaian. Mataku tak lepas me-mandang sebuah kotak persegi empat berwarna merah nun jauh di bawah sana, atap sebuah rumah. Rumah A Ling. Aku menyingkir dari kegirangan teman-temanku, sendirian menelusuri padang ilalang rendah di puncak gunung, memetik bunga-bunga liar. Kupandangi lagi atap rumah A Ling dan segenggam bunga liar nan cantik di dalam genggaman. Untuk inikah aku mendaki gunung setinggi ini? 217 Laskar Pelangi
Panorama dari puncak ini seperti musik. In-tronya adalah gumpalan awan putih yang mengapung rendah seolah aku dapat menjangkaunya. Lalu mengalir vokal dari suitan- suitan panjang burung-burung prigantil yang kadang-kadang begitu dekat dan nyaring, sampai terdengar jauh samar-samar bersahut-sahutan dengan lengkingan-lengkingan kecil kawanan murai batu. Reff rainnya adalah ribuan burung punai yang menyerbu hamparan buah bakung yang masak menghitam seperti permadani raksasa. Musik diakhiri secaraf ade out oleh jajaran panjang hutan bakau tang-kapan hujan yang memagari anak-anak Sungai Lenggang, berkelok-kelok sampai tak tampak oleh pandangan mata, ditelan muara-muara di sepanjang Pantai Manggar sampai ke Tanjong Kelumpang. Angin sejuk yang bertiup dari lembah menampar-nampar wajahku. Aku merasa tenang dan akan kutulis puisi demi seseorang di balik tirai keong itu. Puisi inilah misi rahasiaku. Jauh Tinggi A Ling, hari ini aku mendaki Gunung Seiumar Tinggi, tinggi sekali, sampai kepuncaknya Hanya untuk melihat atap rumahmu Hatiku damai rasanya 218 Laskar Pelangi
BAB 23 Billitonite SENIN pagi yang cerah. Sepucuk puisi dibungkus kertas ungu bermotif kembang api. Bunga-bunga kuning kelopak empat dan kembang jarum merah primadona puncak gunung diikat pita rambut biru muda. Tak juga hilang kesegarannya karena semalam telah kurendam di dalam vas keramik. Tak sabar rasanya ingin segera kuberikan pada A Ling. Benda-benda ajaib ini adalah properti sekuel cinta pagi ini, dan skenarionya ada-lah: ketika A Ling menyodorkan kotak kapur, aku serta-merta meletakkan bunga dan puisiku ini ke tangannya yang terbuka. Tak perlu ada kata-kata. Biarlah ia menghapus air matanya karena keindahan bunga-bunga liar dari puncak gunung. Biarlah ia membaca puisiku dan merasakan kue keranjang tahun ini lebih enak dari tahun-tahun lalu. Aku gugup dan bergegas menghampiri lubang kotak kapur segera setelah A Miauw memberi perintah. Namun ketika tinggal dua langkah sampai ke kotak itu aku terkejut tak alang kepalang. Aku terjajar mundur ke belakang dan nyaris terantuk pada kaleng-kaleng minyak sayur. Aku terperanjat hebat karena melihat tangan yang 219 Laskar Pelangi
menjulurkan kotak kapur adalah sepotong tangan yang sangat kasar. Tangan itu bukan tangan A Ling! Tangan itu sangat ganjil, seperti sebilah tembaga yang jahat. Bentuknya benar-benar kebalikan dari tangan Michele Yeohku. Tangan itu berotot, dekil, hitam legam, dan berminyak-minyak. Dari otot lengan atasnya menjalar urat-urat besar berwarna biru, timbul dan berkejaran. Sebuah gelang akar bahar, tidak tanggung-tanggung, melingkar tiga kali pada lengan tembaga sepuhan tembaga itu. Ujung gelang diukir berbentuk kepala ular beracun kuat pinang barik yang menganga lapar siap menyambar. Sedangkan ada pergelangan siku, seperti dikenakan raksasa jahat dalam pewayangan, melekat gelang alumunium ketat dengan kedua ujung berbentuk gerigi kunci, biasa dipakai untuk tujuan-tujuan melanggar hukum. Memang tidak terdapat tato pantangan bagi orang melayu yang tahu agama, tapi pada tiga jari jemarinya terdapat tiga mata cincin yang mengancam. Jari telunjuknya dibalut cincin batu satam terbesar yang pernah kulihat. Batu satam adalah material meteorit yang unik karena di muka bumi ini hanya ada di Belitong. Warnanya hitam pekat karena komposisi carbon acid dan mangaan, dan kepadatannya lebih dari baja sehingga tidak mungkin bisa dibentuk. Batu-batu ini biasa bersembunyi di lubang bekas tambang timah dan tak 'kan dapat ditemukan jika sengaja dicari. Hanya nasib baik yang dapat mengeluarkan satam dari perut bumi. Tahun 1922 kompeni menyebut batu ini billitonite dan dari sinilah Pulau Belitong mendapatkan namanya. Tanpa sama sekali mempertimbangkan estetika, pemilik tangan itu mengikat benda keramat dari tata surya itu apa adanya dengan kuningan murahan. Namun, ia memakainya dengan bangga seolah dirinya penguasa langit. Pada jari manisnya terpajang cincin bermata batu akik yang mengesankan seperti sebuah batu kecubung asli Kalimantan yang amat berharga. Tapi aku tak bisa dibohongi. Batu itu tak lebih dari sintetis hasil masakan plastik yang dipadatkan dengan kristal pada 220 Laskar Pelangi
suhu yang sangat tinggi. Pemakainya adalah seorang penipu. Yang ditipunya tak lain dirinya sendiri. Yang terakhir, di jari tengahnya, tampak pemimpin dari seluruh cincin yang mengintimidasi dan pernyataan kecenderungan licik pemiliknya. Di situ menyeringai angker sebuah mata cincin besar tengkorak manusia dengan mata berlubang. Cincin ini dibuat dari bahan mur baja putih yang didapat secara kongkalikong dengan orang bengkel alat berat PN Timah. Cara mengubah baja ini menjadi cincin membuat siapa pun bergidik. Setelah dibentuk secara kasar dengan mesin bubut kemudian mur besar baja putih mentah yang sangat keras itu dikikir secara manual selama berminggu- minggu. Kebiasaan membuat cincin seperti ini sering dipraktikkan oleh karyawan PN Timah dalam tingkatan kuli. Kerja keras rahasia berminggu-minggu itu hanya akan menghasilkan sebuah cincin putih berkilauan yang jelek sekali. Sebuah kebiasaan yang tak masuk akalku sampai sekarang. Lalu kuku-kuku pemilik tangan ini, aduh! Minta ampun, bentuknya seperti paras kuku- kuku yang terkena kutukan. Berbeda seperti langit dan bumi dibanding kuku-kuku A Ling yang bertahun- tahun menyihir pandanganku. Kuku-kuku ini sangat tebal, kotor, panjang tak beraturan, dan ujungnya pecah-pecah. Secara umum kuku-kuku ini mirip sekali dengan sisik buaya. Belum hilang rasa terkejutku, aku mendengar suara ketukan keras kuku-kuku besi itu di permukaan papan dekat kotak kapur tanda tak sabar, maksudnya biar aku segera mengambil kapur itu. Dari dalam terdengar suara gerutuan tak bersahabat. Karena kuku- kuku itu sangat kasar maka ketukan itu terdengar demikian keras, membuatku semakin gelisah. Tapi yang paling merisaukanku adalah karena aku tak menemukan A Ling. Ke manakah gerangan Michele Yeohku? \"Apa yang terjadi?\" Syahdan mendekatiku. \"I-kal, tangan siapa seperti pentungan satpam itu?\" Aku tak menjawab, tenggorokanku tercekik. Tangan itu tak asing bagiku. Itu adalah tangan Bang Sad. Aku ingat ketika ia mengukir kepala ular pinang barik pada akar bahar pemberian pria-pria 221 Laskar Pelangi
berkerudung tempo hari. Pernah diceritakannya padaku bahwa dibutuhkan waktu tiga minggu untuk membentuk akar panjang dari dasar laut itu menjadi gelang >tiga lingkar. Akaryang tadinya lurus kencang ditaklukkan dengan cara melumurinya dengan minyak rem dan mengasapinya dengan sabar di atas suhu tungku yang terkendali. Ketukan-ketukan itu terus menerorku. Bang Sad sungguh tak punya perasaan. Ia tak tahu aku sedang panik, gugup, dan risau karena tak menjumpai A Ling seperti kebiasaan yang telah berlangsung selama tujuh tahun. Baru kali ini terjadi hal di luar kebiasaan itu. Situasi ini sangat membingungkan buatku. Otakku tak bisa berpikir. Hanya Syahdan yang kiranya segera dapat mencerna keadaan, mengurai kebuntuan, memecah kebekuan. Ia berinisiatif mengambil kotak kapur itu. Bang Sad menarik tangannya seperti seekor binatang melata yang masuk kem-bali ke dalam sarangnya. Syahdan mendekatiku yang ber-diri terpaku, wajahnya sendu. Ia ingin menunjukkan simpati tapi aku juga tahu bahwa ia sendiri merasa gentar. Miauw yang dari tadi memerhatikan menghampiriku dengan tenang. Berdiri persis di sampingku ia menarik napas pan-jang dan mengatur dengan hati- hati apa yang ingin diucap-kannya. \"A Ling sudah pigi Jakarta .... Nanti dia terbang naik pesawat pukul 9. Ia harus menemani bibinya yang sekarang hidup sendiri, ia juga bisa mendapat sekolah yang bagus di sana ....\" Aku tertegun putus asa. Rasanya tak percaya dengan apa yang kudengar. Terjawab sudah firasatku ketika Bodenga mengunjungiku. Semangatku terkulai lumpuh. \"Kalau adanasib, lain hari kalian bisa bertemu lagi.\" A Miauw menepuk-nepuk pundakku. Aku terdiam dan menunduk seperti orang sedang mengheningkan cipta. Tanganku mencengkeram kuat ikatan bunga- bunga liar dan selembar puisi. 222 Laskar Pelangi
\"Ia titip salam buatmu dan ia ingin kamu menyimpan ini ....\" A Miauw menyerahkan sebuah kado yang dibungkus kertas berwarna ungu bermotif kembang api, persis sama dengan kertas sampul puisiku. Sebuah kebetulan yang hampir mustahil. Aku tahu, sejak awal Tuhan telah mengamati baik-baik cinta yang luar biasa indah ini. Aku merasa seluruh barang dagangan yang ada di toko itu rubuh menimpaku. Dadaku sesak. Aku melihat sekeliling dan terpikir akan sesuatu. Aku menarik tangan Syahdan dan mengajaknya pulang. Persis pukul 8.50 kami sampai di halaman sekolah, lalu berlari melintasi lapangan menuju pokok pohon gayam tempat kami sering duduk bersama-sama mengamati pesawat terbang yang datang dan pergi meninggalkan Tanjong Pandan. Kami mengambil posisi terbaik sambil bersandar di pokok pohon itu. Kami diam dan terus menengadahkan kepala, memicingkan mata, ke arah langit yang cerah biru menyilaukan. Pukul 9.05. Perlahan-lahan muncul sebuah pesawat Foker 28 melintas pelan di atas lapangan sekolah kami. Aku tahu di dalam pesawat itu ada A Ling dan ia juga pasti sedang sedih meninggalkan aku sendiri. Aku mengamati pesawat yang per-gi membawa cinta pertamaku menembus awan-awan putih nun jauh tinggi di angkasa tak terjangkau. Pesawat itu semakin lama semakin kecil dan pandanganku semakin kabur, bukan karena pesawat itu semakin jauh tapi karena air mata tergenang pelupuk mataku. Selamat tinggal belahan jiwaku, cinta pertamaku. Setelah pesawat itu sama sekali menghilang Syahdan meninggalkanku sendirian. Tiba- tiba aku disergap oleh perasaan sunyi yang tak tertahankan. Rasanya di dunia ini hanya aku satu- satunya makhluk hidup. Daun-daun gayam yang rontok berbunyi seperti bilah- bilah seng yang berjatuhan di kesunyian malam. Pohon gayam ini adalah satu-satunya pohon di tengah lapangan sekolahku yang sangat luas dan aku duduk sendiri di bawahnya, 223 Laskar Pelangi
kesepian. Aku baru saja ditinggalkan oleh seseorang yang telah memenuhi hatiku sampai meluap-luap selama lima tahun terakhir ini. Lalu dengan tiba-tiba pagi ini, ia begitu saja tercabut dari kehidupanku. Aku membuka kado yang dititipkan A Ling. Di dalamnya terdapat sebuah buku berjudul Seandainya Mereka Bisa Bicara karya Herriot dan sebuah diary yang memuat berbagai catatan harian dan lirik-lirik lagu. Aku membalik lembar demi lembar diary itu. Tak ada yang istimewa dan tak ada yang khusus ditujukan untukku. Namun pada suatu halaman aku membaca judul sebuah puisi yang rasanya aku kenal, judulnya Bunga Krisan. Pada lembar- lembar berikutnya aku melihat seluruh puisi yang dulu pernah kukirimkan kepadanya dan selalu ia kembalikan. A Ling menylin kembali seluruh puisiku dalam diary-nya. ******* 224 Laskar Pelangi
BAB 24 Tuk Bayan Tula ANGIN selatan, angin paling jinak, biasa berembus dengan kecepatan maksimum 10 mph. Angin lembut ini tiba-tiba mengamuk menjadi monster puting beliung dengan kecepatan seribu kali lipat, 10.000 mph. Pohon dan mobil-mobil beterbangan seperti bulu, aspal jalan terkelupas. Seluruh bangunan runtuh, bahkan fondasi rumah tercabut, yang tersisa hanya lubang-lubang WC. Tepung sari Camellia dan Buxus yang tumbuh di kebun liar peliharaan alam di puncak Gunung Samak terhambur ke udara, menimbulkan pemandangan menyedihkan seperti nyawa-nyawa muda yang dicabut paksa oleh malaikat maut dari jasad yang segar bugar. Semua itu gara-gara pembakaran minyak solar berlebihan selama ratusan tahun dalam eksploitasi timah sehingga menimbulkan gas rumah kaca. Gas itu tertumpuk di atas atmosfer Belitong dan segera menimbulkan efek rumah kaca, menunggu hari untuk menjadi mara bahaya. Lalu senyawa gas rumah kaca itu karbondioksida dan radiasi matahari memicu reaksi kimia yang mengubah tepung sari yang bergentayangan di udara menjadi semacam bubuk mesiu dengan daya ledak sangat tinggi seperti TNT. Karena kuantitasnya telah beraku mulasi demikian lama maka pada suatu tengah hari saat orang-orang Melayu sedang mendengarkan musik pelepas lelah di RRI, tanpa firasat apa pun, terjadilah katastropi itu. Sebuah 225 Laskar Pelangi
ledakan yang sangat dahsyat seperti ledakan nuklir menghantam Belitong. Orang-orang Belitong mengira kiamat telah datang maka tak perlu menyelamatkan diri. Mereka terduduk pasrah di tangga-tangga rumahnya, melongo melihat ekor ledakan yang kemudian membentuk cendawan raksasa yang menutupi tanah kuno pulau itu sehingga gelap gulita. Dalam waktu singkat ajal yang sebenarnya pun pelan-pelan menjemput, yakni ketika cendawan yang mengandung radio aktif, merkuri, dan amoniak hanyut turun mengejar orang-orang Belitong yang kocar-kacir mencari perlindungan. Mereka menyelinap ke gorong-gorong, menyelam di sungai, sembunyi di dalam karung goni, terjun ke sumur-sumur, dan tiarap di got-got. Tapi semua usaha itu sia-sia karena gas-gas kimia tadi larut dalam udara dan air. Sebagian orang Belitong tewas di tempat, tertungging seperti ekstremis dibedil kompeni, dan mereka yang selamat berubah menjadi makhluk-makhluk cebol berbau busuk. Melihat penampilan orang Belitong seperti itu pemerintah pusat di Jakarta merasa malu kepada dunia internasional dan tak sudi mengakui orang Belitong sebagai warga negara republik. Karena itu Kabupaten Belitong dipaksa rela melakukan referendum. Walaupun hanya sedikit orang Melayu Belitong yang ingin memisahkan diri dari NKRI tapi pemerintah menganggap keputusan manusia- manusia cebol itu sebagai aklamasi sehingga Belitong menjadi negara yang merdeka. Bisa dipastikan bahwa Belitong tidak mampu menghidupi dirinya sendiri. Di sisi lain, efek rumah kaca yang demikian tinggi mengakibatkan ekologi di sana tidak seimbang, permukaan air laut naik, dan suhu menjadi terlalu panas. Dan saat itulah kebenaran yang hakiki datang. Bodenga yang telah lama menghilang tiba-tiba muncul mengambil alih pemerintahan kabupaten, ia menindas tandas orang-orang cebol yang telah memper-lakukan ia dan ayahnya dengan tidak adil. Orang-orang cebol itu digiring olehnya dan digelontor ke muara Sungai Mirang agar dimangsa buaya. Orang-orang cebol itu 226 Laskar Pelangi
meregang nyawa dan dalam waktu singkat mereka tewas ter-apung- apung seperti ikan kena tuba. Itulah kira-kira isi kepala seorang pemimpi yang hampir gila karena frustrasi putus cinta pertama. Aku tak bisa berpikir jernih, bermimpi buruk, berhalusinasi, dan dihantui khayalan- khayalan aneh. Jika aku melihat ke luar jendela dan ada pelangi melingkar maka pelangi iu menjadi monokrom. Jika aku mendengar kicauan prenjak maka ia berbunyi seperti burung mistik pengabar kematian. Aku merasa setiap orang: para penjaga toko, Tuan Pos, tukang parut kelapa, polisi pamong praja, dan para kuli panggul telah berkonspirasi melawanku. Meskipun selama lima tahun aku hanya dua kali berjumpa dengan Michele Yeohku tapi perasaanku padanya melebihi segalanya. A Ling adalah sosok yang dapat menimbulkan perasaan sayang demikian kuat bagi orang-orang yang secara emosional terhubung dengannya. Ia cantik, pintar, dan baik. Cintanya penuh imajinasi dan kejutan-kejutan kecil yang menyenangkan, mungkin itulah yang membuatku amat terkesan. Tapi rupanya ketika ia melepaskan genggaman tangannya minggu lalu, saat itu pula nasib memisahkan kami. Kini dirinya menjadi semakin berarti ketika ia sudah tak ada dan aku merasa getir. Kepergian A Ling meninggalkan sebuah ruangan kosong, rongga hampa yang luas, dan duka lara di dalam hatiku. Dadaku sesak karena rindu dan demi menyadari bahwa rindu itu tak 'kan pernah terobati, aku rasanya ingin meledak. Aku selalu ingin menghambur ke toko kelontong Sinar Harapan, tapi aku tahu tindakan dramatis seperti film India itu akan percuma saja karena di sana aku hanya akan disambut oleh botol-botol tauco dan tumpukan terasi busuk. Aku merana, merana sekali. Aku merasa tak percaya, amat terkejut, dan tak sanggup menerima kenyataan bahwa sekarang aku sendiri. Sendiri di dunia yang tak peduli. Jiwaku lumpuh karena ditinggal kekasih tercinta, atau dalam bahasa puisi: aku mengharu biru tatkala kesepian 227 Laskar Pelangi
melayap mencekam dermaga jiwa, atau: batinku nelangsa berdarah- darah tiada daya mana kala ia sirna terbang mencampak asmara. Dan juga, laksana film India, perpisahan itu membuatku sakit. Seperti pertemuan pertama dalam insiden jatuhnya kapur di hari yang bersejarah tempo hari, saat itu kebahagiaanku tak terlukiskan kata-kata. Maka kini, saat perpisahan, kepedihanku juga tak tergambarkan kalimat. Beberapa waktu lalu aku pernah menertawakan Bang Jumari yang menderita diare hebat dan menggigil di siang bolong karena cintanya diputuskan oleh Kak Shita, kakak sepupuku. Ketika itu aku tak habis pikir bagaimana kekonyolan seperti itu bisa terjadi. Namun, kini hal serupa aku alami. Hukum karma pasti berlaku ! Selama dua hari aku sudah tidak masuk sekolah. Maunya hanya tergeletak saja di tempat tidur. Kepalaku berat, napasku cepat, dan mukaku memerah. Ibuku memberiku Naspro dan obat cacing Askomin. Tapi aku tak sembuh. Aku menderita panas tinggi. Setelah Syahdan, Mahar dan pengikut setianya A Kionglah yang datang menjengukku. Mahar memakai jas panjang sampai ke lutut seperti seorang dokter hewan dari Eropa dan A Kiong tergopoh- gopoh di belakangnya menenteng sebuah tas koper laksana siswa perawat yang sedang magang. Koper ini sangat istimewa karena di sana sini ditempeli bekasp eneng sepeda dan berbagai lambang pemerintahan sehingga mengesankan Mahar seperti seorang pejabat penting kabupaten. Syahdan sedang duduk di samping tempat tidurku ketika Mahar masuk ke kamar. A Kiong dan Mahar tak mengucapkan sepatah kata pun, ekspresi mereka datar. Dengan gerakan isyarat Mahar menyuruh Syahdan minggir. Mahar berdiri persis di sampingku, memandangiku dengan cermat dari ujung kaki sampai ujung rambut. Ia masih tetap tak bicara. Wajahnya serius seperti seorang dokter profesional dan seolah dalam waktu singkat telah menyelesaikan diagnosisnya. Ia menggeleng-gelengkankan kepalanya pertanda kasus yang dihadapi tidak sepele. Ia menarik napas prihatin dan menoleh ke arah A Kiong. \"Pisau!\" pekiknya singkat. 228 Laskar Pelangi
A Kiong cepat-cepat memutar nomor kombinasi koper lalu mengeluarkan sebilah pisau dapur karatan. Aku dan Syahdan memerhatikan dengan khawatir. Pisau itu diberikan dengan takzim pada Mahar yang menerimanya seperti seorang ahli bedah. \"Kunir !\" perintah Mahar lagi, tegas dan keras. A Kiong kembali merogoh sesuatu dari dalam koper dan segera menyerahkan kunir seukuran ibu jari. Tanpa banyak cingcong Mahar memotong kunir dan dengan gerakan sangat cepat tak sempat kuhindari ia menggerus kunir itu di keningku, melukis tanda silang yang besar. Maka terpampanglah di keningku huruf X berwarna kuning. Lalu, seperti telah sama-sama paham prosedur berikutnya, tanpa dikomando, A Kiong mengambil dahan-dahan beluntas dari dalam koper, melemparkannya kepada Mahar yang menyambutnya dengan tangkas dan langsung menampar- namparkan daun-daun itu ke sekujur tubuhku tanpa ampun sambil komat-kamit. Bukan hanya itu, sementara Mahar mengibas-ngibaskan daun- daun beluntas dengan beringas, A Kiong serta-merta menyembur- nyemburkan air ke seluruh tubuhku termasuk wajah melalui alat penyemprot bunga, sehingga yang terjadi adalah sebuah kekacauan. Aku jadi berantakan dan basah seperti kucing kehujanan, namun aku tak berkutik karena mereka sangat kompak, cepat, terencana, dan sistematis. Tak lama kemudian mereka berhenti. Mahar menarik napas lega dan A Kiong dengan wajah bloonnya ikut-ikutan bernapas lega sok tahu. Sebuah sikap gabungan antara kebodohan dan fanatisme. Aku dan Syahdan hanya melongo, terpana, pasrah total. \"Tiga anak jin tersinggung karena kau kencing sembarangan di kerajaan mereka dekat sumur sekolah ...,\" Mahar menjelaskan dengan gaya seolah-olah kalau dia tidak segera datang nyawaku tak tertolong. Tak ada rasa bersalah dan niat menipu tecermin dari wajahnya. Mahar dan A Kiong tampil penuh kordinasi dengan ketenangan mutlak tanpa dosa. Mereka tak sedikit pun ragu atas 229 Laskar Pelangi
keyakinanya pada metode penyembuhan dukun yang konyol tak tanggung-tanggung. \"Merekalah yang membuatmu demam panas,\" sambungnya lagi sambil memasukkan alat-alat kedokterannya tadi ke dalam koper, lalu dengan elegan menyerahkan koper itu pada A Kiong. A Kiong menyambut tas itu seperti anggota Paskibraka menerima bendera pusaka. \"Tapi jangan cemas, Kawan, barusan mereka sudah ku-usir, besok sudah bisa masuk sekolah!\" Lalu tanpa basa-basi, tanpa pamit, mereka berdua langsung pulang. Hanya itu saja kata- katanya. Bahkan A Kiong tak mengucapkan sepatah kata pun. Aku terengah-engah. Syahdan menutup wajahnya dengan tangannya. Mahar memang sudah edan. Ia semakin tak peduli dengan buku- buku dan pelajaran sekolah. Nilai-nilai ulangannya merosot tajam, bisa-bisa ia tidak lulus ujian nanti. Sebenarnya ia murid yang pandai, belum lagi menghitung bakat seninya, tapi nafsu ingin tahu yang terkekang terhadap dunia gaib membuatnya lebih senang memperdalam hal-hal yang subtil. Belakangan ini keanehannya semakin menjadi-jadi, dan semua itu gara-gara anak Gedong yang tomboi itu Flo atau mungkin gara-gara seorang dukun siluman bernama Tuk Bayan Tula. Sebulan yang lalu seluruh kampung heboh karena Flo hilang. Anak bengal penduduk Gedong itu memisahkan diri rombongan teman-teman sekelasnya ketika hiking di Gunung Selumar. Polisi, tim SAR, anjing pelacak, anjing kampung, kelompok pencinta alam, para pendaki profesional dan amatir, para petualang, para penduduk yang berpengalaman di hutan, para pengangguran yang bosan tak melakukan apa-apa, dan ratusan orang kampung tumpah ruah mencarinya di tengah hutan lebat ribuan hektare yang melingkupi lereng gunung itu. Kami sekelas termasuk di dalamnya. Sampai senja turun Flo masih belum ditemukan. Bapak, Ibu, dan saudara-saudaranya berulang kali pingsan. Guru-guru dan teman- 230 Laskar Pelangi
teman sekelasnya menangis cemas. Segenap daya upaya dikerahkan tapi belum ada tanda-tanda di mana ia berada. Susah memang, hutan di gunung ini sangat lebat, sebagian belum terjamah, dan hutan itu ber-ujung di lembah-lembah liar yang dialiri anak-anak sungai berbahaya. Salak anjing, teriakan orang memanggil-manggil, dan suara belasan megafone bertalu- talu di lereng gunung. Para dukun tak mampu memberi petunjuk apa pun, ada saja alasannya, tapi umumnya adalah bahwa para jin penunggu Gunung Selumar lebih sakti, sebuah alasan klasik. Dari lengkingan megafone itu kami tahu nama anak perempuan yang sedang hilang: Flo Menjelang sore sebuah lampu sorot besar yang biasa dipakai di kapal keruk dibawa ke lereng gunung untuk memudahkan tim penyelamat. Orang-orang dari kampung tetangga turut bergabung. Sekarang jumlah pencari mencapai ribuan. Hari beranjak gelap dan keadaan semakin meng-khawatirkan. Kabut tebal yang menyelimuti gunung sangat menyulitkan usaha pencarian. Wajah setiap orang mulai kelihatan cemas dan putus asa. Tahun lalu dua orang anak laki-laki juga tersesat,setelah tiga hari mereka ditemukan berpelukan di bawah sebatang pohon Medang, meninggal dunia karena kelaparan dan hipotermia. Sinar merah lampu sirine mobil ambulans yang berputar-putar menjilati sisi pohon-pohon besar, menciptakan suasana mencekam, seperti ada kematian yang dekat. Sudah delapan jam berlalu tapi Flo masih tak diketahui keberadaanya di tengah hutan rimba gunung ini. Orang tua Flo dan para pencari mulai panik. Malam pun turun. Kami merasa kasihan pada Flo. Kini ia seorang diri dalam gelap gulita rimba. Ia bisa saja terjatuh, mengalami patah kaki atau pingsan. Atau mungkin saat ini ia sedang terisak- isak, ketakutan, lapar dan kedinginan di bawah sebatang pohon besar, dan suaranya telah parau memanggil-manggil minta tolong. Anak perempuan yang seperti anak laki-laki itu tentu tadi pagi tak menyadari konsekuensi keisengannya. Mungkin awalnya ia hanya ingin menggoda teman-temannya. Tapi sekarang, keadaan bisa fatal. 231 Laskar Pelangi
Kontur gunung ini sangat unik. Jika berada di dalam hutannya banyak sekali komposisi pohon dan permukaan tanah yang tampak sama. Maka jika melewati jalur itu seolah seseorang merasa berada di tempat yang telah ia kenal, padahal tanpa disadari langkahnya semakin menjauh tersasar ke dalam rimba. Jika Flo mengalami ini ia akan tersasar jauh ke selatan menuju aliran anak-anak Sungai Lenggang yang sangat deras berjeram-jeram menuju ke muara. Tak sedikit orang yang telah menjadi korban di sana. Pada beberapa bagian di wilayah selatan ini juga terhampar dataran tanah luas yang mengandung jebakan mematikan, yaitu kiumi, semacam pasir hidup yang kelihatan solid tapi jika diinjak langsung menelan tubuh. Namun, ia akan sial sekali jika tersasar ke utara. Di sana jauh lebih berbahaya. Ia memasuki semacam pintu mati. Ia tak 'kan bisa kembali, sebuah point of no return, karena lereng gunung di bagian itu terhalang oleh ujung aliran sungai jahat yang disebut Sungai Buta. Sungai Buta adalah anak Sungai Lenggang tapi alirannya putus hanya sampai di lereng utara Gunung Selumar. Sungai itu seperti sebuah gang sempit yang buntu atau seperti jalan yang berakhir di jurang. Orang kampung menamainya Sungai Buta sebagai representasi keangkerannya. Buta lebih berarti gelap, tak ada petunjuk, terperangkap tanpa jalan keluar, dan mati. Sungai Buta demikian ditakuti karena permukaannya sangat tenang seperti danau, seperti kaca yang diam. Tapi tersembunyi di bawah air yang tenang itu adalah maut yang sesungguhnya, yaitu buaya-buaya besar dan ular-ular dasar air yang aneh-aneh. Buaya sungai ini berperangai lain dan amat agresif, mereka mengincar kera-kera yang bergelantungan di dahan rendah, bahkan menyambar orang di atas perahu. Pohon-pohon tua ru1 yang tinggi tumbuh dengan akar tertanam di dasar sungai ini, sebagian telah mati menghitam, membentuk pemandangan yang sangat menyeramkan seperti sosok-sosok hantu raksasa yang merenungi per mukaan sungai dan menunggu mangsa melintas. Sungai Buta berbentuk melingkar, mengurung sisi utara Gunung Selumar. Jika Flo tersesat ke sini ia tak mung-kin dapat kembali mundur karena tenaganya pasti tak akan cukup untuk kembali mendaki punggung granit yang curam.Jika ia memaksa, sangat 232 Laskar Pelangi
mungkin ia akan terpeleset jatuh dan terhempas di atas batu-batu karang. Pilihan satu- satunya hanya berenang melintasi Sungai Buta yang horor dengan kelebaran hampir seratus meter. Untuk menyeberangi sungai itu ia terlebih dahulu harus menyibak- nyibakkan hamparan bakung setinggi dada dan hampir dapat dipastikan pada langkah- langkah pertama di area bakung itu riwayatnya akan tamat. Di sanalah habitat terbesar buaya-buaya ganas di Belitong. Di tengah kepanikan tersiar kabar bahwa ada seorang sakti mandraguna yang mampu menerawang, tapi beliau tinggal jauh di sebuah Pulau Lanun yang terpencil. Ialah seorang dukun yang telah menjadi legenda, Tuk Bayan Tula, demikian namanya. Tokoh ini dianggap raja ilmu gaib dan orang paling sakti di atas yang tersakti, biang semua keganjilan, muara semua ilmu aneh. Banyak orang beranggapan Tuk Bayan Tula tak lebih dari sekadar dongeng, bahwa ia sebenarnya tak pernah ada, dan tak lebih dari mitos untuk menakuti anak kecil agar cepat-cepat tidur. Tapi banyak juga yang berani bersaksi bahwa ia benar-benar ada. Bahkan diyakini beliau dulu pernah tinggal di kampung dan sempat menjadi penjaga hutan larangan suruhan Belanda, pernah menjadi carik, dan pernah menjadi nakhoda kapal yang berulang kali memimpin armada melanglang Selat Malaka. Menjadi perompak barangkali. Konon beliau memang memiliki bakat khusus di bidang ilmu antah berantah, karena dalam usia muda beliau sudah menguasai budi suci. Ilmu ini sangat potensial membuat penganutnya senang memanjat tiang bendera di tengah malam sebab menderita sakit saraf. Jika tak kuat menahankan ilmu gaib budi suci, dalam waktu singkat seseorang bisa menjadi gila. Tapi jika sukses, pemegangnya bisa membunuh orang bahkan tanpa menyentuhnya. Tuk sudah khatam budi suci sejak usia belasan. Dalam usia itu beliau juga sudah bisa mempraktikkan ilmu sekuntak, maka beliau mampu memadamkan bohlam hanya dengan memandangnya sepintas. Namun, seiring tinggi ilmunya ia 233 Laskar Pelangi
semakin menjauhkan diri dari masyarakat dan telah berpantang kata untuk menjaga kesaktiannya. Maka Tuk Bayan Tula tak 'kan pernah berucap lagi. Kini Tuk menyepi di pulautak berpenghuni. Nama Tuk Bayan Tula sendiri adalah nama yang menciutkan nyali. Tuk adalah nama julukan lama, dari kata datuk untuk menyebut orang sakti di Belitong. Bayan juga panggilan bagi orang berilmu hebat yang selalu memakai nama binatang, dalam hal ini burung bayan. Tula, bahasa Belitong asli, artinya kualat, mungkin jika kurang ajar dengan beliau orang bisa langsung kualat. Sedangkan nama Pulau Lanun tempat tinggal Tuk sekarang juga tak kalah angker. Lanun berarti perompak. Pulau itu tak berani didekati para nelayan karena di sanalah para perompak yang kejam sering merapat. Namun, kabarnya para perompak itu kabur tunggang langgang ketika Tuk Bayan Tula menguasai pulau itu. Banyak yang mengatakan para perompak itu dipenggal Tuk dengan sadis. Kini Tuk tinggal sendirian di sana. Berbagai cerita yang mendirikan bulu kuduk selalu dikait-kaitkan dengan tokoh siluman ini. Ada yang mengatakan beliau sengaja mengasingkan diri di pulau kecil sebelah barat sebagai tameng yang melindungi Pulau Belitong dari amukan badai. Ada yang percaya ia bisa melayang-layang ringan seperti kabut dan bersembunyi di balik sehelai ilalang. Dan yang paling menyeramkan adalah bahwa dikatakan Tuk telah menjadi manusia separuh peri. Anehnya, di balik keangkeran cerita yang berbau mistis itu semua orang menganggap Tuk Bayan Tula adalah wakil dari alam bawah tanah dunia putih. Di beberapa wilayah di Belitong beliau dianggap sebagai pahlawan yang telah membasmi para dukun hitam nekromansi yang mengambil keuntungan melalui komunikasi dengan orang-orang yang telah mati. Beliau dianggapahli menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh praktik klenik jahat untuk mencelakakan orang. Maka Tuk tak ubahnya Robin Hood, pahlawan yang mencuri untuk menolong kaum papa, atau orang yang berbuat baik dengan cara yang salah. Ada pula sebagian orang Belitong yang menganggap beliau bukan dukun, tapi sekadar seorang eksentrik yang dianu-gerahi indra keenam. 234 Laskar Pelangi
Apakah Tuk Bayan Tula seseorang yang mengkhianati ajaran tauhid? Mungkinkah ia sekadar seorang pahlawan pemusnah santet yang ingin mati sebagai martir? Ataukah ia hanya seorang tua yang memutuskan hidup sendiri ka-rena bermasalah dengan perangkat syahwat? Tak ada yang tahu pasti. Kisah kesaktian, gaya hidup, biografi, dan paradoks kepahlawanan Tuk ketika dikonfrontasikan dengan keyakinan orang awam akan menjadi sebuah misteri. Misteri ini mengandung daya tarik dunia bawah tanah, metafisika, paranormal, fenomena-fenomena janggal, dan ilmu pengetahuan yang membakar rasa ingin tahu sebagian orang. Sebagian dari orang itu adalah Mahar. Dalam kasus Flo, keadaan paniklah yang menyebabkan orang- orang sudah tidak lagi mengandalkan akal sehat sehingga berunding untuk minta bantuan Tuk Bayan Tula. Kekalutan memuncak karena saat itu sudah tengah malam dan Flo tak juga diketahui nasibnya. Maka diutuslah beberapa orang untuk menemui Tuk Bayan Tula. Utusan ini bukan sembarangan, paling tidak terdiri atas orang- orang yang telah cukup berpengalaman dalam urusan mistik sehingga cukup teguh hatinya jika digertak Tuk. Mereka adalah seorang pawang hujan, seorang dukun angin, kepala suku Sawang, dan seorang polisi senior. Utusan ini berangkat menggunakan sp eedboat milik PN Timah yang berkecepatan sangat tinggi. Kami waswas menunggu mereka kembali, terutama cemas kalau-kalau keempat orang utusan itu disembelih oleh sang manusia siluman setengah peri. Ketika matahari pagi mulai merekah, utusan tadi kembali. Kami senang menyambut mereka dengan mengharapkan keajaiban yang tak masuk akal, tapi itu lebih baik dari pada patah harapan sama sekali. Namun utusan ini tak membawa kabar apa-apa kecuali sepucuk kertas dari Tuk Bayan Tula. Puluhan orang mengerumuni cerita mereka yang mencengangkan. Mahar duduk paling depan. \"Ketika perahu merapat, anjing-anjing hutan melolong-lolong seolah melihat iblis beterbangan,\" kata ketua utusan, seorang pawang hujan. Ia termasuk orang berilmu dan dunia bawah tanah bukan hal baru baginya, tapi terlihat jelas ia takut dan merasa Tuk tidak ada di liganya. Sama sekali bukan tandingannya. 235 Laskar Pelangi
\"Tuk Bayan Tula tinggal di sebuah gua yang gelap, di jantung Pulau Lanun. Pulau itu berbelok menyimpang dari jalur nelayan, jadi tak seorang pun akan ke sana. Perahu- perahu perompak yang telah beliau bakar berserakan di tepi pantai. Tak ada siapa-siapa di pulau itu kecuali beliau sendiri dan tak terlihat ada tanaman kebun atau sumur air tawar, tak tahulah Datuk itu makan minum apa.\" Kemudian para anggota utusan yang lain sambung- menyambung, \"Melihat wajahnya dada rasanya berdetak, sungguh seseorang yang tampak sangat sakti dan berilmu ting-gi. Ketika beliau keluar ke mulut gua seakan seluruh alam menunduk. Di sana kami merasakan udara yang pe-nuh daya magis.\" Cerita ini dikonfirmasikan oleh hampir seluruh anggota utusan, bahwa ketika Tuk Bayan Tula berdiri kira-kira lima meter di depan mereka, mereka melihat kaki-kaki datuk itu tak menyentuh bumi. Ia seperti kabut yang melayang. \"Tubuhnya tinggi besar, rambut, kumis, dan jenggot-nya lebat dan panjang, matanya berkilat-kilat seperti burung bayan. Pakaiannya hanya selembar kain panjang yang dililit- lilitkan. Ia bertelanjang dada, dan sebilah parang yang sangat panjang terselip di pinggangnya. Aku ketakutan melihatnya.\" Kami mendengarkan dengan saksama, terutama Mahar yang tampak terpesona bukan main. Mulutnya ternganga dan raut wajahnya memperlihatkan kekaguman yang amat sangat pada Tuk Bayan Tula. Ia tampak begitu terpengaruh dan siap mengabdi pada superstar dunia gaib itu. Inilah fanatisme buta. Dalam imajinasinya mungkin Tuk Bayan Tula sedang duduk di atas singgasana yang dibuat dari tulang belulang musuh-musuhnya. Lalu beberapa ekor dedemit yang telah ditaklukkannya patuh melayaninya dengan limpahan anggur-anggur putih. Ketika itu tak sedikit pun terlintas dalam pikirannya kalau nanti Tuk Bayan Tula akan memutar jalan hidupnya dan jalan hidup perempuan kecil yang sedang tersesat di rimba ini dengan sebuah kisah antiklimaks. \"Di depan mulut gua kami melihat empat lembar pelepah pinang raja tempat duduk telah tergelar, seolah beliau telah tahu jauh sebelumnya kalau kami akan datang. Beliau menemui kami, sedikit 236 Laskar Pelangi
pun tidak tersenyum, sepatah pun tidak berkata.\" Sang ketua utusan mengusap wajahnya yang masih kelihatan terkesiap karena pertemuan langsungnya dengan tokoh sakti mandraguna Tuk Bayan Tula. Meskipun sudah beberapa jam yang lalu ia masih belum bisa menghilangkan perasaan terkejutnya. \"Kami menceritakan maksud kedatangan kami. Beliau mendengarkan dengan memalingkan muka. Belum selesai kami berkisah beliau langsung memberi isyarat meminta sepucuk kertas dan pena, lalu beliau menuliskan sesuatu. Juga diisyaratkan agar kami segera pulang dan hanya membuka tulisan beliau setelah tiba di sini. Di kertas inilah beliau menulis.\" Ketua utusan memperlihatkan gulungan kertas, semua orang merubungnya. Mahar melihat gulungan itu dengan tatapan seperti melihat benda ajaib peninggalan makhluk angkasa luar. Dengan gemetar sang ketua utusan membuka gulungan kertas itu dan di sana tertulis: INILAH PESAN TUK BAYAN TULA: “JIKA INGIN MENEMUKAN ANAK PEREMPUAN ITU MAKA CARILAH DIA DI DEKAT GUBUK LADANG YANG DITINGGALKAN. TEMUKAN SEGERA, ATAU DIA AKAN TENGGELAM DI BAWAH AKAR BAKAU..” Sebuah pesan yang mendirikan bulu tengkuk, lugas, dan mengancam atau lebih tepatnya menakut-nakuti. Tapi harus diakui bahwa pesan ini mengandung sebuah tenaga. Pilihan katanya teliti dan menunjukkan sebuah kualitas ke-paranormalan tingkat tinggi. Jika Tuk Bayan Tula seorang penipu maka ia pasti penipu ulung, tapi jika ia memang dukun maka ia pasti bukan dukun palsu yang oportunistik. Bagaimanapun pesan ini mengandung pertaruhan reputasi yang pasti. Tidak ada kata tersembunyi, tak ada kata bersayap. Intinya jelas:jika Flo tidak ditemukan di dekat gubuk ladang yang telah ditinggalkan pemiliknya atau jika ia tidak ditemukan tewas hari ini di sela-sela akar bakau, maka sang legenda Tuk Bayan Tula tak lebih dari seorang tukang dadu cangkir di pinggir jalan. Semua makhluk yang senang memain-mainkan dadu adalah kaum penipu. Kalau itu 237 Laskar Pelangi
sampai terjadi rasanya aku ingin berangkat sendiri ke Pulau Lanun untuk menyita satu- satunya kain yang melilit tubuh Tuk. Tapi selain semua kemungkinan itu pesan tadi juga harus diakui telah memberi harapan dan batas waktu, apa yang akan terjadi jika semuanya terlambat? Kebiasaan berladang berpindah-pindah masih berlangsung hingga saat ini. Namun potensi kesulitan sangat mungkin muncul. Tak mudah menentukan yang mana yang merupakan gubuk ladang. Gubuk telantar banyak terdapat di lereng gunung, yaitu gubuk rahasia para pencuri timah. Para pendulang liar menggali timah nun jauh di lereng gunung secara ilegal dan menjualnya pada para penyelundup yang menyamar sebagai nelayan di perairan Bangka Belitong. Pencuri dan penyelundup timah adalah profesi yang sangat tua. Aktivitas kriminal ini kriminal dari kaca mata PN Timah tentu saja telah ada sejak orang-orang Kek datang dari daratan Tiongkok untuk menggali timah secara resmi di Belitong dalam rangka mengerjakan konsesi dari kompeni, hari-hari itu adalah abad ke-17. PN Timah memperlakukan pelaku eksploitasi timah ilegal dan penyelundup dengan sangat keras, tanpa perikemanusiaan. Pelakunya diperlakukan seolah pelaku tindak pidana subversif. Di gunung-gunung yang sepi tempat para pendulang timah dianggap pencuri dan di laut tempat penyelundup dianggap perompak, hukum seolah tak berlaku. Jika tertangkap tak jarang kepala mereka diledakkan di tempat dengan AKA 47 oleh manusia-manusia tengik bernama Polsus Timah. Tim kami berangkat sejak pagi benar di bawah pimpinan Mahar. Kami bergerak ke utara, ke arah jalur maut Sungai Buta. Belasan ladang terutama yang dekat sungai telah kami kunjungi dan gubuknya telah kami obrak-abrik, kami juga mencari-cari di sela-sela akar bakau, tapi hasilnya nihil. Flo raib seperti ditelan bumi. Suara kami sampai parau memanggil-manggil namanya dan satu-satunya megafone yang dibekali posko telah habis baterainya. Dan pagi pun tiba, pencarian berlangsung terus. Dari walky talky kami pantau bahwa Flo masih tetap misteri. Sekarang baterai walky talky mulai lemah dan hanya dapat memonitor saja. Tidak hanya 238 Laskar Pelangi
batu-batu baterai itu, sema-ngat kami pun melemah. Kami mulai dihinggapi perasaan putus asa. Dari setiap gubuk yang kami kunjungi dan tidak ditemukan Flo di dalamnya maka satu kredit minus mengurangi reputasi Tuk. Sesudah hampir dua puluh gubuk yang nihil, saat itu menjelang tangah hari, reputasi beliau pun makin pudar kalau bukan disebut hancur. Kami mulai meragukan kesaktian dukun siluman itu. Mahar tampak agak tersinggung setiap kali kami mengeluh jika menemukan gubuk yang kosong, apa lagi ada celetukan yang melecehkan Tuk Bayan Tula. \"Kalau dia bisa berubah menjadi burung bayan, tak perlu susah- susah kita mencari-cari seperti ini,\" desah Kucai sambil terengah- engah. Berbagai pikiran buruk menghantui kepala yang penat dan tubuh yang lelah. Ke manakah engkau gadis kecil? Mungkinkah anak gedongan itu telah tewas? Parameter pencarian demikian luas. Flo bisa saja tidak menuruni lereng menuju ke lembah melainkan naik terus ke puncak, atau berjalan berputar-putar mengelilingi lereng, tersesat dalam fatamorgana sampai habis tenaganya. Mungkin juga ia telah tembus di sisi barat daya dan memasuki perkampungan Tionghoa kebun di sana. Atau ia sedang dililit ular untuk dibusukkan dan ditelan besok malam. Mungkinkah ia telah berenang melintasi Sungai Buta? Bukankah ia anak tomboi yang terkenal nekat tak kenal takut? Selamat atau sudah tamatkah riwayatnya? Perbekal-an air dan makanan kami yang seadanya telah habis. Harun, Trapani, dan Samson sudah ingin menyerah dan menyarankan kami kembali ke posko, tapi Mahar tak setuju, ia yakin sekali pada kebenaran pesan Tuk Bayan Tula. Sebaliknya, bagi kami hanya bayangan penderitaan Flo yang masih menguatkan hati untuk terus mencari. Jika ingat betapa ia ketakutan, kelaparan, dan kedinginan, kelelahan kami rasanya dapat ditahankan. 239 Laskar Pelangi
Menjelang pukul 10 pagi, berarti telah 27 jam Flo lenyap. Kami sudah tak memedulikan pesan Tuk. Bagi kami kecuali Mahar datuk itu tak lebih dari semua dukun-dukun lainnya, palsu dan oportunistik. Kami memperlebar parameter pencarian sampai agak naik ke atas ladang. Di setiap gubuk kami menemukan pemandangan yang sama, yaitu babi-babi hutan yang kawin berpesta pora atau tikus-tikus pengerat bercengkrama di antara dengungan kumbang yang bersarang di tiang-tiang gubuk yang lapuk. Pukul 11, siang sudah, kami tiba di sebuah batu cadas besar yang menjorok. Kami berkumpul di sana untuk mengistirahatkan sisa-sisa tenaga terakhir. Inilah ujung akhir lereng utara karena setelah ini, nun setengah kilometer di bawah kami adalah wilayah bahaya maut Sungai Buta. Kami tak 'kan turun ke wilayah yang dihindari setiap orang itu, bahkan penjelajah profesional tak berani ke sana. Kami sudah putus asa dan setelah beristirahat ini kami akan segera kembali ke posko. Kami telah gagal, Flo tetap nihil, dan paling tidak di lereng utara Tuk Bayan Tula telah berdusta. Dari walky talky kami memonitor bahwa di barat, timur, dan selatan Flo juga tak ditemukan, berati Tuk Bayan Tula telah berdusta di empat penjuru angin. Kami diam terpaku menerima berita itu. Wajah Mahar sembap seperti ingin menangis. Ia seumpama kekasih yang dikhianati orang tersayang. Tuk telah melukai hatinya meskipun ia sedikit pun tak kenal tokoh pujaannya itu. Ini risiko keyakinan yang rabun. Dan aku sedih, bukan karena membayangkan kehancuran integritas Tuk atau perasaan Mahar yang kecewa, tapi karena memikirkan nasib buruk yang menimpa Flo. Bisa saja ia tak 'kan pernah ditemukan, hilang, raib. Bisa juga ia ditemukan tapi cuma tinggal berupa kerangka yang dipatuki burung gagak. Ia juga mungkin ditemukan dalam keadaan menyedihkan telah tercabik-cabik hewan buas. Dan yang paling tak tertahankan adalah jika ia mati sia-sia secara memilukan karena pertolongan terlambat beberapa jam saja. Sulit untuk bertahan hidup dalam suhu sedingin malam tadi tanpa makanan sama sekali. Dan saat-saat sekarang ini sudah memasuki keadaan yang mulai terlambat itu. Mengapa anak cantik kaya raya yang hidup di rumah 240 Laskar Pelangi
seperti istana, dari keluarga terhormat,tanpa trauma masa kecil, dan yang memiliki limpahan kasih sayang semua orang, serta lingkungan seperti taman eden, ha-rus berakhir di tempat ganas ini? Aku tak sanggup mem-bayangkan lebih jauh perasaan orangtuanya. Aku terbaring kelelahan memandangi keseluruhan Gunung Selumar yang biru, agung, dan samar-samar. Aku per-nah menulis puisi cinta di puncaknya dan gunung ini pernah memberiku inspirasi keindahan yang lembut. Bahkan di sabana di atas sana tumbuh bunga-bunga liar kuning kecil yang dapat membuat siapa pun jatuh cinta, bukan hanya kepada bunganya, tapi juga kepada orang yang mempersembahkannya. Namun kelembutan gunung ini, seperti kelembutan unsur-unsur alam lainnya, air, angin, api, dan bumi, ternyata menyembunyikan kekejaman tak kenal ampun. Betapa teganya, toh bagaimanapun nakalnya, Flo hanyalah seorang gadis kecil, permata hati keluarganya. Kucai menepuk-nepuk bahu Mahar dan menghiburnya. Mahar memalingkan muka. Ia menunduk diam. Matanya jauh menyapu pandangan ke Sungai Buta dan rawa-rawa bakung di bawah sana. Kami bangkit, membereskan perlengkapan, dan mempersiapkan diri untuk pulang. Sebelum kami melangkah pergi Syahdan yang mengalungkan teropong kecil di lehernya mencoba-coba benda plastik mainan itu. Ia meneropong tepian Sungai Buta. Saat kami ingin menuruni batu cadas itu tiba-tiba Syahdan berteriak, sebuah teriakan nasib. \"Lihatlah itu, ada pohon kuini di pinggir Sungai Buta.\" Kami membalikkan badan terkejut dan Mahar serta-merta merampas teropong Syahdan. Ia berlari ke bibir cadas dan meneropong ke bawah dengan saksama, \"Dan ada gubuk!\" katanya penuh semangat. \"Kita harus turun ke sana!\" katanya lagi tanpa berpikir panjang. Kami semua terperanjat dengan usul sinting itu. Kucai yang dari tadi membisu menganggap kekonyolan Mahar telahmelampaui batas. Sebagai ketua kelas ia merasa bertanggung jawab. 241 Laskar Pelangi
\"Apa kau sudah gila!\" Ia menyalak dengan galak. Sorot matanya tajam, merah, dan marah, walaupun yang ditatapnya adalah Harun yang berdiri melongo di samping Mahar. \"Mari aku jelaskan ke kepalamu yang dikaburkan asap kemenyan sehingga tak bisa berpikir waras. Pertama-tama di bawah sana tak mungkin sebuah ladang. Tak ada orang sinting yang mau berladang di pinggir Sungai Buta kecuali ia ingin mati konyol. Tak tahukah kau cerita pengalaman orang lain, di situ buaya tidak menunggu tapi mengejar. Dan ular-ular sebesar pohon kelapa melingkar-lingkar di sembarang tempat. Kalaupun itu memang gubuk, itu gubuk pencuri timah. Berdasarkan pesan datuk setengah iblis anak gedongan itu hanya ada di gubuk ladang yang ditinggalkan!\" Mahar menatap Kucai dengan dingin, Kucai semakin geram. \"Kalau kita turun ke sana, aku pastikan kita bisa menjadi Flo-Flo baru yang malah akan dicari orang, menambah persoalan, merepotkan semuanya nanti. Tempat itu sangat berbahaya, Har, pakai otakmu ! Ayo pulang!!\" Mahar tetap sedingin es, ekspresinya datar. \"Lagi pula mana mungkin anak perempuan kecil itu dapat mencapai tempat ini. Batu ini adalah dinding utara terakhir. Kita telah mendatangi puluhan gubuk ladang yang ditinggalkan, hasilnya nol, mendatangi satu gubuk pencuri timah hasilnya akan tetap sama, ayolah pulang, Kawan, terimalah kenyataan bahwa Tuk telah menipu kita, ayolah pulang, Kawan ..,,\" Kucai merendahkan suaranya, mungkin ia sadar membujuk orang setengah gila tidak bisa dengan marah- marah. Tapi Mahar tetap membatu, ia seperti menhir, masih belum bisa diyakinkan. Ia tak 'kan menyerah semudah ini. Syahdan ikut menasihati dengan kata-kata pesimis. \"Sudah hampir tiga puluh jam Flo hilang, kita harus belajar realistis, mungkin ia memang ditakdirkan menemui ajal di gunung ini. Tuhan telah memanggilnya dan gunung ini pun mengambilnya.\" Mahar tak bergerak. Kami beranjak meninggalkan tempat itu. Lalu dengan dingin Mahar mengatakan ini, \"Kalian boleh pulang, aku akan turun sendiri....\" Maka turunlah kami semua walaupun kami tahu tak 'kan menemukan Flo di pinggir Sungai Buta. Hal itu sangat muskil, 242 Laskar Pelangi
sangat mustahil. Semuanya menggerutu dan kami mengutuki Syahdan yang tadi iseng-iseng meneropong dengan teropong plastik jelek mainan anak-anak itu. Dia menyesal. Tapi semuanya telah telanjur, sekarang kami pontang panting menuruni punggung lereng yang curam, berkelak-kelok di antara batu- batu besar dan menerabas kerimbunan gulma yang sering menusuk mata. Kami menuju ke sebuah gubuk pencuri timah di wi-layah maut pinggiran Sungai Buta hanya untuk menemani Mahar, menemani ia memuaskan egonya, membuktikan padanya bahwa insting tidak harus selalu benar, dan melindunginya dari ketololannya sendiri. Walaupun kami benci pada kefanatikannya tapi ia tetap teman kami, anggota Laskar Pelangi, kami tak ingin kehilangan dia. Kadang-kadang persahabatan sangat menuntut dan menyebalkan. Pelajaran moral nomor lima:jangan bersahabat dengan orang yang gila perdukunan. Kira-kira satu jam kemudian, tepat tengah hari, kami telah berada di lembah Sungai Buta. Wilayah ini merupakan blank spot untuk frekuensi walky talky sehingga suara kemerosok yang sedikit menghibur dari alat itu sekarang mati dan tempat ini segera jadi mencekam. Untuk pertama kalinya aku ke sini dan rasa angkernya memang tidak dibesar-besarkan orang. Kenyataannya malah terasa lebih ngeri dari bayanganku sebelumnya. Kami memasuki wilayah yang jelas-jelas menunjukkan permusuhan pada pendatang. Wilayah ini seperti dikuasai oleh suatu makhluk teritorial yang buas, asing, dan sangat jahat. Kerasak-kerasak gelap di pokok pohon nipah yang digenangi air seperti kerajaan jin dan tempat sarang berkembang biaknya semua jenis bangsa-bangsa hantu. Biawak berbagai ukuran melingkar-lingkar di situ, sama sekali tak takut pada kehadiran kami, beberepa ekor di antaranya malah bersikap ingin menyerang. Hanya sedikit orang pernah ke sini dan di antara yang sedikit itu dan yang paling tolol adalah kami. Kami berjalan dalam langkah senyap berhati-hati. Semuanya mengeluarkan parang dari sarungnya dan terus-menerus menoleh ke kiri dan kanan serta membentuk formasi untuk melindungi punggung orang terdekat. 243 Laskar Pelangi
Kami mendengar suara sesuatu ditangkupkan dengan sangat keras dan mengerikan disertai suara kibasan air yang besar. Kami diam tak membahas itu, kami tahu suara itu tangkupan mulut buaya yang besarnya tak terkira. Ada juga suara bayi-bayi buaya yang berkeciak dan pemandangan beberapa ekor ular bergelantungan di dahan-dahan pohon. Kami terus merangsek maju seperti sedang mengintai musuh. Pondok itu kira-kira seratus meter di depan kami. Semakin dekat, semakin jelas dan mencengangkan karena tempat itu agaknya memang bekas sebuah ladang yang ditinggalkan. Kami menemukan kawat-kawat bekas pagar dan dari kejauhan melihat pohon-pohon kuini, jambu bol, dan sawo. Siapa orang luar biasa yang berani berladang di sini? Jarak ladang ini dekat sekali dengan pinggiran Sungai Buta, bisa dipastikan sangat berbahaya. Pemiliknya pasti ingin mendekati air tanpa mempertimbangkan keselamatan. Sebuah tindakan bodoh. Atau mungkinkah karena ketololannya itulah maka riwayat sang pemilik telah berakhir di tepi sungai ini sehingga ladangnya sekarang tak bertuan? Tapi ada hal lain, yaitu siapa pun pemilik tersebut terutama jika ia masih hidup maka ia pasti tak sanggup memelihara ladang ini karena hama perompak tanaman juga luar biasa di sini. Kawanan kera sampai mencapai lima kelompok, saling berebutan lahan dengan serakah. Belum lagi tupai, lutung, babi hutan, musang, luak, dan tikus pengerat, hewan- hewan ini sudah keterlaluan. Kami berjingkat-jingkat tangkas di atas akar-akar bakau yang cembung berselang-seling. Akar-akar ini seperti menopang pohonnya yang rendah. Tak kami temukan Flo tersangkut di bawah akar-akar itu, satu lagi konfirmasi penipuan Tuk Bayan Tula. Setelah yakin Flo tak ada di bawah akar bakau, kami pelan-pelan mendekati ladang. Semakin dekat ke lokasi ladang kami dapat melihat dengan jelas sebuah gubuk beratap daun nipah. Lalu ada suatu pemandangan yang agak menarik, yaitu salah satu dahan pohon jambu mawar yang berdaun amat lebat bergoyang-goyang hebat seperti ingin 244 Laskar Pelangi
dirubuhkan. Jambu mawar itu tumbuh persis di samping gubuk. Pastilah itu ulah lutung besar yang sepanjang waktu selalu lapar. Kami mendekati pohon jambu mawar itu dengan waspada. Kami menyusun semacam strategi penyergapan untuk memberi pelajaran pada lutung rakus itu. Kami mengendap- endap seperti pasukan katak baru keluar dari rawa untuk merebut sebuah gudang senjata. Di ladang telantar ini tumbuh subur ilalang setinggi dada dan pohon-pohon singkong yang sudah centang perenang dirampok hewan-hewan liar. Buah-buah sawo yang masih muda, putik-putik jambu bol, dan buah kuini muda juga berserakan di tanah karena dijarah secara sembrono oleh hama hewan-hewan itu. Bahkan buah-buahan ini tak sempat masak. Binatang-binatang tak tahu diri! Lutung besar yang sedang berpesta pora di dahan jambu mawar itu tak menyadari kehadiran kami. Ia semakin menjadi-jadi, mengguncang-guncang dahan jambu itu hingga daun dan bakal buahnya berjatuhan, kurang ajar sekali. Kami semakin dekat dan berjinjit- jinjit tak menimbulkan suara. Kami ingin menangkapnya basah sehingga ia semaput ketakutan, inilah hiburan kecil di tengah ketegangan menyelamatkan nyawa manusia. Setelah tiba saatnya kami bersama-sama menghitung hingga tiga dan melompat serentak, menghambur ke bawah dahan itu sambil bertepuk tangan dan berteriak sekeras-kerasnya untuk mengejutkan sang lutung. Tapi tak sedikit pun diduga situasi berbalik seratus delapan puluh derajat, karena sebaliknya, ketika kami menyerbu justru kami yang terkejut setengah mati tak alang kepalang, rasanya ingin terkencing-kencing. Kami tak percaya dengan penglihatan kami dan terkaget-kaget hebat karena persis di atas kami, di sela- sela dedaunan yang sangat rimbun, bertengger santai seekor kera besar putih yang tampak riang gembira menunggangi sebatang dahan seperti anak kecil kegirangan main kuda-kudaan, wajahnya seperti baru saja bangun tidur dan belum sempat cuci muka. Ia tertawa terbahak-bahak sampai keluar air matanya melihat wajah kami yang terbengong- bengong pucat pasi. Flo yang berandal telah ditemukan! ********* 245 Laskar Pelangi
BAB 25 Rencana B AKU terengah-engah basah kuyup. Syahdan memandangi aku dengan prihatin. Kami saling berpandangan lalu tertawa. Tawaku semakin keras seiring tangis di dalam hati tentu saja. Tangis karena mendapati diri sampai sakit karena dera putus cinta. Mahar telah habis—habisan menjadikanku kelinci percobaan. “Anak-anak jin yang tersinggung?” Ke mana perginya akal sehatnya? Dia patut mendapat nomor 7 dalam teori gila versi ibuku. Tapi aku tahu dia sesungguhnya bermaksud baik. Setelah Mahar, A Kiong dan daun-daun beluntasnya pergi tanpa pamit lalu datang Bu Mus dan teman-teman sekolahku yang lain. Syahdan mengadukan kelakuan Mahar, tapi Bu Mus menunjukkan wajah tak peduli. Beliau sudah cukup lama dibuat pusing oleh Mahar dan tak berminat menambah beban berat hidupnya dengan memikirkan dukun palsu itu. Beliau mengeluarkan pil ajaib APC. Besoknya aku sudah bisa berangkat ke sekolah dan aku tahu persis yang menyembuhkanku adalah pil APC. Begitu melihatku memasuki kelas A Kiong Iangsung menyalami Mahar. Mahar menaikkan alisnya, mengangkat bahunya, dan mengangguk-angguk seperti burung penguin selesai kawin. 246 Laskar Pelangi
Itulah gerakan khas Mahar yang sangat menyebalkan. “Apa kubilang!” barangkali itulah maknanya. Mahar mengelus-elus koper bututnya dan A Kiong semakin fanatik padanya. Mereka berdua tenggelam dalam kesesatan memersepsikan diri sendiri. Rupanya fisikku memang telah sembuh tapi hatiku tidak, Pulang dari sekolah aku kembali disergap perasaan sedih. Tak mudah melupakan A Ling. Dadaku kosong karena kehilangan sekaligus sesak karena rindu. Aku terbaring kuyu di atas dipan memandangi diary dan buku Herriot kenang-kenangan darinya. Untuk mengalihkan kesedihan aku mengambil buku Seandainya Mereka Bisa Bicara itu dan dengan malas aku berusaha membacanya. Sudah kuniatkan dalam hati bahwa jika buku itu membosankan maka setelah halaman pertama ia akan langsung kutangkupkan di wajahku karena aku ingin tidur. Lalu kata demi kata berlalu. Setelah itu kalimat demi kalimat dan dilanjutkan dengan paragraf demi paragraf. Aku tak berhenti membaca dan beberapa kali membaca paragraf yang sama berulang-ulang. Tanpa kusadari dalam waktu singkat aku telah berada di halaman 10 tanpa sedikit pun sanggup menggeser posisi tidurku. Seluruh perasaan gundah, putus asa, dan air mata rindu yang tadi sudah menggenang di pelupuk mataku diisap habis oleh lembar demi lembar buku itu. Buku ajaib itu bercerita tentang perjuangan seorang dokter hewan muda di zaman susah tahun 30an. Dokter muda itu, Herriot sendiri, bekerja nun jauh di sebuah desa tenpercil di bagian antah berantah di Inggris sana. Desa kecil itu bernama Edensor. Mulutku ternganga dan aku menahan napas ketika Herriot menggambarkan keindahan Edensor: “Lereng-lereng bukit yang tak teratur tampak seperti berjatuhan, puncaknya seperti berguling- guling tertelan oleh langit sebelah barat, yang bentuknya seperti pita kuning dan merah tua… Pegunungan tinggi yang tak berbentuk itu mulai terurai menjadi bukit-bukit hijau dan lembah-lembah luas. Di dasar lembah tampak sungai yang berliku-liku di antara pepohonan. Rumah-rumah petani 247 Laskar Pelangi
yang terbuat dan batu-batu yang kukuh dan berwarna kelabu tampak seperti pulau di tengah ladang yang diusahakan. Ladang itu terbentang ke atas seperti tanjung yang hijau cerah di atas lereng bukit.. Aku sampai di taman bunga mawar, kemudian ke taman asparagus, yang tumbuh jadi pohon yang tinggi. Lebih jauh ada pohon arbei dan tumbuhan frambos. Pohon buah terdapat di mana- mana. Buah persik, buah pir, buah ceri, buah prem, bergantungan di atas tembok selatan, berebut tempat dengan bunga-bunga mawar yang tumbuh liar.” Aku terkesima pada desa kecil Edenson. Aku segera menyadani bahwa ada keindahan lain yang memukau di dunia ini selain cinta, Herriot menggambarkan Edensor dengan begitu indah dan memengaruhiku sehingga ketika ia bercerita tentang jalan-jalan kecil beralaskan batu-batu bulat di luar rumah praktiknya rasanya aku dapat mencium harum bunga daffodil dan astuaria yang menjalar di sepanjang pagar peternakan di jalan itu. Ketika ia bercerita tentang padang sabana yang terhampar di Bukit Derbyshire yang mengelilingi Edensor rasanya aku terbaring mengistirahatkan hatiku yang lelah dan wajahku menjadi dingin ditiup angin dan desa tenang dan cantik itu. Aku telah jatuh hati dengan Edensor dan menemukannya sebagai sebuah tempat dalam khayalanku setiap kali aku ingin Lari dan kesedihan. Sebaliknya aku semakin mencintai A Ling. Ia dengan bijak telah mengganti kehadirannya dengan kehadiran Edensor yang mampu melipur laraku. A Ling meninggalkan buku Herriot untukku tentu karena sebuah alasan yang jelas. Selanjutnya, aku membaca buku Herniot berulang-ulang sehingga hampir hafal. Ke mana pun aku pergi buku itu selalu kubawa dalam tas sandang bututku. Buku itu adalah representasi A Ling dan pengobat jiwaku. Jika aku merasa risau dan sedih maka aku segera mengalihkan pikiranku dengan membayangkan aku sedang duduk di bangku rendah di tengah taman anggur di Edensor. Kumbang-kumbang berdengung riuh rendah, mataku menatap lembut Pegunungan Pennines yang biru di Derbyshire dan angin Lembah yang sejuk mengembus wajahku, menguapkan semua kepedihan, resah, dan kesulitan hidupku di sudut kampung kumuh panas di Belitong ini. Aneh memang, jika Trapani 248 Laskar Pelangi
seluruh hidupnya seolah dipengaruhi oleh lagu Wajib Blajar maka kini seluruh hidupku terinspirasi oleh buku Seandainya Mereka Bisa Bicara, terutama oleh Desa Edensor yang ada di buku itu. Jika beban hidup demikian memuncak rasanya aku ingin sekali berada di Edensor, Punguk merindukan bulan tentu saja. Mana mungkin anak Melayu miskin nun di Pulau Belitong sana mengangankan berada di sebuah tempat di Inggris. Bermimpi pun tak pantas. Sebaliknya, karena Edensor aku segera merasa pulih jiwa dan raga. Edensor memberiku alternatif guna memecah penghalang mental agar tak stres berkepanjangan karena terus-terusan terpaku pada perasaan patah hati. A Ling telah memberi racun cinta sekaligus penawarnya. Aku mulai tegar meskipun tak ‘kan ada lagi Michele Yeoh. Aku siap menyesuaikan diri dengan kenyataan baru. Aku sudah ikhlas meninggalkan cetak biru kehidupan indah asmara pertamaku yang bertaburan wangi bunga dalam ritual rutin pembelian kapur tulis. Inilah asyiknya menjadi anak kecil. Patah hati karena cinta yang telah berlangsung sekian tahun lima tahun! bisa pulih dalam waktu tiga hari dan disembuhkan oleh sebuah desa bernama Edensor di tempat antah berantah di Inggris sana dan hanya diceritakan melalui sebuah buku, ajaib. Sedangkan orang dewasa bisa-bisa memerlukan waktu tiga tahun untuk mengobati frustrasi karena hancurnya cinta platonik tiga minggu. Apakah semakin dewasa manusia cenderung menjadi semakin tidak positif? Aku belajar berjiwa besar, berusaha memahami esensi konsep virtual dan fisik dalam hubungan emosional. Bukankah jika mencintai seseorang kita harus membiarkan ia bebas? Apabila hal semacam ini dialami oleh seorang dewasa mungkin ia tak mau lagi melihat kapur tulis seumur hidupnya. Kini aku akan mengenang A Ling sebagai bagian terindah dalam hidupku. Aku tetap rajin, dengan naluri cinta yang sama, dengan semangat yang sama, berangkat dengan Syahdan setiap Senin pagi untuk membeli kapur, meskipun sekarang aku disambut oleh sebilah tangan beruang dan kuku-k uku burung nazar pemakan bangkai. 249 Laskar Pelangi
Setiap membeli kapur aku tetap mengikuti prosedur yang sama dan menikmati kronologi perasaanku di tengah kepengapan Toko Sinar Harapan. Aku menyimulasikan urutan-urutan sensasi keindahan cinta pertama seolah A Ling masih menungguku di balik tirai-tirai rapat yang terbuat dan keong-keong kecil itu. Sering kali sekarang aku bertanya pada diri sendiri: berapakah jumlah pasangan yang telah mengalami cinta pertama, lalu hanya memiliki satu cinta itu dalam hidupnya, menikah, dan kemudian hanya terpisahkan karena Tuhan memanggil salah satu dan mereka? Sedikit sekali! Atau malah mungkin tidak ada! Sepertinya kedua jawaban tersebut bisa menjadi hipotesis yang meyakinkan untuk pertanyaan dangkal semacam itu. Karena itulah yang umumnya terjadi dalam dunia nyata. Maka aku memiliki pandangan sendiri mengenai perkara cinta pertama i, yaitu cinta pertama memang tak ‘kan pernah mati, tapi ia juga tak ‘kan pernah survive. Selain itu aku telah menarik pelajaran moral nomor enam dan pengalaman cinta pertamaku yaitu: jika Anda memiliki kesempatan mendapatkan cinta pertama di sebuah toko kelontong, meskipun toko itu bobrok dan bau tengik, maka rebutlah cepat-cepat kesempatan itu, karena cinta pertama semacam itu bisa menjadi demikian indah tak terperikan! Aku melihat ke belakang, membuat evaluasi kemajuan hidupku, dan bersyukur telah mengenal A Ling. Jika berpikir positif, ternyata mengenal seseorang secara emosional memberikan akses pada sebuah bank data kepribadian tempat kita dapat belajar banyak hal baru. Hal-hal baru itu bagiku pada intinya satu: wanita adalah makhluk yang tak mudah diduga. Maka banyak orang berpikir keras mengurai sifat-sifat rahasia wanita, Paul I. Wellman misalnya dengan tesis Dewi Aphroditenya. Ia menggambarkan wanita sebagai makhluk yang di dalam dirinya berkecamuk pertentangan - pertentangan, mengandung pergolakan abadi, sopan tapi berlagak, sentimental sekaligus bengis, beradab namun ganas. Bagiku, aku masih tak mengerti wanita, namun sepertinya ada semacam komposisi kimiawi tertentu di dalam tubuh mereka yang menyebabkan lelaki dengan komposisi kimiawi tertentu pula merasa betah di dekatnya. Maka cinta adalah reaksi kimia sehingga 250 Laskar Pelangi
keanehan dapat terjadi, se-orang pangeran tampan kaya raya bisa saja ditolak oleh se-orang gadis penjaga pintu tol, dan seorang wanita public relation officer di sebuah BUMN yang sangat luas pergaulannya bisa saja tergila-gila setengah mati dengan seorang laki-laki penyendiri yang eksentrik. Itulah wanita, maka siapa pun ia, seorang dewi agung dalam mitologi Vunani atau sekadar seorang penjaga toko kelontong bobrok di Belitong, masing-masing menyimpan rahasia untuk dirinya sendiri, rahasia yang tak ‘kan pernah diketahui siapa pun. Wanita seperti apakah A Ling? Inilah yang paling menarik dan kisah cinta monyet in Setelah berpisah dengannya, aku baru mengerti tipe semacam ini. Ia bukanlah pribadi mekanis yang mengungkapkan perasaan secara eksplisit. Ia memiliki pendirian yang kuat dan amat percaya diri. Ia model wanita yang memegang pertanggung jawaban pada setiap gabungan huruf-huruf yang meluncur dan mulutnya. Dan ini menimbulkan respek karena aku tahu banyak orang harus berulang-ulang meyakinkan dirinya sendiri dan pasangannya dengan kata-kata basi berbusa-busa, bahwa mereka masih saling mencintai, sungguh mengibakan! A Ling tak ingin menghabiskan waktu berurusan dengan pola respons aksi reaksi cinta picisan yang klise, retoris, dan membosankan. Aku belajar berjiwa besar atas seluruh kejadian dengan A Ling. Sekarang aku memiliki cinta yang baru dalam tas bututku: Edensor, Sudah selama 115 jam, 37 menit, 12 detik aku kehilangan A Ling dan saat ini kuputuskan untuk berhenti mengiba-iba mengenang cinta pertama itu. Akhirnya, aku mampu melangkah menyeberangi garis ujian tabiat mengasihani diri dan sekarang aku berada di wilayah positif dalam menilai pengalamanku. Aku mulai bangkit untuk menata diri, Aku mempelajari metode-metode ilmiah modern agar dapat bangkit dan keterpunukan. Aku rajin membaca berbagai buku kiat-kiat sukses, pergaulan yang efektif, cara cepat menjadi kaya, langkah- langkah menjadi pribadi magnetik, dan bunga rampai manajemen pengembangan pribadi. Aku berhenti membuat nencana-rencana yang tidak realistis. 251 Laskar Pelangi
Filosofi just do it, itulah prinsipku sekanang, lagi pula bukankah John Lennon mengatakan life is what happens to us while we are busy making plans! Sesuai saran buku-buku psikologi praktis yang mutakhir itu aku mulai menginventanisasi bidang minat, bakat, dan kemampuanku. Dan aku tak pernah ragu akan jawabannya yaitu: aku paling piawai bermain bulu tangkis dan aku punya minat sangat besar dalam bidang tulis-menulis. Kesimpulan itu kuperoleh karena aku selalu menjadi juara pertama pertandingan bulu tangkis kelurahan U 19 dan pialanya berderet-deret di numahku. Piala itu demikian banyak sampai ada yang dipakai ibuku untuk pemberat tumpukan cucian, ganjal pintu, dan penahan dinding kandang ayam. Ada juga piala yang dipakai menjadi semacam palu untuk memecahkan buah kemiri, dan sebuah piala berbentuk panjang bergerigi dan pertandingan terakhir sering dimanfaatkan ayahku untuk menggaruk punggungnya yang gatal. Lawan-lawanku selalu kukalahkan dengan skor di bawah setengah. Kasihan mereka, meskipun telah berlatih mati-matian berbulan-bulan dan setiap pagi makan telur setengah masak dicampur jadam dan madu pahit, tapi mereka selalu tak berkutik di depanku. Kadang-kadang aku beraksi dengan melakukan drop shot sambil salto dua kali atau menangkis sebuah smash sambil koprol. Jika aku sedang ingin, aku juga biasa melakukan semacam pukulan straight dan celah-celah kedua selangkangku dengan posisi membelakangi lawan, tak jarang aku melakukan itu dengan tangan kin! Lawan yang tak kuat mentalnya melihat ulahku akan emosi dan jika ia terpancing marah maka pada detik itulah ia telah kalah. Para penonton bergemuruh melihat hiburan di lapangan bulu tangkis. Jika aku bertanding maka pasar menjadi sepi, warung-warung kopi tutup, sekolah-sekolah memulangkan murid-muridnya Iebih awal, dan kuli-kuli PN membolos. “Si kancil keriting”, demikianlah mereka menjulukiku. Lapangan bulu tangkis di samping kantor desa membludak. Mereka yang tak kebagian tempat berdiri di pinggir lapangan sampai naik ke pohon-pohon kelapa di sekitarnya. Kukira semua fakta itu Iebih dan cukup bagiku untuk menyebut 252 Laskar Pelangi
bulu tangkis sebagai potensi seperti dinyatakan dalam buku-buku pengembangan diri itu, Dan minat besar Iainnya adalah menulis. Tapi memang tak banyak bukti yang mengonfirmasi potensiku di bidang in kecuali komentar A Kiong bahwa surat dan puisiku untuk A Ling sering membuatnya tertawa geli. Tak tahu apa artinya, bagus atau sebaliknya. Maka aku mulai mengonsentrasikan diri untuk mengasah kemampuan kedua bidang in Seperti juga disarankan oleh buku-buku ilmiah itu maka aku membuat program yang jelas, terfokus, dan memantau dengan teliti kemajuanku. Buku itu juga menyarankan agar setiap individu membuat semacam rencana A dan rencana B. Rencana A adalah mengerahkan segenap sumber daya untuk mengembangkan minat dan kemampuan pada kemampuan utama atau dalam bahasa bukunya core competency, dalam kasusku berarti bulu tangkis dan menulis. Setelah tahap pengembangan itu selesai lalu bergerak pelan tapi pasti menuju tahap profesionalisme dan tahapaktualisasi diri, yaitu muncul menggebrak secara memesona di hadapan publik sebagai yang terbaik. Kemudian akhir dan semua usaha sistematis ilmiah dan terencana itu adalah mendapat pengakuan kejayaan prestasi, menjadi orang tenar atau selebriti, hidup tenang, sehat walafiat, bahagia, dan kaya raya. Sebuah rencana yang sangat indah. Setiap kali membaca rencana Aku aku mengalami kesulitan untuk tidur. Demikianlah, rencana A sesungguhnya adalah apa yang orang sebut sebagai kata-kata ajaib mandraguna: cita-cita. Dan aku senang sekali memiliki cita-cita atau arah masa depan yang sangat jelas, yaitu: menjadi pemain bulu tangkis yang berprestasi dan menjadi penulis berbobot. Jika mungkin sekaligus kedua-duanya, jika tidak mungkin salah satunya saja, dan jika tidak tercapai keduaduanya, jadi apa saja asal jangan jadi pegawai PoS. Cita-cita ini adalah kutub magnet yang menggerakkan jarum kompas di dalam kepalaku dan membimbing hidupku secara meyakinkan. Setelah selesai merumuskan masa depanku itu sejenak aku merasa menjadi manusia yang agak berguna. 253 Laskar Pelangi
***** Jika aku menengok sahabat sekelasku mereka juga ternyata memiliki cita-cita yang istimewa. Sahara misalnya, ia ingin mejadi pejuang hak-hak asasi wanita. Dia mendapat inspirasi cita-citanya itu dan penindasan luar biasa terhadap wanita yang dilihatnya di film-film India. A Kiong ingin menjadi kapten kapal, mungkin karena ia senang berpergian atau mungkin tUpi kapten kapal yang besar dapat menutupi sebagian kepala kalengnya itu, Kucai menyadari bahwa dirinya memiliki sedikit banyak kualitas sebagai seorang politisi yaitu bermulut besar, berotak tumpul, pendebat yang kompulsif, populis, sedikit licik, dan tak tahu malu, maka cita-citanya sangat jelas: ia ingin jadi seorang wakil rakyat, anggota dewan. Tak ada angin tak ada hujan, tanpa ragu dan malu-malu, Syahdan ingin menjadi aktor. Tak sedikit pun tidak menunjukkan kapasitas atau bakat akting, bahkan dalam pertunjukan teater kelas kami Syahdan tidak bisa memba-wakan peran apa pun yang mengandung dialog karena ia selalu membuat kesalahan, Karena itu Mahar memberinya peran sederhana sebagai tukang kipas putri raja yang selama pertunjukan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tugasnya hanya mengipas-ngipasi sang putri dengan benda semacam ekor burung merak, itu pun masih sering tak becus ia lakukan. Semua orang menyarankan agar Syahdan meninjau kembali cita-citanya tapi ia bergeming. Ia tak peduli dengan segala cemoohan, ia ingin menjadi aktor, tak bisa diganggu gugat. “Cita-cita adalah doa, Dan,” begitulah nasihat bijak dan Sahara. “Kalautuhan mengabulkan doamu, dapatkah kaubayangkan apa jadinya dunia perfilman Indonesia” Sedangkan Mahar sendiri mengaku bahwa ia mampu menerawang masa depannya. Dan dalam terawangannya itu ia dengan yakin mengatakan bahwa setelah dewasa ia akan menjadi seorang sutradara sekaligus seorang penasihat spiritual dan hypnotherapist ternama. Cita-cita yang paling sederhana adalah milik Samson. Ia memang sangat pesimis dan hanya ingin menjadi tukang sobek karcis sekaligus sekuriti di 254 Laskar Pelangi
Bioskop Kicong karena ia bisa dengan gratis menonton film. Ia memang hobi menonton film. Selain itu profesi tersebut dapat memelihara citra machonya. Adapun Trapani yang baik dan tampan ingin menjadi guru. Ketika kami tanyakan kepada Harun apa cita- citanya ia menjawab kalau besar nanti ia ingin menjadi Trapani. Semua ini gara-gara Lintang. Kalautak ada Lintang mungkin kami tak ‘kan berani bercita-cita. Yang ada di kepala kami, dan di kepala setiapanak kampung di Belitong adalah jika selesai sekolah lanjutan pertama atau menengah atas kami akan mendaftar menjadi tenaga langkong (calon karyawan rendahan di PN Timah) dan akan bekerja bertahun-tahun sebagai buruh tambang lalu pensiun sebagai kuli. Namun, Lintang memperlihatkan sebuah kemampuan luar biasa yang menyihir kepercayaan diri kami. Ia membuka wawasan kami untuk melihat kemungkinan menjadi orang lain meskipun kami dipenuhi keterbatasan. Lintang sendiri bercita-cita menjadi seorang matematikawan. Jika ini tercapai ia akan menjadi orang Melayu pertama yang menjadi matematikawan, indah sekali. Pribadi yang positif, menurut buku, tidak boleh hanya memiliki satu rencana, tapi harus memiliki rencana alternatif yang disebut dengan istilah yang sangat susah diucapkan, yaitu contingency plan! Rencana alternatif itu disebut juga rencana B. Rencana B tentu saja dibuat jika rencana A gagal. Prosedurnya sederhana yakni: lupakan, tinggalkan, dan buang jauh-jauh rencana A dan mulailah mencari minat dan kemampuan baru, setelah ditemukan maka ikuti lagi prosedur seperti rencana A. Inilah buku resep kehidupan yang bukan main hebatnya hasil karya para pakar psikologi praktis yang bersekongkol dengan para praktisi sumber daya manusia dan penerbit buku tentu saja. Seorang pribadi yang efektif dan efisien harus sudah memiliki rencana A dan rencana B sebelum ia keluar dan pekarangan rumahnya. Tapi aku tak tahan membayangkan rencana B dalam hidupku karena selain bulu tangkis dan menulis aku tak punya kemampuan lain. Sebenarnya ada tapi sungguh tak bisa dipertanggungjawabkan, yaitu kemampuan mengkhayal dan bermimpi, aku agak malu mengakui in Aku tak punya kecerdasan 255 Laskar Pelangi
seperti Lintang dan tak punya bakat seni seperti Mahar. Aku berpikir keras untuk memformulasikan rencana B. Namun sangat berun- tung, setelah berminggu-minggu melakukan perenungan akhir-nya tanpa disengaja aku mendapat inspirasi untuk me-rumuskan sebuah rencana B yang hebat luar biasa. Rencana B ku ini sangat istimewa karena aku tidak perlu meninggalkan rencana A. Para pakar sendiri mungkin belum pernah berpikir sejauh ini. Rencana B-ku sifatnya menggabungkan minat dan kemampuan yang ada pada rencana A. Tntinya jika aku gagal meniti karier di bidang bulu tangkis dan tak berhasil sebagai penulis sehingga semua penerbit hanya sudi menerima tulisanku untuk dijual menjadi kertas kiloan, maka aku akan menempuh rencana B yaitu: aku akan menulis tentang bulu tangkis! Aku menghabiskan sekian banyak waktu untuk membuat rencana B ini agar sebaik rencana A, yaitu sampai tahap-tahap yang paling teknis dan operasional. Oleh karena itu, aku telah punya ancang-ancang judul bukuku, seluruhnya ada tiga yaitu TATA CARA BERMAIN BULU TANGKIS, FAEDAH BULU TANGKIS, atau BULU TANGKIS UNTUK PERGAULAN. Rencana B ini kuanggap sangat rasional karena aku telah melihat bagaimana pengaruh bulu tangkis pada orang-orang Melayu pedalaman. Jika musim Thomas Cup atau All England maka di kampung kami bulu tangkis bukan hanya sekadar olahraga tapi ia menjadi semacam budaya, semacam jalan hidup, seperti sepak bola bagi rakyat Brasil. Pada musim itu ilalang tanah-tanah kosong dibabat, pohon-pohon pinang ditumbangkan untuk dibelah dan dijadikan garis lapangan bulu tangkis, dan gengsi kampung dipertaruhkan habis-habisan dalam pertandingan antar dusun. Jika malam tiba kampung menjelma menjadi semarak karena lampu petromaks menerangi arena-arena bulu tangkis dan teriakan para penonton yang gegap gempita. Di sisi lain aku percaya bahwa ratusan kaum pria yang tergila-gila pada bulu tangkis lalu pulang ke rumah kelelahan akan mengalihkan mereka dan rutinas malam sehingga dapat menekan angka kelahiran anak-anak Melayu. Sungguh besar manfaat bulu tangkis bagi kampung kami yang minim hiburan. Fenomena ini meyakinkanku bahwa tulisanku tentang bulu tangkis akan mencapai suatu kedalaman dan kategori 256 Laskar Pelangi
yang disebut para sastrawan pintar zaman sekarang sebagai buku dalam genre humaniora! Buku itu akan ditulis setelah melalui riset yang serius dan melibatkan studi literatur serta wawancara yang luas. Jika beruntung aku akan mengusahakan agar mendapat semacam kata pengantar sekapur sirih dan Ferry Sonneville dan dengan sedikit kerja sama dengan penerbit aku sudah mengkhayalkan akan mendapat banyak komentar berisi pujian dan para pakar di sampul belakang buku itu. Misalnya Liem Swie King, ia akan berkomentar, “ini adalah sebuah buku yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan kepercayaan diri, membangun network, dan menambah kawan.” Komentar Lius Pongoh agak lebih singkat: “Sebuah buku yang memberi pencerahan.” Seorang birokrat dan komite olah raga menyumbangkan pujian yang filosofis: “Belum pernah ada buku olahraga ditulis seperti ini, penulisnya sangat memahami makna men sane incorpore sano.” Demikian pula pujian seorang seksolog yang gemar bermain bulu tangkis: “Buku wajib bagi Anda yang memiliki kelebihan berat badan dan kesulitan membina hubungan.” Rudy Hartono memuji habis-habisan: “Sebuah buku yang menggetarkan!” Sedangkan komentar dan Ivana Lie adalah: “Membaca buku ini rasanya aku ingin memeluk penulisnya.” ****** 257 Laskar Pelangi
BAB 26 I Be There or Be Damned’ “APAKAH Ananda sudah memiliki rencana A dan rencana B?” Itulah pertanyaan pertama Bu Mus kepada Mahar sekaligus awal pidato panjang untuk menasihati tindakannya yang sudah keterlaluan. Ia sudah berbelok ke jalan gelap dunia hitam, ia harus segera disadarkan. Pelajaran praktik olahraga yang sangat kami sukai dibatalkan. Semuanya harus masuk kelas dalam rangka menghakimi Mahar dan mengembali- kannya ke jalan yang lurus. Layar pun turun, rol-rol film drama diputar. Mahar menunduk. Ia pemuda yang tampan, pintar, berseni, tapi keras pendiriannya. “Ibunda, masa depan milik Tuhan ....“ Aku melihat cobaan yang dihadapi seorang guru. Wajah Bu Mus redup. Seorang sahabat pernah mengatakan bahwa guru yang pertama kali membuka mata kita akan huruf dan angka-angka sehingga kita pandai membaca dan menghitung tak ‘kan putus- putus pahalanya hingga akhir hayatnya. Aku setuju dengan pendapat itu, Dan tak hanya itu yang dilakukan seorang guru. Ia juga membuka hati kita yang gelap gulita. 258 Laskar Pelangi
“Artinya Ananda tidak punya sebuah rencana yang positif, tak pernah lagi mau membaca buku dan mengerjakan PR karena menghabiskan waktu untuk kegiatan perdukunan yang membelakangi ayat-ayat Allah.’ Bu Mus mulai terdengar seperti warta berita RRI pukul 7. Lintasan berita: “Nilai-nilai ulanganmu merosot tajam. Kita akan segera menghadapi ulangan caturwulan ke tiga, setelah itu caturwulan terakhir menghadapi Ebtanas. Nilaimu bahkan tak memenuhi syarat untuk melalui caturwulan tiga ini. .Jika nanti ujian antaramu masih seperti i, Ibunda tidak akan mengizinkanmu ikut kelas caturwulan terakhir. Itu artinya kamu tidak boleh ikut Ebtanas.” Ini mulai serius, Mahar tertunduk makin dalam. Kami diam mendengarkan dan khotbah berlanjut. Berita utama: “Hiduplah hanya dan ajaran AlQur’an, hadist, dan sunatullah, itulah pokok- pokok tuntunan Muhammadiyah. mnsya Allah nanti setelah besar engkau akan dilimpahi rezeki yang halal dan pendamping hidup yang sakinah.” Disambung berita penting: “Klenik, ilmu gaib, takhayul, paranormal, semuanya sangat dekat dengan pemberhalaan. Syirik adalah larangan tertinggi dalam Islam. Ke mana semua kebajikan dan pelajaran aqidah setiap Selasa? Ke mana semua hikmah dan pengalaman jahiliah masa lampau dalam pelajaran tarikh Islam? Ke mana etika ke-Muhammadiyahan?” Suasana kelas menjadi tegang. Kami harap Mahar segera minta maaf dan menyatakan pertobatan tapi sungguh sial, ia malah menjawab dengan nada bantahan. “Aku mencari hikmah dan dunia gelap Ibunda dan penasaran karena keingintahuan. Tuhan akan memberiku pendamping dengan cara yang misterius Kurang ajar betul, Bu Mus bersusah payah menahan emosinya. Aku tahu beliau sebenarnya ingin langsung me-labrak Mahar. Air mukanya yang sabar menjadi merah. Beliau segera keluar ruangan menenangkan dirinya. Kami serentak menatap Mahar dengan tajam. Alis Sahara bertemu, tatapan matanya kejam sekali. “Minta maaf sana! Tak tahu diuntung!” hardik Sahara. Kucai 259 Laskar Pelangi
selaku ketua kelas ambil bagian, suaranya menggelegar, “Melawan guru sama hukumnya dengan melawan orangtua, durhaka! Siksa dunia yang segera kauterima adalah burut! Pangkal pahamu akan membesar seperti timun sun hingga langkahmu ngangkang!” Keras sekali Kucai menghardik Mahar tapi yang dipelototinya Harun. Wajah Mahar aneh. Ia seperti sangat menyesal dan merasa bersalah tapi di sisi lain tampak yakin bahwa ia sedang mempertahankan sebuah argumen yang benar, menurut versinya sendiri tentu saja. Persis ketika kami ingin memprotes Mahar secara besar-besaran tiba-tiba Bu Mus masuk lagi ke dalam ruangan dan menyemprotkan pokok berita, “Camkan ini anak muda, tidak ada hikmah apa pun dan kemusynikan, yang akan kau dapat dan praktik-praktik klenik itu adalah kesesatan yang semakin lama semakin dalam karena sifat syirik yang berlapis-lapis. Iblis mengipas- ngipasimu setiap kali kaukipasi bara api kemenyan-kemenyan itu.” Mahar mengerut. Ia tampak sangat bersalah telah membuat ibunda gurunya muntab. Bu Mus ternyata bisa juga emosi dan tak berhenti sampai di situ, “Sekarang kau harus mengambil sikap karena belum selesai ultimatum itu tiba-tiba terdengar assalamu’alaikum. Bu Mus menjawab dan mempersilakan masuk kepala sekolah kami, seorang bapak berwajah penting, dan seorang anak perempuan tapi seperti laki-laki. Anak perempuan ini berpostur tinggi, dadanya rata, pantatnya juga rata, Ia seperti sekeping papan Sepatunya bot Wrangler navigator yang mahal dan itu adalah sepatu laki-laki. Kaus kakinya lucu, berwarna-warni meriah berlapis- lapis seperti sarang lebah dan menutupi tempurung lutut. Ia jelas bukan orang Muhammadiyah karena semua wanita Muhammadiyah berjilbab. Ia memakai rok besar dan bahan wol bermotif kotak-kotak besar merah seperti kilt orang-orang Skotlandia. Kilt itu menutupi ujung atas kaus kakinya tadi sehingga tak ada sedikit pun celah kulit kakinya yang terbuka. Rambutnya pendek, kulitnya putih bersih sangat halus, dan wajahnya cantik. Secara umum ia tampak seperti seorang pemuda Skotlandia yang imut. Bapak berwajah orang penting tadi berusaha tersenyum ramah. “ini anak saya, Flo,” katanya pelan-pelan. 260 Laskar Pelangi
“Dia sudah tidak ingin lagi sekolah di sekolah PN dan sudah membolos dua minggu. Dia bersikeras hanya ingin sekolah di sini.” Orang penting ini menggaruk-garuk kepalanya. Setiap kata- katanya adalah batu berat puluhan kilo yang ia seret satu per satu. Nada bicananya jelas sekali seperti orang yang sudah kehabisan akal mengatasi anaknya itu. Kami semua tenmasuk kepala sekolah tensipu menahan tawa, Bu Mus yang banu saja manah juga tensenyum. Sebuah senyum tenpaksa karena kami semua sudah tahu neputasi Flo. Beliau sudah pusing tujuh keliling menghadapi Mahan dan sekanang hanus ditambah lagi satu anak setengah laki- laki setengah penempuan yang sudah pasti tak bisa diatun! Hari ini adalah hari yang sial dalam hidup Bu Mus. Flo sendini acuh tak acuh, ia tak tensenyum dan hanya menatap bapaknya. Anak cantik ini benkanakten tegas, pasti, tahu pensis apa yang ia inginkan, dan tak pennah nagu-nagu, sebuah gambanan sikap yang mengesankan. Bapak-nya juga menatapanaknya, suatu tatapan penuh kekalahan yang pedih. Lalu bapaknya melihat sekeliling nuangan kelas kami yang seperti nuang intenogasi tentana Jepang, tatapannya semakin pedih. Dengan pasnah ia menyampaikan ini. “Maka saya senahkan anak saya pada Ibu, jika ia menyulitkan, Bapak Kepala Sekolah sudah tahu di mana harus menemui saya. Menyesal harus saya sampaikan bahwa ia pasti akan menyulitkan.” Kami tertawa dan bapaknya tersenyum pahit. Flo masih cuek seolah semua kata-kata itu tak ada maknanya, laksana angin lewat saja. Kepala Sekolah dan orang penting itu mohon dir Kepala Sekolah kami tersenyum simpul sambil memandang Bu Mus penuh arti. Bu Mus memandangi Flo dan samping Mahar yang baru saja dimarahinya habis-habisan dan Flo yang berandal berdiri tegak di depan kelas seperti orang mengambil pose untuk peragaan kaus kaki Italia model terbaru. Meskipun seperti laki-laki tapi ia sesungguhnya gadis remaja yang menawan, dan kulitnya indah luar biasa. Di kelas ini ia laksana Winona Ryder yang diutus UNICEF untuk membesarkan hati para penderita lepra di sebuah kampung kumuh di Sudan. 261 Laskar Pelangi
Flo menyilangkan kakinya, bahunya yang kurus bidang mekar seperti memiliki bantalan di pundak-pundaknya. Ia sangat memesona. Semua mata menghunjam ke arahnya. Sebuah pemandangan yang tak biasa. Jika diamati dengan saksama, di balik kedua bola matanya yang gelap coklat seperti buah hamlam tersembunyi kebaikan yang sangat besar, Semuanya diam, Flo juga diam. Kami berharap Flo akan memecah kekakuan dengan memperkenalkan dirinya. Tapi ia tak melakukan itu dan Bu Mus juga tak memintanya mengenalkan diri karena dua alasan: Flo jelas tak senang dengan formalitas, kedua: siapa yang tak kenal Flo? Namanya melambung gara-gara hilang di Gunung Selumar tempo hari dan reputasinya semakin top karena baru-baru ini menjuarai pertarungan kick boxing. Ia meng KO hampir seluruh lawannya padahal ia satusatunya petarung wanita. Maka Bu Mus mengambil inisiatif sambil tersenyum bersahabat. “Baiklah, selamat datang di kelas kami, setelah ini pelajaran kemuhammadiyahan, silakan Ananda duduk di sana dengan Sahara” Sahara senang bukan main karena selama sembilan tahun hanya ia satu-satunya wanita di kelas kami. Selama ini ia duduk sendirian dan sekarang ia akan punya teman sesama jenis. Ia mengusap-usap kursi kosong di sampingnya dan menampilkan bahasa tubuh selamat datang. Tapi di luar dugaan ternyata Flo tak beranjak Wajahnya tak menunjukkan minat sama sekali. Dia membatu dan meman-dang jauh ke luar jendela. Kami bingung, lalu Flo kembali meman-dang kami dan kami terkejut ketika dengan pasti ia menun- juk Tarapani sambil bersabda: “Aku hanya ingin duduk di samping Mahar!” Luar biasa! Kalimat pertama yang meluncur dan mulut kecil makmurnya itu setelah baru saja beberapa menit menginjakkan kaki di sekolah Muhammadiyah adalah sebuah pembangkangan! Pembangkangan bukanlah hal yang biasa di perguruan kami. Kami tak pernah sekali pun dengan sengaja menyatakan pembangkangan, kami bahkan memanggil guru kami ibunda guru. Kami terperanjat, demikian pula Bu Mus. Air muka sabarnya menjadi keruh. Baru saja beliau memikirkan kemungkinan kerusakan etika Muhammadiyah 262 Laskar Pelangi
yang akan dibuat Mahar dan murid baru separuh pria ini, tiba-tiba sekarang dua ekor angin tornado ini ingin bersekutu. Berat sekali cobaan hidup Bu Mus. Wajah Bu Mus sembap. Flo menunjukkan wajah tak mau berkompromi dan Bu Mus sudah tahu bahwa percuma melawan dia, Lagi pula bagi Flo dirinya bukanlah wanita, maka ia tak mau duduk dengan Sahara. Di sisi lain ia menganggap Trapani harus mengalah karena ia adalah seorang wanita. Transeksual memang sering membingungkan. Trapani kebingungan karena dia sudah sembilan tahun terbiasa duduk sebangku dengan Mahar dan Bu Mus harus mengambil keputusan yang sulit. Beliau memberi isyarat pada Trapani agar lungsur. Flo menghambur ke kursi bekas Trapani di samping Mahar. Mahar serta-merta mengeluarkan tiga macam sikap khasnya yang menyebalkan: menaikkan alis, mengangkat bahu, dan mengangguk- angguk. Kami muak melihatnya tapi ia tampak senang bukan main. Seperti dugaannya, Tuhan telah memberinya pendamping secara misterius. Sebuah doa yang langsung dikabulkan di tempat. Bajingan kecil itu memang selalu beruntung. Sebaliknya, Trapani kehilangan teman sebangku dan ia sekarang harus duduk dengan Sahara yang temperamental. Sahara sendiri sangat tidak suka menerima Trapani. Ia mengaum, alisnya bertemu. Flo tampak kaku duduk di kelas kami dan seluruh ruangan itu sama sekali tidak merepresentasikan setiap jenis sandang yang dikenakannya. Kelas rombeng ini juga tak cocok dengan kulit putih dan raut mukanya yang penuh sinar kekayaan. Apa yang dicari anak kaya ini di sekolah miskin yang tak punya apa-apa? Mengapa ia ingin menukar gemerlap sekolah PN dengan sekolah gudang kopra? Buah khuldi di pekarangan siapa yang telah dimakannya sehingga dia terusir dan taman eden Gedong? Tidak, ia tidak dicampakkan oleh sekolah PN tapi ia sengaja ingin pindah ke sekolah Muhammadiyah atas kemauan sendiri, tanpa tekanan dan pihak mana pun dan dalam keadaan sehat walafiat jasmani dan rohani, hanya pikirannya saja yang sedikit kacau. ********* Laskar Pelangi 263
Pada hari-hari pertama kami terkagum-kagum dengan berbagai perlengkapan sekolahnya yang menurut ia biasa saja. Ia memiliki enam macam tas yang dipakai berbeda-beda setiap hari. Tas hari Jumat paling menarik karena ber-umbai-rumbai seperti tas Indian. Ia juga memiliki banyak kotak. Kotak khusus untuk beragam penggaris: ada penggaris busur, penggaris segitiga, penggaris siku, dan beragam ukuran penggaris segi empat. Kotak lainnya berisi jangka- jangka kecil, berbagai jenis pensil, pulpen, dan penghapus seperti kue lapis yang dapat menimbulkan rasa lapar. Lalu ada serutan yang lucu serta sapu tangan handuk kecil di dalam tas rajutan ibunya. Di dalam tas rajutan kecil itu ada berjejal-jejal uang kertas yang dimasukkan dengan sembrono oleh Flo. Jika ia membuka tas itu sering kali uang tadi berjatuhan ke lantai, Jumlah uang itu semakin hari semakin banyak dan membuat tasnya menjadi gendut. Flo tidak bisa membelanjakan uang itu di sekolah Muhammadiyah karena tak ada yang bisa dibeli. Uang itu memiliki nama yang sangat asing bagi kami: uang saku. Sesuatu yang seumur-umur tak pernah kami dapat-kan dan orangtua kami. Sebagian besar benda-benda itu belum pernah kami lihat. Ia amat berbeda dengan kami dalam semua hal. Ia seumpama bangau Hokaido yang anggun tersasar ke kandang itik. Setiap pagi ia diantar sopirnya dengan sebuah mobil mewah tentu saja setelah ia sarapan dan semacam benda yang dapat membuat roti meloncat. Sejak kami menjadi pahlawan kesiangan yang menemukan Flo ketika ia hilang di Gunung Selumar tempo hari, ia memang telah mengenal kami, terutama Mahar dan reputasinya. Flo hengkang dan sekolah PN karena didorong oleh kepribadiannya yang pembosan, cenderung anti kemapanan, tergilagila dengan pemberontakan, dan keinginannya menjadi anggota Laskar Pelangi yang unik. Tapi ada alasan lain yang tak banyak orang tahu, dan ini agak berbahaya, yaitu ia tergila-gila pada Mahar. Ia mengagumi Mahar bukan sebagai pribadi tapi sebagai seorang profesional muda perdukunan. Karena orangnya memang ekstrovert dan berpikiran terbuka maka kami segera akrab dengan Flo. Pada sebuah sore yang dingin setelah hujan lebat Flo kami inisiasi di dahan tertinggi fihicium dan sejak sore itu ia resmi kami bai’at sebagal anggota Laskar Pelangi. 264 Laskar Pelangi
Saat pelangi melingkar dan guruh bersahutsahutan membahana di atas langit Belitong Timur, ia mengucapkan janji setia persaudaraan. Ternyata Flo adalah pribadi yang sangat menyenangkan. Ia memiliki kemampuan beradaptasi yang luar biasa. Ia cantik dan sangat rendah hati, sehingga kami betah di dekatnya. Ia tak pernah segan menolong dan selalu rela berkorban, Terbukti bahwa di balik sifatnya keras kepala tersimpan kebaikan hati yang besar. Aneh, di sekolah Muhammadiyah yang tak punya fasilitas apa pun Flo sangat bersemangat. Ada sesuatu yang menggerakkannya. Ia tak pernah sehari pun bolos dan bersikap sangat santun kepada para pengajar. Konon bapaknya sampai mengucapkan terima kasih kepada kepala sekolah kami dan Bu Mus. Ia datang lebih pagi dan siapa pun, menyapu seluruh sekolah, menimba berember ember air dan menyiram bunga tanpa diminta. Sekolah ini adalah jembatan jiwa baginya. Flo sangat dekat dengan Mahar. Mereka saling tergantung dan saling melindungi. Hubungan mereka sangat unik. Dengan bersama Mahar dan berada di sekolah Muhammadiyah Flo seperti berada di dunia yang memang diidamkannya selama ini. Ia seperti orang yang telah menemukan identitas setelah bersusah payah mencarinya melalul pemberontakan-pemberontakan sinting. Demikian pula Mahar, ia merasa menemukan satu-satunya orang yang memahaminya, tak pernah melecehkannya, dan menghargai setiap kelakuan anehnya. Maka mereka seperti Starsky and Hutch atau Harley Davidson and The Marlboro Man, gandeng renteng ke sana kemari persis Trapani dan ibunya. Mahar benar-benar telah mendapatkan pendamping. Mereka sering tampak berduaan, berbicara, bertukar pikiran sampai berjam- jam. Orang yang melihatnya akan menyangka mereka berpacaran. Seorang pemuda tampan dan seorang anak gadis cantik yang tomboi, siang malam tak terpisahkan. Saling tergila-gila, serasi sekali, Tapi kenyataannya mereka sama sekali tidak punya hubungan emosional semacam itu, Mereka memang tergila-gila tapi kekasih hati mereka adalah dunia gelap mistik dan klenik. Dunia gelap itulah yang memicu adrenalin Flo dan itu jugalah salah satu tujuannya mendekati Mahar. Berbeda dengan A Kiong yang juga mengabdi kepada Mahar tapi memosisikan diri sebagai 265 Laskar Pelangi
murid, Flo sebaliknya memosisikan diri sebagai rekan. Persekutuan mereka membawa kemajuan yang pesat dalam elaborasi dunia metafisik karena ditunjang oleh sumber daya yang dimiliki Flo. Mereka mempelajari dengan saksama fenomena-fenomena aneh melalui majalah-majalah luar negeri dan buku-buku ilmiah karangan psychist ternama. Kalau dulu Mahar berurusan dengan primbon atau prasasti dan istilah-istilah kuntilanak, jenglot, Dalbho anak genderuwo, dan pocong, sekarang referensinya meningkat menjadi paranormal-phernalia, UFO codes, science fictions news, dan The Anomalist, dan bicaranya juga menjadi lebih maju dan keren, kalau dulu kemenyan, tuyul, kerasukan setan, dan santet, sekarang menjadi istilah-istilah paranormal asing seperti exorcism, clairevoyance, sightings, dan poltergeist. Mahar tertarik pada mitologi, hubungan supranatural dengan antropologi, sejarah, cerita rakyat, arkeologi, kekuatan penyembuhan, ilmu-ilmu purba, ritual, dan kepercayaan berhala. Maka sedikit banyak ia menganggap dirinya seorang ilmuwan supranatural. Sebaliknya, Flo adalah petualang sejati. Ia kurang tertarik dengan aspek ilmu dan keyakinan dalam kejadian-kejadian mistik tapi ia ingin mengalami manifestasi berbagai teori dan fenomena magis dalam praktik. Karena tujuan utama pendalaman mistik Flo adalah untuk menguji dirinya sendiri, sampai sejauh mana ia bisa menoleransi rasa takutnya. Ia kecanduan getargetar mara bahaya dunia lain. Flo sedikit lebih parah sintingnya dibanding Mahar. Maka untuk merealisasikan semua tujuan itu dan untuk menikmati hobinya, mereka berdua menyusun sebuah rencana sistematis. Langkah awal mereka adalah membentuk sebuah organisasi rahasia para penggemar paranormal. Setelah kasakkusuk sekian lama, tak dinyana ternyata mereka mampu menemukan anggota-anggota se-paham yang sangat antusias. Mereka membentuk sebuah perkumpulan yang disebut Societeit de Limpai dan melakukan pertemuan rutin serta aktivitas perklenikan secara diam-diam. Semakin lama aktivitas itu semakin tinggi dan tak jarang melibatkan perjalanan yang jauh. Tak terbayangkan ke mana 266 Laskar Pelangi
keingintahuan dapat membawa manusia: ke gunung tertinggi, ke gua yang gelap, melintasi padang, menuruni ngarai, menyeberangi lumpur, sungai, dan laut. Sing-kat-nya, organisasi bawah tanah ini sangat sibuk dan menuntut pengadministrasian jadwal, dana, dan properti sehingga mereka membutuhkan bantuan seorang sekretaris merangkap bendahara! Ketika aku ditawari posisi itu, aku segera menyambarnya. Meskipun tidak ada honornya sepeser pun tapi aku merasa terhormat menjadi seorang sekretaris dan sebuah gerombolan orangorang yang bersahabat dengan hantu. Aku juga bangga karena jabatan itu menunjukkan bahwa aku punya cukup integritas untuk memegang uang, artinya paling tidak aku bisa dipercaya walaupun hanya dipercaya oleh orang-orang yang sudah tidak lurus pikirannya. Tugasku sederhana dan cukup diatur melalui sebuah buku register. Tugas tersebut adalah mencatat iuran anggota, menyimpan uangnya, dan mencatat barang-barang pribadi milik anggota yang akan dijual atau digadaikan guna membeli peralatan dan membiayai ekspedisi. Tugas lainnya adalah mengatur pertemuan rahasia, Biasanya undangan dibuat oleh bosku, Mahar atau Flo, dan aku harus mengedarkannya pada seluruh anggota. Seperti sore ini misalnya, Flo menyerahkan undangan padaku, isinya: “Rapat mendesak, Los V/B pasar ikan, Pk. 7 tepat. Be there or be damned!” ******** 267 Laskar Pelangi
BAB 27 Detik-Detik Kebenaran DALAM sebuah bangunan berarsitektur art deco, di ruangan oval yang hingar-bingar, kami terpojok: aku, Sahara, dan Lintang. Kembali kami berada dalam sebuah situasi yang mempertaruhkan reputasi. Lom-ba kecerdasan. Dan kami berkecil hati melihat murid-murid negeri dan sekolah PN membawa buku- buku teks yang belum pernah kami lihat, Tebal berkilat-kilat dengan sampul berwarna-warni, pasti buku-buku mahal. Sebagian peserta berteriak-teriak keras menghafalkan nama-nama kantor berita. Risikonya tentu jauh lebih besar dan karnaval dulu. Lomba kecerdasan adalah arena terbuka untuk mempertontonkan kecerdasan, atau jika sedang bernasib sial, mempertontonkan ketololan yang tak terkira. Dan semua nasib sial itu akan ditanggung langsung oleh aku, Sahara, dan Lintang. Kami adalah regu F pada lomba memencet tombol in Bagaimana kalau kami tak mampu menjawab dan hanya membawa pulang angka nol? Persoalan klasiknya adalah kepercayaan diri. Inilah problem utama jika berasal dan lingkungan marginal dan mencoba bersaing. Kami telah dipersiapkan dengan baik oleh Bu Mus. Beliau memang menaruh harapan besar pada lomba ini lebih dan beliau berharap 268 Laskar Pelangi
waktu kami karnaval dulu. Bu Mus pontang-panting mengumpulkan contoh contoh soal dan bekerja sangat keras melatih kami dan pagi sampai sore. Bu Mus melihat lomba ini sebagai media yang sempurna untuk menaikkan martabat sekolah Muhammadiyah yang bertahun tahun selalu diremehkan. Bu Mus sudah bosan dihina. Sayangnya sekeras apa pun beliau membuat kami pintar dan menguatkan mental kami, mendorong-dorong, membujuk, dan mengajari kami agar tegar, kami tetap gugup. Semua yang telah dihafalkan berminggu-minggu lenyap seketika, jalan pikiran menjadi buntu. Aku berusaha menenangkan diri dengan membayangkan duduk bersemadi di atas padang rumput hijau di tempat yang paling tenang dalam imajinasiku: Edensor, tapi upaya ini juga gagal. “Persetan kepercayaan diri pokoknya dengar pertanyaannya baik-baik, pencet tombolnya cepatcepat, dan jawab dengan benar” demikian kataku. Sahara mengangguk, Lintang tak peduli. Kami duduk menghadapi sebuah meja mahoni yang besar, panjang, indah, dan dingin. Seluruh teman sekelasku dan guru-guru hadir untuk menyemangati kami. Ruangan penuh sesak oleh para pendukung setiap sekolah. Aku, Lintang, dan Sahara mengerut di balik meja itu. Kami berpakaian amat sederhana dan sepatu cunghai Lintang masih menebarkan bau hangus. Pendukung yang paling dominan tentu saja pendukung sekolah PN. Jumlahnya ratusan dan menggunakan seragam khusus dengan tulisan mencolok di punggungnya: VINI, VIDI, VICI, artinya AKU DATANG, AKU LIHAT, AKU MENANG. Benarbenar menjatuhkan mental lawan. Sekolah PN mengirim tiga regu, masing-masing regu A, B, dan C. Anggota regu itu adalah yang terbaik dan yang terbaik. Mereka diseleksi secara khusus dengan amat ketat dan standar yang sangat tinggi. Beberapa peserta itu pernah menjuarai lomba cerdas cermat tingkat provinsi bahkan ada yang telah dikirim untuk tingkat nasional. Pakaian anggota regu juga sangat berbeda. Mereka mengenakan jas warna biru gelap yang indah, sepatu yang seragam dengan celana panjang berwarna serasi, dan mereka berdasi. Tahun ini mereka dipersiapkan lebih matang, sistematis, dan 269 Laskar Pelangi
secara amat ilmiah oleh seorang guru muda yang terkenal karena kepandaiannya. Guru ini membuat simulasi situasi lomba sesungguhnya dengan bel, dewan juri, stop watch, dan antisipasi variasi-variasi soal. Guru yang cemerlang ini baru saja mengajar di PN, dulu ia bekerja di sebuah perusahaan asing di unit riset dan pengembangan kemudian ditawari mengajar di PN dengan gaji berlipat-lipat dan janji beasiswa S2 dan S3. Ia lulus cum laude dan Fakultas MIPA sebuah universitas negeri ternama. Tahun ini ia terpilih sebagai guru teladan provinsi. Ia mengajar fisi-ka, Drs. Zulfikar, itulah namanya. Pendukung kami dipimpin oleh Mahar dan Flo. Meskipun hanya berjumlah sedikit tapi semangat mereka menggebu. Mereka membawa dua buah bendera besar Muhammadiyah yang telah lapuk dan berbagai macam tabuh-tabuhannya seperti para suporter sepak bola. Para pelajar PN yang menganggap Flo pengkhianat melirik kejam padanya, tapi seperti Lintang, Flo juga tak peduli. Walaupun besar sekali kemungkinan tim kami dipermalukan oleh kecerdasan tim PN dalam lomba ini, tapi Flo tak ragu sedikit pun membela habis-habisan sekolahnya, sekolah kampung Muhammadiyah. Di antara pendukung kami ada Trapani dan ibunya, kedua anak beranak ini saling bergandengan tangan. Aku melihat pelajar-pelajar wanita berbisikbisik, tertawa cekikikan, dan terus-menerus meliriknya karena semakin remaja Trapani semakin tampan. Ia ramping, berkulit putih bersih, tinggi, berambut hitam lebat, di wajahnya mulai tumbuh kumis-kumis tipis, dan matanya seperti buah kenari muda: teduh, dingin, dan dalam. Sesungguhnya dalam seleksi tim yang akan mewakili sekolah kami Trapani telah terpilih. Skornya lebih tinggi dibanding skor Sahara namun nilai geografinya lebih rendah. Kekuatan tim kami adalah matematika, hitungan-hitungan IPA, biologi, dan bahasa Inggris yang semuanya tak diragukan ada di tangan Lintang. Aku agak baik pada bidangbidang kewarganegaraan, tarikh Islam, fikih, budi pekerti, dan sedikit bahasa Indonesia. Yang paling lemah dalam tim kami adalah geografi dan ahli geografi kami adalah Sahara, Maka demi kekuatan tim Trapani dengan lapang dada 270 Laskar Pelangi
memberi kesempatan pada Sahara untuk tampil. Trapani adalah pria muda yang amat tampan dan berjiwa besar. “Tabahkan hatimu, Ikal “ itulah nasihat Trapani pelan padaku. Sementara di meja mahoni yang megah itu Lintang diam seribu bahasa, kelelahan, selayaknya orang yang memikul seluruh beban pertaruhan nama baik. Aku tak henti-henti berkipas, bukan kepanasan, tapi hatiku mendidih karena gentar. Tak pernah sekali pun sekolah kampung menang dalam lomba ini, bahkan untuk diundang saja sudah merupakan kehormatan besar. Lintang sudah membatu sejak subuh tadi. Di atas truk terbuka yang membawa kami ke ibu kota kabupaten in Tanjong Pandan, ia membisu seperti orang sakit gigi parah. Ia memandang jauh. Tak mampu kuartikan apa yang berkecamuk di dadanya. Ayah, Ibu, dan adik-adiknya juga ikut. Mereka, termasuk Lintang, baru pertama kali ini pergi ke Tanjong Pandan. Sahara duduk di tengah. Aku dan Lintang di samping kin dan kanannya. Ekspresi Lintang datar, ia tersandar lesu tanpa minat. Agaknya ia demikian minder, berkecil hati, dan malu berada di lingkungan yang sama sekali asing baginya. Ia hanya menatap Ayah, Ibu, dan adik-adiknya yang berpakaian amat sederhana, duduk saling merapatkan diri di pojok, tampak bingung dalam suasana yang hiruk pikuk. Aku mencoba berkonsentrasi tapi gagal. Lintang dan Sahara sudah tak bisa diharapkan. Kulihat tangan para peserta lain mulai meraba tombol di depan mereka, siap menyalak. Sahara kelihatan pucat, seperti orang bingung. Ia yang telah ditugasi dan dilatih khusus memencet tombol sedikit pun tak mampu mendekatkan jarinya ke benda bulat itu. Ia sudah pasrah atas kemungkinan kalah mutlak, Sahara mengalami demam panggung tingkat gawat. Sementara otakku tak bisa lagi dipakai untuk berpikir. Keributan yang terjadi ketika peserta lain mencoba-coba tombol dan mikrofon terdengar bagaikan teror bagi kami. Kami tak sedikit pun mencoba benda-benda itu. Kami sudah kalah sebelum bertanding. Para pendukung Muhammadiyah membaca kegentaran kami. Mereka 271 Laskar Pelangi
tampak prihatin. Suasana semakin tegang ketika ketua dewan Juri bangkit dan tempat duduknya, memperkenalkan diri, dan menyatakan lomba dimulai. Jantungku berdegup kencang, Sahara pucat pasi, dan Lintang tetap diam misterius, ia bahkan memalingkan wajah keluar melalui Jendela. Dan inilah detik-detik kebenaran itu. Pertanyaan ditujukan kepada semua peserta yang harus berlomba cepat memencet tombol agar dapat menjawab dan jika keliru akan kena denda. Aku tak berani melihat para penonton. Dan Bu Mus tak berani melihat wajah kami. Wajahnya dipalingkan ke lampu besar di tengah ruangan yang berjuntai Junta laksana raja gurita. Baginya ini adalah peristiwa terpenting selama lima belas tahun karier mengajarnya. Beliau benar-benar menginginkan kami menang dalam lomba ini, karena beliau tahu lomba ini sangat penting artinya bagi sekolah kampung seperti Muhammadiyah. Wajahnya kusut menanggung beban, mungkin beliau Juga telah bosan bertahun-tahun selalu diremehkan. Tak lama kemudian seorang wanita anggun yang bergaun Jas cantik berwarna merah muda berdiri. Beliau meminta penonton agar tenang karena beliau akan mengajukan pertanyaan. Suaranya indah, bertimbre berat, dan tegas seperti penyiar RRI. Wanita itu mendekatkan wajahnya pada mikrofon dan menegakkan lembaran kertas di depannya seperti orang akan membaca Pancasila. Detik-detik kebenaran yang hakiki dan mencemaskan tergelar di depan kami. Seluruh peserta memasang telinga baik-baik, siap menyambar tombol, dan siaga mendengar berondongan pertanyaan. Suasana mencekam Pertanyaan pertama bergema. “Ia seorang wanita Prancis, antara mitos dan realita .. Kring! Kriiiiiiiingggg! Kriiiiiiiiiiiiinnnggggg! Wanita anggun itu tersentak kaget karena pertanya-annya secara mendadak dipotong oleh suara sebuah tombol meraung-raung tak 272 Laskar Pelangi
sabar, Aku dan Sahara juga tenpenanjat tak alang kepalang karena baru saja sepotong lengan kasar dengan kecepatan kilat menyambar tombol di depan kami, tangan Lintang! “Regu F!” kata seorang pria anggota dewan Juri lainnya. Wajahnya seperti almarhum Benyamin S. Ia memakai jas dan dasi kupu-kupu. “Joan D’Arch, Loire Valley, France!” jawab Lintang membahana, tanpa berkedip, tanpa keraguan sedikit pun, dengan logat Prancis yang sengausenqau aduhai. “Seratusss!” Benyamin S. tadi membalas disambut tepuk tangan gemuruh para penonton. Kulihat bendera Muhammadiyah berkibar- kibar. “Pertanyaan kedua: Terjemahkan dalam kalimat integral dan hitung luas wilayah yang dibatasai oleh y = 2x dan x = S.” Lintang kembali menyambar tombol secepat kilat dan jawabannya serta-merta memecah ruangan. “Integral batas S dan 0, 2x minus x kali dx, hasilnya: dua belas koma lima!” Luar biasa! tanpa ada kesangsian, tanpa membuat catatan apa pun, kurang dan S detik, tanpa membuat kesalahan sedikit pun, dan nyaris tanpa berkedip. “Seratussssss!” lengking Benyamin S. Mendengar lengkingan Benyamin S. pendukung kami melonjak- lonjak seperti orang kesurupan. Suara mereka riuh rendah laksana kawanan kumbang kawin. Flo melompat-lompat sambil mengeluarkan jurus-jurus kick boxing. “Pertanyaan ketiga: Hitunglah luas dalam jarak integral 3 dan 0 untuk sebuah fungsi 6 plus 5x minus x pangkat 2 minus 4 x.” Lintang memejamkan matanya sebentar, ia tak membuat catatan apa pun, semua orang memandangnya dengan tegang, lalu kurang dan 7 detik kembali ia melolong. 273 Laskar Pelangi
“Tiga belas setengah!” Tak sebiji pun meleset, tak ada ketergesa gesaan, tak ada keraguan sedikit pun. “Seratusssss!” balas Benyamin S. sambil menggeleng-gelengkan kepalanya karena takjub melihat kecepatan daya pikir Lintang. Pendukung kami bersorak sorai histeris gegap gempita. Mereka mendesak maju karena perlombaan semakin seru. Ayah, Ibu, dan adik-adik Lintang berusaha berdiri dan bergabung dengan pendukung kami yang lain. Mereka tersenyum lebar dan kulihat ayah Lintang, pria cemara angin itu, wajahnya berseri-seri penuh kebanggaan pada anaknya, matanya yang kuning keruh berkaca- kaca. Sementara para peserta lain terpana dan berkecil hati. Lintang menjawab kontan, bahkan ketika mereka belum selesai menulis soal itu dalam kertas catatan yang disedia-kan panitia. Beberapa di antaranya membanting pensil tanpa ampun. Trapani yang kalem mengangguk-angguk pelan. Pak Hanfan bertepuk tangan girang sekali seperti anak kecil, wajahnya menoleh ke sana kemani. “Lihatlah murid-muridku, ini baru murid-muridku ...,“ itu mungkin makna ekspresi wajahnya. Bu Mus bergerak maju ke depan, wajah kusutnya telah sirna menjadi cerah. Sekarang beliau berani mengangkat wajah nya, matanya juga berkaca-kaca dan bibirnya bergumam, “Subhanallah, subhanallah .. . Ibu jas merah muda berupaya keras menenangkan penonton yang riuh dan berdecak-decak kagum, terutama menenangkan pendukung kami yang tak bisa menguasai diri. Beliau melanjutkan pertanyaan. “Selain menggunakan teknik radiocarbon untuk menentukan usia sebuah temuan arkeologi, para ahli juga....“ Kring! Kriiiiiiiingggg! Kembali Lintang mengamuk, dan ia menjawab Lantang. “Thermoluminescent dating! Penentuan usia melalui pelepasan energi sinar dalam suhu panas!” “Seratussss !“ 274 Laskar Pelangi
Berikutnya hanyalah kejadian yang persis sama dengan pertanyaan itu, Wanita cantik benjas merah muda itu tak pernah sempat menyelesaikan pertanyaannya. Lintang menyambar setiap soal tanpa memberikan kesempatan sekali pun pada peserta lain. Ratusan penonton terkagum-kagum. Warga Muhammadiyah di ruangan itu berjingkrak-jingkrak sambil saling memeluk pundak. Yang paling bahagia adalah Harun. Dia memang senang dengan keramaian. Aku melihatnya bertepuk-tangan tak henti-henti, berteriak-teriak memberi semangat, tapi wajahnya tak melihat ke arah kami, ia menoleh keluar jendela. Kiranya ia sedang memberi semangat kepada sekelompok anak perempuan yang sedang bermain kasti di halaman. Di tengah hiruk pikuk para penonton aku sempat mendengar jawaban-jawaban tangkas Lintang: “Vincent Van Gogh, men yasszonytanc, The Hunch back of Notredame, paradoks air, Edgar Alan Poe, medula spinalis, Dian Fossey, artropoda, 300 ribu kilometer per detik. Basedow, dactylorhiza moculata, ancyostoma duodenale, Stone Henge, Platyhelminthes, endoskeleton, Serebrum, Langerhans, fluoxetine hydrochloride, 8,5 menit cahaya, extremely low frequency, molekul chiral ....“ Ia tak terbendung, aku meninding melihat kecerdasan sahabatku i. Peserta lain terpesona dibuatnya. Mereka seperti terbius sebuah kharisma kuat kecerdasan murni dan seorang anak Melayu pedalaman miskin, murid sekolah kampung Muhammadiyah yang berambut keriting merah tak terawat dan tinggal di rumah kayu doyong beratap daun nun jauh terpencil di pesisir. Para peserta sekolah PN merasa geram karena tak kebagian satu pun jawaban. Maka mereka mencoba berspekulasi. Tujuannya bukan untuk menjawab tapi untuk menjegal Lintang. Mereka berusaha secara tidak rasional memencet tombol secepat mungkin. Sebuah tindakan tolol yang berakibat denda karena tak mampu menginterpnetasikan selunuh konteks pentanyaan. Sedangkan Lintang, seperti dulu pernah kucenitakan, anak ajaib kuli kopra ini, memiliki kemampuan yang mengagumkan untuk menebak isi kepala orang. 275 Laskar Pelangi
Dominasi Lintang membuat bebenapa penonton terusik egonya dan penasaran ingin menguji Einstein kecil ini maka insiden pun terjadi. Ketika itu juri menanyakan: “Terobosan pemahaman ilmiah terhadap konsep warna pada awal abad ke-16 memulai penelitian yang intens di bidang optik. Ketika itu banyak ilmuwan yang percaya bahwa campuran cahaya dan kegelapanlah yang menciptakan warna, sebuah pendapat yang rupanya keliru. Kekeliruan itu dibuktikan dengan memantulkan cahaya pada sekeping lensa cekung ..,.“ Kriiiiiing! Kriiiiing! Kring! Lintang menyalaknyalak. “Cincin Newton!’ “Seratussss!” Sekali lagi suporter kami bergemuruh jumpalitan, tapi tiba-tiba seseorang di antara penonton menyela, “Saudara ketua! Saudara ketua! Saudara ketua dewan juri! Saya kira pertanyaan dan jawaban itu keliru besar!” Seluruh hadirin sontak diam dan melihat ke arah seorang pemuda yang kecewa ini. Oh, Drs. Zulfikar, guru fisika teladan dan sekolah PN itu. Gawat! Urusan ini bisa runyam. Sekarang pandangan seluruh hadirin menghunjam ke arah guru muda yang otak cemenlangnya sudah kondang ke mana- mana. Untuk diajar privat olehnya bahkan harus antre. Ia harapan yang akan melanjutkan tradisi lama sekolah PN sebagai pemenang pertama lomba kecerdasan ini dan ia sudah mempersiapkan timnya demikian sempurna. Ia tak ingin dipermalukan dan ia tak pernah berurusan dengan sesuatu yang tidak terbaik. Sekarang apa yang akan ia perbuat? Aku dan Sahara waswas tapi Lintang tenang- tenang saja. Drs. itu angkat bicara dengan gaya akademisi tulen: “Percobaan dengan lensa cekung tidak ada kaitannya dengan bantahan terhadap teori awal yang meyakini bahwa warna dihasilkan oleh campuran cahaya dan kegelapan. Dan sebaliknya, pemahaman terhadap penciptaaan warna bukanlah persoalan optik, kecuali dewan juri ingin membantah Descartes atau Aristoteles. Soal optik dan spektrum warna adalah dua macam hal yang berbeda. Situasi ini ambigu, di sini kita menghadapi tiga kemungkinan, pertanyaan yang salah, jawaban yang keliru, atau kedua-duanya tak berdasar dalam arti tidak kon t e k s t u a I!” 276 Laskar Pelangi
Aduh...! Komentar ini sudah di luar daya jangkau akalku, asing, tinggi, dan jauh. ini sudah semacam debat mempertahankan tesis S2 di depan tiga orang profesor. Tapi tidakkah sedikit banyak kata-kata sang Drs. itu berbentuk U, kritis namun berputar-putar? Dan ia pintar sekali membimbangkan dewan juri dengan menyintir pendapat René Descartes, siapa yang berani membantah sinuhun ilmu zaman lawas itu? Mudah-mudahan Lintang punya argumentasi. Kalautidak kami akan habis di sini. Aku membatin dengan cemas tapi tak tahu akan berbuat apa. Pak Harfan bertelekan pinggang lalu menunduk dan Bu Mus merapatkan kedua tangannya di atas dadanya seperti orang berdoa, wajahnya prihatin ingin membela kami tapi beliau tak berdaya karena serangan Drs. Zulfikar memang sudah ter-lalu canggih. Bu Mus tampak tak tega melihat kami. Aku memandang Sahara dan ia cepat-cepat memalingkan muka, ia menoleh keluar jendela seolah tak mengenal kami. Wajahnya menunjukkan ekspresi bahwa saat itu ia sedang tidak duduk di situ. Para penonton dan dewan juri terlihat bingung atas bantahan yang supercerdas itu, Jangankan menjawab bahkan sebagian tak mengerti apa yang dipersoalkan. Tapi seseorang memang harus menyelamatkan situasi ini, maka ketua dewan juri bangkit dan tempat duduknya. Lintang masih tenang-tenang saja, ia tersenyum sedikit, santai sekali. ‘Tenima kasih atas bantahan yang hebat ini, apa yang harus saya katakan, bidang saya adalah pendidikan moral Pancasila ...,“ kata ketua dewan juri. Si Drs. bersungut-sungut, ia merasa di atas angin. Ekor matanya seolah mengumumkan kalau ia sudah khatam membaca buku Principle karya Isaac Newton, bahwa ia juga pelanggan jurnal-jurnal fisika internasional, bahwa ia kutu laboratonium yang kenyang pengalaman ekspenimen, bahkan seolah fisikawan Christiaan Huygens itu uwaknya. Pria ini adalah seorang fresh graduate yang sombong, ia memperlihatkan karakter manusia sok pintar yang baru tahu dunia. Bicaranya di awang-awang dengan gaya seperti Pak Habibie. Ia mengutip buku asing di sana sini tak keruan, menggunakan istilah- istilah aneh karena ingin mengesankan dirinya luar biasa, Tapi kali 277 Laskar Pelangi
ini, aku jamin dia akan menelan APC, pil pahit segala penyakit andalan orang kampung Belitong yang amat manjur. Karena merasa sudah menang dengan kritiknya guru muda itu meningkatkan sifat buruk dan sombong menjadi tak tahan pada godaan untuk meremehkan. “Atau barangkali anak-anak SMP Muhammadiyah ini atau dewan juri bisa menguraikan pendekatan optik Descartes untuk menjelaskan fenomena warna?” Keterlaluan! Seluruh hadirin tentu mengerti bahwa kalimat bernada menguji itu sesungguhnya tak perlu. Pak Zulfikar hanya ingin menghina sekaligus melumpuhkan mental kami dan dewan juri karena ia yakin bahwa kami tak mengerti apa pun mengenai Descartes. Dengan demikian ia dapat menganulir pertanyaan awal tadi sekaligus menjatuhkan martabat majelis ini. Yang menyakitkan adalah ia dengan jelas menekankan kata SMP Muhammediyah untuk megingatkan semua orang bahwa kami hanyalah sebuah sekolah kampung yang tak penting. Aku memang tak mengerti pendekatan optik tapi aku tahu sedikit sejarah penemuan fenomena warna. Aku tahu bahwa Descartes bekerja dengan prisma dan lembaran-lembaran kertas untuk menguji warna, bukan murni dengan manipulasi optik. Newton-Iah sesungguhnya sang guru besar optik. Pak Zulfikar jelas sok tahu dan dengan mulut besarnya ia mencoba menggertak semua orang melalui kesan seolah ia sangat memahami teori warna. Aku geram dan ingin membantah Drs. congkak ini tapi pengetahuanku terbatas. Tabiat Pak Zulfikar adalah persoalan kiasik di negeri ini, orang- orang pintar sering bicara meracau dengan istilah yang tak membumi dan teori-teori tingkat tinggi bukan untuk menemukan sebuah karya ilmiah tapi untuk membodohi orang-orang miskin. Sementara orang miskin diam terpuruk, tak menemukan kata-kata untuk membantah. Aku menatap Lintang, memohon bantuannya jika nanti aku angkat bicara melawan kezaliman Drs. itu. Aku sangat perlu dukungannya. Tapi bagaimana nanti kalauternyata aku yang keliru? Bagaimana kalau aku diserang balik bertubi-tubi? 278 Laskar Pelangi
Ah, risikonya terlalu tinggi, bisa-bisa aku dipermalukan. ini juga persoalan kiasik bagi orang yang memiliki pengetahuan setengah- setengah sepertiku. Maka dadaku berkecamuk antara ingin melawan dan ragu-ragu. Tapi aku sangat marah karena sekolahku dihina dan aku jengkel karena aku tahu bahwa Drs. itu membawa-bawa nama Descartes secara keliru dan tidak adil guna keuntungannya sendiri. Melihatku demikian gusar Lintang tersenyum kecil padaku. Sebuah senyum damai, Aku tahu, seperti biasa, ia dapat membaca pikiranku dengan benderang. Ia membalas tatapanku dengan lembut seakan mengatakan, “Sabar Dik, biar Abang bereskan persoalan ini ....“ Wajahnya tenang sekali. Aku dan Sahara ciut. Kami mengerut di ketiak kiri kanan pendekar ilmu pengetahuan yang sakti mandraguna andalan kami ini. Mendengar tantangan Pak Zulfikaryang tak bersahabat tadi bapak ketua dewan juri yang baik menarik napas panjang. Beliau menoleh ke arah para koleganya, anggota dewan juri. Semuanya menggeleng-gelengkan kepala. Lalu beliau mencoba menengahi dengan diplomatis dan sangat merendah. “Maafkan Bapak Guru Muda, atas nama dewan juri saya tenpaksa mengatakan bahwa pengetahuan kami agaknya belum sampai ke sana,” Kata-katanya demikian bersahaja. Kasihan bapak tua itu. Ia seorang guru senior yang rendah hati dan sangat disegani karena dedikasinya selama puluhan tahun di dunia pendidikan Belitong. Beliau tampak malu dan putus asa. Lalu beliau mengalihkan pandangan ke arah regu F, regu kami, Lintang tersenyum dan mengangguk kecil padanya. Tanpa diduga ketua dewan juri mengatakan, “Tapi mungkin anak Muhammadiyah yang cemenlang ini bisa membantu.” Suasana sunyi senyap dalam nuansa yang sangat tidak mengenakkan, dan semakin tidak enak karena sang Drs. kembali mengudara dengan komentar sengak tanpa perasaan. “Saya harapargumentasi mereka bisa setepat jawabannya tadi!” Semakin keterIaIuan Ia sengaja memprovokasi Lintang dan kali ini Lintang tenpancing, ia angkat bicara ‘Jika bantahan Bapak 279 Laskar Pelangi
mengenai pertanyaan yang tidak kontekstual dengan jawaban, mungkin saja bantahan semacam itu bisa diterima. Dewan juri menanyakan sesuatu yang jawabannya tertera di kertas yang dibacakan ibu pembaca soal, Saya yakin di sana tertulis cincin Newton dan kami menjawab cincin Newton, berarti kami berhak atas angka seratus. Maka kalaupun itu memang tidak kontekstual, itu hanya berarti dewan juri menanyakan sesuatu yang benar dengan cara keliru . .! Pak Zulfikar tak terima. ‘Dengan kata lain pertanyaan nomor itu gugur karena bisa saja peserta lain menduga arah jawaban yang keliru!” Lintang tak sabar. “Tidak ada yang keliru! Kecuali Bapak tidak memedulikan substansi dan ingin menggugurkan nilai kami karena persoalan remeh-temeh.” Pak Zulfikar tersinggung, ia menjadi marah, dan suasana berubah tegang. “Kalau begitu jelaskan pada saya substansinya! Karena bisa saja kalian mendapat nilai melalui kemampuan menebak-nebak jawaban secara untung-untungan tanpa memahami persoalan sesungguhnya!” Wah, ini sudah kurang ajar. Sahara menyeringai, setelah sekian lama menghilang ke alam lain kini ia kembali dalam penjelmaan seekor leopard, alisnya bertemu. Para penonton dan dewan juri tercengang, terlongong-longong dalam adu argumentasi ilmiah tingkat tinggi yang memanas. Mereka bahkan tak mampu memberi satu komentar pun, persoalan ini gelap bagi mereka. Tapi aku tersenyum senang karena aku tahu kali ini guru muda yang sok tahu ini akan kena batunya. Bantahannya yang terakhir itu adalah pelecehan. Lintang tersengat harga dirinya, wajahnya merah padam, sorot matanya tak lagi jenaka. Lintang, yang baru sekali ini menginjak Tanjong Pandan, berdiri dengan gagah berani menghadapi guru PN yang jebolan perguruan tinggi terkemuka itu, sembilan tahun sangat dekat dengan Lintang, baru kali ini aku melihatnya benar benar muntab, maka inilah cara orang jenius mengamuk: 280 Laskar Pelangi
“Substansinya adalah bahwa Newton terangterangan berhasil membuktikan kesalahan teoriteori warna yang dikemukakan Descartes dan Aristoteles! Bahkan yang pa-ling mutakhir ketika itu, Robert Hooke. Perlu dicatat bahwa Robert Hooke mengadopsi teori cahaya berdasarkan filosofi mekanis Descartes dan mereka semua, ketiga orang itu, menganggap warna memiliki spektrum yang terpisah. Melalui optik cekung yang kemudian melahirkan dalil cincin, Newton membuktikan bahwa warna memiliki spektrum yang kontinu dan spektrum warna sama sekali tidak dihasilkan oleh sifat- sifat kaca, ia semata-mata pro-duk dan sifat-sifat hakiki cahaya!” Drs. Zulfikar terperangah, penonton tersesat dalam teori fisika optik, sekadar mengangguk sedikit saja sudah tak sanggup. Dan aku girang tak alang kepalang, dugaanku terbukti! Rasanya aku ingin meloncat dan tempat duduk dan berdiri di atas meja mahoni mahal berusia ratusan tahun itu sambil berteriak kencang kepada seluruh hadirin: “Kalian tahu, ini Lintang Samudra Basara bin Syahbani Maulana Basara, orang pintar kawanku sebangku! Rasakan kalian semua!” Sekarang ekspresi Sahara seperti leopard yang sedang mencabik-cabik predator pesaing, ia mengaum, alisnya bertemu seperti sayap elang, dan Lintang masih belum puas. “Newton mengatakan, kecuali Bapak ingin nyangkal manuskrip ilmiah yang tak terbantahkan selama 500 tahun hasil karya ilmuwan yang disebut Michael Hart sebagai manusia paling hebat setelah Nabi Muhammad, bahwa tebal tipisnya partikel transparan menentukan warna yang ia pantulkan. Itulah persamaan ketebalan lapisan udara antara optik sebagai dasar dalil warna cincin. Semua itu hanya bisa diobservasi melalui optik, bagaimana Bapak bisa mengatakan perkara-perkara ini tidak saling berhubungan?” Sang Drs. terkulai lemas, wajahnya pucat pasi. Ia membenamkan pantatnya yang tepos di bantalan kursi seperti tulang belulangnya telah dipresto. Ia kehabisan kata-kata pintar, kacamata minusnya merosot layu di batang hidungnya yang bengkok. Ia paham bahwa berpolemik secara membabi buta dan berkomentar lebih jauh tentang sesuatu yang tak terlalu ia kuasai hanya akan memperlihatkan ketololannya sendiri di mata orang genius seperti Lintang. Maka ia mengibarkan saputangan putih, Lintang telah menghantamnya knock out. Ia dipaksa Lintang menelan pu APC yang pahit tanpa air minum dan pil manjur itu kini tersangkut di 281 Laskar Pelangi
tenggorokannya. Sekali lagi para pendukung kami berjingkrak- jingkrak histeris seperti doger monyet. Pak Harfan mengacungkan dua jempolnya tinggi-tinggi pada Lintang. “Bravo! Bravo!” teriaknya girang. Bu Mus yang berpakaian paling sederhana dibanding guru- guru lain mengangguk-angguk takzim. Ia terlihat sangat bangga pada murid-murid miskinnya, matanya berca-kaca dan dengan haru beliau berucap lirih, “Subhanallah s ubhanallah ....‘ Selanjutnya, mekanisme lomba menjadi monoton, yaitu ibu cantik membacakan pertanyaan yang tak selesai, suara kriiiiiing, teriakan jawaban Lintang, dan pekikan seratussss dan Benyamin S. Aku terpaku memandang Lintang, betapa aku menyayangi dan kagum setengah mati pa-da sahabatku in Dialah idolaku. Pikiranku melayang ke suatu hari bertahun-tahun yang lalu ketika sang bunga pilea ini membawa pensil dan buku yang keliru, ketika ia beringsut- ingsut naik sepeda besar 80 kilometer setiap hari untuk sekolah, ketika suatu hari ia menempuh jarak sejauh itu hanya untuk menyanyikan lagu Padamu Negeri. Dan ha-ri ini ia meraja di sini di majelis kecerdasan yang amat terhormat ini. Seperti Mahar, Lintang berhasil mengharumkan nama per-guruan Muhammadiyah. Kami adalah sedang tidak duduk di situ. sekolah kampung pertama yang menjuarai perlombaan ini, dan dengan sebuah kemenangan mutlak. Air yang menggenang seperti kaca di mata Bu Mus dan laki-laki cemara angin itu kini menjadi butirbutiran yang berlinang, air mata kemenangan yang mengobati harapan, pengorbanan, dan jerih payah. Hari ini aku belajar bahwa setiap orang, bagaimana pun terbatas keadaannya, berhak memiliki cita-cita, dan keinginan yang kuat untuk mencapai Cita-cita itu mampu menimbulkan prestasi-prestasi lain sebelum cita-cita sesungguhnya tercapai. Keinginan kuat itu juga memunculkan kemampuankemampuan besar yang tersembunyi dan keajaibankeajaiban di luar perkiraan. Siapa pun tak pernah membayangkan sekolah kampung Muhammadiyah yang melarat dapat mengalahkan raksasa-raksasa di meja mahoni itu, tapi keinginan yang kuat, yang kami pelajari dan petuah Pak Harfan sembilan tahun yang lalu di hari pertama kami masuk SD, agaknya 282 Laskar Pelangi
terbukti. Keinginan kuat itu telah mem-belokkan perkiraan siapa pun sebab kami tampil sebagai juara pertama tanpa banding. Maka barangkali keinginan kuat tak kalah penting dibanding cita-cita itu sendiri. Ketika Lintang mengangkat tinggi-tinggi trofi besar kemenangan, Harun bersuit-suit panjang seperti koboi memanggil pulang sapi- sapinya, dan di sana, di sebuah tempat duduk yang besar, ibu Frischa berkipas-kipas kegerahan, wajahnya menunjukkan sebuah ekspresi seolah saat itu dia sedang tidak duduk disitu. ********* 283 Laskar Pelangi
BAB 28 Societeit de Limpai MEREKA menyebut diri mereka Societeit de Limpai, sederhananya: Kelompok Limpai. Limpai adalah binatang legendaris jadi-jadian yang menakutkan dalam mitologi Belitong. Sebuah karakter fabel yang menarik karena beberapa cerita rakyat memberikan definisi yang berbeda bagi makhluk mitos itu. Orang orang pesisir menganggapnya sebagai semacam peri yang hidup di gunung-gunung. Di Belitong bagian tengah ia dipercaya berbentuk binatang besar berwarna putih seperti gajah atau mammoth, Sebaliknya di utara ia adalah angin yang jika marah akan menumbangkan pohon-pohon dan merebahkan batang- batang padi. Ada pula beberapa wilayah yang mengartikannya sebagai bogey yakni hantu hitam dan besar. Orang-orang muda semakin salah mengerti. Bagi mereka Limpai adalah urban legend maka ia bisa saja incubus yaitu setan yang menyaru sebagai pria tampan atau death omen yang dapat menyamar menjadi apa saja. Disebut salah mengerti karena sebenarnya akar cerita Limpai terkait dengan 284 Laskar Pelangi
ajaran kuno turun-temurun di Belitong agar masyarakat tidak semena-mena memperlakukan hutan dan sumber- sumber air. Ajaran itu mengandung tenaga sugestif ketakutan terhadap kualat karena hutan dan sumber-sumber air dijaga oleh hantu Limpai. Namun, dewasa ini sebagian besar orang melihat wujud Limpai tak lebih dan kabut yang melayanglayang di dalam kepala yang bodoh, tipis iman, senang bergunjing, dan kurang kerjaan, itulah Limpai. Societeit de Limpai merupakan organisasi rahasia bentukan orang-orang aneh dan aku adalah sekretaris organisasi yang unik ini. Societeit beroperasi diam-diam. Ia semacam organisasi tanpa bentuk. Tak diketahui kapan, di mana mereka biasa berkumpul, dan apa yang mereka bicarakan. Jika secara tak sengaja ada yang memergoki mereka, mereka segera mengalihkan pembicaraan, bahkan menganggap saling tak kenal satu sama lain. Tindak tanduknya demikian disamarkan bukan karena mereka mengusung sebuah misi yang amat berbahaya, anarkis, komunis, atau melawan hukum, tapi lebih karena mereka menghindarkan diri dan ejekan khalayak karena kekonyolannya. Sebab Societeit adalah kumpulan manusia tak berguna yang memiliki kecintaan berlebihan pada dunia klenik dan mistik. Para peminat klenik dalam masyarakat kami selalu jadi bahan tertawaan. Mereka tidak populer karena barangkali tidak seperti pada budaya lain di tanah air, orang-orang Melayu khususnya di Belitong memang tidak terlalu meminati dunia perdukunan. Maka Societeit de Limpai pada dasarnya tidak mendapat tempat di kampung kami. Namun bagi para anggota Societeit, organisasi mereka adalah organisasi yang sangat serius. Anggotanya hanya sembilan orang dan untuk menjadi anggota syaratnya berat bukan main. Anggota paling senior saat ini berusia 57 tahun, pensiunan syah bandar, dan yang termuda adalah dua orang remaja berusia 16 tahun. Enam orang lainnya adalah seorang petugas teller di BRI cabang pembantu, seorang Tionghoa tukang sepuh emas, seorang pengangguran, seorang pemain organ tunggal, seorang mahasiswa teknik elektro drop out yang membuka sebuah bengkel sepeda, dan Mujis, si tukang semprot nyamuk. Anehnya ketua kelompok ini justru yang termuda itu. Ialah bapak pendiri organisasi yang disegani anggotanya karena pengetahuannya yang luas tentang dunma 285 Laskar Pelangi
gelap, perahenan, serta koleksinya yang lengkap tentang cerita kabar angin atau cerita konon kabarnya. Ia tak lain tak bukan adalah Mahar yang fenomenal. Sedangkan anak remaja satunya tentu saja Flo. Adapun aku hanya seorang sekretaris dan pembantu umum, maka tidak dihitung sebagai anggota kehormatan. Aktivitas Societeit sangat padat. Mereka melakukan ekspedisi ke daerah-daerah angker, menyelidiki kejadian-kejadian mistik, berdiskusi dengan para spiritual di seantero Belitong, dan memetakan mitologi lokal, baik Folklor maupun urban legend dalam suatu mitografi yang menarik. Dalam banyak sisi dapat dianggap bahwa para anggota Societeit sesungguhnya adalah orang-orang pemberani yang sangat penasaran ingin membongkar rahasia fenomena ganjil dan memiliki skeptisisme yang tak mau dikompromikan. Jika belum melihat dan merasakan sendiri, mereka tak ‘kan percaya. Societeit dengan brilian telah mengadopsi sosok Limpai yang mistis sebagai metafora sehingga mereka bisa disebut orang-orang antusias, ilmuwan, orang gila, atau musyrikin tergantung sudut pandang setiap orang menilainya. Sama seperti perbedaan perspektif setiap orang dalam memaknai Limpai. Dalam pembuktiannya terhadap fenomena paranormal mereka sering menggunakan metode ilmiah sehingga mereka dapat juga disebut sebagai ilmuwan tentu saja ilmuwan dalam definisi mereka sendiri. Ke arah inilah Mahar telah berkembang, bukan ke arah pencapaian-pencapaian seni yang seharusnya menjadi rencana A baginya, dan dengan kehadiran Flo, kesia-siaan bakat itu semakin menjadi -jadi. Dalam menjalankan tugas sintingnya mereka melengkapi diri dengan perangkat elektronik, misalnya beragam alat perekam audio video, perangkat perangkat sensor, dan berbagai jenis teropong. Di bawah supervisi mahasiswa elektro yang drop out itu mereka merakit sendiri detektor medan elektro magnet yang dapat membaca gelombang area observasi dalam kisaran 2 sampai 7 miligauss karena mereka yakin aktivitas kaum lelembut berada dalam kisaran tersebut. Mereka juga menciptakan sensor frekuensi yang dapat mengenali frekuensi sangat rendah sampai di bawah 60 hertz karena menurut akal sesat mereka dalam frekuensi itulah kaum 286 Laskar Pelangi
setan alas sering berbicara. Selain semua elektronik yang canggih itu pada setiap ekspedisi mereka juga membekali diri dengan kemenyan, gaharu, jimat telur biawak, buntat, dan penangkal bala, serta seekor ayam kate kampung karena seekor ayam dianggap paling cepat tanggap kalau iblis mendekat. Mereka secara rutin berkelana. Suatu ketika mereka memasuki Hutan Genting Apit, tempat paling angker di Belitong. Hutan ini menyimpan ribuan cerita seram dan yang paling menonjol adalah fenomena ectoplasmic mist yakni kabut yang bercengkerama sendiri dan secara alamiah atau mungkin setaniah membentuk wujud- wujud tertentu seperti manusia, hewan, atau raksasa. Tak jarang bentuk-bentuk ini tertangkap kamera film biasa. Para pengendara yang melalui kawasan ini sangat disarankan untuk tidak melirik kaca spion karena hantu-hantu penghuni lembah ini biasa menumpang sebentar di jok belakang. Di lembah ini mereka memasang alat-alat elektronik tadi di cabang-cabang pohon untuk mendeteksi gerakan, suara, dan bentuk-bentuk tak biasa lalu menganalisisnya. Kemudian Genting Apit menjadi semacam laboratorium alam bagi Societeit. Tempat yang selalu dihindari orang mereka kunjungi seumpama orang piknik ke pantai saja. Tak ayal Societeit juga mendatangi kuburan kuburan keramat, bermalam di lokasi-lokasi yang terkenal keseramannya, mengumpulkan cerita-cerita takhayul, dan mencari benda-benda magis pusaka warisan antah berantah. Mereka diam di tempat yang ditinggalkan orang karena takut, mereka justru menunggu makhluk- makhluk halus yang membuat orang lain terbirit-birit. Semakin lama Societeit semakin bergairah dengan aktivitasnya meskipun di sisi lain masyarakat juga semakin mencemooh mereka. Mereka dianggap orang-orang aneh yang menghambur-hamburkan waktu untuk hal- hal tak bermanfaat. Tak semua kegiatan Societeit tak berguna. Adakalanya pendekatan ilmiah mereka malah mampu mematahkan mitos. Misalnya dalam kasus api anggun di atas sebatang pohon jemang besar. Telah puluhan tahun berlangsung para pengendara sering 287 Laskar Pelangi
ketakutan ketika melintasi sebuah tikungan menuju Manggar karena pada puncak sebuah pohon jemang besar persis di seberang tikungan itu sering tampak api berkobar-kobar, Jemang Hantu, demikian juluk-an tempat angker itu. Kejadian itu selalu tengah malam setelah turun hujan dan sudah menjadi cerita seram yang melegenda. Sulit untuk mengatakan bahwa para pengendara telah salah lihat apalagi berbohong karena di antara mereka yang telah menyaksikan pemandangan horor itu adalah Zaharudin bin Abu Bakar, ustad muda kampung kami yang pantang berdusta. Maka Societeit turun tangan melakukan semacam riset, Setelah sepanjang sore turun hujan malamnya mereka mengendap-endap di sekitar jemang angker tadi untuk melakukan pengamatan. Tak lama setelah lewat tengah malam mereka memang menyaksikan api berkobar-kobar di puncak pohon itu namun pada saat itu pula mengerti jawabannya. Mereka berhasil menghancurkan mitos angker pohon jemang yang telah puluhan tahun menciutkan nyali orang kampung. Letupan api itu sesungguhnya berasal dan kabel listrik tegangan tinggi yang korslet karena air hujan. Tiang kabel itu berjarak kira-kira 120 meter dan puncak pohon dan ketinggian keduanya sepadan sehingga jika dilihat dan jauh sebelum memasuki tikungan seolah- olah letupan korslet yang menimbulkan bunga-bunga api itu berkobar-kobar dan puncak pohon jemang. Jika tiba dan pengembaraan mistiknya, Mahar dan Flo selalu membawa cerita-cerita seru ke sekolah. Misalnya suatu hari mereka berkisah bahwa di tengah sebuah hutan yang gelap mereka menemukan kuburan dengan ukuran tambak hampir tiga kali enam meter dan jarak antara kedua misannya hampir lima meter, Karena orang Melayu selalu memasang misan di sekitar kepala dan ujung kaki maka dapat diperkirakan ukuran jasad yang terkubur di bawahnya adalah ukuran manusia yang luar biasa besar. Flo memulai kisah bahwa ia menemukan piring-piring dan tanah hat di sekitar kuburan dengan ukuran seperti dulang dan kondisinya 288 Laskar Pelangi
masih utuh. Ia juga menemukan berbagai jenis kendi yang tidak rusak dan terkubur dangkal. Flo dengan dingin saja memberi tahu kami bahwa ia tidur paling dekat dengan misan-misan itu dan tak sedikit pun merasa takut. Ia menceritakan sebuah pengalaman yang menderikan bulu kuduk seolah sebuah cerita lucu tentang baru saja meminumkan susu pada anakanak kucing persia di rumahnya. Ingin kukatakan padanya bahwa gerabah-gerabah arkeologi itu memang tidak rusak tapi yang rusak adalah otaknya. Sebaliknya versi Mahar jauh lebih menarik. Ia memberi penjelasan pengetahuan tentang hubungan beberapa kuburan purba bertambak super besar di Behitong dengan teori-teori para arkeolog terkenal seperti Barry Chamis atau Harold T. Wilkins yang percaya bahwa pada suatu masa yang lampau manusia-manusia raksasa pernah menjelajahi bumi. Ia membuat analogi yang menarik, logis, dan lengkap dengan analisis waktu tentang kuburan itu dengan hal ikhwal tengkorak manusia raksasa Pasnuta yang ditemukan di Omaha atau kerangka tak utuh manusia yang digali dan situs-situs kuburan purba di Dataran Tinggi Golan. Jika direkonstruksi kerangka-kerangka itu membentuk manusia setinggi hampir enam meter. Maka cerita Mahar selalu mengandung ilmu. Dia memang seorang eksentrik yang berdiri di area abu-abu antara imajinasi dan kenyataan, tapi tak diragukan bahwa ia cerdas, pemikirannya terstruktur dengan balk, dan pengetahuan dunia gaibnya amat luas. Mahar dan Flo duduk santai pada cabang rendah tilicium seperti para paderi tukang cerita dan sebuah kuil Sikh dan kami, para Laskar Pelangi, bersimpuh membentuk lingkaran, tercengang dengan mata berbinar-binar mendengar keajaiban-keajaiban petilasan mereka dalam dunia magis. Adapun orang lain dan kejauhan hanya akan melihat ikatan persahabatan Laskar Pelangi yang demikian indah. Pada kesempatan lain mereka bercerita tentang petualangan mencari sebuah gua purba tersembunyi yang belum pernah dijamah siapa pun. Gua itu konon berada di tengah rimba dan eksistensinya hanya berdasarkan mitos samar turun-temurun dan sebuah komunitas kecil terasing yang hidup seperti suku primitif di barat 289 Laskar Pelangi
daya Belitong. Mereka menyebutnya qua qambar. Tak tahu apa maksud nama itu dan bagi mereka gua itu adalah gua gaib yang tak ‘kan pernah ditemukan. Mendengar kisah itu Societeit berdiri tehinganya dan merasa tertantang. Ketika Societeit mendatangi komunitas yang hanya terdiri dan sebelas kepala keluarga dan mencari informasi tentang gua gambar, pawang suku di sana menertawakan mereka. “Ananda tak ‘kan menemukan gua itu, karena gua itu adalah gua siluman. Gua itu hanya akan menampakkan diri di malam hari yang paling gelap, itu pun hanya bisa dilihat oleh orang-orang gunung terpilih yang tak kita kenal.” Orang-orang gunung adalah cerita konon yang lain. Kami menyebutnya orang Tungkup. Mereka tinggal di gunung dan juga tak pernah dilihat orang kampung. “Selama tiga hari tiga malam kami berjalan kaki menembus rimba belantara liar untuk mencari gua itu. Pohon-pohon di sana sebesar pelukan empat orang dewasa dengan kanopi menjulang ke langit,” demikian cerita Mahar. “Saking lebatnya hutan itu sinar matahari tak mampu menembus permukaan tanah. Pohon-pohon berlumut, gelap dan lembap, penuh lintah, kelelawar, kadal, macan akar, luak, dan ular-ular besar,” sambung Flo meyakinkan. “Kami hampir putus asa, tapi beruntung, pengetahuan Mujis yang baik tentang kontur hutan akhirnya membimbing kami menuruni sebuah lembah curam di antara dua gunung dan di dasar lembah itu, pas menjelang magrib, kami menemukan sebuah g u a!” Kami ternganga-nganga, merapatkan lingkaran duduk, mendekati dua petualang sejati yang sangat hebat ini, tak sabar mendengar kelanjutan cerita. “Kami belum yakin apakah itu gua gambar seperti dimaksud komunitas kuno itu. Wilayah itu sangat sulit ditempuh. Mulut gua 290 Laskar Pelangi
sangat sempit dan ditutupi akar-akar mahoni raksasa, seperti jan-jan yang sengaja menyamarkan,” demikian kata Flo ekspresif. Ah, Flo yang cantik, ramping, atletis, dan berkulit putih seindah anggrek bulan, dikombinasikan dengan cerita petualangan mendebarkan penuh getaran marabahaya di tengah hutan rimba dan sebuah gua misteri, sungguh sebuah perpaduan yang mem-buat dirinya tampak semakin indah, mentalitas dan prinsip-prinsip hidup Flo yang tak biasa, telah menjadikan dirinya seorang wanita yang sangat memesona. “Ketika kami mendekat, kami terkejut karena beberapa ekor biawak dan musang yang garang berloncatan keluar dan gua.” Mahar dan Flo sambung menyambung. “Setelah menyiangi akar-akar itu akhirnya kami berhasil masuk ke dalam gua.” “Di dalamnya amat lebar dan memanjang, menjulur ke bawah seperti sumur yang landai, dingin, gelap, dan ada suara riak-riak air.” “Ternyata di tengah gua itu ada aliran air yang deras!” Cerita semakin seru, seperti cerita petualangan Indian Winnetou, kami duduk terpaku menyimak. “Kami mencoba menelusuri gua itu, bau amis kotoran kelelawar menyengat hidung dan membuat perut mual. Sarang laba-laba hitam besar menutupi celah-celah gua seperti tirai putih berjuntai- juntai. Laba-laba itu demikian besar sehingga cecak dan kelelawar tersangkut di jaringnya dan mengering karena darahnya telah diisap serangga maut itu. Lintah merayapi dinding gua, mengincar darah anak-anak kelelawar.” Mengerikan. “Rantai makanan di dalam gua adalah singkat, tidak se-perti subekosistem lain di luar!” Flo menambahi. “Kami terus merambah masuk sampai beratusratus meter tapi tak menemukan tanda-tanda gua itu akan berakhir.” “Gua itu seperti tak berujung ...,“ Mahar bercerita dengan penuh penghayatan sehingga kami merasa seperti berada di dalam gua 291 Laskar Pelangi
yang sangat mencekam itu. Kami merasakan udara dingin, kegelapan, ketakutan, dan seakan mendengar pekik keleawar dan percikan air di dalamnya. “Tapi suara aliran air tadi semakin lama semakin bergemuruh, kami perkirakan di depan kami ada jurang di bawah tanah yang amat berbahaya, maka kami memutus-kan untuk beristirahat.” Wajah Mahar serius, nyali kami ciut ketika menatap-nya, dan dia melanjutkan cerita seperti orang berbisik. “Kami agak merapat ke dinding gua untuk menyiapkan peralatan tidur, ketika aku menaikkan lampu aki untuk mendapat bentangan cahaya yang lebih besar, aku terkejut melihat bayangan goresan- goresan berpola yang samar di dinding licin itu,..,” Menegangkan sekali. Kami semakin merapat, Sahara menggigit jarinya, A Kiong berkali-kali menarik napas panjang, Samson tak berkedip, Lintang menyimak penuh perhatian, Syahdan ketakutan, Trapani memeluk Harun. “Kami semua saling berpandangan lalu serentak menaikkan lampu, dan kami tersentak melihat sekeling kami.’ Aku menahan napas “Ternyata kami dikelilingi oleh ribuan goresan simbol-simbol purba atau huruf-huruf hieroglif primitif yang terhampar di dinding gua, menjalarjalar misterius sampai ke stalagmit dan stalagtit!” Rasanya aku mau meloncat dan tempat duduk, dan perut bawahku ngilu menahan kencing karena perasaan tegang yang meluap-luap. Kami terpana, bahkan tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Dadaku berdegup kencang. “Kemudian di langit - langit gua terdapat beberapa lukisan paleolitikum yang menggambarkan orang-orang yang tak berpakaian sedang memakan mentah-mentah seekor burung besar yang mirip kalong.” “Sebuah gua antediluvium dengan seni lukis gua yang memukau!” sambung Flo. Sekarang kami mengerti mengapa komunitas terasing tadi 292 Laskar Pelangi
menyebut gua itu gua gambar. “Ada lukisan kucing pohon, tombak kayu, ular tanah, bulan, dan bintang-bintang.” “Kami memutuskan untuk tidur di bagian itu ...,“ kata Mahar pelan. Raut wajahnya memperlihatkan bahwa ia masih memiliki sebuah kejutan lain yang tak kalah misteriusnya. Maka dada kami tak reda berdegup. “Aku tak bisa tidur sepanjang malam. Ketika semua anggota Societeit terlelap karena kelelahan aku melamun dan memerhatikan dengan saksama simbol-simbol yang berserakan tak teratur meme nuhi dinding dan langit-langit gua.” Kami terpaku, pasti akan terjadi sesuatu yang ajaib. “Lalu aku merasa simbol-simbol itu seperti diam-diam terangkai sendiri dan membisikkan sesuatu ke telingaku. ..“ Oh, jantungku berdebar-debar. “Tapi semuanya tak jelas, hingga aku merasa Ielah dan memejamkan mata.” Kami menunggu kejutan besar itu. “Namun tak lama kemudian, antara tidur dan terjaga, aku mendengar suara gemerisik seperti jutaan semut mendekatiku, dan agaknya ribuan simbol-simbol samar itu menjadi hidup lalu memberiku semacam mimpi, semacam wangsit, semacam gambaran masa depan ... semua ini tak pernah kuceritakan pada siapa pun!” Kami semakin merapat, sangat penasaran. “Apakah wangsit itu saudaraku Mahar??!!’ A Kiong berteriak tak sabar menunggu terkuaknya sebuah misteri besar. Ia sedikit merayu. Suaranya tercekat dan bergetar. Bahkan Flo tampak tegang. Rupanya ia sendiri belum pernah mendengar wangsit ini. Mahar menarik napas panjang sekali, agaknya ia merasa berat membocorkan kisah ini. “Begini ...,“ katanya serius, “Mimpi itu memperlihatkan bahwa sebuah kekuatan besar di Pulau Belitong akan segera runtuh, Orang-orang Melayu Belitong 293 Laskar Pelangi
akan jatuh melarat dan kembali berperikehidupan seperti zaman purba dulu, yaitu bernafkah secara bersahaja dan hasilhasil laut dan hutan. Sebaliknya, dunia luar akan maju demikian pesat. Penggunaan kompu-ter akan merasuki seluruh segi kehidupan. Penggunaan komputer yang merajalela itu menyebabkan praktikpraktik akuntansi tak lama lagi akan punah....“ ********* 294 Laskar Pelangi
BAB 29 Pulau Lanun SEPERTI layaknya sesuatu yang sederhana, maka tragedi atau drama semacam opera sabun tak pernah terjadi di sekolah Muhammadiyah. Sekolah itu demikian teduh dalam kiprahnya, tenang dalam kesahajaannya, bermartabat dalam kesederhanaan- nya, dan tenteram dalam kemiskinannya. Namun kali ini berbeda, mendung tebal bergelayut rendah siap menumpahkan murka di atap sekolah itu karena dua warganya semakin lama semakin tidak waras sehingga kelangsungan pendidikan keduanya terancam. Lebih dan itu tingkah laku keduanya merongrong reputasi sekolah Muhammadiyah yang ketat menjaga nilai-nilai moral Islami. Dan tak tanggung-tanggung, rongrongan itu berupa pelanggaran paling berat dalam konteks moral itu sendiri yakni: kemusyrikan Kedua makhluk dramatis itu tentu saja sudah sangat dikenal: Mahar dan Flo. Seiring dengan euforia organisasi rahasia Societeit yang mereka inisiasi, nilai-nilai ulangan Mahar dan Flo persis penerjun yang terjun dengan parasut cadangan yang tak mengembang terjun 295 Laskar Pelangi
bebas. Rapor terakhir mereka memperlihatkan deretan angka merah seperti punggung dikerok. Umumnya angka-angka biru hanya untuk mata pelajaran pembinaan kecakapan khusus, yaitu kejuruan agraria, kejuruan teknik, ketatalaksanaan, dan bahasa Indonesia, itu pun hanya untuk bidang bercakap-cakap dan mengarang. Nilai Flo adalah yang paling parah. Matematika, bahasa Inggris, dan IPA hanya mendapat angka 2. Meskipun bapaknya telah menyumbang papan tulis baru, lonceng, jam dinding, dan pompa air untuk Muhammadiyah namun Bu Mus tak peduli, beliau tak sedikit pun sungkan menganugerahkan angka-angka bebek berenang itu di rapor Flo karena memang itulah nilai anak Gedong itu. Mahar dan Flo berada dalam situasi kritis dan sangat mungkin dilungsurkan ke kelas bawah karena tidak bisa mengikuti Ebtanas. Surat peringatan telah mereka terima tiga kali. Menanggapi masalah gawat ini diam-diam Bapak Flo melakukan konspirasi dengan Bu Frischa untuk menghasut Flo agar kembali ke sekolah PN. Lagi pula di sekolah PN Bu Frischa telah menjamin nilai yang tak memalukan di rapor Flo. Untuk keperluan penghasutan itu Bu Frischa mengutus seorang guru pria muda yang flamboyan di se- kolah PN agar dapat mendekati Flo, Sore itu kami sekelas baru saja pulang menonton pertandingan sepak bola dan melewati pasar. Bu Frischa dan guru flamboyan tadi sedang berbelanja. Flo yang mengenakan celana dan jaket jin belel mendekati Bu Frischa seperti gaya berjalan koboi yang akan duel tembak. “Nama saya Flo, Floriana,” kata Flo sambil berusaha menyalami Bu Frischa. Pria flamboyan itu mengangguk santun dan melemparkan senyum termanisnya untuk Flo. “Tolong bilang pada pria tengik ini, saya tak ‘kan pernah meninggalkan Bu Muslimah dan sekolah Muhammadiyah ....“ Flo berlalu begitu saja, Bu Frischa dan sang pria flamboyan terpana, dan ide untuk menghasutnya tak pernah terdengar lagi. ********* Laskar Pelangi 296
Nilai-nilai rapor Mahar dan Flo hancur karena agaknya mereka sulit berkonsentrasi sebab terikat pada komitmen-komitmen kegiatan organisasi, dan lebih dan itu, karena mereka semakin tergila-gila dengan mistik. Hari demi hari pendidikan mereka semakin memprihatinkan. Tapi bukan Mahar dan Flo namanya kalautidak kreatif. Mereka sadar bahwa mereka menghadapi tradeoff, dua sisi yang harus saling menyisihkan, memilih sekolah atau memilih kegiatan organisasi paranormal. Sekolah sangat penting namun godaan untuk berkelana menyibak misteri gaib sungguh tak tertahankan. Mereka tidak ingin meninggalkan keduanya. Lalu tak tahu siapa yang memulai tiba-tiba mereka muncul dengan satu gagasan yang paling absurd. Karena tak ingin kehilangan sekolah dan tak ingin meninggalkan hobi klenik maka mereka berusaha menggabungkan keduanya. Mahar dan Flo akan mencari jalan keluar mengatasi kemerosotan nilai sekolah melalui cara yang mereka paling mereka kuasai, yaitu melalui jalan pintas dunia gaib perdukunan. Sebuah cara tidak masuk akal yang unik, lucu, dan mengandung mara bahaya. Mahar dan Flo sangat yakin bahwa kekuatan supranatural dapat memberi mereka solusi gaib atas nilai-nilai yang anjlok di sekolah. Dan mereka tahu seorang sakti mandraguna yang dapat membantu mereka dan kesaktiannya telah mereka buktikan sendiri melalui pengalaman pribadi. Orang sakti ini secara ajaib telah menunjukkan jalan untuk menemukan Flo ketika ia raib ditelan hutan Gunung Selumar tempo hari. Orang supersakti itu tentu saja Tuk Bayan Tula. Menurut anggapan mereka masalah sekolah ini hanyalah masalah kecil seujung kuku yang tak ada artinya bagi raja dukun itu. Mereka percaya manusia setengah peri itu bisa dengan mudah membalikkan angka enam menjadi sembilan, empat menjadi delapan, dan merah menjadi biru. Setelah menemukan rencana solusi yang sangat andal itu Mahar dan Flo tertawa girang sekali sampai meloncat-loncat. Flo menunjukkan kekagumannya pada kneativitas Mahar dalam memecahkan masalah mereka. Mendunq yang menghiasi wajah 297 Laskar Pelangi
mereka setiap kali dimarahi Bu Mus kini sirna sudah. Di dalam kelas mereka tampak sumringah walaupun tidak sedikit pun belajar. Seluruh anggota Societeit menyambut antusias ide ketuanya untuk mengunjungi Tuk Bayan Tula. Para anggota ini sebenarnya telah lama mengidamkan pertemuan dengan Tuk, idola mereka itu, namun niat itu terpendam karena mereka takut mengungkapkannya, bahkan membayangkannya saja mereka tak berani. Apalagi tersiar kabar bahwa Tuk tak menerima semua orang. Hanya nasib yang menentukan apakah Tuk berkenan atau tidak. Dan tragisnya, jika Tuk tak berkenan biasanya yang mengunjunginya tak pernah kembali pulang. Ketika Mahan beninisiatif ke sana para anggota menyambut usulan yang memang telah mereka tunggu-tunggu. Meneka siap menerima risiko asal dapat melihat wajah Tuk walau hanya sekali saja. Kunjungan ke Pulau Lanun untuk menjumpai Tuk merupakan ekspedisi paling penting dan puncak seluruh aktivitas paranormal Societeit. Mereka mempersiapkan diri dengan teliti dan mengerahkan seluruh sumber daya karena perjalanan ke Pulau Lanun tak mudah dan biayanya sangat mahal. Mereka harus menyewa perahu dengan kemampuan paling tidak 40 PK, jika tidak maka akan memakan waktu sangat lama dan tak ‘kan kuat melawan ombak yang terkenal besar di sana. Kemudian mereka harus menyewa seorang nakhoda yang berpengalaman dan suku orangorang berkerudung. Karena ia berpengalaman dan tak mau mati konyol sebab ia tahu reputasi Tuk maka harga jasa nakhoda ini juga sangat mahal. Akibatnya Mahar rela menggadaikan sepeda warisan kakeknya, Flo menjual kalung, cincin, gelang, dan merelakan tabungan uang saku selama dua bulan yang ada dalam tas rajutannya. Mujis melego hartanya yang paling berharga, yaitu sebuah radio transistor dua band merk Philip, si peng-angguran menggaruk-garuk sampah untuk tambahan ongkos, sang mahasiswa drop out meminjam uang pada bapaknya, dan si pemain organ tunggal menggadaikan elec-tone Yamaha PSR sumber nafkahnya. 298 Laskar Pelangi
Adapun orang Tionghoa yang menjadi tukang sepuh emas memecahkan celengan ayam jago disaksikan tangisan anak- anaknya, si petugas teller BRI kerja lembur sampai tengah malam, sang pensiunan syah bandar menggadaikan lemari kaca yang digotong empat orang dan menimbulkan keributan besar dengan istrinya, sementara aku sendiri merelakan koleksi uang kunoku dibeli murah oleh Tuan Pos. Kami berdebar-debar menunggu hari H dan ketika uang patungan digelar di atas meja gaple, terkumpul uang sebanyak Rp 1,5 juta! Luar biasa. Uang yang sebagian besar logam itu bergemerincingan bertumpuk-tumpuk. Aku gemetar karena seumur hidupku tak pernah melihat uang sebanyak itu, apalagi karena sebagai sekretaris Societeit aku harus menyimpannya. Aku genggam uang itu dan terkesiap pada perasaan menjadi orang kaya. Ternyata jika kita telah menjadi orang miskin sejak dalam kandungan, perasaan itu sedikit menakutkan. Kami bersorak karena inilah dana terbesar yang berhasil kami kumpulkan. Aku menyimpan uang itu di dalam saku dan terus-menerus memegangnya. Tiba-tiba semua orang tampak seperti pencuri. Kadang-kadang uang memang punya pengaruh yang jahat. Setelah mendapatkan perahu dan bernegosiasi alot dengan nakhoda akhirnya pas tengah hari kami berangkat. Pada awalnya perjalanan cukup lancar, ikan lumba-lumba berkejaran dengan haluan perahu, cuaca cerah, angin bertiup sepoi- sepoi, dan semua penumpang bersukacita. Namun, menjelang sore angin bertiup sangat kencang. Perahu mulai terbanting-banting tak tentu arah, meliuk-liuk mengikuti ombak yang tiba-tiba naik turun dengan kekuatan luar biasa. Dan ombak itu semakin lama semakin tinggi. Dalam waktu singkat keadaan tenang berubah menjadi horor. Semakin ke tengah laut perahu semakin tak terkendali. Sama sekali tak diduga sebelumnya ombak mendadak marah dan langit mulai mendung. Badai besar akan menghantam kami. Semua penumpang pucat pasi. Terlambat untuk kembali pulang, lagi pula perahu sudah tak bisa diarahkan, 299 Laskar Pelangi
Kadang-kadang sebuah gelombang yang dahsyat menghantam lambung perahu hingga terdengar suara seperti papan patah. Aku menyangka perahu kami pecah dan kami akan karam dan berserakan di laut lepas i. Gelombang itu mengangkat perahu setinggi empat meter kemudian menghempaskannya seolah tanpa beban. Kami terhunjam bersama ombak besar yang menimbulkan lautan buih putih meluap-luap mengerikan. Ombak sudah demikian ganas, sedangkan badai yang sesungguhnya belum tiba. Aku melihat wajah nakhoda yang sudah berpengalaman itu dan jelas sekali ia cemas, membuat kami menjadi semakin gamang. Nakhoda menunjuk jauh ke arah depan, di sana tampak sebuah pemandangan yang membuat kami merinding hebat, yaitu gumpalan awan gelap bergerak pasti menuju ke arah kami dengan kilatan-kilatan halilintar sam-bung menyambung di dalamnya. Badai besar akan segera datang menggulung kami. Nakhoda mencoba membalikkan arah perahu tapi mesin 40 PK itu tak berdaya dan jika menelusuri gelombang yang demikian tinggi nakhoda khawatir perahu akan tertelungkup. Maka tak ada pilihan baginya kecuali menyonsong awan yang gelap kelam itu. Kami tak berdaya seperti diombangambingkan oleh sebuah tangan raksasa dan tangan itu justru mengumpankan kami kepada badai. Dalam waktu singkat badai sudah tiba di atas kami dan angin puting beliung memboyakkan perahu tanpa ampun. Hujan sangat lebat dan suasana menjadi gelap. Sambaran- sambaran kilat yang sangat dekat dengan perahu menimbulkan pemandangan yang menciutkan nyali. Ketika pusaran angin menusuk permukaan laut, kira-kira dua puluh meter di samping kami, seluruh tubuhku gemetar melihat semburan air besar tumpah di atas perahu. Perahu berputar-putar di tempat seperti gasing. Kami terpeleset dan telentang di sepanjang geladak, berusaha saling memegangi agar tak tumpah dan perahu. Nakhoda bertindak cepat menurunkan layar yang koyak dihantam angin, menutup palka, menjauhkan benda-benda tajam, dan mematikan mesin. Lalu ia berteriak kencang memerintahkan kami agar mengikat tubuh masing-masing ke tiang layar. Kami melilit- lilitkan tali beberapa kali seputar lingkar pinggang dan 300 Laskar Pelangi
menyimpulkan ujungnya dengan simpul mati kemudian mengikatkan diri dengan cara yang sama ke tiang layar. Usaha ini dilakukan agar kami tak terpelanting ke laut. Kami segera sadar bahwa situasi telah menjadi gawat, nyawa kami berada di ujung tanduk. Begitu cepat alam berubah dan pelayaran yang damai beberapa waktu lalu hingga menjadi usaha mempertahankan hidup yang mencekam saat in Kami dibukakan Allah sebuah lembar kitab yang nyata bahwa kuasaNya demikian besar tak terbatas. Kami berkumpul membentuk iingkaran kecil mengelilingi tiang layar. Tangan kami bertumpuk-tumpuk berusaha menggengam tiang itu. Bahu kami saling bersentuhan satu sama lain. Kami seperti orang yang bersatu padu menjelang ajal. Hampir satu jam kami masih tak tentu arah. Aku melihat haluan perahu berpendar-pendar dan kepalaku pusing seolah akan pecah. Ketika kulihat Mujis menghamburkan muntah, perutku serasa diaduk-aduk dan dalam waktu singkat aku pun muntah. Pemandangan berikutnya adalah setiap orang di atas perahu menyemburkan seluruh isi perutnya, termasuk nakhoda kapal yang telah berpengalaman puluhan tahun. Aku mencapai tingkat puncak mabuk laut ketika tak ada lagi yang bisa dimuntahkan dan yang keluar hanya cairan bening yang pahit. Semua penumpang perahu mengalaminya. Kami sudah pasrah di atas perahu yang terangkat tinggi lalu terhempas dahsyat bak sepotong busa di atas samudra yang mengamuk. Inilah pengalaman terburuk dalam hidupku. Saat itu aku amat menyesal telah ikut campur dalam ekspedisi orang-orang gila Societeit untuk menemui seorang dukun yang bahkan tak peduli dengan hidupnya sendiri. Tak adil mempertaruhkan nyawa untuk orang yang tidak menghargai nyawa. Aku memandang permukaan laut yang biru gelap dengan kedalaman tak terbayangkan dan dunia asing di bawah sana. Aku merasa sangat ngeri jika tenggelam. Wajah nakhoda tak memperlihatkan harapan sedikit pun. Ia juga telah mengikatkan tubuhnya ke tiang layar. Ia terpekur menunduk dalam, tangannya yang kuat dan tua berurat-urat memegang kuat tiang layar, berebutan dengan tangan-tangan kami. Jika kami 301 Laskar Pelangi
tenggelam maka di dasar laut mayat kami akan melayang-layang di ujung simpul-simpul tali yang mengikat tubuh kami seperti surai- surai gurita. Sebagian besar penumpang mengalirkan air mata putus asa. Namun, Flo sama sekali tak menangis. Sebelah tangannya menggenggam tiang layar, bibirnya membiru, dan wajahnya menengadah menantang langit. Wanita itu tak pernah takluk pada apa pun. Tak ada tanda-tanda ombak akan reda, bahkan semakin menjadi-jadi. Tinggal menunggu waktu kami akan terbenam karam, Dan saat yang menakutkan itu datang ketika dari jauh kami melihat gelombang yang sangat tinggi, hampir tujuh meter. Inilah gelombang paling besar dalam badai ini Kami gemetar dan berteriak histeris. Dalam waktu beberapa detik hentakan gelombang dahsyat itu menerjang perahu dan mematahkan tiang layar yang sedang kami pegang. Tiang itu patah dua dan bagian yang patah meluncur deras menuju buritan membingkas tiga keping papan di lambung perahu sehingga kapal bocor dan air masuk berlimpahlimpah. Mujis, Mahar, dan orang Tionghoa yang berpegangan pada sisi belakang layar tertendang patahan tadi dan terpelanting ke geladak. Jika tak dihalangi tutup palka mereka sudah jadi santapan samudra. Mereka menjerit-jerit ketakutan, menimbulkan kepanikan yang mencekam. Aku berpikir inilah akhir hayatku, akhir hayat kami semua, laut ini akan segera memerah karena ikan-ikan hiu berpesta pora. Namun pada saat paling genting itu aku mendengar samar-samar suara orang berteriak. Rupanya syah bandar melepaskan pegangannya dan tiang layar dan mengumandangkan azan berulangulang. Kami masih terlonjak-lonjak dengan hebat dan air mulai menggenangi geladak tapi lonjakan perahu tiba-tiba reda. Anehnya segera setelah azan itu selesai perlahan-lahan gelombang turun, Gelombang laut yang meluap-luap berbuih mengerikan tiba-tiba surut seperti dihisap kembali oleh awan yang gelap. Kami terkesima pada perubahan yang drastis. Ombak ganas menjadi semakin jinak. Hanya dalam waktu beberapa menit angin berhenti bertiup seperti kipas angin yang dimatikan. Badai yang mencekam nyawa lenyap seketika seperti tak pernah terjadi apa-apa. Tak lama 302 Laskar Pelangi
kemudian seberkas sinar menyelinap di antara gumpalan awan hitam, mengintip-intip dan gumpalan-gumpalan kelam yang memudar, Meskipun kami tak tahu sedang berada di perairan mana namun kami bersyukur kepada Allah berulang-ulang, bahkan menangis haru. Setidaknya harapan muncul kembali. Lalu kami bergegas menimba air yang memenuhi perahu. Permukaan laut yang luas tak terbatas menjadi amat tenang seperti permukaan danau. Kami memandang jauh ke laut dan tak berkata-kata karena masih gentar pada bencana yang baru saja mengancam. Flo tersenyum puas. Ia telah membuktikan bahwa ketika maut tercekat di kerongkongannya ía tetap tak takut, Sebelum menemui Tuk Bayan Tula, ía telah mencapai salah satu tujuannya. Pengalaman seperti tadilah yang sesungguhnya ía can. Awan perlahan-lahan menjadi gelap, bukan karena akan badai tapi karena senja telah turun, Nakhoda berusaha mempenkirakan posisi kami. Ia membaca bulan dan bintang di atas langit yang cerah karena cahaya purnama hari kedua belas. Ia menghidupkan mesin dan perahu bengerak pelan menuju arah sesuai hempasan badai. Beranti badai tadi telah membuang kami jauh tapi ke arah yang memang kami tuju. Tak lama kemudian nakhoda kembali mematikan mesin. Beliau benjalan menuju haluan dan menyuruh kami diam. Pantulan sinar bulan berkilau-kilauan di permukaan laut lepas sejauh mata memandang. Perahu pelan-pelan menembus benteng kabut yang tebal. Sunyi senyap seperti suasana danau di tengah nimba. Ada penasaan senam diam-diam menyelinap. Nakhoda mengawasi jauh ke depan dengan mata tajamnya yang terlatih. Kami cemas mengantisipasi bahaya lain yang akan datang, mungkin perompak, munqkin binatang yang besar, atau mungkin badai lagi. Kami melihat bayangan hitam gelap di depan kami tapi sangat tak jelas karena tertutup halimun yang semakin tebal. Kami ketakutan. Tiba-tiba nakhoda menunjuk lurus ke depan dan mengatakan sesuatu dengan suaranya yang serak. 303 Laskar Pelangi
“Pulau Lanun!” Kami serentak bendini terperangah dan tepat ketika beliau selesai menyebutkan nama pulau itu terdenganlah lolongan segerombolan anjing melengking-lengking mendirikan bulu kuduk, seperti menyambut tamu tak diundang. Teronggok sepi seperti sebuah benda asing yang dikelilingi samudna, Pulau Lanun tampak kecil sekali. Ada puluhan pohon kelapa di sisi timurnya dan daun-daun kelapa itu berkilauan laksana lampu-lampu neon yang berkibar-kibar karena pantulan sinar purnama. Di tengah pulautumbuh pohon-pohon besar yang rindang di antara ilalang dan bongkahan-bongkahan batu. Lolongan anjing semakin panjang dan menjadi-jadi ketika perahu menyelusuri naungan dahan-dahan bakau, mendekati Pulau Lanun. Pada baqian ini cahaya bulan tak tembus dan terang hanya kami dapat dan lampu pelita kecil yang berayun-ayun di tiang layar. Di bawah naungan daun-daun bakau itu kami disergap perasaan takut yang sulit dijelaskan. Di dalam hati aku mencoba merekonstruksi perasaan yang dialami utusan pawang angin tempo hari dan sejauh ini semuanya tepat. Mereka mengatakan nuansa magis mulai terasa ketika perahu mendekati pulau, hal itu benar. Saat perahu merapat rasanya tengkuk ditiup-tiup oleh angin yang jahat dan mulut ribuan hantu tak kasatmata yang membuntuti kami. Ada sebuah pengaruh mistis dan udara kuburan. Ada rasa kemurtadan, pengkhianatan, dan pembangkangan pada Tuhan. Ada jerit kesakitan dan binatang yang dibantai untuk ritual sesat dan tercium bau amis darah, bau mayat- mayat lama yang sengaja tak dikubur, bau asap dupa untuk memanggil iblis, dan bau ancaman kematian. Kabut yang beterbangan agaknya makhluk suruhan gentayangan yang mengawasi setiap gerak-gerik kami. Bangkai-bangkai perahu perompak yang pemiliknya telah dipenggal Tuk Bayan Tula berserakan hitam dan hangus. Pakaian-pakaian lengkap manusia memperlihatkan mayat mereka tak pernah diurus sang datuk. Jika ia ingin menyembelih kami tak ada hukum yang akan membela kami di sini. Kami seperti menyerahkan leher memasuki sumur sarang makhluk jadi-jadian karena tak mampu mengekang nafsu ingin 304 Laskar Pelangi
tahu, Anjing-anjing yang melolong dalam kesenyapan malam tak tampak bentuknya. Kadang kala terdengar seperti bayi yang menangis atau nenek tua yang memohon ampun karena jilatan api neraka. Suara-suara ni mematahkan semangat dan menciutkan nyali. Sungguh besar sugesti Tuk Bayan Tula dan sungguh hebat pengaruh magis legendanya sehingga menciptakan kesan mencekam seperti in Saat itu kuakui bahwa beliau apa pun bentuknya memang orang yang berilmu sangat tinggi. Daya bius magis Tuk Bayan Tula menisbikan pengalaman bertaruh dengan maut ketika badai menghantam perahu kami beberapa waktu yang lalu. Seperti kharisma binatang buas yang membuat mangsanya tak berkutik sebelum diterkam, demikianlah kharisma Tuk Bayan Tula. Walaupun sinar purnama kedua belas terang tapi semuanya tampak kelam. Kami berjalan pelan beriringan menuju kelompok pohon-pohon rindang dan batu-batu tadi. Di situlah Tuk Bayan Tula, orang tersakti dan yang paling sakti, raja semua dukun, dan manusia setengah pen tinggal. Kami gemetar namun tampak jelas setiapanggota Societeit telah menunggu momen ini sepanjang hidupnya. Tiba-tiba, seperti dikomando, suara lolongan anjing berhenti, diganti oleh kesenyapan yang mengikat. Burung-burung gagak berkaok-kaok nyaring di puncak pohon bakau yang tumbuh subur sampai naik ke daratan. Suasana semakin seram ketika kami menerabas ilalang dan menjumpai beberapa punsuk menyembul-nyembul seperti iblis bersembuyi di celah-celah perdu tebal. Punsuk adalah istilah orang Kek untuk menyebut gundukan tanah seperti makam-makam kuno. Punsuk selalu identik dengan rumah berbagai makhluk halus, lebih dan itu karena ia kelihatan seperti kuburan-kuburan Belanda, maka padang kecil ini terkesan sangat angker. Akhirnya, kami tiba di sebuah rongga yang disebut gua oleh utusan dulu, Gua itu adalah celah antara dua batu be-sar yang bersanding tidak simetris. Itulah rumah Tuk Bayan Tula. Kengerian 305 Laskar Pelangi
semakin mencekam tapi apa pun yang terjadi semuanya telah terlambat karena kami melihat se-belas pelepah pinang tergelar di mulut rongga batu. Kami menjual dan datuk telah membeli. Kami telah disambut dan harus siap dengan risiko apa pun. Kami tak langsung duduk karena dilanda ketakutan apa-lagi di dalam gua terlihat kain tipis berkelebat lalu pelan-pelan seperti asap yang mengepul dan tumpukan kayu basah yang dibakar muncul sebuah sosok tinggi besar. Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan bahwa sosok itu tidak menginjak bumi. Ia seperti mengambang di udara, bergerak maju mundur seumpama benda tak berbobot. Belum pernah seumur hidupku menyaksikan pemandangan seajaib itu. Dialah sang orang sakti, manusia setengah pen, Tuk Bayan Tula. Tanpa sempat kami berpikir tiba-tiba sosok itu melesat seperti angin dan telah berdiri tegap kukuh di depan kami. Kami terperanjat, serentak terjajar mundun, dan nyaris Lari pontang- panting. Tapi kami menguatkan hati. Tuk Bayan Tula benada dua meter dan kami yang takzim mengelilinginya. Beliau adalah seseorang yang sungguh-sungguh mencitnakan dirinya sebagai orang sakti benilmu setinggi langit. Kain hitam melilit-lilit tubuhnya, parang panjangnya masih sama dengan cenita utusan dulu, rambut, kumis, dan jenggotnya lebat tak tenunus, benwanna putih bercampur cokelat. Tulang pipinya sangat keras mengisyanatkan ia mampu melakukan kekejaman yang tak tenbayangkan dan dan alisnya mencerminkan ia tak takut pada apa pun bah-kan pada Tuhan. Namun, yang paling menonjol adalah matanya yang benkilat-kilat seperti mata burung, selunuhnya berwarna hitam, Sedikit banyak, apa pun yang akan terjadi, aku merasa beruntung pernah melihat legenda hidup ini. Tuk Bayan diam mematung. Selunuh anggota Societeit memandanginya. Bertarung nyawa ke pulau ini agaknya tenbayan karena telah melihat tokoh panutan mereka. Tak sedikit pun kenamahan ditunjukkan Tuk. Lalu beliau duduk dan kami juga duduk di sebelas pelepah pinang yang secara misterius telah beliau sediakan. Mahar tampak sangat terpesona dengan sang datuk, baginya ini mimpi yang menjadi kenyataan. Tapi ia masih tak berani mendekat karena takut. Maka Flo bangkit menghampiri Mahar, 306 Laskar Pelangi
menarik tangannya, dan wanita muda luar biasa itu tanpa tedeng aling-aling menyeret Mahar menghadap datuk. Selanjutnya dengan amat berhati-hati Mahar berbisik pada sang datuk. Tuk memandang jauh ke samudra yang berkilauan tak peduli meskipun Mahar menceritakan bahaya maut yang kami alami untuk menjumpainya. Suara Mahar terdengar sayup-sayup “... ombak setinggi tujuh meter ....“ “... badai ... angin puting beliung ... tiang Iayar patah ... azan ....“ Tuk Bayan Tula mendengarkan tanpa minat. Mahar melanjutkan kisahnya hingga sampai kepada tujuan utama kedatangannya. “... saya dan Flo akan diusir dan sekolah ....° “... sudah mendapat surat peringatan karena nilai-ni-lai yang merah . “... minta tolong agar kami bisa lulus ujian ....“ “... minta tolong Datuk, tak ada lagi harapan lain . .. “... dimarahi orangtua dan guru setiap hari .. . Kami diam seribu basa dan terus-menerus memandangi Tuk dan ujung kaki sampai ujung rambut. Tiba-tiba tak dinyana, Datuk memalingkan wajahnya pada Mahar dan Flo. Kedua anak nakal itu pucat pasi. Tuk memegang pundak Mahar sambil mengangguk-angguk. Mahar berseri-seri bukan main seperti korban longsor dicium presiden. Para anggota Societeit tampak bangga ketuanya disentuh dukun sakti pujaan hati mereka. Mahar mengerti apa yang harus dilakukan. Ia mengeluarkan sepucuk surat dan sebuah pena lalu menyerahkannya dengan penuh hormat pada Tuk. Datuk itu mengambilnya dan dengan kecepatan yang tak masuk akal beliau kembali masuk ke dalam gua. Selanjutnya terjadi sesuatu yang sangat aneh, Dan dalam gua terdengar suara keras bantinganbantingan seperti sepuluh orang 307 Laskar Pelangi
sedang berkelahi. Kami terlonjak dan tempat duduk, berkumpul rapat-rapat, mamandang waspada ke dalam gua. Kami mendengar suara auman seekor binatang buas bersuara menakutkan yang belum pernah kami dengar sebelumnya. Jelas sekali di dalam sana Tuk Bayan Tula sedang bertarung habis-habisan dengan makhlukmakhluk besar yang ganas. Rupanya untuk memenuhi permintaan Mahar beliau harus mengalahkan ribuan hantu. Seberkas penyesalan tampak di wajah Mahar. Ia tak sanggup menanggungkan beban jika tokoh kesayangannya harus tewas karena permohonannya. Debu mengepul dan pasir Iantai gua karena makhluk-makhluk liar bergumul di dalamnya. Kami bergidik cemas tapi tak berani mendekat. Kami menunduk memejamkan mata membayangkan risiko maut. Lalu piring kaleng, panci, tulang-tulang ikan, tempurung kelapa, tungku, cangkir, cambuk, parang, dan sendok terlempar keluar gua dan ber-serakan di dekat kami. Di antara benda-benda itu terdapat primbon, penanggalan tradisional Bali, peta laut, dan heberapa kitab lama bertulisan tangan bahasa Melayu kuno dan Kek. Pertempuran demikian seru hingga akhirnya terdengar jeritan kekalahan. Lalu kami melihat puluhan sosok bayangan lelembut berbentuk seperti jasad terbungkus kain kafan hitam beterbangan melesat cepat keluar dan dalam gua menembus pucuk-pucuk pohon santigi menghilang ke arah laut. Anjing-anjing hutan kembali melolong agaknya lolongan anjing-anjing itu memaki-maki gerombolan hantu yang telah dikalahkan Tuk Bayan Tula. Tuk Bayan Tula kembali hadir di mulut gua dalam keadaan terengah-engah, compang-camping, dan berantakan. Aku sangat prihatin melihat orang sakti sampai terseok-seok seperti itu. Demi memenuhi permintaan Mahar dan Flo agar tak diusir dan sekolah beliau telah mempertaruhkan jiwa. Tuk mengangkat gulungan kertas pesannya tinggi-tinggi seakan mengatakan, ‘Lihatlah wahai manusia-manusia cacing tak berguna, siapa pun, kasat atau siluman tak ‘kan sanggup melawanku. Aku telah membinasakan iblis-iblis dan dasar neraka untuk membuat 308 Laskar Pelangi
keajaiban yang membalikkan hukum alam. Nilai-nilai ujianmu akan melingkar sendiri dalam kegelapan untuk menyelamatkanmu di sekolah tua itu. Terimalah hadiahmu, karena engkau anak muda pemberani yang telah menantang maut untuk menemuiku ....“ Tuk menyerahkan gulungan kertas itu yang disambut Mahar dengan kedua tangannya seperti gelandangan yang hampir mati kelaparan menerima sedekah. Mahar memasukkan gulungan kertas ke dalam tempat bekas bola badminton dengan amat hati-hati dan menutupnya rapat-rapat seperti arsitek menyimpan cetak biru bangunan rahasia tempat menyiksa aktivis. Kotak itu dimasukkannya ke dalam jaketnya. Tuk memberi isyarat agar kertas itu dibuka setelah kami tiba di rumah dan menunjuk ke perahu agar kami segera angkat kaki. Tak sempat kami mengucapkan terima kasih, secepat kilat, seperti angin Tuk Bayan Tula lenyap dan pandangan, sirna ditelan gelap dan asap dupa gua persemayamannya. Kami Lari tenbirit-birit menuju perahu. Nakhoda segera menghidupkan mesin. Kami langsung kabur pulang. Mahar memegangi kotak bola badminton di jaketnya tak lepas-lepas. Wajahnya senang bukan main. Flo juga tersenyum lega. Kentas itulah sertifikat asuransi pendidikan mereka. Kami semua sepakat akan membuka surat itu besok se-pulang sekolah di bawah flhcium. Tengah hari itu banyak orang berkumpul di bawah pohon filicium. Selunuh teman sekelasku, seluruh anggota Societeit termasuk nakhoda yang juga menyatakan minat mendaftar sebagai anggota baru, dan para utusan tendahulu yaitu dua orang dukun, kepala suku Sawang, dan seorang polisi senior. Karena berita kami mengunjungi Tuk Bayan Tula telah tersebar ke seantero kampung maka dalam waktu singkat reputasi Societeit melejit. Semua orang tahu betapa besarnya risiko mengunjungi Pulau Lanun, yaitu ombak yang ganas, ikan-ikan hiu, dan kekejaman Tuk Bayan Tula sendiri. Maka dalam pembukaan pesan Tuk siang ini banyak sekali yang hadir. Kulihat ada Tuan Pos, para calon anggota baru Societeit yang bersemangat karena reputasi baru organisasi, beberapa penjaga dan pemilik warung kopi, beberapa orang tukang gosip, tukang ikan, juraganjuragan perahu, dan beberapa penggemar para norma’ tingkat pemula. 309 Laskar Pelangi
Setelah seluruh guru pulang Mahar dan Flo keluar dan kelas dengan wajah berseri-seri. Langkahnya ringan karena beban hancurnya nilainilai ulangan yang telah sekian lame menggelayut di pundak mereka akan segera sirna. Mereka yakin sekali pesan Tuk akan menyelamatkan masa depannya. Parapsikologi, metafisika, dan paranormal terbukti bisa memasuki area mana pun, demikian kesan di wajah keduanya. Lalu kesan lain: kalian boleh membaca buku sampai bola mata kalian meloncat tapi Tuk Bayan Tula akan membuat kami tampak lebih pintar, atau: bel- ajarlah kalian sampai muntah-muntah dan kami akan terus mengembara mengejar pesona dunia gaib, tapi tetap naik kelas sampai tingkat berapa pun. Mahar dengan cermat mengeluarkan kotak bole badminton, ia membuka tutupnya pelan-pelan. Mengambil gulungan kertas itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Baginya itulah dokumen deklarasi kemerdekaan dirinya dan Flo dan penjajahan dunia pendidikan yang banyak menuntut. Mahar memegangi gulungan itu kuat-kuat dan sebelum membukanya ia memberikan sebuah pidato singkat: “Nasib baik memihak para pemberani” Itulah pembukaan pidatonya, sangat filosofis seperti Socrates sedang memberikan pelajaran filsafat pada murid-muridnya. Anggota Societeit mengangguk-angguk setuju. “Inilah pesan yang kami dapatkan dengan susah payah. Kami mengikatkan diri pada tiang layar karena nyawa kami tinggal sejengkal dan kami memuntahkan cairan terakhir yang rasanya pahit untuk mendapatkan keajaiban ini!” Anggota Societeit bertepuk tangan bangga mendengar pidato hebat ketuanya. Demi menyaksikan pembukaan pesan ini sang teller BRI bolos kerja sedangkan bapak Tionghoa tukang sepuh emas menutup tokonya. Mahar melanjut-kan pidato dengan berapi-api. “Kami rela menggadaikan harta benda kesayangan dan berani mengambil risiko dimusnahkan dan muka bumi oleh Tuk Bayan Tula, tapi akhirnya kami bisa membuktikan bahwa Societeit de Limpai bukan organisasi sembarangan!” 310 Laskar Pelangi
Mahar berpidato penuh wibawa di hadapan pare pengikutnya lalu seperti biasa ia mengeluarkan bahasa tubuhnya yang khas: menaikkan alis, mengangkat bahu, den mengangguk-angguk. “Kami menyaksikan sendiri bahwa Tuk Bayan Tula bertempur habis-habisan untuk memberi kite pesan pada kertas ini!! Sebagai ketua Societeit, saya merasa mendapat respek dengan perlakuan beliau itu.” Anggota Societeit kembali bertepuk tangan bergemuruh. Wajah Flo tampak semakin cantik ketika ia gembira. “Maka, inilah prestasi tertinggi Societeit de Limpai.” Mahar mengangkat lagi gulungan kertas pesan Tuk Bayan Tula tinggi dan akan segera membukanya. Semua orang merubung ingin tahu, Beberapa peminat, termasuk aku, sampai naik ke atas dahan-dahan rendah filicium agar dapat membaca pesan Tuk. Tangan Mahar gemetar memegang gulungan kertas keramat itu dan wajah Flo memerah menahan girang, ia melonjak-lonjak tak sabar menunggu kejutan yang menyenangkan. Semua orang merasa tegang dan sangat ingin tahu. Mahar perlahan-lahan membuka gulungan kertas itu dan di sana, di kertas itu tertulis dengan jelas: “PESAN TUK-BAYAN-TULA UNTUK KALIAN BERDUA, KALAU INGIN LULUS UJIAN: BUKA BUKU, BELAJAR!!” ******** 311 Laskar Pelangi
BAB 30 Elvis Has Left the Building KAMI sedang benci pada Samson karena sikapnya yang keras kepala. Kami berdebat hebat di bawah pohon filicium. Sembilan lawan satu. Tapi ia dengan konyol tetap memperjuangkan pendiriannya, tak mau kalah. Duduk perkaranya adalah semalam kami baru saja menonton film Pulau Putri yang dibintangi S. Bagyo. Di film itu S. Bagyo dkk. terdampar di sebuah pulau sepi yang hanya dihuni kaum wanita. Kerajaan atau berarti lebih tepatnya keratuan di pulau itu sedang diteror seorang ne-nek sihir berwajah seram. Jika ia tertawa, ingin rasanya kami terkencing-kencing. Kami menonton film yang diputar sehabis magrib itu di bioskop MPB (Markas Pertemuan Buruh) yang khusus disediakan oleh PN Timah bagi anak anak bukan orang staf. Sebuah bioskop kualitas misbar dengan 2 buah pengeras suara lapangan merk TOA. Karena lantainya tidak didesain selayaknya bioskop maka agar penonton yang paling belakang tidak terhalang pandangannya, di bagman belakang disediakan bangku tinggi tinggi. Dan kami, sepuluh orang termasuk Flo duduk berjejer di bangku paling belakang. 312 Laskar Pelangi
Anak-anak orang staf menonton di tempat yang berbeda, namanya Wisma Ria. Di sana film diputar dua kali seminggu. Penonton dijemput dengan bus berwarna biru. Tentu saja di bioskop itu juga terpampang peringatan keras.. “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”. Kami tak menduga sama sekali kalau film yang berjudul indah Pulau Putri tersebut adalah film horor. Membaca judulnya kami pikir kami akan melihat beberapa putri cantik melumuri tubuhnya dengan semacam krim dan Lari berlanian sambil tertawa cekikikan di pinggir pantai. “Asyik,” kata Kucai berbinar-binar. Namun, perkiraan kami meleset, Baru beberapa menit film dimulai nenek sihir itu muncul dengan tawanya yang mengerikan. Yang cekikikan adalah kaum dedemit. S. Bagyo dan kawan-kawan Lari terbirit-birit. Dan belakang aku dapat menyaksikan seluruh penonton, anak-anak kuli PN Timah, tiarap setiap nenek jahat itu muncul di layar. Beberapa anak perempuan menangis dan anak-anak lainnya ambil langkah seribu, kabur dan bioskop rombeng ini dan tak kembali lagi. Di deretan tempat dudukku kulihat Samson yang duduk di ujung kin hampir sama sekali tidak menonton. Ia bersembunyi di ketiak Syahdan. Sebaliknya, Syahdan bersembunyi di ketiak A Kiong. A Kiong bersembunyi di ketiak Kucai, Kucai di ketiakku, Aku dan Trapani di ketiak Mahar. Trapani menjerit-jerit memanggil ibunya jika nenek sihir itu mengobrak-abrik kampung. Dan Mahar menunduk seperti orang mengheningkan cipta. Yang berdiri tegak tak bergerak hanya Harun, Sahara, dan Flo. Mereka tertawa terbahak-bahak melihat S. Bagyo pontang-panting dikejar setan. Jika S. Bagyo berhasil lolos mereka bertepuk tangan. Ketika pulang, kami bergandengan tangan. Ketika melewati kuburan, tangan Trapani sedingin es. 313 Laskar Pelangi
Esoknya, saat istirahat siang Samson berkeras bahwa nenek sihir itulah yang diuber-uber oleh S. Bagyo. Kami semua protes karena ceritanya sama sekali tidak begitu. “Tahukah kau justru Bagyolah yang diuberuber nenek sihir sepanjang film itu,’ Samson berkeras. “Mana mungkin,” bantah Kucai. “Aku melihat sendiri kau menggigil ketakutan di bawah ketiak Syahdan,” serang A Kiong. Samson masih berkelit, ‘Apa kau sendiri menonton? Setahuku hanya Sahara, Harun, dan Flo yang tak sembunyi.” Sahara melirik kami dengan pandangan jijik, “Semua pria brengsek!” katanya ketus. Harun mengangguk-angguk mendukung mutlak pernyataan itu. “Biar kami hanya melirik sekali-sekali bukan berarti kami tak tahu jalan ceritanya,” Mahar memojokkan Samson. Demi mendengar kata “melirik sekali-sekali’ itu Sahara semakin jijik. “Semua pria menyedihkan!” Samson membalas Mahar, ‘Ah! Tahu apa kau soal film, urus saja jambulmu itu!” Kami semua tertawa geli, dan memang Mahar segera menyisir jambulnya. Kami semua terlibat perang mulut, kecuali Trapani, ia diam melamun, Belakangan ini Trapani semakin pendiam dan sering melamun. Aku paham apa yang terjadi. Samson malu mengakui bahwa ia bersembunyi di bawah ketiak Syahdan. Ia tak inqin citranya sebagai pria macho hancur hanya karena ketakutan nonton sebuah film. Perilakunya itu persis kaum oportunis di panggung politik negeri ini. Perdebatan semakin seru. Diperlukan seorang penengah dengan 314 Laskar Pelangi
wawasan dan kata-kata cerdas pamungkas untuk mengakhiri perseteruan ini. Sayangnya si cerdas itu sudah dua hari tak tampak batang hidungnya. Tak ada kabar berita. Ketika esoknya Lintang tak juga hadir, kami mulai khawatir. Sembilan tahun bersama-sama tak pernah ia bolos. Saat ini sedang musim hujan, bukan saatnya kerja kopra. Bukan pula musim panen kerang, sementara karet telah digerus bulan lalu. Pasti ada sesuatu yang sangat penting. Rumahnya terlalu jauh untuk mencari berita. Sekarang hari Kamis, sudah empat hari Lintang tak muncul juga. Aku melamun memandangi tempat duduk di sebelahku yang kosong. Aku sedih melihat dahan filicium tempat ia bertengger jika kami memandangi pelangi. Ia tak ada di sana. Kami sangat kehilangan dan cemas. Aku rindu pada Lintang. Kelas tak sama tanpa Lintang. Tanpanya kelas kami hampa kehilangan auranya, tak berdaya. Suasana kelas menjadi sepi. Kami rindu jawaban-jawaban hebatnya, kami rindu kata-kata cerdasnya, kami rindu melihat-nya berdebat dengan guru. Kami juga rindu rambut acak-acakannya, sandal jeleknya, dan tas karungnya. Bu Mus berusaha ke sana sini mencari kabar dan menitipkan pesan pada orang yang mungkin melalui kampung pesisir tempat tinggal Lintang. Aku cemas membayangkan kemungkinan buruk. Tapi biarlah kami tunggu sampai akhir minggu ini. Senin pagi, kami semua berharap menjumpai Lintang dengan senyum cerianya dan kejutankejutan barunya. Tapi ia tak muncul juga. Ketika kami sedang berunding untuk mengunjunginya, seorang pria kurus tak beralas kaki masuk ke kelas kami, menyampaikan surat kepada Bu Mus. Begitu banyak kesedihan kami lalui dengan Bu Mus selama hampir sembilan tahun di SD dan SMP Muhammadiyah tapi baru pertama kali ini aku melihatnya menangis. Air matanya berjatuhan di atas surat itu.. 315 Laskar Pelangi
”Ibunda guru, Ayahku telah meninggal, besok aku akan kesekolah..” Salamku, Lintang. ********* Seorang anak laki-laki tertua keluarga pesisir miskin yang ditinggal mati ayah, harus menanggung nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan pamanpaman yang tak berdaya, Lintang tak punya peluang sedikit pun untuk melanjutkan sekolah. Ia sekarang harus mengambil alih menanggung nafkah paling tidak empat belas orang, karena ayahnya, pria kurus berwajah lembut itu, telah mati, karena pria cemara angin itu kini telah tumbang. Jasadnya dimakamkan bersama harapan besarnya terhadapanak lelaki satu- satunya dan justru kematiannya ikut membunuh cita—cita agung anaknya itu. Maka mereka berdua, orang-orang hebat dan pesisir ini, hari ini terkubur dalam ironi. Di bawah pohon filicium kami akan mengucapkan perpisahan. Aku hanya diam. Hatiku kosong. Perpisahan belum dimulai tapi Trapani sudah menangis terisak-isak. Sahara dan Harun duduk bergandengan tangan sambil tersedu-sedu. Samson, Mahar, Kucai, dan Syahdan berulang kali mengambil wudu, sebenarnya dengan tujuan menghapus air mata. A Kiong melamun sendirian tak mau diganggu. Flo, yang baru saja mengenal Lintang dan tak mudah terharu tampak sangat muram. Ia menunduk diam, matanya berkaca-kaca. Baru kali ini aku melihatnya sedih. Kami melepas seorang sahabat genius asli didikan alam, salah seorang pejuang Laskar Pelangi lapisan tertinggi. Dialah ningrat di antara kami. Dialah yang telah menorehkan prestasi paling istimewa 316 Laskar Pelangi
dan pahlawan yang mengangkat derajat perguruan miskin in Kuingat semua jejak kecerdasannya sejak pertama kali ia memegang pensil yang salah pada hari pertama sekolah, sembilan tahun yang lalu. Aku ingat semangat persahabatan dan kejernihan buah pikirannya. Dialah Newton-ku, Adam Smithku, Andre Ampereku. Lintang adalah mercu suar. Ia bintang petunjuk bagi pelaut di samudra. Begitu banyak energi positif, keceriaan, dan daya hidup terpancar dan dirinya. Di dekatnya kami terimbas cahaya yang masuk ke dalam rongga-rongga otak, memperjelas penglihatan pikiran, memicu keingintahuan, dan membuka jalan menuju pemahaman. Darinya kami belajar tentang kerendahan hati, tekad, dan persahabatan. Ketika ia menekan tombol di atas meja mahoni pada lomba kecerdasan dulu, ia telah menyihir kepercayaan diri kami sampai hari ini, membuat kami berani bermimpi melawan nasib, berani memiliki cita-cita. Lintang seumpama bintang dalam rasi Cassiopeia yang meledak dini hari ketika menyentuh atmosfer. Ketika orang-orang masih lelap tertidur. Cahaya Iedakannya menerangi angkasa raya, membeni terang bagi kecemerlangan pikiran tanpa seorang pun tahu, tanpa ada yang peduli. Bagai meteor pijar ia berkelana sendirian ke planet-planet pengetahuan, lalu kelipnya meredup dalam hitungan mundur dan hari ini ia padam, tepat empat bulan sebelum ia menyelesaikan SMP. Aku merasa amat pedih karena seorang anak supergenius, penduduk asli sebuah pulauterkaya di Indonesia hari ini harus berhenti sekolah karena kekurangan biaya. Hari ini, seekor tikus kecil mati di lum-bung padi yang berhimpah ruah. Kami pernah tertawa, menangis, dan menari bersama di dalam hingkaran bayang kobaran api. Kami tercengang karena terobosan pemikirannya, terhibur oleh ide-ide segarnya yang memberontak, tak biasa, dan menerobos. Ia belum pergi tapi aku sudah rindu dengan sorot mata lucunya, senyum polosnya, dan setiap kata-kata cerdas dan mulutnya. Aku rindu pada dunia sendiri di dalam kepalanya, sebuah dunia kepandaian yang luas tak terbatas dan kerendahan hati yang tak bertepi. Inilah kisah klasik tentang anak pintar dan keluarga melarat. Hari 317 Laskar Pelangi
ini, hari yang membuat gamang seorang laki-laki kurus cemara angin sembilan tahun yang lalu akhirnya terjadi juga. Lintang, sang bunga meriam ini tak •kan lagi melontarkan tepung sari. Hari ini aku kehilangan teman sebangku selama sembilan tahun. Kehilangan ini terasa lebih menyakitkan melebihi kehilangan A Ling, karena kehilangan Lintang adalah kesia-siaan yang mahabesar. ini tidak adil. Aku benci pada mereka yang berpesta pora di Gedong dan aku benci pada diriku sendiri yang tak berdaya menolong Lintang karena keluarga kami sendiri melarat dan orangtua-orangtua kami harus berjuang setiap hari untuk sekadar menyambung hidup. Ketika datang keesokan harinya, wajah Lintang tampak hampa. Aku tahu hatinya menjerit, meronta-ronta dalam putus asa karena penolakan yang hebat terhadap perpisahan in Sekolah, kawankawan, buku, dan pelajaran adalah segala-galanya baginya, itulah dunianya dan seluruh kecintaannya. Suasana sepi membisu, suara-suara unggas yang biasanya riuh rendah di pohon fihicium sore ini lengang. Semua hati terendam air mata melepas sang mutiara ilmu dan hingkaran pendidikan. Ketika kami satu per satu memeluknya tanda perpisahan, air matanya mengahir pelan, pelukannya erat seolah tak mau melepaskan, tubuhnya bergetar saat jiwa kecerdasannya yang agung tercabut paksa meninggalkan sekolah. Aku tak sanggup menatap wajahnya yang pilu dan kesedihanku yang mengharu biru telah mencurahkan habis air mataku, tak dapat kutahantahan sekeras apa pun aku berusaha. Kini ia menjadi tangis bisu tanpa air mata, perih sekahi. Aku bahkan tak kuat mengucapkan sepatah pun kata perpisahan. Kami semua sesenggukan. Bibir Bu Mus bergetar menahan tangis, matanya semerah saga. Tak setitik pun air matanya jatuh. Behiau ingin kami tegar. Dadaku sesak menahankan pemandangan itu. Sore itu adahah sore yang paling sendu di seantero Behitong, dan muara Sungai Lenggang sampai ke pesisir Pangkalan Punai, dan Jembatan Mirang sampai ke Tanjong Pandan. Itu adalah sore yang paling sendu di seantero jagad alam. Saat itu aku menyadari bahwa kami Sesungguhnya adalah 318 Laskar Pelangi
kumpulan persaudaran cahaya dan api. Kami berjanji setia di bawah halilintar yang menyambar-nyambar dan angin topan yang menerbangkan gunung-gunung. Janji kami tertulis pada tujuh tingkatan langit, disaksikan naga-naga siluman yang menguasai Laut Cina Selatan. Kami adalah lapisan-lapisan pelangi terindah yang pernah diciptakan Tuhan. 319 Laskar Pelangi
Dua belas tahun kemudian.. ******** 320 Laskar Pelangi
BAB 31. Zaal Batu SEORANG wanita setengah baya berjalan de-ngan seorang pria bernama Dahroji, menghampiriku. Masalah! Pasti masalah lagi! “Kalau Nyonya mau marah, tumpahkan pada laki-laki berantakan ini,” kata Dahroji. Ia pergi menahan murka. Wanita itu mengamatiku baik-baik. Dandanannya, huruf ‘r’ dan “g” yang keluar dan tenggorokannya, tarikan alisnya, serta gayanya memandang, mengesankan ia pernah sekian lama tinggal di luar negeri dan ia muak dengan semua ketidak efisienan di negeri ini. Agaknya ia memiliki masalah yang sangat gawat. Va, memang gawat, surat restitusi bea masuk lukisan dan luar negeri yang dikirim oleh kantor Duane terlambat ia terima karena aku salah sortir. Seharusnya ia masuk kotak Ciawi tapi aku tak sengaja melemparkannya ke lubang Gunung Sindur. Human error! Telah tiga kali aku keliru minggu in Alasanku karena overload. Dahroji, ketua ekspedisi, tak mau tahu kesulitanku. Volume surat meningkat tajam dan banyak perluasan wilayah yang membuka wijk baru yang tak kukenal. Aku memandang kuyu pada tiga karung surat bercap Union Postale Universele ketika nyonya yang masih 321 Laskar Pelangi
seksi itu komplain. Sejenak aku benci pada hidupku yang kacau balau, Salah satu ciri hidup yang tak sukses adalah menerima semprotan pelanggan sebelum sempat sarapan pagi. Tapi sekian lama bekerja di sini aku telah terlatih memadamkan sementara fungsi gendang telinga. Maka madam itu hanya kulihat bergetar- getar seperti Greta Garbo dalam film bisu hitam putih. “Hoe vaak moet ikje dat nog zeggen!’ hardiknya sambil melengos pergi. Benar kan kataku? Kira-kira maksudnya: saya sudah komplain berapa kali masih saja keliru! Dan kembali aku termangu-mangu menatap tiga karung surat tadi. Setelah terpuruk akibat dikhotbahi nyonya itu aku masih harus bekerja keras menyortir semuanya karena pukul delapan seluruh pengantar kilat khusus termin pertama akan berangkat dan karena aku adalah pegawai p0s, tukang sortir, bagian kiriman peka waktu, shift pagi, yang bekerja mulai subuh. Aku sengsara batin karena ironi dalam hidupku. Rencana Aku dua belas tahun yang lalu untuk menjadi seorang penulis dan pemain bulu tangkis ternama telah lenyap, kandas di dalam kotak- kotak sortir surat. Bahkan rencana Bku, yaitu menjadi penulis buku tentang bulu tangkis dan kehidupan sosial, juga telah gagal meskipun di dalam hati aku masih menyimpan komentar-komentar manis para mantan kampiun bulu tangkis. Buku itu sebenarnya telah selesai kutulis, tidak tanggung- tanggung, seluruhnya mencapai 34 bab dan hampir 100.000 kata. Untuk menulisnya aku telah melakukan riset yang intensif di federasi bulu tangkis dan komite olahraga nasional serta mengamati kehidupan sosial beberapa mantan pemain bulu tangkis terkenal. Aku juga mempelajari budaya pop serta tren terbaru pengembangan kepribadian. Tapi para penerbit tak sudi menerbitkan bukuku berdasarkan pertimbanqan komersial. Mereka lebih tertarik pada karya-karya sastra cabul, yaitu buku buku yang penuh tulisan jorok, karena buku-buku semacam itu lebih mendatangkan keuntungan. Mereka, para penerbit itu, telah melupakan prinsip prinsip men sana in corpore sano. 322 Laskar Pelangi
Aku berusaha membesarkan hati dengan berpretensi menyama- nyamakan diriku dengan John Steinbeck yang tujuh kali ditolak penerbit tapi akhirnya bisa mengantongi Pulitzer. Aku juga tak keberatan menjadi Mary Shelley yang hanya pernah sekali menulis buku Frankenstein lalu hilang dalam kejayaan. Aku harap bukuku: Bulu Tangkis den Pergaulan dapat menjadi sebuah karya fenomenal yang dikenang orang sepanjang masa. Setidaknya itulah sumbanganku untuk kemanusiaan. Namun bagaimanapun aku berusaha menguatkan diri, kenyataannya aku hampir mati lemas ditumpuki kegagalan demi kegagalan. Bagaimanapun dulu Pak Harfan dan Bu Mus mengajariku agar tak gentar pada kesulitan apa pun, namun pada titik ini dalam hidupku ternyata nasib telah menghantamku dengan technical knock out. Pada suatu dini hari yang paling frustrasi, di bawah hujan deras, aku menumpuk empat bendel master tulisanku beserta enam buah disket. Tumpukan itu kusimpul mati dengan tali jalin dan pemberat setengah kilo berupa segel timah plombir untuk mengikat kantong pos. Aku berlari menuju Jembatan Sempur lalu buku bulu tangkis rencana B ku itu, buku bergenre humaniora itu sambil memejamkan mata dengan hati yang redam kulemparkan ke dasar Kali Ciliwung. Jika tak tersangkut di celah batu-batu di dasar kali maka buku itu akan terapung-apung bersama banjir kiriman ke Jakarta, hanyut terombang-ambing bersama cita-citaku. Aku ingin melarikan diri ke satu-satunya tempat yang paling indah dalam hidupku, yang telah kukenal sejak belasan tahun yang lalu. Sebuah desa cantik dengan taman bunga, pagar-pagar batu kelabu yang mengelilinginya, dan jalan setapak yang ditudungi untaian dahan-dahan prem. Itulah Edensor, eden berarti surga, nirwana pelarian dalam otak kecilku dan buku Herriot yang sangat kumal karena telah puluhan kali kubaca. Semakin sukar hidupku, semakin sering aku membacanya. Sayangnya aku tak bisa ke Edensor karena sampai hari ini tempat itu masih tetap hanya ada dalam khayalanku. Setiap pulang kerja aku sering duduk melamun di pokok pohon randu, di pinggir Lapangan Sempur, dekat kamar kontrakanku. Menghadap ke Kali Ciliwung aku memprotes Tuhan: “Ya, Allah, bukankah dulu pernah kuminta jika aku gagal 323 Laskar Pelangi
menjadi penulis dan pemain bulu tangkis maka jadi-kan aku apa saja asal bukan pegawai pos! Dan jangan ben aku pekerjaan mulai subuh ...!!“ Tuhan menjawab doaku dulu persis sama seperti yang tak kuminta. Begitulah cara Tuhan bekerja. Jika kita menganggap doa dan pengabulan merupakan variabel-variabel dalam sebuah fungsi linier maka Tuhan tak lain adalah musim hujan, sedikit banyak kita dapat membuat prediksi. Kuberi tahu Kawan, cara bertindak Tuhan sangat aneh, Tuhan tidak tunduk pada postulat dan teorema mana pun. Oleh karena itu, Tuhan sama sekali tak dapat diramalkan. Maka inilah aku sekarang. Dalam asumsi yang konservatif petugas biro statistik menyebut orang sepertiku sebagai mereka yang bekerja pada sektor jasa, mengonsumsi di bawah 2.100 kalori setiap hari, dan berada dekat sekali dengan garis miskin. Miskin, kata itu demikian akrab sepanjang hidupku, bagaikan sahabat baik, seperti mandi pagi. Sebenarnya sepanjang waktu aku meloncat-loncat di antara garis miskin itu, tergantung jam lembur yang diberikan Dahroji. Jika aku banyak lembur maka bulan itu mereka dapat mempertimbangkanku dalam lapisan berpenghasilan menengah ke bawah. Toh orang-orang statistik itu tidak membuat parameter waktu bagi setiap kategori. Tapi singkatnya begini saja, aku adalah bagian dan 57% rakyat miskin yang ada republik ini. Hidup membujang, mandiri, terabaikan, bekerja sepuluh jam sehari, kisaran usia 25-30 tahun, itulah demografi yang aku wakili. Secara psikografi identitasku adalah pria yang kesepian. Orang marketing melihatku sebagai target market produkproduk minyak rambut, deodoran, peninggi tubuh, peramping perut buncit, atau apa saja yang berkenaan dengan upaya peningkatan kepercayaan diri. Dunia tak mau peduli padaku, dan negara hanya mengenalku me-lalui sembilan digit nomor, 967275337, itulah nomor induk pegawaiku. Tak ada bahagia pada pekerjaan sortir. Pekenjaan ini tidak termasuk dalam profesi yang ditampilkan munid-munid SD dalam karnaval. Setiap hari berkubang dalam puluhan kantong pUS dan negeri antah berantah. Masa depan bagiku adalah pensiun dalam keadaan miskin dan rutin berobat melalui fasilitas Jamsostek, lalu 324 Laskar Pelangi
mati merana sebagai orang yang bukan siapa-siapa. Setelah usai bekerja aku tenlalu lelah untuk bersosialisasi. Aku mendenita insomnia, Setiap malam antara tidur dan terjaga aku terhipnotis cerita wayang golek dan suara kemerosok radio AM. Aku bangun pagi-pagi buta ketika orang-orang Bogon masih meringkuk di tempat tidur mereka yang nyaman. Aku merangkak-rangkak kedinginan, terseok-seok menuju kantor poS melewati bantaran Kali Ciliwung yang masih diliputi kabut untuk kembali menyortir ribuan surat, Saat orang-orang Bogor bangun dan mengibas-ngibaskan koran pagi di depan teh panas dan tangkupan roti, aku juga sarapan makian dan madam Belanda tadi. Itulah hidupku sekarang, masa depanku tak jelas dan aku sudah tak punya konsep lagi tentang masa depan. Semuanya serba tak pasti. Yang kutahu pasti cuma satu hal: aku telah gagal. Aku mengutuki diri sendiri terutama ketika apel Korpri tanggal 17. Hanya Eryn Resvaldya Novella satu-satunya hiburan dalam hidupku. Ia cerdas, agamais, cantik, dan baik hati. Usianya 21 tahun. Belakangan aku memanggilnya awardee karena ia baru saja menerima award sebagai mahasiswa paling bermutu di salah satu univensitas paling bergengsi di negeri ini di kawasan Depok. Ia mahasiswa universitas itu, jurusan psikologi. Ayah Eryn, abangku, terkena PHK dan aku mengambil alih membiayai sekolahnya. Lelah seharian bekerja lenyap jika melihat Eryn dan semangat belajarnya, jiwa positifnya, dan intelegensia yang terpancar dan sinar matanya. Aku rela kerja lembur berjam-jam, membantu menerjemahkan bahasa Ing-gris, menerima ketikan, dan berkorban apa saja termasuk baru-baru ini menggadaikan sebuah tape deck, hartaku yang paling benhanga demi membiayai kuliahnya. Pengalaman dengan Lintang telah menjadi trauma bagiku. Kadang- kadang aku bekenja begitu kenas demi Eryn untuk menghilangkan perasaan bersalah karena tak mampu membantu Lintang. Eryn menimbulkan semacam perasaan bahwa semenyedihkan apa pun, hidupku masih benguna. Tak ada yang dapat dibanggakan dalam hidupku sekarang, tapi aku ingin mendedikasikannya pada sesuatu yang penting. Eryn adalah satu-satunya arti dalam hidupku. 325 Laskar Pelangi
Saat ini Eryn sedang panik karena proposal skripsinya berulang kali ditolak. Sudah belasan kali hal ini terjadi. Sejak kuliahnya selesai semester lalu ia telah menghabiskan waktu lima bulan hanya untuk mencari topik skripsi yang bermutu. Bersama surat penolakan itu pembimbingnya melampirkan lima belas lembar kertas berisi judul skripsi yang pernah ditulis. Aku melirik, benar saja, sudah tiga puluh orang yang menulis tentang personality disorder, puluhan lainnya menulis topik tentang kepuasan kerja, down syndrome, dan metode konseling anak. Tak terhitung yang telah menulis skripsi mengenai autisme. Pembimbingnya menuntut Eryn menulis sesuatu yang baru, berbeda, dan mampu membuat terobosan ilmiah karena ia adalah mahasiswa cerdas pemenang award. Aku setuju dengan pandangan itu. Eryn sebenarnya telah memiliki konsep tentang sesuatu yang berbeda itu. Dan pembicaraannya yang meluap-luapaku menangkap bahwa ia telah mempelajari suatu gejala psikologi di mana seorang individu demikian tergantung pada individu lain sehingga tak bisa melakukan apa pun tanpa pasangannya itu. Kemudian ia pun mengajukan tema tersebut, pembimbingnya setuju. Masalahnya adalah gejala seperti itu sangat jarang terjadi sehingga Eryn tak kunjung mendapatkan kasus. Memang terdapat beberapa kasus dependensi tapi intensitasnya rendah, gejala sehari-hari saja yang tidak memerlukan perawatan khusus sehingga dianggap kurang memadai untuk analisis mendalam. Eryn mencari sebuah kasus ketergantungan yang akut, Ia telah berkorespondensi dengan puluhan psikolog, psikiater, dosen-dosen universitas, lembaga- lembaga yang menangani kesehatan mental, dan para dokter di rumah sakit jiwa di seluruh negeri, tapi hampir empat bulan berlalu kasusnya tak kunjung ditemukan. Eryn mulai frustrasi, Namun agaknya nasib menyapa Eryn hari ini. Ketika menyortir aku menemukan sepucuk surat yang ditujukan ke kontrakanku. Surat untuk Eryn dengan sampul resmi yang bagus sekali, dan sebuah rumah sakit jiwa di Sungai Liat, Bangka. 326 Laskar Pelangi
“Awardee! Seseorang dan rumah sakit jiwa agaknya jatuh hati padamu ...‘ kataku setiba di rumah kontrakanku. Ia merampas surat dan tanganku, membacanya sekilas, lalu meloncat-locat gembira. “Alhamdullilah, finally! Cicik (paman), kita akan berangkat ke Sungai Liat!” Eryn telah menemukan kasusnya. Seorang dokter senior profesor tepatnya yang menjadi staf ahli di rumah sakit jiwa Sungai Liat memberi tahu bahwa kasus langka yang dicari Eryn ditemukan di sana. Dokter itu juga mengatakan bahwa kasus itu banyak diincar para ilmuwan, termasuk beberapa kandidat Ph.D. untuk diteliti, tapi Eryn diprioritaskan karena prestasi kuliahnya. Eryn memintaku cuti untuk mengantarnya ke rumah sakit jiwa itu. Apa dayaku menolak, bukankah semuanya memang untuk mendukung dirinya. Lagi pula Sungai Liat ada di Pulau Bangka, tetangga Pulau Belitong. Kami akan sekalian pulang kampung setelah ia riset. Rumah sakit jiwa Sungai Liat sudah sangat tua. Orang Belitong menyebutnya Zaal Batu. Barangkali zaman dulu dinding ruang perawatannya adalah batu. Karena di Belitong tidak ada rumah sakit jiwa bahkan sampai sekarang maka orang Belitong yang mentalnya sakit parah sering dikirim melintasi laut ke rumah sakit jiwa in Karena itu Zaal Batu bagi orang Belitong selalu memberi kesan sesuatu yang mendirikan bulu kuduk, kelam, sakit, dan putus asa. ********** Sore itu mendung ketika kami tiba di Zaal Batu. Suara azan ashar bersahut-sahutan lalu sepi pun mencekam. Kami memasuki gedung tua berwarna serba putih dengan plafon tinggi dan pilar-pilar. Lalu kami melewati sebuah selasar panjang berlantai ubin tua berwarna cokelat dan bermotif jajaran genjang simetris, Beberapa jambangan bunga model lama gaya Belanda bederet- 327 Laskar Pelangi
deret di sepanjang selasar itu. Pemandangan lainnya tak berbeda dengan rumah sakit jiwa lainnya. Pintu-pintu besi dengan gembok besar, kamar obat berisi botol-botol pendek, bau karbol, meja beroda, para perawat yang berpakaian serba putih, dan para pasien yang berbicara sendiri atau memandang aneh. Terdengar lamat- lamat suara cekikikan dan teriakan beberapa kelompok pasien yang sedang bercanda dengan para perawat di halaman rumah sakit yang luas. Setelah melewati selasar kami berhadapan dengan sebuah pintu jeruji yang dikunci dengan lilitan rantai dan digembok. Kami terhenti di situ. Seorang perawat pria tergopoh-gopoh menghampiri kami. Ia tahu kami sedang ditunggu, ia membuka pintu. Kami masuk melintasi sebuah ruangan panjang. Ruangan yang terkunci rapat ini menampung beberapa pasien. Mereka mengikuti gerakgerik kami dengan teliti. Eryn tak berani jauh-jauh dari perawat tadi. Aku tak takut tapi sedih melihat penderitaan jiwa mereka. Suasana di sini mencekam. Banyak pasien berusia lanjut dan meskipun kelihatan sehat tapi kita segera tahu bahwa orang-orang ini sangat terganggu kewarasannya. Pandangan matanya penuh tekanan, kesedihan, dan beban, Beberapa di antaranya bersimpuh di Iantai atau mengguncang- guncang jerejak besi di jendela. Aku memerhatikan beberapa wajah para pasien di balik batangan jeruji besi. Perlahan-lahan batangan jeruji itu bergerak sendiri benselang seling. Wujudnya menjelma menjadi puluhan pasang kaki manusia. Di sela-sela kaki itu kulihat wajah yang telah sangat lama kukenal. Kesedihan rumah sakit jiwa ini membuka ruangan gelap di kepalaku, tempat Bodenga bersembunyi. Kami kembali terhenti di depan sebuah pintu besi. Kali ini pintu besi dua lapis. Setelah rantai dibuka kami memasuki ruangan berupa lorong yang panjang. Sisi kin kanan lorong adalah kamar- kamar perawatan. Suasana di lorong ini sunyi senyap. Sebagian besar kamar kosong dengan pintu terbuka. Kamar yang diisi pasien tertutup rapat. Lamat-lamat terdengar suara orang meratap dan balik pintu-pintu tertutup itu. 328 Laskar Pelangi
Aku mendengar suara langkah sepatu yang bergema dalam kesepian ruangan. Seorang pria berusia enam puluhan mendekati kami. Beliau tersenyum. Wajahnya tenang, bersih, dan bening, tipikal wajah yang sering tersiram air wudu. Jemari tangannya menggulirkan biji-biji tasbih, beliau mengucapkan asma-asma Allah, beliau membuatku sangat segan, seorang intelektual yang rendah hati sekaligus yang taat beragama. Profesor ini memiliki dua kualitas agung tersebut. Dengan sangat santun beliau menyatakan terima kasih atas kedatangan kami. Namanya Profesor Van. “ini kasus mother complex yang sangat ekstrem ...,‘ kata profesor itu dengan suara berat, itu seakan ikut merasakan penderitaan pasiennya. ‘Tiga puluh delapan tahun di bidang ini baru kali ini aku menjumpai hal semacam in Anak muda ini sedikit pun tak bisa lepas dan ibunya. Jika bangun tidur tidak melihat ibunya ia menjerit-jerit histeris. Ketergantungan yang kronis ini menyebabkan ibunya sendiri sekarang hampir terganggu jiwanya. Mereka telah menghuni tempat ini hampir selama enam tahun ....“ Aku tersentak miris mendengar penjelasan beliau , Eryn sendiri terperanjat. Ia berusaha menguatkan diri mendengar kenyataan yang menghancurkan hati itu. Aku menatap wajah Profesor Van, Ia adalah dokter jiwa yang amat berpengalaman tapi jelas ia prihatin dan terpengaruh dengan kasus ini. Di sisi lain aku kagum pada psikologi dan orang orang yang mendedikasikan hidupnya pada bidang ini. Penjelasan Profesor Van melekat dalam pikiranku , Aku merinding karena merasa getir pada nasib anak beranak itu. Anak muda yang malang. Ibunya yang tadinya sehat terpaksa hidup tidak normal. Orangtua mana yang mampu menolak kasih sayang anaknya, meskipun rasa sayang itu berlebihan? Mungkin ia lebih rela gila daripada membiarkan anaknya berteriak-teriak memerlukannya sepanjang waktu. Mereka berdua pasti amat menderita. Enam tahun terpuruk di sini, betapa mengerikan. Kadangkadang nasib bisa demikian kejam pada manusia. Siapakah anak beranak yang malang itu? 329 Laskar Pelangi
Profesor Van membimbing kami menyelusuri lorong tadi menuju sebuah pintu paling ujung. Di sana ada ruangan terpencil dan menyendiri. Beliau membuka pintu pelan-pelanm. Aku gugup membayangkan pemandangan yang akan kulihat. Akankah aku kuat menyaksmkan penderitaan seberat itu? Apa sebaiknya aku menunggu di luar saja? Tapi Profesor Van telanjur membuka pintu. Engsel pintu ber-decit panjang, menimbulkan rasa gamang. Kami berdiri di ambang pintu. Ruangan itu luas, tak berjendela, dan dindingnya polos tinggi berwarna putih. Tak ada lukisan atau jambangan bunga. Begitu sepi, tak ada suara satu pun. Penerangan hanya berasal dan sebuah bohlam dengan kap rendah sehingga plafon menjadi gelap. Ruangan ini suram, penuh nuansa kepedihan dan keputusasaan. Dalam sorot lampu tak tampak perabot apa pun kecuali sebuah bangku panjang kecil nun jauh di sudut ruangan. Dan di bangku panjang itu, kira-kira lima belas langkah dan kami, duduk berdua rapat-rapat kedua makhluk malang itu, seorang ibu dan anaknya. Gerak-gerik mereka gelisah, seperti tempat itu sangat asing dan mengancam mereka. Mereka seakan memelas, memohon agar diselamatkan. Dalam cahaya lampu yang samar tampak sang anak berpostur tinggi dan sangat kurus, rambutnya panjang dan menutupi sebagian wajahnya. Jambang, alis, dan kumisnya tebal tak teratur. Kulitnya putih. Air mukanya menimbulkan perasaan iba yang memilukan. Ia berpakaian rapi, bajunya adalah kemeja putih lengan panjang, celananya berwarna gelap, dan sepatu kulitnya bersih mengilap. Usianya kurang lebih tiga puluhan. Ia ketakutan, Sorot matanya yang teduh melirik ke kin dan ke kanan. Ia gugup dan sering menarik napas panjang. Ibunya kelihatan puluhan tahun lebih tua dan usia sesungguhnya. Pancaran matanya menyimpan kesakitan yang parah dan caranya menatap menjalarkan rasa pedih yang dalam. Lingkaran di sekeliling matanya berwarna hitam dan ia amatlah kurus. Daya hidup telah padam dalam dirinya. Ia memakai sandal jepit yang kebesaran dan tampak menyedihkan. Wajahnya jelas 330 Laskar Pelangi
memperlihatkan kerisauan yang amat sangat dan tekanan jiwa yang tak tertahankan. Mereka berdua melihat kami sepintas-sepintas tapi kebanyakan menunduk. Sang anak mengapit lengan ibu-nya. Ketika kami masuk, ia semakin merapatkan dirinya pada ibunya. Aku tak sanggup menanggungkan pemandangan memilukan ini. Tanpa kusadari air mataku mengalir. Eryn pun ingin menangis tapi ia berupaya keras menjaga sikap profesional sebaqai seorang peneliti. Aku tak tahan me-lihat anak beranak dengan cobaan hidup seberat ini, Mereka seperti dua makhluk yang terjerat, cidera, dan tak berdaya. Aku minta diri keluar dan ruangan yang menyesakan dada itu. Hampir selama satu setengah jam Eryn dibantu oleh profesor yang baik itu dalam melakukan semacam wawancara pendahuluan dengan kedua pasien malang itu. Dan pintu yang tenbuka aku dapat melihat mereka berempat duduk di bangku tersebut. Kedua pasien itu masih terlihat gelisah. Kemudian wawancara pun selesai dan Eryn memberi isyarat padaku untuk berpamitan pada ibu dan anak itu. Aku masuk lagi ke ruangan, mencoba tersenyum seramah mungkin walaupun hatiku hancur membayangkan penderitaan mereka. Aku menyalami keduanya. Kali ini Eryn tak sanggup menahan air matanya. Lalu pelan-pelan kami pamit keluar ruangan. Profesor Van dan Eryn berjalan di depanku. Mereka terlebih dahulu keluar ruangan, sementara aku yang keluar terakhir meraih gagang pintu dan menutupnya. Tepat pada saat itu aku terperanjat karena mendengar seseorang me-mang-gil namaku. “Ikal ...,“ suara lirih itu berucap. Eryn dan Profesor Van kaget. Mereka terheran-heran, apa-lagi aku. Kami saling berpandanqan. Tak ada orang lain di ruangan itu kecuali kami bertiga dan kedua makhluk malang tadi. Dan jelas suara itu berasal dan ruangan yang ba-ru saja kututup. Kami berbalik, tapi ragu, maka aku tak segera membuka pintu. 331 Laskar Pelangi
“Ikal •..,“ panggilnya lagi. “Mereka memanggil Cicik!’ teriak Eryn menatapku takjub. Salah seorang dan pasien itu jelas memanggilku. Aku memutar gagang pintu dan menghambur ke dalam. Kuhampiri mereka dengan hati-hati. Dalam jarak tiga meter aku berhenti. Mereka berdua bangkit. Aku mengamati mereka baik-baik, berusaha keras mengenali kedua tubuh ringkih yang berdiri saling mencengkeram lengan masing-masing dengan jan-jan yang kurus tak terawat. Rambut sang ibu yang kelabu terjuntai panjang semrawut menutupi kedua matanya yang cekung dan berwarna abuabu. Pipi anaknya basah karena air mata yang mengalir pelan. Air matanya itu berjatuhan ke lantai. Bibirnya yang pucat bergetar mengucapkan namaku berkali-kali, seakan ia telah bertahun-tahun menu n gg u k u, tangannya menjangkau - jangkau. Ibunya terisak- isak dan menutup wajah de-ngan kedua tangannya. Aku tak mampu berkata apa pun dan masih diliputi tanda tanya. Namun, tepat ketika aku maju selangkah untuk mengamati mereka lebih dekat si anak menyibakkan rambut panjang yang menutupi wajahnya dan pada saat itu aku tersentak tak alang kepalang. Aku terkejut luar biasa. Kurasakan seluruh tubuhku menggigil. Rangka badanku seakan runtuh dan setiap persendian di tubuhku seakan terlepas. Aku tak percaya dengan pemandangan di depan mataku. Aku merasa kalut dan amat pedih. Aku ingin berteriak dan meledakkan tangis. Aku mengenal dengan baik kedua anak beranak yang malang itu. Mereka adalah Trapani dan ibunya. ********** 332 Laskar Pelangi
BAB 32 Agnosti Satu titik dalam relativitas waktu: Saat inilah masa depan itu..! TOKO Sinar Harapan tak banyak berubah, masih amburadul seperti dulu. Ketika bus reyot yang membawaku pulang kampung melewati toko itu, di sebelahnya aku melihat toko yang bernama Sinar Perkasa. Di situ ada seorang laki-laki yang menarik perhatianku. Pria itu agaknya seorang kuli toko. Badannya tinggi besar dan rambutnya panjang sebahu diikat seperti samurai. Lengan bajunya digulung tinggi-tinggi. Ia sengaja memperlihatkan otot-ototnya. Tapi wajahnya sangat ramah dan tapaknya ia senang sekali menunaikan tugasnya. Belanjaan yang dipanggul kuli ini tak tanggungtanggung: dua karung dedak di punggungnya, ban sepeda dikalungkan di Iehernya, dan plastik-plastik kresek serta tas-tas belanjaan bergelantungan di lengan kin kanannya. Ia seperti toko kelontong berjalan. Di belakangnya berjalan terantuk-antuk seorang nyonya gemuk yang memborong segala macam barang itu. 333 Laskar Pelangi
Setelah memuat belanjaan ke atas bak sebuah mobil pikap, pria bertulang besi tadi menerima sejumlah uang. Ia mengucapkan terima kasih dengan menunduk sopan lalu kembali ke tokonya. Toko berjudul Sinar Perkasa itu, sesuai sekali dengan penampilan kulinya. Pria itu menyerahkan uang tadi kepada juragan toko yang kemudian mengibas-ngibaskan uang itu ke barang-barang daganqannya lalu mereka berdua tertawa lepas layaknya dua sahabat baik. Wajah keduanya tak lekang dimakan waktu. Aku tersenyum mengenang nostalgia di Toko Sinar Harapan dan teringat bahwa dulu aku pernah memiliki cinta yang ternyata tak hanya sedalam lubuk kaleng-kaleng cat yang sampai sekarang masih berjejal-jejal di situ. Aku juga merasa beruntung telah menjadi orang yang pernah mengungkapkan cinta, Masih terasa indahnya sampai sekarang. Merasa beruntung karena kejadian itu merupakan tonggak bagaimana secara emosional aku telah berevolusi. Dan agaknya cinta pertamaku dulu amat berkesan karena ia telah melambungkanku ke puncak kebahagiaan sekaligus membuatku menggelongsor karena patah hati di antara keranjang buah mengkudu busuk di toko itu. Kita dapat menjadi orang yang skeptis, selalu curiga, dan tak gampang percaya karena satu orang pernah menipu kita. Tapi ternyata dengan satu kasih yang tulus lebih dan cukup untuk mengubah seluruh persepsi tentang cinta. Paling tidak itu terjadi padaku. Meskipun kemudian setelah dewasa beberapa kali cinta memperlakukan aku dengan amat buruk, aku tetap percaya pada cinta. Semua itu gara-gara wanita berparas kuku ajaib di Toko Sinar Harapan itu. Kemanakah gerangan dia sekarang? Aku tak tahu dan tak mau tahu. Gambaran cinta seindah lukisan taman bunga karya Monet itu biarlah seperti apa adanya. Kalau aku menjumpai A Ling lagi bisa-bisa citra lukisan itu pudar karena mungkin saja A Ling sekarang adalah A Ling dengan parises, selulit, pantat turun, susu kempes, gemuk, perut buncit, dan kantong mata. Ia dulu adalah venus dan Laut Cina Selatan dan aku ingin tetap mengenangnya seperti itu. Aku mengeluarkan dan tasku buku Seandainya Mereka Bisa Bicara yang dihadiahkan A Ling padaku sebagai kenangan cinta 334 Laskar Pelangi
pertama kami. Bus reyot yang terlonjak-lonjak karena jalan yang berlubanglubang membuat aku tak dapat membacanya. Ketika jarak antara bus dan Toko Sinar Harapan perlahan mengembang aku merasa takjub bagaimana lingkaran hidup merupakan jalinan aksi dan reaksi seperti postulat Isaac Newton atau hidup tak ubahnya se- kotak cokelat seperti kata Forest Gump. Jika membuka kotak cokelat kita tak ‘kan dapat menduga rasa apa yang akan kita dapatkan dan bungkus-bungkus plastik lucu di dalamnya. Sebuah benda kecil yang tak penting atau suatu kejadian yang sederhana pada masa yang amat lampau dapat saja menjadi sesuatu yang kemudian sangat memengaruhi kehidupan kita. Buku itu kugenggam erat di atas pangkuanku dan aku segera menyadari bahwa seluruh kehidupan dewasaku telah terinspirasi oleh buku kumal yang selalu kubawa ke mana-mana itu, Dulu ketika frustrasi karena berpisah dengan A Ling maka pesona Desa Edensor, Taman Daffodil dan jalan pasar berlandaskan batu-batu bulat, serta hamparan sabana di bukit-bukit Derbyshire telah menghiburku. Kemudian pada masa dewasa ini ketika kehidupanku di Bogor berada pada titik terendah aku perlahan-lahan bangkit juga karena semangat yang dipancarkan oleh Herriot, sang tokoh utama buku itu. Seperti ajaran Pak Harfan, Bu Mus, dan Kemuham- madiyahan, Herriot juga mengajariku tentang optimisme dan bagaimana aku harus berjuang untuk meraih masa depanku. Seminggu setelah kulemparkan naskah bulu tangkisku ke Kali Ciliwung aku membaca sebuah pengumuman beasiswa pendidikan lanjutan dan sebuah negara asing. Aku segera menyusun rencana C, yaitu aku ingin sekolah lagi! Kemudian setelah itu tak ada satu menit pun waktu kusiasiakan selain untuk belajar. Aku membaca sebanyak-banyaknya buku. Aku membaca buku sambil menyortir surat, sambil makan, sambil minum, sambil tiduran mendengarkan wayang golek di radio AM. Aku membaca buku di dalam angkutan umum, di dalam jamban, sambil mencuci pakaian, sambil dimarahi pelanggan, sambil disindir ketua ekspedisi, sambil upacara Korpri, sambil menimba air, atau sambil memperbaiki atap bocor. Bahkan aku membaca sambil membaca, Dinding kamar kostku penuh dengan grafiti rumus-rumus kalkulus, GMAT, dan aturan-aturan tenses. Aku adalah pengunjung perpustakaan LIPI yang paling rajin 335 Laskar Pelangi
dan shift sortir subuh yang dulu sangat kubenci sekarang malah kuminta karena dengan demikian aku dapat pulang lebih awal untuk belajar di rumah. Jika beban pe-kerjaan demikian tinggi aku membuat resume bacaanku dalam kertas-kertas kecil, inilah teknik jembatan keledai yang dulu diajarkan Lintang padaku. Kertas-kertas kecil itu kubaca sambil menunggu ketua 05 menurunkan kantong- kantong surat dan truk. Di rumah aku belajar sampai jauh malam dan penyakit insomnia ternyata malah mendukungku. Aku adalah penderita insomnia yang paling produktif karena saat-saat tak bisa tidur kugunakan untuk membaca. Jika kelelahan belajar aku melakukan penyegaran mental yaitu kembali membuka buku Seandainya Mereka Bisa Bicara dan di sana kutemukan bagaimana Herriot menghadapi kesulitan membuktikan dirinya di depan para petani Derbyshire yang sangat skeptis, keras kepala, dan antiperubahan. Dan buku itu juga aku merasakan angin pagi lembah Edensor yang dingin bertiup merasuki dadaku yang sesak setelah menyelusup di antara dedaunan astuaria. Membaca semua itu semangatku kembali terpompa dan hatiku semakin bening slap menerima pelajaran-pelajaran baru. “Aku harus mendapatkan beasiswa itu!” demiklan kataku dalam hati setiap berada di depan kaca. Aku benar-benar bertekad mendapatkan beasiswa itu karena bagiku ia adalah tiket untuk meninggalkan hidupku yang terpuruk. Lebih dan itu aku merasa berutang pada Lintang, A Ling, Pak Harfan, Bu Mus, Laskar Pelangi, Sekolah Muhammadiyah, dan Herriot. Kemudian tes demi tes yang mendebarkan berlang-sung selama berbulan-bulan, diawah dengan sebuah tes pe-nyaringan pertama di sebuah stadion sepak bola yang dipenuhi peserta. Hampir tujuh bulan kemudian aku berada pada tahap yang disebut penentuan terakhir. Penentuan terakhir merupakan sebuah wawancara di sebuah lembaga yang hebat di Jakarta. Wawancara akhir ini dilakukan oleh seorang mantan menteri yang berwajah tampan tapi senang bukan main pada rokok. “Disgusting habit!” Sebuah kebiasaan yang menjijikkan, kata Morgan Freeman dalam sebuah film. 336 Laskar Pelangi
Aku mengenakan pakaian rapi dan untuk pertama kalinya. Berdasi, memakai sedikit minyak wangi, dan menyemir sepatu. Pulpen di saku dan kubawa map yang tak tahu berisi apa. Aku telah menjadi tipikal orang muda yang spekulatif. Sebuah pemandangan yang menyedihkan sesungguhnya. Bapak perokok itu memanggilku, mempersila kan duduk di depannya, dan mengamatiku dengan teliti. Barangkali ía berpikir apakah anak kampung ini akan bikin malu tanah air di negeri orang. Lalu ia membaca motivation letterku yaitu suatu catatan alasan dan berbagai aspek yang dibuat peserta mengapa ia merasa patut diberi beasiswa. Mantan menteri itu mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu ajaib sekali! Ia sama sekali tidak mengeluarkan kembali asap rokok itu. Rupanya asap itu diendapkannya sebentar di dalam rongga dadanya. Matanya terpejam ketika menikmati racun nikotin lalu disertai sebuah senyum puas yang mengerikan ia mengembuskan asap rokok itu dekat sekali dengan wajahku. Mataku perih, aku menahan batuk dan ingin muntah tapi apa dayaku, laki-laki di depan-ku ini memegang tiket masa depanku dan tiket itu amat kuperlukan. Maka aku duduk bertahan sambil membalas senyumnya dengan senyum basi ala pramugari sementara perutku mual. “Saya tertarik dengan motivation letter Anda, alasan dan cara Anda menyampaikannya dalam kalimat Inggris sangat mengesankan,” katanya. Aku kembali tersenyum, kali ini senyum khas penjual asuransi. “Belum tahu dia, orang Melayu lincah benar bersilat kata,” kataku dalam hati. Lalu sang mantan menteri membuka proposal penelitianku yang berisi bidang yang akan kutekuni, materi riset, dan topik tesis dalam pendidikan beasiswa nanti. “Ahhhh, ml juga menarik ....“ 337 Laskar Pelangi
Ia ingin melanjutkan kata-katanya tapi agaknya rokok yang sangat dicintainya itu lebih penting maka ia kembali memenuhi dadanya dengan asap. Aku berani bertaruh jika dirontgen maka rongga dada dan seluruh isinya pasti telah berwarna hitam, Bapak ini terkenal sangat pintar bukan hanya di dalam negeri tapi juga di luar negeri, sumbangannya tak kecil untuk bangsa ini, tapi bagaimana ia bisa menjadi demikian bodoh dalam persoalan rokok ini? “Hmmm ... hmmm ... sebuah topik yang memang patut dipelajari lebih jauh, menarik sekali, siapa yang membimbing Anda menulis ini?” beliau tersenyum lebar dan asap masih mengepul di mulutnya. Aku tahu pertanyaan itu retoris., tak memerlukan jawaban, karena dia tahu seseorang tak mungkin dibimbing untuk membuat proposal tersebut, maka aku hanya tersenyum. “Bu Mus, Pak Harfan, Lintang, Sekolah Muhammadiyah, A Ling, dan Herriot!” Itulah jawaban yang tak kuucapkan. “Saya telah lama menunggu ada proposal riset semacam i, ternyata datang dan seorang pegawai kantor pos! Ke mana kau pergi selama ini anak muda?” Kembali retoris dan aku kembali tersenyum. “Edensor!” Bisik hatiku. Maka tak lama kemudian aku telah menjadi mahasiswa, Meskipun hanya langkah kecil aku merasa telah membuat sebuah kemajuan dan sekarang aku dapat menilai hidupku dan perspektif yang sama sekali berbeda, Aku lega terutama karena aku telah membayar utangku pada Sekolah Muhammadiyah, Bu Mus, Pak Harfan, Lintang, Laskar Pelangi, A Ling, bahkan Herriot dan Edensor. Setiap titik yang aku singgahi dalam hidupku selalu memberiku pelajaran berharga. Sekolah Muhammadiyah dan persahabatan Laskar Pelangi telah membentuk karakterku, A Ling, Herriot, dan Edensor telah mengajariku optimisme dan menunjukkan bahwa jalinan nasib dapat menjadi begitu menakjubkan. Kemudian, meskipun aku tidak menyukai pekerjaan sortir, tapi orang-orang hebat kawan sekerja di kantor Pos Bogor telah mengajariku arti integritas bagi sebuah badan usaha dan 338 Laskar Pelangi
makna dedikasi pada pekerjaan pos yang mulia, yaitu mengemban amanah. ADA orang-orang tertentu yang memendam cinta demikian rapi. Bahkan sampai mereka mati, sekerling pun me-reka tak pernah memperlihatkan getar hatinya. Cinta mereka sesepi stambul lama nan melankolis dengan pengarang yang tak pernah dikenal, Jika malam tiba mereka mendengus-dengus meratapi rindu, menampar muka sen-diri karena jengkel tak berani mendeklarasikan cinta yang menggelitik perutnya. Cintanya tak pernah terungkap karena ngeri membayangkan rismko ditolak. Lama-lama, seperti seorang narsis, mereka menyukai mencintai seseorang di dalam hatinya sendiri. Cinta satu sisi, indah tapi merana tak terperi. Mereka hidup dalam bayangan. Mengungkapkan cinta agaknya mengandung daya tank paling misterius dan cinta itu sendiri. Itulah yang dirasakan A Kiong selama belasan tahun. Hampa karena cinta dan kecewa pada masa depan membuat A Kiong sempat menjalani hidup sebagai seorang agnostik, yaitu orang yang percaya kepada Tuhan tapi tidak memeluk agama apa pun, oleh karena itu ia tidak pernah beribadah. Ia mendaki puncak bukit keangkuhan di dalam hatinya untuk berteriak lantang menentang segala bentuk penyembahan. Ia berkelana mengamati agama demi agama, terombang ambing dalam kebingungan tentang keyakinan dan konsep keadilan Tuhan. Hari demi hari ia semakin sesat. Ia kafir bagi agama mana pun. Namun, menjelang dewasa ia mengalami suatu masa di saat setiap mendengar suara azan ia sering disergap perasaan sepi nan indah yang menyelusup ke dalam kalbunya, membuatnya terpaku, dan melelehkan air matanya. Panggilan shalat itu mengembuskan rasa hampa yang menyuruhnya merenung. Ia cemas serasa akan mati esok pagi. Ia merenung dan pada suatu hari dengungan azan magrib membuatnya berputar seperti gasing, perutnya naik memuntahkan seluruh makanan dan minuman haram dan lipatan- lipatan ususnya, ia terjerembap tak berdaya seakan tulang 339 Laskar Pelangi
belulangnya hancur dihantam palu godam. Air matanya berlinang tak terbendung. Ia merangkak-rangkak memohon ampunan. Ia telah dipilih oleh Allah untuk diselamatkan. A Kiong, makhluk pendusta agama ini, bagian dan sebagian kecil orang yang amat beruntung, mendapat magfirah. Ia memeluk Islam, disunat, dan mengucapkan kalimat syahadat disaksikan Pak Harfan dan Bu Mus. Bu Mus menganugerahkan sebuah nama untuknya: “Muhammad Jundullah Gufron Nur Zaman”, Nama yang sangat hebat. Artinya tentara Allah, orang yang mendapat ampunan dan cahaya. A Kiong tinggal sejarah, bagian dan sebuah masa lalu yang gelap. Ia segera menjadi muslim yang taat. Hidupnya tenang, namun kesepian sepanjang malam masih merisaukannya. Penerima cahaya ini menceritakan dengan sepenuh jiwa kepadaku bahwa yang merisaukannya itu adalah cinta yang telah disimpannya sangat lama. Cinta yang tak terungkap. Tak seorang pun tahu kalau Nur Zaman selama ini telah menjadi seekor pungguk. Wanita itu, katanya, telah membuat malam-malamnya gelisah. “Aku lemas karena paru-paruku basah digenangi air mata rindu,° demikian ungkapan perasaannya padaku. Laki-laki berkepala kaleng kerupuk ini bisa juga puitis. “Berhari-hari terperangkap dalam bingkai kaca seraut wa-jah yang sama, tak dapat lagi kupikirkan lagi hal-hal lain. Setiap melihat cermin yang terpantul hanya wajahnya. Aku tak mau makan, tak bisa tidur ...,“ kenangnya. Romantis laksana opera sabun, sekaligus lucu dan menyedihkan. Lalu setelah belasan tahun mengumpulkan keberanian, pada suatu malam, dengan basmallah, ia menjumpai wanita itu dan langsung, di depan orangtuanya, menyatakan keinginannya melamar. Ia pasrahkan semua keputusan kepada Allah. Ia siap hijrah ke Kanton naik kapal barang jika ditolak. Ternyata wanita itu juga telah lama diam-diam menaruh hati padanya. Terberkatilah mereka yang berani berterus terang. Wanita itu adalah Sahara. 340 Laskar Pelangi
Sekarang mereka sudah punya anak lima dan membuka toko kelontong dengan judul Sinar Perkasa tadi. Mereka mempekerjakan seorang kuli dan memperlakukannya sebagai sahabat. Kulinya adalah pria raksasa berambut sebahu seperti samurai itu, tak lain adalah Samson, Jika waktu luang mereka bertiga mengunjungi Harun. Harun bercerita tentang kucingnya yang berbelang tiga, melahirkan anak tiga, semuanya berbelang tiga, dan kejadian itu terjadi pada tanggal tiga. Sahara mendengarkan penuh perhatian. Kalau dulu Harun adalah anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa, sekarang ia adalah orang dewasa yang terperangkap dalam alam pikiran anak kecil. “Aku mendapatkan kebahagiaan terbesar yang mungkin didapatkan seorang pria,” kata Nur Zaman padaku. Ingatkah akan kata-kata itu? Bukankah dulu kata-kata itu pernah kuucapkan? Klise! Tidak, sama sekali tidak klise bagi Nur Zaman. Ia adalah pria terhormat yang telah memanfaatkan dengan baik waktu yang diberikan Tuhan. Ia berhasil menemukan kebenaran hakiki melalui penderitaan pergolakan batin. Tuhan mencintai orang-orang seperti ini. ****** BUS reyot itu menurunkan aku di seberang jaIan di depan rumah ibuku. Aku mendengar lagu Payuan Pulau Kelapa di RRI, yang berarti warta berita pukul 12. Sebuah siang yang panas dan sunyi. Dan kesunyian itu bubar oleh suara klakson panjang dan sebuah mobil tronton kapasitas sepuluh ton, gardan ganda, bertenaga turbo, dengan delapan belas ban berdiameter satu meter. Seorang pria kecil terlonjak-lonjak di jok sopir. Ia terlalu kecil bagi truk raksasa pengangkut pasir gelas ini. “Pulang kampung juga kau akhirnya, Ikal. Hari yang sibuk! Datanglah ke proyek,” teriaknya. 341 Laskar Pelangi
Aku melepaskan empat tas yang membebaniku tapi hanya sempat melambaikan tangan. Ia pun pergi meninggalkan debu. Esoknya aku berkunjung ke bedeng proyek pasir gelas sesuai undangan sopir kecil itu. Bedeng itu memanjang di tepi pantai, tak berpintu, lebih seperti kandang ternak. Inilah tempat beristirahat puluhan sopir truk pasir yang bekerja siang malam bergiliran 24 jam untuk mengejar tenggat waktu mengisi tongkang. Tongkang- tongkang itu dimuati ribuan ton kekayaan bumi Belitong, tak tahu dibawa ke mana, salah satu perbuatan kongkalikong yang mengangkangi hak-hak warga pribumi. Aku masuk ke dalam bedeng dan melihat ke sekeliling. Di tengah bedeng ada tungku besar tempat berdiang melawan dingin angin laut, Di pojok bertumpuk-tumpuk kaleng minyak solar, bungkus rokok Jambu Bol, dongkrak, beragam kunci, pompa minyak, tong, jerigen air minum, semuanya serba kuma? dan berkilat. Panci hitam, piring kaleng, kotak obat nyamuk, kopi, dan ini instan berserakan di lantai tanah. Selembar sajadah usang terhampar lesu. Sebuah kalender bergambar wanita berbikini tergantung miring. Walaupun sekarang sudah bulan Mei tak ada yang berminat menyobek kalender bulan Maret, karena gambar wanita bulan Maret paling hot dibanding bulan lainnya. Pria yang kemarin menyapaku, yang menyetir tronton itu, salah satu dan puluhan sopir truk yang tinggal di bedeng in duduk di atas dipan, dekat tungku, berhadap-hadapan denganku. Ia kotor, miskin, hidup membujang, dan kurang gizi, ia adalah Lintang. Aku tak berkata apa-apa. Terlihat jelas ia kelelahan melawan nasib. Lengannya kaku seperti besi karena kerja rodi tapi tubuhnya kurus dan ringkih. Binar mata kepintaran dan senyum manis yang jenaka itu tak pernah hilang walaupun sekarang kulitnya kering berkilat dimakan minyak. Rambutnya semakin merah awut-awutan. Lin- tang dan keseluruhan bangunan ini menimbulkan rasa iba, iba karena kecerdasan yang sia-sia terbuang. Aku masih diam. Dadaku sesak. Bedeng ini berdin di atas tanah semacam semenanjung, daratan yang menjorok ke laut. Aku 342 Laskar Pelangi
mendengar suara Bum .! Bum ,..! Bum ...! Aku melihat ke luar jendela sebelah kananku. Sebuah tugboat, penarik tongkang meluncur pelan di samping bedeng. Suara motor tempel yang nendang menggetarkan tiangtiang bedeng dan asap hitam mengepul tebal. Gelombang halus yang ditimbulkan tugboat tersebut memecah tepian yang berkilat seperti permukaan kaca berwarna-warni karena digenangi minyak. Kupandangi terus tugboat yang melaju dan sekejapaku merasa tugboat itu tak bergerak tapi justru aku dan bedeng itu yang meluncur. Lintang yang dan tadi mengamatiku membaca pikiranku. “Einstein is simultaneous relativity” katanya memulai pembicaraan. Ia tersenyum getir. Kerinduannya pada bangku sekolah tentu membuatnya perih. Aku juga tersenyum. Aku mengerti ia tidak mengalami apa yang secara imajiner baru saja aku alami. Dua orang melihat objek yang sama dan dua sudut pandang yang berbeda maka pasti mereka memiliki persepsi yang berbeda. Oleh karena itu, Lintang menyebutnya simultan. Sebuah konteks yang relevan dengan perspektifku melihat hidup kami berdua sekarang. Tak lama kemudian aku mendengar lagi suara bum! Bum! Bum! Kali ini sebuah tugboat yang lain meluncur pelan dan arah yang berlawanan dengan arah tugboat yang pertama tadi. Buritan tugboat yang pertama belum habis melewatiku maka aku menoleh ke kin dan ke kanan membandingkan panjang ke dua tugboat yang melewatiku secara berlawanan arah. Lintang mengobservasi penilakuku. Aku tahu ia kembali membaca isi kepalaku, keahliannya yang selalu mem-buatku tercengang. 343 Laskar Pelangi
“Paradoks ...,“ kataku. “Relatif ...,“ kata Lintang tersenyum. Aku menyebut paradoks karena ukuran yang kupen-kinakan sebagai subjek yang diam akan berbeda dengan ukuran orang lain yang ada di tugboat meskipun untuk tugboat yang sama. “Bukan, bukan paradoks, tapi relatif,” sanggah Lintang. “Ukuran objek bergerak dilihat oleh subjek yang diam dan bergerak membuktikan hipotesis bahwa waktu dan jarak tidaklah mutlak tapi sebaliknya relatif, Einstein membantah Newton dengan pendapat itu dan itulah aksi oma pertama teori relativitas yang melambungkan Einstein.” Ugghh, Lintang! Sejak kecil aku tak pernah punya kesempatan sedikit pun untuk berhenti mengagumi tokoh di depanku ini, Mantan kawanku sebangku yang sekarang menjadi penghuni sebuah bedeng kuli ternyata masih sharp! Walaupun bola mata jenakanya telah menjadi kusam seperti kelereng diamplas namun intuisi kecerdasannya tetap tajam seperti alap-alap mengintai anak ayam. Aku beruntung sempat bertemu dengan beberapa orang yang sangat genius tapi aku tahu Lintang memiliki bakat genius yang jauh melebihi mereka. Aku termenung lalu menatapnya dalam-dalam. Aku merasa amat sedih. Pikiranku melayang membayangkan dia memakai celana panjang putih dan rompi pas badan dan bahan rajutan poliester, melapisi kemeja lengan panjang benwarna binu laut, naik mimbar, membawakan sebuah makalah di sebuah forum ilmiah yang terhormat. Makalah itu tentang terobosannya di bidang biologi manitim, fisika nuklin, atau energi alternatif. Mungkin ia lebih berhak hilir mudik keluar negeni, mendapat beasiswa bergengsi, dibanding begitu banyak mereka yang mengaku dininya intelektual tapi tak lebih dan ilmuwan tanggung tanpa kontnibusi apa pun selain tugas akhin dan nilai-nilai ujian untuk dininya sendini. Aku ingin membaca namanya di bawah sebuah 344 Laskar Pelangi
artikel dalam jurnal ilmiah. Aku ingin mengatakan pada setiap orang bahwa Lintang, satu-satunya ahli genetika di Indonesia, orang yang telah menguasai operasi pohon Pascal sejak kelas satu SMP, orang yang memahami filosofi diferensial dan integral sejak usia demikian muda, adalah munid perguruan Muhammadiyah, temanku sebangku. Namun, hari ini Lintang tennyata hanya seonang laki-laki kunus yang duduk bensimpuh menunggu gilinan kenja nodi. Aku teningat lima belas tahun yang lalu ia memejamkan matanya tak lebih dan tujuh detik untuk menjawab soal matematika yang rumit atau untuk meneriakkan Joan dArch! Merajai lomba kecerdasan, melejitkan kepercayaan diri kami. Kini ia terpojok di bedeng ini, tampak tak yakin akan masa depannya sendiri. Aku sering berangan-angan ia mendapat kesempatan menjadi orang Melayu pertama yang menjadi matematikawan. Tapi anganangan itu menguap, karena di sini, di dalam bendeng tak berpintu inilah Isaac Newtonku berakhir. “Jangan sedih Ikal, paling tidak aku telah memenuhi harapan ayahku agar tak jadi nelayan .,..“ Dan kata-kata itu semakin menghancurkan hatiku, maka sekarang aku marah, aku kecewa pada kenyataan be-gitu banyak anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi. Aku mengutuki orang-orang bodoh sok pintar yang menyombongkan diri, dan anak-anak orang kaya yang menyia- nyiakan kesempatan pendidikan. ALASAN orang menenima profesi tertentu kadang-kadang sangat luar biasa. Ada orang yang senang menjadi kondektur karena hobinya jalanjalan keliling kota, ada yang gembira memandikan gajah di kebun binatang karena hobinya main air, dan ada yang selalu meminta tugas ke luar kota agar dapat sekian ama meninggalkan istrinya. Tapi tak ada yang senang menyortir surat untuk alasan apa pun. Oleh karena itu, ketika 10 karung surat ditumpahkan di depanku untuk disortir sedangkan tambahan tenaga yang kuminta berulang-ulang tak terpenuhi, aku langsung hengkang 345 Laskar Pelangi
meninggalkan meja sortir itu, tak pernah kembali. Sebagian orang menduduki profesinya sekarang sesuai cita- citanya, sebagian besar tak pernah sama sekali menduga bahwa ia akan menjadi seperti apa adanya sekarang, dan sebagian kecil memilih profesi karena pertemuan dengan seseorang. Pertemuan dengan seseorang sering menjadi sebuah titik balik nasib. Jika tak percaya, tanyakan itu pada Mahar, Flo, dan seluruh anggota Societeit de Limpai. Pertemuan dengan Tuk Bayan Tula dan pesan beliau yang berbunyi: “Jika ingin lulus ujian, buka buku, belajar!” Ternyata menjadi kata-kata keramat yang mampu memutar haluan hidup mereka. Pada hari Sabtu, sehari sesudah Mahar membaca pesan Tuk, kami bendesak-desakkan di jendela kelas menyaksikan Flo dan Mahar menemui Bu Mus di bawah pohon filicium. Ketiga orang itu berdiri mematung dan tak banyak bicara. Lalu tampak kedua anak berandal itu bergantian men-cium tangan Bu Mus, guru kami yang bersahaja. Per-seteruan lama telah benakhin dengan damai. Keesokan harinya Mahar membubarkan Societeit de Limpai, dan esoknya lagi, pada Senin pagi yang biasa saja, kami menerima kejutan yang luar biasa, mengagetkan, dan amat mengharukan, Flo datang ke sekolah mengenakan jilbab. Mahar dan Flo berhasil lulus ujian caturwulan terakhir. Flo telah berubah total. Ia dulu seorang wanita yang berusaha melawan kodratnya namun akhirnya ia menjadi wanita sejati. Momentum dalam hidupnya jelas terjadi karena pertemuan dengan seseorang. Seseorang itu ada dua, yaitu Mahar dan Tuk Bayan Tula, Kejadian itu telah memutarbalikkan hidupnya. Flo menempuh perguruan tinggi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di universitas Sriwijaya. Setelah lulus, ia menjadi guru TK di Tanjong Pandan dan bercita-cita membangun gerakan wanita Muhammadiyah. Ia menikah dengan seorang petugas teller bank BRI mantan anggota Societeit, dan keinginan lama Flo untuk menjadi laki-laki dibayar Allah dengan memberinya dua kali persalinan yang melahirkan empat anak laki-laki yang tampan luar biasa dalam jarak hanya setahun. Dua kali anak kembar! 346 Laskar Pelangi
Pesan Tuk Bayan Tula telah memberi pencerahan bagi para anggota Societeit, bahwa tak ada yang dapat dicapai di dunia ini tanpa usaha yang rasional. Sebuah pencerahan terang benderang yang datang justru dan seorang tokoh dunia gelap, manusia separuh pen, bahkan banyak yang menganggapnya manusia separuh iblis. Para anggota Societeit adalah orang-orang biasa, miskin, dan kebanyakan, namun mereka kaya raya akan pengalaman batin dan petualangan penuh mara bahaya untuk mencari kebenaran hakiki. Mereka memastikan setiap kesangsian, mem buktika prasangka dan mitos-mitos, serta mengalami sendiri apa yang hanya bisa diduga-duga orang. Mereka memuaskan sifat dasar keingin tahuan manusia sampai batas akhir yang menguji keyakinan. Mereka adalah orang-orang yang menjemput hidayah dan tidak duduk termangumangu menunggunya. Kini mereka menjadi orangorang Islam yang taat yang menjauhkan diri dan syirik. Di bawah pemimpin baru, pemain organ tunggal itu, mereka mem-bentuk perkumpulan yang aktif melakukan dakwah dan mengislamkan komunitas-komunitas terasing di pulau- pulauterpencil di perairan Bangka Belitong. Mereka laksana manusia-manusia baru yang dilahirkan dan kegelapan dan kini berjalan tegak di ladang ijtihad di bawah siraman air Danau Kautsar yang membersihkan hati. Tuk Bayan Tula sendiri tak ada kabar beritanya. Anggota Societeit adalah manusia terakhir yang melihat beliau masih hidup. Dalam kaar (peta laut) terakhir perairan Belitong yang dipetakan oleh TNI AL, Pulau Lanun sudah tak tampak. Di perairan ini sering sekali pulau-pulau kecil timbul dan tenggelam karena badai atau ketidakstabilan permukaan air laut. Adapun pensiunan syah bandar yang dulu mengumandangkan azan ketika anggota Societeit hampir tewas dilamun badai sekarang menjadi muazin tetap di Masjid Al- Hikmah, Nasib, usaha, dan takdir bagaikan tiga bukit biru samar-samar yang memeluk manusia dalam lena. Mereka yang gagal tak jarang 347 Laskar Pelangi
menyalahkan aturan main Tuhan. Jika me-reka miskin mereka mengatakan bahwa Tuhan, melalui takdir-Nya, memang mengharuskan mereka miskin. Bukit-bukit itu membentuk konspirasi rahasia masa depan dan definisi yang sulit dipahami sebagian orang. Seseorang yang lelah berusaha menunggu takdir akan mengubah nasibnya. Sebaliknya, seseorang yang enggan mem-banting tulang menerima saja nasibnya yang menurutnya tak ‘kan berubah karena semua telah ditakdirkan. Inilah lingkaran iblis yang umumnya melanda para pemalas. Tapi yang pasti pengalaman selalu menunjukkan bahwa hidup dengan usaha adalah mata yang ditutup untuk memilih buah- buahan dalam keranjang. Buah apa pun yang didapat kita tetap mendapat buah. Sedangkan hidup tanpa usaha ada-lah mata yang ditutup untuk mencari kucing hitam di dalam kamar gelap dan kucingnya tidak ada. Mahar memiliki bukti untuk hipotesis ini. Ia hanya berijazah SMA. Nasibnya seperti Lintang. Mereka adalah dua orang genius yang kemampuannya dinisbikan secara paksa oleh tuntutan tanggung jawab pada keluarga. Mahar tak bisa meninggalkan rumah untuk berkiprah di lingkungan yang lebih mendukung bakatnya sejak ibunya sakit-sakitan karena tua. Sebagai anak tunggal ia harus merawat ibunya siang malam karena ayahnya telah meninggal. Mahar pernah menganggur dan setiap hari, tanpa berusaha, menunggu takdir menyapanya. Ia mengharapkan su-rat panggilan dan Pemda untuk tenaga honorer. Ketika itu ia berpikir kalautakdir menginginkannya menjadi se-orang guru kesenian maka ia tak perlu melamar. Ternyata cara berpikir seperti itu tak berhasil. Maka ia mulai berusaha menulis artikel-artikel kebudayaan Melayu. Artikelnya menarik bagi para petinggi lalu ia dipercaya membuat dokumentasi permainan anak tradisional. Dokumentasi itu berkembang ke bidang-bidang lain seperti kesenian dan bahasa yang membuka kesem-patan riset kebudayaan yang luas dan memungkinkannya menulis beberapa buku 348 Laskar Pelangi
Jika dulu ia tak menulis artikel maka ia tak ‘kan pernah menulis buku. Melalui buku-buku itu ia tertakdirkan menjadi seorang narasumber budaya. One thing leads to another, Dalam kasus Mahar nasib adalah setiap deretan titik-titik yang dilalui sebagai akibat dan setiap gerakan-gerakan konsisten usahanya dan takdir adalah ujung titiktitik itu. Sekarang Mahar sibuk mengajar dan mengor-ganisasi berbagai kegiatan budaya. Tentu saja pekerjaan-pekerjaan itu tak mampu menyokong nafkah ia dan ibunya maka honor kecil tapi rutin juga Mahar peroleh dan orang pesisir yang meminta bantuannya melatih beruk memetik buah kelapa. Ia sangat ahli dalam bidang ini. Dalam tiga minggu seekor beruk sudah bisa mengguncangguncang kelapa untuk membedakan mana kelapa yang harus dipetik. Lain pula cerita Syahdan. Syahdan yang kecil, santun, dan lemah lembut agaknya memang ditakdirkan untuk menjadi pecundang yang selalu menerima perintah. Jika kami membentuk tim ia pasti menjadi orang yang paling tak penting. Ia adalah seksi repot, tempat penitipan barang, pengurus konsumsi, pembersih, tukang angkatangkat, dan jika makan paling belakangan. Ia adalah kambing hitam tempat tumpahan semua kesalahan, dia tak pernah sekalipun dimintai pertimbangan jika Laskar Pelangi mengambil keputusan, lalu dalam lomba apa pun dia selalu kalah. Lebih dan itu ia sangat menyebalkan karena sangat gagap teknologi. Ia sama sekali tak bisa diandalkan untuk hal-hal berbau teknik, bahkan hanya untuk membetulkan rantai sepeda yang lepas saja ia sering tak becus. Cita-citanya untuk menjadi aktor sangat tidak realistis, maka kami tak pernah berhenti menyadarkannya dan mimpi itu, bahkan bertubi-tubi mencemoohnya. Namun tak disangka di balik kelembutannya ternyata Syahdan adalah seorang pejuang. Semangat juangnya sekeras batu satam. Setelah SMA ia berangkat ke Jakarta. Dengan map di ketiaknya ia melamar untuk menjadi aktor dan satu rumah produksi ke rumah produksi lainnya, hanya bermodalkan satu hal: keinginan! Itu saja. Aneh, setelah lebih dan setahun akhirnya ia benar-benar menjadi aktor! 349 Laskar Pelangi
Sayangnya sampai hampir tiga tahun berikutnya ia masih saja seorang aktor figuran. Lalu ia bosan berperan sebagai figuran makhluk-makhluk aneh: tuyul, setan, dan jin-jin kecil karena tubuhnya yang mini dan berkulit gelap. Ia juga bosan menjadi pesuruh ini itu di sebuah grup sandiwara tradisional kecil yang sering manggung di pinggiran Jakarta. Tugas ini itu-nya itu antara lain memikul genset dan mencuci layar panggung yang sangat besar. Lebih dan semua itu, menjadi figuran dan pesuruh ternyata tak mampu menghidupinya. Di tengah kemelaratannya Syahdan yang malang iseng-iseng kursus komputer dan di tengah perjuangan mendapatkan kursus itu ia nyaris menggelandang di Jakarta. Di luar dugaan, orang lain umumnya mengetahui bakatnya ketika masih belia tapi Syahdan baru tahu kalau ia berbakat mengutak-atik program komputer justru ketika sudah dewasa. Dengan cepat ia menguasai berbagai bahasa pemrograman dan dalam waktu singkat ia sudah menjadi net-work designer. Tahun berikutnya sangat mengejutkan. Ia mendapat beasiswa short course di bidang computer net-work di Kyoto university, Jepang. Di sana ia berhasil men-capai kualifikasm keahliannya dan menjadi salah satu dan segelintir orang Indonesia yang memiliki sertifikat Sisco Expert Network. Ia kembali ke Indonesia dan dua tahun kemudian Syahdan, pria liliput putra orang Melayu, nelayan, jebolan sekolah gudang kopra Muhammadiyah telah menduduki posisi sebagai Information Technology Manager di sebuah perusahaan multinasional terkemuka yang berkantor pusat di Tangerang. Dan sudut pandang material Syahdan adalah anggota Laskar Pelangi yang paling sukses. Ia yang dulu selalu menjadi penerima perintah, tukang angkat-angkat, dan tak becus terhadap sesuatu yang berbau teknik, kini memimpin divisi inovasi teknologi dengan ratusan anak buah. Namun Syahdan tak pernah menyerah pada cita-citanya untuk menjadi aktor sungguhan. Suatu hari ía meneleponku tanpa salam pembukaan dan tanpa basa-basi penutupan. Ia hanya mengatakan ini dan tanpa sempat aku berkata apa-apa ia langsung menutup teleponnya. 350 Laskar Pelangi
“Kau dengar ini Ikal, aku ingin menjadi aktorfl” Syahdan tak pernah melepaskan mimpinya karena ia adalah seorang pejuang. ******** 351 Laskar Pelangi
BAB 33 Anakronisme DAN inilah yang paling menyedihkan dan seluruh kisah ini. Karena tak selembar pun daun jatuh tanpa sepengetahuan Tuhan maka tak absurd untuk menyamakan PN Timah dengan The Tower of Babel di Babylonia. Sebuah analogi yang pas karena setelah membentuk provinsi baru kawasan itu juga disebut Babel: Bangka Belitung. Pada tahun 1987 harga timah dunia merosot dan 16.000 USD/metriks ton menjadi hanya 5.000 USD/metriks ton dan dalam sekejap PN Timah lumpuh. Seluruh fasilitas produksi tutup, puluhan ribu karyawan terkena PHK. Ketika berada di puncak komidi putar dulu, barangkali itu sebuah kemunafikan, seperti halnya Babylonia, sebab Tuhan menghukum keduanya dengan kehancuran berkeping-keping yang menghinakan. Ternyata untuk musnah tak harus termaktub dalam Talmud. Tak ada firasat sebelumnya, Perusahaan Gulliver yang telah berjaya ratusan tahun itu mendadak lumpuh hanya dalam hitungan malam. Maka Babel adalah inskripsi, sebuah prasasti peringatan bahwa Tuhan telah menghancurkan dekadensi di Babylonia seperti Tuhan menghancurkan kecongkakan di Belitong. Segera setelah harga 352 Laskar Pelangi
timah dunia turun, keadaan diperparah oleh ditemukannya sumber suplai lain di beberapa negara, PN Timah pun megap-megap. Orang Islam tidak diperbolehkan memercayai ramalan namun ingin rasanya mengenang mimpi Mahar bertahun-tahun yang lalu di gua gambar tentang kehancuran sebuah kekuatan besar di Belitong. Hari ini mimpi meracau itu terbukti, Pemerintah pusat yang rutin menerima royalti dan deviden miliaran rupiah tiba-tiba seperti tak pernah mengenal pulau kecil itu. Mereka memalingkan muka ketika rakyat Belitong menjerit menuntut ketidakadilan kompensasi atas PHK massal. Habis manis sepah dibuang. Jargon persatuan dan kesatuan menjadi sepi ketika ayam petelur telah menjadi mandul. Pulau Belitong yang dulu biru berkilauan laksana jutaan ubur-ubur Ctenopore redup laksana kapal hantu yang terapung-apung tak tentu arah, gelap, dan sendirian. Dalam waktu singkat Gedong berada dalam status quo. Warga pribumi yang menahankan sakit hati karena kesenjangan selama puluhan tahun, dan yang agak sedikit picik, menyerbu Gedong. Para Polsus kocar-kacir ketika warga menjarah rumahrumah Victoria mewah di kawasan prestisus tak bertuan itu. Laksana kaum proletar membalas kesemena-menaan borjuis, mereka merubuhkan dinding, menariki genteng, menangkapi angsa dan ayam kalkun, men-cabuti pagar, mencuri daun pintu dan jendela, mencongkel kusen, memecahkan setiap kaca, mengungkit tegel, dan membawa lan gorden. Tanda-tanda peringatan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” diturunkan dan dibawa pulang untuk dijadikan koleksi seperti cinderamata pecahan batu tembok Berlin. Sebagian penjarah yang marah duduk sebentar di sofa besar chesterfield dan makan di meja terracotta yang mahal, berpura-pura menjadi orang staf sebelum mereka beramai-ramai menjarahnya. Rumah-rumah Victoria di kawasan Gedong, negeri dongeng tempat pun dan Cinderella bersukaria langsung berubah menjadi Bukit Carphatian tempat kastil keluarga Dracula. Jika malam kawasan itu gelap gulita. Pohon-pohon beringin tak lagi imut tapi kini menunjukkan karakter asli-nya sebagai pohon tempat kaum jin 353 Laskar Pelangi
rajin beranak pinak. Daunnya yang rindang memayungi jalan raya seakan siap memangsa siapa pun yang melintas di bawahnya. Danau-danau buatan berubah menjadi habitat biawak dan tiang- tiang utama dan bangunan yang telah dijarah tampak seumpama bangkai binatang besar atau tombak-tombak perang bangsa Troya yang panjang dan di puncaknya ditancapkan kepala-kepala manusia. Sekolahsekolah PN bubar, berubah menjadi bangunan kosong yang termangu-mangu sebagai jejak feodalisme. Kini sekolah-sekolah itu lebih cocok menjadi lokasi shooting acara misteri. Ratusan siswa PN yang masih aktif dilungsurkan ke sekolah- sekolah negeri atau sekolah kampung. Rumah Kepala Wilayah Produksi PN yang berdiri amat megah seperti istana di Manggar, puncak Bukit Samak dengan pemandangan spektakuler laut lepas dan sebuah generator listrik terbesar seAsia Tenggara dijarah sehingga rata dengan tanah. Rumah Sakit PN yang hebat juga tak luput dan anarkisme. Obat- obatan dihamburkan ke jalan, kursi dan meja roda dibawa pulang atau dihancurkan. Sepintas aku masih mencium amis darah di atas brankar dan bau cairan kompres yang tergenang dalam piring piala ginjal, suatu bau busuk kekayaan yang dikumpulkan dalam pundi- pundi ketidakadilan tanpa belas kasihan pada rakyat kecil, Bentangan kawat telepon digulung. Kabel ustrik yang masih dialiri tegangan tinggi dikampak sehingga menimbulkan bunga api seperti asteroid menabrak atmosfer. Kapal keruk digergaji menjadi besi kiloan, Sebuah dinasti yang kukuh dan congkak hancur berantakan menjadi remah-remah hanya dalam hitungan malam, seiring dengan itu, reduplah seluruh metafora yang mewakili kedigdayaan sebuah perusahaan yang telah membuat Belitong dijuluki Pulautimah, Yang terpukul knock out tentu saja orangorang staf. Tidak hanya karena secara mendadak kehilangan jabatan dan hancur citranya tapi sekian lama mapan dalam mentalitas feodalistik terorganisasi yang inheren tiba-tiba menjadi miskin tanpa pelindungan sistem. Karakter terbunuh secara besar-besaran. Verloop ke wisma-wisma timah yang mewah di Jakarta atau Bandung dua kali setahun sekarang harus diganti dengan mencangkul, memanjat, memancing, 354 Laskar Pelangi
menjerat, menggali, mendulang, atau menyelam untuk menghidupi keluarga. Anakronistis mungkin, sebab mereka kembali hidup bersahaja seperti zaman antediluvium ketika orang Melayu masih menyembah bulan, Karena tak terbiasa susah dan ditambah dengan anak-anak yang tak mau berkompromi dalam menurunkan standar hidup sementara mereka tengah kuliah di universitas-universitas swasta mahal membuat orang-orang staf stres berkepanjangan. Tak jarang masalah mereka berakhir dengan stroke, operasi jantung, mati mendadak, drop out massal, dan lilitan utang. Mereka seperti orang tersedak sendok perak. Yang tak mampu menerima kenyataan dan hidup menipu diri sendiri didera post power syndrome, biasanya tak bertahan lama dan segera check in di ZaaI Batu. Komidi berputar berbalik arah dalam kecepatan tinggi, penumpangnya pun terjungkal. Kehancuran PN Timah adalah kehancuran agen kapitalis yang membawa berkah bagi kaum yang selama ini terpinggirkan, yakni penduduk pribumi Belitong. Blessing in disguise, berkah tersamar. Sekarang mereka bebas menggali timah di mana pun mereka suka di tanah nenek moyangnya dan menjualnya seperti menjual ubi jalar. Saat ini diperkirakan tak kurang dan 9.000 orang bekerja mendulang timah di Belitong Mereka menggali tanah dengan sekop dan mendulang tanah itu dengan kedua tangannya untuk memisahkan bijih-bijih timah. Mereka bekerja dengan pakaian seperti tarzan namun menghasilkan 15,000 ton timah per tahun. Jumlah itu lebih tinggi dan produksi PN Timah dengan 16 buah kapal keruk, tambangtambang besar, dan open pit mining, serta dukungan miliaran dolar aset. Satu lagi bukti kegagalan metanarasi kapitalisme. Ekonomi Belitong yang sempat lumpuh pelan pelan mengqeliat, berputar lagi karena aktivitas para pendulang. Suatu profesi yang dulu dihukum sangat keras seperti pelaku subversi. 355 Laskar Pelangi
******** Tahun 1991 perguruan Muhammadiyah ditutup. Namun perintis jalan terang yang gagah berani ini meninggalkan semangat pendidikan Islam yang tak pernah mati. Sekarang Belitong telah memiliki dua buah pesantren. Pembangunan pesantren ini adalah harapan para tokoh Muhammadiyah sejak lama. Generasi baru para legenda K.H. Achmad Dahlan, Zubair, K.A. Abdul Hamid, Ibrahim bin Zaidin, dan K.A. Harfan Effendi Noor lahir silih berganti. Suatu hari nanti akan ada yang mengisahkan hidup mereka laksana sebuah epik. Tak dapat dikatakan bahwa seluruh alumni sekolah Muhammadiyah Belitong telah menjadi orang yang sukses apalagi secara matenial namun para mantan pengajar sekolah itu patut bangga bahwa mereka telah mewariskan semacam rasa bersalah bagi mantan muridnya jika mencoba-coba berdekatan dengan khianat terhadap amanah, jika mempertimbangkan dirinya merupakan bagian dan sebuah gerombolan atau rencana yang melawan hukum, dan jika membelakangi ayat-ayat Allah. Itulah panggilan tak sadar yang membimbing lurus jalan kami sebagai keyakinan yang dipegang teguh karena bekal dan pendidikan dasar Islam yang tangguh di sekolah miskin itu. Perasaan beruntungku karena didaftarkan ayahku di SD miskin itu puluhan tahun lalu terbukti dan masih berlaku hingga saat ini. Fondasi budi pekerti Islam dan kemuhammadiyahan yang telah diajarkan padaku menggema hingga kini sehingga aku tak pernah berbelok jauh dan tuntunan Islam bagaimanapun ibadahku sering berfluktuasi dalam kisaran yang lebar. Sepanjang pengetahuanku tak ada mantan warga Muhammadiyah yang menjadi bagian dan sebuah daftar para kniminal, khususnya koruptor. Pesan Pak Hanfan bahwa hiduplah dengan memberi sebanyak banyaknya, bukan menerima sebanyak-banyaknya terefleksi pada kehidupan puluh-an mantan siswa Muhammadiyah yang kukenal dekat secara pribadi. Mereka adalah tipikal orang yang sederhana namun bahagia dalam kesederhanaan itu. 356 Laskar Pelangi
Pak Harfan dan mantan pengajar penguruan Muhammadiyah hingga kini tak pernah berhenti mendengungkan syiar Islam. Mereka bangga memikul takdir sebagai pembela agama. Bu Mus dan guru- guru muda Muhammadiyah mendapat kesempatan dan Depdikbud untuk mengikuti kursus Pendidikan Guru (KPG) lalu diangkat menjadi PNS. Bu Mus sekarang mengajar Matematika di SD Negeri 6 Belitong Timur. Beliau telah menjadi guru selama 34 tahun dan mengaku tak pernah lagi menemukan murid-murid spektakuler seperti Lintang, Flo, dan Mahar. 357 Laskar Pelangi
BAB 34 Gotik AKU bangga duduk di sini di antara para panelis, yaitu para budayawan Melayu yang selalu menimbulkan rasa in. Sebuah benda segitiga dan plastik di depanku menyatakan eksistensiku: Syahdan Noor Aziz Bin Syahari Noor Aziz Panelis Aku terutama bangga pada sahabat lamaku Mahar Ahlan bin Jumadi Ahlan bin Zubair bin Awam, cicit langsung tokoh besar pendidikan Belitong, Zubair. Ia meluncurkan bukunya hari in Sebuah novel tentang persahabatan yang sangat indah. Ketika ia memintaku menjadi panelis, aku langsung setuju. Aku mengambil cuti di antara kesibukanku di Bandung sekaligus pulang kampung ke Belitong. Di antara hadirin ada Nur Zaman dan guruku, Bu Mus serta Pak Harfan, Ada pula Kucai, sekarang ia adalah Drs. Mukharam Kucai Khairani, MBA dan selalu berpakaian safari. Dulu di kelas otaknya paling lemah tapi sekarang gelar akademiknya termasuk paling tinggi di antara kami. Nasib memang aneh. 358 Laskar Pelangi
Kucai selalu berpakaian safari karena citacitanya untuk menjadi anggota dewan rupanya telah tercapai. Ia telah menjadi politisi walaupun hanya kelas kampung. Ia menjadi seorang ketua salah satu fraksi di DPRD Belitong. Kucai sangat progresif. Ia bertekad menurunkan peringkat korupsi bangsa ini dan ia geram ingin membongkar perilaku eksekutif yang sengaja membuat struktur baru guna melegalisasi skenario besar, yaitu merampoki uang rakyat. Bersama Mahar ia juga berniat mengembalikan nama-nama daerah di Belitong kepadanama asli berbahasa setempat. Nama-nama itu sehama masa orde baru dengan konyol dibahasa Indonesia kan, Proyek prestisius mereka lainnya adahah mematenkan permainan perosotan dengan pelepah pinang. Tapi lebih dar semua itu aku rindu pada Ikal. Kasihan pria keriting yang pernah jadi tukang sortir itu. Kelelahan mencari identitas, insomnia, dan terobsesi dengan satu cinta telah membuatnya agak senewen. Kabarnya ia hengkang dar kantor pos lalu mendapat beasiswa untuk mehanjutkan pendidikan. Barangkahi untuk tujuan sebenarnya: ”membuang dirinya sendiri.” Setehah acara pehuncuran buku, aku, Nur Zaman, Mahar, dan Kucai mengunjungi ibu Ikal untuk bersilaturahmi sekalian menanyakan kabar anaknya di rantau orang. Ketika bus umum yang kami tumpangi melewati pasar Tanjong Pandan, aku melihat seorang pria yang sangat gagah seperti seorang petinggi bank atau seperti petugas asuransi dan Jakarta yang sedang mengincar asuransi aset di provinsi baru Babel. Pria itu bercelana panjang cokelat teduh senada dengan warna ikat pinggangnya. Kemejanya jatuh menarik di tubuhnya yang kurus tinggi dengan bahu bidang. Postur yang disukai para perancang mode. Sepatu pantofelnya jelas sering disemir. Rambutnya lurus pendek disisir ke belakang. Kulitnya putih bersih. Tak berlebihan, ia seperti Adrien Brody! Sayangnya barang bawaannya sama sekali tak sesuai dengan penampilan gagahnya. Ia menenteng plastik kresek be-lanjaan, ikatan daun saledri, kangkung, kardus, dan alat-alat dapur. Ia 359 Laskar Pelangi
berjalan tercepuk-cepuk mengikuti seorang ibu di depannya. Meskipun sangat repot dan kepanasan Ia-pi ia berseri-seri. Aku kenal pria ganteng itu, ia Trapani. Tahun lalu aku mendengar cerita pertemuannya dengan Ikal di Zaal Batu. Ia mengalami kemajuan dan diizinkan pulang. Aku tak memberi tahu Nur Zaman, Mahar, dan Kucai. Aku memandang ibu dan anak itu berjalan beriringan sampai jauh. Air mataku mengahir. Nur Zaman, Mahar, dan Kucai tak tahu. Aku terkenang lima belas tahun yang lalu. Setelah tamat SMA, aku, Ikal, Trapani, dan Kucai memutuskan untuk merantau mengadu nasib ke Jawa, Hari itu kami berjanji berangkat dengan kapal barang dari Dermaga Ohivir. Tapi sampai sore Trapani tak datang. Karena kapal barang hanya berangkat sebulan sekali maka terpaksa kami berangkat tanpa dia. Pada saat itu rupanya Trapani telah mengambil keputusan lain. Ia tak datang ke dermaga karena ia tak mampu meninggalkan ibunya. Setelah itu kami tak pernah mendengar kabar Trapani. ******** Sekarang kami duduk di beranda sebuah rumah panggung kuno khas Melayu, rumah ibu Ikal. “Bagaimana kabarnya si Ikal itu, Ibunda?” tanya Mahar kepada ibu Ikal. Ibu tua berwajah keras itu awalnya tadi sangat ramah. Beliau menyatakan rindu kepada kami, namun demi mendengar pertanyaan itu beliau menatap Mahar dengan tajam. Mahar tersenyum kecut. Wajah ibu Ikal kelihatan kecewa berat. Beliau diam. Tangannya memegang sebilah pisau antip, mencengkeramnya dengan geram sehingga dua butir pinang terbelah dua tanpa ampun. Salah satu belahan pinang jatuh berguling dan terjerumus di antara celah lantai papan lalu diserbu ayam-ayam di bawah rumah, beliau tak sedikit pun peduli. 360 Laskar Pelangi
Si pemimpi itu pasti sudah bikin ulah lagi. Mahar sedikit menyesal mengungkapkan pertanyaan itu. dan gambir yang bertumpuk-tumpuk di dalam kotak tembaga yang disebut keminangan. Lalu dua lembar daun sirih dibalutkan pada ramuan tadi sehingga menjadi bola kecil. Beliau menggigit bola kecil itu dengan geraham di sudut mulutnya seperti orang ingin memutuskan kawat dengan gigi, bersungutsungut, dan bersabda dengan tegas: “Terakhir ia mengirimiku sepucuk surat dan diselipkannya selembar foto dalam suratnya itu.” Beliau meludahkan cairan merah yang terbang melalui jendela rumah panggung sambil melilitkan jilbabnya dua kali menutupi dagunya sehingga seperti cadar. Beliau jelas sedang marah. “Rupanya dia dan kawan-kawannya sedang mengikuti semacam festival seni mahasiswa, Wajahnya di foto itu di-coreng-moreng tak keruan tapi dia sebut itu seni?!!” Kami menunduk tak berani berkomentar. “Menurutnya itu seni lukis wajah, ya seni lukis wajah, apa itu... gotik! Va gotik! Dia sebut itu seni lukis wajah gotik! Dan dia sangat bangga pada coreng-morengnya itu!” Beliau menghampiri kami yang duduk tertunduk melingkari meja tua batu pualam. Kami pun ciut. “Bukan main anak muda Melayu zaman sekarang!!!” Ibu Ikal mengepalkan tinjunya, kami ketakutan, beliau mengacung-acungkan pisau antip, kami tak berkutik, suara beliau meninggi..“Dia sebut itu seni??? Ha! Seni!! Barangkali dia ingin tahu pendapatku tentang seninya itu!!!” Ibu Ikal meramu tembakau, pinang, kapur sirih, Beliau benar-benar muntab, murka tak terkirakira. Untuk kedua kalinya beliau menyemburkan cairan merah sirih melalui jendela seperti anak-anak panah yang melesat. “Pendapatku adalah wajahnya itu persis benar dengan wajah orang yang sama sekali tidak pernah shalat! 361 Laskar Pelangi
Demi mendengar kata-kata itu Kucai yang tengah memamah biak sagan tak bisa menguasai diri. Dia berusaha keras menahan tawa tapi tak berhasil sehingga serbuk kelapa sagon terhambur ke wajah Mahar, membuat jambul pengarang berbakat itu kacau balau. Kucai berulang kali minta maaf pada ibu Ikal, bukan pada Mahar, tapi wajahnya mengangguk-angguk takzim menghadap ke Nur Zaman. SELESAI (tamat Yek.. :-p) ************ 362 Laskar Pelangi
Glosorium Bab 1 Dul Muluk: sandiwara orang Melayu, dipentaskan seperti ketoprak tapi pakemnya berbabak-babak, dalam Dul Muluk tak ada unsur musik sebagai bagian dan dramatisasi sandiwara, Temanya selalu tentang sesuatu yang berhubungan dengan kerajaan. Dul Muluk disebut Demulok dalam dialek Belitong atau sekadar Mulok saja. Filicium (Filicium decipiens; fern tree; pohon kerel/kiara/kerai payung; Ki Sabun): pohon yang termasuk familia Sapindaceae, disebut Ki Sabun karena seluruh bagian tubuhnya mengandung saponin atau zat kimia yang menjadi salah satu bahan dasar sabun. Pohon peneduh ini termasuk salah satu jenis pohon yang dapat mengurangi polusi udara sampai 67%. Keramba: keranjang atau kotak dan bilah bambu untuk membudidayakan ikan yang diletakkan di pinggir pantai, sungai, danau, atau bendungan; atau keranjang untuk mengangkut ikan, bentuknya lonjong, terbuat dan anyaman bambu dengan kerangka kayu, biasanya berlapis ter supaya kedapair. Kopra: daging buah kelapa yang dikeringkan untuk membuat minyak kelapa. Tercepuk-cepuk: istilah daerah untuk menggambarkan cara jalan yang terpincang-pincang/ terseok-seok. Bab 2 Antediluvium: masa sebelum diluvium (zaman pleistosen). Burung pelintang pulau: agaknya berada dalam keluarga betet dan bayan penampilannya seperti itu, selebihnya misterius. Bushman: suku yang hidup di dataran bersemaksemak dan belukar di sabana-sabana Afrika (bush dalam bahasa Inggris berarti semak/belukar). Nama itu didapat dan antropolog Prancis. Suku ini terangkat pamornya karena film Cod Must be Crazy, wajah dan sifat mereka polos dan lugu. Cemara angin: salah satu jenis cemara (Casuarina eqnisetifolia) yang penampakannya sangat seram, tinggi meranggas, sekeras batu. Entah menanggung karma apa jenis cemara ini karena sering sekali disambar petir, tapi mungkin karena ada unsur medan magnet di dalamnya. Daunnya jika ditiup angin kadang- kadang berbunyi seperti siulan, mungkin ini yang menyebabkan orang menamainya cemara angin. 363 Laskar Pelangi
Crinum giganteum: jenis crinum yang paling besar (kata giganteum berasal dan kata gigantic yang berarti raksasa). Umumnya setiap bunga crinum mengeluarkan aroma seperti aroma vanili. Di dunia terdapat tidak kurang dan 180 jenis crinum, banyak ahli yang menganggap ia masuk dalam familia lily, lebih tepatnya perennial lily, karena warnanya yang putih dan bentuknya yang mirip bunga tersebut. Tapi ada juga ahli yang tidak sependapat, karena jika dilihat dan jenis crinum rawa (swamp crinum atau Crinum asiaticum) yang beracun, penampilannya jauh benar dibanding lily. Ketapang (Terminalia catapa): pohon besar yang berdaun lebar dan buahnya bertempurung keras. Kulit buahnya dipakai untuk menyamak kulit dan bijinya dapat dibuat minyak. Pohon ini banyak sekali tumbuh di daerah pinggir laut. Lintang: bahasa Jawa, berarti bintang. Nebula: sekelompok bintang di langit yang tampak sebagai kabut atau gas pijar bercahaya. Nipoh (Nipa fruticans): palem yang tumbuh merumpun dan subur di rawa-rawa daerah tropis, menyerupai pohon sagu, tingginya mencapai 8 meter, daunnya digunakan untuk bahan atap, tikar, keranjang, topi, dan payung. Nira dan sadapan perbungaannya digunakan untuk pembuatan gula dan alkohol. Pilea/bunga meriam (P/lea microphylla atau artillery plant): tanaman ini berbentuk menyerupai pakis, dengan daun- daun hijau yang mungil. Daunnya mengandung tepung sari yang pada musim kemarau akan menebal dan jika terkena percikan air, tepung sari tersebut akan terlontar, atau seperti meledak sehingga disebut bunga meriam. Bob S Atop sirop: Map yang dibuat dan kayu ulin (Eusideroxylon zwageri), sebagian orang menyebutnya kayu besi atau kayu belian. Ulin sirap secara alamiah berupa pohon yang batangnya seperti berlapis-lapis sehingga begitu dibelah langsung rata menyerupai tripleks atau papan tipis. Langkah selanjutnya tinggal memotong- motong ulin sirap sesuai dengan ukuran yang dikehendaki dan siap digunakan untuk atap rumah. Kayu ulin sirap yang berusia tua sudah semakin sulit diperoleh karena penebangan hutan yang tidak terkendali. Sekarang ini penggunaan atap sirap sudah semakin langka, namun masih bisa dilihat misalnya gedung asli ITB di Bandung. Tionghoo kebun: sebuah julukan di masyarakat Melayu untuk orang- orang Tionghoa yang tidak berdagang seperti kebanyakan profesi 364 Laskar Pelangi
komunitasnya, melainkan berkebun untuk mencari nafkah. Kebanyakan kehidupannya kurang beruntung dibandingkan saudara-saudaranya yang berdagang, sehingga julukan Tionghoa kebun identik dengan kemiskinan. Bob4 Lois (Tandarus furcatus): tanaman semacam pandan tapi berduri, anyaman daunnya digunakan untuk membuat topi kerucut, karung, dan tas. Bob 5 Aichong: dahan-dahan, ranting, yang digunakan untuk menyumbat agar ahiran air tidak bocor. Aluvium: lempung, pasir halus, pasir, kerikil, atau butiran lain yang terendapkan oheh air mengahir; zaman geohogi yang paling muda dan zaman kuarter atau zaman geohogi yang sekarang. dan dedaunan seha-seha kiaw Bangsa Lemuria: seperti Pompeii yang dilanda bencana terus punah, Lemuria dianggap bangsa berbudaya tinggi yang ada di wilayah Samudra Pasifik. Hilang secara misterius dan sebagian arkeolog menganggap Lemuria hanya mitos. Granit: batuan keras yang berwarna keputihputihan dan berkilauan, Hematit: bijih besi yang kehitaman; Fe203 Ilmenit: mineral yang bentuknya persis bijih timah, yaitu berupa pasir, berwarna hitam, tapi sangat ringan, sementara bijih timah amat berat. Berat segenggam timah seperti segenggam besi, sedangkan segenggam ilmenit lebih ringan daripada segenggam pasir, sehingga ilmenit disebut juga timah kosong. Ilmenit banyak sekali berada di lapisan aluvium yang dangkal. Sekian lama tak dipedulikan karena dianggap tak berharga sampai seorang ilmuwan Australia menemukan bahwa ilmenit merupakan bahan yang nyaris sempurna untuk produk-produk antipanas tinggi. Kaolin: tanah bat yang lunak, halus, dan putih, terjadi dan pelapukan batuan granit, dijadikan bahan untuk membuat porselen atau untuk campuran membuat kain tenun (kertas, karet, obat-obatan, dan sebagainya); tanah hat Gina. Khaknai: lumpur yang akan dibuang setelah bijih-bijih timah dipisahkan dan lumpur tersebut. Kiaw: kayu-kayu bulat sepanjang dua atau tiga meter sebesar lengan laki-laki dewasa yang digunakan untuk membuat phok. Knautia (widow flower): tanaman ini diyakini hanya hidup di daerah tropis, karena susah tumbuh jika terlindung dan sinar matahari. 365 Laskar Pelangi
Bunganya bertangkai kurus, kelopaknya menyerupai daun-daun kecil dan berwarna merah menyala. Kuarsa: mineral penyusun utama dalam pasir, batuan, dan berbagai mineral, bersifat lebih tembus cahaya ultraungu daripada kaca biasa sehingga banyak digunakan dalam alat optik; silika, Phok: tanggul air yang dibuat oleh penambang dalam instalasi penambangan timah tradisional. Galena: (Pb) dan berwarna mineral yang terdiri atas unsur plumbum sulfur (S), berbentuk seperti bijih timah, hitam. berwarna merah rvlonazite: fosfat berwarna cokelat kemerahan, mengandung logam bumi yang langka dan merupakan sumber penting dan thorium, lanthanum, dan cerium. Biasanya berupa kristalkristal kecil yang terisolasi. Senotim: berada pada lapisan aluvium, berbentuk butir-butir pasir berwarna kekuning-kuningan dengan kandungan utama fosfat, thorium, dan yttrium. Mineral ini juga mengandung unsur radioaktif, namun masih bisa ditoleransi karena kadarnya sangat rendah. Siderit: mineral besi karbonat alamiah, lazim diperoleh dan meteor. Silika: mineral terbesar dan pasir dan batu pasir; Si02; kristal; hablur. Tanah ulayah: tanah hutan yang diwariskan turun-temurun (sudah menjadi milik orang/adat) tapi belum diusahakan. Titanium: logam berwarna kelabu tua dan amorf; unsur dengan nomor atom 22, berlambang Ti. Logam ini sangat ringan dan kuat. Topas: batu permata berwarna macam-macam (kuning, cokelat, kemerah-merahan, tidak berwarna, dan sebagainya); aluminium silikat dengan berbagai campuran. Trickle down effect: teori ekonomi yang menyebutkan bahwa keuntungan finansial dan lainnya yang diterima oleh bisnis besar secara bertahapakan menyebar menjadi keuntungan seluruh masyarakat. Zirkonium: logam tanah langka, berwarna putih perak kristalin atau kelabu amorf, tahan terhadap korosi, lambang kimia Zr. Bab 6 Caesar salad: salad yang dibuat dan campuran lettuce (daun dan tanaman serupa kol yang berwarna putih kehijauan, lebar, dan renyah), croutons (roti tawar kering berbentuk dadu), keju parmesan, dan anchovy 366 Laskar Pelangi
(semacam ikan ten yang diasinkan), dengan bumbu (dressing) berbahan dasar telur. Namanya diambil dan Caesar Gardini, pemilik sebuah restoran di Tijuana, Meksiko, yang konon pertama kali menemukannya. Cappuccino: minuman yang merupakan campuran dan kopi espresso dan susu panas yang berbusa, kadang ditaburi bubuk kayu manis atau cokelat. Chicken cordon bleu: ayam yang diisi dengan gulungan daging asap dan keju dan digoreng dengan tepung panir. ChVisis (baby orchid): anggrek ini sepintas menyerupai cattelya, tapi bunganya lebih tebal dan berlilin, Sepal dan petalnya lebar dan luas, labelumnya berdaging tebal dan berlilin. Daunnya tersusun seperti kipas dan berbaris di sepanjang pseudobulbnya. Spesies-spesiesnya memiliki warna yang berbeda-beda: putih-kuning, putih dengan ujung ungu, kuning kecokelatan, kuning-peach dengan setrip merah di labelumnya. Cul de sac: jalan yang tertutup di salah satu ujungnya, biasanya untuk di kawasan permukiman Mannequin Piss: nama sebuah patung yg sangat terkenal, merupakan landmark berusia ratusan tahun yang terletak di sebuah persimpangan kecil di pusat Kota Brussel, Belgia. Legendanya, zaman dahulu ketika terjadi sebuah kebakaran hebat warga diselamatkan oleh seorang malaikat yang berkemih. Patung-patung kecil menyerupai Mannequin Piss banyak diproduksi dan digunakan sebagai hiasan di air mancur. NVmphaea caerulea (seroja biru; tunjung biru; the blue waterlily; blue lotus; egyptian lotus; Sacred Narcotic Lily of the Nile): jenis lotus air berwarna biru nan cantik. Dipercaya telah digunakan oleh bangsa Mesir kuno sebagai obat dan pelengkap ritual. Bunga yang dikeringkan terkadang diisap seperti rokok untuk menimbulkan efek sedatif ringan. Plum: buah kecil bulat berwarna ungu gelap kemerahan dengan kulit licin. Berasal dan pohon plum, yang satu genus (Prunus) dengan buah persik (peach), ceri, aprikot, dan lain-lain. Buah plum mengandung antioksidan, vitamin C dengan kadar sangat tinggi, rasanya asam, berair, dan bisa dimakan segar atau dibuat selai dan prunes (dried plums). Pumpkin dan Gorgonzola soup: sup labu yang dicampur dengan Gorgonzola (keju biru Italia yang lembap dengan rasa yang kuat). Saga (Adenanthera microsperma): Ada dua macam saga, yaitu saga pohon dan saga rambat. Saga pohon biasa disebut saga saja, pohonnya bisa tumbuh sangat besar seperti be-ringin dan berbuah keras, kecil, dan berwarna merah berkilap. Tumbuhan ini termasuk suku polong- 367 Laskar Pelangi
polongan (Papiliocaceae), berdaun majemuk menyirip ganjil, bunganya berwarna merah. Snooker bar: tempat bermain snoolcer, yaitu sebuah variasi dan permainan biliar, yang dimainkan di atas meja berlapis kain laken yang memiliki 6 kantung berbukaan bundar (4 di tiap sudut dan 2 di tengah sisi panjangnya). Permainan ini menggunakan sebuah tongkat panjang (cue), satu bola putih (cue ball), 15 bola merah, serta 6 bola warna lainnya (merah muda, hijau, cokelat, biru, kuning, dan hitam). Permainan ini sangat populer di Inggris dan negara-negara yang pernah menjadi bagian dan Kekaisaran Inggris. Tainia shimadai (azalea orchid): anggrek ini memiliki sepal berwarna kuning, cokelat kehijauan, II atau cokelat, Labelumnya berwarna kuning dengan bercak-bercak merah cokelat kecil di kedua sisinya, dengan ujung depan terbelah tiga. Tainia banyak hidup di pegunungan yang dingin dan lem-bap. Namanya berasal dan kata Vunani, “tainia” yang berarti fillet, karena daunnya yang panjang dan sempit dengan tangkai daun yang panjang. Teh Earl Grey: teh khas Inggris yang menggunakan bergamot sebagai campuran, sehingga menghasilkan warna seduhan yang lebih muda dengan rasa yang musky. Konon nama tersebut diambil dan Charles Grey, yaitu Earl Grey kedua (1764-1845), seorang negarawan dan mantan perdana men-ten Inggris. Vitello alla Provenzale: masakan Italia, terbuat dan daging sapi muda (umumnya berusia 18-20 bulan) yang dimasak (di-stew) dengan tomat dan bumbu-bumbu lain. Vuka: sebutan untuk pekerjaan terendah, jika di PN Timah pekerjaan itu adalah menjahit karung timah yang bersifat musiman dan borongan. Dab 7 Entok: itik yang dipelihara sebagai pengeram yang baik, terutama untuk mengerami telur bebek yang tidak dapat dierami induknya sendiri, suaranya berdesis; itik manila; itik surati. Gangan: nama semacam sayuran dengan bumbu kunir, bisa dimasak bersama daging (gangan daging) atau ikan (gangan ikan). Ikan gabus (Ophiocepha/us striatus): ikan air tawar, bentuknya seperti ikan lele, tetapi tidak berpatil; ikan aruan. ]adam: getah dan semacam pohon yang hanya tumbuh di Arab, dibentuk seperti kapur, dan berwarna hitam. Bila ada yang menderita sakit, misalnya memar di tulang rusuk, maka jadam tersebut dikikis, dicampur air, dan diminum. 368 Laskar Pelangi
Dab 9 Bondol peking (Lonchura punctulata; scaly- breasted Munia; Nutmeg Mannikin; Spice Finch): jenis bondol (Munia maja: burung kecil pemakan biji yang berkepala putih, pipit uban; emprit kaji) yang setelah dewasa akan memiliki ciri: berparuh pendek, tebal, dan gelap, berpunggung cokelat, berkepala cokelat gelap, dengan dada berbercak putih dan hitam atau cokelat. Panjang tubuhnya sekitar 11-12 cm. Burung muda memiliki punggung yang lebih pucat, kepala lebih terang, dan dada yang berwarna krem kekuningan. Bubu: alat untuk menangkap ikan yang dibuat dan saga atau bambu yang dapat dianyam, dipasang dalam air sehingga ikan dapat masuk tapi tidak bisa keluar lagi. Burung matahari: burung kecil, berdada kuning, dengan sayap berwarna hitam, bentuk tubuhnya seperti kolibri, dan ia pemakan sari bunga. Cinenen kelabu (Orthotomus sep/urn; Ashy Tailorbird; Olive-backed Tailorbird): burung kicau kecil (sekitar 13 cm) berwarna kelabu, dengan campuran warna hitam pada sayapnya, merah pada bagian kepala, dan kuning pada dada. Burung ini memiliki sayap yang pendek dan membulat, ekor pendek yang tegak, kaki yang kuat, serta paruh yang panjang dan melengkung. Nama Ia//orb/rd diambil dan cara mereka membangun sarang menjahit tepian beberapa daun besar menjadi satu dengan serat tanaman atau sarang laba-laba sehingga menjadi semacam kantung tempat sarang rumput yang sesungguhnya dibangun. Gayam (Inocarpus eduls): pohon yang daunnya lebat dan dapat dipakai sebagai pembungkus, biasanya tumbuh di daerah yang banyak air. Buah pohon ini enak dimakan biasanya orang Melayu merebusnya dan menyajikannya bersama kelapa parut, asal jangan digoreng, karena buah tersebut akan mengeras seperti batu. Gelatik (Hunla oryzivora): burung pipit, bulunya berwarna abu-abu, berparuh merah, berbadan agak kecil. ]alak (Sturnupostor jala): burung beo kecil, bulunya hitam, kaki dan paruhnya berwarna kuning. Jalak biasa: jalak yang berparuh hitam. ]amur telur: jamur kecil yang tumbuh di sembarang tempat, beracun. Kertas kajang: kertas minyak berwarna merah, biru, kuning, biasa dibuat Iayangan. rvladu sepah: burung kecil dengan punggung berwarna merah dan paruh lancip. rvlarkacite: berbentuk batangan-batangan kecil kisut berwarna abu-abu. Juga mengandung plum bum dan sulfur, namun kadarnya berbeda 369 Laskar Pelangi
dengan phyrite. Ornitologi: ilmu pengetahuan tentang burung, termasuk deskripsi dan klasifikasi, penyebaran, dan kehidupannya. Parkit (Psitacula passer/na; parakeet): burung bayan kecil, berbulu cerah (biasanya bertubuh hijau, berkepala kuning, dan bermuka oranye), berekor panjang dan lancip, berukuran sekitar 30 cm. Burung jenis ini sekarang sudah semakin langka, dulunya mereka ditembaki karena dianggap sebagai hama di perkebunan buah. Peneng sepeda: pajak sepeda berupa semacam perangko yang ditempelkan di sepeda. Phyrite: Mineral yang berbentuk seperti kristal, mengandung unsur sulfur (S) dan plumbum (Pb). Dapat memengaruhi keasaman air. Trapeze: artinya tongkat horizontal yang terikat pada dua lajur tali yang tergantung secara paralel, digunakan untuk sebuah nomor dalam senam indah atau dalam permainan akrobat di sirkus. Un g kut - u n g kut (Coppersmith barbe t; Megalaema haema): burung yg agak ke hijau—hijauan pada punggungnya, dada berwarna putih. Vessel board: adalah alat sambung komunikasi model lama yang ditunggui seorang operator. Jika ada panggilan telepon maka operator ini akan menyambungkan kawat-kawat pada sebuah papan yang penuh lubang saluran telekomunikasi. Wasserij: (baca: wasray), bhs. belanda, tempat pencucian. Timah wasserj adalah timah yang telah dicuci. Bab 10 Andromeda: nama untuk konstilasi terbesar di belahan bumi utara yang terletak persis di selatan dan konstilasi Cassiopeia dan di utara konstilasi Perseus. Tidak ada bintang di Andromeda melainkan tempat beradanya Galaksi Andromeda, yaitu salah satu anggota dan kelompok yang sama dengan Galaksi Bimasakti (Ini/ky Way) kita. ]awi (Ficus rhododendrifofia): pohon sejenis beringin tapi kecil yang banyak sekali akar tunjangnya dan biasanya tumbuh di tepi telaga atau sungai. Kumpai (Panicum stagninum): rumput (gelagah), tumbuh di paya-paya, hijau, mengambang di atas air. friusim selatan: sebutan orang Melayu untuk sekitar bulan April-Mei, di saat tiupan angin lebih tenang. Berlawanan dengan musim barat yang dingin dan berangin (di saat nama bulan berakhiran dengan suku kata “- ber°). Triangulum: konstilasi kecil di belahan bumi selatan yang berada di dekat Aries dan Perseus. Zaman Cretaceous: istilah geologi untuk menyebutkan masa setelah 370 Laskar Pelangi
zaman Mesozoic berakhir, yaitu sekitar 65 sampai 144 juta tahun I1 yang lalu. Bumi mulai menghangat pada masa ini, beberapa genus reptilia besar mulai punah pada akhir zaman ini, sementara jenis flora yang masih ada sampai sekarang mulai tumbuh (seperti pohon eik dan maple). Bab 11 Auriga: konstelasi berbentuk layangan di langit sebelah utara. Bintang yang terbesar dalam konstelasi ini adalah Capella. Bintang-bintang di dalam Auriga kebanyakan merupakan bintang biner, yaitu sepasang bintang yang berputar mengelilingi pusat massa. Auriga mencapai titik tertingginya pada bulan Juni dan dapat terlihat dan belahan bumi utara dan sebelah utara belahan bumi selatan. Gurindam: sajak dua bans yang mengandung petuah atau nasihat (misalnya: baik-baik memilih kawan, salah-salah bisa jadi lawan). Bab 12 Andante: tempo musik yang agak lambat, lebih pelan daripada moderato tapi lebih cepat daripada adagio. Berasal dan bahasa Italia yang berarti “berjalan”. Jika ditambah dengan “maestoso” maka berarti tempo tersebut harus dimainkan dengan berwibawa, Linaria (toad/lax; butter-and-eggs): nama genus untuk tanaman liar yang memiliki bunga bergerombol (ada yang tegak, ada yang merayap di atas tanah) yang umumnya berwarna menyala kuning pucatoranye (spesies lain ada yang berwarna ungu, biru, merah, putih) dan daun-daun yang kecil. Bunganya berbentuk tabung sempit yang terbelah di ujungnya sehingga membentuk bibir atas (disebut hood atau kerudung/topi) dan bibir bawah yang kecil dan berwarna lain. Tanaman ini disebut toad/lax karena jika bunganya ditekan sisinya, ia akan berbentuk seperti katak (toad) yang sedang membuka mulut. Perenjak sayap garis (Pr/nla familiaris; Barwinged Pr/nla): burung kecil pemakan serangga, berwarna kelabu, memiliki sayap pendek bergaris- garis dan ekor yang panjang lentik seperti murai batu. Paruhnya tipis dan agak melengkung. Habitat burung ini adalah di tempat terbuka seperti padang ilalang. Thistle crescent (Vanessa cardui; painted lady; thist/e butterfly; cosmopolte): jenis kupu-kupu yang mungkin pa-ling luas persebarannya dan paling banyak dijumpai di seluruh dunia. Kupu-kupu ini hidup di daerah yang terbuka dan terkena cahaya matahari terutama taman, lapangan, dan tanah kosong. Sayapnya berwarna oranye atau merah kecokelatan dengan bercak dan tepian hitam, sementara permukaan bawahnya biasanya berwarna merah muda dengan corak putih dan 371 Laskar Pelangi
hitam. Sayap belakangnya biasa-nya memiliki corak seperti mata yang berwarna biru. Kupu-kupu ini hidup dan nektar bunga thist/e (tanaman dengan batang dan daun berduri, dengan braktea bunga yang lanciplancip seperti dun, biasanya berwarna ungu), aster, dan red c/over (sejenis semanggi). Bab 13 Cymbal: alat musik berupa dua piring kuningan yang diadu. Eureka: istilah yang digunakan untuk mengekspresikan keberhasilan dalam menemukan sesuatu atau memecahkan suatu masalah. Dan kata Vunani “heurçka” yang secara harfiah berarti “aku telah menemukan(nya)”, konon diucapkan oleh Archimedes saat ia berhasil menemukan hukum berat jenis air. Paleontologi: ilmu tentang fosil (binatang dan tumbuhan). Sekstan: alat untuk mengukur sudut astronomis yang meliputi seperenam lingkaran (600) untuk menentukan posisi kapal di laut). Colias crocea (Pure clouded yellow): kupu-kupu dengan warna dasar kuning-jingga, dengan tepian luar sayap berwarna gelap bersetrip kuning di atas pembuluh darahnya. Habitat kupu-kupu ini adalah di stepa, lembah, dan lereng yang kering. Colias myrmidone (Danube clouded yellow): mirip dengan C. Crocea, juga memiliki tepian berwarna gelap, namun tanpa pembuluh-pembuluh kuning. Habitatnya di daerah stepa dan hutan-stepa dengan pepohonan yang renggang, biasanya pinus. Papilio blumei: kupu-kupu dan jenis swallowtail (dicirikan dengan “ekor’ di ujung bawah sayapnya) yang berukuran cukup besar (sekitar 12 cm lebar dan 10 cm panjang). Sayapnya yang berwarna hitam begitu kontras dengan strip biru hijau sehingga memberinya tampilan yang sangat eksotis. Konon ditemukan di Taman Nasional Bantimurung di Maros, Sulawesi Selatan, dan diberi nama berdasarkan nama panggilannya, Belu, dan bulan penemuannya, Mei. Pohon santigi: pohon Iangka yang biasanya tumbuh di daerah pantai. Pohon ini bisa dibonsai seperti beringin dan harganya mencapai jutaan rupiah. Konon termasuk pohon keramat dan kayunya banyak dicari karena diyakini dapat menolak santet atau bisa menjadi gagang keris atau tombak yang baik. Bab 14 Shaman: pemimpin spiritual, seseorang yang bertindak sebagai perantara antara wilayah fisik dan wilayah spiritual, dan yang dipercaya memiliki kekuatan tertentu seperti kemampuan meramal dan menyembuhkan. 372 Laskar Pelangi
Bab 15 Pinang (Areca catechu): tumbuhan berumpun, berbatang lurus seperti hIm, tangkai daun yang melekat pada batangnya berbentuk seperti lembaran kuhit, buah yang tua berwarna kuning kemerah-merahan untuk kawan makan sirih. Po hon ke pang (Aquilarie malaccensis): yang kuhitnya bisa dijadikan tahi. Bab 16 pohon Antip kuku: istilah orang Melayu untuk menyebut alat pemotong kuku. Burung ayam-ayam (Gallierex cinerea): unggas yang serupa ayam, berkaki panjang, tidak kuat terbang, biasa hidup di tambak atau di rawa- rawa. Petunia: tanaman terna (tumbuhan dengan batang lunak tidak berkayu atau hanya mengandung jaringan kayu sedikit sekahi sehingga pada akhir masa tumbuhnya mati sampai ke pangkalnya tanpa ada batang yang tertinggal di atas tanah) dan famihi Scianaceal, tingginya antara 16-30 cm, batangnya lengket, bunganya berbentuk kerucut seperti corong, ada yang bermahkota tunggal dan ada pula yang bermahkota ganda dengan warna yang bervariasi (merah, putih, kuning pucat, biru, dan ungu tua). Pohon angsana (Pterocarpus md/ca): pohon yang bunganya berwarna kuning dan berbau jeruk, kuhitnya dapat dimanfaatkan sebagai obat, kayunya digunakan untuk pembuatan alat-alat rumah tangga, bahan bangunan, kerajinan tangan, dan lain-lain. Pohon medang (Cinnamomum porrectum); pohon gadis; kayu lada; madang loso; medang sahang; kisereh; kipedes; selasihan; marawahi; merang; parari; pelarah; peluwari; pahio): salah satu jenis suku Lauraceae, yang kuhit dan kayunya berbau harum. Pohon ini berukuran sedang hingga besar dengan ketinggian bisa mencapai 35-45 meter. Batang pohonnya bundar, lurus, dan umumnya tidak berbanir (banir: akaryang menganjur ke luar menyerupai dinding penopang pohon, seperti pada beringin). Permukaan kuhit batang berwarna kelabu atau kelabu cokelat sampai krem, serta beralur dangkal merapat dan mengelupas kecil-kecil. Bagian kuhit dalam pohon ini cokelat kemerahan, dan makin ke dalam menjadi merah muda atau putih. Pohon ini termasuk beruntung karena banyak dilestarikan oleh pen-duduk yang memanfaatkan kulitnya sebagai sumber nafkah (meskipun seperti juga banyak jenis pohon lain, kayu pohon medang sebenarnya bisa digunakan 373 Laskar Pelangi
untuk bahan bangunan, kayu lapis, mebel, lantai, dinding, kerangka pintu dan jendela, dan sebagainya). Kulit kayu medang merupakan bahan baku racun nyamuk bakar dan gaharu (hio). Sementara getah yang menempel di kulitnya bisa digunakan untuk bahan baku lem. Pohon itu tidak akan mati meskipun berkali-kali diambil kulitnya, melainkan akan semakin besar sehingga semakin banyak kulitnya yang bisa diambil oleh para pemburu. Pohon meranti: termasuk jenis Shorea, kayunya keras, digunakan untuk bahan bangunan, landasan rel kereta api, tiang listrik, dan lain sebagainya. Tanjung (Mimusops elengi): pohon yang bunganya berwarna putih kekuning-kuningan dan berbau harum, biasa dipakai untuk hiasan sanggul. Bab 17 Abutilon (Mallow, Indian Mallow, Flowering Maple): genus besar yang terdiri dan sekitar 150 spesies tanaman berdaun lebar yang tergolong dalam familia mallow (Malvaceae). Tanaman ini sangat populer di daerah subtropis. Daun-daun abutilon ada yang tidak berkelompok, ada yang tanpa kelopak, ada juga yang menjari dengan 3-7 kelopak. Bunga-bunganya sangat mencolok dengan lima petal, kebanyakan berwarna merah, merah muda, jingga, kuning, atau putih. Amarilis (Amaryllis; naked lady): genus yang terdiri dan hanya satu spesies, yaitu Belladona Lily (Amaryllis belladonna), yang berasal dan Afrika Selatan, Amarilis merupa-kan tanaman berumbi yang memiliki beberapa helai daun dengan panjang 30-SO cm dan lebar 2-3 cm, yang tertata dalam dua bans. Di musim gugur daun-daun amarilis akan tumbuh dan kemudian gugur di akhir musim semi. Di akhir musim panas umbinya memproduksi satu atau dua batang setinggi 30-60 cm, di ujungnya akan muncul 2 sampai 12 buah bunga berbentuk corong. Bunga ini berdiameter sekitar 6-10 cm dan terdiri dan 6 tepal (3 sepal luar dan 3 petal dalam yang hampir mirip), dan berwarna putih, merah mu-da, merah, atau ungu. Nama amarilis juga sering digunakan untuk menyebut familia Amaryllidaceae yang terdiri dan beragam genus seperti Hiopeastrum, Narcissus, Galan-thus, dan Clivia. Ardisia: kelompok besar beberapa jenis pohon dan semak hijau.Tanaman kecil akan tampak cantik di dalam pot jika sedang tertutup oleh buah-buah bern kecilnya yang berwarna merah sampai hitam. Daunnya kecil-kecil, berwarna hijauy gelap, dengan bunga putih- merah muda. Aster (Aster corvifollus): nama yang umum digunakan untuk sebuah 374 Laskar Pelangi
genus yang memiliki lebih dan 250 spesies tanaman berbunga majemuk yang harum, termasuk familia Compositae (Composite Flowers) atau Asteraceae. Bunga aster berwarna merah, putih, kuning, ungu, atau merah muda. Aster memiliki floret tengah (disk floret) yang bundar dan berwarna kuning sementara floret pinggir (ray florets, terdiri dan banyak petal) yang mengelilinginya memiliki warna bervariasi dan ungu sampai biru, serta dan merah muda sampai putih. Azalea: nama spesies dan genus Rhododendron. Berasal dan kata Vunani ‘azaleas” yang berarti “kering”, meski sebenarnya ini tidak cocok dengan azalea zaman sekarang yang tidak tumbuh di daerah kering seperti varietas aslinya. Tanaman ini merupakan sesemakan dengan kelompok-kelompok besar bunga berwarna merah muda, merah, jingga, ungu, kuning, atau putih. Banar (Smilax helferi): pohon yang merambat seperti rotan, akarnya bisa digunakan sebagai pengikat, juga sebagai obat. Begonia: nama umum untuk familia tanaman berbunga yang terdiri lebih dan 1.000 spesies, memiliki karakteristik berupa daun-daun yang asimetris serta bunga-bunga jantan dan betina yang terpisah dalam tanaman yang sama. Bungabunga ini berwarna kuning, oranye, merah muda, atau putih. Batangnya kebanyakan berair, namun ada yang tegak, merambat, atau tumbuh di bawah tanah, Begonia ada yang sengaja dibudidayakan karena keindahan daunnya (oainted-leaf begonia) yang berbentuk hati (bisa mencapai panjang 30 cm) dan berpola mencolok dengan kombinasi warna merah, hitam, perak, dan hijau dengan tepian yang berimpel. Calathea: tanaman tropis yang unik, daunnya hijau gelap (pada Calathea amabilis [kadang juga disebut Stromanthe amabilis atau Ctenante] daunnya disertai pola garis-garis putih-hijau) dan berimpel, berbentuk oval dan melancip di ujung, sementara bagian bawah daunnya berwarna maroon. Bentuk braktea (daun gagang; daun pelindung) bunganya bervariasi, dan bentuk kerucut sarang lebah yang berkilau sampai bentuk ekor ular derik dan berwarna biru, merah, putih, dan lain sebagainya (pada Calathea crocata bunganya berbentuk seperti nyala api dan berwarna oranye atau kuning). Di Afrika Selatan, orang menggunakan Calathea sebagai makanan, obat, anyaman keranjang, dan atap. Menariknya, tanaman ini akan menutup daunnya di kala malam tiba. Damar: getah keras yang berasal dan bermacammacam pohon dan banyak macamnya. Daun picisan (sisik naga): merupakan tumbuhan epifit, terna, tumbuh di 375 Laskar Pelangi
batang dan dahan pohon, memiliki akar rimpang panjang, kecil, merayap, bersisik, panjang 5- 22 cm, dengan akar melekat kuat. Daun yang satu dengan yang Iainnya tumbuh dengan jarak yang pendek, tebal berdaging, berbentuk jorong (bulat panjang), dengan ujung tumpul atau membundar, pangkal runcing, tepi rata, permukaan daun tua gundul dan berambut jarang pada permukaan bawah, warnanya berkisar dan hijau sampai kecokelatan. Ukuran daun yang berbentuk bulat sampai jorong hampir sama dengan uang logam picisan sehingga tanaman ini dinamakan picisan. Tanaman ini memiliki berbagal khasiat, salah satunya adalah bisa digunakan sebagai penghilang rasa nyeri dan obat batuk. Delima (Puniëa granatum): tumbuhan perdu dengan cabang yang rendah dan berduri jarang. Daunnya kecil-kecil agak kaku dan berwarna hijau berkilap. Buahnya dapat dimakan, berkulit kekuningkuningan sampai merah tua, kalau masak merekah. Juga disebut cempaka tanjung. Dendrobium: merupakan jenis anggrek epifit (menumpang di pohon tapi tidak mengambil makanan darinya seperti anggrek parasit). Namanya diambil dan katavunani, “dendron” yang berarti pohon dan “bios” yang berarti hidup. Spesies dan anggrek ini memiliki bunga warna merah muda, putih, kuning, atau kombinasi. pohon tengkaras (Aquilaria malaccensis). ]ambu air mawar (Eugenia jambos): jambu air yang berbentuk bulat kecil, berwarna kuning pucat atau kehijauan, berkulit licin dan agak keras. jurassic: periode geologi di saat dinosaurus berkembang pesat, burung- burung dan mamalia pertama kali muncul, berlangsung sekitar 210-140 juta tahun yang lalu. Jurassic merupakan periode pertengahan dan zaman Mesozoic. Keladi (Co!ocasia esculenta): tumbuhan jenis terna; berdaun lebar dan berumbi dan ada yang dapat dimakan ada yang tidak. Keranjang pempang: keranjang yang bercabang agar bisa diletakkan di bagian belakang sepeda. rvlammillaria: nama genus yang termasuk familia Cactaceae (cacti) atau kaktus. Nama Mammillaria datang dan bahasa Latin “mamma” karena tonjolantonjolan (tubercules) yang menutupi seluruh tubuh tanaman tersebut, dan yang, pada beberapa spesies, mengandung cairan tubuh yang kental seperti susu (lateks). Tubuh kaktus ini bulat dan pendek, tumbuh soliter atau berkelompok. Dun-dun kaktusnya tumbuh di puncak tonjolan tadi dan dibedakan menjadi dun sentral dan dun radial. Bunganya berwarna merah, merah muda, putih, kuning, atau benvaniasi, biasanya mekar di siang 376 Laskar Pelangi
Gaharu: kayu yang harum baunya, biasanya dan hari, frionstera (Monstera delicioca; Swiss cheese plant): tumbuhan berdaun besar berwarna hijau, berkilap, dan bundar atau berbentuk hati ketika masih muda. Ciri khasnya adalah tepian yang robek serta berlubang, yang baru tampak ketika tanaman ini dewasa. Dengan perawatan yang tepat tanaman ini bisa tumbuh sampai mencapai lebar 60 cm dan tinggi 2.4 m. Monstera menyukai posisi yang terang tapi teduh. Di alam liar tanaman ini tumbuh di batang pohon dan se-pan- jang cabang pohon, bergantung dengan akar aenialnya yang menyerupai ekor berwarna cokelat. Nolina (Beaucarnea recurvata; ponytail plant; ponytail palm; elephants foot): sebuah genus dan familia agave (Agavaceae). Nolina memiliki daun yang panjang, langsing, dan lancip, yang keluar dan menjuntai dan puncak sebuah batang keras yang panjang dengan dasar yang menggelembung mirip kaki gajah. Beberapa spesiesnya dibudidayakan sebagai tanaman hias. Jenis yang paling sering ditemui adalah Nolina recurvata, yang biasa ditanam di dalam rumah. Peperomia: genus dengan lebih dan 1.500 spesies di seluruh dunia dan sekitar 20 di antaranya sudah populer sebagai tanaman pot. Semuanya memiliki vanietas dengan dedaunan berwarna unik yang tepiannya tidak rata. Batangnya berdaging, ada yang tumbuh ke atas, ada yang menggantung atau merambat. Warnanya bervaniasi antara hijau muda, merah, kuning, dan kombinasi. Kebanyakan adalah tumbuhan epifit. Namanya diambil dan kata Vunani “pepri” (lada) dan “homoios” (mirip), yang berarti “tampak seperti lada”. Stromanthe: genus dan familia yang sama dengan Calathea yang terdiri dan dua spesies tanaman dalam ruang, yaitu S. amabilis dan S. sanguinea. S. amabilis memiliki daun-daun yang berukuran panjang 15- 25 cm dan lebar 5 cm, sementara S. sanguinea memiliki daun yang lebih besar (mencapai panjang 30-50 cm dan lebar sekitar 10 cm) dan berkilat. Keduanya memiliki daun-daun yang berbentuk seperti kipas. Bab 18 Tabla: sepasang drum asli India, satu berbentuk sihinder, satunya lagi berbentuk seperti mangkuk. Trombon: alat musik tiup berbentuk trompet panjang dan cara memainkannya ditiup sambil menyonong dan menanik alat pada pipa tnompet tersebut, Bab 19 Klarinet: alat musik tiup dengan lidah-lidah tunggal (single reeds) 377 Laskar Pelangi
yang dapat bergetar, dibuat dan kayu atau logam yang diberi lubang- lubang dan gamitan, menghasilkan suara kecil melengking. Saksofon: alat musik tiup yang dibuat dan logam, berbentuk lengkung seperti pipa cangklong, dilengkapi dengan lubang dan tombol Jan. Saksofon ada berbagai macamnya: saksofon tenor, saksofon alto, dan saksofon baniton. Snare drum (side drum): sejenis drum yang dilengkapi dengan bentangan kawat di bagian bawahnya agar menghasilkan suara yang bergetar atau berderik. Dab 20 Bugenvil (bunga kertas; Bougainvillea): nama umum genus tanaman bunga merambat yang memiliki sulur berduri. Genus ini terdiri dan sekitar 13 spesies. Tanaman ini memiliki bunga yang kecil, sederhana, dan terpisah, yang biasanya dikelilingi oleh braktea yang mencolok. Braktea ini bisa berwarna merah, merah muda, ungu, kuning, oranye, atau putih. Namanya diambil dan Louis Antoine de Bougainville, pria Prancis pemimpin ekspedisi saat tanaman ini ditemukan. kelompok bangau, begitu anggun, tinggi, berkaki panjang, dan berjalan melenggak lenggok, berasal dan Afrika. Daffodil (Narcissus): dinamai dan tokoh pemuda dalam mitologi Vunani yang terpesona oleh keindahannya sendiri sampai ajal menjemputnya dan ia pun berubah menjadi sekuntum bunga. Genus Narcissus merupakan keluarga amarilis. Tanaman ini berumbi, memiliki bunga tunggal atau ganda dengan enam petal, mahkota bunga yang memiliki enam petal yang bersatu, enam benang sari, dan sebuah putik yang soliter. Sebuah mahkota berbentuk seperti piala disebut korona mencuat dan permukaan dalam bunganya. Daffodil biasanya berwarna putih atau kuning, atau kombinasi dan keduanya. Spesies yang paling umum ditemui adalah yellow daffodil (Narcissus pseudonarcissus) yang memiliki ciri khas mahkota bunga berwarna kuning yang dalam dan menyerupai trompet. Umbi Narcissus mengandung alkaloid yang beracun jika dimakan karena bisa menyebabkan gangguan pencernaan akut seperti muntah, diare, disertai dengan gemetar dan kejang. Dracaena: genus besar tanaman tropis yang memiliki daun runcing seperti pedang atau oval dan lancip di ujungnya, sering kali dengan corak warna yang bergradasi, yang berkelompok di ujung batangnya. Tanaman ini jarang sekali memproduksi bunganya yang kecil dan berwarna putih kehijauan. Burung sekretaris (secretary bird): burung dan Spesiesnya yang paling umum ditemui adalah fragrant dracaena (Dracaena fragrans; cornplant), dengan ciri khas berupa daun yang 378 Laskar Pelangi
lemas dan melengkung, dengan setrip warna daun yang lebih muda di tengahnya. Ada juga spesies go/ddust dracaena (Dracaena surcu/osa) yang memiliki daun berbintik keemasan. Katebelece: surat pendek untuk memberitakan hal seperlunya saja; surat pengantar dan pejabat untuk urusan tertentu Pittosporum: nama genus besar untuk semak hijau dengan daun kecil yang kasar. Bunganya berkelompok, berwarna putih, ungu, atau kuning kehijauan dan berbau harum. Biasa diqunakan sebagai pagar tanaman. Bob 22 Bombu toli (Gigantoc/-i/oa apus): bambu yang batangnya (setelah dibelah-belah) dapat dijadikan tali, Collistemon loevis atau bunga jarum merah (Bottlebrush): adalah sebuah genus yang memiliki 34 spesies dan familia Myrtaceae. Disebut bctt/ebrush karena bunganya yang silindris dan seperti sikat botol. Daun- daunnya berbentuk linier dan lancip. Hipokondria: ketakutan yang berlebihan dan terus-menerus (bersifat jangka panjang) terhadap gangguan kesehatan tubuh. Penderita hipokondria biasanya yakin bahwa ia memiliki penyakit serius tanpa ada bukti yang objektif. Vitex trifolia: tumbuhan dengan daun-daun yang bagian permukaan atasnya berwarna hijau keabuabuan dengan corak putih yang menawan, sementara permukaan bawahnya berwarna perak. Daun-daun yang sangat dekoratif ini cocok untuk daerah tropis dan dapat tumbuh dengan mudah, selain itu juga tanaman ini tak membutuhkan banyak air. Bob 24 Camellia (Came/la japonica; japonica): tumbuhan sesemakan dan keluarga teh dengan bunga yang bentuknya menyerupai mawar. Daunnya berwarna hijau dan berkilat. Berasal dan bahasa Latin modern untuk nama Joseph Kamel (1661-1706), seorang misionaris dan ahli botani yang pertama kali mendeskripsikan tanaman ini. Hipotermia: keadaan suhu tubuh yang turun sampai di bawah 350 C, biasanya karena terpaan dingin dalam waktu lama. Bob 28 Buntat: semacam batu hitam yang terdapat di perut kelabang, dipercaya ampuh sebagai jimat pengasih. Incubus: berasal dan cerita rakyat Eropa, yaitu seorang setan laki-laki yang dipercaya suka mencari wanita untuk disetubuhi saat mereka tidur. Macan akar: sebutan untuk macan kecil yang selalu berada di dekat akar pohon. Paleolitikum: zaman batu tua; purba yang berlangsung dan 750.000 379 Laskar Pelangi
sampai 15.000 tahun yang lalu, ditandai dengan pemakaian alat-alat serpih. Svah bandar: pejabat pemerintah yang bertugas mengatur pelabuhan. Bob 29 Metafisika: ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hal-hal yang nonfisik atau tidak kelihatan. Parapsikoloçji: cabang ilmu jiwa tentang hal-hal yang gaib atau di luar jangkauan pancaindra. Trade-off: sebuah situasi saat seseorang harus berkompromi dengan menyerahkan seluruh atau sebagian dan suatu hal untuk menukarnya dengan hal lainnya. Bob 30 Cassiopeia: konstelasi bintang berbentuk seperti huruf “w” di belahan bumi utara, berada di dekat Polaris. Bob 32 Agnostik: orang yang berpandangan bahwa kebenaran tertinggi (Tuhan) tidak dapat diketahui dan mungkin tidak akan dapat diketahui. Orang seperti ini percaya bahwa Tuhan ada tapi tak mau memeluk agama apa pun. Agnotisisme tumbuh subur di Belanda. Pungguk (Ninox sentulata malaccensis): burung elang malam (burung hantu) yang suka memandang bulan. Bob 33 Anakronistis(a): tidak cocok tertentu. Anakronisme(n): hal dengan zaman tertentu; bisa dengan zaman ketidakcocokan juga berarti penempatan tokoh, peristiwa, percakapan, dan unsur latar yang tidak sesuai menurut waktu dalam karya sastra. Open pit mining: pertambangan sumur terbuka, istilah untuk bagian dan lubang sumur yang digunakan untuk menahan guguran yang bisa menutupi sumurjika ada ledakkan dan dalam. Bab 34 Gotik: dalam fesyen berarti gaya busana dan rias wajah yang serbagelap, biasanya dengan lipstik dan rias mata hitam dengan wajah yang dipucatkan, dilengkapi dengan perhiasan perak yang berat. Gaya ini populer di tahun 8Oan. Pisau antip: sebutan untuk semacam alat pemotong dengan sistem per seperti pemotong kuku. ----------------------------------------------- Tentang Tetralogi Laskar Pelangi Andrea Hirata: Out of the Blue 380 Laskar Pelangi
Di negeri ini, tidak mudah menulis novel-novel yang kesemuanya best seller, apalagi merupakan karyakarya pertama, ditulis seseorang yang tak berasal dan lingkungan sastra, dan lebih gawat lagi, novel- novel itu sama sekali tak sejalan dengan trend pasar. Tapi hal itu dapat dilakukan Andrea Hirata. Melalui Laskar Plangi, Andrea Hirata langsung menempatkan dirinya sebagai salah satu penulis muda Indonesia yang amat menjanjikan. Laskar Plangi telah beredar di luar negeri, bahkan mampu mencapai best seller di Malaysia. Andrea Hirata, out of the blue, tak dikenal sebelumnya, tak pernah menulis sepotong pun cerpen, tiba-tiba muncul, langsung menulis tetralogi sesuatu yang juga cukup ajaib bagi penulis pemula dengan gaya rea/is bertabur metafora yang disebut Prof. Sapardi Djoko Damono, guru besar sastra Universitas Indonesia, sebagai metafora yang berani, tak biasa, tak terduga, kadang kala ngewur, namun amat memikat. Bagaimana karya-karya Andrea dapat menjadi best seller tanpa harus mengorbankan mutu? Tentu tak terlepas dan muatan intelektualitas dan spiritualitas buku- buku itu. Sastrawan Ahmad Tohari mengatakan, “Andrea adalah jaminan bagi sebuah karya sastra bergaya saintifik dengan penyampaian yang cerdas dan menyentuh.” Prof. Dr. Syafii Maarif, mantan ketua umum Muhammadiyah berkomentar,, “Andrea langsung membidik pusat kesadaran.” Meski masih terlalu hipotetik, karya Andrea diterima secara luas mungkin juga karena pembaca kita jenuh akan sajian metropop bertema urban superringan, pornografi, hedonistik, dan mulai mendamba tulisan yang lebih berkapasitas. “Andrea mengobati kehausan para pencinta buku akan buku-buku Indonesia bermutu” (Kompas, 11 November 2006). Daya tank yang menonjol dan karya-karya Andrea juga terletak pada kemungkinan yang amat luas dan eksplorasinya terhadap karakter dan peristiwa, sehingga paragrafnya selalu mengandung kekayaan. Setiap paragraf seakan dapat berkembang menjadi sebuah cerpen, dan setiap bab mengandung letupan intelejensia, kisah, dan romantika untuk dapat tumbuh menjadi buku tersendiri. Andrea tak pernah kekeringan ide dan tak pernah kehilangan tempat untuk melihat suatu fenomena dan satu sudut yang tak pernah dilihat orang lain. Setiap kalimatnya potensial. Ironi diolahnya menjadi jenaka, cinta pertama yang absurd menjadi demikian memesona, tragedi diparodikan, ia menyastrakan fisika, kimia, biologi, dan 381 Laskar Pelangi
astronomi. “Andrea adalah seorang seniman katakata,” ujar Nicola Homer. Majalah Tempo menyebutnya, “Andrea berhasil menyajikan kenangannya menjadi cerita yang menarik, deskripsinya kuat, filmis.” Santi Indra Astuti, Msi., seorang dosen komunikasi, di Koran Tempo berpendapat, “Laskar Pelangi ageless, timeless, borderless.” Garin Nugroho, “Inspiratif.” Dan, Pin Piza, “A must read.” Novel pertama Andrea Hirata, Laskar Pelangi, telah berkembang bukan hanya sebagai bacaan sastra, namun sebagai referensi ilmiah. Novel ini banyak dirujuk untuk penulisan skripsi, tesis, dan telah diseminarkan oleh birokrat untuk menyusun rekomendasi kebijakan pendidikan. Adapun dalam novel keduanya., Sang Pemimpi, Andrea menarikan imajinasi dan melantunkan stambul mimpi-mimpi dua anak Melayu kampung: Ikal dan Arai. Novel Edensor adalah novel ketiga dan tetralogi Laskar Pelangi. Novel ini bercerita tentang keberanian bermimpi, kekuatan cinta, pencarian diri sendiri, dan penaklukan-pe-naklukan yang gagah berani. Novel keempat, atau terakhir dalam rangkaian empat karya tetralogi Laskar Pelangi, adalah Maryamah Karpov. Dalam Maryamab Karpov, dengan satirenya yang khas, ironi yang menggelitik, dan intelegensia yang meluap-luap namun membumi, Andrea berkisah tentang perempuan dan satu sudut yang amat jarang diekspos penulis Indonesia dewasa ini, Membaca keempat novel tetralogi Laskar Peangi, kita tak hanya menikmati epik yang bermutu. Kita juga akan menyaksikan bagaimana seorang penulis berbakat berevolusi dan satu karya ke karya lainnya untuk menuju master piecenya. Dhipie Kuron Pencinta sastra 382 Laskar Pelangi
Novel Laskar Pelangi, novel yang sangat inspiratif bagi yang punya
kemampuan rasa buat menangkapnya, maav mas Andrea, karena aku
telah membantu melengkapi 10 bab terakhir yang tidak kutemukan
potongan sambungannya di internet, itupun dengan bantuan OCR nya
Microsoft Office, jadi maklumin saja kalo ada huruf-huruf yang tidak
semestinya tercetak, itu bukan disengaja, tapi karena kemampuan baca
OCR-nya yang mungkin kurang sempurna, thanks buat Caslovb yang
udah capek-capek ngetik sampe bab 20, juga thanks buat somebody
yang udah ngetik bab 21 ampe 24.
Buat mas Andrea Hirata, makasih.. Seandainya ada pembaca yang
terinspirasi dari novel gratis ini, semoga pahalanya jadi amal jariah buat
Buat pembaca budiman yang punya apresiasi bagus atas novel versi
gratis ini, belilah novel aslinya, untuk koleksi pribadi atau “kado” buat
orang-orang yang menurut anda perlu juga dapat inspirasi dari novel
ini.. “Atau sekurang-kurangnya anjurkanlah mereka untuk membeli dan
Buat jeyek di fkunri , titik dua -p
Pujian untuk Laskar Pelangi
“Saya larut dalam empati yang dalam sekali. Sekiranya novel
ini difilmkan, akan dapat membangkitkan ruh bangsa yang
--Ahmad Syafi’I Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah
“Ramuan pengalaman dan imajinasi yang menarik, yang
menjawab inti pertanyaan kita tentang hubungan-hubungan
antara gagasan sederhana, kendala, dan kualitas pendidikan.”
--Sapardi Djoko Damono, sastrawan dan guru Besar Fakultas Ilmu
“Cerita Laskar Pelangi sangat inspiratif. Andrea menulis
sebuah novel yang akan mengobarkan semangat mereka yang
selalu dirundung kesulitan dalam menempuh pendidikan.”
--Arwin Rasyid, Dirut Telkom dan Dosen FEUI.
“Inilah cerita yang sangat mengharukan tentang dunia
pendidikan dengan tokoh-tokoh manusia sederhana, jujur, tulus,
gigih, penuh dedikasi, ulet, sabar, tawakal, takwa, [yang]
dituturkan secara indah dan cerdas. Pada dasarnya kemiskinan
tidak berkorelasi langsung dengan kebodohan atau kegeniusan.
Sebagai penyakit sosial, kemiskinan harus diperangi dengan
metode pendidikan yang tepat guna. Dalam hubungan itu
hendaknya semua pihak berpartisipasi aktif sehingga terbangun
sebuah monumen kebajikan di tengah arogansi uang &
--Korrie Layun Rampan, sastrawan dan Ketua Komisi I DPRD
“Di tengah berbagai berita dan hiburan televisi tentang
sekolah yang tak cukup memberi inspirasi dan spirit, maka buku
ini adalah pilihan yang menarik. Buku ini ditulis dalam semangat
realis kehidupan sekolah, sebuah dunia tak tersentuh, sebuah
semangat bersama untuk survive dalam semangat humanis yang
--Garin Nugroho, sineas.
“Andrea Hirata memberi kita syair indah tentang keragaman
dan kekayaan tanah air, sekaligus memberi sebuah pernyataan
keras tentang realita politik, ekonomi, dan situasi pendidikan
kita. Tokoh-tokoh dalam novel ini membawa saya pada
kerinduan menjadi orang Indonesia…. A must read!!!”
--Riri Riza, sutradara
“Sebuah memoar dalam bentuk novel yang sulit dicari
tandingannya dalam khazanah kontemporer penulis kita.”
--Akmal Nasery Basral, jurnalis-penulis
“Saya sangat mengagumi Novel Laskar Pelangi karya Mas
Andrea Hirata. Ceritanya berkisah tentang perjuangan dua orang
guru yang memiliki dedikasi tinggi dalam dunia pendidikan.
[Novel ini menunjukkan pada kita] bahwa pendidikan adalah
memberi hati kita kepada anak-anak, bukan sekadar memberikan
instruksi atau komando, dan bahwa setia panak memiliki potensi
unggul yang akan tumbuh menjadi prestasi cemerlang pada
masa depan, apabila diberi kesempatan dan keteladanan oleh
orang-orang yang mengerti akan makna pendidikan yang
--Kak Seto, Ketua Komnas Perlindungan Anak
“Andrea berhasil menyajikan kenangannya menjadi cerita
yang menarik. Apalagi dibalut sejumlah metafora dan deskripsi
yang kuat, filmis ketika memotret lanskap dan budaya….”
“Novel tentang dunia anak-anak yang mencuri perhatian.
Berhasil memotret fakta pendidikan dan ironi dunia korporasi di
tengah komunitas kaum terpinggirkan.”
--Gerard Arijo Guritno, Majalah Gatra
“Secuil potret pendidikan di negara kita yang
“Seru! Novel ini tidak mengajak pembaca menangisi
kemiskinan, sebaliknya mengajak kita memandang kemiskinan
“Sebuah kisah tentang anak-anak yang luar biasa, yang
mampu melahirkan semangat serta kreativitas yang mencengangkan.”
--Harian Pikiran Rakyat
“Metafora-metafora yang ditulis Andrea demikian kuat karena
--Harian Tribun Jabar
“Kehadiran novel realis ini membawa angin segar bagi
kesusastraan Indonesia.”
--Harian Media Indonesia
“Kita akan tertawa, menangis, dan merenung bersama buku
--Harian Belitung Pos
“Rasa humor yang halus dan luasnya cakrawala pengetahuan
Andrea adalah daya tarik utama Laskar pelangi.”
“Gaya bahasa yang mengasyikkan, menantang untuk dibaca.”
“Sebagai penulis pemula, Andrea menakjubkan karena
mampu menampilkan deskripsi dengan detail yang kuat.”
“Ketika membaca Laskar Pelangi, kita seolah menemukan
gabriel Garcia Marquez, Nicolai Gogol, atau Alan Lightman,
sebuah bacaan yang sangat inspiratif dan mampu memberi
“Buku Laskar Pelangi memberiku semangat baru yang tak
ternilai untuk mengajar murid-murid meskipun kami selalu
dirundung kesusahan demi kesusahan, meskipun dunia tak
perduli. Buku ini membuatku sangat bangga menjadi seorang
--Herni Kusyari, guru SD di daerah terpencil.
“Andrea seperti sedang trance, menulis Laskar Pelangi dengan
kadar emosi demikiankental, bertabur metafora penuh pesona,
hanya dalam waktu tiga pekan. ”
--Rita Achdris, wartawati Majalah Gatra
Spekulasi tentang trance ketika ia menulis, setiap kata dalam
Laskar Pelangi berasal dari dalam hati Andrea. Moralitas
hubungan antar ibu, anak, guru, dan murid sangat instingtif dan
memikat. Sebagai seorang ibu, aku dapat merasakan buku ini
memiliki semacam tenaga telepatik.”
--Ida Tejawiani, ibu rumah tangga
“Yang trance bukan Andrea, tapi pembacanya….”
--Fadly Arifin, dikutip dari milis pasar buku
“Kekuatan deskripsi Andrea membuatku ingin sekali
berjumpa dengan setiap anggota Laskar Pelangi. Kekuatan
karakter tokoh-tokohnya membuatku ingin berbuat sesuatu
untuk membantu murid-murid cerdas yang miskin. Laskar
Pelangi adalah sebuah buku yang sangat menggerakkan hati
untuk berbuat lebih banyak.”
--Febi Liana, karyawati di Jakarta, pencinta buku
Buku ini kupersembahkan untuk:
Guruku Ibu Muslimah Hafsari dan Bapak Harfan Effendy Noor,
Sepuluh sahabat masa kecilku anggota Laskar Pelangi,
Ucapan Terima Kasih..
Ucapan terima kasih kusampaikan kepada
Ally, Katja Kochling, Saskia de Rooij, Basuni Hamin, Cindy Riza
Stella, Heldy Suliswan Hirata, Yan Sancin, Zaharudin, Roxane,
Resval, Gatot Indra, Olan, Hazuan Seman Said, K.A. Arizal Artan,
Okin di Telkom Jember, dan terutama untuk Mas Gangsar Sukrisno
serta Mbak Suhindratia. Shinta di Bentang Pustaka.
Bab 1 Sepuluh Murid baru
Bab 4 Perempuan-Perempuan Perkasa
Bab 5 The Tower of Babel
Bab 8 Center of Excellence
Bab 9 Penyakit Gila No. 5
Bab 11 Langit Ketujuh
Bab 13 Jam Tangan Plastik Murahan
Bab 14 Laskar Pelangi dan Orang-Orang Sawang
Bab 15 Euforia Musim Hujan
Bab 16 Puisi Surga dan Kawanan Burung Pelintang Pulau
Bab 17 Ada Cinta di Toko Kelontong Bobrok Itu
Bab 19 Sebuah Kejahatan Terencana
Bab 22 Early Morning blue
Bab 24 Tuk Bayan Tula
Bab 26 Be There or Be Damned!
Bab 27 Detik-Detik Kebenaran
Bab 28 Societeit de Limpai
Bab 30 Elvis Has Left the Building
Dua belas tahun kemudian
“… and to every action there is always an equal
and opposite or contrary, reaction …”
Isaac newton, 1643-1727
PAGI itu, waktu aku masih kecil, aku duduk di bangku panjang
di depan sebuah kelas. Sebatang pohon tua yang riang
meneduhiku. Ayahku duduk di sampingku, memeluk pundakku
dengan kedua lengannya dan tersenyum mengangguk-angguk pada
setiap orangtua dan anak-anaknya yang duduk berderet-deret di
bangku panjang lain di depan kami. Hari itu adalah hari yang agak
penting: hari pertama masuk SD. Di ujung bangku-bangku panjang
tadi ada sebuah pintu terbuka. Kosen pintu itu miring karena seluruh
bangunan sekolah sudah doyong seolah akan roboh. Di mulut pintu
berdiri dua orang guru seperti para penyambut tamu dalam
perhelatan. Mereka adalah seorang bapak tua berwajah sabar,
Bapak K.A. Harfan Efendy Noor, sang kepala sekolah dan seorang
wanita muda berjilbab, Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus.
Seperti ayahku, mereka berdua juga tersenyum.
Namun, senyum Bu Mus adalah senyum getir yang
dipaksakan karena tampak jelas beliau sedang cemas. Wajahnya
tegang dan gerak-geriknya gelisah. Ia berulang kali menghitung
jumlah anak-anak yang duduk di bangku panjang. Ia demikian
khawatir sehingga tak peduli pada peluh yang mengalir masuk ke
pelupuk matanya. Titik-titik keringat yang bertimbulan di seputar
hidungnya menghapus bedak tepung beras yang dikenakannya,
membuat wajahnya coreng moreng seperti pameran emban bagi
permaisuri dalam Dul Muluk, sandiwara kuno kampung kami.
“Sembilan orang … baru sembilan orang Pamanda Guru,
masih kurang satu…,” katanya gusar pada bapak kepala sekolah.
Pak Harfan menatapnya kosong.
Aku juga merasa cemas. Aku cemas karena melihat Bu Mus
yang resah dan karena beban perasaan ayahku menjalar ke sekujur
tubuhku. Meskipun beliau begitu ramah pagi ini tapi lengan
kasarnya yang melingkari leherku mengalirkan degup jantung yang
cepat. Aku tahu beliau sedang gugup dan aku maklum bahwa tak
mudah bagi seorang pria berusia empat puluh tujuh tahun, seorang
buruh tambang yang beranak banyak dan bergaji kecil, untuk
menyerahkan anak laki-lakinya ke sekolah. Lebih mudah
menyerahkannya pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut
atau pada juragan pantai untuk menjadi kuli kopra agar dapat
membantu ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak berarti
mengikatkan diri pada biaya selama belasan tahun dan hal itu
bukan perkara gampang bagi keluarga kami.
Maka aku tak sampai hati memandang wajahnya.
“Barangkali sebaiknya aku pulang saja, melupakan keinginan
sekolah, dan mengikuti jejak beberapa abang dan sepupusepupuku, menjadi kuli …..
Tapi agaknya bukan hanya ayahku yang gentar. Setiap wajah
orangtua di depanku mengesankan bahwa mereka tidak sedang
duduk di bangku panjang itu, karena pikiran mereka, seperti pikiran
ayahku, melayang-layang ke pasar pagi atau ke keramba di tepian
laut membayangkan anak lelakinya lebih baik menjadi pesuruh di
sana. Para orangtua ini sama sekali tak yakin bahwa pendidikan
anaknya yang hanya mampu mereka biayai paling tinggi sampai
SMP akan dapat mempercerah masa depan keluarga. Pagi ini
mereka terpaksa berada di sekolah ini untuk menghindarkan diri
dari celaan aparat desa karena tak menyekolahkan anak atau
sebagai orang yang terjebak tuntutan zaman baru, tuntutan
memerdekakan anak dari buta huruf.
Aku mengenal para orangtua dan anak-anaknya yang duduk
di depanku. Kecuali seorang anak lelaki kecil kotor berambut
keriting merah yang meronta-ronta dari pegangan ayahnya.
Ayahnya itu tak beralas kaki dan bercelana kain belacu. Aku tak
mengenal anak beranak itu.
Selebihnya adalah teman baikku. Trapani misalnya, yang
duduk di pangkuan ibunya, atau Kucai yang duduk di samping
ayahnya, atau Syahdan yang tak diantar siapa-siapa. Kami
bertetangga dan kami adalah orang-orang Melayu belitong dari
sebuah komunitas yang paling miskin di pulau itu. Adapun sekolah
ini, SD Muhammadiyah, juga sekolah kampung yang paling miskin
di Belitong. Ada tiga alasan mengapa para orangtua mendaftarkananaknya di sini. Pertama, karena sekolah Muhammadiyah tidak
menetapkan iuran dalam bentuk apa pun, para orangtua hanya
menyumbang sukarela semampu mereka. Kedua, karena firasat,-
anak-anak mereka dianggap memiliki karakter yang mudah
disesatkan iblis sehingga sejak usia muda harus mendapatkan
pendadaran Islam yang tangguh. Ketiga, karena anaknya memang
tak diterima di sekolah mana pun.
Bu Mus yang semakin khawatir memancang pandangannya ke
jalan raya di seberang lapangan sekolah berharap kalau-kalau masih
ada pendaftar baru . Kami prihatin melihat harapan hampa itu.
Maka tidak seperti suasana di SD lain yang penuh kegembiraan
ketika menerima murid angkatan baru, suasana hari pertama di SD
Muhammadiyah penuh dengan kerisauan, dan yang paling risau
adalah Bu Mus dan Pak Harfan.
Guru-guru yang sederhana ini berada dalam situasi genting
karena Pengawas Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah
memperingatkan bahwa jika SD Muhammadiyah hanya mendapat
murid baru kurang dari sepuluh orang maka sekolah paling tua di
Belitong ini harus ditutup. Karena itu sekarang Bu Mus dan Pak
Harfan cemas sebab sekolah mereka akan tamat riwayatnya,
sedangkan para orangtua cemas karena biaya, dan kami, sembilan
anak-anak kecil ini yang terperangkap di tengah cemas kalau- kalau
kami tak jadi sekolah.
Tahun lalu SD Muhammadiyah hanya mendapatkan sebelas
siswa, dan tahun ini Pak Harfan pesimis dapat memenuhi target
sepuluh. Maka diam-diam beliau telah mempersiapkan sebuah
pidato pembubaran sekolah di depan para orangtua murid pada
kesempatan pagi ini. Kenyataan bahwa beliau hanya memerlukan
satu siswa lagi untuk memenuhi target itu menyebabkan pidato ini
akan menjadi sesuatu yang menyakitkan hati.
“Kita tunggu sampai pukul sebelas,” kata Pak Harfan pada Bu
Mus dan seluruh orangtua yang telah pasrah. Suasana hening.
Para orang tua mungkin menganggap kekurangan satu murid
sebagai pertanda bagi anak-anaknya bahwa mereka memang sebaik
nya didaftarkan pada para juragan saja. Sedangkan aku dan
agaknya juga anak-anak yang lain merasa amat pedih: pedih pada
orangtua kami yang tak mampu, pedih menyaksikan detik-detik
terakhir sebuah sekolah tua yang tutup justru pada hari pertama
kami ingin sekolah, dan pedih pada niat kuat kami untuk belajar tapi
tinggal selangkah lagi harus terhenti hanya karena kekurangan satu
murid. Kami menunduk dalam-dalam.
Saat itu sudah pukul sebelas kurang lima dan Bu Mus semakin
gundah. Lima tahun pengabdiannya di sekolah melarat yang amat
ia cintai dan tiga puluh dua tahun pengabdian tanpa pamrih pada
Pak Harfan, pamannya, akan berakhir di pagi yang sendu ini.
“Baru sembilan orang Pamanda Guru …,” ucap Bu Mus
bergetar sekali lagi. Ia sudah tak bisa berpikir jernih. Ia berulang kali
mengucapkan hal yang sama yang telah diketahui semua orang.
Suaranya berat selayaknya orang yang tertekan batinnya.
Akhirnya, waktu habis karena telah pukul sebelas lewat lima
dan jumlah murid tak juga genap sepuluh. Semangat besarku untuk
sekolah perlahan-lahan runtuh. Aku melepaskan lengan ayahku dari
pundakku. Sahara menangis terisak-isak mendekap ibunya karena
ia benar-benar ingin sekolah di SD Muhammadiyah. Ia memakai
sepatu, kaus kaki, jilbab, dan baju, serta telah punya buku-buku,
botol air minum, dan tas punggung yang semuanya baru.
Pak Harfan menghampiri orangtua murid dan menyalami
mereka satu per satu. Sebuah pemandangan yang pilu. Para
orangtua menepuk-nepuk bahunya untuk membesarkan hatinya.
Mata Bu Mus berkilauan karena air mata yang menggenang. Pak
Harfan berdiri di depan para orangtua, wajahnya muram. Beliau
bersiap-siap memberikan pidato terakhir. Wajahnya tampak putus
asa. Namun ketika beliau akan mengucapkan kata pertama
Assalamu’alaikum seluruh hadirin terperanjat karena Tripani
berteriak sambil menunjuk ke pinggir lapangan rumput luas halaman
Kami serentak menoleh dan di kejauhan tampak seorang pria
kurus tinggi berjalar terseok-seok. Pakaian dan sisiran rambutnya
sangat rapi. Ia berkemeja lengan panjang putih yang dimasukkan ke
dalam. Kaki dan langkahnya membentuk huruf x sehingga jika
berjalan seluruh tubuhnya bergoyang-goyang hebat. Seorang wanita
gemuk setengah baya yang berseri-seri susah payah memeganginya.
Pria itu adalah Harun, pria jenaka sahabat kami semua, yang sudah
berusia lima belas tahun dan agak terbelakang mentalnya. Ia sangat
gembira dan berjalan cepat setengah berlari tak sabar menghampiri
kami. Ia tak menghiraukan ibunya yang tercepuk-cepuk kewalahan
Mereka berdua hampir kehabisan napas ketika tiba di depan
“Bapak Guru …, ” kata ibunya terengah-engah.
“Terimalah Harun, Pak, karena SLB hanya ada di Pulau
Bangka, dan kami tak punya biaya untuk menyekolahkannya ke
sana. Lagi pula lebih baik kutitipkan dia disekolah ini daripada di
rumah ia hanya mengejar -ngejar anak-anak ayamku …..
Harun tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya yang kuning
panjang-panjang. Pak Harfan juga terseyum, beliau melirik Bu Mus
sambil mengangkat bahunya.
“Genap sepuluh orang …,” katanya.
Harun telah menyelamatkan kami dan kami pun bersorak.
Sahara berdiri tegak merapikan lipatan jilbabnya & menyandang
tasnya dengan gagah, ia tak mau duduk lagi.
Bu Mus tersipu. Air mata guru muda ini surut dan ia menyeka
keringat di wajahnya yang belepotan karena bercampur dengan
IBU Muslimah yang beberapa menit lalu sembab, gelisah, dan
coreng-moreng kini menjelma menjadi sekuntum Crinum
giganteum. Sebab tiba-tiba ia mekar sumringah dan posturnya yang
jangkung persis tangkai bunga itu. Kerudungnya juga berwarna
bunga crinum demikian pula bau bajunya, persis crinum yang mirip
bau vanili. Sekarang dengan ceria beliau mengatur tempat duduk
kami. Bu Mus mendekati setiap orangtua murid di bangku panjang
tadi, berdialog sebentar dengan ramah, dan mengabsen kami.
Semua telah masuk ke dalam kelas, telah mendapatkan teman
sebangkunya masing-masing, kecuali aku dan anak laki-laki kecil
kotor berambut keriting merah yang tak kukenal tadi. Ia tak bisa
tenang. Anak ini berbau hangus seperti karet terbakar.
“Anak Pak Cik akan sebangku dengan Lintang,” kata Bu Mus
Oh, itulah rupanya namanya, Lintang, sebuah nama yang
Mendengar keputusan itu Lintang meronta-ronta ingin segera
masuk kelas. Ayahnya berusaha keras menenangkannya, tapi ia
memberontak, menepis pegangan ayahnya, melonjak, dan
menghambur ke dalam kelas mencari bangku kosongnya sendiri. Di
bangku itu ia seumpama balita yang dinaikkan ke atas tank, girang
tak alang kepalang, tak mau turun lagi. Ayah nya telah melepaskan
belut yang licin itu, dan anaknya baru saja meloncati nasib, merebut
Bu Mus menghampiri ayah Lintang. Pria itu berpotongan
seperti pohon cemara angin yang mati karena disambar petir: hitam,
meranggas, kurus, dan kaku. Beliau adalah seorang nelayan, namun
pembukaan wajahnya yang mirip orang Bushman adalah raut wajah
yang lembut, baik hati, dan menyimpan harap. Beliau pasti
termasuk dalam sebagian besar warga negara Indonesia yang
menganggap bahwa pendidikan bukan hak asasi.
Tidak seperti kebanyakan nelayan, nada bicaranya pelan. Lalu
beliau bercerita pada Bu Mus bahwa kemarin sore kawalaburung
pelintang pulau mengunjungi pesisir. Burung-burung keramat itu
hinggap sebentar di puncak pohon ketapang demi menebar
pertanda bahwa laut akan diaduk badai. Cuaca cenderung semakin
memburuk akhir-akhir ini maka hasil melaut tak pernah memadai.
Apalagi ia hanya semacam petani penggarap, bukan karena ia tak
punya laut, tapi karena ia tak punya perahu.
Agaknya selama turun temurun keluarga laki-laki cemara
angin itu tak mampu terangkat dari endemik kemiskinan komunitas
Melayu yang menjadi nelayan. Tahun ini beliau meng-inginkan
perubahan dan ia memutuskan anak laki-laki tertuanya, Lintang, tak
akan menjadi seperti dirinya. Lintang akan dudu k di samping pria
kecil berambut ikal yaitu aku, dan ia akan sekolah di sini lalu pulang
pergi setiap hari naik sepeda. Jika panggilan nasibnya memang
harus menjadi nelayan maka biarkan jalan kerikil batu merah empat
puluh kilometer mematahkan semangatnya. Bau hangus yang
kucium tadi ternyata adalah bau sandal cunghai, yakni sandal yang
dibuat dari ban mobil, yang aus karena Lintang terlalu jauh
Keluarga Lintang berasal dari Tanjong Kelumpang, desa nun
jauh di pinggir laut. Menuju kesana harus melewati empat kawasan
pohon nipah, tempat berawa-rawa yang dianggap seram di
kampung kami. Selainitu di sana juga tak jarang buaya sebesar
pangkal pohon sagu melintasi jalan. Kampung pesisir itu secara
geografis dapat dikatakan sebagai wilayah paling timur di Sumatra,
daerah minus nun jauh masuk ke pedalaman Pulau Belitong. Bagi
Lintang, kota kecamatan, tempat sekolah kami ini, adalah
metropolitan yang harus ditempuh dengan sepeda sejak subuh. Ah!
Ketika aku menyusul Lintang kedalam kelas ia menyalamiku
dengan kuat seperti pegangan tangan calon mertua yang menerima
pinangan. Energi yang berlebihan di tubuhnya serta-merta menjalar
padaku laksana tersengat listrik. Ia berbicara tak henti- henti penuh
minat dengan dialek Belitong yang lucu, tipikal orang Belitong
pelosok. Bola matanya bergerak-gerak cepat dan menyala-nyala. Ia
seperti pilea, bunga meriam itu, yang jika butiran air jatuh di atas
daunnya, ia melontarkan tepung sari, semarak, spontan, mekar, dan
penuh daya hidup. Di dekatnya, aku merasa seperti ditantang
mengambil ancang-ancang untuk sprint seratus meter. Sekencang
apa engkau berlari? Begitulah makna tatapannya.
Aku sendiri masih bingung. Terlalu banyak perasaan untuk
ditanggung seorang anak kecil dalam waktu demikian singkat.
Cemas, senang, gugup, malu, teman baru, guru baru … semuanya
bercampur aduk. Ditambah lagi satu perasaan ngilu karena
sepasang sepatu baru yang dibelikan ibuku. Sepatu ini selalu
kusembunyikan ke belakang. Aku selalu menekuk lututku karena
warna sepatu itu hitam bergaris-garis putih maka ia tampak seperti
sepatu sepak bola, jelek sekali. Bahannya pun dari plastik yang
keras. Abang-abangku sakit perut menahan tawa melihat sepatu itu
waktu kami sarapan pagi tadi. Tapi pandangan ayahku menyuruh
mereka bungkam, membuat perut mereka k aku. Kakiku sakit dan
hatiku malu dibuat sepatu ini.
Sementara itu, kepala Lintang terus berputar-putar seperti
burung hantu. Baginya, penggaris kayu satu meter, vas bunga tanah
liat hasil prakarya anak kelas enam di atas meja Bu Mus, papan tulis
lusuh, dan kapur tumpul yang berserakan di atas lantai kelas yang
sebagian telah menjadi tanah, adalah benda-benda yang
Kemudian kulihat lagi pria cemara anginitu. Melihat anaknya
demikian bergairah ia tersenyum getir. Aku mengerti bahwa pira
yang tak tahu tanggal dan bulan kelahirannya itu gamang
membayangkan kehancuran hati anaknya jika sampai drop out saat
kelas dua atau tiga SMP nanti karena alasan klasik: biaya atau
tuntutan nafkah. Bagi beliau pendidikan adalah enigma, sebuah
misteri. Dari empat garis generasi yang diingatnya, baru Lintang
yang sekolah. Generasi kelima sebelumnya adalah masa
antediluvium, suatu masa yang amat lampau ketika orang-orang
Melayu masih berkelana sebagai nomad. Mereka berpakaian kulit
kayu dan menyembah bulan.
UMUMNYA Bu Mus mengelompokkan tempat duduk kami
berdasarkan kemiripan. Aku dan Lintang sebangku karena kami
sama-sama berambut ikal. Trapani duduk dengan Mahar karena
mereka berdua paling tampan. Penampilan mereka seperti para
penaltun irama semenanjung idola orang Melayu pedalaman.
Trapani tak tertarik dengan kelas, ia mencuri-curi pandang ke
jendela, melirik kepala ibunya yang muncul sekali-sekali di antara
kepala orangtua lainnya.
Tapi Borek, (bacanya Bore’, “e”-nya itu seperti membaca elang,
bukan seperti menyebut “e” pada kata edan, dan “k ”-nya itu bukan
“k” penuh, Anda tentu paham maksud saya) dan Kucai didudukkan
berdua bukan karena mereka mirip tapi karena sama-sama susah
diatur. Baru beberapa saat di kelas Borek sudah mencoreng muka
Kucai dengan penghapus papan tulis. Tingkah ini diikuti Sahara
yang sengaja menumpahkan air minum A Kiong sehingga anak
Hokian itu menangis sejadi-jadinya seperti orang ketakutan dipeluk
setan. N.A. Sahara Aulia Fadillah binti K.A. Muslim Ramdhani
Fadillah, gadis kecil berkerudung itu, memang keras kepala luar
biasa. Kejadian itu menandai perseteruan mereka yang akan
berlangsung akut bertahun-tahun. Tangisan A Kiong nyaris merusak
acara perkenalan yang menyenangkan pagi itu. Sebaliknya, bagiku
pagi itu adalah pagi yang tak terlupakan sampai puluhan tahun
mendatang karena pagi itu aku melihat Lintang dengan canggung
menggenggam sebuah pensil besar yang belum diserut seperti
memegang sebilah belati. Ayahnya pasti telah keliru membeli pensil
karena pensil itu memiliki warna yang berbeda di kedua ujungnya.
Salah satu ujungnya berwarna merah dan ujung lainnya biru.
Bukankah pensil semacam itu dipakai para tukang jahit untuk
menggaris kain? Atau para tukang sol sepatu untuk membuat garis
pola pada permukaan kulit? Sama sekali bukan untuk menulis.
Buku yang dibeli juga keliru. Buku bersampul biru tua itu bergaris
tiga. Bukankah buku semacam itu baru akan kami pakai nanti saat
kelas dua untuk pelajaran menulis rangkai indah? Hal yang tak akan
pernah kulupakan adalah bahwa pagi itu aku menyaksikan seorang
anak pesisir melarat—teman sebangku—untuk pertama kalinya
memegang pensil dan buku, dan kemudian pada tahun-tahun
berikutnya, setiap apa pun yang ditulisnya merupakan buah pikiran
yang gilang gemilang, karena nanti ia—seorang anak miskin
pesisir—akan menerangi nebula yang melingkupi sekolah miskinini
sebab ia akan berkembang menjadi manusia paling genius yang
pernah kujumpai seumur hidupku.
TAK susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami
adalah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin
di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit saja oleh kambing
yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan.
Kami memiliki enam kelas kecil-kecil, pagi untuk SD
Muhammadiyah dan sore untuk SMP Muhammadiyah. Maka kami,
sepuluh siswa baru ini bercokol selama sembilan tahun di sekolah
yang sama dan kelas-kelas yang sama, bahkan susunan kawan
sebangku pun tak berubah selama sembilan tahun SD dan SMP itu.
Kami kekurangan guru dan sebagian besar siswa SD
Muhammadiyah ke sekolah memakai sandal. Kami bahkan tak
punya seragam. Kami juga tak punya kotak P3K. Jika kami sakit,
sakit apa pun: diare, bengkak, batuk, flu, atau gatal-gatal maka guru
kami akan memberikan sebuah pil berwarna putih, berukuran besar
bulat seperti kancing jas hujan, yang rasanya sangat pahit. Jika
diminum kita bisa merasa kenyang. Pada pil itu ada tulisan besar
APC. Itulah pil APC yang legendaris di kalangan rakyat pinggiran
Belitong. Obat ajaib yang bisa menyembuhkan segala rupa
Sekolah Muhammadiyah tak pernah dikunjungi pejabat,
penjual kaligrafi, pengawas sekolah, apalagi anggota dewan. Yang
rutin berkunjung hanyalah seorang pria yang berpakaian seperti
ninja. Di punggungnya tergantung sebuah tabung aluminium besar
dengan slang yang menjalar ke sana kemari. Ia seperti akan
berangkat ke bulan. Pria ini adalah utusan dari dinas kesehatan
yang menyemprot sarang nyamuk dengan DDT. Ketika asap putih
tebal mengepul seperti kebakaran hebat, kami pun bersorak- sorak
Sekolah kami tidak dijaga karena tidak ada benda berharga
yang layak dicuri. Satu-satunya benda yang menandakan bangunan
itu sekolah adalah sebatang tiang bendera dari bambu kuning dan
sebuah papan tulis hijau yang tergantung miring di dekat lonceng.
Lonceng kami adalah besi bulat berlubang-lubang bekas tungku. Di
papan tulis itu terpampang gambar matahari dengan garis- garis
sinar berwarna putih. Di tengahnya tertulis:
Sekolah Dasar Muhammadiyah
Lalu persis di bawah mathari tadi tertera huruf-huruf arab
gundul yang nanti setelah kelas dua, setelah aku pandai membaca
huruf arab, aku tahu bahwa tulisan itu berbunyi amar makruf nahi
mungkarartinya: menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari
Itulah pedoman utama warga Muhammadiyah. Kata-kata itu
melekat dalam kalbu kami sampai dewasa nanti. Kata-kata yang
begitu kami kenal seperti kami mengenal bau alami ibu-ibu kami.
Jika dilihat dari jauh sekolah kami seolah akan tumpah karena tiangtiang kayu yang tua sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat.
Maka, sekolah kami sangat mirip gudang kopra. Konstruksi
bangunan yang menyalahi prinsip arsitektur ini menyebabkan tak
ada daun pintu dan jendela yang bisa dikun ci karena sudah tidak
simetris dengan rangkakusennya. Tapi buat apa pula dikunci? Di
dalam kelas kami tidak terdapat tempelan poster operasi kali-kalian
seperti umumnya terdapat di kelas-kelas sekolah dasar. Kami juga
tidak memiliki kalender dan tak ada gambar presiden dan wakilnya,
atau gambar seekor burung aneh berekor delapan helai yang selalu
menoleh ke kanan itu. Satu-satunya tempelan di sana adalah
sebuah poster, persis di belakang meja Bu Mus untuk menutupi
lubang besar di dinding papan. Poster itu memperlihatkan gambar
seorang pria berjenggot lebat, memakai jubah, dan ia memegang
sebuah gitar penuh gaya. Matanya sayu tapi meradang, seperti telah
mengalami cobaan hidup yang mahadahsyat. Dan agaknya ia
memang telah bertekad bulat melawan segala bentuk kemaksiatan
di muka bumi. Di dalam gambar tersebut sang pria tadi melongok ke
langit dan banyak sekali uang-uang kertas serta logam berjatuhan
menimpa wajahnya. Di bagian bawah poster itu terdapat dua baris
kalimat yang tak kupahami. Tapi nanti setelah naik ke kelas dua dan
sudah pintar membaca, aku mengerti bunyi kedua kalimat itu
adalah: RHOMA IRAMA, HUJAN DUIT!
Maka pada intinya tak ada yang baru dalam pembicaraan
tentang sekolah yang atapnya bocor, berdinding papan, berlantai
tanah, atau yang kalau malam dipakai untuk menyimpan ternak,
semua itu telah dialami oleh sekolah kami. Lebih menarik
membicarakan tentang orang-orang seperti apa yang rela
menghabiskan hidupnya bertahan di sekolah semacam ini. Orangorang itu tentu saja kepala sekolah kami Pak K.A. Harfan Efendy
Noor bin K.A. Fadillah Zein Noor dan Ibu N.A. Muslimah Hafsari
Hamid binti K.A. Abdul Hamid.
Pak Harfan, seperti halnya sekolah ini, tak susah digambarkan.
Kumisnya tebal, cabangnya tersambung pada jenggot lebat
berwarna kecokelatan yang kusam dan beruban. Hemat kata,
wajahnya mirip Tom Hanks, tapi hanya Tom Hanks di dalam film di
mana ia terdampar di sebuah pulau sepi, tujuh belas bulan tidak
pernah bertemu manusia dan mulai berbicara dengan sebuah bola
voli. Jika kita bertanya tentang jenggotnya yang awut-awtuan, beliau
tidak akan repot-repot berdalih tapi segera menyodorkan sebuah
buku karya Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandhallawi Rah,
R.A. yang berjudul Keutamaan Memelihara Jenggot . Cukup
membaca pengantarnya saja Anda akan merasa malu sudah
bertanya. K.A. pada nama depan Pak Harfan berarti Ki Agus. Gelar
K.A. mengalir dalam garis laki-laki silsilah Kerajaan Belitong. Selama
puluhan tahun keluarga besar yang amat bersahaja ini berdiri pada
garda depan pendidikan di sana. Pak Harfan telah puluhan tahun
mengabdi di sekolah Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan apa pun
demi motif syiar Islam. Beliau menghidupi keluarga dari sebidang
kebun palawija di pekarangan rumahnya.
Hari ini Pak Harfan mengenakan baju takwa yang dulu pasti
berwarna hijau tapi kini warnanya pudar menjadi putih. Bekasbekas warna hijau masih kelihatan di baju itu. Kaus dalamnya
berlubang di beberapa bagian dan beliau mengenakan celana
panjang yang lusuh karena terlalu sering dicuci. Seutas ikat
pinggang plastik murahan bermotif ketupat melilit tubuhnya. Lubang
ikat pinggang itu banyak berderet-deret, mungkin telah dipakai sejak
beliau berusia belasan.
Karena penampilan Pak Harfan agak seperti beruang madu
maka ketika pertama kali melihatnya kami merasa takut. Anak kecil
yang tak kuat mental bisa-bisa langsung terkena sawan. Namun,
ketika beliau angkat bicara, tak dinyana, meluncurlah mutiaramutiara nan puitis sebagai prolog penerimaan selamat datang penuh
atmosfer sukacita di sekolahnya yang sederhana. Kemudian dalam
waktu yang amat singkat beliau telah merebut hati kami. Bapak
yang jahitan kerah kemejanya telah lepas itu bercerita tentang
perahu Nabi Nuh serta pasangan-pasangan binatang yang selamat
dari banjir bandang. “Mereka yang ingkar telah diingatkan bahwa
air bah akan datang …,” demikian ceritanya dengan wajah penuh
“Namun, kesombongan membutakan mata dan menulikan
telinga mereka, hingga mereka musnah dilamun ombak …..
Sebuah kisah yang sangat mengesankan. Pelajaran moral
pertama bagiku: jika tak rajin sahalat maka pandai-pandailah
Cerita selanjutnya sangat memukau. Sebuah cerita
peperangan besar zaman Rasulullah di mana kekuatan dibentuk
oleh iman bukan oleh jumlah tentara: perang Badar! Tiga ratus tiga
belas tentara Islam mengalahkan ribuan tentara Quraisy yang kalap
dan bersenjata lengkap.
“Ketahuilah wahai keluarga Ghudar, berangkatlah kalian ke
tempat-tempat kematian kalian dalam masa tiga hari!” Demikian
Pak Harfan berteriak lantang sambil menatap langit melalui jendela
kelas kami. Beliau memekikkan firasat mimpi seorang penduduk
Mekkah, firasat kehancuran Quraisy dalam kehebatan perang
Mendengar teriakan itu rasanya aku ingin melonjak dari
tempat duduk. Kami ternganga karena suara Pak Harfan yang berat
menggetarkan benang-ben ang halus dalam kalbu kami. Kami
menanti liku demi liku cerita dalam detik-detik menegangkan
dengan dada berkobar-kobar ingin membela perjuangan para
penegak Islam. Lalu Pak Harfan mendinginkan suasana yang
berkisah tentang penderitaan dan tekanan yang dialami seorang pria
bernama Zubair bin Awam. Dulu nun di tahun 1929 tokoh ini
bersusah payah, seperti kesulitan Rasulullah ketika pertama tiba di
Madinah, mendirikan sekolah dari jerjak kayu bulat seperti kandang.
Itulah sekolah pertama di Belitong. Kemudian muncul para tokoh
seperti K.A. Abdul Hamid dan Ibrahim bin Zaidin yang berkorban
habis-habisan melanjutkan sekolah kandang itu menjadi sekolah
Muhammadiyah. Sekolah ini adalah sekolah Islam pertama di
Belitong, bahkan mungkin di Sumatra Selatan. Pak Harfan
menceritakan semua itu dengan semangat perang badar sekaligus
setenang hembusan angin pagi. Kami terpesona pada setiap pilihan
kata dan gerak lakunya yang memikat. Ada semacam pengaruh
yang lembut dan baik terpancar darinya. Ia mengesankan sebagai
pria yang kenyang akan pahit getir perjuangan dan kesusahan
hidup, berpengetahuan seluas samudra, bijak, berani mengambil
risiko, dan menikmati daya tarik dalam mencari-cari bagaimana cara
menjelaskan sesuatu agar setiap orang mengerti.
Pak Harfan tampak amat bahagia menghadapi murid, tipikal
“guru” yang sesungguhnya, seperti dalam lingua asalnya, India,
yaitu orang yang tak hanya mentransfer sebuah pelajaran, tapi juga
yang secara pribadi menjadi sahabat dan pembimbing spiritual bagi
muridnya. Beliau sering men aikturunkan intonasi, menekan kedua
ujung meja sambil mempertegas kata-kata tertentu, dan mengangkat
kedua tangannya laksana orang berdoa minta hujan.
Ketika mengajukan pertanyaan beliau berlari-lari kecil
mendekati kami, menatap kami penuh arti dengan pandangan
matanya yang teduh seolah kami adalah anak-anak Melayu yang
paling berharga. Lalu membisikkan sesuatu di telinga kami, menyitir
dengan lancarayat-ayat suci, menantang pengetahuan kami,
berpantun, membelai hati kami dengan wawasan ilmu, lalu diam,
diam berpikir seperti kekasih merindu, indah sekali.
Beliau menorehkan benang merah kebenaran hidup yang
sederhana melalui kata- katanya yang ringan namun bertenaga
seumpama titik-titik air hujan. Beliau mengobarkan semangat kami
utnuk belajar dan membuat kami tercengang dengan petuahnya
tentang keberanian pantang men yerah melawan kesulitan apa pun.
Pak Harfan memberi kami pelajaran pertama tentang keteguhan
pendirian, tentang ketekun an, tentang keinginan kuat untuk
mencapai cita- cita. Beliau meyakinkan kami bahwa hidup bisa
demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan
keikhlasan berkorban untuk sesama. Lalu beliau menyampaikan
sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap jauh ke dalam dadaku
serta memberi arah bagiku hingga dewasa, yaitu bahwa hiduplah
untuk memberi sebanyak -banyaknya, bukan untuk menerima
Kami tak berkedip menatap sang juru kisah yang ulung ini.
Pria ini buruk rupa dan buruk pula setiapapa yang di-sandangnya,
tapi pemikirannya jernih dan kata-katanya bercahaya. Jika ia
mengucapkan sesuatu kami pun terpaku menyimaknya dan tak
sabar menunggu untaian kata berikutnya. Tiba-tiba aku merasa
sangat beruntung didaftarkan orangtuaku di sekolah miskin
Muhammadiyah. Aku merasa lelah terselamatkan karena orang
tuaku memilih sebuah sekolah Islam sebagai pendidikan paling
dasar bagiku. Aku merasa amat beruntung berada di sini, di tengah
orang-orang yang luar biasa ini. Ada keindahan di sekolah Islam
melarat ini. Keindahan yang tak ‘kan kutukar dengan seribu
kemewahan sekolah lain.
Setiap kali Pak Harfan ingin menguji apa yang telah
diceritakannya kami berebutan mengangkat tangan, bahkan kami
mengacung meskipun beliau tak bertanya, dan kami mengacung
walaupun kami tak pasti akan jawaban. Sayangnya bapak yang
penuh daya tarik ini harus mohon diri. Satu jam dengannya terasa
hanya satu menit. Kami mengikuti setiap inci langkahnya ketika
meninggalkan kelas. Pandangan kami melekat tak lepas-lepas
darinya karena kami telah jatuh cinta padanya. Beliau telah
membuat kami menyayangi sekolah tua ini. Kuliah umum dari Pak
Harfan di hari pertama kami masuk SD Muhammadiyah langsung
menancapkan tekad dalam hati kami untuk membela sekolah yang
hampir rubuh ini, apa pun yang terjadi.
Kelas diambil alih oleh Bu Mus. Acaranya adalah perkenalan
dan akhirnya tibalah giliran A Kiong. Tangisnya sudah reda tapi ia
masih terisak. Ketika diminta ke depan kelas ia senang bukan main.
Sekarang di sela-sela isaknya ia tersenyum. Ia menggoyanggoyangkan tubuhnya. Tangan kirinya memegang botol air yang
kosong—karena isinya tadi ditumpahkan Sahara—dan tangan
kanannya menggenggam kuat tutup botol itu.
“Silahkan ananda perkenalkan nama dan alamat rumah …,”
pinta Bu Mus lembut pada anak Hokian itu.
A Kiong menatap Bu Mus dengan ragu kemudian ia kembali
tersenyum. Bapaknya menyeruak di antara kerumunan orangtua
lainnya, ingin menyaksikan anaknya beraksi. Namun, meskipun
berulang kali ditanya A Kiong tidak menjawab sepatah kata pun. Ia
terus tersenyum dan hanya tersenyum saja.
“Silakan ananda …,” Bu Mus meminta sekali lagi dengan sabar.
Namun sayang A Kiong hanya menjawabnya dengan kembali
tersenyum. Ia berkali-kali melirik bapaknya yang kelihatan tak sabar.
Aku dapat membaca pikiran ayahnya,
“Ayolah anakku, kuatkan hatimu, sebutkan namamu! Paling
tidak sebutkan nama bapakmu ini, sekali saja! Jangan bikin malu
orang Hokian!” Bapak Tionghoa berwajah ramah ini dikenal
sebagai seorang Tionghoa kebun, strata ekonomi terendah dalam
kelas sosial orang-orang Tionghoa di Belitong.
Namun, sampai waktu akan berakhir a Kiong masih tetap saja
tersenyum. Bu Mus membujuknya lagi.
“Baiklah ini kesempatan terakhir untukmu mengenalkan diri,
jika belum bersedia maka harus kembali ke tempat duduk..
A Kiong malah semakin senang. Ia masih sama sekali tak
menjawab. Ia tersenyum lebar, matanya yang sipit menghilang.
Pelajaran moral nomor dua: jangan tanyakan nama dan alamat
pada orang yang tinggal di kebun.
Maka berakhirlah perkenalan di bulan Februari yang
Perempuan-Perempuan Perkasa
AKU pernah membaca kisah tentang wanita yang membelah batu
karang untuk mengalirkan air, wanita yang menenggelamkan diri
belasan tahun sendirian di tengah rimba untuk menyelamatkan
beberapa keluarga orang utan, atau wanita yang berani mengambil
risiko tertular virus ganas demi menyembuhkan penyakit seorang
anak yang sama sekali tak dikenalnya nun jauh di Somalia.
Di sekolah Muhammadiyah setiap hari aku membaca keberanian
berkorban semacam itu di wajah wanita muda ini. N.A. Muslimah
Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, atau kami memanggilnya
Bu Mus, hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian
Putri), namun beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya—K.A.
Abdul Hamid, pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong—untuk
terus mengobarkan pendidikan Islam.
Tekad itu memberinya kesulitan hidup yang tak terkira, karena
kami kekurangan guru—lagi pula siapa yang rela diupah beras 15
kilo setiap bulan? Maka selama enam tahun di SD Muhammadiyah,
beliau sendiri yang mengajar semua mata pelajaran—mulai dari
Menulis Indah, Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, Ilmu Bumi,
sampai Matematika, Geografi, Prakarya, dan Praktik Olahraga.
Setelah seharian mengajar, beliau melanjutkan bekerja menerima
jahitan sampai jauh malam untuk mencari nafkah, menopang hidup
dirinya dan adik-adinya.
BU MUS adalah seroang guru yang pandai, karismatik, dan
memiliki pandangan jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri silabus
pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan kepada kami sejak dini
pandangan-pandangan dasar moral, demokrasi, hukum, keadilan,
dan hak-hak asasi—jauh hari sebelum orang-orang sekarang
meributkan soal materialisme versus pembangunan spiritual dalam
pendidikan. Dasar-dasar moral itu menuntun kami membuat
konstruksi imajiner nilai-nilai integritas pribadi dalam konteks Islam.
Kami diajarkan menggali nilai luhur di dalam diri sendiri agar
berperilaku baik karena kesadaran pribadi. Materi pelajaran Budi
Pekerti yang hanya diajarkan di sekolah Muhammadiyah sama
sekali tidak seperti kode perilaku formal yang ada dalam konteks
legalitas institusional seperti sapta prasetya atau pedoman-pedoman
“Shalatlah tepat waktu, biar dapat pahala lebih banyak,”
demikian Bu Mus selalu menasihati kami. Bukankah ini kata-kata
yang diilhami surah An-Nisa dan telah diucapkan ratusan kali oleh
puluhan khatib? Sering kali dianggap sambil lalu saja oleh umat.
Tapi jika yang mengucapkannya Bu Mus kata-kata itu demikian
berbeda, begitu sakti, berdengung- dengung di dalam kalbu. Yang
terasa kemudian adalah penyesalan mengapa telah terlamabat
Pada kesempatan lain, karena masih kecil tentu saja, kami
sering mengeluh mengapa sekolah kami tak seperti sekolah-sekolah
lain. Terutama atap sekolah yang bocor dan sangat menyusahkan
saat musim hujan. Beliau tak menanggapi keluhan itu tapi
mengeluarkan sebuah buku berbahasa Belanda dan
memerplihatkan sebuah gambar.
Gambar itu adalah sebuah ruangan yang sempit, dikelilingi
tembok tebal yang suram, tinggi, gelap, dan berjeruji. Kesan di
dalamnya begitu pengap, angker, penuh kekerasan dan kesedihan.
“inilah sel Pak Karno di sebuah penjara di Bandung, di sini beliau
menjalani hukuman dan setiap hari belajar, setiap waktu membaca
buku. Beliau adalah salah satu orang tercerdas yang pernah dimiliki
Beliau tak melanjutkan ceritanya..
Kami tersihir dalam senyap. Mulai saat itu kami tak pernah lagi
memprotes keadaan sekolah kami. Pernah suatu ketika hujan turun
amat lebat, petir sambar menyambar. Trapani dan Mahar memakai
terindak, topi kerucut dari daun lais khas tentara Vietkong, untuk
melindungi jambul mereka. Kucai, Borek, dan Sahara memakai jas
hujan kuning bergambar gerigi metal besar di punggungnya dengan
tulisan “UPT Bel” (Unit Penambangan Timah Belitong)—jas hujan
jatah PN Timah milik bapaknya. Kami sisanya hampir basah kuyup.
Tapi sehari pun kami tak pernah bolos, dan kami tak pernah
mengeluh, tidak, sedikit pun kami tak pernah mengeluh.
Bagi kami Pak Harfan dan Bu Mus adalah pahlawan tanpa
tanda jasa yang sesungguhnya. Merekalah mentor, penjaga,
sahabat, pengajar, dan guru spiritual. Mereka yang pertama
menjelaskan secara gamblang implikasi amar makruf nahi mungkar
sebagai pegangan moral kami sepanjang hayat. Mereka mengajari
kami membuat rumah- rumahan dari perdu apit-apit, mengusap
luka-luka di kaki kami, membimbing kami cara mengambil wudu,
melongok ke dalam sarung kami ketika kami disunat, mengajari
kami doa sebelum tidur, memompa ban sepeda kami, dan kadangkadang membuatkan kami air jeruk sambal.
Mereka adalah ksatria tampa pamrih, pangeran keikhlasan,
dan sumur jernih ilmu pengetahuan di ladang yang ditinggalkan.
Sumbangan mereka laksana manfaat yang diberikan pohon filicium
yang menaungi atap kelas kami. Pohon ini meneduhi kami dan
dialah saksi seluruh drama ini. Seperti guru-guru kami, filicium
memberi napas kehidupan bagi ribuan organise dan menjadi
tonggak penting mata rantai ekosistem.
JUMLAH orang Tionghoa di kampung kami sekitar sepertiga
dari total populasi. Ada orang Kek, ada orang Hokian, ada orang
Tongsan, dan ada yang tak tahu asal usulnya. Bisa saja mereka
yang lebih dulu mendiami pulau ini daripada siapa pun. Aichang,
phok, kiaw, dan khaknai, seluruhnya adalah perangkat
penambangan timah primitf yang sekarang dianggap temuan
arkeologi, bukti bahwa nenek moyang mereka telah lama sekali
berada di Pulau Belitong. Komunitas ini selalu tipikal: rendah hati
ddan pekerja keras. Meskipun jauh terpisah dari akar budayanya
namun mereka senantiasa memelihara adat istiadatnya, dan di
Belitong mereka beruntung karena mereka tak perlu jauh-jauh
datang ke Jinchanying kalau hanya ingin melihat Tembok Besar
Persis bersebelahan dengan toko-toko kelontong milik warga
Tionghoa ini berdiri tembok tinggi yang panjang dan di sana sini
tergantung papan peringatan:
“DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”.
Di atas tembok ini tidak hanya ditancapi pecahan-pecahan kaca
yang mengancam tapi juga dililitkan empat jalur kawat berduri
seperti di kamp Auschwitz. Namun, tidak seperti Temok Besar Cina
yang melindungi berbagai dinasti dari sebuan suku-suku Mongol di
utara, di Belitong tembok yang angkuh dan berkelak-kelok
sepanjang kiloan meter ini adalah pengukuhan sebuah dominasi
dan perbedaan status sosial.
Di balik tembok itu terlindung sebuah kawasan yang disebut
Gedong, yaitu negeri asing yang jika berada di dalamnya orang
akan merasa tak sedang berada di Belitong. Dan di dalam sana
berdiri sekolah-sekolah PN. Sekolah PN adalah sebutan untuk
sekolah milik PN (Perusahaan Negara) Timah, sebuah perusahaan
yang paling berpengaruh di Belitong, bahkan sebuah hegemoni
lebih tepatnya, karena timah adalah denyut nadi pulau kecil itu.
Suatu sore seorang gentleman keluar dari balik tembok itu
untuk berkeliling kampung dengan sebuah Chevrolet Corvette, lalu
esoknya di depan sebuah majelis ia mencibir.
“Tak satu pun kulihat ada anak muda memegang pacul! Tak
pernah kulihat orang- orang muda demikian malas seperti di sini..
Ha? Apa dia kira kami bangsa petani? Kami adalah buruhburuh tambang yang bangga, padi tak tumbuh di atas tanah-tanah
kami yang kaya material tambang! LAKSANA the Tower of Babel—
yakni Menara Babel, metafora tangga menuju surga yang
ditegakkan bangsa babylonia sebagai perlambang kemakmuran
5.600 tahun lalu, yang berdiri arogan di antara Sungai Tigris dan
Eufrat di tanah yang sekarang disebut Irak—timah di Belitong
adalah menara gading kemakmuran berkah Tuhan yang menjalar
sepanjang Semenanjung Malaka, tak putus-putus seperti jalian urat
Orang Melayu yang mer ogohkan tangannya ke dalam lapisan
dangkal aluvium, hampir di sembarang tempat, akan mendapati
lengannya berkilauan karena dilumuri ilmenit atau timah kosong.
Bermil-mil dari pesisir, Belitong tampak sebagai garis pantai kuning
berkilauan karena bijih-bijih timah dan kuarsa yang disirami cahaya
matahari. Pantulan cahaya itu adalah citra yang lebih kemilau dari
riak-riak gelombang laut dan membentuk semacam fatamorgana
pelangi sebagai mercusuar yang menuntun para nakhoda.
Tuhan memberkahi Belitong dengan timah bukan agar kapal
yang berlayar ke pulau itu tidak menyimpang ke Laut Cina Selatan,
tetapi timah dialirkan-Nya ke sana untuk menjadi mercusuar bagi
penduduk pulau itu sendiri. Adakah mereka telah semena- mena
pada rezeki Tuhan sehingga nanti terlunta-lunta seperti di kala
Tuhan menguji bangsa Lemuria? Kilau itu terus menyala sampai
jauh malam. Eksploitasi timah besar-besaran secara nonstop
diterangi ribuan lampu dengan energi jutaan kilo watt. Jika
disaksikan dari udara di malam hari Pulau Belitong tampak seperti
familia besar Ctenopore, yakni ubur-ubur yang memancarkan
cahaya terang berwarna biru dalam kegelapan latu: sendiri, kecil,
bersinar, indah, dan kaya raya. Belitong melayang-layang di antara
Selat Gaspar dan Karimata bak mutiara dalam tangkupan kerang.
Dan terberkatilah tanah yang dialiri timah karena ia seperti
knautia yang dirubung beragam jenis lebah madu. Timah selalu
mengikat material ikutan, yakni harta karun tak ternilai yang
melimpah ruah: granit, zirkonium, silika, senotim, monazite, ilmenit,
siderit, hematit, clay, emas, galena, tembaga, kaolin, kuarsa, dan
Semuanya berlapis- lapis, meluap-luap, beribu-ribu ton di bawah
rumah-rumah panggung kami. Kekayaan ini adalah bahan dasar
kaca berkualitas paling tinggi, bijih besi dan titanium yang bernas, …
material terbaik untuk superkonduktor, timah kosong ilmenit yang
digunakan laboratorium roket NASA sebagai materi antipanas
ekstrem, zirkonium sebagai bahan dasar produk-produk tahan api,
emas murni dan timah hitam yang amat mahal, bahkan kami
memiliki sumber tenaga nuklir: uranium yang kaya raya. Semua ini
sangat kontradiktif dengan kemiskinan turun temurun penduduk asli
Melayu Belitong yang hidup berserakan di atasnya. Kami seperti
sekawanan tikus yang paceklik di lumbung padi.
Belitong dalam batas kuasa eksklusif PN Timah adalah kota
praja Konstantinopel yang makmur. PN adalah penguasa tunggal
Pulau Belitung yang termasyhur di seluruh negeri sebagai
Pulautimah. Nama itu tercetak di setiap buku geografi atau buku
Himpunan Pengetahuan Umum pustaka wajib sekolah dasar. PN
amat kaya. Ia punya jalan raya, jembatan, pelabuhan, real estate,
bendungan, dok kapal, saran a telekomunikasi, air, listrik, rumahrumah sakit, sarana olahraga—termasuk beberapa padang golf,
kelengkapan sarana hiburan, dan sekolah-sekolah. PN menjadikan
Belitong --sebuah pulau kecil-- seumpama desa perusahaan dengan
aset triliunan rupiah.
PN merupakan penghasil timah nasional terbesar yang
mempekerjakan tak kurang dari 14.000 orang. Ia menyerap hampir
seluruh angkatan kerja di Belitong dan menghasilkan devisa jutaan
dolar. Lahan eksploiotasinya tak terbatas. Lahan itu disebut kuasa
penambangan dan secara ketat dimonopoli. Legitimasi ini diperoleh
melalui pembayaran royalti—lebih pas disebut upeti—miliaran
rupiah kepada pemerintah. PN mengoperasikan 16 unit emmer
bageratau kapal keruk yang bergerak lamban, mengorek isi bumi
dengan 150 buah mangkuk-mangkuk baja raksasa, siang malam
merambah laut, sungai, dan rawa-rawa, bersuara mengerikan
laksana kawanan dinosaurus.
Di titik tertinggi siklus komidi putar, di masa keemasan itu,
penumpangnya mabuk ketinggian dan tertidur nyenyak,
melanjutkan mimpi gelap yang ditiup-tiupkan kolonialis. Sejak
zaman penjajahan, sebagai platform infrastruktur ekon omi, PN
tidak hanya memonopoli faktor produksi terpenting tapi juga
mewarisi mental bobrok feodalistis ala Belanda. Sementara seperti
sering dialami oleh warga pribumi dimanapun yang sumber daya
alamnya dieksploitasi habis-habisan, sebagaian komunitas di
Belitong juga termarginalkan dalam ketidak adilan kompensasi
tanah ulayah, persamaan kesempatan, dan trickle down effects .
PULAU Belitong yang makmur seperti mengasingkan diri dari
tanah Sumatra yang membujur dan di sana mengalir kebudayaan
Melayu yang tua. Pada abad ke-19, ketika korporasi secara
sistematis mengeksploitasi timah, kebudayaan bersahaja itu mulai
hidup dalam karakteristik sosiologi tertentu yang atribut-atributnya
mencerminkan perbedaan sangat mencolok seolah berdasarkan
status berkasta-kasta. Kasta majemuk itu tersusun rapi mulai dari
para petinggi PN Timah yang disebut “orang staf” atau urang setap
dalam dialek lokal sampai pada para tukang pikul pipa di instalasi
penambangan serta warga suku Sawang yang menjadi buruh-buruh
yuka penjahit karung timah. Salah satu atribut diskriminasi itu
adalah sekolah-sekolah PN.
Maka lahirlah kaum menak, implikasi dari institusi yang ingin
memelihara citra aristokrat. PN melimpahi orang staf dengan
penghasilan dan fasilitas kesehatan, pendidikan, promosi,
transportasi, hiburan, dan logistik yang sangat diskriminatif
dibanding kompensasi yang diberikan kepada mereka yang bukan
orang staf. Mereka, kaum borjuis ini, bersemayam di kawasan
eksklusif yang disebut Gedong. Mereka seperti orang-orang kulit
putih di wilayah selatan Amerika pada tahun 70-an. Feodalisme di
Belitong adalah sesuatu yang unik, karena ia merupakan
konsekuensi dari adanya budaya korporasi, bukan karena tradisi
paternalistik dari silsilah, subkultur, atau privilese yang di
anugerahkan oleh penguasa seperti biasa terjadi di berbagai tempat
Sepadan dengan kebun gantung yang memesona di pelataran
menara Babylonia, sebuah taman kesayangan Tiran
Nebuchadnezzar III untuk memuja Dewa Marduk, Gedong adalah
landmark Belitong. Ia terisolasi tembok tinggi berkeliling dengan satu
akses keluar masuk seperti konsep cul de sac dalam konsep
pemukiman modern. Arsitektur dan desain lanskapnya bergaya
sangat kolonial. Orang-orang yang tinggal di.dalamnya memiliki
nama-nama yang aneh, misalnya Susilo, Cokro, Ivonne, Setiawan,
atau Kuntoro, tak ada Muas, Jamali, Sa’indun, Ramli, atau Mahader
seperti nama orang- orang Melayu, dan mereka tidak pernah
menggunakan bin atau binti.
Gedong lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh
para Polsus (Polisi Khusus) Timah. Jika ada yang lancang masuk
maka koboi-koboi tengik itu akan menyergap, mengintergoasi, lalu
interogasi akan ditutup dengan mengingatkan sang tangkapan pada
tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”
yang bertaburan secara mencolok pada berbagai akses dan fasilitas
di sana, sebuah power Statement tipikal kompeni.
Kawasan warisan Belanda ini menjunjung tinggi kesan
menjaga jarak , dan kesan itu diperkuat oleh jajaran pohon-pohon
saga tua yang menjatuhkan butir-butir buah semerah darah di atas
kap mobil-mobil mahal yang berjejal-jejal sampai keluar garasi. Di
sana, rumah-rumah mewah besar bergaya Victoria memiliki jendelajendela kaca lebar dan tinggi dengan tirai yang berlapis-lapis laksana
layar bioskop. Rumah-rumah itu ditempatkan pada kontur yang
agak tinggi sehingga kelihatan seperti kastil-kastil kaum bangsawan
dengan halaman terpelihara rapi dan danau-danau buatan. Di
dalamnya hidup tenteram sebuah keluarga kecil dengan dua atau
tiga-anak yang selalu tampak damai, temaram, dan sejuk.
Setiap rumah memiliki empat bangunan terpisah yang
disambungkan oleh selasar- selasar panjang. Itulah rumah utama
sang majikan, rumah bagi para pembantu, garasi, dan gudanggudang. Selasar-selasar itu mengelilingi kolam kecil yang ditumbuhi
Nymphaea caereulea atau the blue water lily yang sangat menawan
dan di tengahnya terdapat patung anak-anak gendut semacam
Manequin Piss legenda negeri Belgia yang menyemprotkan air
mancur sepanjang waktu dari kemaluan kecilnya yang lucu. Pot-pot
kayu anggrek mahal Tainia shimadai Dan Chysis digantungkan
berderet- deret di bibiratap selasar dan di bawahnya tersusun rapi
bejana keramik antik bertangga- tangga berisi kaktus Chaemasereas
dan Parodia scopa . Untuk urusan bunga ini ada petugas khusus
yang merawatnya. Di luar lingkar kolam didirikan sebuah kandang
berlubang kotak-kotak kecil persegi berbentuk piramida yang berseni
dan ditopang oelh sebuah pilar bergaya Romawi, itulah rumah
burung merpati Inggris.
Di dalam rumah utama sang majikan terdapat ruang tamu
dengan lampu-lampu yang teduh dan perabot utama di sana adalah
sebuah sofa Victorian rosewood berwarna merah. Jika duduk di
atasnya seseorang dapat merasa dirinya seperti seorang paduka
raja. Di samping ruang tamu adalah ruang makan tempat para
penghuni rumah makan malam mengenakan busana senja yang
terbaik dan bersepatu. Di meja makan mewah dengan kayu
Cinnamonglaze , mereka duduk mengelilingi makanan yang
namanya bahkan belum ada terjemahannya. Pertama-tama
perangsang lapar pumpkin and Gorgonzola soup , lalu hadir caesar
salad menu utama, chicken cordon bleu, vitello alla Provenzale ,
Pada bagian akhir sebagai makanan penutup adalah creamy
cheesecake topped with stawberry puree , buah-buah persik dan
prem. Mereka makan dengan tenang sembari mendengarkan musik
klasik yang elegan: Mozart: Haffner No. 35 in D Major . Mereka
mematuhi table manner’ Setelah melampirkan serbet di atas
pangkuannya makan malam dimulai nyaris tanpa suara dan tak ada
seorang pun yang menekan bibir meja dengan sikunya... Sarapan
pagi disajikan di ruangan yang berbeda. Ruangan ini terbuka,
menghadap ke kebun anggrek dan kolam renang dangkal yang biru.
Mejanya juga berbeda yakni terracotta tile top oval yang lucu
namun berkelas. Di pagi hari mereka senang mencicipi omelet dan
menyeruput the. Earl Grey, atau cappuccino, lalu mereka
melemparkan remah-remah roti pada burung-burung merpati Inggris
yang berebutan, rakus tapi jinak.
Halaman setiap rumah sangat luas dan tak dipagar.
Kebanyakan didekorasi dengan karya seni instalasi dari konstruksi
logam yang maknanya tak mudah dicerna orang awam. Hamparan
rumput manila di halaman menyentuh lembut bibir jalan raya
dengan tinggi permukaan yang sama. Ada daya tarik tersendiri di
Tak ada parit, karena semua sistem pembuangan diatur di
bawah tanah. Pekarangan ditumbuhi pinang raja, bambu Jepang,
pisang kipas, dan berjenis-jenis palem yang berselang-seling di
antara taman-taman bunga umum, ornamen, galeri, angsa-angsa
besar yang berkeliaran, kafe members only , patung-patung, nooker
bar , sudut-sudut tempat bermain anak-anak berisi ayam-ayam
kalkun yang dibiarkan bebas, trotoar untuk membawa anjing jalanjalan, kolam-kolam renang, dan lapangan-lapangan golf. Tenang
dan tidak berisik, kecuali sedikit bunyi, rupanya anjing pudel sedang
mengejar beberapa ekor kucing anggora.
Namun, selain suara hewan-hewan lucu itu sore ini terdengar
lamat-lamat denting piano dari salah satu kastil Victoria yang
terututp rapat berpilar-pilar itu. Floriana atau Flo yang tomboi, salah
seorang siswa sekolah PN, sedang les piano. Guru privatnya sangat
bersemangat tapi Flo sendiri terkantuk-kantuk tanpa minat. Kedua
tangannya menopang wajah murungnya sambil menguap berulangulang di samping sebuah instrumen megah: grand piano merk
Steinway and sons yang hitam, dingin, dan berkilauan. Wajah Flo
seperti kucing kebanyakan tidur dan bangun magrib-magrib.
Bapaknya—seorang Mollen Bas , kepala semua kapal keruk—duduk
di sebuah kursi besar semacam singgasana sehingga tubuh kecilnya
tenggelam. Kakinya dibungkus sepatu mahal De Carlo cokelat yang
elegan, tergantung berayun-ayun lucu. Ia geram pada tingkah si
tomboi dan malu pada sang guru, seorang wanita berkacamata,
setengah baya, berwajah cerdas dan hanya bisa tersenyum-senyum.
Beliau tak henti-henti memohon maaf pada wanita Jawa yang
sangat santun itu atas kelakuan anaknya.
Bapak Flo adalah orang hebat, seseorang yang amat
terpelajar. Ia adalah insinyur lulusan terbaik dari Technische
Universiteit Delf di Holland dari Fakultas Werktuiq bouwkunde,
Maritieme techniek & technische materiaal wetenschappen, yang
artinya kurang lebih: jago teknik. Ia adalah salah satu dari segelintir
orang Melayu asli Belitong yang berhak tinggal di Gedong dan
orang kampung yang mampu mencapai karier tinggi di jajaran elite
orang staf karena kepintarannya. Sebagai Mollen Bas, beliau
sanggup mengendalikan shift ribuan karyawan, memperbaiki
kerusakan kapal keruk yang tenaga-tenaga ahli asing sendiri sudah
menyerah, dan mengendalikan aset produksi miliaran dolar. Tapi
menghadapi anak perempuan kecilnya, si tomboi gasing yang tak
bisa diatur ini, beliau hampir menyerah. Semakin keras suara
bapaknya menghardik semakin lebar Flo menguap.
Pokok perkaranya sederhana, yakni beliau telah memiliki
beberapa anak laki-laki dan Flo si bungsu, adalah anak perempuan
satu-satunya. Namun anak perempuannya ini bersikeras ingin
menjadi laki-laki. Setiap hari beliau berusaha memerempuankan Flo
antara lain dengan memaksanya kursus piano. Grand piano itu
didatangkan dengan kapal khusus dari Jakarta. Guru privat yang
merupakan seorang instruktur musik profesional, juga khusus
dijemput dari Tanjong Pandan. Lebih dari itu, di sela kesibukannya,
bapaknya rela menunggui Flo kursus, namun yang beliau dapat tak
lebih dari uapan- uapan itu. Flo bahkan tak berminat menyentuh
tuts-tuts hitam putih yang berkilat-kilat karena pikirannya melayang
ke sasana tempat ia latihan kick boxing dan angkat barbel. Flo tak
suka menerima dirinya sebagai seorang perempuan. Mungkin
karena pengharuh dari saudara-saudara kandungnya yang
seluruhnya laki-laki atau karena suatu ketidak seimbangan dalam
kimia tubuhnya. Maka ia memotong rambut dengan model lurus
pendek dan ia belajar mengubah ekspresi wajah cantiknya agar
merefleksikan seringai laki-laki. Ia bercelana jeans , kaos oblong, dan
membuang anting- anting yang dibelikan ibunya. Guru privat itu
memperkenalkan dengan lembut notasi do, mi, sol, si dalam lintasan
empat oktaf dan memperlihatkan posisi jari-jemari pada setiap
notasi itu sebagai dasar bagi Flo untuk berlatih fingering . Flo
TAK disangsikan, jika di- zoom out , kampung kami adalah
kampung terkaya di Indonesia. Inilah kampung tambang yang
menghasilkan timah dengan harga segenggam lebih mahal puluhan
kali lipat dibanding segantang padi. Triliunan rupiah aset tertanam
di sana, miliaran rupiah uang berputar sangat cepat seperti putaran
mesin parut, dan miliaran dolar devisa mengalir deras seperti
kawanan tikus terpanggil pemain seruling ajaib Der Rattenfanger
von Hameln . Namun jika di- zoom in , kekayaan itu terperangkap
di satu tempat, ia tertimbun di dalam batas tembok-tembok tinggi
Gedong. Hanya beberapa jengkal di luar lingkaran tembok tersaji
pemandangan kontras seperti langit dan bumi. Berlebihan jika
disebut daerah kumuh tapi tak keliru jika diumpamakan kota yang
dilanda gerhana berkepanjangan sejakera pencerahan revolusi
industri. Di sana, di luar lingkar tembok Gedong hidup komunitas
Melayu Belitong yang jika belum punya enam anak belum berhenti
beranak pinak. Mereka menyalahkan pemerintah karena tidak
menyediakan hiburan yang memadai sehingga jika malam tiba
mereka tak punya kegiatan lain selain membuat anak-anak itu.
Di luar tembok feodal tadi berdirilah rumah-rumah kami,
beberapa sekolah negeri, dan satu sekolah kampung
Muhammadiyah. Tak ada orang kaya di sana, yang ada hanya
kerumunan toko miskin di pasar tradisional dan rumah-rumah
panggung yang renta dalam berbagai ukuran. Rumah-rumah asli
Melayu ini sudah ditinggalkan zaman keemasannya. Pemiliknya tak
ingin merubuhkannya karena tak ingin berpisah dengan kenangan
masa jaya, atau karena tak punya uang.
Di antara rumah panggung itu berdesak-desakan kantor polisi,
gudang-gudang logistik PN, kantor telepon, toapekong, kantor
camat, gardu listrik, KUA, masjid, kantor pos, bangunan
pemerintah—yang dibuat tanpa perencanaan yang masuk akal
sehingga menjadi bangunan kosong telantar, tandon air, warung
kopi, rumah gadai yang selalu dipenuhi pengunjung, dan rumah
panjang suku Sawang. Komunitas Tionghoa tinggal di bangunan
permanen yang juga digunakan sebagai toko. Mereka tidak memiliki
pekarangan. Adapun pekarangan rumah orang Melayu ditumbuhi
jarak pagar, beluntas, beledu, kembang sepatu, dan semak
belukaryang membosankan. Pagar kayu saling-silang di parit
bersemak di mana tergenang air mati berwarna cokelat—juga sangat
membosankan. Entok dan ayam kampung berkeliaran seenaknya.
Kambing yang tak dijaga melalap tanaman bunga kesayangan
sehingga sering menimbulkan keributan kecil.
Jalan raya di kampung ini panas menggelegak dan ingarbingar oleh suara logam yang saling beradu ketika truk-truk reyot
lalu-lalang membawa berbagai peralatan teknik eksplorasi timah.
Kawasan kampung ini dapat disebut sebagai urban atau perkotaan.
Umumnya tujuh macam profesi tumpang tindih di sini: kuli PN
sebagai mayoritas, penjaga toko, pegawai negeri, pengangguran,
pegawai kantor desa, pedagang, dan pensiunan. Sepanjang waktu
mereka hilir mudik dengan sepeda. Semuanya, para penduduk,
kambing, entok, ayam, dan seluruh bangunan itu tampak berdebu,
tak teratur, tak berseni, dan kusam.
Keseharian orang pinggiran ini amat monoton. Pagi yang
sunyi senyap mendadak sontak berantakan ketika kantor pusat PN
Timah membunyikan sirine, pukul 7 kurang 10. Sirine itu
memekakkan telinga dalam radius puluhan kilometer seperti
peringatan serangan Jepang dalam pengeboman Pearl Harbour.
Demi mendengar sirine itu, dari rumah-rumah panggung,
jalan-jalan kecil, sudut-sudut kampung, rumah-rumah dinas
permanen berdinding papan, dan gang-gang sempit bermunculanlah parakuli PN bertopi kuning membanjiri jalan raya. Mereka
berdesakan, terburu-buru mengayuh sepeda dalam rombongan
besaratau berjalan kaki, karena sepuluh menit lagi jam kerja dimulai.
Jumlah mereka ribuan.
Mereka menyerbu tempat kerja masing-masing: bengkel
bubut, kilang minyak, gudang beras, dok kapal, dan unit-unit
pencucian timah. Parakuli yang bekerja shift di kapal keruk
melompat berjejal-jejal ke dalam bak truk terbuka seperti sapi yang
akan digiring ke penjagalan. Tepat pukul 7 kembali dibunyikan
sirene kedua tanda jam resmi masuk kerja. Lalu tiba-tiba jalan-jalan
raya, kampung-kampung, dan pasar kembali lengang, sunyi senyap.
Setelah pukul 7 pagi, rumah orang Melayu Belitong hanya dihuni
kaum wanita, para pensiunan, dan anak-anak kecil yang belum
sekolah. Kampung kembali hidup pada pukul 10, yaitu ketika
wanita-wanita itu memainkan orkestra menumbuk bumbu. Suara
alu yang dilantakkan ke dalam lumpang kayu bertalu-talu, sahutmenyahut dari rumah ke rumah.
Pukul 12 sirine kembali berbunyi, kali ini adalah sebagai tanda
istirahat. Dalam sekejap jalan raya dipenuhi parakuli yang pulang
sebentar. Lapar membuat mereka tampak seperti semut-semut
hitam yang sarangnya terbakar, lebih tergesa dibanding waktu
mereka berangkat pagi tadi. Pukul 2 siang sirine berdengung lagi
memanggil mereka bekerja. Parakuli ini akan kembali pulang ke
peraduan setelah terdengar sirine yang sangat panjang tepat pukul 5
sore. Demikianlah yang berlangsung selama puluhan tahun
TIDAK seperti di Gedong, jika makan orang urban ini tidak
mengenal appetizer sebagai perangsang selera, tak mengenal main
course , ataupun dessert . Bagi mereka semuanya adalah menu
utama. Pada musim barat ketika nelayan enggan melaut, menu
utama itu adalah ikangabus. Parakuli yang bernafsu makan besar
sesuai dengan pembakaran kalorinya itu jika makan seluruh
tubuhnya seakan tumpah ke atas meja. Agar lebih praktis tak jarang
baskom kecil nasi langsung digunakan sebagai piring. Di situlah
diguyur semangkuk gangan , yaitu masakan tradisional dengan
bumbu kunir. Ketika makan mereka tak diiringi karya MozartHaffner
No. 35 in D Major tapi diiringi rengekan anak -anaknya yang minta
dibelikan baju pramuka.
Setiap subuh para istri meniup siong (potongan bambu) untuk
menghidupkan tumpukan kayu bakar. Asap mengepul masuk ke
dalam rumah, menyembul keluar melalui celah dinding papan, dan
membangunkan entok yang dipelihara di bawah rumah panggung.
Asap itu membuat penghuni rumah terbatuk-batuk, namun ia amat
diperlukan guna menyalakan gemuk sapi yang dibeli bulan
sebelumnya dan digantungkan berjuntai- juntai seperti cucian di atas
perapian. Gemuk sapi itulah sarapan mereka setiap pagi. Sebelum
berangkat parakuli itu tidak minum teh Earlgrey atau cappuccino ,
melainkan minum air gula aren dicampur jadam untuk
menimbulkan efek ten aga kerbau yang akan digunakan sepanjang
Apabila persediaan gemuk sapi menipis dan angin barat
semakin kencang, maka menu yang disajikan sangatlah istimewa,
yaitu lauk yang diasap untuk sarapan, lauk yang diasin untuk makan
siang, dan lauk yang dipepes untuk makan malam, seluruhnya
terbuat dari ikangabus.
DI luar lingkungan urban, berpencar menuju dua arah
besaradalah wilayah rural atau pedesaan. Daerah ini memanjang
dalam jarak puluhan kilometer menuju ke barat ibu kota Kabupaten
Tanjong Pandan. Sebaliknya, ke arah selatan akan menelusuri jalur
ke pedalaman. Jalur ini berangsur-angsur berubah dari aspal
menjadi jalan batu merah dan lama-kelamaan menjadi jalan tanah
setapak yang berakhir di laut.
Di sepanjang jalur pedesaan rumah penduduk berserakan,
berhadap-hadapan dipisahkan oleh jalan raya. Dulu nenek moyang
mereka berladang di hutan. Belanda menggiring mereka ke pinggir
jalan raya, agar mudah dikendalikan tentu saja. Orang-orang
pedesaan ini hidup bersahaja, umumnya berkebun, mengambil hasil
hutan, dan mendapat bonus musiman dari siklus buah-buahan,
lebah madu, dan ikan air tawar. Mereka mendiami tanah ulayat dan
di belakang rumah mereka terhampar ribuan hektar tanah tak
bertuan, padang sabana, rawa-rawa layaknya laboratorium alam
yang lengkap, dan aliran air bening yang belum tercemar.
Kekuatan ekonomi Belitong dipimpin oleh orang staf PN dan
para cukong swasta yang mengerjakan setiap konsesi eksploitasi
timah. Mereka menempati strata tertinggi dalam lapisan yang sangat
tipis. Kelas menengah tak ada, oh atau mungkin juga ada, yaitu para
camat, para kepala dinas dan pejabat-pejabat publik yang korupsi
kecil- kecilan, dan aparat pen egak hukum yang mendapat uang dari
menggertaki cukong- cukong itu.
Sisanya berada di lapisan terendah, jumlahnya banyak dan
perbedaannya amat mencolok dibanding kelas di atasnya. Mereka
adalah para pegawai kantor desa, karyawan rendahan PN, pencari
madu dan nira, para pemain organ tunggal, semua orang Sawang,
semua orang Tionghoa kebun, semua orang Melayu yang hidup di
pesisir, para tenaga honorer Pemda, dan semua guru dan kepala
sekolah—baik sekolah negeri maupun sekolah kampung—kecuali
guru dan kepala sekolah PN.
SEKOLAH-SEKOLAH PN Timah, yaitu TK, SD, dan SMP PN
berada dalam kawasan Gedong. Sekolah-sekolah ini berdiri megah
di bawah naungan Aghatis berusia ratusan tahun dan dikelilingi
pagar besi tinggi berulir melambangkan kedisiplinan dan mutu tinggi
pendidikan. Sekolah PN merupakan center of excellence atau
tempat bagi semua hal yang terbaik. Sekolah ini demikian kaya raya
karena didukung sepenuhnya oleh PN Timah, sebuah korporasi
yang kelebihan duit. Institusi pendidikan yang sangat modern ini
lebih tepat disebut percontohan bagaimana seharusnya generasi
Gedung-gedung sekolah PN didesain dengan arsitektur yang tak
kalah indahnya dengan rumah bergaya Victoria di sekitarnya.
Ruangan kelasnya dicat warna-warni dengan tempelangambar
kartun yang edukatif, poster operasi dasar matematika, tabel
pemetaan unsur kimia, peta dunia, jam dinding, termometer, foto
para ilmuwan dan penjelajah yang memberi inspirasi, dan ada
kapstok topi. Di setiap kelas ada patung anatomi tubuh yang
lengkap, globe yang besar, white board , dan alat peraga konstelasi
Di dalam kelas-kelas itu puluhan siswa brilian bersaing ketat
dalam standar mutu yang sanggat tinggi. Sekolah-sekolah ini
memiliki perpustakaan, kantin, guru BP, laboratorium,
perlengkapan kesenian, kegiatan ekstra kurikuler yang bermutu,
fasilitas hiburan, dan sarana olahraga —termasuk sebuah kolam
renang yang masih disebut dalam bahasa Belanda: zwembad. Di
depan pintu masuk kolam renang ini tentu saja terpampang
“DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”.
Di setiap kelas ada kotak P3K berisi obat-obat pertolongan
pertama. Kalau ada siswanya yang sakit maka ia akan angsung
mendapatkan pertolongan cepat secara profesional atau segera
dijemput oleh mobil ambulans yang meraung-raung.
Mereka memiliki petugas-petugas kebersihan khusus, guruguru yang bergaji mahal, dan para penjaga sekolah yang
berseragam seperti polisi lalu lintas dan selalu meniup-niup peluit.
Tali merah bergulung-gulung keren sekali di bahu seragamnya itu.
“Jumlah gurunya banyak..
Demikian ujar Bang Amran Isnaini bin Muntazis Ilham—yang
pernah sekolah di sana—persis pada malam sebelum esoknya aku
masuk pertama kali di SD Muhammadiyah itu. Aku termenung.
“Setiap pelajaran ada gurunya masing-masing, walaupun kau
baru kelas satu.” Maka pada malam itu aku tak bsia tidurakibat
pusing menghitung berapa banyak jumlah guru di sekolah PN, tentu
saja juga selain karena rasa senang akan masuk sekolah besok.
Murid PN umumnya anak-anak orang luar Belitong yang
bapaknya menjadi petinggi di PN. Sekolah ini juga menerima anak
kampung seperti Bang Amran, tapi tentu saja yang orangtuanya
sudah menjadi orang staf. Mereka semua bersih-bersih, rapi, kaya,
necis, dan pintar-pintar luar biasa. Mereka selalu mengharumkan
nama Belitong dalam lomba-lomba kecerdasan, bahkan sampai
tingkat nasional. Sekolah PN sering dikunjungi para pejabat,
pengawas sekolah, atau sekolah lain untuk melakukan semacam
benchmarking melihat bagaimana seharusnya ilmu pengetahuan
ditransfer dan bagaimana anak-anak kecil dididik secara ilmiah.
Pendaftaran hari pertama di sekolah PN adalah sebuah perayaan
penuh sukacita. Puluhan mobil mewah berder et di depan sekolah
dan ratusan anak orang kaya mendaftar. Ada bazar dan pertunjukan
seni para siswa. Setiap kelas bisa menampung hampir sebanyak 40
siswa dan paling tidak ada 4 kelas untuk setiap tingkat. SD PN tidak
akan membagi satu pun siswanya kepada sekolah-sekolah lain yang
kekurangan murid karena sekolah itu memiliki sumber daya yang
melimpah ruah untuk mengakomodasi berapapun jumlah siswa
baru. Lebih dari itu, bersekolah di PN adalah sebuah kehormatan,
hingga tak seorang pun yang berhak sekolah di situ sudi
dilungsurkan ke sekolah lain.
Ketika mendaftar badan mereka langsung diukur untuk tiga
macam seragam harian dan dua macam pakaian olah raga. Mereka
juga langsung mendapat kartu perpustakaan dan bertumpuktumpuk buku acuan wajib. Seragamnya untuk hari Senin adalah
baju biru bermotif bunga rambat yang indah. Sepatu yang
dikenakan berhak dan berwarna hitam mengilat. Sangat gagah
ketika ber-marching band melintasi kampung. Melihat mereka aku
segera teringat pada sekawanan anak kecil yang lucu, putih, dan
bersayap, yang turun dari awan—seperti yang biasa kita lihat pada
gambar-gambar buku komik. Setiap pagi para murid PN dijemput
oleh bus-bus sekolah ber warna biru.
Kepala sekolahnya adalah seorang pejabat penting, Ibu
Frischa namanya. Caranya ber- make up jelas memperlihatkan
dirinya sedang bertempur mati-matian melawan usia dan tampak
jelas pula, dalam pertempuran itu, beliau telah kalah. Ia seorang
wanita keras yang terpelajar, progresif, ambisius, dan sering habishabisan menghina sekolah kampung. Gerak geriknya diatur
sedemikian rupa sebagai penegasan kelas sosialnya. Di dekatnya
siapa pun akan merasa terintimidasi. Kalau sempat berbicara
dengan beliau, maka ia sama seperti orang Melayu yang baru
belajar memasak, bumbunya cukup tiga macam: pembicaraan
tentang fasilitas- fasilitas sekolah PN, anggaran ekstrakurikuler jutaan
rupiah, dan tentang murid-muridnya yang telah menajdi dokter,
insinyur, ahli ekonomi, pengusaha, dan orang-orang sukses di kota
atau bahkan di luar negeri. Bagi kami yang waktu itu masih kecil,
masih berpandangan hitam putih, beliau adalah seorang tokoh
Yang dimaksud dengan sekolah kampung tentu saja adalah
perguruan Muhammadiyah dan beberapa sekolah swasta miskin
lainnya di Belitong. Selain sekolah miskinitu memang terdapat pula
beberapa sekolah negeri di kampung kami. Namun kondisi sekolah
negeri tentu lebih baik karena mereka disokong oleh negara.
Sementara sekolah kampung adalah sekolah swadaya yang
kelelahan menyokong dirinya sendiri.
FILICIUM decipiens biasa ditanam botanikus untuk mengundang
burung. Daunnya lebat tak kenal musim. Bentuk daunnya cekung
sehingga dapat menampung embun untuk burung-burung kecil
minum. Dahannya pun mungil, menarik hati burung segala ukuran.
Lebih dari itu, dalam jarak 50 meter dari pohon ini, di belakang
sekolah kami, berdiri kekar menjulang awan sebatang pohon tua
ganitri (Elaeocarpus sphaericus schum). Tingginya hampir 20 meter,
dua kali lebih tinggi dari filicium . Konfigurasi ini menguntungkan
bagi burung-burung kecil cantik nan aduhai yang diciptakan untuk
selalu menjaga jarak dengan manusia (sepertinya setiap makhluk
yang merasa dirinya cantik memang cenderung menjaga jarak),
yaitu red breasted hanging parrots atau tak lain serindit Melayu.
Sebelum menyerbu filicium , serindit Melayu terlebih dulu
melakukan pengawasan dari dahan-dahan tinggi ganitri sambil
jungkir balik seperti pemain trapeze . Melangak- longok ke sana
kemari apakah ada saingan atau musuh. Buah ganitri yang biru
mampu menyamarkan kehadiran mereka. Kemampuan burung ini
berakrobat menyebabkan ahli ornitologi Inggris menambahkan
nama hanging pada nama gaulnya itu . Jika keadaan sudah aman
kawanan ini akan menukik tajam menuju dahan-dahan filicium dan
tanpa ampun, dengan paruhnya yang mampu memutuskan kawat,
secepat kilat, unggas mungil rakus ini menjarah buah-buah kecil
filicium dengan kepala waspada menoleh ke kiri dan kanan.
Pelajaran moral nomor tiga: “Jika Anda cantik, hidup Anda tak
Seumpama suku-suku Badui di Jazirah Arab yang
menggantungkan hidup pada oasis maka filicium tua yang
menaungi atap kelas kami ini adalah mata air bagi kami. Hari-hari
kami terorientasi pada pohon itu. Ia saksi bagi drama masa kecil
kami. Di dahannya kami membuat rumah-rumahan. Di balik
daunnya kami bersembunyi jika bolos pelajaran kewarganegaraan.
Di batang pohonnya kami menuliskan janji setia persahabatan dan
mengukir nama-nama kecil kami dengan pisau lipat. Di akarnya
yang menonjol kami duduk berkeliling mendengar kisah Bu Mus
tentang petualangan Hang Jebat, dan di bawah keteduhan daunnya
yang rindang kami bermain lompat kodok, berlatih sandiwara
Romeo dan Juliet, tertawa, menangis, bernyanyi, belajar, dan
Setelah serindit Melayu terbang melesat pergi seperti anak
panah Winetou menembus langit maka hadirlah beberapa keluarga
jalak kerbau. Penampilan burung ini sangat tak istimewa. Karena tak
istimewa maka tak ada yang memerhatikannya. Mereka santai saja
bertamu ke haribaan dedaunan filicium , menikmati setiap gigitan
buah kecilnya, buang hajat sesuka hatinya.. Bahkan ketika mulutnya
penuh, mereka pun kan membersihkan paruhnya dengan
menggosok-gosokkannya padakulit filicium yang seperti handuk
kering. Mereka kemudian ak an turun ke tanah, buncit, penuh
daging, bulat beringsut-ingsut laksana seorang MC. Tak peduli pada
dunia. Sebaliknya, kami pun tak tertarik menggodanya. Interaksi
kami dengan jalak kerbau adalah dingin dan individualistis.
Demikian pula hubungan kami dengan burung ungkut-ungkut
yang mematuki ulat di kulit filicium . Menurutku ungkut-ungkut
mendapat nama lokal yang tidak adil. Bayangkan, nama bukunya
adalah coppersmith barbet . Nyatanya ia tak lebih dari burung biru
pucat membosankan dengan bunyi yang lebih membosankan
kut...kut...kut... namun kehadirannya sangat kami tunggu karena ia
selalu mengunjungi pohon filicium sekitar pukul 10 pagi. Pada jam
ini kami mendapat pelajaran kewarganegaraan yang jauh lebih
membosankan. Suarakut-kut-kut persis di luar jendela kelas kami
jelas lebih menghibur dibanding materi pelajaran bergaya indoktrin
Setelah ungkut-ungkut berlalu hinggaplah kawanan cinenen
kelabu yang mencari serangga sisa garapan ungkut-ungkut. Tak
pernah kulihat mereka hadir bersamaan karena peringai
Coppersmith yang tak pernah mau kalah. Lalu silih berganti sampai
menjelang sore berkunjung burung-burung madu sepah, pipit, jalak
biasa, gelatik batu, dan burung matahari yang berjingkat-jingkat
riang dari dahan ke dahan.
Demikian harmonisnya ekosistem yang terpusat pada sebatang
pohon filicium anggota familia Acacia ini. Seperti para guru yang
mengabdi di bawahnya, pohon ini tak henti-hentinya menyokong
kehidupan sekian banyak spesies. Padam usim hujan ia semakin
semarak. Puluhan jenis kupu-kupu, belalang sembah, bunglon,
lintah, jamur telur beracun, kumbang, capung, ulat bulu, dan ular
daun saling berebutan tempat.
Drama, opera, dan orkestra yang manggung di dahan-dahan
filicium sepanjang hari tak kalah seru dengan panggung sandiwara
yang dilakoni sepuluh homo sapiens di sebuah kelas di bawahnya.
Seperti episode pagi ini misalnya.
“Aku mau ikut ke pasar, Cai,” Syahdan memohon kepada
Kucai, ketika kami dibagi kelompok dalam pelajaran pekerjaan
tangan dan harus membli kertas kajang di pasar.
“Tapi sandal dan bajuku buruk begini”, katanya lagi dengan
polos dan tahu diri sambil melipat karung kecampang yang
dipakainya sebagai tas sekolah.
“Jangan kau bikin malu aku, Dan, apa kata anak- anak SD PN
nanti?” jawab Kucai sok gengsi padahal satu pun ia tak kenal anakanak kaya itu. Mengesankan dirinya kenal dengan anak-anak
sekolah PN dikiranya mampu menaikkan martabatnya di mata
Maka sepatuku yang seperti sepatu bola itu kupinjamkan
padanya. Borek rela menukar dulu bajunya dengan baju Syahdan.
Lalu Syahdan pun, yang memang berpembawaan ceria, kali ini
terlihat sangat gembira. Ia tak peduli kalau baju Borek kebesaran
dan sebenarnya tak lebih bagus dari bajunya. Ada pula
kemungkinan Borek kurapan, aku pernah melihat kurap itu ketika
kami ramai-ramai mandi di dam tempo hari.
Seperti Lintang, Syahdan yang miskin juga anak seorang
nelayan. Tapi bukan maksudku mencela dia, karena kenyataannya
secara ekonomi kami, sepuluh kawan sekelas ini, memang
semuanya orang susah. Ayahku, contohnya, hanya pegawai
rendahan di PN Timah. Beliau bekerja selama 25 tahun mencedok
tailing , yaitu material buangan dalam instalasi pencucian timah
yang disebut wasserij . Selain bergaji rendah, beliau juga rentanpada
risiko kontaminasi radio aktif dari monazite dan senotim.
Penghasilan ayahku lebih rendah dibandingkan penghasilan ayah
Syahdan yang bekerja di bagan dan gudang kopra, penghasilan
sampingan Syahdan sendiri sebagai tukang dempul perahu, serta
ibunya yang menggerus pohon karet jika digabungkan sekaligus.
Masalahnya di mata Syahdan, gedung sekolah, bagan ikan, dan
gudang kopra tempat kelapa-kelapa busuk itu bersemedi adalah
sama saja. Ia tidak punya sense of fashion sama sekali dan di
lingkungannya tidak ada yang mengingatkannya bahwa sekolah
berbeda dengan keramba.
Sebangku dengan Syahdan adalah A Kiong, sebuah anomali.
Tak tahu apa yang merasuki kepala bapaknya, --yaitu A Liong,
seorang Kong Hu Cu sejati,-- waktu mendaftarkan anak laki-laki
satu-satunya itu ke sekolah Islam puritan dan miskinini. Mungkin
karena keluarga Hokian itu, yang menghidupi keluarga dari
sebidang kebun sawi, juga amat miskin.
Tapi jika melihat A Kiong, siapa pun akan maklum kenapa
nasibnya berakhir di SD kampung ini. Ia memang memiliki
penampilan akan ditolak di mana-mana. Wajahnya seperti baru
keluar dari bengkel ketok magic , alias menyerupai Frankenstein.
Mukanya lbar dan berbentuk kotak, rambutnya serupa landak,
matanya tertarik ke atas seperti sebilah pedang dan ia hampir tidak
punya alis. Seluruh giginya tonggos dan hanya tinggal setengah
akibat digerogoti phyrite Dan markacite dari air minum. Guru mana
pun yang melihat wajahnya akan tertekan jiwanya, membayangkan
betapa susahnya menjejalkan ilmu ke dalam kepala aluminiumnya
Dia sangat naif dan tak peduli seperti jalak kerbau. Jika kitam
engatakan bahwa dunia akan kiamat besok maka ia pasti akan
bergegas pulang untuk menjual satu-satunya ayam yang ia miliki,
bahkan meskipun sang ayam sedang mengeram. Dunia baginya
hitam putih dan hidupadalah sekeping jembatan papan lurus yang
harus dititi. Namun, meskipun wajahnya horor, hatinya baik luar
biasa. Ia penolong dan ramah, kecuali pada Sahara.
Tapi tak dinyana, sekian lama waktu berlalu, rupanya kepala
kalengnya cepat juga menangkap ilmu. Justru pria beraut manis
manja yang duduk di depannya dan berpenampilan layaknya
orangpintar serta selalu mengangguk-angguk kalau menerima
pelajaran, ternyata lemot bukan main, namanya Kucai. Kucai
sedikit tak beruntung. Kekurangan gizi yang parah ketika kecil
mungkin menyebabkan ia menderita miopia alias rabun jauh. Selian
itu pandangan matanya tidak fokus, melenceng sekitar 20 derajat.
Mak a jika ia memandang lurus ke depan artinya yang ia lihat
adalah ben da di samping benda yang ada persis di depannya dan
demikian sebaliknya, sehingga saat berbicara dengan seseorang ia
tidak memandang lawan bicaranya tapi ia menoleh ke samping.
Namun, Kucai adalah orang paling optimis yang pernah aku jumpai.
Kekurangannya secara fisik tak sedikit pun membuatnya minder.
Sebaliknya, ia memiliki kepribadian populis, oportunis, bermulut
besar, banyak teori, dan sok tahu.
Kucai memiliki Network yang luas. Ia pintar bermain katakata. Kalau hanya perkara perselisihan pen eng sepeda dengan
aparat desa, informasi di mana bisa menjual beras jatah PN, atau
bagaimana cara mendapatkan karcis pasar malam separuh harga,
serahkan saja padanya, ia bisa memberi solusi total. Kelemahannya
adalah nilai-nilai ulangannya tidak pernah melampaui angka enam
karena ia termasuk murid yang agak kurang pintar, bodoh yang
diperhalus. Maka jika digabungkan sifat populis, sok tahu, dan
oportunis dengan otaknya yang lemot Kucai memiliki semua kualitas
untuk menjadi seorang politisi. Kenyataannya memang begitu.
Seperti kebanyakan politisi jika ia bicara tatapan matanya dan
gayanya sangat meyakinkan walaupun dungunya minta ampun.
Kualitas kepolitisiannya itu mungkin menurun dari bapaknya. Beliau
adalah seorang pensiunan tukang bagi beras di PN Timah dan telah
bertahun-tahun menjabat sebagai ketua Badan Amil masjid
Kucai juga bertahun-tahun menjadi ketua kelas kami namun
bagi kami ketua kelas adalah jabatan yang paling tidak men
yenangkan. Jabatan itu menyebalkan antara lain karena harus
mengingatkan anggota kelas agar jangan berisik padahal diri sendiri
tak bisa diam. Ini men yebabkan tak ada dari kami yang ingin
menjadi ketua kelas, apalagi kelas kami ini sudah terkenal susah
dikendalikan. Berulang kali Kucai menolak diangkat kembali
menduduki jabatan itu, namun setiap kali Bu Mus mengingatkan
betapa mulianya menjadi seorang pemimpin, Kucai pun luluh dan
dengan terpaksa bersedia menjabat lagi.
Suatu hari dalam pelajaran bdui pekerti kemuhamadiyahan,
Bu Mus menjelaskan tentang karakter yang dituntut Islam dari
seorang amir. Amir dapat berarti seorang pemimpin. Beliau menyitir
perkataan Khalifah Umar bin Khatab.
“Barangsiapa yang kami tunjuk sebagai amir dan telah kami
tetapkan gajinya untuk itu, maka apa pun yang ia terima selain
gajinya itu adalah penipuan!.
Rupanya Bu Mus geram dengan korupsi yang merajalela di
negeri ini dan beliau menyambung dengan lan tang.
“Kata-kata itu mengajarkan arti penting memegang amanah
sebagai pemimpin dan Al-Qur’an mengingatkan bahwa
kepemimpinan seseorang akan dipertanggung jawabkan nanti di
Kami terpesona mendengarnya, namun Kucai gemetar.
Mendapati dirinya sebagai seorang pemimpin kelas ia gamang pada
pertanggungjawaban setelah mati nanti, apalagi sebagai seorang
politisi ia menganggap bahwa menjadi ketua kelas itu tidak ada
keuntungannya sama sekali. Tidak adil! Lagi pula ia sudah muak
mengurusi kami. Kami terkejut karena serta-merta ia berdiri dan
berdalih secara diplomatis. “Ibunda Guru, Ibunda mesti tahu bahwa
anak-anak kuli ini kelakuannya seperti setan. Sama sekali tak bisa
disuruh diam, terutama Borek, kalautak ada guru ulahnya ibarat
pasien rumah sakit jiwa yang buas. Aku sudah tak tahan, Ibunda,
aku menuntut pemungutan suara yang demokratis untuk memilih
ketua kelas baru. Aku juga tak sanggup mempertanggung jawabkan
kepemimpinanku di padang Masyar nanti, anak-anak kumal ini yang
tak bisa diatur ini hanya akan memberatkan hisabku!.
Kucai tampak sangat emosional. Tangannya menunjuk-nunjuk
ke atas dan napasnya tersengal setelah menghamburkan unek-unek
yang mungkin telah dipendamnya bertahun-tahun. Ia menatap Bu
Mus dengan mata nanar tapi pandangannya ke arah gambar R.H.
Oma Irama Hujan Duit. Kami semua menahan tawa melihat
pemandangan itu tapi Kucai sedang sangat serius, kami tak ingin
Bu Mus juga terkejut. Tak pernah sebelumnya beliau
menerima tanggapan selugas itu dari muridnya, tapi beliau meklum
pada beban yang dipikul Kucai. Beliau ingin bersikap seimbang
maka beliau segera menyuruh kami menuliskan nama ketua kelas
baru yang kami inginkan di selembar kertas, melipatnya, dan
menyerahkannya kepada beliau. Kami menulis pilihan kami dengan
bersungguh-sungguh dan saling berahasiakan pilihan itu dengan
sangat ketat. Kucai senang sekali. Wajahnya berseri-seri. Ia merasa
telah mendapatkan keadilan dan menganggap bahwa bebannya
sebagai ketua kelas akan segera berakhir.
Suasana menjadi tegang menunggu detik-detik penghitungan
suara. Kami gugup mengantisipasi siapa yang akan menjadi ketua
Sembilangulungan kertas telah berada dalam genggaman Bu
Mus. Beliau sendiri kelihatangugup. Beliau membuka gulungan
“Borek!” teriak Bu Mus.
Borek pucat dan Kucai melonjak girang. Terang-terangan ia
menunjukkan bahwa ia sendiri yang telah memilih Borek, kawan
sebangkunya yang ia anggap pasien rumah sakit jiwa yang buas. Bu
Kali ini Borek yang melonjak dan Kucai terdiam. Kertas
Kucai tersenyum pahit. Kertas keempat.
Kucai pucat pasi. Demikian seterusnya sampai kertas
kesembilan. Kucai terpuruk. Ia jengkel sekali kepada Borek yang
tubuhnya menggigil menahan tawa. Ia memandang Borek dengan
tajam tapi matanya mengawasi Trapani. Karena Harun tak bisa
menulis maka jumlah kertas hanya sembilan tapi Bu Mus tetap
menghargai hak asasi politiknya. Ketika Bu Mus mengalihkan
pandangan kepada Harun, Harun mengeluarkan senyum khas
dengan gigi-gigi panjgannya dan berteriak pasti.
Kucai terkulai lemas. Hari ini kami mendapat pelajaran
penting tentang demokrasi, yaitu bahwa ternyata prinsip-prinsipnya
tidakefektif untuk suksesi jabatan kering. Bu Mus menghampirinya
dengan lembut sambil tersenyum jenaka.
“Memegang amanah sebagai pemimpin memang berat tapi
jangan khawatir orang yang akan mendoakan. Tidakkah Ananda
sering mendengar di berbagai upacara petugas sering mengucap
doa: Ya, Allah lindungilah para pemimpin kami? Jarang sekali kita
mendengar doa: Ya Allah lindungilah anak-anak buah kami ....”
DUDUK di pojok sana adalah Trapani. Namanya diambil dari
nama sebuah kota pantai di Sisilia. Nyatanya ia memang seelok
kota pantai itu. Ia memesona seumpama bondol peking. Si rapi jali
ini adalah maskot kelas kami. Seorang perfeksionis berwajah
seindah rembulan. Ia tipe pria yang langsung disukai wanita melalui
sekali pandang. Jambul, baju, celana, ikat pinggang, kaus kaki, dan
sepatunya selalu bersih, serasi warnanya, dan licin. Ia tak bicara jika
tak perlu dan jika angkat bicara ia akan menggunakan kata-kata
yang dipilih dengan baik. Baunya pun harum. Ia seorang pemuda
santun harapan bangsa yang memenuhi semua syarat Dasa Dharma
Pramuka. Cita- citanya ingin jadi guru yang mengajar di daerah
terpencil untuk memajukan pendidikan orang Melayu pedalaman,
sungguh mulia. Seluruh kehidupannya seolah terinspirasi lagu Wajib
Belajar karya R.N. Sutarmas.
Ia sangat berbakti kepada orangtua, khususnya ibunya.
Sebaliknya, ia juga diperhatikan ibunya layaknya anakemas.
Mungkin karena ia satu-satunya laki-laki di antara lima saudara
perempuan lainnya. Ayahnya adalah seorang operator vessel board
di kantor telepon PN sekaligus tukang sirine. Meskipun rumahnya
dekat dengan sekolah tapi sampai kelas tiga ia masih diantar jemput
ibunya. Ibu adalah pusat gravitasi hidupnya.
Trapani agak pendiam, otaknya lumayan, dan selalu
menduduki peringkat ketiga. Aku sering cemburu karena aku
kebajiran salam dari sepupu-sepupuku untuk disampaikan pada
laki-laki muda flamboyan ini. Dia tak pernah menanggapi salamsalam itu. Di sisi lain kami juga sering jengkel pada Trapani karena
setiap kali kami punya “acara”, misalnya menyangkutkan sepeda
Pak Fahimi—guru kelas empat yang tak bermutu dan selalu
menggertak murid—di dahan pohongayam, Trapani harus minta
izin dulu pada ibunya. Lalu ada Sahara, satu-satunya hawa di kelas
kami. Dia secantik grey cheeked green , atau burung punai lenguak.
Ia ramping, berjilbab, dan sedikit lebih beruntung. Bapaknya
seorang Taikong, yaitu atasan para Kepala Parit, orang-orang
lapangan di PN. Sifatnya yang utama: penuh perhatian dan kepala
batu. Maka tak ada yang berani bikin gara-gara dengannya karena
ia tak pernah segan mencakar. Jika marah ia akan mengaum dan
kedua alisnya bertemu. Sahara sangat temperamental, tapi ia
pintar. Peringkatnya bersaing ketat dengan Trapani. Kebalikan daira
Kiong, Sahara sangat skeptis, susah diyakinkan, dan tak mudah
dibaut terkesan. Sifat lain Sahara yang amat menonjol adalah
kejujurannya yang luar biasa dan benar-benar menghargai
kebenaran. Ia pantang berbohong. Walaupun diancam akan
dicampakkan ke dalam lautan api yang berkobar- kobar, tak satu
pun dusta akan keluar dari mulutnya. Musuh abadi Sahara adalah A
Kiong. Mereka bertengkar hebat, berbaikan, lalu bertengkar lagi.
Sepertinya mereka sengaja dipertemukan nasib untuk selalu
berselisih. Mereka saling memprotes dan berbeda pendapat untuk
hal-hal sepele. Sahara menganggap apa pun yang dilakukan A
Kiong selalu salah, dan demikian pula sebaliknya. Kadang-kadang
perseteruan mereka itu lucu dan membuka wawasan. Milsanya
ketika kami berkumpul dan Trapani bercerita tentang bagusnya
buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk , karya legendaris Buya
“Aku juga sudah pernah membaca buku itu, maaf aku tak
suka, terlalu banyak nama dan tempat, susah aku mengingatnya.”
Demikian komentara Kiong mencari penyakit.
Sahara yang sangat menghargai buku tertusuk hatinya dan
menyalak tanpa ampun, “Masya Allah! Dengaranak muda, mana
bisa kauhargai karya sastra bermutu, nanti jika Buya menulis lagi
buku berjudul Si Kancil Anak Nakal Suka Mencuri Timun barulah
buku seperti itu cocok buatmu …..
Kami semua tertawa sampai berguling-guling.
A Kiong tersinggung, tapi ia kehabisan kata, maka ditelannya
saja ejekan itu mentah-mentah, pahit memang. Apa boleh buat, ia
tak bisa mengonter cemoohan secerdas itu.
Sebaliknya, Sahara sangat lembut jika berhadapan dengan
Harun. Harun adalah seorang pria santun, pendiam, dan murah
senyum. Ia juga merupakan teman yang menyenangkan. Model
rambutnya seperti Chairil Anwar dan pakaiannya selalu rapi.
Masalah pakaian itu benar-benar diperhatikan oleh ibunya. Ia lebih
kelihatan seperti pejabat kantoran di PN daripada anak sekolahan.
Bagian belakang bajunya, yang disetrika dengan lipatan berpola
kotak-kotak—lagi mode ketika itu—tampak serasi di punggung
Harun memiliki hobi mengunyah permen asam jawa dan
sama sekali tidak bisa menangkap pelajaran membaca atau
menulis. Jika Bu Mus menjelaskan pelajaran, ia duduk tenang dan
terus-menerus tersenyum. Pada setiap mata pelajaran, pelajaran apa
pun, ia akan mengacung sekali dan menanyakan pertanyaan yang
sama, setiap hari, sepanjang tahun, “Ibunda Guru, kapan kita akan
“Sebentar lagi Anakku, sebentar lagi …,” jawab Bu Mus sabar,
berulang-ulang, puluhan kali, sepanjang tahun, lalu Harun pun
Jika istirahat siang Sahara dan Harun duduk berdua di bawah
pohon filicium . Mereka memiliki kaitan emosi yang unik, seperti
persahabatan Tupai dan Kura-Kura. Harun dengan bersemangat
menceritakan kucingnya yang berbelang tiga baru saja melahirkan
tiga ekoranak yang semuanya berbelang tiga pada tanggal tiga
kemarin. Sahara selalu sabar mendengarkan cerita itu walaupun
Harun menceritakannya setiap hari, berulang-ulang, puluhan kali,
sepanjang tahun, dari kelas satu SD sampai kelas tiga SMP. Sahara
tetap setia mendengarkan.
Jika kami naik kelas harun juga ikut naik kelas meskipun ia tak
punya rapor. Pengecualian dari sistem , demikian orang-orang
pintar di Jakarta menyebut kasus seperti ini. Aku sering
memandangi wajahnya lama-lama untuk menebak apa yang ada di
dalam pikirannya. Dia hanya tersen yum menanggapi tingkahku.
Harun adalah anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang
Pria kedelapan adalah Borek. Pada awalnya dia adalah murid
biasa, kelakuan dan prestasi sekolahnya sangat biasa, rata-rata air.
Tapi pertemuan tak sengajanya dengan sebuah kaleng bekas
minyak penumbuh bulu yang kiranya berasal dari sebuah negeri
nun jauh di Jazirah Arab sana telah mengubah total arah hidupnya.
Gambar di kaleng itu memperlihatkan seorang pria bercelana dalam
merah, berbadan tinggi besar, berotot kawat tulang besi, dan
berbulu laksana seekor gorila jantan. Ia menemukan kaleng itu di
dapur seorang pedagang kaki lima spesialis penumbuh segala jenis
Sejak itu Borek tidak tertarik lagi dengan hal lain dalam hidup
ini selain sesuatu yang berhubungan dengan upaya membesarkan
ototnya. Karena latihan keras, ia berhasil, dan mendapat julukan
Samson. Sebuah gelar ningrat yang disandangnya dengan penuh
rasa bangga. Agak aneh memang, tapi paling tidak sejak usia muda
Borek sudah menjadi dirinya sendiri dan sudah tau pasti ingin
menjadi apa dia nanti, l.alu secara konsisten ia berusaha
mencapainya. Ia melompati suatu tahap pencarian identitas yang
tak jarang mengombang-ambingkan orang sampai tua. Bahkan
sering sekali mereka yang tak kunjung menemukan identitas
menjalani hidup sebagai orang lain. Borek lebih baik dari mereka.
Samson demikian terobsesi dengan body building dan tergilagila dengan citra cowok macho, dan pada suatu hari aku termakan
AKU tak mengerti dari mana ia mendapat sebuah
pengetahuan rahasia untuk membesarkan otot dada.
“Jangan bilang siapa-siapa …!” katanya berbisik. Ia menoleh
ke kiri dan kanan, seakan takut ada yang memerhatikan dan
mencuri idenya. Lalu ia menarik tanganku, kami pun berlari menuju
belakang sekolah, sembunyi di ruangan bekas gardu listrik.
Daridalam tasnya ia mengeluarkan sebuah bola tenis yang dibelah
“Kalau ingin dadamu menonjol seperti dadaku, inilah
rahasianya!” Kembali ia berbisik walaupun ia tahu di sana tak
mungkin ada siapa-siapa. Agaknya bola tenis itu mengandung
sebuah keajaiban. “Pasti sebuah penemuan yang hebat, rupanya
bola tenis inilah rahasia keindahan tubuhnya,” pikirku. Tapi akan
diapakan aku ini? “Buka bajumu!” perintahnya.
“Biar kujadikan kau pria sejati pujaan kaum Hawa….”
Wajahnya menunjukkan bahwa ia tak habis pikir mengapa semua
laki-laki di lua sana tidak melakukan metode praktisnya ini, jalan
pintas menuju kesempurnaan penampilan seorang lelaki.
Sesungguhnya aku ragu tapi tak punya pilihan lain. Pintu gardu
Aku semakin ragu. Namun, belum sempat aku berpikir jauh
tiba-tiba ia merangsek maju ke arahku dan dengan keras
menekankan bola tenis itu ke dadaku. Aku terjajar ke belakang
sampai hampir jatuh. Aku tak berdaya. Dengan leluasa dan sekuat
tenaga ia membenamkan benda sialan itu ke kulit dadaku karena
sekarang punggungku terhalang oleh tumpukan balok. Badannya
jauh lebih besar, tenaganya seperti kuli, alisnya sampai bertemu
karena ia mengerahkan segenap kekuatannya, membuatku
meronta-ronta. Kupaham, belahan bola tenis ini dimaksudkan
bekerja seperti sebuah benda aneh bertangkai kayu dan berujung
karet yang dipakai orang untuk menguras lubang WC.
Bola tenis itu adalah alat bekam yang akan menarik otot
sehingga menonjol dan bidang, itu idenya..
Sekarang tekanan tenaga Samson dan daya isap bola tenis itu
mulai bereaksi menyiksaku.Yang akurasakan adalah seluruh isi
dadaku: jantung, hati, paru-paru, limpa, berikut isi perut dan
darahku seperti terisap oleh bola tenis itu. Bahkan mataku rasanya
akan meloncat. Aku tercekat, tak sanggup mengeluarkan kata-kata.
Aku memberi isyarat agar ia melepaskan pembekam itu.
“Belum waktunya, harus seslesai hitung nama dan orangtua,
baru ada khasiatnya!.
Hitung nama dan orangtua? Aduh! Celaka! Hitung nama dan
orangtua adalah inovasi konyol kami sendiri, yaitu mengerjakan
sesuatu dalam durasi menyebut nama sekaligus nama orang tua,
misalnya Trapani Ihsan Jamari bin Zainuddin Ilham Jamari atau
Harun Ardhli Ramadhan bin Syamsul Hazana Ramadhan. Aku
sudah tak sanggup menanggungkan benda yang menyedot dadaku
ini selama menyebut nama sepuluh teman sekelas apalagi dengan
nama orangtuanya. Nama orang Melayu tak pernah singkat.
Samson tak peduli, ia tetap menekan belahan bola tenis itu
tanpa perasaan. Ini adalah adu kekuatan antara David yang kecil
dan goliath sang raksasa. Aku terperangkap seperti ikan kepuyu di
dalam bubu. Aku mulai sesak napas. Tubuhku rasanya akan
meledak. Isapan bola tenis itu laksana sengatan lebah tanah kuning
yang paling berbisa dan tubuhku mulai terasa menciut. Kakiku
mengais-ngais putus asa seperti banteng bernafsu menanduk
matador. Namun, pada detik paling gawat itu rupanya Tuhan
menyelamatkanku karena tanpa diduga salah satu balok di
belakangku jatuh sehingga sekarang aku memiliki ruang utnuk
mengambil ancang-ancang. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan,
kuambil seluruh tenaga terakhir yang tersisa lalu dengan sekali jurus
kutendang selangkang Samson, tepat di belahan pelirnya, sekuatkuatnya, persis pegulat Jepang Antonio Inoki menghantam
Muhammad Ali di lokasi tak sopan itu pada pertarungan absurd
Samson melolong-lolong seperti kumbang terperangkap
dalam stoples. Aku melompat kabur pontang-panting. Belahan bola
tenis inovasi genius dunia body building itu pun terpental ke udara
dan jatuh berguling-guling lesu di atas tumpukan jerami.
Sempat aku menoleh ke belakang dan melihat Samson masih
berputar-putar memegangi selangkang-nya, lalu manusia Herucles
itu pun tumbang berdebam di atas tanah. Di dadaku melingkar
tanda bulat merah kehitam-hitaman, sebuah jejak kemaha-tololan.
Ketika ibuku bertanya tentang tanda itu aku tak berkutik, karena
pelajaran Budi Pekerti Kemuhammaddiyahan setiap Jumat pagi tak
membolehkan aku membohongi orangtua, apalagi ibu.
Maka dengan amat sangat terpaksa kutelanjangi kebodohanku sendiri. Abang-abang dan ayahku tertawa sampai menggigil dan
saat itulah untuk pertama kalinya aku mendengar teori canggih
ibuku tentang penyakit gila.
“Gila itu ada 44 macam,” kata ibuku seperti seorang psikiater
ahli sambil mengunyah gambir dan sirih.
“Semakin kecil nomornya semakin parah gilanya,” beliau
menggeleng-gelengkan kepalanya & menatapku seperti sedang
menghadapi seorang pasien rumah sakit jiwa.
“Maka orang-orang yang sudah tidak berpakaian dan lupa diri
di jalan-jalan, itulah gila no.1, dan gila yang kau buat dengan bola
tenis itu sudah bisa masuk no. 5.
Cukup serius! Hati-hati, kalautak pakai akal sehat dalam setiap
kelakuanmu maka angka itu bisa segera mengecil..
Bukan bermaksud berpolemik dengan temuan para ahli jiwa.
Kami mengerti bahwa teori ini tentu saja hanya untuk mengingatkan
anak-anaknya agar jangan bertindak keterlaluan. Tapi begitulah
teori penyakit gila versi ibuku dan bagiku teori itu efektif. Aku malu
sudah bertindak konyol.
Aku tak yakin apakah Samson benar-benar menerapkan teknik
sinting itu untuk memperbesar otot-ototnya, ataukah ia hanya ingin
membodohi aku. Yang kutahu pasti adalah selama tiga hari
berikutnya ia ke sekolah dengan berjalan terkangkang-kangkang
seperti orang pengkor, badannya yang besar membuat ia tampak
PADA sebuah pagi yang lain, pukul sepuluh, seharusnya burung
kut-kut sudah datang. Tapi pagi ini senyap. Aku tersenyum sendiri
melamunkan seifat-sifat kawan sekelasku. Lalu aku memandangi
guruku Bu Mus, seseorang yang bersedia menerima kami apa
adanya dengan sepenuh hatinya, segenap jiwanya. Ia p aham betul
kemiskinan dan posisi kami yang rentan sehingga tak pernah
membuat kebijakan apa punyang mengandung implikasi biaya. Ia
selalu membesarkan hati kami.
Kupandangi juga sembilan teman sekelasku, orang-orang muda
yang luar biasa. Sebagian mereka ke sekolah hanya memakai
sandal, sementara yang bersepatu selalu tampak kebesaran
sepatunya. Orangtua kami yang tak mampu memang sengaja
membeli sepatu dua nomor lebih besaragar dapat dipakai dalam
dua tahun ajaran. Ada keindahan yang unik dalam interaksi
masing-masing sifat para sahabatku.Tersembunyi daya tarik pada
cara mereka mengartikan sekstan untuk mengukur diri sendiri,
menilai kemampuan orang tua, melihat arah masa depan, dan
memersepsi pandangan lingkungan terhadap mereka. Kadang kala
pemikiran mereka kontradiktif terhadap pendapat umum, laksana
gurun bertemu pantai atau ibarat hujan ketika matahari sedang terik.
Tak jarang mereka seperti kelelawar yang tersasar masuk ke kamar,
menabrak-nabrak kaca ingin keluar dan frustasi. Mereka juga seperti
seekor parkit yang terkurung di dalam gua, kebingungan dengan
gema suaranya sendiri.
Sejak kecil aku tertarik untuk menjadi pengamat kehidupan
dan sekarang aku menemukan kenyataan yang memesona dalam
sosiologi lingkungan kami yang ironis. Di sini ada sekolahku yang
sederhana, para sahabatku yang melarat, orang Melayu yang
terabaikan, juga ada orang staf dan sekolah PN mereka yang
glamor, serta PN Timah yang gemah ripah dengan gedong, tembok
feodalistisnya. Semua elemen itu adalah perpustakaan berjalan yang
memberiku pengetahuan baru setiap hari.
Pengetahuan terbesar terutama kudapat dari sekolahku, karena
perguruan Muhammadiyah bukanlah center of excellence , tapi ia
merupakan pusat marginalitas sehingga ia adalah sebuah universitas
kehidupan. Di sekolah ini aku memahami arti keikhlasan,
perjuangan, dan integritas. Lebih dari itu, perintis peruguran ini
mewariskan pelajaran yang amat berharga tentang ide-ide besar
Islam yang mulia, keberanian untuk merealisasi ide itu meskipun tak
putus-putus dirundung kesulitan, dan konsep menjalani hidup
dengan gagasan memberi manfaat sebesar-besarnya untuk orang
lain melalui pengorbanan tanpa pamrih.
Maka sejak waktu virtual tercipta dalam definisi hipotesis
manusia tatkala nebula mengeras dalam teori lubang hitam, di
antara titik-titik kurunnya yang merentang panjang tak tahu akan
berhenti sampai kapan, aku pada titik ini, di tempat ini, merasa
bersyukur menjadi orang Melayu Belitong yang sempat menjadi
murid Muhammadiyah. Dan sembilan teman sekelasku memberiku
hari-hari yang lebih dari cukup untuk suatu ketika di masa depan
nanti kuceritakan pada setiap orang bahwa masa kecilku amat
bahagia. Kebahagiaan yang spesifik karena kami hidup dengan
persepsi tentang kesenangan sekolah dan persahabatan yang kami
Kami adalah sepuluh umpan nasib dan kami seumpama
kerang-kerang halus yang melekat erat satu sama lain dihantam
deburan ombak ilmu. Kami seperti anak-anak bebek. Tak
terpisahkan dalam susah dan senang. Induknya adalah Bu Mus.
Sekali lagi kulihat wajah mereka, Harun yang murah senyum,
Trapani yang rupawan, Syahdan yang lilipu, Kucai yang sok gengsi,
Sahara yang ketus, A Kiong yang polos, dan pria kedelapan— yaitu
Samson—yang duduk seperti patung Ganesha.
Lalu siapa pria yang kesembilan dan kesepuluh? Lintang dan
Mahar. Pelajaran apa yang mereka tawarkan? Mereka adalah priapria muda yang sangat istimewa. Memerlukan bab tersendiri untuk
Sampai di sini, aku sudah merasa menjadi seorang anak kecil
yang sangat beruntung.
PAGI ini Lintang terlambat masuk kelas. Kami tercengang
“Aku tak bisa melintas. Seekor buaya sebesar pohon kelapa
tak mau beranjak, menghalang di tengah jalan. Tak ada siapa-siapa
yang bisakumintai bantuan. Aku hanya berdiri mematung, berbicara
dengan diriku sendiri..
“Buaya sebesar itu tak ‘kan mampu menyerangku dalam
jarak ini, ia lamban, pasti kalah langkah. Kalau cukup waktu aku
dapat menghitung hubungan massa, jarak, dan tenaga, baik aku
maupun buaya itu, sehingga aku dapat memperkirakan
kecepatannya menyambarku dan peluangku untuk lolos. Ilmu
menyebabkan aku berani maju beberapa langkah lagi. Apalagi
fisikia tidak mempertimbangkan psy war , kalau aku maju ia pasti
akan terintimidasi dan masuk lagi ke dalam air.
“Aku maju sedikit, membunyikan lonceng sepeda, bertepuk
tangan, berdeham- deham, membuat bun yi-bunyian agar dia
merayap pergi. Tapi ia bergeming. Ukurannya dan teritip yang
tumbuh di punggungnya memperlihatkan dia penguasa rawa ini.
Dan sekarang saatnya mandi matahari. Secara fisik dan psikologis
binatang atau secara apa pun, buaya ini akan men ang. Ilmu tak
“Tapi lebih dari setengah perjalalasudah, aku tak ‘kan kembali
pulang gara-gara buaya bodoh ini. Tak adakata bolos dalam kamu
sku, dan hari ini ada tarikh Islam, mata pelajaran yang menarik.
Ingin kudebatkan kisah ayat-ayat suci yang memastikan
kemenangan Byzantium tujuh tahun sebelum kejadian. Sudah siang,
aku maju sedikit, aku pasti terlambat tiba di sekolah.” Dua belas
meter “Aku hanya sendirian. Jika ada orang lain aku berani lebih
frontal. Tahukah hewan ini pentingnya pendidikan? Aku tak berani
lebih dekat. Ia menganga dan bersuara rendah, suara dari perut
yang menggetarkan seperti sendawa seekor singa atau seperti suara
orang menggeser sebuah lemari yang sangat besar. Aku diam
menunggu. Tak ada jaluralternatif dan kekuatan jelas tak berimbang.
Aku mulai frustasi. Suasana sunyi senyap. Yang ada hanya aku,
seekor buaya ganas yang egois, dan intaian maut..
Kami prihatin dan tegang mendengar kisah perjuangan
Lintang menuju sekolah.
“Tiba-tiba dari arah samping kudengar riak air. Aku terkejut
dan takut. Menyeruak di antara lumut kumpai, membelah genangan
setinggi dada, seorang laki-laki seram naik dari rawa. Ia berjalan
menghampiriku, kakinya bengkok seperti huruf O,” lanjutnya.
“Siapa laki-laki itu Lintang?” tanya Sahara tercekat.
“Ooh …,” kami serentak menutup mulut dengan tangan.
Menakutkan sekali. Tak ada yang berani berkomentar. Tegang
menunggu kelanjutan cerita Lintang. “Aku lebih takut padanya
daripada buaya mana pun. Pria ini tak mau dikenal orang tapi
sepanjang pesisir Belitong Timur, siapa tak kenal dia? “Dia
melewatiku seperti aku tak ada dan dia melangkah tanpa ragu
mendekati binatang buas itu. Dia menyentuhnya! Men epuk-nepuk
lembut kulitnya sambil menggumamkan sesuatu. Ganjil sekali,
buaya itu seperti takluk, mengibas-ngibaskan ekornya laksana
seekoranjing yang ingin mengambil hati tuannya, lalu mendadak
sontak, dengan sebuah lompatan dahsyat seperti terbang reptil
zaman Cretaceous itu terjun ke rawa menimbulkan suara laksana
tujuh pohon kelapa tumbang sekaligus.
Lintang menarik napas.
“Aku terkesima dan tadi telah salah hitung. Jika binatang
purba itu mengejarku maka orang-orang hanya akan menemukan
sepeda reyot ini. Fisika sialan. Memprediksi perilaku hewan yang
telah bertahan hidup jutaan tahun adalah tindakan bodoh nan
“Dari permukaan air yang bening jelas kulihat binatang itu
menggoyangkan ekor panjangnya untuk mengambil tenaga dorong
sehingga badannya yang hidrodinamis menghujam mengerikan ke
“Bodenga berbalik ke arahku. Seperti selalu, ekspresinya
dingin dan jelas tak menginginkan ucapan terima kasih.
Kenyataannya aku tak berani menatapnya, nayliku runtuh. Dengan
sekali sentak ia bisa menenggelamkanku sekaligus sepeda ini ke
dalam rawa. Aku mengenal reputasi laki-laki liar ini. Tapi aku
merasa beruntung karena aku telah menjadi segelintir orang yang
pernah secara langsung menyaksikan kehebatan ilmu buaya Bo
AKU termenung mendengar cerita Lintang. Aku memang tidak
pernah menyaksikan langsung Bodenga beraksi tapi aku mengenal
Bodenga lebih dari Lintang mengenalnya. Bagiku Bodenga adalah
guru firasat dan semua hal yang berhubungan dengan perasaan
gamang, pilu, dan sedih.
Tak seorang pun ingin menjadi sahabat Bodenga. Wajahnya
carut-marut, berusia empat puluhan. Ia menyelimuti dirinya dengan
dahan-dahan kelapa dan tidur melingkar seperti tupai di bawah p
ohon nifah selama dua hari dua malam. Jika lapar ia terjun ke
sumur tua di kantor polisi lama, menyelam, menangkap belut yang
terperangkap di bawah sana dan langsung memakannya ketika
Ia makhluk yang merdeka. Ia seperti angin. Ia bukan Melayu,
bukan Tionghoa, dan bukan pula Sawang, bukan siapa-siapa. Tak
ada yang tahu asal usulnya. Ia tak memiliki agama dan tak bsia
bicara. Ia bukan pengemis bukan pula penjahat. Namanya tak
terdaftar di kantor desa. Dan telinganya sudah tak bisa mendengar
karena ia pernah menyelami dasar Sungai Lenggang untuk
mengambil bijih-bijih timah, demikian dalam hingga telinganya
mengeluarkan darah, setelah itu menjadi tuli.
Bodenga kini sebatang kara. Satu-satunya ekluarga yang
pernah diketahui orang adalah ayahnya yang buntung kaki
kanannya. Orang bilang karena tumbal ilmu buaya. Ayahnya itu
seorang dukun buaya terkenal. Serbuan Islam yang tak terbendung
ke seantero kampung membuat orang menjauhi mereka, karena
mereka menolak meninggalkan penyembahan buaya sebagai
Ayahnya telah mati karena melilit tubuhnya sendiri kuat-kuat
dari mata kaki sampai ke leher dengan akar jawi lalu menerjunkan
diri ke Sungai Mirang. Ia sengaja mengumpankan tubuhnya pada
buaya-buaya ganas di sana. Masyarakat hanya menemukan
potongan kaki buntungnya. Kini Bodenga lebih banyak
menghabiskan waktu memandangi aliran Sungai Mirang, sendirian
Pada suatu sore warga kampung berduyun-duyun menuju
lapangan basket Sekolah Nasional. Karena baru saja ditangkap
seekor buaya yang diyakini telah menyambar seorang wanita yang
sedang mencuci pakaian di Manggar. Karena aku masih kecil maka
aku tak dapat menembus kerumunan orang yang mengelilingi
buaya itu, aku hanya dapat melihatnya dari sela-sela kaki
pengunjung yang rapat berselang-seling. Mulut buaya besar itu
dibuka dan disangga dengan sepotong kayu bakar.
Ketika perutnya dibelah, ditemukan rambut, baju, jam tangan,
dan kalung. Saat itulah aku melihat Bodenga mendesak maju di
antara pengunjung. Lalu ia bersimpuh di samping sang buaya.
Wajahnya pucat pasi. Ia memberi isyarat kepada orang-orang,
memohon agar berhenti mencincang binatang itu. Orang-orang
mundur dan melepaskan kayu bakaryang menyangga mulut buaya
tersebut. Mereka paham bahwa penganut ilmu buaya percaya jika
mati mereka akan menjadi buaya. Dan mereka maklum bahwa bagi
Bodenga buaya ini adalah ayahnya karena salah satu kaki buaya ini
buntung. Bodenga menangis... Suaranya pedih memilukan.
“Baya … Baya … Baya …,” panggilnya lirih. Beberapa orang
menangis sesenggukan. Aku menyaksikan dari sela-sela kaki
pengunjung air matanya mengalir membasahi pipinya yang rusak
berbintik-bintik hitam. Air mataku juga mengalir tak mampu
kutahan. Buaya ini satu-satunya cinta dalam hidupnya yang
terbuang, dalam dunianya yang sunyi senyap.
Ia mengucapkan ratapan yang tak jelas dari mulutnya yang
gagu. Ia mengikat sang buaya, membawanya ke sungai, menyeret
bangkai ayahnya itu sepanjang pinggiran sungai menuju ke muara.
Bodenga tak pernah kembali lagi.
Bodenga dalam fragmen sore itu menciptakan cetak biru rasa
belas kasihan dan kesedihan di alam bawah sadarku. Mungkin aku
masih terlalu kecil utnuk menyaksikan tragedi sepedih itu. Ia
mewakili sesuatu yang gelap di kepalaku. Pada tahun-tahun
mendatang bayangannya sering mengunjungiku. Jika aku
dihadapkan pada situasi yang menyedihkan maka perlahan-lahan ia
akan hadir, mewakili semua citra kepedihan di dalam otakku. Maka
sore itu sesungguhnya Bodenga telah mengajariku ilmu firasat. Ia
juga yang pertama kali memeprlihatkan padaku bahwa nasib bisa
memperlakukan manusia dengan sangat buruk, dan cinta bisa
menjadi demikian buta.
Lintang memang tak memiliki pengalaman emosional dengan
Bodenga seperti yang aku alami, tapi bukan baru sekali itu ia
dihadang buaya dalam perjalanan ke sekolah. Dapat dikatakan tak
jarang Lintang mempertaruhkan nyawa demi menempuh
pendidikan, namun tak sehari pun ia pernah bolos. Delapan puluh
kilometer pulang pergi ditempuhnya dengan sepeda setiap hari. Tak
pernah mengeluh. Jika kegiatan sekolah berlangsung sampai sore, ia
akan tiba malam hari di rumahnya. Sering aku merasa ngeri
membayangkan perjalan annya.
Kesulitan itu belum termasuk jalan yang tergenang air, ban
sepeda yang bocor, dan musim hujan berkepanjangan dengan petir
yang menyambar-nyambar. Suatu hari rantai sepedanya putus dan
tak bisa disambung lagi karena sudah terlalu pendek sebab terlalu
sering putus, tapi ia tak menyerah. Dituntunnya sepeda itu puluhan
kilometer, dan sampai di sekolah kami sudah bersiap-siapakan
pulang. Saat itu adalah pelajaran seni suara dan dia begitu bahagia
karena masih sempat menyan yikan lagu Padamu Negeri Di depan
kelas. Kami termenung mendengarkan ia bernyanyi dengan sepenuh
jiwa, tak tampak kelelahan di matanya yang berbinar jenaka.
Setelah itu ia pulang dengan menuntun sepedanya lagi sejauh
empat puluh kilometer.
Pada musim hujan lebat yang bisa mengubah jalan menjadi
sungai, menggenangi daratan dengan air setinggi dada, membuat
guruh dan halilintar membabat pohon kelapa hingga tumbang
bergelimpangan terbelah dua, pada musim panas yang begitu terik
hingga alam memuai ingin meledak, pada musim badai yang
membuat hasil laut nihil hingga berbulan-bulan semua orang tak
punya uang sepeser pun, pada musim buaya berkembang biak
sehingga mereka menjadi semakinganas, pada musim angin barat
putting beliung, pada musim demam, pada musim sampar—sehari
pun Lintang tak pernah bolos.
Dulu ayahnya pernah mengira putranya itu akan takluk pada
minggu-minggu pertama sekolah dan prasangka itu terbukti keliru.
Hari demi hari semangat Lintang bukan semakin pudar tapi malah
meroket karena ia sangat mencintai sekolah, mencintai temantemannya, menyukai persahabatan kami yang mengasyikkan, dan
mulai kecanduan pada daya tarik rahasia-rahasia ilmu. Jika tiba di
rumah ia tak langsung beristirahat melainkan segera ber gabung
degan anak-anak seusia di kampungnya untuk bekerja sebagai kuli
kopra. Itulah penghasilan sampingan keluarganya dan juga sebagai
kompensasi terbebasnya dia dari pekerjaan di laut serta ganjaran
yang ia dapat dari “kemewahan” bersekolah.
Ayahnya, yang seperti orang Bushman itu, sekarang
menganggap keputusan menyekolahkan Lintang adalah keputusan
yang tepat, paling tidak ia senang melihat semangat anaknya
menggelegak. Ia berharap suatu waktu di masa depan nanti Lintang
mampu menyekolahkan lima orang adik-adiknya yang lahir setahun
sekali sehingga berderet-deret rapat seperti pagar, dan lebih dari itu
ia berharap Lintang dapat mengeluarkan mereka dari lingkaran
kemiskinanyang telah lama mengikat mereka hingga sulit bernapas.
Maka ia sekuat tenaga mendukung pendidikan Lintang
dengan cara-caranya sendiri, sejauh kemampuannya. Ketika kelas
satu dulu pernah Lintang menanyakan kepada ayahnya sebuah
persoalan perkerjaan rumah kali-kalian sederhana dalam mata
“Kemarilah Ayahanda … berapa empat kali empat?.
Ayahnya yang buta huruf hilir mudik. Memandang jauh ke
laut luas melalui jendela, lalu ketika Lintang lengah ia diam-diam
menyelinap keluar melalui pintu belakang. Ia meloncat dari rumah
panggungnya dan tanpa diketahui Lintang ia berlari sekencangkencangnya menerabas ilalang. Laki-laki cemara anginitu berlari
pontang- panting sederas pelanduk untuk minta bantuan orangorang di kantor desa. Lalu secepat kilat pula ia menyelinap ke dalam
rumah dan tiba-tiba sudah berada di depan Lintang.
“Em … emm… empat belasss … bujangku … tak diragukan
lagi empat belasss .. tak lebih tak kurang …,” jawab beliau sembari
tersengal-sengal kehabisan napas tapi juga tersenyum lebar riang
gembira. Lintang menatap mata ayahnya dalam-dalam, rasa ngilu
menyelinap dalam hatinya yang masih belia, rasa ngilu yang
mengikrarkan nazar aku harus jadi manusia pintar , karena Lintang
tahu jawaban itu bukan datang dari ayahnya.
Ayahnya bahkan telah salah mengutip jawaban pegawai
kantor desa. Enam belas, itulah seharusnya jwaban nya, tapi yang
diingat ayahnya selalu hanya angka empat belas, yaitu jumlah
nyawa yang ditanggungnya setiap hari.
Setelah itu Lintang tak pernah lagi minta bantuan ayahnya.
Mereka tak pernah membahas kejadian itu. Ayahnya diam-diam
maklum dan mendukung Lintang dengan cara lain, yakni
memberikan padanya sebuah sepeda laki bermerk Rally Robinson,
made in England . Sepeda laki adalah sebutan orang Melayu untuk
sepeda yang biasa dipakai kaum lelaki. Berbeda dengan sepeda
bini, sepeda laki lebih tinggi, ukurannya panjang, sadelnya lebar,
keriningannya lebih maskulin, dan di bagian tengahnya terdapat
batang besi besar yang tersambung antara sadel dan setang. Sepeda
ini adalah harta warisan keluarga turun-temurun dan benda satusatunya yang paoling berharga di rumah mereka. Lintang menaiki
sepeda itu dengan terseok-seok. Kakinya yang pendek
menyebabkan ia tidak bisa duduk di sadel, melainkan di atas batang
sepeda, dengan ujung-ujung jari kaki menjangkau-jangkau pedal. Ia
akan beringsut-ingsut dan terlonjak-lonjak hebat di atas batangan
besi itu sambil menggigit bibirnya, mengumpulkan tenaga. Demikian
perjuangannya mengayuh sepeda ke pulang dan pergi ke sekolah,
delapan puluh kilometer setiap hari.
Ibu Lintang, seperti halnya Bu Mus dan Sahara adalah
seorang N.A. Itu adalah singkatan dari Nyi Ayu, yakni sebuah gelar
bangsawan kerajaan lama Belitong khusus bagi wanita dari ayah
seorang K.A. atau Ki Agus. Adat istiadat menyarankan agar gelar itu
diputus pada seorang wanita sehingga Lintang dan adik-adik per
empuannya tak menyandang K.A. atau N.A. di depan nama-nama
mereka. Meskipun begitu, tak jarang pria-pria keturunan N.A.
menggunakangelar K.A., dan hal itu bukanlah persoalan karena
gelar-gelar itu adalah identitas kebanggaan sebagai orang Melayu
Jika benar kecerdasan bersifat genetik maka kecerdasan
Lintang pasti mengalir dari keturunan nenek mo yang ibunya.
Meskipun buta huruf dan kurang beruntung karena waktu kecil
terkena polio sehingga salah satu kakinya tak bertenaga, tapi ibu
Lintang berada dalam garis langsung silsilah K.A. Cakraningrat
Depati Muhammad Rahat, seseorang bangsawan cerdas anggota
keluarga Sultan Nangkup. Sultan ini adalah utusan Kerajaan
Mataram yang membangun keningratan di tanah Belitong. Beliau
membentuk pemerintahan dan menciptakan klan K.A. dan N.A. itu.
Anak cucunya tidak diwarisi kekuasaan dan kekayaan tapi
kebijakan, syariat Islam, dan kecendekiawanan. Maka Lintang
sesungguhnya adalah pewaris darah orang-orang pintar masa
Meskipun tak bisa membaca, ibu Lintang senang sekali
melihat barisan huruf dan angka di dalam buku Lintang. Beliau tak
peduli, atau tak tahu, jika melihat sebuah buku secara terbalik. Di
beranda rumahnya beliau merasa takjub mengamati rangkaian kata
dan terkagum-kagum bagaimana baca-tulis dapat mengubah masa
Beranda itu sendiri merupakan bagian dari gubuk panggung
dengan tiang-tiang tinggi untuk berjaga-jaga jika laut pasang hingga
meluap jauh ke pesisir. Adapun gubuk ini merupakan bagian dari
pemukiman komunitas orang Melayu Belitong yang hidup di
sepanjang pesisir, mengikuti kebiasaan leluhur mereka para
penggawa dan kerabat kerajaan. Oleh karena itu, dalam lingkungan
Lintang banyak bersemayam keluarga- keluarga K.A. dan N. A.
Gubuk itu beratap daun sagu dan berdinding lelak dari kulit
pohon meranti. Apa pun yang dilakukan orang di dalam gubuk itu
dapat dilihat dari luar karena dinding kulit kayu yang telah berusia
puluhan tahun merekah pecah seperti lumpur musim kemarau.
Ruangan di dalamnya sempit dan berbentuk memanjang dengan
dua pintu di depan dan belakang. Seluruh pintu dan jendela tidak
memiliki kunci, jika malam mereka ditutup dengan cara diikatkan
padakusennya. Benda di dalam rumah itu ada enam macam:
beberapa helai tikar lais dan bantal, sajadah dan Al-Qur’an, sebuah
lemari kaca kecil yang sudah tidak ada lagi kacanya, tungku dan
alat-alat dapur, tumpukan cucian, dan enam ekor kucing yang
dipasangi kelintingan sehinga rumah itu bersuara gemerincing
Di luar bangunan sempit memanjang tadi ada semacam
pelataranyang digunakan oleh empat orang tua untuk menjalin
pukat. Bagian ini hanya ditutupi beberapa keping papan yang
disandarkan saja pada dahan-dahan kapuk yang menjulur-julur,
bahkan untuk memaku papan-papan itu pun keluarga ini tak punya
uang. Empat orang tua itu adalah bapak dan ibu dari bapak dan ibu
Lintang. Semuanya sudah sepuh dan kulit mereka keriput sehingga
dapat dikumpulkan dan digenggam. Jika tidak sedang menjalin
pukat, keempat orang itu duduk menekuri sebuah tampah
memunguti kutu-kutu dan ulat-ulat lentik di antara bulir-bulir beras
kelas tiga yang mampu mereka beli, berjam-jam lamanya karena
demikian banyak kutu dan ulat pada beras buruk itu.
Selain empat orang itu ikut pula dalam keluarga ini dua orang
adik laki-laki ayah Lintang, yaitu seorang pria mudayang kerjanya
hanya melamun saja sepanjang hari karena agak terganggu jiwanya
dan seorang bujang lapuk yang tak dapat bekerja keras karena
menderita burut akibat persoalan kand ung kemih. Maka ditambah
lima adik perempuan Lintang, Lintang sendiri, dan kedua orangtuan
ya, seluruhnya berjumlah empat belas orang. Mereka hidup
bersama, berdesak-desakan di dalam rumah sempit memanjang itu.
Empat orangtua yang sudah sepuh, dua adik laki-laki yang tak
dapat diharapkan, semua ini membuat keempat belas itu
kelangsungan hidupnya dipanggul sendiri oleh ayah Lintang. Setiap
hari beliau menunggu tetangganya yang memiliki perahu atau
juragan pukat harimau memintanya untuk membantu mereka di
laut. Beliau tidak mendapatkan persentasi dari berapa pun hasil
tangkapan, tapi memperoleh upah atas kekuatan fisiknya. Beliau
adalah orang yang mencari nafkah dengan menjual tenaga.
Tambahan penghasilan sesekali beliau dapat dari Lintang yang
sudah bisa menjadi kuli kopra dan anak-anak perempuannya yang
mengumpulkan kerang saat angin teduh musim selatan.
Lintang hanya dapat belajar setelah agak larut karena
rumahnya gaduh, sulit menemukan tempat kosong, dan karena
harus berebut lampu minyak. Namun sekali ia memegang buku,
terbanglah ia meninggalkangubuk doyong berdinding kulit itu.
Belajar adalah hiburan yang membuatnya lupa pada seluruh penat
dan kesulitan hidup. Buku baginya adalah obat dan sumur
kehidupan yang airnya selalu memberi kekuatan baru agar ia
mampu mengayuh sepeda menantang angin setiap hari. Jika
berhdapan dengan buku ia akan terisap oleh setiap kalimat ilmu
yang dibacanya, ia tergoda oleh sayap-sayap kata yang diucapkan
oleh para cerdik cendekia, ia melirik maksud tersembunyi dari
sebuah rumus, sesuatu yang mungkin tak kasat mata bagi orang
Lalu pada suatu ketika, saat hari sudah jauh malam, di bawah
temaram sinar lampu minyak, ditemani deburan ombak pasang,
dengan wajah mungil dan matanya yang berbinar-biran, jari-jari
kurus Lintang membentang lembar demi lembar buku lusuh
stensilan berjudul Astronomi dan Ilmu Ukur. Dalam sekejap ia
tenggelam dilamun kata- kata ajaib pembangkangan galileo Galilei
terhadap kosmologi Aristoteles, ia dimabuk rasa takjub pada
gagasangila para astronom zaman kuno yang terobsesi ingin
mengukur berapa jarak bumi ke Andromeda dan nebula-nebula
Triangulum. Lintang menahan napas ketika membaca bahwa
gravitasi dapat membelokkan cahaya saat mempelajari tentang
analisis spektral yang dikembangkan untuk studi bintang gemintang,
dan juga saat tahu mengenai teori Edwin Hubble yang menyatakan
bahwa alam hidup mengembang semakin membesar. Lintang
terkesima pada bintang yang mati jutaan tahun silam dan ia
terkagum-kagum pada pengembaraan benda-benda langit di sudutsudut gelap kosmos yang mungkin hanya per nah dikunjungi oleh
pemikiran-pemikiran Nicolaus Copernicus dan Isaac Newton.
Ketika sampai pada Bab Ilmu Ukur ia tersenyum riang karena
nalarnya demikian ringan mengikuti logika matematis pada simulasi
ruang berbagai dimensi. Ia dengan cepat segera menguasai
dekomposisi tetrahedral yang rumit luar biasa, aksioma arah, dan
teorema Phytagorean. Semua materi ini sangat jauh melampaui
tingkat usia dan pendidikannya. Ia merenungkan ilmu yang amat
menarik ini. Ia melamun dalam lingkar temaram lampu minyak. Dan
tepat ketika itu, dalam kesepian malam yang mencekam,
lamunannya sirna karena ia terkejut menyaksikan keanehan di atas
lembar- lembar buram yang dibacanya. Ia terheran-heran
menyaksikan angka-angka tua yang samar di lembaran itu seakan
bergerak-gerak hidup, menggeliat, berkelap-kelip, lalu menjelma
menjadi kunang-kunang yang ramai beterbangan memasuki poripori kepalanya. Ia tak sadar bahwa saat itu arwah para pendiri
geometri sedang tersenyum padanya dan Copernicus serta Lucretius
sedang duduk di sisi kiri dan kanannya. Di sebuah rumah panggung
sempiot, di sebuah keluarga Melayu pedalaman yang sangat miskin,
nun jauh di pinggir laut, seorang genius alami telah lahir.
Esoknya di sekolah Lintang heran melihat kami yang
kebingungan dengan persoalan jurusan tiga angka.
“Apa, sih yang dipusingkan orang-orang kampung ini dengan
arah anginitu?” Demikian suara dari dalam hatinya.
Seperti juga kebodohanyang sering tak disadari, beberapa
orang juga tak menyadari bahwa dirinya telah terpilih, telah
ditakdirkan Tuhan untuk ditunangkan dengan ilmu.
KEBODOHAN berbentuk seperti asap, uapair, kabut. Dan ia
beracun. Ia berasal dari sebuah tempat yang namanya tak pernah
dikenal manusia. Jika ingin menemui kebodohan maka
berangkatlah dari tempat di mana saja di planet biru ini dengan
menggunakan tabung roket atau semacamnya, meluncur ke atas
secara vertikal, jangan pernah sekali pun berhenti. Gapailah
gumpalan awan dalam lapisan troposfer, lalu naiklah terus menuju
stratosfer, menembus lapisan ozon, ionosfer, dan bulan-bulan di
planet yang asing. Meluncurlah terus sampai ketinggian di mana
gravitasi bumi sudah tak peduli. Arungi samudra bintang gemintang
dalam suhu dingin yang mampu meledakkan benda padat. Lintasi
hujan meteor sampai tiba di eksosfer—lapisan paling luaratmosfer
dengan bentangan selebar 1.200 kilometer, dan teruslah melaju
menaklukkan langit ketujuh.
Kita hanya dapat menyebutnya langit ketujuh sebagai
gambaran imajiner tempat tertinggi dari yang paling tinggi. Di
tempat asing itu, tempat yang tak ‘kan pernah memiliki nama, di
atas langit ke tujuh, di situlah kebodohan bersemanyam. Rupanya
seperti kabut tipis, seperti asap cangklong, melayang-layang pelan,
memabukkan .makaapabila kita tanyakan sesuatu kepada orang-
orang bodoh, mereka akan menjawab dengan merancau,
menyembunyikan ketidaktahuannya dalam omongan cepat,
mencari beragam alasan, atau membelokkan arah pertanyaan.
Sebagaian yang lain diam terpaku, mulutnya ternganga, ia
diselubungi kabut dengan tatapan mata yang kosong dan jauh.
Kedua jenis reaksi ini adalah akibat keracunan asap tebal
kebodohan yang mengepul di kepala mereka.
Kita tak perlu men empuh ekspedisi gila-gilaan itu. Karena
seluruh lapisan langit dan gugusan planit itu sesungguhnya
terkonstelasi di dalam kepala kita sen diri. Apa yang ada pada
pikiran kita, dalam gumpalan otak seukurangenggam, dapat
menjangkau ruang seluas jagat raya. Para pemimpi seperti Nicolaus
Copernicus, Battista Della Porta, dan Lippershey malah
menciptakan jagat rayanya sendiri, di dalam imajinasinya, dengan
sistem tata suryanya sendiri, dan Lucretius, juga seoerang pemimpi,
menuliskan ilmu dalam puisi-puisi.
Tempat di atas langit ketujuh, tempat kebodohan
bersemanyam, adalah metafor dari suatu tempat di mana manusia
tak bisa mempertanyakan zat-zat Allah. Setiap usaha
mempertanyakannya hanya akan berujung dengan kesimpulan yang
mempertontonkan kemahatololan sang penanya sendiri. Maka
semua jangkauan akal telah berakhir di langit ketujuh tadi. Di
tempat asing tersebut, barangkali Arasy, di sana kembali metafor
kagungan Tuhan bertakhta. Di bawah takhta-Nya tergelar Lauhul
Mahfuzh, muara dari segala cabang anak-anak sungai ilmu dan
kebijakan, kitab yang telah mencatat setiap lembar daunyang akan
jatuh. Ia juga menyimpan rahasia ke mana nasibakan membawa
sepuluh siswa baru perguruan Muhammadiyah tahun ini. Karena
takdir dan nasib termasuk dalam zat-Nya.
Tuhan menakdirkan orang-orang tertentu untuk memiliki hati
yang terang agar dapat memberi pencerahan pada sekelilingnya.
Dan di malam yang tua dulu ketika Copernicus dan Lucretius
duduk di samping Lintang, ketika angka-angka dan huruf menjelma
menjadi kunang-kunang yang berkelap-kelip, saat itu Tuhan
menyemaikan bijizarah klecerdasan, zarah yang jatuh dari langit dan
menghantam kening Lin tang.
Sejak hari perkenalan dulu aku sudah terkagum-kagum pada
Lintang. Anak pengumpul kerang ini pintar sekali. Matanya
menyala-nyala memancarkan inteligensi, keingintahuan menguasai
dirinya seperti orang kesurupan. Jarinya tak pernah berhenti
mengacung tanda ia bisa menjawab. Kalau melipat dia paling cepat,
kalau membaca dia paling hebat. Ketika kami masih gagap
menjumlahkan angka-angka genap ia sudah terampil mengalikan
angka-angka ganjil. Kami baru saja bisa mencongak, dia sudah
pintar membagi angka desimal, menghitung akar dan menemukan
pangkat, lalu, tidak hanya menggunakan, tapi juga mampu
menjelaskan hubungan keduanya dalam tabel logaritma.
Kelemahannya, aku tak yakin apakah hal ini bisa disebut
kelemahan, adalah tulisannya yang cakarayam tak keruan, tentu
karena mekanisme motorik jemarinya tak mampu mengejar pikiran
nya yang berlari sederas kijang.
“13 kali 6 kali 7 tambah 83 kurang 39!” tantang Bu Mus di
Lalu kami tergopoh-gopoh membuka karet yang mengikat
segenggam lidi, untuk mengambil tiga belas lidi,
mengelompokkannya menjadi enam tumpukan, susah payah
menjumlahkan semua tu mpukan itu, hasilnya kembali disusun
menjadi tujuh kelompok, dihitung satu per satu sebagai total dua
tahap perkalian, ditambah lagi 83 lidi lalu diambil 39. Otak terlalu
penuh untuk mengorganisasi sinyal-sinyal agar mengambil tindakan
praktis mengurangkan dulu 39 dari 83. Menyimpang sedikit dari
urutan cara berpikir orang kebanyakan adalah kesalahan fatal yang
akan mengacaukan ilmu hitung aljabar. Rata-rata dari kami
menghabiskan waktu hampir selama 7 menit. Efektif memang, tapi
tidak efisien, repot sekali.
Sementara Lintang, tidak memegang sebatang lidi pun, tidak
berpikir dengan cara orang kebanyakan, hanya memjamkan
matanya sebentar, tak lebih dari 5 detik ia bersorak.
Tak sebiji pun meleset, meruntuhkan semangat kami yang
sedang belepotan memegangi potongan lidi, bahan belum selesai
dengan operasi perkalian tahap pertama. Aku jengkel tapi kagum.
Waktu itu kami baru masuk hari pertama di kelas dua SD! “Superb
! Anak pesisir, superb !” puji Bu Mus. Beliau pun tergoda untuk
menjangkau batas daya pikir Lintang.
“18 kali 14 kali 23 tambah 11 tambah 14 kali 16 kali 7!.
Kami berkecil hati, temangu-mangu menggenggami lidi, lalu
kurang dari tujuh detik, tanpa membuat catatan apa pun, tanpa
keraguan, tanpa ketergesa-gesaan, bahkan tanpa berkedip, Lintang
“Purnama! Lintang, bulan purnama di atas Dermaga Olivir,
indah sekali! Itulah jawabanmu, ke mana kau bersembunyi selama
Ibu Mus bersusah payah menahan tawanya. Ia menatap
Lintang seolah telah seumur hidup mencari murid seperti ini. Ia tak
mungkin tertawa lepas, agama melarang itu. Ia menggelenggelengkan kepalanya. Kami terpesona dan bertanya-tanya
bagaimana cara Lintang melakukan semua itu. Dan inilah resepnya
“Hafalkan luar kepala semua perkalian sesama angka ganjil,
itulah yang sering menyusahkan. Hilangkan angka satuan dari
perkalian dua angka puluhan karena lebih mudah mengalikan
dengan angka berujung nol, kerjakan sisanya kemudian, dan jangan
kekenyangan kalau makan malam, itu akan membuat telingamu tuli
dan otakmu tumpul!” Polos, tapi ia telah menunjukkan kualifikasi
highly cognitive complex dengan mengembangkan sendiri teknikteknik melokalisasi kesulitan, menganalisis, dan memecahkannya.
Ingat dia baru kelas dua SD dan ini adalah hari pertamanya.
Selainitu ia juga telah mendemonstrasikan kualitas nalar kuantitatif
level tinggi. Sekarang aku mengerti, aku sering melihatnya
berkonsentrasi memandangi angka-angka. Saat itu dari keningnya
seolah terpancar seberkas sinar, mungkinitulah cahaya ilmu. Anak
semuda itu telah mampu mengontemplasikan bagaimana angkaangka saling bereaksi dalam suatu operasi matematika. Kontemplasikontemplasi ini rupanya melahirkan resep ajaib tadi.
Lintang adalah pribadi yang unik. Banyak orang merasa
dirinya pin tar lalu bersikap seenaknya, congkak, tidak disiplin, dan
tak punya integritas. Tapi Lintang sebaliknya. Ia tak pernah tinggi
hati, karena ia merasa ilmu demikian luas untuk disombongkan dan
menggali ilmu tak akan ada habis-habisnya. Meskipun rumahnya
paling jauh tapi kalau datang ia paling pagi. Wajah manisnya
senantiasa bersinar walaupun baju, celana, dan sandal cunghai -nya
buruknya minta ampun. Namun sungguh kuasa Allah, di dalam
tempurung kepalanya yang ditumbuhi rambut gimbal awut-awutan
itu tersimpan cairan otak yang encer sekali. Pada setiap rangkaian
kata yang ditulisnya secara acak-acakan tersirat kecemerlangan
pemikiran yang gilang gemilang. Di balik tubuhnya yang tak terawat,
kotor, miskin, serta berbau hangus, dia memiliki an absolutely
beautiful mind . Ia adalah buah akal yang jernih, bibit genius asli,
yang lahir di sebuah tempat nun jauh di pinggir laut, dari sebuah
keluarga yang tak satu pun bisa membaca.
Lebih dari itu, seperti dulu kesan pertama yang kutangkap
darinya, ia laksana bunga meriam yang melontarkan tepung sari. Ia
lucu, semarak, dan penuh vitalitas. Ia memperlihatkan bagaimana
ilmu bisa menjadi begitu menarik dan ia menebarkan hawa positif
sehingga kami ingin belajar keras dan berusaha menunjukkan yang
Jika kami kesulitan, ia mengajari kami dengan sabar dan
selalu membesarkan hati kami. Keunggulannya tidak menimbulkan
perasaan terancam bagi sekitarnya, kecemerlangannya tidak
menerbitkan iri dengki, dan kehebatannya tidak sedikit pun
mengisyaratkan sifat-sifat angkuh. Kami bangga dan jatuh hati
padanya sebagai seorang sahabat dan sebagai seorang murid yang
cerdas luar biasa. Lintang yang miskin duafa adalah mutiara, galena,
kuarsa, dan topas yang paling berharga bagi kelas kami.
Lintang selalu terobsesi dengan hal-hal baru, setiap informasi
adalaha sumbu ilmu yang dapat meledakkan rasa ingin tahunya
kapan saja. Kejadian ini terjadi ketika kami kelas lima, pada hari
ketika ia diselamatkan oleh Bodenga.
“Al-Qur’an kadangkala menyebut nama tempat yang harus
diterjemahkan dengan teliti ….” Demikian penjelasan Bu Mus dalam
tarikh Islam, pelajaran wajib perguruan Muhammadiyah. Jangan
harap naik kelas kalau mendapat angka merah untuk ajaran ini.
“Misalnya negeri yang terdekat yang ditaklukkan tentara
Persia pada tahun ….” “620 Masehi! Persia merebut kekaisaran
Heraklius yang juga berada dalam ancaman pemberontakan
Mesopotamia, Sisilia, dan Palestina. Ia juga diserbu bangsa Avar,
Slavia, dan Armenia …..
Lintang memotong penuh minat, kami ternganga-nganga, Bu
Mus tersenyum senang. Beliau menyampingkan ego. Tak keberatan
kuliahnya dipotong. Beliau memang menciptakan atmosfer kelas
seperti ini sejak awal. Memfasilitasi kecerdasan muridnya adalah
yang paling penting bagi beliau. Tidak semua guru memiliki kualitas
seperti ini. Bu Mus menyambung, “Negeri yang terdekat itu …..
“Byzantium! Namakuno untuk Konstantinopel, mendapat
nama belakangan itu dari The Great Constantine. Tujuh tahun
kemudian negeri itu merebut lagi kemerdekaannya,
kemerdekaanyang diingatkan dalam kitab suci dan diingkari kaum
musyrik Arab, mengapa ia disebut negeri yang terdekat Ibunda
Guru? Dan mengapa kitab suci ditentang?.
“Sabarlah anakku, pertanyaanmu menyangkut pernjelasan
tafsir surah Ar-Ruum dan itu adalah ilmu yang telah berusia paling
tidak seribu empat ratus tahun. Tafsir baru akan ktia diskusikan
nanti kalau kelas dua SMP…..
“Tak mau Ibunda, pagi ini ketika berangkat sekolah aku
hampir diterkam buaya, maka aku tak punya waktu menunggu,
jelaskan di sini, sekarang juga! ” Kami bersorak dan untuk pertama
kalinya kami mengerti makna adnal ardli , yaitu tempat yang dekat
atau negeri yang terdekat dalam arti harfiah dan tempat paling
rendah di bumi dalam konteks tafsir, tak lain dari Byzantium di
kekaisaran Roma sebelah timur.
Kami bersorak tentu bukan karena adnal ardli , apalagi
Byzantium yang merdeka, tapi karena kagum dengan sikap Lintang
menantang intelektualitasnya sendiri. Kami merasa beruntung
menjadi saksi bagaimana seseorang tumbuh dalam evolusi
inteligensi. Dan ternyata jika hati kita tulus berada di dekat orang
berilmu, kita akan disinari pancaran pencerahan, karena seperti
halnya kebodohan, kepintaran pun sesungguhnya demikian mudah
menjalar. ORANG cerdas memahami konsekuensi setiap jawaban
dan menemukan bahwa di balik sebuah jawaban tersembunyi
beberapa pertanyaan baru. Pertanyaan baru tersebut memiliki
pasangan sejumlah jawaban yang kembali akan membawa
pertanyaan baru dalam deretan eksponensial. Sehingga mereka
yang benar-benar cerdas kebanyakan rendah hati, sebab mereka
gamang pada akibat dari sebuah jawaban. Konsekuensi-konsekuensi
itu mereka temui dalam jalur-jalur seperti labirin, jalur yang jauh
menjalar- jalar, jalur yang tak dikenal di lokus-lokus antah berantah,
tiada ber ujung. Mereka mengarungi jalur pemikiran ini, tersesat di
jauh di dalamnya, sendirian.
Godaan-godaan besar bersemayam di dalam kepala orangorang cerdas. Di dalamnya gaduh karena penuh dengan
skeptisisme. Selesai menyerahkan tugas kepada dosen, mereka
selalu merasa tidak puas, selalu merasa bisa berbuat lebih baik dari
apa yang telah mereka presentasikan. Bahkan ketika mendapat nilai
A plus tertinggi, merek amasih saja mengutuki dirinya sep anjang
malam. Orang cerdas berdiri di dalam gelap, sehingga mereka bisa
melihat sesuatu yangtak bisa dilihat orang lain. Mereka yang tak
dipahami oleh lingkungannya, terperangkap dalam kegelapan itu.
Semakin cerdas, semakin terkucil, semakin aneh mereka. Kita
menyebut mereka: orang-orang yang sulit. Orang-orang sulit ini tak
berteman, dan mereka berteriak putus asa memohon pengertyian.
Ditambah sedikit saja dengan sikap introver, maka orang-orang
cerdas semacam ini tak jarang berakhir di sebuah kamar dengan
perabot berwarna teduh dan musik klasik yang terdengar lamatlamat, itulah ruang terapi kejiwaan. Sebagian dari mereka amat
Sebaliknya, orang-orang yang tidak cerdas hidupnya lebih
bahagia. Jiwanya sehat walafiat. Isi kepalanya damai, tenteram,
sekaligu s sepi, karena tak ada apa-apa di situ, kosong. Jika ada
suara memasuki telinga mereka, maka suara itu akan terpantulpantul sendirian di dalam sebuah ruangan yang sempit,
berdengung-dengung sebentar, lalu segera keluar kembali melalui
Jika menyerahkan tugas, mereka puas sekali karena telah
berhasil memenuhi batas akhir, dan ketika mendapat nilai C,
mereka tak henti-hentinya bersyukur karena telah lulus.
Mereka hidup di dalam terang. Sebuah senter menyiramkan
sinar tepat di atas kepala mereka dan pemikiran mereka hanya
sampai pada batas lingkaran cahaya senter itu. Di luar itu adalah
gelap. Mereka selalu berbicara keras-keras karena takut akan
kegelapan yang mengepung mereka. Bagi sebagian orang,
ketidaktahuan adalah berkah yang tak terkira.
Aku pernah mengen al berbagai jenis orang cerdas. Ada orang
genius yang jika menerangkan sesuatu lebih bodoh dari orang yang
p aling bodoh. Semakin keras ia berusaha menjelaskan, semakin
bingung kita dibuatnya. Hal ini biasanya dilakukan oleh mereka
yang sangat cerdas. Ada pula yang kurang cerdas, bahkan bodoh
sebenarnya, tapi kalau bicara ia terlihat paling pintar. Ada orang
yang memiliki kecerdasan sesaat, kekuatan menghafal yang
fotografis, namun tanpa kemampuan analisis. Ada juga yang cerdas
tapi berpura-pura bodoh, dan elbih banyak lagi yang bodoh tapi
Namun, sahabatku Lintang memiliki hampir semua dimensi
kecerdasan. Dia seperti toko serba ada kepandaian. Yang paling
menonjol adalah kecerdasan spasialnya,sehingga ia sangat unggul
dalam geometri multidimensional. Ia dengan cepat dapat
membayangkan wajah sebuah konstruksi suatu fungsi jika digerak -
gerakkan dalam variabel derajat. Ia mampu memecahkan kasuskasus dekomposisi modern yang runyam dan mengajari kami teknik
menghitung luas poligon dengan cara membongkar sisi- sisinya
sesuai Dalil Geometri Euclidian. Ingin kukatakan bahwa ini sama
sekali bukan perkara mudah.
Ia sering membuat permainan dan mendesain visualisasi guna
menerjemahkan rumusangeometris pada tingkat kesulitan yang
sangat tinggi. Tujuannya agar gampang disimulasikan sehingga kami
sekelas dapat dengan mudah memahami kerumitan Teorema KupuKupu atau Teorema Morley yang menyatakan bahwa pertemuan
segitiga yang ditarik dari trisektor segitiga bentuk apa pun akan
membentuk segitiga inti yang sama sisi. Semua itu dilengkapinya
dengan bukti-bukti matematis dalam jangkauan analisis yang
melibatkan kemampuan logika yang sangat tinggi. Ini juga sama
sekali bukan urusan mudah, terutama untuk tingkat pendidikan
serendah kami serta. Dan mengingat kopra makakuanggapapa yang
dilaku kan Lintang sangat luar biasa. Lintang juga cerdas secara
experiential yang membuyatnya piawai menghubungkan setiap
informasi dengan konteks yang lebih luas. Dalam kaitan ini, ia
memiliki kapasitas metadiscourse selayaknya orang-orang yang
memang dilharikan sebagai seorang genius. Artinya adalah jika
dalam pelajaran biologi kami baru mempelajari fungsi-fungsi otot
sebagai subkomponen yang membentuk sistem mekanik parsial
sepotong kaki maka Lintang telah memahami sistem mekanika
seluruh tubuh dan ia mampu menjelaskan peran sepotong kaki itu
dalam keseluruhan mekanika persendian dan otot-otot yang
Kecerdasannya yang lain adalah kecerdasan linguistik. Ia
mudah memahami bahasa, efektif dalam berkomunikasi, memiliki
nalar verbal dan logikakualitatif. Ia juga mempunyai descriptive
power , yakni suatu kemampuan menggambarkan sesuatu dan
mengambil contoh yang tepat. Pengalamanku dengan pelajaran
bahasa Inggris di hari- hari pertama kelas 2 SMP nanti membuktikan
hal itu. Saat itu aku mendapat kritikan tajam dari ayahku karena
nilai bahasa Inggris yang tak kunjung membaik. Aku pun akhirnya
menghadap pemegang kunci pintu ilmu filsafat untuk mendapat satu
dua resep ajaib. Aku keluhkan kesulitanku memahami tense .
“Kalautak salah jumlahnya sampai enam belas, dan jika ia
sudah berada dalam sebuah narasi aku ekhliangan jejak dalam
konteks tense apa aku berada? Pun ketika ingin membentuk sebuah
kalimat, bingung aku menentukan tense -nya. Bahasa Inggrisku tak
“Begini,” kata Lintang sabar menghadapi ketololanku. Ketika
itu ia sedang memaku sandal cungha i -nya yang menganga seperti
buaya lapar. Kupikir ia pasti mengira bahwa aku mengalami
disorientasi waktu dan akan menjelaskan makna tense secara
membosankan. Tapi petuahnya sungguh tak kuduga.
“Memikirkan struktur dan dimensi waktu dalam sebuah
bahasa asing yang baru saja kita kenal tidak lebih dari hanya akan
merepotkan diri sendiri. Sadarkah kau bahasa apa pun di dunia ini,
di mana pun, mulai dari bahasa Navajo yang dipakai sebagai sandi
tak terpecahkan di perang dunia kedua, bahsa Gaelic yang amat
langka, bahasa Melayu pesisir yang berayun-ayun, sampai bahasa
Mohican yang telah punah, semuanya adalah kumpulan kalimat,
dan kalimat tak lain adalah kumpulan kata=kata, paham kau
Aku mengangguk, semua oarng tahu itu. Lalu ia melanjutkan,
“Nah, kata apa pun, pada dasarnya adalah kata ben da, kata kerja,
kata sifat, dan kata keterangan, paham? Ini bukan masalah bahasa
yang sulit tapi masalah cara berpikir..
Sekarang mulai menarik.
“Berangkatlah dari sana, pelajari bagaimana menggunakan
kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata keterangan dalam sebuah
kalimat Inggris, itu saja, Kal. Tak lebih dari itu!.
Belajar kata terlebih dulu, bukan belajar bahasa, itulah inti
paradigma belajar bahsa Inggris versi Lintang. Sebuah ide
cemerlang yang hanya terpikirkan oleh orang- orang yang
memahami prinsip-prinsip belajar behasa. Dengan paradigma ini
aku mengalami kemajuan pesat, bukan hanya karena aku dapat
mempelajari bahsa Inggris dengan bantuan analogi bahasa
Indonesia, tapi petuahnya mampu melenyapkan sugesti kesulitan
belajar bahasa asing yang umum melanda siswa-siswa daerah.
Bahwa bahasa, baik lokal maupun asing, adalah permainan katakata, tak lebih dari itu! Setelah aku mampu membangun
konstruksiku sendiri dalam memahami kalimat- kalimat Inggris,
kemudain Lintang menunjukkan cara meningkatkan kualitas tata
bahasaku dengan mengenalkan teori strktur dan aturan-aturan tense
. Pendekatan ini diam- diam kami sebarkan pada seluruh teman
sekelas. Dan ternyata hal ini sukses besar, sehingga dapat dikatakan
Lintanglah yang telah mengakhiri masa kejahiliahan bahasa Inggris
Mungkin kami telah belajar bahasa Inggris dengan
pendekatanyang keliru, tapi cara ini efektif. Dan cara ini diajarkan
oleh seseorang yang percaya bahwa setiap orang memiliki jalan
yang berbeda untuk memahami bahasa. Aku kagum dengan daya
pikir Lintang, dalam usia semuda itu ia mampu melihat elemenelemen filosofis sebuah ilmu lalu jmenerjemahkannya menjadi
taktik-taktik praktsi untuk menguasainya. Yang lebih istimewa, orang
yang mengajariku ini bahkan tak mampu membeli buku teks wajib
Lintang memasuki suatu tahap kreatif yang melibatkan intuisi
dan pengembangan pemikiran divergen yang orisinal. Ia menggali
rasai ngin tahunya dan tak henti mencoba- coba. Indikasi
kegeniusannya dapat dilihat dari kefasihannya dalam berbahasa
numerik, yaitu ia terampil memproses sebuah pernyataan matematis
mulai dari hipotesis sampai pada kesimpulan. Ia membuat
penyangkalan berdasarkan teorema, bukan hanya berdasarkan
pembuktian kesalahan, apalagi simulasi. Dalam usia muda dia telah
memasuki area yang amat teoretis, cara berpikirnya mendobrak,
mengambil risiko, tak biasa, dan menerobos. Setiap hari kami
merubungnya untuk menemukan kejutan-kejutan pemikirannya.
Baru naik ke kelas satu SMP, ketika kami masih pusing tujuh
keliling memetakan absis dan ordinat pada produk cartesius dalam
topik relasi himpunan sebagai dasar fungsi linear, Lintang telah
mengutak-atik materi-materi untuk kelas yangj auh lebih tinggi di
tingkat lanjutan atas bahkan di tingkat awal per guruan tinggi seperti
implikasi, biimplikasi, filosofi Pascal, binomial Newton, limit,
diferensial, integral, teori-teori peluang, dan vektor. Ketika kami baru
saja mengenal dasar-dasar binomial ia telah beranjak ke
pengetahuan tentang aturan multinomial dan teknik eksploitasi
polinomial, ia mengobrak-abrik pertidaksamaan eksponensial,
mengilustrasikangrafik-grafik sinus, dan membuat pembuktian sifat
matematis menggu nakan fungsi-gunsgi trigonometri dan aturan
Suatu waktu kami belajar sistem persamaa nlinier dan tertatihtatih mengurai- uraikan kasusnya dengan substitusi agar dapat
menemukan nilai sebuah variabel, ia bosan dan menghambur ke
depan kelas, memenuhi papan tulis dengan alternatif-alternatif solusi
linier, di antaranya dengan metode eliminasi Gaus-Jordan, metode
Crammer, metode determinan, bahkan dengan nilai Eigen. Setelah
itu Lintang mulai menggarap dan tampak sangat menguasai prinsipprinsip penyelesaian kasus nonlinier. Ia dengan amat lancar
menejlaskan persamaan multivariabel, mengeksploitasi rumus
kuadrat, bahkan menyelesaikan operasi persamaan menggunakan
metode matriks! Padahal dasar-dasar matriks paling tidak baru
dikhotbahkan para guru pada kelas dua SMA. Yang lebih
menakjubkan adalah semua pengetahuan itu ia pelajari sendiri
dengan membaca bermacam-macam buku milik kepala sekolah
kami jika ia mendapat giliran tugas menyapu di ruangan beliau. Ia
bersimpuh di balik pintu ayun, semacam pintu koboi, menekuni
angka-angka yang bicara, bahkan dalam buku-buku berbahasa
Ia memperlihatkan bakat kalkulus yang amat besar dan
keahliannya tidak hanya sebatas menghitung guna menemukan
solusi, tapi ia memahami filosofi operasi-operasi matematika dalam
hubungannya dengan aplikasi seperti yang dipelajari para
mahasiswa tingkat lanjut dalam subjek metodologi riset. Ia membuat
hitunganyang iseng namun cerdas mengenai berapa waktu yang
dapat dihemat atau berapa tambahan surat yang dapat diantar per
hari oleh Tuan Pos jika mengubah rute antarnya. Ia membuat
perkiraan ketahanan benang gelas dalam adu layangan untuk
berbagai ukuran nilon berdasarkan perkiraan kekuatan angin,
ukuran layangan, dan panjang benang. Rekomendasinya
menyebabkan kami tak pernah terkalahkan.
Prediksinya tak pernah meleset dalam menghitung waktu
kuncup, bersemi, dan mati untuk bunga red hot cat tail dengan
meneliti kadar pupuk, suplai air, dan sinar matahari. Ia
mengompilasi dengan cermat tabel pengamatan distribusi durasi,
frekuensi dan waktu curah hujan lalu menghitung rata-rata, variansi,
dan koefisien korelasi dalam rangka memperkirakan berapa kali Pak
Harfan bolos karena bengek itu menunjukkan pola yang konsisten
terhadap fungsi hujan dan lebih ajaib lagi Lintang mampu membuat
persentase bias dugaannya.
Lintang bereksperimen merumuskan metode jembatan
keledainya sendiri untuk pelajaran-pelajaran hafalan. Biologi
misalnya. Ia menciptyakan sebuah konfigurasi belajar metabolisme
dengan merancang kelompok sistem biologis mulai dari sistem alat
tubuh, pernapasan, pencernaan, gerak, sampai sistem saraf dan
indra, baik untuk manusia, vertebrata, maupun avertebrata,
sehingga mudah dipahami.
Maka jika kita tanyakan padanya bagaiaman seekor cacing
melakukan hajat ke3cilnya, siap-siap saja menerima penjelasan yang
rapi, kronologis, terperinci, dan sangat cerdas mengenai cara kerja
rambut getar di dalam sel-sel api, lalu dengan santai saja,
seumpama seekor monyet sedang mencari kutu di punggung
pacarnya, ia akan membuat analogi buang hajat cacing itu pada
sistem ekskresi protozoa dengan anatomi vakuola kontraktil yang
rumit itu, bahkan jika tidak distop, ia akan dengan senang hati
menjelaskan fungsi-fungsi korteks, simpai bowman, medulla, lapisan
malpigi, dan dermis dalam sistem ekskresi manusia. Karena bagi
Lintang, melalui desain jembatan keledainya tadi, benda-benda
hafalan ini dengan mudah dapat iakuasai, satu malam saja, sekali
Masih dalam pelajaran biologi, terjadi perdebatan sengit di
antara kami tentang teori yang memaksakan pendapat bahwa
manusia berasal dari nenek moyang semacam lutung, kami
terperangah oleh argumentasi lintang: “Persoalannya adalah apakah
Anda seorang religius, seorang darwinian, atau sekadar seorang
oportunis? Pilihan sesungguhnya hanya antara religius dan
darwinian, sebab yang tidak memilih adalah oportunis! Yaitu
mereka yang berubah-ubah sikapnya sesuai situasi mana yang akan
lebih menguntungkan mereka. Lalu pilihan itu seharusnya
menentukan perilaku dalam menghargai hidup ini. Jika Anda
seorang darwinian, silakan berperilaku seolah tak ada tuntutan
akhirat, karena bagi Anda ktia bsuci yang memaktub bahwa
manusia berasal dari Nabi Adam adalah dusta. Tapi jika Anda
seorang religius maka Anda tahu bahwa teori evolusi itu palsu, dan
ketika Anda tak kunjung mempersiapkan diri untuk dihisab nanti
dalam hidup setelah mati, maka dalam hal ini anda tak lebih dari
seorang sekuler oportunis yang akan dibakar di dasar neraka!.
Itulah Lintang dengan pandangannya. Pikirannya memang
telah sangat jauh meninggalkan kami. Dan dengarlah itu, bicaranya
lebih pintar dari bicara seluruh menteri penerangan yang pernah
dimiliki republik ini.
“Ayo yang lain, jangan hanya anak Tanjong keriting ini saja
yang terus menjawab,” perintah Bu Mus.
Biasanay setelah itu aku tergoda utnuk menjawab, agak raguragu, canggung, dan kurang yakin, sehingga sering sekali salah, lalu
Lintang membetulkan jawabanku, dengan semangat konstruktif
penuh rasa akrab persahabatan. Lintang adalah seorang cerdas
yang rendah hati dan tak pernah segan membagi ilmu.
Aku belajar keras sepanjang malam, tapi tak pernah sedikit
pun, sedetik pun bisa melampaui Lintang. Nilaiku sedikit lebih baik
dari rata-rata kelas namun jauh tertinggal dari nilainya. Aku berada
di bawah bayang-bayangnya sekian lama, sudah terlalu lama malah.
Rangking duaku abadi, tak berubah sejak caturwulan pertama kelas
satu SD. Abadi seperti lukisan ibu menggendong anak di bulan.
Rival terberatku, musuh bebuyutanku adalah temanku sebangku,
Dapat dikatakan bahwa Bu Mus sering kewalahan mengh
adapi Lintang, terutama utnuk pelajaran matematika, sehingga ia
sering diminta membantu. Ketika Lintang menerangkan sebuah
persoalan rumit dan membaut simbol-simbol rahasia matematika
menjadi sinar yang memberi terang bagi kami, Bu Mus
memerhatikan dengan seksama bukan hanya apa yang diucapkan
Lintang tapi juga pendekatannya dalam menjelaskan. Lalu beliau
menggeleng-gelengkan kepalanya, komat-kamit, berbicara sendiri
tak jelas seperti orang menggerendeng. Belakangan aku tahu apa
yang dikomat-kamitkan beliau.; Bu Mus mengucapkan pelan-pelan
kata-kata penuh kagum, “Subhanallah….Subhanallah…..
“Yang paling membautku terpesona,” cerita Bu Mus pada
ibuku. “Adalah kemampuannya menemukan jawaban dengan cara
lain, cara yang tak pernah terpikirkan olehku,” sambungnya sambil
“Lintang mampu menjawab sebuah pertanyaan matematika
melalui paling tidak tiga cara, padahal aku hanya mengajarkan satu
cara. Dan ia menunjukkan padaku bagaimaan menemukan jawaban
tersebut melalui tiga cara lainnya yang tak pernah sedikit pun aku
ajarkan! Logikanya luar biasa, daya pikirnya meluap-luap. Aku
sudah tak bisa lagi mengatasi anak pesisir ini Ibunda Guru..
Bu Mus tampak bingung sekaligus bangga memiliki murid
sepandai itu. Sebaliknya, ibuku, seperti biasa, sangat tertarik pada
“Ceritakan lagi padaku kehebatannya yang lain,” pancing
beliau memanasi Bu Mus sambil memajukan posisi duduknya,
mendekatkan keminangan tempat cupu-cupu gambir dan kapur, lalu
meludahkan sirih melalui jendela rumah panggung kami.
Dan tak ada yang lebih membahagiakan seorang guru selain
mendapatkan seorang murid yang pintar. Kecemerlangan Lintang
membawa gairah segar di sekolah tua kami yang mulai kehabisan
napas, megap-megap melawan paradigma materialisme sistem
pendidikan zaman baru. Sekarang suasana belajar mengajar di
sekolah kami menjadi berbeda karena kehadiran Lintang, hanya
tinggal menunggu kesempatan saja baginya untuk mengharumkan
nama perguruan Muhammadiyah. Lintang dengan segala daya tarik
kecerdasannya daalah gemerincing tamborin yang nakal, bernada
miring, dalam alunan stambul gaya lama. Dialah mantar dalam
rima-rima gurindam yang itu-itu saja. Dia ikan lele yang menggeliat
dalam timbunan lumpur berku kemarau sekolah kami yang telah
bosan dihina. Tubuhnya yang kurus menjadi siku-siku yang
mengerakkan kembali tiang utama perguruan Muhammadiyah yang
bahkan belum tentu tahun depan mendapatkan murid baru.
Dewan guru tak henti-hentinya membicarakan nilai rapor
Lintang. Angka sembilan berjejer mulai dari pelajaran Aqaid
(akidah), Al-Qur’an, fikih, tarikh Islam, budi pekerti,
Kemuhammadiyahan, pendidikan kewarganegaraan, ilmu bumi,
Untuk biologi, matematika dan semua variannya: ilmu ukur,
aritmatika, aljabar, dan ilmu pengetahuan alam bahkan Bu Mus
berani bertanggung jawab untuk memberi nilai sempurna: sepuluh.
Kehebatan Lintang tak terbendung, kepiawaiannya mulai kondang
ke seantero kampung. Dan yang lebih mendebarkan, karena
reputasinya itu, kami dipertimbangkan untuk diundang mengikuti
lomba kecerdasan antarsekolah yang daat menaikkangengsi sekolah
setinggi rasi bintang Auriga. Sudah demik ian lama kami tak
diundang dalam acara bergengsi ini karena prestasi sekolah selalu di
Nilai terendah di rapor Lintang, yaitu delapan, hanya pada
mata pelajaran kesenian. Walaupun sudah berusaha sekuat tenaga
dan mengerahkan segenap daya pikir dia tak mampu mencapai
angka sembilan karena tak memapu bersaing dengan seorang pria
muda berpenampilan eksentrik, bertubuh ceking, dan berwajah
tampan yang duduk di pojok sana sebangku dengan Trapani. Nilai
sembilan untuk pelajaran kesenian selalu milik pria itu, namanya
BAKAT laksana Area 51 di Gurun Nevada, tempat di mana
mayat-mayat alien disembunyikan: misterius! Jika setiap orang tahu
dengan pasti apa bakatnya maka itu adalah utopia. Sayangnya
utopia tak ada dalam dunia nyata. Bakat tidak seperti alergi, dan ia
tidak otomatis timbul seperti jerawat, tapi dalam banyak kejadian ia
Banyak orang yang berusaha mati-matian menemukan
bakatnya dan banyak pula yang menunggu seumur hidup agar
bakatnya atau dirinya ditemukan, tap i lebih banyak lagi yang
merasa dirinya berbakat padahal tidak. Bakat menghinggapi orang
tanpa diundang. Bakat main bola seperti Van Basten mungkin diamdiam dimiliki sorang tukang taksir di kantor pegadaian di Tanjong
Pandan. Seorang Karl Marx yang lain bisa saja sekarang sedang
duduk menjaga wartel di sebuah kampus di Bandung. Seorang
kondektur ternyata adalah John Denver, seorang salesman ternyata
berpotensi menjadi penembak jitu, atau salah seorang tukang nasi
bebek di Surabaya ternyata berbakat menjadi komposer besar
seperti Zuybin Mehta Namun, mereka sendiri tak pernah
mengetahui hal itu. Si tukang taksir terlalu sibuk melayani orang
Belitong yang kehabisan uang sehingga tak punya waktu main bola,
sang penjaga wartel sepanjang hari hanya duduk memandangi struk
yang menjulur- julur dari printer Epson yang bunyinya merisaukan
seperti lidah wanita dalam film Perempuan Berambut Api ,
kondektur dan salesman setiap hari mengukur jalan, dan lingkungan
si tukang nasi bebek sama sekali jauh dari sesuatu yang
berhubungan dengan musik klasik. Ia hanya tahu bahwa jika
mendengarkan orkestra telinganya mampu melacak nada demi nada
yang berdenting dari setiap instrumen dan hatinya bergetar hebat.
Sayangnya sepanjang hidupnya ia tak pernah mendapat
kesempatan sekali pun memegang alat musik, dan tak juga pernah
ada seorang pun yang menemukannya. Maka ketika ia mati, bakat
besar gilang ge3milang pun ikut terkubur bersamanya. Seperti
mutiara yang tertelan kerang, tak pern ah seorang pun melihat
Karena bakat sering kali harus ditemukan, maka ada orang
yang berprofesi sebagai pemandu bakat. Di Amerika orang-orang
seperti ini khusus berkeliling dari satu negara bagian ke negara
baigan lain untuk mencari pemain baseball potensial. Jika—satu di
antara sejuta kemungkinan—orang ini tak pernah menghampiri
seseorang yang sesungguhnya berbakat, maka hanya nasib yang
menentukan apakah bakat seseorang tersebut pernah ditemukan
atau tidak, pelajaran moral nomor empat: Ternyata nasib yang juga
sangat misterius itu adalah seorang pemandu bakat! Hal ini paling
tidak dibuktikan oelh Forest Gump, jika ia tidak mendaftar menjadi
tentara dan jika ia tidak mengikuti kegiatan ekstraku rikuler di barak
pada suatu sore maka mungkinia tak pernah tahu kalau ia sangat
berbakat bermain tenis meja. Ritchie Blackmore juga begitu, kalau
orang tuanya membelikan papan catur untuk hadiah ulang tahun
mungkinia tak pernah tahu kalau dia berbakat menjadi seorang
gitaris classic rock .
Dan di siang yang panas menggelegak ini, ketika pelajaran
seni suara, di salah satu sudut kumuh perguran miskin
Muhammadiyah, kami menjadi saksi bagaimana nasib menemukan
bakat Mahar. Mulanya Bu Mus meminta A Kiong maju ke depan
kelas untuk menyanyikan sebuah lagu, dan seperti diduga—hal ini
sudah delapan belas kali terjadi—ia akan membawakan lagu yang
sama yaitu Berkibarlah Benderaku karya Ibu Sud.
“…berkiballah bendelaku…..
“…lambang suci gagah pelwila …..
“… bergelak-bergelak! Selentak … selentak … !.
A Kiong membawakan lagu itu dengan gaya mars tanpa rasa
sama sekali. Ia memandang keluar jendela dan pikirannya tertuju
pada labu siam yang merambati dahan- dahan rendah filicium serta
buah-buahnya yang gendut-gendut bergelantungan. Ia bahkan tidak
sedikit pun memandang ke arah kami. Ia mengkhianati penonton.
Telinganya tak mendengarkan suaranya sendiri karena ia
agaknya mendengarkan suara ribut burung-burung kecil prenjak
saya pgaris yang berteriak-teriak beradu kencang dengan
suarakumbang-kumbang betina pantat kuning. Ia tak mengindahkan
jangkauan suaranya serta tak ambil pusing dengan notasi. Kali ini ia
mengkhianati harmoni.
Kami juga tak memerhatikannya bernyanyi. Lintang sibuk
dengan rumus phytagoras, Harun tertid ur pulas sambil
mendengkur, Samson menggambar seorang pria yang sedang
mengangkat sebuah rumah dengan satu tangan kiri. Sahara asyik
menyulam kruistik kaligrafi tulisan Arab Kulil Haqqu Walau Kana
Murron artinya: Katakan kebenaran walaupun pahit dan Trapani
melipat-lipat sapu tangan ibunya. Sementara itu Syahdan, aku dan
Kucai sibuk mendiskusikan rencana kami menyembunyikan sandal
Pak Fahimi (guru kelas empat yang galak itu) di Masjid Al-Hikmah.
Maharadalah orang satu-satunya yang menyimaknya. Sedangkan
Bu Mus menutup wajahnya dengan kedua tangan, beliau berusaha
keras menahan kantuk dan tawa mendengar lolongan A Kiong.
Lalu giliran aku. Tak kalah membosankan, lebih
membosankan malah. Setelah dimarahi karena selalu menyanyikan
lagu Potong Bebek Angsa , kini aku membuat sedikit kemajuan
dengan lagu baru Indonesia Tetap Merdeka karya C. Simanjuntak
yang diaransemen Damoro IS. Ketika aku mulai menyanyi Sahar
mengangkat sebentar wajahnya dari kruistiknya dan terang-terangan
memandangku dengan jijik karena aku menyanyikan lagu cepat-
tegap itu dengan nada yang berlari-lari liar sesuka hati, ke sana
kemari tanpa harmonisasi. Aku tak peduli dengan pelecehan itu dan
“…Sorak-sorai bergembira…ber gembira semua…..
“…telah bebas negeri kita…Indonesia merdeka …..
Namun, aku menyanyi melompati beberapa oktaf secara
drastis tanpa dapat kukendalikan sehingga tak ada keselarasan nada
dan tempo. Aku telah mengkhianati keindahan.
Kali ini Bu Mus sudah tak bisal agi menahan tawanya, beliau
terpingkal-pingkal sampai berair matanya. Aku berusaha keras
memperbaiki harmonisasi lagu itu tapi semakin keras aku berusaha
semakin an eh kedengarannya. Inilah yang dimaksud dengan tidak
punya bakat. Aku susah payah menyelesaikan lagu itu dan temantemanku sama sekali tak mengindahkan penderitaanku karena
mereka juga menderita menahan kantuk, lapar, dan haus di tengah
hari yang panas ini, dan batin mereka semakin tertekan karena
Bu Mus menyelamatkan aku dengan buru-buru menyuruhku
berhenti bernyanyi sebelum lagu merdu itu selesai, dan sekarang
beliau menunjuk Samson. Kenyataannya semakin parah, Samson
menyanyikan lagu yang berjudul Teguh Kukuh Berlapis Baja juga
karya C. Simanjuntak sesuai dengan citra tubuh raksasanya. Ia
menyanyikan lagu itu dengan sangat nyaring sambil menunduk
dalam dan menghentak-hentakkan kakinya dengan keras.
“…Teguh kukuh berlapis baja!.
“…rantai smangat mengikat padu!.
“…tegak benteng Indonesia!.
Tapi ia juga sama sekali tidak tahu konsep harmonisasi
sehingga ia menjadikan lagu itu seperti sebuah lagu lain yang belum
pernah kami kenal. Ia mengkhianati C.
Simanjuntak. Maka sebelum bait pertama selesai, Bu Mus
segera menyuruhnya kembali ke tempat duduk. Samson membatu,
tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya, ia terheranheran.
“mengapa aku dihentikan, Ibunda Guru …?.
Inilah yang dimaksud dengan tak punya bakat dan tak tahu
Maka seni suara adalah mata pelajaran yang paling tidak
prospektif di kelas kami. Oleh karena itu, ia ditempatkan di bagian
akhir paling siang. Fungsinya hanya untuk menunggu waktu Zuhur,
yaitu saatnya kami pulang, atua untuk sekadar hiburan bagi Bu Mus
karena dengan menyuruh kami bernyanyi beliau bisa menertawakan
kami. Pada umumnya kami memang tak bisa menyanyi. Bahkan
Lintang hanya bisa menampilkan dua buah lagu, yaitu Padamu
Negeri dan Topi Saya Bundar . Lagu tentang topi ini adlaah lagu
superringkas dengan bait yang dibalik-balik. Lintang
menyanyikannya dengan tergesa-gesa sehingga seperti rapalan agar
tugas itu cepat selesai. Adapun Trapani, sejak kelas satu SD tak
pernah menyanyikan lagu lain selain lagu Kasih Ibu Sepanjang Jalan
. Sahar menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa dengan gaya
seperti seriosa yang menurut dia sangat bagus padahal sumbangnya
Sedangkan Kucai—juga dari kelas satu SD—hanya
menampilkan dua buah lagu yang sama, kalautidak lagu Rukun
Islam ia akan menyanyikan lagu Rukun Ima n .
“Masih ada lima menit sebelum azan zuhur. Ah, masih bisa
satu lagu lagi,” kata Bu Mus sambil tersenyum simpul. Kami
memandang beliau dengan benci.
“Ibunda, kenapa tak pulang saja!.
Kami sudah mengantuk, lelah, lapar, dan haus. Siang ini
panas sekali. Burung- burung prenjak sayap garis semakin banyak
dan tak mau kalah dengan kumbang- kumbang betina pantat
kuning. Kadang-kadang mereka hinggap di jendela kelas sambil
menjerit sejadi-jadinya, menimbulkan suara bising yang
memusingkan bagi perut-perut yang keroncongan.
“Nah, sekarang giliran ….” Bu Mus memandangi kami satu
per satu untuk menjatuhkan pilihan secara acak … dan kali ini
pandangannya berhenti pada Mahar.
“Ya, Mahar, silakan ke depan anakku, nyanyikan sebuah lagu
sambil kita menunggu azan zuhur..
Bu Mus terus tersenyum mengantisipasi kekonyolan apa lagi
yang akan ditampilkan muridnya. Sebelumnya kami tak pernah
mendengar Mahar bernyanyi, karena setiap kali tiba gilirannya, azan
zuhur telanjur berkumandang sehingga ia tak pernah mendapat
Kami tidak peduli ketika Mahar beranjak. Ia menyandang
tasnya, sebuah karung kecampang, karena ia juga sudah bersiapsiapakan pulang. Kami sibuk sendiri-sendiri.
Sahara sama sekali tak memalingkan wajah dari kruistiknya,
Lintang terus menghitung, Samson masih menggambar, dan yang
lain asyik berdiskusi. Mahar melangkah ke depan dengan tenang,
anggun, tak tergesa-gesa.
Di depan kelas ia tak langsung menyanyikan lagu pilihannya,
tapi menatap kami satu per satu. Kami terheran-heran melihat
tingkahnya yang ganjil, namun tatapannya penuh arti, seperti
sebuah tatapan kerinduan dari seorang penyanyi pop gaek yang
melakukan konser khusus untuk para ibu-ibu single parent , dan
kaum ibu ini adalah para penggemar setia yang sudah amat lama
tak bersua dengan sang artis nostalgia.
Setelah memandangi kami cukup lama, ia memalingkan
wajahnya ke arah Bu Mus sambil tersenyum kecil dan menunduk,
layaknya peserta lomba bintang radio yang memberi hormat kepada
dewan juri. Mahar merapatkan kedua tangannya di dadanya seperti
seniman India, seperti orang memohon doa. Tampak jelas jari-jari
kurusnya yang berminyak seperti lilin dan ujung-ujung kukunya
yang bertaburan bekas-bekas luka kecil sehingga seluruh kukunya
hampir cacat. Sejak kelas dua SD Mahar bekerja sampingan sebagai
pesuruh tukang parut kelapa di sebuah toko sayur milik seorang
Tiongho a miskin. Tangannya berminyak karena berjam-jam
meremas ampas kelapa sehingga tampak licin, sedangkan jemari
dan kukunya cacat karena disayat gigi-gigi mesin parut yang tajam
dan berputar kencang. Mesinitu mengepulkan asap hitam dan harus
dihidupkan dengan tenaga orang dewasa dengan cara menarik
sebuah tuas berulang- ulang. Bunyi mesinitu juga merisaukan, suatu
bunyi kemelaratan, kerja keras, dan hidup tanpa pilihan. la
membantu menghidupi keluar ga dengan menjadi pesuruh tukang
parut karena ayahnya telah lama sakit-sakitan. Bu Mus membalas
hormat takzimnya yang santun dengan tersenyum ganjil. “Anak
muda ini pasti tak pandai melantun tapi jelas ia menghargai seni,\"
mungkin demikian yang ada dalam hati Bu Mus. Tapi tetap saja
beliau menahan tawa. Lalu Mahar mengucapkan semacam prolog.
“Aku akan membawakan sebuah lagu tentang cinta Ibunda
Guru, cinta yang teraniaya lebih tepatnya . ....
Tuhanku! Kami terperangah dan Bu Mus terkejut. Prolog
semacam ini tak pernah kami lakukan, dan tema lagu pilihan Mahar
sangat tak biasa. Lagu kami hanya tiga ma- cam yaitu: lagu
nasional, lagu kasidah, dan lagu anak-anak. Lagu apakah gerangan
yang akan dibawakan anak muda berwajah manis ini? Kini kami
semua memandanginya de- ngan heran, Sahara melepaskan
kruistiknya. Belum sempat kami mencerna ia menyambung kalem
dengan gaya seperti seorang bijak berpetuah.
\"Lagu ini bercerita tentang seseorang yang patah hati karena
kekasih yang sangat ia cintai direbut oleh teman baiknya sendiri .....
Mahar tercenung syahdu, tatapan matanya kosong jauh
melintasi jendela, jauh melintasi awan-awan berarakan, hidup
Bu Mus termenung ragu-ragu. Beliau menatap Mahar sambil
tersenyu m penuh tanda tanya. Hati kami juga penasaran. Lalu Bu
Mus mengamb il sebuah keputusan yang puitis.
\"Jalan ke ladang berliku-liku , jangan lewat hutan cemara,
segera nyanyikan lagumu , biar kutahu engkau merana .....
Mahar tersenyum dalam duka.
\"Terima kasih Ibunda Guru..
Mahar bersiap-siap, kami menunggu penu h keingin tahuan,
dan kami semak in takjub ketika ia membuka tasnya dan
mengeluarkan sebuah alat musik: ukulele! Suasana jadi hening dan
kemu dian perlahan-lahan Mahar memulai intro lagunya dengan
memainkan melodi ukulele yang mendayu-dayu, ukulele itu dipelu
knya dengan sendu , matanya terpejam, dan wajahnya syah du pen
uh kesed ihanyang mengharu biru, pias menahan kan rasa. Jiwanya
seolah terbang tak berada di tempat itu. Lalu dengan interlude yang
halus meluncur lah syair-syair lagu menakjubkan dalam tempo pelan
penuh nuansa duka yang dinyanyikan dengan keindahan andante
ma estoso yang tak terlu kiskan kata-kata \"...I was dancing with my
darling to the Tennesse waltz....
\"...when an old friend I happened to see... .
\"..into duced her to my love one and while they were
\"...my friend stole my sweetheart from me....
Seketika kami tersentak dalam pesona, itulah lagu Tennesse
Wa ltz yang sangat terken al karya Anne Muray, dan lagu itu
dibawakan Mahar dengan tekn ik menyanyi seindah Patti Page yang
melambungkan lagu lama itu. Ritme ukulele mengiringi vibrasi
sempurna suaranya disertai sebuah penghayatan yang luar biasa
sehingga ia tampak demik ian men derita karena kehilangan seorang
Syair demi syair lagu itu merambati dinding-dinding papan tua
kelas kami, hinggap di daun-daun kecil linaria seperti kup u-kupu
cantik thistle crescent , lalu terbang hanyut dibawa awan-awan tipis
menuju ke utara. Suara Mahar terdengar pilu merasuki relung hati
setiap orang yang ada di ruangan. Intonasinya lembut membelaibelai kalbu dan Mahar memaku hati kami dalam rasa pukau
menyaksikannya menyanyi sambil men itikkan air mata. Apa p
unyang sedang kami kerjakan terhenti karena kami telah terkesima.
Kami tersihir oleh aura seni yang terpancar dari soso kanak mu da
tampanyang menyanyi dari jiwanya, bukan hanya dari mulutnya,
sehingga lagu itu menjadi sebuah simfoni yang agung. Kami terbawa
suasana melankolis karena Mahar benar-benar mengembuskan
napas lagu itu. Rasa kantu k, lapar, dan dahaga menjadi tak terasa.
Bahkan kumbang-kumbarrg dan kawanan burung prenjak sayap gar
is menjadi senyap, berhenti menjerit-jerit demi mendengar lan
tunannya. Suhu u dara yang panas perlahan-lahan menjadi sejuk
Ketika Mahar bernyanyi seluruh alam diam menyimak. Kami
merasakan sesuatu tergerak di dalam hati bukan karena Mahar ber
nyanyi dengan tempo yang tepat, tek nik vokal yang baik, nada
yang pas, interpretasi yang benar, atau chord uku lele yang sesuai,
tapi karena ketika ia menyanyikan Tennesse Waltz kami ikut
merasakan kepedihan yang mendalam seperti kami sendiri telah
kehilangan kekasih yang p aling dicin tai. Kemampuan
menggerakkan inilah barangkali yang dimak su d dengan bakat.
Siang itu , ketika sedang menunggu azan zuhur, ternyata
seorang sen iman besar telah lahir di sekolah gudang kopra
perguruan Muhammadiyah. Mahar mengakhiri lagunya secara fade
o ut disertai linangan air mata.
“...I lost my litle darling the nig ht they were playing the
beautiful Tennesse waltz ....
Dan kami ser entak berd iri memberi standing appla use yang
sangat panjang untuknya, lima menit! Bu Mus berusaha keras
menyembunyikan air mata yang menggenang berkilauan di pelupuk
Tak dinyana, beberapa menit yang lalu , ketika Bu Mus
menunjuk Mahar secara acaku ntuk menyanyi, saat itulah nasib
menyapanya. Itulah momen nasib yang sedang bertindak selaku
Siang ini, komidi putar Mahar mulai menggelinding dalam
velositas yang bereskalasi.
Jam tangan plastik murahan
SETELAH tampil dengan lagu memukau Tennesse Waltz kami
menemukan Mahar sebagai lawan virtual rasionalitas Lintang. Ia
adalah penyeimbang perahu kelas kami yang cender ung oleng ke
kiri karena tarikan otak kiri Lintang. Sebaliknya, otak seb elah kanan
Mahar meluap-luap melimpah ruah. Mereka berdua membangun
tonggak artistik daya tarik kelas kami sehingga tak pernah
Jika Lintang memiliki level intelektualitas yang demik ian tinggi
maka Mahar memperlihatkan bakat sen i selevel dengan tingginya
inteligensia Lintang. Mahar memiliki harnpir setiapaspek kecerdasan
sen i yang tersimpan seperti persediaan amunisi kreativitas dalam
lokus-loku s di kepalanya. Kapasitas estetika yang tinggi
melahirkannya sebagai seniman serba bisa, ia seorang
pelantungurindam, sutradara teater, penulis yang berbakat, pelukis
natural, koreografer, penyanyi, pendongeng yang ulung, dan
pemain sitar yang fenomenal.
Lintang dan Mahar seperti Faraday kecil dan Warhol mungil
dalam satu kelas, atau laksana Thomas Alva Edison muda dan
Rabindranath Tagore junior yang berkumpul.
Keduanya penuh inovasi dan kejutan-kejutan kreativitas
dalam bidangnya masing- masing. Tanpa mereka, kelas kami tak
lebih dari sekumpulan kuli tambang melarat yang mencoba belajar
tulis rangkai indah di atas kertas bergaris tiga.
Dan di antara mereka berdua kami terjebak di tengah-tengah
seperti orang-orang dungu yang ditantang Columbus mendirikan
telur. Karena Lintang dan Mahar duduk berseberangan maka kami
sering menoleh ke kiri dan ke kanan dengan cepat, persis penonton
pertandingan pingpong, terkagum-kagum pada kegeniusan mereka.
Jika tak ada guru, Lintang tampil ke depan, menggambar
rangkaian teknik bagaimana membuat perahu dari pelepah sagu.
Perahu ini digerakkan baling-baling yang disambungkan dengan
motor yang diambil dari tape recorder dan ditenagai dua buah batu
baterai. Ia membuat perhitungan matematis yang canggih untuk
memanipulasi gerak mekanik motor tape dan menjelaskan kepada
kami hukum-hukum pokok hidrolik.
Perhitungan matematikanya itu dapat memperkirakan dengan
sangat akurat laju kecepatan perahu berdasarkan massanya. Aku
terpesona melihat perahu kecil itu berputar-putar sendiri di dalam
Setelah itu Mahar maju, menundukkan kepala dengan takzim
di depan kami seperti seniman istana yang ingin bersenandung atas
perkenan tuan raja, lalu dengan manis ia membawakan lagu
Leaving on a Jet Pla ne dengan gitarnya dengan ketukan-ketukan
bernuansa hadrah. Di tangan orang yang tepat musik ternyata bisa
menjadi demikian indah. Mahar juga membaca beberapa bait puisi
parodi tentang orang-orang Melayu yang mendadak kaya atau
tentang burung-burung putih di Pantai Tanjong Kelayang. Mahar
dengan aksesori-aksesori etniknya ibarat orang yang dititipi
Engelbert Humperdink suara emas dan diwarisi Salvador Dali sikapsikap nyentrik. Persahabatannya dengan para seniman lokal dan
seorang penyiar radio AM yang memiliki beragam koleksi musik
memperkaya wawasan seni dan perbendaharaan lagu Mahar.
Pada kesempatan lain Lintang mempresentasikan percobaan
memunculkan arus listrik dengan mengerak-gerakkan magnet secara
mekanik dan menjelaskan prinsip- prinsip kerja dinamo. Mahar
memperagakan cara membuat sketsa-sketsa kartun dan cara
menyusun alur cerita bergambar. Lintang menjelaskan aplikasi
geometri dan aero- dinamika dalam mendesain layangan, Mahar
menceritakan kisah yang memukau tentang bangsa-bangsa yang
punah. Pernah juga Lintang menyusun potongan-potongan kaca
yang dibentuk cekung seperti parabola dan menghadapkannya ke
arah matahari agar mendapatkan suhu yang sangat tinggi,
rancangan energi matahari katanya. Sebaliknya Mahar tak mau
kalah, ia menggotong sebuah meja putar dan mendemonstrasikan
seni membuat gerabah yang indah, teknik-teknik melukis gerabah
Lintang memperagakan cara kerja sekstan dan menjelaskan
beberapa perhitungan matematika geometris dengan alat itu,
Mahar membaca puisi yang ditulisnya sendiri dengan judul Doa dan
dibawakan secara memukau dengan gaya tilawatil Qur'an, belum
pernah aku melihat orang membaca puisi seperti itu.
Kadang kala mereka berkolaborasi, misalnya Mahar
menginginkan sebuah gitar elektrik yang gampang dibawa seperti tas
biasa, sehingga tak merepotkan jika naik sepeda, maka Lintang
datang dengan sebuah desain produk yang belum pernah ada
dalam industri instrumen musik, yaitu desain stang gitar yang
dipotong lalu dipasangi semacam engsel sehingga terciptalah gitar
yang bisa dilipat. Sungguh istimewa. Sudah banyak aku melihat
keanehan di dunia pentas—misalnya pemain biola yang ketiduran
ketika sedang manggung, panggung yang roboh, musisi yang
menghancurkan alat-alat musik, pemain gitar yang kesetrum,
seorang pria midland yang makan kelelawar, atau orang-orang
kampung yang meniru-niru Mick Jagger—tapi gitar dilipat sehingga
menjadi seperti papan catur, baru kali ini aku saksikan. Dan jika
Mahar dan Lintang beraksi, kami berkumpul di tengah-tengah kelas,
bertumpuk-tumpuk kegirangan, terbuai keindahan, dan
menggumamkan subhanallah berulang-ulang, atas dua macam
kepintaran meng- asyikkan yang dianugerahkan Ilahi kepada
Mahar sangat imajinatif dan tak logis—seseorang dengan
bakat seni yang sangat besar. Sesuatu yang berasal dari Mahar
selalu menerbitkan inspirasi, aneh, lucu, janggal, ganjil, dan
menggoda keyakinan. Namun, mungkin karena otak sebelah
kanannya benar- benaraktif maka ia menjadi pengkhayal luar biasa.
Di sisi lainia adalah magnet, simply irresistable! Ia penggemar berat
dongeng-dongeng yang tidak masuk akal dan segala sesuatu yang
berbau paranormal. Tanyalah padanya hikayat lama dan mitologi
setempat, ia hafal luar kepala, mulai dari dongeng naga-naga
raksasa Laut Cina Selatan sampai cerita raja berekor yang
diyakininya pernah menjajah Belitong.
Ia sangat percaya bahwa alien itu benar-benarada dan suatu
ketika nanti akan turun ke Belitong menyamar sebagai mantri suntik
di klinik PN Timah, penjaga sekolah, muazin di Masjid Al-Hikmah,
atau wasit sepak bola. Dalam keadaan tertentu ia sangat konyol
misalnya ia menganggap dirinya ketua persatuan paranormal
internasional yang akan memimpin perjuangan umat manusia
mengusir serbuan alien dengan kibasan daun- daun beluntas.
Aku ingat kejadian ini, suatu ketika untuk nilai raporakhir
kelas enam, Bu Mus yang berpendirian progresif dan terbuka
terhadag ide-ide baru, membebaskan kami ber- ekspresi. Kami
diminta menyetor sebuah master piece , karya yang berhak
mendapat tempat terhormat, dipajang di ruang kepala sekolah.
Maka esoknya kami membawa ce- lengan bebek dari tanah liat dan
asbak dari cetakan lilin. Sebagian lainnya membawa replika rumah
panggung Melayu dari bahan perdu apit-apit dan simpai dari jalinan
rotan untuk mengikat sapu lidi. Trapani menyetorkan peta Pulau
Belitong yang dibuat dari serbuk kayu. Syahdan membuat karya
yang persis sama tapi bahannya bubur koran, jelek sekali dan busuk
Harun menyetorkan tiga buah botol bekas kecap, itu saja,
botol kecap! Tak lebih tak kurang. Aku sendiri hanya mampu
membuat tirai dari biji-biji buah berang yang di- kombinasikan
dengan tali rapiah yang digulung kecil-kecil. Setiap tiga buah biji
berang berarti satu ketupat kecil tali rapiah berwarna-warni. Sebuah
karya norak yang sangat tidak berseni.
Tapi masih mending. A Kiong membuat lampion tanpa
perhitungan akal sehat.
Ketika dinyalakan lampion itu terbakar berkobar-kobar
sehingga dengan terpaksa, demi keamanan, Samson melemparkan
benda itu keluar jendela. Padahal A Kiong tak tidur barang sepicing
pun membuatnya. Karena karya kami sangat tidak memuaskan,
kami semua mendapat nilai tak lebih dari angka 6,5 . Sungguh tak
sebanding dengan jerih payah yang dikeluarkan.
Amat berbeda dengan Mahar. Ia datang membawa sebuah
bingkai besar yang ditutupi selembar kain hitam. Kami sangka ia
membuat sebuah lukisan. Tapi setelah kainitu pelan-pelan dilucuti,
sangat mengejutkan! Di baliknya muncul semacam cetakan
tenggelam di atas batu apung. C etakan kerangka seekor makhluk
purbakala yang sangat janggal dan mengesankan sangat buas.
Makhluk ini bukan acanthopholis , sauropodomorphas , kera
anthropoid , dinosaurus atau saurus-saurus semacamnya, dan
bukan pula makhluk-makhluk prasejarah seperti yang telah kita
kenal. Sebaliknya, Mahar membuat sebuah cetakan fosil kelelawar
raksasa semacam Palaeochiropterxy tupaiodon tapi dengan bentuk
yang dimodifikasi sehingga tampak ganjil dan mengerikan. Anatomi
makhluk itu tentu tak pernah teridentifikasi oleh para ahli karena ia
hanya ada di kepala Mahar, di dalam imajinasi seorang seniman.
Fosil di atas batu apung tipis itu dibuat begitu orisinal sehingga
mengesankan seperti temuan paleontologi yang autentik. Ia
menggunakan semacam lapisan karbon untuk memperkuat kesan
purba pada setiap detail fosil itu. Lalu karyanya dibingkai dengan
potongan-potongan balak lapuk yang sudut-sudutnya diikat tali p
ohon jawi agar kesan purbanya benar-b enar terasa.
\"Inilah seni, Bung!\" khotbahnya di hadapan kami yang
terkesima. Gayanya seperti pesulap sehabis membuka genggaman
tangan untuk memperlihatkan burung merp ati.
Dan ia mendapat angka sembilan, tak ada lawannya. Angka
itu adalah nilai kesenian tertinggi yang pernah dianugerahkan Bu
Mus sepanjang karier mengajarnya.
Bahkan Lintang sekalipun tak berkutik.
Imajinasi Mahar meloncat-loncat liaramat mengesankan.
Sesungguhnya, seperti Lintang, ia juga sangat cerdas, dan aku
belum pernah menjumpai seseorang dengan kecerdasan dalam
genre seperti ini. Ia tak pernah kehabisan ide. Kreativitasnya tak
terduga, unik, tak biasa, memberontak, segar, dan menerobos.
Misalnya, ia melatih kera peliharaannya sedemikian rupa sehingga
mampu berperilaku layaknya seorang instruktur.
Maka dalam sebuah penampilan, keranya itu
memerintahkannya untuk melakukan sesuatu yang dalam
pertunjukan biasa hal itu seharusnya dilakukan sang kera. Sang kera
dengan gaya seorang instruktur menyuruh Mahar bernyanyi,
menari-nari, dan berakrobat.
Mahar telah menjungkirbalikkan paradigma seni sirkus, yang
menurutku merupakan sebuah terobosan yang sangat genius.
Pada kesempatan lain Mahar bergabung dengan grup rebana
Masjid Al-Hikmah dan mengolaborasikan permainan sitar di
dalamnya. Jika grup ini mendapat tawaran mengisi acara di sebuah
hajatan perkawinan, para undangan lebih senang menonton mereka
daripada menyalami kedua mempelai.
Mahar pula yang membentuk sekaligus menyutradarai grup
teater kecil SD Muhammadiyah. Penampilan favorit kami adalah
cerita perang Uhud dalam episode Siti Hindun. Dikisahkan bahwa
wanita pemarah ini mengupah seorang budak untuk membunuh
Hamzah sebagai balas dendam atas kematian suaminya. Setelah
Hamzah mati wanita itu membelah dadanya dan memakan hati
panglima besar itu. A Kiong memerankan Hamzah, dan Sahara
sangat menikmati perannya sebagai Siti Hindun. Juga karena
inisiatif Mahar, akhirnya kami membentuk sebuah grup band . Alatalat musik kami adalah electone yang dimainkan Sahara, standing
bass yang dibetot tanpa ampun oleh Samson, sebuah drum, tiga
buah tabla , ser ta dua buah rebana yang dipinjam dari badan amil
Pemain rebana adalah aku dan A Kiong. Mahar
menambahkan kendang dan seruling yang dimainkan secara
sekaligus oleh Trapani melalui bantuan sebuah kawat agar seruling
tersebut dapat dijangkau mulutnya tanpa meninggalkan kendang itu.
Maka pada aransemen tertentu Trapani leluasa menggunakan
tangan kanannya untuk menabuh kendang sementara jemari tangan
kirinya menutu p-nutup enam lubang seruling. Sebuah
pemandangan spektakuler seperti sirkus musik. Setiap wanita muda
dipastikan bertekuk lutut, terbius seperti orang mabuk sehabis
kebanyakan makan jengkol jika melihat Trapani yang tampan
berimprovisasi. Trapani adalah salah satu daya tarik terbesar band
kami. Hanya ada sedikit masalah, yaitu ia mogok tampil jika ibunya
Insiden sempat terjadi pada awal pembentukan band ini
karena Harun bersikeras menjadi drumer padahal ia sama sekali
buta nada dan tak paham konsep tempo.
. \"Dengarkan musiknya, Bang, ikuti iramanya,\" kata Mahar
\"Drum itu tak bisa kauperlakukan semena-mena..
Setelah dimarahi seperti itu biasanya Harun tersenyum kecil
dan memperhalus tabuhannya. Tapi itu tak berlangsung lama.
Beberapa saat kemudian, meskipun kami sedang membawakan
irama bertempo pelan nan syahdu, misalnya lagu Semenanjung Tak
Seinda h Wajah yang syairnya bercerita tentang seorang pria
Melayu duafa meratapratap karena ditipu kekasihnya, Harun
kembali menghantam drum itu sekuat ten aganya seperti
memainkan lagu rock Deep Purple yang berjudul Burn . Dan ia
sendiri tak pernah tahu kapan harus berhenti. la hanya tertawa riang
dan menghantam drum itu sejadi-jadinya.
Mahar tetap sabar menghadapi Harun dan berusaha
menuntunnya pelan-pelan, namun akhirnya kesabaran Mahar habis
ketika kami membawakan lagu Ligh t My Fire milik The Doors. Di
sepanjang lagu yang inspiratif itu Harun menghajar hith at , tenor
drum , simbal , serta menginjak-injak pedal bass drum sejadijadinya. Dengan stik drum ia menghajarapa saja dalam
jangkauannya, persis drumer Tarantula melakukan end fill untuk
menutup lagu rock dangdut Wakuncar .
\"Dengar kata adikmu ini, Abangda Harun, kalau Abang
bermain drum seperti itu bisa-bisa Jim Morrison melompat dari liang
Diperlukan waktu berhari-hari dan permen asam jawa hampir
setengah kilo untuk membujuk Harun agar mau melepaskan jabatan
sebagai drumer dan menerima promosi jabatan baru sebagai tukang
pikul drum itu ke mana pun kami tampil.
Maharadalah pen ata musik setiap lagu yang kami bawakan
dan racun pada setiaparansemennya menyengat ketika ia
memainkan melodi dengan sitarnya. Ia berimprovisasi, berdiri di
tengah pertunjukan, dan dengan wajah demikian syahdu ia
mengekspresikan setiap denting senar sitar yang bercerita tentang
daun-daun pohon bintang yang melayang jatuh di permukaan
Sungai Lenggang yang tenang lalu hanyut sampai jauh ke muara,
tentang angin selatan yang meniup punggung Gunung Selumar,
berbelok dalam kesenyapan Hutan Jangkang, lalu menyelinap
diam-diam ke perkampungan. Ah, indahnya, pria muda ini memiliki
konsep yang jelas bagaimana seharusnya sebuah sitar berbunyi.
Maharadalah arranger berbakat dengan musikalitas yang
nakal. Ia piawai memilih lagu dan mengadaptasikan karakter lagu
tersebut ke dalam instrumen-instrumen kami yang sederhana.
Misalnya pada lagu Owner of a Lonely Heart karya group rock Yess.
Mahar mengawali komposisinya dengan intro permainan solo
tabla yang menghentak bertalu-talu dalam tempo tinggi. Ia
mengajari Syahdan menyelipkan-nyelipkan wana tabuhan Afrika
dan padang pasir pada fondasi tabuhangaya suku Sawang. Sangat
Gebrakan solo Syahdan seumpama garam bagi mereka yang
darah tinggi: berbahaya, beracun, dan memicu adrenalin. Syahdan
mengudara sendirian dengan letupan-letupan yang menggairahkan
sampai beberapa bar. Lalu Syahdan menurunkan sedikit tempo
bahana tabla -nya dan pada momen itu, kami—para pemain rebana
dan dua pemain tabla lainnya-pelan-pelan masuk secara elegan
mendampingi suara tabla Syahdan yang surut, namun tak lama
kemudian kembali bereskalasi menjadi tempo yang semakin cepat,
semakingarang, semakingan as memuncak . Kami mengh antam
tabuh- tabuhan ini sekuat ten aga dengan tempo secepat-cepatnya
beserta semangat Spartan, para penonton menahan napas karena
berada dalam tekanan puncakekstase, lalu tepat pada pun cak
kehebohan, suara alat-alat perkusi ini secara mendadak kami
hentikan , tiga detik yang diam, lengang, sunyi, dan senyap. Ketika
penonton mulai melep askan kembali napas panjangnya dengan
penuh kenyamanan perlahan-lahan hadirlah dentingan sitar Mahar
menyambut perasaan damai itu. Mahar melantunkan dawai sitar
sendirian dalam nada-nada minor nan syah du bergelombang
seperti buluh perindu.
Pilihan nada ini demikian indah hingga terdeng ar laksana
aliran sungai-sungai di bawah taman surga. Dada terasa lapang
seperti memandang laut lepas landai tak bertepi di sebuah sore yang
Pada bagian ini b iasanya penonton menghambur ke bibir
panggung. Lalu Mahar meningkahi sitar dengan in tonasi naik turun
dalam jangkauan hamp ir empat oktaf.
Dengan gaya India klasik, Mahar berimp rovisasi. Ia
memainkan sitar dengan sepenuh jiwa seolah eso k ia telah punya
janji pasti dengan malaikat maut. Matanya terpejam mengikuti alur
skala min or yang menyentuh langsung bagian terindah dari alam
bawah sadar manusia yang mamp u menikmati sari p ati manisnya
musik. Jemarinya yang kurus panjang mengaduk-aduk senar sitar
dengan teknik yang memu kau. Ia menyerahkan segenap jiwa
raganya, terbang dalam daya bius melodi mu sik.
Suara sitar itu menyayat-nyayat, berderai-derai seperti hati
yang sepi, meraung- raung seperti jiwa yang tersesat karena khianat
cinta, merintih seperti arwah yang tak diterima bu mi. Rendah,
tinggi, pelan, kencang, berbisik laksana awan, marah laksan a to
pan, memekakkan laksana ledakangunung berapi, lalu diam tenang
laksana danau di tengah rimba raya. Semakin lama semakin keras
dan semakin cepat, kembali memun cak , semakin lama semakin
tinggi dan pada titik nadirnya Trapani serta-merta menyambut
dengan sorak melengking melalui tiupan seruling, panjang, satu no t,
menjerit-jerit nyaring pada tingkat nada tertinggi yang dapat dicapai
seruling bambu tradison al itu.
Mereka ber dua bertanding, berlomba-lomba meninggikan
nada dan mengeraskan suara instrumen masing-masing. Mereka
seperti seteru lama yang menanggungkan dendam membara,
seruling clan sitar saling menggertak, menghardik, dan memb entak
galak . .. namun dengan harmoni yang terpelihara rapi. Tiba-tiba,
amat mengejutkan, sama sekali tak terd uga, secara mendadak
mereka br ea k! Tiga detik diam. Setelah itu serta-merta datang
menyerbu, menyalak galak, menghambur masuk bertalu-talu
seluruh suara alat musik: drum, sta n ding bass , seluruh ta bl a ,
sitar, seruling, seluruh r eban a, dan electone sekeras-kerasnya.
Tepat pada puncak bahana seluruh alat musik secara mendadak
kami b rea k lagi, satu detik diam, napas penonton tertahan, lalu
pada detik kedua Mahar melon cat seperti tupai, merebut mikrofon
dan langsung menjerit-jerit menyanyikan lagu Ow n er of a Lonel y
Hea rt dalam nada tinggi yang terkendali. Para penonton histeris
dalam sensasi, kemudian tubuh mereka terpatah-patah mengikuti
hentakan-hentakan staccato yang dinamis sepanjang lagu itu.
Inilah musik, kawan. Musik yang dibawakan dengan sepenuh
kalbu. Mahar menekankan konsep akustik dalam komposisi ini,
misalnya dengan mengambil gaya piano grand pada electone
dengan tambahan sedikit efek sustain . Keseluruhan komposisi dan
konsep ini ternyata menghasilkan interpretasi yang unik terhadap
lagu Owner of a Lonely Heart . Kami yakin sedikit banyak kami
telah berhasil menangkap semangat lagu itu, termasukesensi
pesannya, yaitu hati yang sepi lebih baik dari hati yang patah,
seperti dimaksudkan orang-orang hebat dalam grup Yess.
Maka tak ayal lagu rock modern tersebut adalah master piece
penampilan kami selain sebuah lagu Melayu berjudul Patah Kemudi
karya Ibu Hajah Dahlia Kasim.
Mahar juga adalah seorang seniman idealis. Pernah sebuah
parpol ingin memanfaatkangrup kami yang mulai kondang un tuk
menarik massa melalui iming-iming uang dan berbagai mainan
anak-anak, Mahar men olak mentah -mentah.
\"Orang-orang itu sudah terkenal dengan tabiatnya
menghamburkan janji yang tak'kan ditepatinya,\" demikian Mahar
berorasi di tengah-tengah kami yang duduk meling- kar di bawah
filicium . Jarinya menunjuk-nunjuk langit seperti seorang
koordinator demonstrasi.
\"Kita tidak akan pernah menjadi bagian dari segerombolan
penipu! Sekolah kita adalah sekolah Islam bermartabat, kita tidak
akan menjual kehormatan kita demi sebuah jam tangan plastik
Mahar demikian berapi-api dan kami bersorak-sorai
mendukung pendiriannya. Dan mungkin karena kecewa kepada
para pemimpin bangsa maka Mahar memberi sebuah nama yang
sangat memberi inspirasi untuk band kami, yaitu: Republik Dangdut.
Maharadalah Jules Verne kami. la penuh ide gila yang tak
terpikirkan orang lain, walaupun tak jarang idenya itu absurd dan
lucu. Salah satu contohnya adalah ketika ketua RT punya masalah
dengan televisinya. TV hitam putih satu-satunya hanya ada di
rumah beliau dan tidak bisa dikeluarkan dari kamarnya yang sempit
karena kabel antenanya sangat pendek dan ia kesulitan
mendapatkan kab el untuk memperpanjangnya. Kab el itu
tersambung pada antena di puncak pohon randu. Keadaan
mendesak sebab malam itu ada pertandingan final badminton All
Englandantara Svend Pri melawan Iie Sumirat. Begitu banyak
penonton akan hadir, tapi ruangan TV sangat sempit. Sejak sore
Pak Ketua RT takenak hati karena banyak handai taulan yang akan
bertamu tapi tak 'kan semua mendapat kesempatan menonton
pertandingan seru itu.
Ketika beliau berkeluh kesah pada kepala sekolah kami, maka
Mahar yang sudah kondang akal dan taktiknya segera dipanggil dan
ia muncul dengan ide ajaib ini: \"Gambar TV itu bisa dipantulpantulkan melalui kaca, Ayahanda Guru,\" kata Mahar berbinarbinar dengan ekspresi lugunya.
Pak Harfan melonjak girang seperti akan meneriakkan
\"eureka!\" Maka digotonglah dua buah lemari pakaian berkaca besar
ke rumah ketua. Lemari pertama diletakkan di ruang tamu dengan
po sisi frontal terhadap layar TV dan ruangan itu paling tidak
menampung 17 orang. Sedangk an lemari kedua ditempatkan di
beranda. Lemari kaca kedua diposisikan sedemikian rupa sehingga
:dapat menangkap gambar TV dari lemari kaca pertama. Ada sekitar
20 orang menonton TV melalui lemari kaca di beranda.
Tak ada satu pun penonton yang tak kebagian melihat aksi Iie
Sumirat. Penonton merasa puas dan benar-benar menonton dari
layar kaca dalam arti sesungguhnya.
Meskipun Svend Pri yang kidal di layar TV menjadi normal di
kaca yang pertama dan kembali menjadi kidal pada layar lemari
kaca kedua. Menurutku inilah ide paling revolusioner, paling lucu,
dan paling hebat yang pernah terjadi pada dunia penyiaran.
Aku rasa yang dapat menandingi ide kr eatif ini hanya
penemuan remo te contr ol beberapa waktu kemudian.
Kepada majelis penonton TV yang terhormat Pak Harfan
berulang kali menyampaikan bahwa semua itu adalah ide Mahar,
dan bahwa Mahar itu adalah muridnya. Murid yang
dibanggakannya habis-habisan.
Sayangnya, seperti banyak dialami seniman hebat lainnya,
mereka jarang sekali mendapat perhatian dan penghargaan yang
memadai. Gaya hidup dan pemikiran mereka yang mengawangawang sering kali disalahartikan. Misalnya Mahar, kami sering
menganggapnya manusia aneh, pembual, dan tukang khayal yang
tidak dapat membedakan antara realitas dan lamunan.
Keadaan ini diperparah lagi dengan ketidakmampuan kami
mengapresiasi karya- karya seninya. Sehingga beberapa karya
hebatnya malah mendapat cemo ohan. Kenya- taannya adalah
kami tidak mampu menjangkau daya imajinasi dan pesan-pesan
abstrak yang ia sampaikan melalui karya-karya tersebut. Kami selalu
membesar -besarkan ke- kurangannya ketika sebuah
pertunjukangagal total, tapi jika berhasil kami jarang ingin
memujinya. Mungkin karena masih kecil, maka kami sering tidak
PAPILIO blumei , kupu-kupu tropis yang men awan berwarna
hitam bergaris biru-hijau itu mengunjungi pucuk filicium . Kehadiran
mereka semakin cantik karena kehadiran kupu- kupu kuning
berbintik metalik yang disebut pure clouded yellow . Mereka dan
lidah atap sirap cokelat yang rapuh menyajikan komposisi warna
kontras di atas sekolah Muhammadiyah. Dua jenis bidadari taman
itu melayanglayang tanpa bobot bersukacita.
Tak lama kemudian, seperti tumpah dari langit, ikut
bergabung kupu-kupu lain, danube clouded yellow .
Hanya para ahli yang dapat membedakan pure clouded
yellow dengan danube clouded yellow , berturut-turut nama latin
mereka adalah Colias crocea dan Colias myrmidone . Di mata
awam kecantikan mereka sama: absolut, dan hanya dapat
dibayangkan melalui keindahan namanya. Keduanya adalah si
kuning berawan yang memesona laksana Danau Danube yang
melintasi Eropa: sejuk, elegan, dan misterius.
Berbeda dengan tabiat unggas yang cenderung agresif dan
eksibisionis, makhluk- makhluk bisu berumur pendek ini bahkan tak
tahu kalau dirinya cantik. Meskipun jumlahnya ratusan, tapi kepak
sayapnya senyap dan mulut mungil indahnya diam dalam
kerupawanan yang melebihi taman lotus. Melihat mereka rasanya
aku ingin menulis puisi.
Saat ratusan pasang danube clouded yellow berpatroli
melingkari lingkaran daun- daun filicium , maka mereka menjelma
menjadi pasir kuning di Dermaga Olivir. Sayap- sayap yang
menyala itu adalah fatamorgana pantulan cahaya matahari,
berkilauan di atas.butiran-butiran ilmenit yang terangkat ab rasi.
Sebuah daya tarik Belitong yang lain, pesona pantai dan kekayaan
material tambang yang menggoda.
Kupu-kupu clouded yellow dan Papilio blumei saling
bercengkrama dengan harmonis seperti sebuah reuni besar bidadari
penghuni berbagai surga dari agama yang berbeda-beda. Jika
diperhatikan dengan saksama, setiap gerakan mereka, sekecil apa
pun, seolah digerakkan oleh semacam mesin keserasian. Mereka
adalah orkestra warna , dengan insting sebagai konduktornya. Dan
agaknya dulu memang telah diatur jauh-jauh hari sebelum mereka
bermetamorfosis, telah tercatat di Lauhul Mahfuzh saat mereka
masih meringkuk berbedak-bedak tebal dalam gulungan- gulungan
daun pisang, bahwa sore ini mereka akan menari-nari di pucukpucuk filicium , bersenda gurau, untuk memberiku pelajaran tentang
Kupu-kupu ini sering melakukan reuni setelah hujan lebat.
Sayangnya sore ini, pemandangan seperti butiran-butiran cat
berwarna-warni yang dihamburkan dari langit itu serentak bubar
dan harmoni ekosistem hancur berantakan karena serbuan sepuluh
sosok Homo sapiens. Makhluk brutal ini memanjati dahan-dahan
filicium, bersoraksorai, dan bergelantungan mengklaim dahannya
masingmasing. Kawanan itu dipimpin oleh setan kecil bernama
Kucai. Berada pada posisi puncak rantai makanan seolah
melegitimasi kecenderungan Homo sapiens untuk merusak tatanan
Kucai mengangkangi dahan tertinggi, sedangkan Sahara, satusatunya betina dalam kawanan itu, bersilang kaki di atas dahan
terendah. Pengaturan semacam itu tentu bukan karena budaya
patriarki begitu kental dalam komunitas Melayu, tapi semata-mata
karena pakaian Sahara tidak memungkinkan ia berada di atas kami.
Ia adalah muslimah yang menjaga aurat rapat-rapat.
Kepentingan kami tak kalah mendesak dibanding keperluan
kaum unggas, fungi, dan makhluk lainnya terhadap filicium karena
dari dahan-dahannya kami dapat dengan leluasa memandang
Kami sangat menyukai pelangi. Bagi kami pelangi adalah
lukisan alam, sketsa Tuhan yang mengandung daya tarik men
cengangkan. Tak tahu siapa di antara kami yang pertama kali memu
lai hobi ini, tapi jika musim hujan tiba kami tak sabar menunggu
kehadiran lukisan langit menakjubkan itu. Karena kegemaran
kolektif terhadap pelangi maka Bu Mus menamai kelompok kami
Sore ini, setelah hujan lebat sepanjang hari, terbentang
pelangi sempurna, setengah lingkaran penuh , terang benderang
dengan enam lapis warna. Ujung kanannya berangkat dari Muara
Genting seperti pantulan permadani cermin sedangkan ujung kirinya
tertanam di kerimbunan hu tan pinus di lereng Gunung Selu mar .
Pelangi yang menghunjam di daratan ini melengkung laksana jutaan
bidadari berkebaya war na-warn i terjun menukik ke sebuah danau
terpencil, bersembunyi malu karena kecantikannya.
Kini filicium men jadi gaduh karena kami bertengkar
bertentangan pen dapat tentang panorama ajaib yang terb entang
melingkupi Belitong Timur. Berbagai versi cerita mengenai pelangi
menjadi debat kusir. Dongeng yang paling seru tentu saja dikisah
kan oleh Mahar. Ketika kami mendesak nya ia sempat ragu -ragu.
Pandangan matanya mengisyaratkan bahwa: kalian tidak akan bisa
men jaga informasi yang sangat penting ini! Dia diam demi
membuat pertimbangan serius, namun akhirnya ia menyerah, bukan
kepada kami yang memohon tapi kepada hasratnya sendiri yang tak
terkekang untuk membual.
\"Tahukah kalian ...,\" katanya sambil memandang jauh.
\"Pelangi sebenarnya adalah sebuah lorong waktu!\" Kami
terdiam, suasana jadi bisu , terlen a khayalan Mahar. - \"Jika kita
berhasil melintasi pelangi maka kita akan bertemu dengan orangorang Belitong tempo dulu dan n enek moyang orang-orang
Wajahnya tampak menyesal seperti baru saja membongkar
sebuah rahasia keluarga yang terdalam dan telah disimpan tujuh
turunan . Lalu dengan nada terpak sa ia melanjutkan, \"Tapi jangan
sampai kalian bertemu dengan orang Belitong p rimitif dan leluh ur
Sawang itu , karena mereka itu adalah kaum kanibal ...!!.
Sekarang wajahnya pasrah. A Kiong menutup mulutnya
dengan tangan dan hampir saja tertungging dari dahan karena
melepaskan pegangan. Sejak kelas satu SD, A Kiong adalah
pengikut setia Mahar. Ia percaya-dengan sep enuh jiwa-apa p
unyang dikatakan Mahar. Ia memposisikan Mahar sebagai seorang
suhu dan penasihat sprir itual. Mereka berdua telah menasbihkan
diri sendiri dalam sebuah sek te ketololan kolektif.
Demi mendengar kisah Mahar, Syahdan yang bertengger
persis di belakang pendongeng itu dengan gerakan sangat takzim,
tanpa diketahui Mahar, menyilangkan jari di atas keningnya dan
mengesek-gesekkannya beberapa kali. Mahar tidak mengerti apa
yang sedang terjadi di belakangnya. Sakit perut kami menahan tawa
melihat kelakuan Syah dan. Baginya Mahar sudah tak waras.
Lintang menepuk-nepuk punggung Mahar, menghargai
ceritanya yang menakjubkan, tapi ia tersenyum simpul dan purapura batuk untuk menyamarkan tawanya. Kami terus memandangi
keindahan pelangi tapi kali ini kami tak lagi berdebat.
Kami diam sampai matahari membenamkan diri. Azan magrib
menggema dipantulkan tiang-tiang tinggi rumah panggung orang
Melayu, sahut-menyahut dari masjid ke masjid.
Sang lorong waktu perlahan hilang ditelan malam. Kami
diajari tak bicara jika azan berkumandang.
\"Diam dan simaklah panggilan menuju kemenangan itu ...,\"
KAMI orang-orang Melayu adalah pribadi-pribadi sederhana
yang memperoleh kebijakan hidup dari para guru mengaji dan
orang-orang tua di surau-surau sehabis salat magrib. Kebijakan itu
disarikan dari hikayat para nabi, kisah Hang Tuah, dan rima-rima
gurindam. Ras kami adalah ras yang tua.
Malay atau Melayu telah dikenal Albert Buffon sejak lampau
ketika ia mengidentifikasi ras-ras besar Kau kasia, Negroid, dan
Meskipun banyak antropolog berp endapat bahwa ras Melayu
Belitong tidak sama dengan ras Malay versi Buffon- dengan kata lain
kami sebenarnya bukan orang Melayu—tapi kami tak membesar
besarkan pendapat itu. Pertama karena orang-orang Belitong tak
paham akan hal itu dan kedua karena kami tak memiliki semangat
primordialisme. Bagi kami, orang-orang sepan jang pesisir selat
Malaka sampai ke Malaysia adalah Melayu- atas dasar ketergilagilaan mereka pada irama semenanjung, dentaman rebana, dan
pantun yang sambut: menyambut-bukan atas dasar bahasa,
warnakulit, kepercayaan, atau struktur bangun tulang-belulang.
Kami adalah ras egalitarian.
Aku melamun merenungkan cerita Mahar. Aku tak tertarik
dengan lor ong waktu, tapi terpancang pada ceritanya tentang
orang-orang Belitong tempo dulu. Minggu lalu ketika sedang
memperbaiki sound system di masjid, demi melihat kabel centang
perenang yang dianggapnya benda ajaib zaman baru, muazin kami
yang telah berusia 70 tahun menceritakan sesuatu yang membuatku
Cerita itu adalah tentang kakek beliau yang sempat bercerita
kepadanya bahwa orangtua kakeknya itu, berarti mbah buyut atau
datuk muazin kami, hidup berkelompok mengembara di sepanjang
pesisir Belitong. Mereka berpakaian kulit kayu dan mencari makan
dengan cara menombak binatang atau menjeratnya dengan akarakar pohon.
Mereka tidur di dahan-dahan pohon santigi untuk
menghindari terkaman binatang buas.
Kala bulan purnama mereka menyalakan api dan memuja
bulan serta bintang gemintang.
Aku merinding memikirkan betapa masih dekatnya komunitas
kami dengan kebudayaan primitif.
\"Kita telah lama bersekutu dengan orang-orang Sawang.
Mereka adalah pelaut ulung yang hidup di perahu. Suku itu
berkelana dari pulau ke pulau. Di Teluk Balok leluhur kita menukar
pelanduk, rotan, buah pinang, dan damar dengan garam buatan
wanita-wanita Sawang . .., \" cerita muazinitu .
Seperti ikan yang hidup dalam akuarium, selatiasa lupa akan
air , begitu lah kami. Sekian lama hidup berdampingan dengan
orang Sawang kami tak menyadari bahwa mereka sesungguhnya
sebuah fenomena antro pologi. Dibanding orang Melayu pen
ampilan mereka amat berb eda. Mereka seperti orang-orang
Kulit gelap, rahang tegas, mata dalam, p andangan tajam,
bidang kening yang semp it, str uktur tengkorak seperti suku Teuton,
dan berambut kasat lurus sep er ti sikat.
PN Timah mempekerjakan suku masku linini sebagai buruh yu
ka, yaitu penjahit karung timah , pekerjaan strata terendah di
gudang beras. Dan mereka bahagia dengan sistem pembayaran
setiap hari Senin. Su lit dikatakan uang itu akan bertahan sampai
Rabu. Tak ada kepelitan mengalir dalam pembuluh daraharang
Sawang. Mereka memb elanjakan uang seperti tak ada lagi hari esok
dan berutang seperti akan hidup selamanya.
Karena kekacauan perso alan manajemen keuang an ini,
orang Sawang tak jarang menjadi korban stereotip di kalangan
mayoritas Melayu. Setiap perilaku min us takayal langsung
diasosiasikan dengan mereka. Diskredit ini adalah refleksi sikap disk
riminatif sebagian orang Melayu yang takut direbut pekerjaan nya
karena malas bekerja kasar. Sejarah men unjuk kan bahwa orang -
orang Sawang memiliki integ ritas, mereka hidu peksk lusif dalam
komunitasnya sen diri, tak usil dengan ur usan orang lain , memiliki
eto s kerja ting gi, jujur , dan tak per nah berurusan dengan hu kum.
Lebih dari itu, mereka tak pern ah lari dari u tang- utangnya.
Orang Sawang senang sekali memarginalkan diri s end ir i.
Itulah sifat alamiah mereka. Bagi mereka hid up ini hanya terd iri
atas mandor yang mau membayar mereka setiap minggu dan
pekerjaan kasar yang tak sang gup dikerjakan suku lain.
Mereka tak memahami kon sep aristo krasi karenakultur
mereka tak mengenal power distance . Orang yang tak memaklumi
hal ini akan menganggap mereka tak tahu tata krama. Satu-satunya
manusia terhormat di antara mereka adalah sang kepala suku,
seorang shaman s ekalig us du kun , dan jabatan itu sama sekali
PN memukimkan orang Sawang di Sebuah rumah panjang
yang ber sekat- sekat. Di situ hidup 3 0 kepala keluarga.Tak ada
catatanpasti dari mana mereka berasal. Mungkin kah mereka belum
terpetak an oleh para antro polog? Tahu kah para pembuat
kebijakan bahwa tingkat kelah iran mereka amat rendah sedangkan
mortalitasnya begitu tinggi sehingg a di ru mah panjang hanya
tertinggal b eberapa keluarga yang berdarah mur ni Sawang? Akan
kah bahasa mereka yang indah hilang ditelan zaman?
TAMBANG hitam terbentang cekung di atas permukaan air
berwarna cokelat yang bergelora. Ujung tambang yang diikat
dengan sepotong kayu bercabang tersangkut ke sebuah dahan kar et
tua yang rapuh di tengah aliran sungai. Tadi Samson yang telah
melemparkannya dengan gugup. Hampir tujuh belas meter jarak
antara tepian sungai dan dahan karet tempat kayu satu meter itu
tersangkut. Berarti lebar sungai ini paling tidak tiga p uluh meter dan
dalamnya hanya Tuhan yang tahu. Alirannya meluncur deras
tergesa-gesa, tipikal sungai di Belitong yang berawal dan berak hir di
laut. Bagian membu jur permukaan sungai tampak berkilat-kilat
disinari cahaya matahari.
Sekarang ujung tambang satunya dipegangi A Kiong yang
pucat pasi pada posisi melintang. Ia memanjat pohon kepang
rindang yang berseberangan dengan pohon karet tadi dan
menambatkan tali pada salah satu cabangnya. Badanku gemetar
ketika aku melintas menuju pohon karet dengan cara menggesergeserkangenggaman tanganku yang mencekik tambang erat-erat.
Aku bergelantungan seperti tentara latihan perang.
Kadang-kadang kakiku terlepas dari tambang dan menyentuh
permukaan air yang meliuk-liuk, membuat darahku dingin berdesir.
Kulihat samar bayanganku di atas air yang keruh. Kalau aku terjatuh
maka aku akan ditemukan tersangkut di akar-akar pohon bakau
dekat jembatan Lenggang, lima puluh kilometer dari sini.
SEMUA susah payah melawan larangan orangtua itu hanyalah
untuk memetik buah-buah karet dan demi sedikit taruhan harga diri
dalam arena tarak . Atau barangkali perbuatan bodoh itu justru
digerakkan oleh keinginan untuk membongkar rahasia buah karet
yang misterius. Kekuatan kulit buah karet tak bisa diramalkan dari
bentuk dan warnanya. Pada rahasia itulah tersimpan daya tarik
permainan mengadu kekuatan kulitnya. Permainan kunonan
legendaris itu disebut tarak. Cuma ada satu hal yang agak berlaku
umum, yaitu pohon-pohon karet yang buahnya sekeras batu selalu
berada di tempat-tempat yang jauh di dalam hutan dan memerlukan
nyali lebih, atau sikap nekat yang tolol, untuk mengambilnya.
Di dalam ta rak , dua buah karet ditumpuk kemudian dipukul
dengan telapak tangan. Buah yang tak pecah adalah pemenangnya.
Inilah permainan pembukaan musim hujan di kampung kami,
semacam pemanasan untuk menghadapi permainan-permainan
lainnya yang jauh lebih seru pada saat air bah tumpah dari langit.
SEIRING dengan semakingencarnya hujan mengguyur
kampung-kampung orang Melayu Belitong, aura ta rak perlahanlahan redup. Jika ta rak sudah tak dimainkan maka ` itulah akhir
bulan September, begitulah tanda alam yang dibaca secara primitif.
Wilayah- wilayah tropis di muka bumi akan mengalami mendung
seharian dan hujan berkepajangan. Sementara di Barat sana, orangorang menjalani hari-hari yang kelabu menjelang musim salju.
Pada sepanjang bulan berakhiran \"-ber\", seisi dunia tampak lebih
murung, maka tidak mengherankan di beberapa bagian barat angka
statistik bunuh diri meningkat.
Aku melongok keluar jendela, RRI mengumandangkan sebuah
lagu lama sebelum siaran berita, Rayuan Pulau Kelapa . Alunan
nada Hawaian yang tak lekang dimakan waktu mendayu-dayu
membuat mata mengantuk . Sebuah siang yang syahdu, sesyahdu
How ling Wolf saat menyanyikan lagu blues How Long Bab y, How
Tapi suasana agak berbeda bagi kami. Acara sedih di bulanbulan penghujung tahun ini adalah urusan orang dewasa. Bagi kami
hujan yang pertama adalah berkah dari langit yang disambut
dengan sukacita tak terkira-kira. Dan tak pernah kulihat di wilayah
lain, hujan turun sedemikian lebat seperti di Belitong.
Tujuh puluh persen daratan di Belitong adalah rain forest alias
hutan hujan. Pulau kecil itu berada pada titik pertemuan Laut Cina
Selatan di sisi barat dan Laut Jawa di sisi timur. Adapun di sisi utara
dan selatan ia diapit oleh Selat Karimata dan Selat Gaspar.
Letaknya yang terlindung daratan luas Pulau Jawa dan
Kalimantan melindungi pantainya dari gelombang ekstrem musim
barat, namun uapan jutaan kubik air selama musim kemarau dari
samudra berkeliling itu akan tumpah seharian selama berbulanbulan pada musim hujan. Maka hujan di Belitong tak pernah
sebentar dan tak pern ah kecil.
Hujan di Belitong selalu lama dan sejadi-jadinya seperti air
bah tumpah ruah dari langit, dan semakin lebat hujan itu,
semakingempar guruh menggelegar, semakin kencang angin
mengaduk-aduk kampung, semakin dahsyat petir sambarmenyambar, semakin giranglah hati kami. Kami biarkan hujan yang
deras mengguyur tubuh kami yang kumal. Ancaman dibabat rotan
oleh orangtua kami anggap sepi. Ancaman tersebut tak sebanding
dengan daya tarik luar biasa air hujan, binatang-binatang aneh yang
muncul dari dasar parit, mobil-mobil proyek timah yang terb enam,
dan bau air hujan yang menyejukkan rongga dada.
Kami akan berhenti sendiri setelah bibir membiru dan jemari
tak terasa karena kedinginan. Seluruh dunia tak bisa mencegah
kami. Kami adalah para duta besar yang berkuasa penuh saat
musim hujan. Para orangtua hanya menggerutu, frustrasi merasa
dirinya tak dianggap. Kami berlarian, bermain sepak bola, membuat
candi dari pasir, ber- pura-pura menjadi biawak, ber enang di
lumpur, memanggil-manggil pesawat terbang yang melintas, dan
berteriak keras-keras tak keruan kepada hujan, langit, dan halilintar
seperti orang lupa diri.
Tapi lebih dari itu, yang paling seru adalah permainan tanpa
nama yang melibatkan pelepah-pelepah pohon pinang hantu. Satu
atau dua orang duduk di atas pelepah selebar sajadah, kemudian
dua atau tiga orang lainnya menarik pelepah itu dengan kencang.
Maka terjadilah pemandangan seperti orang main ski es, tapi
secara manual karena ditarik tenaga manusia.
Penumpang yang duduk di depan memegangi pelepah seperti
penunggang unta sedangkan penumpang di belakang memeluknya
erat-erat agar tidak tergelincir. Mereka yang bertubuh paling besar,
yaitu Samson, Trapani, dan A Kiong menduduki jabatan penarik
pelepah dan mereka amat bangga dengan jabatan itu.
Puncak permainan ini adalah momen ketika para penarik
pelepah yang bertenaga sekuat kuda beban berbelok mendadak
serta dengan sengaja menambah kekuatannya di belokan itu. Maka
penumpangnya akan melaju sangat kencang, terseret sejajar ke arah
samping, meluncur mulus tapi deras sekali di atas permukaan
lumpur yang licin, lalu menikung tajam dalam kecepatan tinggi.
Aku rasakan tingkungan itu membanting tubuhku tanpa dapat
kukendalikan dan sempat kulihat cipratan air bercampur lumpur
yang besar menghempas dari sisi kanan pelepah mengotori para
penonton: Sahara, Harun, Kucai, Mahar, dan Lintang. Mereka
gembira luar biasa menerima cipratan air kotor itu , semakin
kotorairnya semakin senang mereka. Mereka bertepuk tangan girang
menyemangati kami. Sementara Syahdan yang duduk di
belakangku memegang tubuhku kuat-kuat sambil bersorak-sorai.
Syahdan bertindak selaku co-p ilot , dan aku pilotnya. Kami
meluncur menyamping dengan tubuh rebah persis seperti gerakan
laki-laki gondrong pengendara sepeda motor tong setan di sirkus
atau lebih keren lagi seperti gerakan speed ra cer yang merendahkan
tubuhnya untuk mengambil belokan maut. Sebuah gaya rebah yang
penuh aksi. Pada saat menikung itu aku merasakan sensasi tertinggi
dari permainan tradisional yang asyik ini.
Namun, cerita tidak selesai sampai di situ. Karena sudut
belokan tersebut tidak masuk akal maka tikungan tersebut tak `kan
pernah bisa diselesaikan. Para penarik bertabrakan sesama dirinya
sendiri, terjatuh-jatuh jumpalitan, terbanting-banting tak tentu arah,
sementara aku dan Syahdan terpental dari pelepah, terhempas,
terguling-guling, lalu kami berdua terkapar di dalam parit.
Kepalaku terasa berat, kuraba-raba dan benjolan kecilkecil
bermunculan. Air masuk melalui hidungku, suaraku jadi aneh,
seperti robot, dan ada rasa pening di bagian kepala seb elah kanan
yang menjalar ke mata. Rasa itu hanya sebentar, biasa kita alami
kalau air memasuki hidung. Aku tersedak-sedak kecil seperti
kambing batuk. Lalu aku mencari-cari Syahdan. Ia terbanting agak
jauh dariku. Tubuhnya telentang, tergeletak tak berdaya, air
menggenangi setengah tubuhnya di dalam parit. Ia tak bergerak .
Kami menghambur ke arah Syahdan. Aduh! Gawat, apakah ia
pingsan? Atau gegar otak? Atau malah mati? Karena ia tak bernapas
sama sekali dan tadi ia terpelanting seperti tong jatuh dari truk. Di
sudut bibirnya dan dari lubang hidungnyakulihat darah mengalir,
pelan dan pekat. Kami merubung tubuhnya yang diam seperti
mayat. Sahara mulai terisak-isak, wajahnya pias. Aku memandangi
wajah temanku yang lain, semuanya pucat pasi. A Kiong gemetar
hebat, Trapani memanggil-manggil ibunya, aku sangat cemas.
Aku menampar-nampar pipinya.
\"Dan! Dan ...!\" Aku pegang urat di lehernya, seperti pernah
kulihat dalam film Little House on The Prairie . Namun sayang
sebenarnya aku sendiri tak mengerti apa yang kupegang, karena itu
aku tak merasakan apa-apa. Samson, Kucai, dan Trapani turut
menggoyang-goyang tubuh Syahdan, berusaha menyadarkannya.
Tapi Syahdan diam kaku tak bereaksi. Bibirnya pucat dan tubuhnya
dingin seperti es. Sahara menangis keras, diikuti oleh A Kiong.
\"Syahdan ... Syahdan .., bangun Dan ...,\" ratap Sahara pedih
Kami semakin panik, tak tahu harus berbuat apa. Aku terusmenerus memanggil- manggil nama Syahdan, tapi ia diam saja,
kaku, tak bernyawa, Syahdan telah mati.
Kasihan sekali Syahdan, anak nelayan melarat yang mungil ini
harus mengalami nasib tragis seperti ini.
Kami menggigil ketakutan dad Samson memberi isyarat agar
Ketika kami angkat tubuhnya telah keras seperti sepotong
balokes. Aku memegang bagian kepalanya. Kami gotong tubuh
kecilnya sambil berlari. Sahara dan A Kiong meraung-raung. Kami
benar-benar panik, namun dalam kegentinganyang memuncak
tiba-tiba di gumpalan bulat kepala keriting yang kupeluk kulihat
deretangigi-gigi hitam keropos dan runcing-runcing seperti dimakan
kutu meringis ke arahku, kemudian ku- dengar pelan suara tertawa
Ha! Rupanya co-pilot -ku ini hanya berpura-pura tewas!
Sekian lama ia membekukan tubuhnya dan berusaha menahan
napas agar kami menyangka ia mati.
Kurang ajar betul, lalu kami membalas penipuannya dengan
melemparkannya kembali ke dalam parit kotor tadi. Dia senang
bukan main. Ia terpingkal-pingkal melihat kami kebingungan. Kami
pun ikut tertawa. Sahara menghapus tangisnya dengan lengannya
yang kotor. Makin lama tawa kami makin keras. Kulirik lagi
Syahdan, ia meringis kesakitan tapi tawanya keras sekali sampaisampai keluarair matanya. Air matanya itu bercampur dengan air
Anehnya, justru peristiwa terjatuh, terhempas, dan tergulingguling yang menciderai, lalu disusul dengan tertawa keras saling
mengejekitulah yang kami anggap sebagai daya tarik terbesar
permainan pelepah pinang. Tak jarang kami mengulanginya berkalikali dan peristiwa jatuh seperti itu bukan lagi karena sudut tikungan,
kecepatan, dan massa yang melanggar hukum fisika, tapi memang
karena ketololan yang disengaja yang secara tidak sadar digerakkan
oleh spirit euforia musim hujan. Pesta musim hujan adalah sebuah
perhelatan meriah yang diselenggarakan oleh alam bagi kami anakanak Melayu tak mampu.
Puisi Surga Dan Kawanan
Burung Pelintang Pulau
NAH, seluruh kejadian ini terjadi pada bulan Agustus saat aku
berada di kelas dua SMP. Kemarau masih belum mau per gi.
Pohon-pohon angsana menjadi gundul, bambu- bambu kun ing
meranggas. Jalan berbatu-batu kecil merah, setiap dihemp as
kendaraan, mengembuskan debu yang melekat pada sir ip-sirip
daun jendela kayu. Kota kecilku kering dan bau karat.
Warga Tionghoa semakin rajin menekuni kebiasaannya:
mandi saat tengah har i, menyisir rambutnya yang masih basah ke
belakang, lalu memotongi ujung-ujung kukunya dengan antip.
Hanya mereka yang tampak sed ikit bersih pada bulan-bulan seperti
ini. Adapun warga suku Sawang termangu-mangu memeluk tiangtiang rumah panjang mereka, terlalu panas untuk tidur di bawah
atap seng tak berplafon dan terlalu lelah untuk kembali bekerja,
Orang-orang Melayu semakin kumal. Sesekali anak-anaknya
melewati jalan raya membawa balok-balokes dan botol sirop
Capilano. Hawa pengap tak ‘kan menguap sampai malam.
Sebaliknya, menjelang dini hari suhu akan turun drastis, dingin tak
terkira, menguji iman umat Nabi Muhammad untuk beranjak dari
tempat tidur dan shalat subuh di masjid.
Perubahan ekstrem suhu adalah konsekuensi geografis pulau
kecil yang dikelilingi samu dra. Karena itu kemarau di kampung
kami menjadi sangat tidak menyen angkan. Kepekatan oksigen
menyebabkan tu buh cepat lelah dan mata mudah mengan tuk.
Namun, ada suka di mana-mana. Anda tentu paham mak sud saya.
Bulan ini amat semarak karena banyak perayaan berken aan
dengan hari besar negeri ini. Agustus, semuanya serba
menggairahkan! Begitu banyak kegiatan yang kami rencanakan
setiap bulan Agustus, antara lain berkemah! Ketika anak-anak SMP
PN dengan bus birunya berek reasi ke Tanjong Pendam,
mengunjungi kebun binatang atau museum di Tanjong Pan dan,
bahkan verloop * ber sama orangtuanya ke Jakarta. Kami, SMP
Muhammadiyah, pergi ke Pantai Pangkalan Punai. Jauh nya kirakira 60 km, ditempuh naik sepeda. Semacam liburan murah yang
Meskipun setiap tahun kami mengunjungi Pangkalan Punai,
aku tak pernah bosan dengan tempat ini. Setiap kali berdiri di bibir
p antai aku selalu merasa terkeju t, persis seperti pasukan
Alexanderagung pertama kali menemukan India. Jika laut berakhir
di puluhan hektar daratan landai yang dipenuh i bebatuan sebesar
rumah dan pohon -pohon rimba yang rindang merapat ke tepi
paling akhir ombak pasang mengempas, maka kita akan
menemukan keindahan pantai dengan cita rasa yang berbeda.
Itulah kesan utama yang dapat kukatakan mengen ai Pangkalan Pun
Tak jauh dari p antai mengalirlah anak-anak sungai berair
payau dan di sanalah para penduduk lokal tinggal di dalam rumah p
anggung tinggi-ting gi dengan formasi berkeliling. Mereka juga
orang-orang Melayu, orang Melayu yang menjadi nelayan.
Berarti rumah-rumah ini tepatnya terkurung oleh hu tan lalu di
tengahnya mengalir anak-anak sungai dan posisinya cenderung
menjorok ke pinggir laut. Sebuah komposisi lanskap hasil karaya
tangan Tuhan . Keindahan seperti digambarkan dalam buku -buku
komik Hans Christian ander sen.
Namun, pemandangan semakin cantik jika kita mendaki bukit
kecil di sisi barat daya Pangkalan. Saat sore menjelang, aku senang
berlama- lama duduk sendiri di punggung bukit ini. Men dengar
sayup-sayup suara anak-anak nelayan—laki-laki dan perempuan—
menendang-nendang pelampung, bermain bola tanpa tiang gawang
n un di bawah sana. Teriakan mereka terasa damai. Sekitar pu kul
empat sor e, sinar matahar i akan meng guyur barisan pohon
cemara angin yang tumbuh lebat di undakan bukit yang lebih tinggi
di sisi timur laut. Sinar yang terhalang pepoh onan cemara anginitu
membentu k segitiga gelap rak sasa, persis di tempat aku dudu k.
Sebaliknya, di sisi lain, sinarnya ayang kontras menghunjam ke atas
permukaan pan tai yang dangkal, sehingga dari kejauhan dapat
kulihat pasir putih dasar laut.
Jika aku menoleh ke belakang, maka aku dapat menyaksikan
pemandangan padang sabana. Ribuan burung pipit menggelayuti
rumput-rump ut tinggi, menjerit-jerit tak kar uan, berebu tan tempat
tidur. Di sebelah sabana itu adalah ratusan pohon kelapa bersalingsilang dan di antara celah-celahnya aku melihat batu-batu raksasa
khas Pangkalan Punai. Batu-batu raksasa yang membatasi tepian
Laut Cina Selatan yang biru berkilauan dan luas tak terbatas.
Seluruh bagian ini disirami sinar matahari dan aliran sungai payau
tampak sampai jauh berkelok-kelok seperti cucuran perak yang
Sebaliknya, jika aku melemparkan pandangan lurus ke bawah,
ke arah formasi rumah panggung yang ber keliling tadi, maka sinar
matahari yang mulai jingga jatuh persis di atas atap-atap daun
nanga’ yang menyembul-nyembul di antara rindangnya dedaunan
pohon santigi. Asap mengepul dari tungku-tungku yang membakar
serabut kelapa untuk mengusir serangga magrib. Asap itu , diiringi
suara azan magrib, merayap menembus celah-celah atap daun,
hanyut pelan-pelan menaungi kampung seperti hantu, lamat-lamat
merambati dahan-dahan pohon bintang yang berbuah manis, lalu
hilang tersapu semilirangin, ditelan samud ra luas. Dari balik
jendela-jendela kecil rumah panggung yang ber serakan di bawah
sana sinar lampu minyak yang lembut dan kuntum- kuntum api
pelita menari-nari sepi.
Pesona hakiki Pangkalan Pun ai membayangiku menit demi
menit sampai terbawa-bawa mimpi. Mimp i ini kemudian kutulis
menjadi sebuah puisi karena, sebagai bagian dari program
berkemah, kami harus menyerahkan tugas untuk pelajaran kesenian
berupa karangan, lukisan , atau pekerjaan tangan dari bahan-bahan
yang didapat di pinggir pantai. Inilah puisiku.
Aku Bermimpi Melihat Surga
Sungguh, malam ketiga di Pangkalan Punai aku mimpi melihat surga
Ternyata surga tidak megah, hanya sebuah istana kecil di tengah
Tidak ada bidadari seperti disebut di kitab-kitab suci
Aku meniti jembatan kecil
Seorang wanita berw ajah jernih menyambutku
“Inilah surga” katanya.
Ia tersenyum, kerling matanya mengajakku menengadah
Seketika aku terkesiap oleh pantulan sinar matahari senja
Menyirami kuba h-kubah istana
Mengapa sina r matahari berwarna perak, jingga, dan biru?
Sebuah keindahan yang asing
Dahan-dahan pohon ara menjalar ke dalam kamar-kamar sunyi
yang bertingkat- tingkat
Gelas-gelas kristal berdenting dialiri air zamzam
Menebarkan rasa kesejukan
Bunga petunia ditanam di dalam pot-pot kayu
Pot-pot itu digantungkan pada kosen-kosen jendela tua berwarna
Di beranda, lampu-lampu kecil disembunyikan di balik tilam, indah
Sinarnya memancarkan kedamaian
Tembus membelah perdu-perdu di halaman
Tapi aku ingin tetap di sini
Karenaku ingat janjimu Tuhan
Kalau aku datang dengan berjalan
ENGKAU akan menjemputku dengan berlari-lari
Dengan puisi ini, un tuk pertama kalinya aku mendapat n ilai
kesenian yang sedikit leb ih baik dari nilai Mahar, tapi hal itu hanya
terjadi sekali itu saja. Puisiku ini membu ktikan bahwa karya seni
yang baik, setidaknya baik bagi Bu Mus, adalah karya seni yang
jujur. Namun, aku punya cerita yang panjang dan kurasa cukup
penting mengapa kali ini Mahar tidak mendapatkan nilai kesenian
tertinggi seperti baisanya.
Semua itu gara-gara sekawanan burung hebat nan misterius
yang din amai orang-orang Belitong sebagai burung pelintang p
Nama burung pelintang pulau selalu menarik perhatian siapa
saja, di mana saja, terutama di pesisir. Sebagian orang malah
menganggap burung ini semacam makhluk gaib. Nama burung ini
mampu menggetarkan nurani orang-orang pesisir sehubungan
dengan nilai-nilai mitos dan pesan yang dibawanya.
Burung pelin tang pulau amat asing. Para pencinta bur ung
lokal dan orang-orang pesisir hanya memiliki pengetahuan yang
amat minim mengenai b urung ini. Di mana habitatnya, bagaimana
rupa dan ukuran aslinya, dan apa makanannya, selalu jadi polemik.
Hanya segelintir orang yang sedang beruntung saja pernah
melihatnya langsung. Burung ini tak pern ah tertangkap hiduphidup. Kerahasiaan bruung ini adalah konsekuensi dari
Nama pelintang pulau adalah cerminan kebiasaan burung ini
terbang sangat kencang dan jauh tinggi melintang (melintasi) pulau
demi pulau. Mereka hanya singgah sebentar dan selalu hinggap di
puncak tertinggi dari pohon-p ohon yang tingginya puluhan meter
seperti pohon medang dan tanjung. Singg ahnya pun tak pern ah
lama, tidak untuk makan apa pun. Mereka sangat liar, tidak
mungkin bisa didekati.
Setelah hinggap sebentar dengan kawanan lima atau enam
ekor mereka terburu- buru terbang dengan kencang ke arah yang
sama sekali tak dapat diduga. Banyak orangyang percaya bahwa
mereka hidup di pulau-pulau kecil yang tak dihuni manusia.
Sementara mitos lain mengatakan bahwa burung-burung ini
hanya hinggap sekali saja pada sebuah kanopi di setiap pulau.
Merekam enghabiskan sebagian b esar hidupnya terbang tinggi di
angkasa, melintas dari satu p ulau ke pulau lain yang berjumlah
puluhan di perairan Belitong.
Orang-orang Melayu pesisir percaya bahwa jika burung ini
singgah di kampung maka per tan da di laut sedang terjadi badai
hebat atau angin puting beliung. Sering sekali kehadirannya
membatalkan niat nelayan yang akan melaut. Tapi ada penjelasan
lo gis untuk pesan ini, yaitu jika mereka memang tinggal di
pulauterpencil maka badai laut akan menyap u p ulautersebut dan
saat itulah mereka menghindar menuju pesisir lain.
Burung yangkon on sangat cantik dengan do minasi warna
biru dan kuning ini berukuran seperti burung bayan. Tapi aku agak
kurang setuju dengan pendapat itu. Aku setuju dengan warnanya,
tapi ukurannya pasti jauh lebih besar , karena saksi mata melihatnya
berteng ger pulu han meter darinya sehingga akan tampak lebih
Perkiraanku burung itu paling tidak berpenampilan seperti
burung rawe yang beringas atau peregam segagah rajawali.
Demikianlah burugn pelintang pulau, semakin misterius keberadaan
nya, semakin legendaris ceritanya. Mungkinkah burung ini b elu m
terpetakan oleh para ahli ornitologi? Namun, burung apa p un itu,
ketika melakukan semacam penelitian untuk membuat tu gas
kesenian yang ia putuskan berupa lukisan, Mahar mengaku melihat
burung pelintang pulau nun jauh tinggi berayun -ayun di pucuk-
pucuk meranti. Ia pontang-p anting menuju tenda untuk
memberitahukan apa yang baru saja dilihatnya, dan kami pun
menghambur masuk ke hutan untuk menyaksikan salah satu spesies
paling langka kekayaan fauna pulau B elitong itu. Sayangnya yang
kami sak sikan hanya dahan-dahan yang kosong, beberapa
ekoranak lutung yang masih berwar na kuning, dan langit hampa
yang luas menyilaukan. Mahar menjebak dirinya sendiri. Maka,
seperti biasa, mengalirlah ejekan untuk Mahar.
“Kalau makan buah bintang kebanyakan, manisnya memang
dapat membaut orang mabuk, Har, pandangan kabur, dan mulut
melantur,” Samson menarik pelatuk dan pengh ujatan pun dimulai.
“Sungguh Son, yang kulihat tadi burung pelintang pulau
“Dalam laut dapat kukira, dalamnya dusta siapa sangka,”
dengan rima pantun yang seder hana Ku cai menohok Mahar.tanpa
Keputusasaan terpancar di wajah Mahar yang tanpa dosa,
matanya mencari- cari dari dahan ke dahan. Aku iba melihatnya,
dengan cara apa aku dapat membelanya? Tanpa saksi yang
menguatkan, posisinya tak berdaya.
Kulihat dalam-dalam mata Mahar dan aku yakin yang baru
saja dilihatnya memang burung-burung keramat itu. Ah! Beruntung
sekali. Sayangnya upaya Mahar meyakinkan kami sia-sia karena
reputasinya sendiri yang senang membual. Itulah susahnya jadi
pembual, sekali mengajukan kebenaran hakiki di antara seribu
macam dusta, orang hanya akan menganggap kebenaran itu
sebagai salah satu dari buah kebohongan lainnya.
“Mungkin yang kau lihat tadi burung ayam-ayam yang
sengaja hinggap di dahan tepat di atasmu utnuk mengencingi
jambulmu itu,” cela Kucai.
Tawa kami meledak menusuk perasaan Mahar. Burung ayamayaman tidak ek sklusif, terdapat di mana- mana, dan senang
bercanda di sepanjang saluran pembuangan pasar ikan. Perut-perut
ikan adalah caviar bagi mereka. Burung itu selalu digunakan orang
Melayu sebagai perlambang untuk menghina. Belum reda tawa
kami Sahara berusaha menyadarkan kesesatan Mahar “Jangan
kaucampuradukkan imajinasi dan dusta, kawan. Tak tahukah
engkau, kebohongan adalah pantangan kita, larangan itu bertalutalu diseb utkan dalam buku Budi Pekerti Muhammadiyah. .
Trapan i mencoba sedikit berlogika, “Barangkali kau salah
lihat Har, keluarga Lintang saja yang sudah empat turunan tinggal di
pesisir tak pernah sekalipun melihat burung itu apa lagi kita
yangbaru berkemah dua hari. .
Masukakal juga, tapi nasib orang siapa tahu? Situasi makin
kacau ketika sore itu ber itakunjungan burung pelin tang pulau
menyebar ke kampung dan b eberapa nelayan batal melaut. Ibu
Mus takenak hati tapi tak mengerti bagaimana menetralisasi
suasana. Mahar semakin terpojok dan merasa bersalah. Namun
percaya atau tidak, malamnya angin bertiup sangat kencang
mengobrak-abr ik tenda kami. Beberapa batang poh on cemara
tumbang. Di laut kami melihat petir menyambar-nyambar dengan
dahsyat dan awan hitam di atasnya berugulung-gulung mengerikan.
Kami lari terbirit-birit men cari perlindungan ke rumah penduduk.
“Mungkin yang kau lihat tadi sore benar-bear burung
pelintang pulau , Har,.
kata Syahdan gemetar.
Mahar diam saja. Aku tahu kata “mungkin” itu tidak tepat.
Bagaimanapun juga badai ini sedikit banyak memihak ceritanya,
mengurangi rasa ber salahnya, dan dapat menghindarkannya dari
cap pembual, apalagi esoknya para nelayan berterima kasih
padanya. Namun, ternyata temannya masih meragu kannya dengan
menggunakan kata “mungkin”, padahal tenda kami sudah hancur
lebur diaduk-aduk badai. Rasa tersinggungnya tidak berkurang
sedikit pun. Pada tingkat ini dia sudah merasa dirinya seorang
persona nongrata , orang yang tak disukai.
Demikianlah dari waktu ke waktu kami selalu memperlaku kan
Mahar tanpa perasaan. Kami lebih melihatnya sebagai seorang
bohemian yang aneh. Kami dibutakan tabiat orang pada umumnya,
yaitu menganggap diri paling baik, tidak mau mengakui keunggulan
orang, dan mencari-cari kekurangan orang lain untuk menutu pi
ketidakbecusan diri sendiri.
Kami jarang sekali ingin secarao bjektif membu ka mata
melihat bakat seni hebat yang dimiliki Mahar dan bagaimaan bakat
itu berkembang secara alami dengan menak jubkan. Namun, tak
mengapa, lihatlah sebentar lagi, seluruh ketidak adilan selama
beberapa tahun ini akan segara dibalas tuntas olehnya dengan
setimpal. Cerita akan semakin seru! Besoknya Mahar membuat
lukisan berjudu l “Kawanan Burung Pelintang Pulau”. Sebuah tema
yang menarik. Lukisan itu berupa lima ekor burung yang tak jelas
bentuknya melaju secepat kilat menembus celah-celah pucuk pohon
meranti. Latar belakangnya adalah gumpalana awan kelam yang
memancing badai hebat. Hamparan laut dilukis biru gelap dan per
mukaannya berkilat-kilat memantulkan cahaya halilintar di atasnya.
Kelima ekor burung itu hanya ditampakkan beru pa ser pihanserpihan warna hijau dan kuning dengan ilustrasi tak jelas, seperti
sesuatu yang berkelebat sangat cepat.
Jika dilihat sepin tas, memang masih terlihat samar-samar
seperti lima kawanan burung tapi kesan seluruhnya adalah seperti
sambaran petir berwarna-warni. Sebuah lukisan penuh daya mito s
Dengan kekuatan imajinasinya Mahar berusaha
mengabadikan sifat-sifat misterius burung ini. Yang ada dalam
pemikiran di balik lukisan nya bukanlah bentuk an ato mis burung
pelintang pulautapi representasi sebuah legenda magis, sifat-sifat
alami burung pelintang pulau yang fenomenal, keterbatasan
pengetahuan kita tentang mereka, karakternya yang suka menjauhi
manusia, dan mitos-mitos ganjil yang menggerayangi setiap kepala
Lukisan Mahar sesungguhnya merup akan swebuah karya
hebat yang memiliki nyawa, mengand ung ribuan kisah, menentang
keyakinan, dan mampu menggugah perasaan. Namun, Mahar
tetaplah anak kecil dengan keterbatasan kosa kata untuk
menjelaskan maksudnya. Ia kesulitan menemukan orang yang dapat
memahaminya, dan lebih dari itu , ia juga seniman yang bekerja
berdasarkan suasana hati. Maka ketika Samson, Syahdan, dan
Sahara berpendapat bahwa bentuk burung yang tak jelas karena
Mahar sebenarnya tak pern ah melihatnya, Mahar kembali
tenggelam dalam sarkasme, mood -nya rusak beran takan.
Inilah kenyataan pahit dunia nyata. Begitu banyak seniman
bagus yang hidup di an tara orang-orang bu ta seni. Lingkungan
umumnya tak memahami mereka dan lebih parah lagi, tanpa beban
berani memberi komentar seenak udelnya. Ketika Mahar sudah
berpikir dalam tataran imajinasi, simbol, dan substansi, Samson,
Syahdan , dan Sahara masih berpikir harfiah. Kasihan Mahar,
seniman besar kami yang sering dilecehkan.
Karena kecewa sebab karyanya dianggap tak jujur, Mahar
setengah hati menyerahkan karyanya kepada Bu Mus sehingga
terlambat. Inilah yang menyebabkan nilai Maharagak berkurang
sedikit. Yaitu karena melanggar tata tertib batas penyerahan tugas,
bukan karena pertimbangan artistik . Ironis memang.
“Kali ini Ibunda tidak memberimu nilai terbaik untuk
mendidikmu sendiri,” kata Bu Mus dengan bijak pada Mahar yang
“Bu kan karena karyamu tidak bermutu, tapi dalam bekerja
apa pun kita harus memiliki disiplin..
Aku rasa pandangan ini cukup adil. Sebaliknya, aku dan kami
sekelas tidak menganggap keunggulanku dalam nilai kesenian
sebagai momentu m lahirnya sen iman baru di kelas kami. Seniman
besar kami tetap Mahar, the one and only .
Adapun Mahar yang nyentrik sama sekali tidak peduli. Ia tak
ambil p using mengen ai bagaimana karya-karya seninya dinilai
dalam skala angka-angka, apalagi sekarang ia sedang sibuk. Ia
sedang berusaha keras memikirkan konsep seni untuk karnaval 17
Ada Cinta Di Toko Kelontong Bobrok Itu
MEMANG menyenangkan menginjak remaja. Di sekolah, mata
pelajaran mulai terasa berman faat. Misalnya pelajaran membuat
telurasin, menyemai biji sawi, membedah perut kodok, keterampilan
menyulam, menata janur, membuat pupuk dari kotoran hewan, dan
praktek memasak. Konon di Jep ang pada tingkat ini para siswa
telah belajar semikon duktor, sudah bisa menjelaskan perbedaan
antara istilahan alog dan digital, sudah belajar membuat animasi,
belajar software development , ser ta praktik merakit robot.
Tak mengapa, lebih dari itu kami mulai terbata-bata
berbahasa Inggris: Good this , good that, excuse me, I beg yo ur
pardon, dan I am fine thank you. Tugas yang paling menyenangkan
adalah belajar menerjemahkan lagu. Lagu lama Have I Told You
Lately That I Love You ternyata mengandung arti yang aduhai.
Dengarlah lagu penuh peson a cin ta ini. Bermacam-macam vokalis
kelas satu telah membawakannya termasuk pria midlan d bersuara
serak: Mr. Rod Stewart. Tapi sedapat mungkin dengarlah versi
Kenny Rogers dalam album Vote For Lo ve Volume 1 . Lagu can tik
itu ada di trek pertama.
Syair lagu itu kira-kira bercerita tentang seorang anak muda
yang benci sekali jika disuruh gurunya membeli kapur tulis, sampai
pada suatuhari ketika ia berangkat dengan jengkel untuk membeli
kapur tersebut, tanpa disadarinya, nasib telah menunggunya di
pasar ikan dan menyergapnya tanpa ampun .
Membeli kapuradalah salah satu tu gas kelas yang paling tidak
Pekerjaan lain yang amat kami benci adalah menyiram bunga.
Beragam familia pakis mu lai dari kembang tanduk rusa sampai
puluhan po t suplir kesayangan Bu Mus serta rupa-rupa kaktus topi
uskup , Parodia , dan Mammillaria harus diperlaku kan dengan
sopan seperti porselen mahal dari Tiongkok. Belum lagi
deretanpanjang p ot amarilis, kalimatis, azalea, nanas sabrang, C
alathea , Stro man the , Abutilon , kalmus, damar kamar, dan
anggrek Dendrobium dengan berbagai variannya. Berlaku semenamen a terhadap bunga-bunga ini merupakan pelanggaran ser ius.
“Ini adalah bagian dari pen didikan! ” pesan Bu Mus serius.
Masalahnya adalah mengambil air dari dalam sumur di
belakang sekolah merupakan pekerjaan kuli kasar. Selain harus
mengisi penuh dua buah kaleng cat 15 kilogram dan pontang-pan
ting memikulnya, sumur tua yang angker itu sangat mengerikan .
Sumur itu hitam, berlumut, gelap, dan menakutkan. Diameternya
kecil, dasarnya tak kelihatan saking dalamnya, seolah tersambung ke
dunia lain , ke sarang makhluk jadi-jadian . Beban hidup terasa
berat sekali jika pagi-pagi sekali harus menimba air dan menund uk
Hanya ketika menyirami bunga strip ped canna beauty aku
merasa sed ikit terhibur. Ah, indahnya bunga yang semula tumbuh
liar di bukit-bukit lembap di Brazil ini. Masih dalam familia
Apocynaceae maka agak sedikit mirip dengan alamanda tapi stripstrip putih pada bunganya yang berwarna kuning adalah daya tarik
tersendiri yang tak dimiliki jenis canna lain. Daun hijaunya yang
menjulur gemuk-gemuk kontras dengan gradasi warna kuntum
bunga sepanjang musim, menghadirkan pesona keindahan p urba.
Orang Parsi menyebutnya bunga surga. Jika ia merekah maka dunia
tersenyum. Ia adalah bunga yang emosional, maka menyiramnya
Tidak semua orang dapat menumbuhkannya. Konon hanya
mereka yang bertangan dingin, berhati lembut putih bersih yang
mamp u membiakkannya, ialah Bu Muslimah, guru kami.
Kami memiliki b eberapa pot stripped canna beauty dan sep
akat menempatkan nya pada po sisi yang terhormat di antara
tanaman-tanaman kerdil nan cantik Peperomia , daun picisan,
sekulen, dan Ardisia . Ketika tiba musim bersemi bersamaan, maka
tersaji sebuah pemandangan seperti kue lapis di dalam nampan.
Aku selalu tergesa-g esa menyirami bunga biar tugas itu cepat
selesai, namun jika tiba pada bagian canna itu dan para tetangganya
tadi, aku berusaha setenang- tenangnya. Aku menikmati suatu
lamunan, menduga-d uga apa yang dibayangkan orang jika berada
di tengah-tengah surga kecil ini. Apakah mereka merasa sedang
berada di taman Jurassic? Aku melihat sekeliling kebun bunga kecil
kami. Letaknya persis di depan kantor kepala sekolah. Ada jalan
kecil dari batu-batu persegi empat menu ju kebun ini. Di sisi kiri
kanan jalan itu melimpah ruah Monstera , Nolina , Violces , kacang
polong, cemara udang, keladi, begonia , dan aster yang tumbuh
tinggi-tinggi serta tak per lu disiram.
Bunga-bunga ini tak teratur, kaya raya akan nektar, berdesakdesakan dengan bunga berwarna menyala yang tak dikenal,
bermacam-macam rump ut liar, kerasak , dan semak ilalang.
Secara umum kebun bunga kami mengensankan taman yang
dirawat sekaligus kebun yang tak terpelihara, dan hal ini justru
secara tak sengaja menghadirkan paduan yang menarik hati. Latar
belakang kebun itu adalah sekolah kami yang doyong, seperti
bangunan kosong tak dihuni yang dilupakan zaman. Semuanya
memperkuat kesan sebuah paradiso liar, keeksotisan tropika.
Lalu erambat pada tiang lonceng adalah dahan jalar labu air.
Seperti tangan rak sasa ia menggerayangi dinding papan pelepak
sekolah kami, tak terbendung menujangkau-jangkau atap sirap yang
terlep as dari pakunya. Sebag ian dahannya merambati pohon
jambu mawar dan dlima yang meneduhi atap kantor itu. Cabangcabang buah muda labu air terkulai di depan jendela kantor
sehingga dapat dijangkau tangan . Burung-burugngelatik rajin
bergelantungan di situ. Sepanjang pagi tempat itu riuh r endah oleh
suarakumbang dan lebah madu. Jika aku memusatkan pendengaran
pada dengungan ribuan lebah madu itu, lama-kelamaan tubuhku
seakan kehilangan daya berat, mengapung di udara. Itulah kebun
sekolah muhammadiyah, indah dalam ketidakteraturan, seperti
lukisan Kandinsky. Kalau bukangara-gara su mur sarang jin yang
hor or itu, pekerjaan menyiram bung a seharusnya b isa menjadi
tugas yang menyen angkan.
Namun, tugas memebli kapuradalah pekerjaan yang jauh
lebih horor . Toko Sinar Harapan, pemasok kapur satu-satunya di
Belitong Timur, amat jauh letaknya.
Sesampainya di sana—di sebuah toko yang sesak di kawasan
kumuh pasar ikan yang becek— jika perut tidak kuat, siapa pun
akan muntah karena bau lobak asin, tauco, kanji, keru puk udang,
ikan teri, asam jawa, air tahu, terasi, kembang kol, pedak cumi,
jengkol, dan kacang merah yang ditelantarkan di dalam baskombaskom karatan di depan toko.
Jika beran i masu k ke dalam toko, bau itu akan bercampur
dengan bau plastik bungkus mainan anak-anak, aroma kapur barus
yang membuat mata berair, bau cat minyak, bau gaharu , bau
sabun colek, bau obat nyamuk, bau ban dalam sepeda yang
bergelantungan di sembarang tempat di seantero toko, dan bau
tembakau lapu k di atas rak -rak b esi yang telah ber tahun-tahun
Dagangan yang tak laku ini tidak dibuang karena pemiliknya
menderita suatu gejala psikologis yang disebut hoarding , sakit gila n
o. 28, yaitu hobi aneh mengumpulkan barang-barang rongso kan
tak berguna tapi sayang dibuang. Seluruh akumulasi bau tengik itu
masih ditambah lagi dengan aroma keringat kuli-kuli panggul yang
petantang-p etenteng membawa gancu, ingar- bingar dengan
bahasanya sendiri, dan lalu- lalang seenaknya memanggu l karung
Belum seberapa, pusat bau busuk yang sesung guhnya berada
di lo s pasar ikan yang bersebelahan langsung dengan Toko Sinar
Harapan. Di sini ikan hiu dan pari dsangkutkan pada can tolan paku
dengan cara menusukkan banar mulai dari insang sampai ke mulu t
binatang malang itu, sebuah pemandangan yang mengerikan. Bau
amis darah menyebar keseluruh sudut pasar. Perut-perut ikan
dibiarkan bertump uk-tumpuk di sep anjang meja, berjejal tumpah
berserakan di lantai yang tak pernah dibersihkan.
Dan bau yang paling parah berasal dari makh luk-makh luk
laut hampir busuk yang disimpan dalam peti-p eti terbuka dengan es
Pagi itu giliran aku dan Syahdan berangkat ke toko bobrok
itu. Kami naik sepeda dan membuat perjanjian yang bersungguh -
sungguh, bahwa saat berangkat ia akan memboncengku. Ia akan
mengayuh sepeda setengah jalan sampai ke sebuh kuburan
Tionghoa. Lalu aku akan menggantikannya mengayuh sampai ke
pasar. Nanti pulangnya berlaku aturan yang sama. Suatu
pengaturan tidak masuk akal yang dibuat oleh orang-orang frustrasi.
Ditambah lagi satu syarat cerewt lainnya, yaitu setiap jalan menan
jak kami harus turun dari sepeda lalu sepeda dituntun bergantian
dengan umlah langkah yang diperhitungkan secara teliti.
Tu buh Syahdan yang kecil terlonjak-lonjak di atas batang
sepeda laki punya Pak Harfan saat ia bersusah payah mengayuh
pedal. Sepeda itu terlalu besar untuknya sehingga tampak seperti
kendaraana yang tak bisa iakuasai, apalagi dibebani tu buhku di
tempat duduk belakang. Namun, ia bertekad terus mengayuh sekuat
tenaga. Siapa pun yang melihat pemandangan itu pasti prihatin
sekaligus tertawa. Tapi suasana hatiku sedang tidak peka untuk
segala bentuk komedi. Aku duduk di belakang, tak acuh pada
“Turun d ulu, tuan raja ...,” Syahdan menggodaku ketika sep
Ia ngos-ngosan, tapi tersenyum lebar dan membungkuk
laksana seorangp enjilat.
Syahdan selalu riang menerima tugas apa pun, termasuk
menyiram bunga, asalkan dirinya dapat menghin darkan diri dari
pelajaran di kelas. Baginya acara pembelian kapur ini adalah
vakansi kecil-kecilan sambil melihat beragam kegiatan di pasar dan
kesempatan mengobrol dengan b eberapa wanita muda pujaan nya.
Aku turun dengan malas, dingin, tak tertarik dengan kelakarnya, dan
tak punya waktu untuk bertoleransi pada penderitaan p ria kecil ini.
Kami sampai di sebuah Toapekong. Di depannya ada
bangunan rendah berbentuk seperti kue bulan dan di tengah
bangunan itu tertempel foto hitam putih wajah serius seorang
nyonya yang disimpan dalam bidang yang ditutupi kaca. Lelehan
lilin merah berserakan di sekitarnya. Itulah kuburan yang kumaksud
taid dalam perjan jian kami, maka tibalah giliranku mengayuh
Aku naiki sepeda itu tanpa selera, setengah hati, dan sejak
gelindingan ro da yang pertama aku sudah memarahi diriku sen diri,
menyesali tugas ini, toko busuk itu, dan pengaturan bodoh yang
kami baut. Aku menggerutu karena rantai sepeda reyo t itu terlalu
kencang sehingga berat untuk aku mengayuhnya. Aku juga
mengeluh karena hukum yang tak pernah memihak orang kecil:
sadel yang terlalu tinggi, para koruptor yang bebas berkeliaran
seperti ayam h utan, Syahdan yang berat meskipun badannya kecil,
dunia yang tak pernahadil, dan baut dinamo sepeda yang longgar
sehingga gir- nya menempel di ban akibatnya semakin berat
mengayuhnya dan menyalakan lampu sepeda di siang bolong ini
persis kendaraan pembawa jenazah.
Syahdan du duk dengan penuh nikmat di tempat du duk
belakang sambil menyiul-nyiulkan lagu Semalam di Malaysia . Ia tak
ambil pusing mendegar ocehanku, peluh hampir masuk ke dalam
kelopak matanya tapi wajahnya riang gembira tak alang kepalang.
Lalu kami memasuki wilayah bangunan permanen yang
berderet- deret, berhadapan satu sama lain hampir beradu atap.
Inilah jejeran toko kelontong dengan konsep menjual semua jenis
barang. Sepeda kami meliuk-liuk di antara truk-truk rak sasa yang
diparkir seenak nya di depan warung-warung kopi. Di sana hiruk
pikuk para karyawan rendahan PN Timah, pengangguran, b
romocorah, pensiun an, pemulung besi, polisi pamong praja, kuli
panggul, sopir mobil omprengan, para penjaga malam, dan pegawai
negeri. Pemb icaraan mereka selalu seru , tapi selalu tentang satu
topik, yaitu memaki-maki pemerintah.
Setelah deretan warung kopi lalu berdiri hitam berminyakminyak beberapa bengkel sepeda dan tenda-tenda pedagang kaki
lima. Kelompok ini berada di sela-sela mobil omp rengan dan para
pedagang dadakan dari kampung yang menjual berbagai hasil bumi
dalam keranjang-keranjang pempang. Pedagang kampung ini
menjual beragam jenis rebung, umb i-umbian, pinang, sirih, kayu
bakar, mad u pahit, jeru k nipis, gaharu, dan pelanduk yang telah
diasap. Bagian ak hir pasar ini adalah meja-meja tua panjang, par itparit kecil yang mampet, dan tong-tong besar untuk menampung
jeroan ikan, sapi, dan ayam. Baunya membuat perut mual. Inilah
Pasar ini sengaja ditempatkan di tepi seungai dengan maksud
seluruh limbahnya, termasuk limbah pasar ikan, dapat dengan
mudah dilungsurkan ke sungai.
Tapi pasar ini berada di dataran rendah. Akibatnya jika laut
pasang tinggi sungai akan menghanyutkan kembali gunungan
sampah organik itu menu ju lorong-lorong sempit pasar. Lalu ketika
air surut sampah itu tersangkut pada kaki-kaki meja, tumpukan
kaleng, pagar-pagar yang telah patah , pangkal-pangkal pohon seri,
dan tiang-tiang kayu yang cen tang perenang. Demikianlah pasar
kami, hasil karya perencanaan kota yang canggih dari para arsitek
Melayu yang paling kampungan . Tidak dekaden tapi kacau balau
Toko Sinar Harapan terletak sangat strategis di tengah p
usaran bau busuk. Ia berada di antara para pedagang kaki lima,
bengkel sepeda, mobil-mobil omprengan, dan pasar ikan.
Pembelian sekotak kapuradalah transaksi yang tak penting
sehingga pembelinya harus menunggu sampai juragan toko selesai
melayani sekelompok pria dan wanita yang menutup kepalanya
dengan sarung dan berpakaian dengan dominasi warna kuning,
hijau , dan merah. Di sekujur tubuh wanita-wanita ini bertaburan
perhiasan emas—asli maupun imitasi, perak, dan kuningan yang
Mereka tidak tertarik untuk berbasa-basi dengan orang-orang
Melayu di sekelilingnya. Mereka hanya berbicara sesama mereka
sendiri atau sed ikit bicara dengan Bang Sadatau “bangsat”. Itulah
panggilan untuk Bang Arsyad, orang Melayu, tangan kalaA Miauw
sang juragan Toko Sinar Harapan, karena kadang-kadang tabiat
Bang Sad tak jauh dari namanya. Pria-pria bersar ung ini berbicara
sangat cepat dengan nada yang beresklasi harmonis naik turun
dalam band yang lebar , maka akan terdengar persis pola akumulatif
suara ombak menghemp as pantai, suatu lingua yang sangat cantik.
A Miauw sendiri adalah sesosok teror. Pira yang sok mendapat
hoki ini sangat berlagak bagai b os. Tubuhnya gend ut dan ia selalu
memakai kaus kutang, celan a pendek, dan sandal jepit. Di
tangannya tak pernah lepas sebuah buku kecil panjang bersampul
motif batik, buku u tang. Pensil terselip di daun telinganya yang
berdaging seperti bakso dan di atas mejanya ada sempoa besar
yang jika dimain kan bunyinya mampu merisaukan pikiran.
Tokoknya lebih cocok jika disebut gudang rabat. Ratusan jenis
barang bertumpuk-tu mpuk mencapai plafon di dalam ruangan kecil
yang sesak. Selain berbagai jenis sayur, buah, dan makanan di
dalam baskom-baskom karatan tadi, toko ini juga menjual sajadah,
asinan kedondong dalam stopelas-stoples tua, pita mesin tik, dan cat
besi dengan bonus kalender wanita berpakaian seadanya.Di dalam
sebuah bufet kaca panjang dip ajang bedak kerang pemutih wajah
murahan, tawas, mercon, peluru senapan angin, racun tikus,
kembang api, dan antena TV. Jika kita terburu-buru membeli obat
diare cap kupu-kupu, maka jangan harap A Miauw dapat segera
Kadang-kadang ia sendiri tak tahu di mana puyer itu
disimpan. Ia seperti tertimbun dagangan dan tenggelam di tengah
pusaran barang-barang kelontong.
A Miauw memanggil tak sabar, dan Bang Sad tergo pohgopoh menghampirinya.
Ma gai di Mangg ara masempo linna? .
Orang-orang bersarung keberatan ketika mengamati har ga
kaus lampu petromaks. Di Manggar leb ih murah kata mereka.
Kito lui, ba? Nga pe de Manggar harge e lebe mura? .
Bang Sad menyampaikan keluhan itu pada juragannya dalam
bahasa Kek campur Melayu.
Aku sudah muak di dalam toko bau ini tapi sedikit terhibur
dengan percakapan tersebut. Aku bar u saja menyaksikan
bagaimana kompleksitas per bedaan budaya dalam komunitas kami
didemonstrasikan. Tiga orang pria dari akar etnik yang sama sekali
berbeda berko munikasi dengan tiga macam bahasa ibu masingmasing, campuraduk.
Orang-orang yang berjiwa penuh prasangka akan menduga A
Miau w sengaja merekayasa konfigurasi komunikasi seperti itu untuk
keuntungannya sendiri, namun mari ku gambarkan sedikit
kepribadian A Miauw. Ia memang pria congkak dengan intonasi
bicara takenak didengar, wajahnya juga seperti orang yang selalu
ingin memerintah, kata-katanya tidak bersahabat, dan badannya
bau tengik bawang putih, tapi ia adalah seorang Kong Hu Cu yang
taat dan dalam hal berniaga ia jujur tak ada bandingannya.
Maka dalam harmoni masyarakat kami, warga Tionghoa
adalah pedagang yang efisien. Adapun para produsen berada di
negeri antah berantah, mereka hanya kami kenal melalui tulisan
made in ... yang tertera di buntut-buntut panci. Orang-orang Melayu
adalah kaum konsumen yang semakin miskin justru semakin
Sedangkan orang-orang pulau berkerudung tadi adalah para
pembuka lapangan kerja musiman bagi warga suku Sawang yang
memanggil belanjaan mereka.
S egere! Siun! Siun! ” hardik tiga orang Sawang, kuli panggul,
yang numpang lewat, membyuarkan lamun anku. Mereka adalah
kawan yang telah lamakukenal.
Dolen, Baset, dan Kunyit, begitulah nama mereka. Agak nya
urusan A Miauw dengan orang-orang berkerudung itu telah selesai
dan sekarang masuk lah ia ke transaksi kap ur.
“Aya...ya. .., Muhammadiyah! Kap ur tulis!” keluh A Miauw
menarik napas panjang, seolah kami hanya akan merusak hokinya.
Acara pemb elian kap uradalah rutin dan sama. Setelah
menunggu sekian lama sampai hampir pingsan di dalam toko bau
itu, A Miauw akan berteriak nyaring memerintahkan seseorang
mengambil sekotak kapur. Lalu dari ruang belakang akan terdengar
teriakan jawaban dari seseorang— yang selalu kuduga seorang gadis
kecil— yang juga berbicara nyaring, lantang, dan cepat seperti
kicauan burung murai batu.
Kotak kapur dikeluarkan melalui sebuah lubang kecil per segi
empat seperti kandang burung mer pati. Yang terlihat hanya sebuah
tangan halus, sebelah kanan, yang sangat putih bersih, menjulurkan
kotak kapur melalui lubang itu. Wajah pemilik tangan ini adlaah
misterius, sang burung murai batu tadi, tersembunyi di balik dinding
papan yang membatasi ruangan tengah toko dengan gudang barang
dagangan di belakang.
Sang misteri ini tidak pernah b icara sepatah kata pun padaku.
Ia menjulurkan kotak kapur dengan tergesa-gesa dan menarik
tangannya cep at-cepat seperti orang mengumpankan daging ke
kandang macan. Demikianlah berlangsung bertahun-tahun,
prosedurnya tetap, itu-itu saja, tak berubah.
Jika tangan nya menjulur tak kulihat ada cin cin di jarijemarinya yang lentik, halus, panjang-panjang, dan ramping, namun
siuka , gelang giok indah berwarna hijau tampak berkarakter dan
melingkar garang pada pergelangan tangannya yang ditumbuhi
bulu-bulu halus. Dalam hatiku, jika kau berani macam-macam p
astilah jemarinya secepat patukan bangau menusuk kedua bola
mataku dengan gerakan kuntau yang tak terlihat. Mungkin pula
gelang giok yang selalu membuatku segan itu diwarisinya dari
kakeknya, seorang suhu sakti, yang mendapatkangelang itu dari
mulut seekor naga setelah naga itu dibinasaan dalam pertarunagan
dahsyat untuk merebut hati neneknya.
Ah! Kiranya aku terlalu banyak nonton film shaolin.
Namun, tahu kah Anda? Di balik kesan yang garang itu , di
ujung jari-jemari lentik si misterius ini tertanam paras-paras kuku
nan indah luar biasa, terawat amat baik, dan sangat memesona,
jauh lebih memeson a dibanding gelang g iok tadi. Tak pernah
kulihat kuku orang Melayu seindah itu, apalagi kuku orang Sawang.
Ia tak pernah memakai kuteks. Aliran urat-urat halus berwarna
merah tersembunyi samar- samar di dalam kukunya yang saking
halus dan putihnya sampai tampak transparan.
Ujung- ujung kuku itu dipo tong dengan pr esisi yang
mengagumkan dalam bentuk seperti bulan sabit sehingga
membentuk harmoni pada kelima jarin ya.
Permukaan kulit di seputar kukunya sangat rapi, menandakan
perawtan intensif dengan merendamnya lama-lama di dalam bejan
a yang berisi air hangat dan pucuk- pucuk daun kenanga. Ketika
memanjang, kuku -kuku itu bergerak maju ke dep an dengan bentuk
menunduk dan menguncup, semakinindah seperti batu-batu kecu
bung dari Martapura, atau lebih tepatnya seperti batu kinyang air
muda kebiru -biruan yang tersembunyi di kedalaman dasar Sungai
Mirang. Amat berb eda dengan kuku Sahar yang jika memanjang ia
akan melebar dan makin lama semakin menganga, persis seperti
Dan yang tercantik dari yang paling cantik adalah kuku jari
manisnya. Ia memperlihatkan seni perawatan kuku tingkat itnggi
melalui potongan pendek natural dengan tepian kuku berwarnakulit
yang klasik. Tak berleb ihan jikakukatakan bahwa paras kuku jari
manis nona misterius ini laksana batu merah delima yang terindah
di antara tumpukan harta karun raja brana yang tak ternilai
Aku sudah terlalu sering mendapatkan tugas membeli kap ur
yang menjengkelkan ini, sudah puluhan kali. Satu-satunya
penghiburan dari tugas hor or ini adalah kesempatan menyaksikan
sekilas kuku-kuku itu lalu menertawakan bagaimana
kontrasnyakuku-kuku zamru d khatulistiwa tersebut dibanding
potongan- potongan kecil terasi busuk di seantero toko bobrok ini.
Karena terlalu sering, aku jadi hafal jadwal si nona misterius
memotong kukunya setiap hari Jumat, lima minggu sekali.
Demikianlah berlangsung selama beberapa tahun. Aku tak
pernah seklai pun melihat wajah non aini dan ia pun sama sekali tak
berminat melihat bagaimana rupaku.
Bah kan setiap kuucapkan kamsia setelah kuterima kotak
kapurnya, ia juga tidak menjawab. Diam seribu bahasa. Non penuh
rahasia ini seperti pengejawantahan makhluk asing dari negeri antah
berantah, dan ia dengan sangat konsisten menjaga jarak
denganku. Tidak ada basa basi, tak adangobrol-ngobrol, tak ada
buang-buang waktu untuk soal remeh-temeh, yang ada hanya b
isnis! Kadangkala aku penasaran ingin melihat bagaimana wajah
pemilik kuku -kuku nirwana itu . Apakah wajahnya seindah kukukukunya? Apakah jari-jari tangan kirinya seindah jari-jari tangan kan
annya? Atau .. . apakah dia Cuma punya satu tangan? Janganjangan dia tidak punya wajah ! Tapi semua pikiran itu hanya di
dalam hatiku saja. Tak adaniat sedikit pun untuk mengintip
wajahnya. Mendapat kesempatan memandangi kuku-kukunya saja
pun cukuplah untuk membuatku bahagia. Kawan , aku tidak
termasuk dalam golongan pria-pria yang kurang ajar.
Biasanya setelah mengambil kapur, ikami langsung pulang, A
Miauw akan mencatat di buku utang dan nanti akan dilunasi Pak
Har fan setiapakhir bulan. Kami tak berurusan dengan masalah
keuangan, dan ketika kami berlalu, si juragan itu tak sedikit pun
melirik kami. Ia menjentikkan dengan keras biji-biji sempoe seolah
mengingatkan “Utang kalian sudah menumpuk!.
Bagi A Miauw kami adalah pelanggan yang tidak
menguntungkan, alias hanya merepo tkan saja. Kalau sekali-kali
Syah dan mendekatinya untuk meminjam pompa sepeda, ia akan
meminjamkan pompa itu sambil mengomel meledak-ledak. Aku
benci sekali melihat kaus kutangnya itu.
Sekarang sudah hampir tengah hari, udara s emakin panas.
Berada di tengah toko ini serasa direbus dalam panci sayur lo deh
yang mendidih. Cuaca mendung tapi gerahnya tak terkira. Aku
sudah tak tahan dan mau muntah. Untungnya A Miauw, seperti
biasa, menjerit memerintah kan nona misterius agar menjulurkan
kap ur di kotak merpati. Dengan pandangan matanya yang sok
kuasa A Miauw memberiku isyarat untuk mengambil kapur itu.
Aku berjalan cepat melintas iakrung- karung bawang putih
tengik sambil menutup hid ung. Aku bergegas agar tugas penuh
siksaan ini segera selesai. Namun, tinggal beberapa langkah
mencapai kotak merpati sekejapangin semilir yang sejuk berembus
meniup telingaku—hanya sekejap saja. Saat itu tak kusadari bahwa
sang nasib yang gaib menyelinap ke dalam toko bobrok itu,
mengepungku, dan menyergapku tanpa ampun, karena tepat pada
momen itu ku dengar si nona berteriak keras mengejutkan:
Ber samaan dengan teriakan itu terdengar suara puluhan
batangan kap ur jatuh di atas lantai ubin.
Rupanya si kuku cantik semb rono sehingga ia menjatuh kan
kotak kapur sebelum aku sempat mengambilnya. Maka kapur-kap ur
itu sekarang berserakan di lantai.
Agaknya aku harus merangkak-rangkak, memunguti kapurkapur itu di sela-sela karung buah kemiri, meskipun kulitnya telah
dikelu pas, tapi buahnya masih basah sehingga berbau
memusingkan kepala. Kuperlu kan ban tuan Syahdan, namun
kulihat ia sedang berbicara dengan p utri tukang hok lo pan atau
martabak terang bulan seperti orang men ceritakan dirinya sedang
banyakuang karena baru saja selesai men jual 15 ekor sapi. Aku tak
mau mengganggu saat-saat go mbalnya itu.
Maka apa boleh buat, kup unguti susah payah kap ur-kapur
itu. Sebagian kapur itu jatuh di bawah daun pintu terbuka yang
dibatasi oleh tirai yang amat rapat, terbuat dari rangkaian keongkeong kecil. Aku tahu di balik tirai itu, sang nona itu juga
memunguti kapur karenaku dengar gerutuan nya.
“Haiyaaa . .. haiyaaa .. ...
Ketika aku sampai pada kapur-kapur yang berserakan persis di
bawah tirai itu, hatiku berkata pasti nona ini akan segera menutup
pintu agaraku tidak punya kesempatan sedikit pun untuk melihat dia
lebih dari melihat kukunya, namun yang terjadi kemudian sungguh
di luar dugaan. Kejadiannya sangat mengeju tkan, karena amat
cepat, tanpa disangka sama sekali, si n ona misterius justru tiba-tiba
membuka tirai dan tindakan cer obohnya itu membuat wajah kami
sama-sama terperanjat hampir bersentuhan!!! Kami beradu pandang
dekat sekali ... dan suasana seketika menjadi hening ... . Mata kami
bertatapan dengan perasaan yang tak dapat kulukiskan dengan
kata-kata. Kapur-kapur yang telah iakumpulkan terlepas dari geng
gamannya, jatuh berserakan, sedangkan kapur-kap ur yang ada di
genggamanku terasa dingin membeku seperti aku sedang men
cengkeram batangan-batangan es lilin.
Saat itu kau merasa jarum detik seluruh jam yang ada dunia
ini berhenti berdetak. Semua gerakan alam tersentak diam dipotret
Tuhan dengan kamera raksasa dari langit, blitz -nya membutakan,
flash !!! Menyilaukan dan membekukan. Aku terpan a dan merasa
seperti melayang, mati suri, dan mau pingsan dalam ekstase. Aku
tahu A Miauw pasti sedang ber teriak- teriak tap i aku tak
mendengar sepatah kata p un dan aku tahu per sis bau busuk toko
itu semkin menjadi-jadi dalam udara pengap di bawah atap seng,
tapi pancaindraku telah mati. Aliran darah di sekujur tubuhku
menjadi dingin, jantungku berhenti berdetak seb entar kemudian
berdegup kencang sekali dengan ritme yang kacau seperti kode
morse yang meletup-letup kan pesan SOS. Leb ih dari itu aku
menduga bahwa dia, si misterius berkuku seindah pelangi, yang
tertegun seperti patung persis di depan hidungku ini, agaknya juga
dilanda perasaan yang sama.
Siun! Siun! Segere...! ” teriak kuli-kuli Sawang, terdengar
samar, menggema jauh berulang-ulang seperti didengungkan di
dalam gua yang panjang dan dalam, mereka memintaku minggir.
Tapi kami berdua masih terpaku pandang tanpa mampu
berkata apa pun, lidahku terasa kelu, mu lutku terkunci rapat— leb
ih tepatnya ternganga. Takada satu kata pun yang dapat terlaksana.
Aku tak sanggup beranjak. Wanita ini memiliki aura yang
melumpuhkan. Tatapan matanya itu mencengkeram hatiku.
Ia memiliki struktur wajah lonjong dengan air muka yang
Hidungnya kecil dan bangir. Garis wajahnya tirus dengan
tatapan mata k harismatik menyejukkan seklaigus menguatkan hati,
seperti tatapan wanita-wan ita yang telah menjadi ibu suri. Jika
menerima nasihat dari wanita bermata semacam ini, semangat pria
mana pun akan berkobar.
Bajunya ketat dan bagus seperti akan berangkat kondangan,
dengan dasar biru dan motif kembang p ortlan dica kecil-kecil
berwarna hijau mu da menyala. Kerah baju itu memiliki kancing
sebesar jari kelingking, tinggi sampai ke leher, merefleksikan
keanggunan seorang wanita yang menjaga integritasnya dengan
keras. Alisnya indah alami dan jarak antara alis dengan batas
rambut di keningnya membentuk pr oporsi yang cantik memesona.
Ia adalah lukisan Monalisa yang ditenggelamkan dalam danau yang
dangkal dan dipandangi melalui terang cahaya bulan.
Seperti kebanyakan ras Mongoloid , tu lang pipinya tidak men
onjol, tapi bidang wajahnya, bangun bahunya, jenjang lehernya,
potongan rambutnya, dan jatuh dagunya yang elegan menciptakan
keseluruhan kesan dirinya benar-benar mirip Michelle Yeoh,
bintang film Malaysia yang cantik itu. Maka terkuaklah rahasia yang
tertutup rapi selama bertahun-tahun. Sang pemilik kuku-kuku indah
itu ternyata seorang wanita mu da cantik jelita dengan aura yang tak
dapat dilukiskan dengan cara apa pun.
Kejadian ini membaut pipinya yang putih bersih tiba-tiba
memerah dan matanya yang sipit bening seperti ingin
menghamburkan air mata. Aku tahu bahwa selain sejuta perasaan
tadi yang mungkin sama-sama melanda kami, ia juga merasakan
malu tak terkira. Ia bangkit dengan cepat dan membanting pintu
tanpa ampun. Ia tak peduli dengan kapur-kapuritu dan tak peduli
padaku yang masih hilang dalam temp at dan waktu.
Suara keras bantingan pintu itu membuatku siuman dari
sebuah peson a yang memabukkan dan menyadarkan aku bah wa
aku telah jatuh cinta. Aku limbung, kepalaku pening dan pandangan
mataku berkunang-kun ang karena syok berat.
Beberapa waktu berlalu aku masih ter duduk terbengongbengong bertu mpu di atas lu tutku yang gemetar. Aku mencoba
mengatur napas dan darahku berdesir menyelusuri seluruh tubuhku
yang berkeringat dingin . Aku bar u saja dihantam secara dahsyat
oleh cinta pertama pada pandangan yang paling pertama. Sebuah
perasaan hebat luar biasa yang mungkin dirasakan manusia.
Aku berupaya keras bangun dan ketika aku menoleh ke
belakang, orang-orang di sekelilingku , Syahdan yang menghamp
iriku, A Miau w yang menunjuk-nunjuk, orang-orang bersarung yang
pergi beriringan , dan kuli-kuli Sawang yang terhu yung- huyung
karena beban piku lan nya, mereka semuanya, seolah bergerak
seperti dalam slow motion , demikian indah , demikian anggun.
Bahkan para uli panggul yang memilikul karung jengkol tiba-tiba
bergerak penuh wibawa, santun, lembu t, dan berseni, seolah
mereka sedang memperagakan busana Armani yang sangat mahal
Aku tak peduli lagi dengan kotak kap ur yang isinya tinggal
setengah. Aku berbalik meninggalkan toko dan merasa kehilangan
seluruh b obot tubuh dan beban hidupku. Langkahku ringan laksana
orang suci yang mampu berjalan di atas air. A ku menghampiri
sepeda reyot Pak Harfan yang sekarang terlihat seperti sepeda
keranjang baru. Aku dihinggapi semacam perasasaan bahagia yang
aneh, sebu ah rasa bahagia bentuk lain yang b elu m pernah
kualami sebelumnya. Rasa bahagia ini melebihi ketika aku men
dapat hadiah radio tran sistor 2- ba nd dari ibuku sebagai upah mau
Ketika memp ersiapkan sepeda untuk p ulang, aku mencuri
pandang ke dalam toko. Kulihat dengan jelas Michele Yeoh
mengintipku dari balik tirai keong itu. Ia berlindung, tap i sama
sekali tak menyembunyikan persaaannya. Aku kembali melayang
menembus bintang gemerlapan, menari-nari di atas awan ,
menyanyikan lagu nostalgia Have I To ld You Lately That I Love
You . Aku menoleh lagi ke b elakang, di situ, di antara tumpukan
kemiri basah yang tengik, kaleng-kaleng minyak tanah, dan karungkarung pedak cumi aku telah menemukan cinta.
Kutatap Syahdan dengan senyum terbaik yang aku memiliki—
ia membalas dengan pandangan aneh— lalu kuangkat tubuhnya
yang ekcil untuk mendudukkannya di atas sepeda. Aku ingin,
degnangemira, mengayuh sepeda itu, membon ceng Syahdan,
mengantarnya ke tempat-tempat di mana saja di jagad raya ini yang
ia inginkan. Oh, inilah rupanya yang disebut mabuk kepayang!
Dalam perjalanan pulang aku dengan sengaja melanggar perjanjian.
Setelah kuburan Tiongh oa aku tak meminta Syahdan
menggantikanku. Karena aku sedang bersu kacita. Seluruh energi
positif ko smis telah memberiku kekuatan ajaib. Semua terasa adil
kalau sedang jatuh cinta. Cinta memang sering memb uat
perhitungan menjadi kacau . Sepanjang perjalanan aku bersiul
dengan lagu yang tak jelas. Lagu tanpa harmoni; lagu yang belum
pernah tercipta, karena yang menyanyi bukan mulutku, tapi hatiku.
Jika sedang tak bersiul di telingaku tak henti-henti berkumandang
lagu All I Have to Do is Dream .
Seusai pelajaran aku dan Syahdan dipanggil Bu Mus untuk
mempertanggungjawabkan kapur yang kurang. Aku diam meatung,
tak mau berdusta, tak mau menjawabapa pun yang ditanyakan, dan
tak mau membantah apa pun yang dituduhkan. Aku siap menerima
hukuman seberat apa pun—termasuk jikalau harus mengambil
ember yang kemarin dijatuhkan Trapani di sumur horor itu. Saat itu
yang ada di pikiranku hanyalah Michele Yeoh , Michele Yeoh, dan
Michele Yeoh, serta detik -detik ketika cinta menyergapku tadi.
Hukuman yang kejam hanya akan menambah sentimentil suasana
romantis di mana aku rela masuk sumur mau t dunia lain sebagai
pahlawan cinta pertama .... Ah! Cinta ...
Benar saja hukumannya seperti kud uga. Sebelum turun ke
dalam sumur sempat kulihat Bu Mus menginterogasi Syahdan yang
mengangkat- angkat bahunya yang kecil, menggeleng-gelengkan
kepalanya, dan menyilangkan jarinya di kening.
“Hah! Ia menuduhku sudah sinting .. .?.
BARU kali ini Mahar menjadi penata artistik karnaval, dan
karnaval ini tidak main-main, inilah peristiwa besar yang sangat
penting, karnaval 17 Agustus. Sebenar nya guru-guru kami agak
pesimis karena alasan klasik, yaitu biaya. Kami demikian miskin
sehingga tak pernah punya cukup dana untuk membuat karnaval
yang representatif. Para guru juga merasa malu karena parade kami
kumuh dan itu-itu saja. Namun, ada sedikit harapan tahun ini.
Harapan itu adalah Mahar.
Karnaval 17 Agustus sangat potensial untuk
meningkatkangengsi sekolah, sebab ada penilaian serius di sana.
Ada kategori busana terbaik, parade paling megah, peserta paling
serasi, dan yang paling bergengsi: penampil seni terbaik. Gengsi ini
juga tak terlepas dari integritas para juri yang dipimpin oleh seorang
seniman senior yang sudah kondang, Mbah Suro namanya. Mbah
Suro adalah orang Jawa, ia seniman Yogyakarta yang hijrah ke
Belitong karena idealisme berkeseniannya. Karena sangat idelais
maka tentu saja Mbah Suro juga sangat melarat.
Seperti telah diduga siapa pun, seluruh kategori—mulai dari
juara pertama sampai juara harapan ketiga—selalu diborong
sekolah PN. Kadang-kadang sekolah negeri mendapat satu dua sisa
juara harapan. Sekolah kampung tak pernah mendapat
penghargaan apa pun karena memang tasmpil sangat apa adanya.
Tak lebih dari penggembira.
Sekolah-sekolah negeri mampu menyewa pakaian adat
lengkap sehingga tampil memesona. Sekolah-sekolah PN lebih
keren lagi. Parade mereka berlapis-lapis, paling panjang, dan selalu
berada di posisi paling strategis. Barisan terdep an adalah puluhan
sepeda keranjang baru yang dihias berwarna-warni. Bukan hanya
sepedanya, pengendaranya pun dihias dengan pakaian lucu.
Lonceng sepeda edibunyikan dengan keras bersama-sama, sungguh
Pada lapisan kedua berjejer mobil-mobil hias yang
dindandani berbentuk perahu, pesawat terbang, helikopter, pesawat
ulang alik Apollo, taman bunga, rumah adat Melayu, bahkan kapal
keruk. Di atas mobil-mobil ini berkeliaran putri-putri kecil
berpakaian putih bersih, bermahkota, dengan rok lebar seperti C
inderella. Putri-putri peri ini membawa tongkat berujung bintang,
melambai-lambaikan tangan pada para penonton yang bersukacita
dan melempar-lemparkan permen.
Setelah parade mobil hias muncullah barisan para profesional,
yaitu para murid yang berdandan sesuai dengan cita-cita mereka.
Banyak di antara mereka yang berjubah putih, berkacamata tebal,
dan mengalungkan stetoskop. Tentulah anak-anak ini nanti jika
sudah besar ingin jadi dokter.
Ada juga para insinyur dengan pakaian overall dan berbagai
alat, seperti test pen , obeng ,dan berbagai jenis kunci. Beberapa
siswa membawa buku-buku tebal, mikroskop, dan teropong bintang
karena ingin menjadi dosen, ilmuwan, dan astronom. Selebihnya
berseragam pilot, pramugari, tentara, kapten kapal, dan polisi,
gagah sekali. Guru- gurunya—di bawah komando Ibu Frischa—
tampak sangat bangga, mengawal di depan, belakang, dan samping
barisan, masing-masing membawa hand y talky .
Setelah lapisan profesi tadi muncul lapisan penghibur yang
menarik. Inilah kelompok badut-badut, para pahlawan super seperti
Superman, Batman, dan Captain America. Balon-balongas
menyembul-nyembul dibawa oleh kurcaci dengan tali-tali setinggi
tiang telepon. Dalam barisan ini juga banyak peserta yang memakai
baju binatang, mereka menjadi kuda, laba-laba, ayam jago, atau
ular-ular naga. Mereka menari-nari raing dengan koreografi yang
menarik. Mereka juga bernyanyi-nyanyi sepanjang jalan,
mendendangkan lagu anak-anak yang riang. Yang paling menponjol
dari penampilan kelompokini adalah serombongan anak-anak yang
berjalan-jalan memakai engrang. Di antara mereka ada seorang
anak perempuan dengan egrang paling tinggi melintas dengan
tangkas tanpa terlihat takut akan jatuh. Dialah Flo, dan dia
melangkah ke sana kemari sesuka hatinya tanpa aturan. Penata
rombongan ini susah payah menertibkannya tapi ia tak peduli. Ayah
ibunya tergopoh-gopoh mengikutinya, berteriak- teriak
menyuruhnya berhati-hati, Flo berlari-lari kecil di atas egrang itu
membuat kacau barisannya.
Penutup barisan karnaval sekolah PN adalah barisan
marching band . Bagian yang paling aku sukai. Tiupan puluhan
trambon laksana sangkakala hari kiamat dan dentuman timpani
Marching band sekolah PN memang bukan sembarangan.
Mereka disponsori sepenuhnya oleh PN Timah. Koreografer,
penata busana, dan penata musiknya didatangkan khusus dari
Jakarta. Tidak kurang dari seratus lima puluh siswa terlibat dalam
marching band ini, termasuk para colour guard yang atraktif. Tanpa
marching band sekolah PN, karnav al 17 Agustus akan kehilangan
Puncak penampilan parade karnaval sekolah PN adalah saat
barisan panjang marching band membentuk fomrasi dua kali
putaran jajarangenjang sambil memberi penghormatan di depan
podium kehormatan. Dengan penataan musik, koregrafi, dan
busana yang demikian luar biasa, marching band PN selalu
menyabet juara pertama untuk kategori yang paling bergengsi tadi,
yaitu Penampil Seni Terbaik. Kategori ini sangat menekankan
konsep performing art dalam trofinya adalah idaman seluruh
Sudah belasan tahun terakhir, tak tergoyahkan, trofi tersebut
terpajang abadi di lemari prestisius lambang supremasi sekolah PN.
Podium kehormatan merupakan tempat terhormat yang
ditempati makhluk- makhluk terhormat, yaitu Kepala Wilayah
Operasi PN Timah, sekretarisnya, seseorang yang selalu membawa
walky talky , beberapa pejabat tinggi PN Timah, Pak C amat, Pak
Lurah, Kapolsek, Komandan Kodim, para Kepala Desa, para tauke,
Kepala Puskesmas, para Kepala Din as, Tuan Pos, Kepala Cabang
Bank BRI, Kep ala Suku Sawang, dan kepala-kepala lainnya, b
eserta ibu. Podium ini berada di tengah-tengah pasar dan di sanalah
pusat penonton yang paling ramai. Masyarakat lebih suka menonton
di dekat podium daripada di pinggir-pinggir jalan, karena di podium
para peserta diwajibkan beraksi, menunjukkan kelebihan, dan
mempertontonkan atraksi andalannya sambil memberi
penghormatan. Di sudut podium itulah bercokol Mbah Suro dan
para juri yang akan memberi penilaian.
Bagi sebagian warga Muhammadiyah, karnaval justru
pengalamanyang kurang menyenangkan, kalautidak bisa dibilang
traumatis. Karnaval kami hanya terdiri atas serombongan anak kecil
berbaris banjar tiga, dipimpin oleh dua orang siswa yang membawa
spanduk lambang Muhammadiyah yang terbuat dari kain belacu
yang sudah lusuh. Spanduk itu tergantung menyedihkan di antara
dua buah bambu kuning seadanya.
Di belakangnya berbaris para siswa yang memakai sarung,
kopiah, dan baju takwa.
Mereka melambangkan tokoh-tokoh Sarekat Islam dan
pelopor Muhammadiyah tempo dulu.
Samson selalu berpakaian seperti penjaga pintu air. Tentu
bukan karena setelah besar ia ingin jadi penjaga pintu air seperti
ayahnya, tapi hanya itulah kostum karnaval yang ia punya.
Sedangkan pakaian tetap Syahdan adalah pakaian nelayan, juga
sesuai dengan profesi ayahnya. Adapun A Kiong selalu mengenakan
baju seperti juri kunci penunggu gong sebuah perguruan shaolin.
Sebagian besar siswa memakai sepatu bot tinggi, baju kerja
terusan, dan helm pengaman. Pakaian ini juga milik orangtuanya.
Mereka memperagakan diri sebagai buruh kasar PN Timah. B
eberapa orang yang tidak memiliki sepatu bot atau helm tetap nekat
berparade memakai baju terusan. Jika ditanya, mereka mengatakan
bahwa mereka adalah buruh timah yang sedang cuti.
Selebihnya memanggul setandan pisang, jagung, dan
semanggar kelapa. Ada pula yang membawa cangkul, pancing,
beberapa jerat tradisional, radio, ubi kayu, tempat sampah, dan
gitar. Agar lebih dramatis Syahdan membawa sekarung pukat,
Lintang meniup-niup peluit karena ia wasit sepak bola, sementara
aku dan Trapani berlari ke sana kemari mengibas-ngibaskan
bendera merah karena kami adalah hakim garis.
Beberapa siswa memikul kerangka besar tulang belulang ikan
paus, membawa tanduk rusa, membalut dirinya dengan kulit buaya,
dan menuntun beruk peliharaan—tak jelas apa maksudnya.
Seorang siswa tampak berpakaian rapi, memakai sepatu hitam,
celana panjang warna gelap, ikat pinggang besar, baju putih lengan
panjang dan menenteng sebuah tas koper besar. Siswa ajaib ini
adalah Harun. Tak jelas profesi apa yang diwakilinya. Di mataku dia
tampak seperti orang yang diusir mertua.
Demikianlah karnaval kami seetiap tahun. Tak melambangkan
cita-cita. Mungkin karena kami tak berani bercita-cita. Setiap siswa
disarankan memakai pakaian profesi orangtua karena kami tak
punya biaya untuk membuat atau menyewa baju karnaval.
Semuanya adalah wakil profesi kaum marginal. Maka dalam
hal ini Kucai juga berpakaian rapi seperti Harun dan ia melambailambaikan sepucuk kartu pensiun kepada para penonton
sebabayahnya adalah pensiunan. Sedangkan beberapa adik
keclasku terpaksa tidak bisa mengikuti karnaval karena ayahnya
Satu-satunya daya tarik karnaval kami adalah Mujis.
Meskipun bukan murid Muhammadiyah namun tukang semprot
nyamuk ini selalu inginikut. Dengan dua buah tabung seperti
penyelam di punggungnya dan topeng yang berfungsi sebagai
kacamata dan penutup mulut seperti moncong babi, ia
menyemprotkan asap tebal dan anak-anak kecil yang menonton di
pinggir jalan berduyun-duyun mengikutinya.
Jika melewati podium kehormatan, biasanya kami berjalan
cepat-cepat dan berdoa agar parade itu cepat selesai. Nyaris tak ada
kesenangan karena minder. Hanya Harun, dengan koper zaman
The Beatles-nya tadi yang melenggang pelan penuh percaya diri
dan melemparkan senyum penuharti kepada para petinggi di
Mungkin dalam hati para tamu terhormat itu bertanya-tanya,
“Apa yang dilakukan anak-anak beb ek ini?.
Kenyataan inilah yang memicu pro dan kontra di antara murid
dan guru Muhammadiyah setiap kali akan karnaval. Beberapa guru
menyarankan agar jangan ikut saja daripada tampil seadanya dan
bikin malu. Mereka yang gengsian dan tak kuat mental seperti
Sahara jauh-jauh hari sudah menolak berpartisipasi. Maka sore ini,
Pak Harfan, yang berjiwa demokratis, mengadakan rapat terbuka di
bawah pohon fillicium . Rapat ini melibatkan seluruh guru dan
Beliau diserang bertubi-tubi oleh para guru yang tak setuju
ikut karnaval, tapi beliau dan Bu Mus berpendirian sebaliknya.
Suasana memanas. Kami terjebak di tengah.
“Karnaval ini adalah satu-satunya cara untuk menunjukkan
kepada dunia bahwa sekolah kita ini masiheksis di muka bumi ini.
Sekolah kita ini adalah sekolah Islam yang mengedepankan
pengajaran nilai-nilai religi, kita harus bangga dengan hal itu!.
Suara Pak Harfan ber gemuruh. Sebuah pidato yang
menggetarkan. Kami bersorak sorai mendukung beliau. Tapi tak
berhenti sampai di situ.
“Kita harus karnaval! Apa pun yang terjadi! Dan biarlah tahun
ini para guru tidak ikut campur, mari kita beri kesempatan kepada
orang-orang muda berbakat seperti Mahar untuk menunjukkan
kreativitasnya, tahukah kalian ... dia adalah seniman yang genius!.
Kali ini tepuk tangan kami yang bergemuruh, gegap gempita
sambil berteriak- teriak seperti suku Mohawk berperang. Pak Harfan
telah membakar semangat kami sehingga kami siap tempur. Kami
sangat mendukung keputusan Pak Harfan dan sangat senang karena
akan digarap oleh Mahar, teman kami sekelas. Kami mengeluelukannya, tapi ia tak tampak. Ooh, rupanya dia sedang
bertengger di salah satu dahan filicium . Dia tersenyum.
Sebagai kelanjutan kep utusan rapat akbar, Mahar serta-merta
mengangkat A Kiong sebagai General Affairassistant , yaitu
pembantu segala macam urusan. A Kiong mengatakan padaku tiga
malam dia tak bisa tidur saking bangganya dengan penunjukan itu.
Dan telah tiga malam pula Mahar bersemadi mencari inspirasi. Tak
Kalau masuk kelas Mahar diam seribu bahasa. Belum pernah
aku melihatnya seserius ini. Ia menyadari bahwa semua orang
berharap padanya. Setiap hari kami dan para guru menunggu
dengan was was konsep seni kejutan seperti apa yang akan ia
tawarkan. Kami menunggu seperti orang menunggu buku baru
Agatha Christie. Jika kami ingin berbicara dengannya dia buru-buru
melintangkan jari di bibirnya menyuruh kami diam. Menyebalkan!
Tapi begitulah seniman bekerja. Dia melakukan semacam riset,
mengkhayal, dan berkontemplasi.
Dia duduk sendirian menabuh tabla , mencari-cari musik,
sampai sore di bawah filicium . Tak boleh didekati. Ia duduk
melamun menatap langit lalu tiba-tiba berdiri, mereka-reka
koreografi, berjingkrak-jingkrak sendiri, meloncat, duduk, berlari
berkeliling, diam, berteriak-teriak seperti orang gila, menjatuhkan
tubuhnya, berguling- guling di tanah, lalu dia duduk lagi, melamun
berlama-lama, bernyanyi tak jelas, tiba-tiba berdiri kembali, berlari
ke sana kemari. Tak ada ombak tak ada anginia menyeruduknyeruduk seperti hewan kena sampar.
Apakah ia sedang menciptakan sebuah master piece? Apakah
ia akan berhasil membuktikan sesuatu pada event yang
mempertaruhkan reputasi ini? Apakah ia akan berhasil membalikkan
kenyataan sekolah kami yang telah dipandang sebelah mata dalam
karnaval selama dua puluh tahun? Apakah ia benar-benar seorang
penerobos, seorang pendobrak yang akan menciptakan sebuah
prestasi fenomenal? Haruskan ia menanggung beban seberat ini?
Bagaimanapun ia masih tetap seorang anak kecil.
Kuamati ia dari jauh. Kasihan sahabatku seniman yang
kesepian itu, yang tak mendapatkan cukup apresiasi, yang selalu
kami ejek. Wajahnya tampak kusut semrawut.
Sudah seminggu berlalu, ia belum juga muncul dengan
Lalu pada suatu Sabtu pagi yang cerah ia datang ke sekolah
Kami paham ia telah mendapat pencerahan. Jin-jin telah
meraupi wajah kucel kurang tidurnya dengan ilham, dan Dionisos,
sang dewa misteri dan teater, telah meniup ubun- ubunnya subuh
tadi. Ia akan muncul dengan ide seni yang seksi. Kami sekelas dan
banyak siswa dari kelas lain serta para guru merubungnya. Ia maju
ke depan siap mempresentasikan rencananya. Wajahnya optimis.
Semua diam siap mendengarkan. Ia sengaja mengulur waktu,
menikmati ketidaksabaran kami. Kami memang sudah sangat
penasaran. Ia menatap kami satu per satu seperti akan
memperlihatkan sebuah bola ajaib bercahaya pada sekumpulan
“Tak ada petani, buruh timah, guru ngaji, atau penjaga pintu
air lagi utnuk karnaval tahun ini!” teriaknya lantang, kami terkejut.
Dan ia berteriak lagi.
“Semua kekuatan sekolah Muhammadiyah akan kita satukan
Kami hanya terperangah, belum mengerti apa maksudnya,
tapi Mahar optimis sekali.
“Apa itu Har? Ayolah, bagaimana nanti kami akan tampil,
jangan bertele-tele!.
tanya kami penasaran hampir bersamaan. Lalu inilah ledakan
“Kalian akan tampil dalam koreografi massal suku Masai dari
Kami saling berpandangan, serasa tak percaya dengan
pendengaran sendiri. Ide itu begitu menyengat seperti belut listrik
melilit lingkaran pinggang kami. Kami masih kaget dengan ide luar
biasa itu ketika Mahar kembali berteriak menggelegar
melambungkangairah kami.
“Lima puluh penari! Tiga puluh penabuh tabla! Berputar-putar
seperti gasing, kita ledakkan podium kehormatan!.
Oh, Tuhan, aku mau pingsan. Serta-merta kami melonjak
girang seperti kesurupan, bertepuk tangan, bersorak sorai senang
membayangkan kehebohan penampilan kami nanti. Mahar memang
sama sekali tak bisa diduga. Imajinasinya liar meloncat-loncat,
mendobrak, baru, dan segar.
“Dengan rumbai-rumbai!” kata suara keras di belakang. Suara
Pak Harfan sok tahu. Kami semakingegap gempita. Wajah beliau
sumringah penuh minat.
“Dengan bulu-bulu ayam!” sambung Bu Mus. Kami semakin
“Dengan surai-surai!.
“Dengan lukisan tubuh!.
Demikianguru-guru lain sambung-menyambung.
“Belum pernah ada ide seperti ini!” kata Pak Harfan lagi.
Para guru mengangguk-angguk salut dengan ide Mahar.
Mereka salut karena selain kana menampilkan sesuatu yang
berbeda, menampilkan suku terasing di Afrika adalah ide yang
cerdas. Suku itu tentu berpakaian seadanya. Semakin sedikit
pakaiannya— atau dengan kata lain semakin tidak berpakaian suku
itu—maka anggaran biaya untuk pakaian semakin sedikit. Ide
Mahar bukan saja baru dan yahud dari segi nilai seni tapi juga
aspiratif terhadap kondisi kas sekolah. Ide yang sangat istimewa.
Seluruh kalangan di perguruan Muhammadiyah sekarang
menjadi satu hati dan mendukung penuh konsep Mahar. Semangat
kami berkobar, kepercayaan diri kami meroket. Kami saling
berpelukan dan men eriak kan nama Mahar. Ia laksana pahlawan.
Kami akan menampilkan sebuah tarian spektakuler yang
belum pernah ditampilkan sebelumnya. Dengan suara tabla
bergemuruh, dengan kostum suku Masai yang eksotis, dengan
koreografi yang memukau, maka semua itu akan seperti festival Rio.
Kami sudah membayangkan penonton yang terpeona. Kali ini,
untuk pertama kalinya, kami beran i bersaing.
Setelah itu, setiap sore, di bawah pohon filicium , kami bekerja
keras berhari-hari melatih tarian aneh dari negeri yang jauh. Sesuai
dengan arahan Mahar tarian ini harus dilakukan dengan gerakan
cepat penuh tenaga. Kaki dihentakkan-hentakkan ke bumi, tangan
dibuang ke langit, berputar-putar bersama membentuk formasi
lingkaran, kemudian cepat-cepat menunduk seperti sapi akan
menanduk, lalu melompat berbalik, lari semburat tanpa arah dan
mundur kembali ke formasi semula dengan gerakan seperti banteng
mundur. Kaki harus mengais tanah dengan garang. Demikian
Tak ada gerakan santai atau lembut, semuanya cepat, ganas,
rancak, dan patah-patah.
Mahar menciptakan koreografi yang keras tapi penuh nilai
seni. Asyik ditarikan dan merupakan olah raga yang menyehatkan.
Tahukah Anda apa yang dimaksud dengan bahagia? Ialah apa
yang aku rasakan sekarang. Aku memiliki minat besar pada seni,
akan emmbuat sebuah performing art bersama para sahabat
karib—dan kemungkinan ditonton oleh cinta pertama? Aku
mengalami kebahagiaan paling besar yang mungkin dicapai seorang
Kami sangat menyukai gerakan- gerakan nerjik rekaan Mahar
dan kuat dugaanku bahwa kami sedang menarikan kegembiraan
suku Masai karena sapi-sapi peliharaannya baru saja beranak.
Selainitu selama menari kami harus meneriakkan kata-kata yang tak
kami pahami artinya seperti, “Habuna! Habuna! Habuna! Baraba...
baraba...baraba..habba...habba..homm!.
Ketika kami tanyakan makna kata-kata itu, dengan gaya
seperti orang memiliki pengetahuan yang amat luas sampai
melampaui benua Mahar menjawab bahwa itulah pantun orang
Afrika. Aku baru tahu ternyata orang Afrika juga memiliki kebiasaan
seperti orang Melayu, gemar berpantun. Aku simpan baik-baik
Namun mengenai maksud, ternyata aku salah duga. Semula
aku menyangka bahwa kami berdelapan—karena Sahara tak ikut
dan Mahar sendiri menjadi pemain tabla—adlaah anggota suku
Masai yang gembira karena sapi-sapinya beranak. Tapi ternyata
kami adalha sapi-sapi itu sendiri. Karena setelah kami menari
demikian riang gembira, kemudian kami diserbu oleh dua puluh
ekor cheetah. Mereka mengepung, mencabik-cabik harmonisasi
formasi tarian kami, meneror, menerkam, mengelilingi kami, dan
mengaum-aum dengan garang. Lalu situasi menjadi kritis dan kacau
balau bagi paras api dan pada saat itulah menyerbu dua puluh
orang Moran atau prajurit Masai yang sangat terkenal itu. Prajuritprajurit ini menyelamatkan para sapi dan berkelahi dengan cheetah
yang menyerang kami. Gerakan cheetah itu direka-reka Mahar
dengan sangat genius sehingga mereka benar-benar tampak seperti
binatang yang telah tiga hari tidak makan. Sedangkan para Moran
dilatih lebih khusus sebab menyangkut keterampilan memainkan
properti-properti seperti tombak, cambuk, dan parang.
Demikianlah cerita koreografi Mahar. Keseluruhan fragmen itu
diiringi oleh tabuhan tiga puluh tabla yang lantang bertalu-talu
memecah langit. Para penabuh tabla juga menari-nari dengan
gerakan dinamis memesona. Hasil akhirnya adalah sebuah drama
seru pertarungan massal antara manusia melawan binatang dalam
alam Afrika yang liar, sebuah karya yang memukau, master piece
Nuansa karnaval semakin tebal menggantung di awan
Belitong Timur. Hari H semakin dekat. Seluruh sekolah sibuk
dengna berbagai latihan. Marching band sekolah PN sepanjang
sore melakukangeladi sepanjang jalan kampung. Baru latihannya
saja penonton sudah membludak. Meneror semangat peserta lain.
Tapi kami tak gentar. Situasi moril kami sedang tinggi. Melihat
kepemimpinan, kepiawaian, dan gaya Mahar kepercayaan diri kami
meletup-letup. Ia tampil laksana para event organizeratau para
seniman, atau mereka yang menyangka dirinya seniman.
Pakaiannya serba hitam dengan tas pinggang berisi walkman,
pulpen, kacamata hitam, batu baterai, kaset, dan deodoran. Kami
mengerahkan seluruh sumber daya civitas akademika
Muhammadiyah. Latihan kami semakin serius dan yang palihng
sering membaut kesalahan adalah Kucai. Meskipun dia ketua kelas
tapi di panggung sandiwara ini Maharlah yang berkuasa.
Mahar mencoba menjelaskan maksudnya dengan berbagai
cara. Kadang-kadang ia demikian terperinci seperti buku resep
masakan, dan lebih sering ia merasa frustrasi.
Namun, kami sangat patuh pada setiap perintahnya walaupun
kadang-kadang tidak masuk akal. Tapi ini seni, Bung, tak ada
hubungannya dengan logika.
“Dalam tarian ini kalian harus mengeluarkan seluruh ener gi
dan h arus tampak gembira! Bersukacita seperti karyawan PN baru
terima jatah kain, seprti orang Saqwang dapat utangan, seperti para
pelaut terdampar di sekolah perawat!.
Aku sungguh kagum dari mana Mahar menemukan kata-kata
seperti itu. Ketika istirahat A Kiong berbisik pada Samson, “Son, aku
baru tahu kalau di Belitong ada sekolah perawat di pinggir laut?.
Rupanya bisikan polos itu terdengar oleh Sahara yang
kemduian, seperti biasa, merepet panjang mencela keluguan A
Kiong, “Apa kau tak paham kalau itu perumpamaan! Banyak -
banyaklah membaca buku sastra!.
Sebuah Kejahatan Terencana
DAN tibalah hari karnaval. Hari yang sangat mendebarkan.
Mahar merancang pakaian untuk cheetah dengan bahan semacam
terpal yang dicat kuning bertutul-tutul sehingga dua puluh orang
adik kelasku benar-benar mirip hewan itu. Wajah mereka dilukis
seperti kucing dan rambut mereka dicat kuning menyala-nyala
Tiga puluh pemain tabla seluruh tubuhnya dicat hitam berkilat
tapi wajahnya dicat putih mencolok sehingga menimbulkan
pemandangan yang sangat aneh. Sedangkan dua puluh Moran atau
prajurit Masai sekujur tubuhnya dicat merah, mereka menggunakan
penutup kepala berup a jalinan besar ilalang, membawa tombak
panjang, dan mengenakan jubah berwarna merah yang sangat
besar. Tampak sangat garang dan megah .
Tampaknya Mahar memberi perhatian istimewa pada delapan
ekor sapi. Pakaian kami paling artistik. Kami memakai celana merah
tua yang menutup pusar sampai ke bawah lutut. Seluruh tubuh kami
dicat cokelat muda seperti sapi Afrika. Wajah dilukis berbelangbelang. Pergelangan kaki dipasangi rumbai-rumbai seperti kuda
terbang dengan lonceng-lonceng kecil sehingga ketika melangkah
terdengar suara gemerincing semarak. Di pinggang dililitkan
selendang lebar dari bahan bulu ayam. Kami juga memakai
beragam jenis aksesoris yang indah, yaitu anting-anting besar yang
dijepit dan gelang-gelang yang dibuat dari akar-akar kayu.
Yang paling istimewa adalah penutup kepala. Tak cocok jika
disebut topi, tapi lebih sesuai jika disebut mahkota seribu rupa.
Mahkota ini sangat besar, dibuat dari lilitan kain semacam stagen
yang sangat panjang. Lalu berbagai jenis benda diselipkan, dijepit,
atau dijahit pada stagen itu. Puluhan bulu angsa dan belibis,
berbagai jenis perdu sepanjang hampir satu meter, dahan sapusapu, berbagai bunga liar, berbagai jenis daun, dan benderabendera kecil. Empat hari Sahara membuat mahkota hebat ini. Lalu
punggung kami dipasangi sesuatu seperti surai kuda, bahannya—
seperti tertulis pada sketsa—adalah tali rafia. Kami adalah sapi yang
Inilah rancangan adiguna karya Mahar. Secara umum kami
tidak tampak seperti sapi. Dilihat dari belakang kami lebih mirip
manusia keledai, dari samping seperti ayam kalkun, dari atas seperti
sarang burung bangau. Jika dilihat dari wajah, kami seperti hantu.
Aksesori yang tampaknya biasa saja adlaah untaian kalung.
Juga sesuai dengan sketsa rancangan Mahar, kami akan memakai
kalung besar yang terbuat dari benda-benda bulat sebesar bola
pingp ong berwarna hijau. Tak ada yang istimewa dengan kalung ini
dan tak seorang pun mau membicarakannya. Kami sibuk membahas
mahkota kami. Kami yakin mahkota ini akan membuat orang
kampung ternga-nga mulutnya dan wanita-wanita muda di kawasan
pasar ikan berebutan kirim salam.
Tak disangka ternyata kalung yang tak menarik perhatian
itulah sesungguhnya sentral ide seluruh koreografi ini. Tak ada
seorang yang menduga bahwa pada untaian anak-anak kalung itu
Mahar menyimpan rahasia terdalam daya magis pen ampilan kami,
yang membuatnya tidak tidur tiga hari tiga malam. Sesungguhnya
kalung itulah puncak tertinggi kreativitas Mahar.
Setelah seluruh pakaian siap, Mahar mengeluarkan aksesori
terakhir dari dalam karung, yaitu kalung tadi. Jumlahnya delapan
sejumlah sapi. Kami semakingirang. Tentu Mahar telah bersusah
payah sendirian membuatnya. Kalung itu dibaut dari buah pohon
aren yang masih hijau sebesar bola pingpong yang ditusuk seperti
sate dengan tali rotan kecil. Kami berebutan memakainya. Tak
banyak pengetahuan kami mengenai buah hutan ini. Sebelum
parade kami berkumpul berpegangan tangan, menundukkan kepala
untuk berdoa, mengharukan.
Seperti telah kami duga, sambutan penonton di sepanajng
jalan sangat luar biasa.
Mereka bertepuk tangan dan berlarian mengikuti dari
belakang untuk melihat penampilan kami di depan podium
Menjelang podium kami mendengar gelegar suara sepuluh
unit trimpani, yaitu drum terbesar. Suaranya menggetarkan dada
dan ditimpali oleh suara membahan a puluhan instrumen brass
mulai dari tuba, horn, trombon, klarinet, trompet, saksopon tenor
dan bariton yang dimainkan puluhan siswa. Marching band sekolah
PN sedang beraksi! Pakaian pemain marching band dibedakan
berdasarkan instrumen yang dimainkan. Yang paling gagah adalah
barisan bass drum yang tampil menggunakan pakaian prajurit
Romawi. Mereka membuat helm bertanduk runcing dan benarbenar mencetak aluminium menjadi rompi lalu mengecatnya
dengan warnakuningan. Pemain simbal memakai rompi berwarnawarni dan bawahan celana p anjang biru yang dimasukkan dalam
sepatu bot Pendragon yang mahal setinggi lutut. Mereka seperti
sekawanan ksatria yang baru turun dari punggung kuda-kuda putih.
Marching band PN tampil semakin baik setiap tahun. Mereka selalu
menunjukkan bahwa mereka yang terbaik.
Sebagai entry podium kehormatan mereka melantunkan
glenn Miller’s In the Mood dengan interpretasi yang pas. Penonton
melenggak-lenggok diayun irama swing yang asyik. Para colour
guard serta-merta menyesuaikan koreografinya dengan gaya kabaret
khas tahun 60-an. Panggung kasino Las Vegas segera berpindah ke
sudut pasar ikan Belitong yang kumuh. Setiap siswa yang terlibat
dalam marching band ini belum- belum sudah mengumbar senyum
kemenangan seolah seperti tahun-tahun lalu: Penampil Seni Terbaik
tahun ini pasti mereka sabet. Tapi jika menyaksikan mereka beraksi
agaknya keyakinan itu memang sangat beralasan.
Sebagai puncak atraksi di depan podium mereka
membawakan Concerto for Trumpet dan Orchestra yang biasa
dilantunkan Wynton Marsalis. Dalam nomor ini penampilan mereka
amat mengagumkan. Agaknya mereka sudah bisa dikompetisikan di
luar negeri. Komposisi ini sesungguhnya adalah musik klasik karya
Johann Hummel tapi oleh Marching Band PN dibawakan kembali
dalam aransemen big band dengan kekuatan brass section yang
Bagian intro Concerto indah itu diisi atraksi lima belas pemain
blira dengan pecahan suara satu, dua, dan tiga. Lalu ikut bergabung
hentakan-hentakan sepuluh pasang simbal, bass drum, dan timpani.
Tempo dan bahana mereka pelankan ketika puluhan snare drum
mengambil alih. Jiwa siapa pun yang mendengarnya akan tergetar.
Belum tuntas sensasi penonton dengan buaian snare drum yang
cantik rancak tiba-tiba para colour guard memasuki medan,
membentuk formasi dan menampilkan tarian kontemporer yang
memikat. Bayangkan indahnya: sebuah big band dengan kekuatan
brasss, kostum yang gemerlapan, dan koreografi kontemporer.
Ribuan penonton bertepuk tangan kagum. Kemudian mereka
bersorak-sorai ketika tiga orang mayoret—ratu segala pesona—
dengan sangat terampil melempar- lemparkan tongkatnya tanpa
membuat kesalahan sedikit pun. Para mayoret cantik, bertubuh
ramping tinggi, dengan senyum khas yang dijaga keanggunannya,
meliuk-liuk laksana burung merak sedang memamerkan ekornya.
Wanita-wanita muda yang meloncat dari gambar-gambar di
almanak ini mengenakan rok mini degnan stocking berwarna hitam
dan sepatu bot Cortez metalik tinggi sampai ke lutut. Sarung
tangannya putih sampai ke lengan atas dan mereka bergerak
demikian lincah tanpa sedikit pun terhalangi hak sepatunya yang
Topinya adalah baret putih yang diselipi selembar bulu angsa
putih bersih seperti topi Robin Hood. Mereka tidak sekadar mayoret,
mereka adalah pergawati. Langkahnya cepat panjang-panjang dan
sering kali memekik memberi perintah. Pandangannya menyapu
seluruh penonton seperti tipuna sihir yang membius.
Wajahnya mencerminkan suatu kebiasaan bergaul dengan
barang-barang impor dan tidak mau menghabiskan waktu untuk
soal remeh-temeh. Jika sore mereka berjalan- jalan dengan
beberapa ekor anjing chihuahua dan malam hari makan di bawah
temaram cahaya lilin. Tak pernah kekenyangan dan tak pernah
berserdawa. Garis matanya memperlihatkan kemanjaan,
kesejahteraan dan masa depan yang gilang gemilang.
Mereka seperti orang-orang yang tak’kan pernah kami kenal
namanya, seperti orang yang berasal dari tempat yang sangat jauh
dan hanya mampir sebentar untuk membuat kami ternganga.
Mereka seperti orang-orang yang hanya memakan bunga-bunga
putih melati dan emngisap embun untuk hidup. Jubahnya dari
bahan sutera berkilat, berkibar-kibar tertiup angin, men ebarkan bau
Sementara di sini, di sudut ini, kami terpojok di pinggir, seperti
segerombolan spesies primata aneh yang menyembul-nyembul dari
sela-sela akar p ohon beringin.
Hitam, kumal, dan coreng-moreng, terheran-heran melihat
gemerlap dunia. Tapi kami segera membentuk barisan, tak surut
semangat, tak sabar menunggu giliran.
Segera setelah ujung Marching Band PN meninggalkan arena
podium dan perlahan-lahan menghilang bersama lagu syahdu
penutup sensasi: Georgia on My Mind, diiringi tepuk tangan dan
suitanpanjang penonton, seketika itu juga, tanpa membuang tempo,
dengan amat ejli mencuri momen, secara sangat mendadak Mahar
bersama tiga puluh pemain tabla menghambur tak beraturan
menguasai arena depan podium. Gerakan mereka mengagetkan.
Dengan dentuman tabla bertalu-talu serta tingkah tarian yang sangat
dinamis, penonton pun terperanjat. Mahar menyajikan
pemandangan natural, asli, yang sama sekali kontras dengan
marching band modern. Melalui lantakan tabla sekuat tenaga dan
gerak tari seperti ratusan monyet sedang berebutan dengan tupai
menjarah buah kuini, Mahar menyeret fantasi penonton ke alam
Penonton terbelalak menerima sajian musik etnik menghentak
yang tak diduga- duga. Mereka berdesak-desakan maju merepotkan
para pengaman. Para penonton terbius oleh irama yang belum
pernah mereka dengar dan pakaian serta tarian yang belum pernah
mereka lihat. Demi mendengar lengkingan tabla yang memecah
langit, barisan Marching Band PN terpecah konsentrasinya dan
berbalik arah ke podium. Mereka membubarkan diri tanpa komando
lalu bergabung dengan para penonton yang terpaku. Mereka
keheranan melihat tarian liar yang tak seperti Campak Darat, yaitu
tarian Belitong paling kuno dengan gerakan tetap maju mundur,
dan irama yang tak seperti Betiong yakni irama asli Belitong yang
biasa mereka dengar. Sebaliknya yang mereka saksikan adalah
gerakan rancak tanpa pola dan ekspresi bebas spontan dari tubuh -
tubuh muda yang lentik meliuk-liuk seperti gelombang samudra,
garang seperti luak, dan menyengat laksana lebah tanah. Koreo grafi
Mahar berkarakter dance drumming dari suku-suku sub Sahara yang
mengandung fragmen survival ribuan tahun dari spesies yang hidup
saling memangsa. Inilah adzohu, sebuah manifestasi perjuangan
eksistensi dalam metafora gesture tubuh manusia yang memaknai
ketukan tabla laksana tiupan mantra-mantra nan magis. Koreografi
ini mengandung tenaga gaib yang emnyihir. Mahar
memvisualisasikan alam ganas di mana hu kum rimba berkuasa.
Maka musik tari ini tak hanya mendetak degup jantung karena tabla
yang berdentum-dentum tapi membran vibrasinya juga
menggetarkan jiwa karena tenaga mistik sebuah ritual suci siklus
Penonton semakin merangsek ke depan dan mulai terpukau
pada tarian etnik Afrika yang eksotis. Mereka mengamati satu per
satu wajah kami yang tersamar dalam coreng moreng, ingin tahu
siapa penampil tak biasa ini. Namun tanpa disadari tubuh mereka
bergerak-gerak patah-patah mengikuti potongan-potongan irama
yang dilantakkan dan tanpa diminta tepuk tangan, siulan, dan soraksorai ribuan penonton membahana menyambut kejutan aksi seksi
tabla. Penonton riuh rendah berdecak kagum.
Pada detik itu aku tahu bahwa penampilan kami telah
berhasil. Mahar telah melakukan entry dengan sukses. Semua
seniman panggung mengerti jika entr y telah sukses biasanya seluruh
pertunjukan akan selamat. Para hadirin telah terbeli tunai!
Kesuksesan entry pemain tabla mengangkat kepercayaan diri kami
sampai level tertinggi. Kami, delapan ekor sapi, yang akan tampil
pada plot kedua, gemetar menunggu aba-aba dari Mahar untuk
menerjang arena. Kami tak sabar dan rasanya kaki sudah gatal ingin
mendemons-trasikan kehebatan mamalia menari. Kami adalah
remaja-remaja kelebihan energi dan laparakan perhatian. Lima
belas meter dari tempat kami berdiri adalah arena utama dan kami
mengambil ancang-ancang laksana peluru-peluru meriam yang
siap diledakkan. Sangat mendebarkan, apalagi penonton semakin
menggila tak terkendali mengikuti ketukan tabla. Mereka
membentuk lingkaran yang rapat, ikut menari, bertepuk tangan,
bersuit-suit panjang, dan berteriak-teriak histeris.
“Tabahkan hati kalian, keluarkan seluruh kemampuan!” ledak
Bu Mus memberi semangat kepada kami, para mamalia. Pak Harfan
sudah tidak bisa bicara apa-apa.
Tangannya membekap dada seperti orang berdoa.
Tapi di tengah penantian menegangkan itu aku merasakan
sedikit keanehan di lingkaran leherku. Seperti ada kawat panas
menggantung. Aku juga merasa heran melihat warna telinga temantemanku yang berubah menjadi merah, demikian pula kalung kami,
membentuk lingkaran berwarna kelam di kulit. Aku merasakan
panas pada bagian dada, wajah, dan telinga, lalu rasa panas itu
berubah menjadi gatal.
Dalam waktu singkat rasa gatla meningkat dan aku mulai
menggaruk-garuk di seputar leher. Sekarang kami sadar bahwa rasa
gatal itu berasal dari getah buah aren yang menjadi mata kalung
kami. Hasil rancangan adibusana Mahar. Buah aren yang ditusuk
dengan tali rotan itu mengeluarkangetah yang pelan-pelan melelh di
Rasa gatal itu semakin menjadi-jadi tapi kami takb isa berbuat
apa-apa karena untuk melepaskan kalung itu berarti harus
melepaskan mahkota. Dan melepaskan mahkota besar yang
beratnya hampir satu setengah kilogram ini bukan persoalan
mudah. Mahkota raksasa ini sengaja dirancang Mahar untuk
dikenakan dengan lilitan tiga kali melalui dagu sehingga tanpa
bantuan seseorang tak mungkin membukanya sendiri. Tak mungkin
melakukan itu apalagi Mahar sekarang telah melakukan gerakan
seperti menyembah- nyembah ke arah kami. Itulah isyarat kami
harus masuk dan beraksi.
Maka semua usaha untuk berbuat sesuatu pada kalung itu
terlambat dan yang terjadi berikutnya tak ‘kan pernah kulupakan
seumur hidupku. Kami menyerbu aren a dengan semangat spartan.
Tepuk tangan penonton bergemuruh. Pada awalnya kami menari
bersukacita sesuai dengan skenario. Lalu kami, para sapi ini, mulai
bergerak- gerak aneh dan sedikit melenceng dari gerakan
seharusnya karena kami diserang oleh rasa gatal yang luar biasa.
Rasa gatal ini begitu dahsyat. Aku tak pernah merasakangatal
demikian hebat dan jelas berasal getah buah aren muda yang
menjadi mata kalung kami. Pertama-tama rasanya panas, perih, lalu
geli dan gatal sekali. Jika digaruk bukannya sembuh tapi akan
semakin menjadi-jadi, bertambah gatal dua kali lipat. Karena
gerakan kami rancak dengan tangan mengibas-ngibas ke sana
kemari maka getah aren itu menyebar ke seluruh tubuh. Sekarang
seluruh tubuh kami dilanda gatal tak tertahankan.
Kami berusaha tidak menggaruk-garuk karena hal itu akan
merusak koreografi, kami bertekad mengalahkan Marching Band
PN. Selain tu menggaruk hanya akan memperparah keadaan, maka
kami bertahan dalam penderitaan. Satu-satunya cara mengalihkan
siksaangatal adalah dengan terus-menerus bergerak jumpalitan
seperti orang lupa diri. Maka sekarang kami bergerak sendiri-sendiri
tak terkendali seperti orang kesetanan. Kami berteriak-teriak,
meraung, saling menanduk, saling menerkam, saling mencakar,
merayap, berguling-guling di tanah, menggelepar-gelepar. Semua itu
tak terdapat dalam skenario. Lintang komat-kamit tak jelas dan
matanya memerah seperti buah saga. Trapani sama sekali menguap
ketampanannya, wajah manisnya berubah menjadi wajah algojo
yang sedang kalap. Sedangkan A Kiong menampar-nampar dirinya
sendiri dengan keras seperti orang kesurupan. Telinganya seolah
mengeluarkan asap dan wajahnya seperti kaleng biskuit R oma.
Wajah kami memerah seperti terbakarapi dan urat-urat lengan
bertimbulan menahankangatal.
Kami bergerak demikian beringas, berjingkrak-jingkrak seperti
sekaleng cacing yang dicurahkan di atas aspal yang panas mendidih.
Sebaliknya, melihat kami sangat menjiwai, para pemain tabla pun
terbakar semangatnya. Mereka mempercepat tempo untuk
mengikuti gerakan-gerakan liar kami. Kami menari dengan tenaga
dua kali lipat dari latihan dan gerakan dua kali lebih cepat dari
seharusnya. Kami seolah berkejaran dengan tabuhan tabla.
Menimbulkan pemandangan yang menakjubkan. Bahkan orang
Afrika sendiri tak pernah menari sehebat ini.
Sesungguhnya maksud kami bukan itu. Tapi kami senewen
menanggungkan gatal. Penonton yang tidak memahami situasi
mengira suara tabla itu mengandung sihir dan telah membuat kami,
delapan ekor sapi ini, kesurupan, maka mereka bertepuk tangan
gegap gempita karena kagum dengan daya magis tarian Afrika.
Mereka berteriak-teriak histeris memberi semangat dan salut kepada
kami yang mampu mencapai penghayatan setinggi itu. Penonton
semakin merapat dan petinggi di podium kehormatan menghambur
ke depan meninggalkan tempat-tempat duduknya yang teduh dan
nyaman. Mereka berebutan menyaksikan kami dari dekat. Mereka
takjub dengan sebuah pemandangan aneh. Bagi mereka ini adalah
ekspresi seni yang luar biasa. Sementara kami semakin tungganglanggang, berputar-putar seperti gasing. Kami sudah tak peduli
dengan pantun Afrika yang harusnya kami lantunkan. Teriakan
kami sekarang menjadi: “Hushhhhhhh ...hushh...hushhhh!
Habbaa...habbbaaa... habbaaaa...!! !.
Penonton malah mengira itu mantra-mantra gaib. Aku melirik
Mahar. Aneh sekali, wajahnya tapak senang tak alang kepalang,
gembira bukan main. Ia tampak sangat setuju dengan seluruh
gerakangila kami walaupun tidak seperti yang dilatihkannya dulu.
“Terus Kawan, hebat sekali, ayo berguling- guling, inilah
maksudnya,” bisiknya di antara kami sambil berlari-lari memikul
tabla. Aku mulai curiga. Tapi aku tak sempat berpikir jauh karena
kami sekarang sedang diserang oleh dua puluh ekor cheetah.
Suasana semakin seru. Kami semakin sinting karena gatal dan
panas. Kami merasa sangat haus, menderita dehidrasi. Ketika
cheetah menyerang, kami berbalik menyerang. Kami sudah lupa
diri. Seharusnya hal ini tak terjadi. Skenarionya tidak begitu.
Skenarionya adalah kami seharusnya menguik-nguik
ketakutan sampai prajurit Masai, Moran yang gagah berani itu,
datang sebagai pahlawan untuk menyelamatkan kami. Tapi
sebaliknya sekarang kami dengan beringas membalas serangan
cheetah karena kami tak mungkin diam, jika diam rasa gatal rasanya
akan memecahkan pembuluh darah kami.
Para cheetah kebingungan. Ketika mereka men erjang kami
membalas, cheetah berlari kocar-kacir dan kembali menyerang,
demikian terjadi berulang-ulang. Namun anehnya skenario yang
kacau balautak direncanakan ini justru memunculkan karakter asli
binatang yang pada suatu ketika bisa demikianganas tanpa ampun
dan pada keadaan yang lain terbirit-birit ketakutan jika kekuatannya
tak berimbang. Sebalik nya sekali lagi kulirik Mahar. Ia senang sekali
dengan improvisasi spontan ini, tabuhan tablanya semakinganas.
Senyumnya mengembang. Tak pernah aku melihatnya sebahagia
Surai kuda, selendang yang melilit pinggang, dan mahkota
kami melambai-lambai eksotis karena kami melonjak-lonjak tak
terkendali. Kami menari seperti orang dirasuki iblis yang paling
jahat, seperti ditiup Lucifer sang raja hantu. Arena semakin
membara dan gairah tarian mend idih ketika dua puluh prajurit
Masai menyerbu masuk untuk menyelamatkan kami, yang terjadi
adalah pertarungan dahsyat antara sapi dan prajurit Masai melawan
dua puluh ekor cheetah. Ada enam puluh penari termasuk pemain
tabla yang sekarang saling menyerang dalam hentakan musik
Masai. Penonton riuh rendah dalam kekaguman. Para fotografer
sampai kehabisan film.
Pasir-pasir halus yang bertaburan di atas arena membubung
menjadi debu tebal yang mengaburkan pandangan. Debu itu
mengelilingi kami yang berputar seperti pusaran angin. Di tengah
pusaran itu kami bertempur habis-habisan dalam sebuah ritual
liaralam Afrika yang kami tarikan seperti binatang buas yang terluka.
Dalam kekacau-balauan terdengar teriakan-teriakan histeris, auman
binatang, dan suara tabla berdentum-dentum.
Keseluruhan koreografi yang menampilkan fragmen
pertempuran manusia melawan binatang dengan gerakan spontan
di depan podium kehormatan itu ternyata menghasilkan karya seni
yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Sebuah formasi gerakan
chaos orisinal yang tercipta secara tidak sengaja. Para penonton
tersihir melihat kami trance secara kolektif, mereka tersentak dalam
histeria menyaksikan pemandangan magis yang menkjubkan.
Sebuah pemandangan eksotis dari totalitas tarian yang menciptakan
efek seni yang luar biasa. Sebuah efek seni yang memang
diharapkan Mahar, efek seni yang akan membawa kami menjadi
Penampil Seni Terbaik tahun ini, tak diragukan, tak ada
Pak Harfan, Bu Mus, dan guru-guru kami sangat bangga dan
seolah tak percaya melihat murid-muridnya memiliki kemampuan
seperti itu. Mereka tak sadar bahwa kami menderita berat karena
gatal dan gerakan kami tak ada hubungannya dengan Moran,
cheetah, dan bunyi-bunyian tabla yang memecah gendang telinga.
Tiga puluh menit kami tampil serasa tiga puluh jam. Kami,
para sapi, memang dirancang untuk meninggalkan arena pertama
kali. Pemain tabla, cheetah, dan prajurit Masai masih harus melan
jutkan fragmen. Segera setelah meninggalkan arena kami berlari
pontang panting mencari air. Sayangnya air terdekat adalah sebuah
kolam kangkung butek di belakang sebuah toko kelontong. Kolam
itu adalah tempat pembuangan akhir ikan-ikan bsuuk yang tak laku
dijual. Apa boleh baut, kami ramai-ramai menceburkan diri di sana.
Kami tak melihat ketika penonton memberikan standing
applause selama tujuh menit. Kami tak menyaksikanguru-guru kami
menangis karena bangga. Aku kagum kepada Mahar, ia berhasil
memompa kepercayaan diri kami dan dengan kepercayaan diri
ternyata siapa pun dapat membuat prestasi yang mencengangkan.
Hal itu dibuktikan oleh sekolah Muhammadiyah yang mampu
mematahkan mitos bahwa sekolah kampung tidak mungkin menang
melawan sekolah PN dalam karnaval. Sayangnya saat itu kami tak
dapat ber gembira seperti warga Muhammadiyah di podium dan
kami jgua tak mendengar ketika ketua dewan juri, Mbah Suro, naik
mimbar. Beliau mengucapkan pidato panjang puji-pujian utnuk
kami: “Sekolah Muhammadiyah telah menciptakan daripada suatu
arwah baru dalam karnaval ini. Maka dari itu mereka telah
mencanangkan suatu daripada standar baru yang semakin
kompetitif dari pada mutu festival seni ini. Mereka mendobrak
dengan ide kreatif, tampil all out, dan berhasil menginterpretasikan
dengan sempurna daripada sebuah tarian dan musik dari negeri
yang jauh. Para penarinya tampil penuh penghayatan, dengan
spontanitas dan totalitas yang mengagumkan sebagai suatu
manifestasi daripada penghargaan daripada mereka terhadap seni
pertunjukan itu sendiri. Penampilan Muhammadiyah tahun ini
adalah daripada suatu puncak pencapaian seni yang gilang
gemilang dan oleh karena itu dewan juri tak punya daripada pilihan
lain selian daripada menganugerahkan penghargaan daripada
penampila seni terbaik tahun ini kepada sekolah Muhammadiyah !.
Whai dewan juri yang terhormat, mari kuberitahukan pada
bapak-bapak sekalian, tahu apa bapak-bapak soal seni, interpr etasi
seni kami adlaah interpretasi getah buah aren yang gatalnya
membakar lingkaran leher kami sampai ke pangkal-pangkal paha
dengan perasaan seperti memakan api. Itulah yang membuat kami
menari seperti orang yang tidak waras, dan tiulah interpretasi seni
Mendengar pidato itu para penonton kembali bergemuruh dan
seluruh warga Muhammadiyah bersorak-sorai senang karena
sebuah kemenangan yang fenomenal.
Sebaliknya kami, delapan ekor ternak dalam koreografi hebat
itu, tetap tak tahu semua kejadian yang menggemparkan itu, dan
kami juga masih tak tahu ketika Mahar diarak warga
Muhammadiyah setelah sekolah menerima trofi bergengsi Penampil
Seni Terbaik tahun ini. Trofi yang telah dua puluh tahun kami
idamakan dan selama itu pula bercokol di sekolah PN. Baru
pertama kali ini trofi itu dibawa pulang oleh sekolah kampung. Trofi
yang tak ‘kan membuat sekolah kami dihina lagi.
Kami tak tahu semua itu karena ketika itu kami sedang
berkubang di dalam lumpur kolam kangkung, menggosok-gosok
leher dengan daungenjer. Yang kami tahu hanyalah bahwa Mahar
telah membalas kami dengan setimpal karena pelecehan kami
padanya selama ini. Buah-buah aren itu sungguh merupakan
sebuah ran cangan kalung etnik properti adi busana koreografi yang
bernilai seni, hasil perenungan Mahar berjam- jam sambil
memandangi langit di bawah pohon filicium. Itulah sebuah
perenungan tingkat tinggi yang membuat hatinya bergejolak
sepanjang malam karena girang akan memberi kami pelajaran,
sebuah perenungan pembalasan dendam yang telah ia rencanakan
dengan rapi selama bertahun-tahun.
Wajah manisnya pasti sedang tersenyum sekarang dan
senyumnya tak berhenti mengembang jika ia ingat penderitaan
kami. Di kolam busuk luar biasa sehingga merontokkan bulu hidung
ini kami membayangkan Mahar melonjak-lonjak girang disirami
sinaragung prestasi dan kata-kata pujian setinggi langit. Sedangkan
kami agaknya memang patut dihukum di kolam perut ikan ini.
Mahar membalas kami sekaligus merebut penghar gaan terbaik—
sekali tepuk dua nyamuk tumbang. Pria muda yang nyeni itu
memang genius luar baisa, dan baginya pembalasan ini maniiiiis
sekali, semanis buah bintang.
AWAN-AWAN kapas berwarna biru lembut turun. Mengapung
rendah ingin menyentuh permukaan laut yang surut jauh, beratusratus hektare luasnya, hanya setinggi lutut, meninggalkan pohonpohon kelapa yang membujur di sepanjang Pantai Tanjong
Kelayang. Aku tahu bahwa awan-awan kapas biru muda itu dapat
menjadi penghibur bagi mataku, tapi dia tak kan pernah menjadi
sahabat bagi jiwaku, karena sejak minggu lalu aku telah menjadi
sekuntum daffodil yang gelisah, sejak kukenal sebuah kosakata baru
dalam hidupku: rindu.
Kini setiap hari aku dilanda rindu padanonakuku cantik itu.
Aku rindu pada wajahnya, rindu pada paras kuku-kukunya, dan
rindu pada senyumnya ketika memandangku. Aku juga rindu pada
sandal kayunya, rindu pada rambut-rambut liar di dahinya, rindu
pada caranya mengucapkan huruf “r”, serta rindu pada caranya
merapikan lipatan-lipatan lengan bajunya.
Kadang-kadang aku bersembunyi di bawah pohon filicium ,
melamun sendiri, dadku sesak sepanjang waktu. Aku segera
mengerti bahwa aku adalah tipe laki-laki yang tak kuat menahankan
rindu. Lalu aku berpikir keras mencari jalan untuk meringankan
beban itu. Setelah melalui pengkajian berbagai taktik, akhirnya aku
sampai pada kesimpulan bahwa rinduku hanya bisa diobati dengan
cara sering-sering membeli kapur dan untuk itu Bu Mus adalah satusatunya peluangku.
Maka aku mengerahkan segala daya upaya, memohon
sepenuh hati, agar tugas membeli kapur tulis diserahkan padaku,
kalau perlu kapur tulis untuk seluruh kelas SD dan SMP
Muhammadiyah, sepanjang tahun ini.
“Bukankah kau paling benci tugas itu Ikal?.
Aku tersipu. Ironis, aku telah menemukan definisi ironi yang
Penyebabnya tentu bukan karena Toko Sinar Harapan telah
menjadi wangi, tapi semata- mata karena ada putri Gurungobi
menungguku di sana. Maka ironi bukanlah persoalan substansi, ia
tak lain hanyalah soal kompensasi. Itulah definisi ironi, tak kurang
Bu Mus tak berminat mendebatku dan kulihat perubahan
wajahnya. Pastilah instingnya selama bertahun-tahun menjadi guru
secara naluriah telah membunyikan lonceng di kepalanya bahwa hal
ini sedikit banyak berhubungan dengan urusan cinta monyet.
Dengan jiwa penuh pengertian dan sebuah senyum jengkel b eliau
mengiyakan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Asal jangan kau hilangkan lagi kapur-kapur itu, perlu kau
tahu, kapur itu dibeli dari uang sumbangan umat!.
Kemudian aku dan Syahdan menjadi tim yang solid dalam
pengadaan kapur. Aku menjadi semacam manajer pembelian,
Syahdan tak perlu mengayuh sepeda, cukup duduk di belakang,
memegang kotak-kotak kapur kuat-kuat dan menjaga mulutnya
rapat-rapat, karena hubungan antar-ras adalah isu yang sensitif
ketika itu. Kami menikmati ketegangan perjanjian rahasia ini dan
selama beberapa bulan setelah itu aku telah menjadi tukang kapur
yang berdedikasi tinggi. Sebaliknya Syahdan, tentu saja melalui
rekomendasiku pada Bu Mus, selalu ikut denganku. Ia gembira
karena semakin lama meninggalkan kelas sekligus leluasa mendekati
putri tukang hok lo pan .
Sesampainya di toko biasanya aku langsung cepat-cepat
masuk dan berdiri tegak dengan saksama di tengah-tengah lautan
barang kelontong. Minyak kayu putih kukipas- kipaskan di bawah
hidung untuk melawan bau tengik. Aku menyeka keringat dan tak
sabar menunggu menit-menit ajaib, yaitu ketika A Miauw memberi
perintah kepada burung murai batu di balik tirai yang terbuat dari
keong-keong kecil itu.
Aku megnhampiri kotak merpati saat ia menjulurkan kapur.
Setiap kali ini terjadi jantungku berdebar. Ia masih tetap tak berkata
apa pun, diam seribu bahasa, demikian juga aku. Tapi aku tahu ia
sekarang tak lagi cepat-cep at menarik tangannya. Ia memberiku
kesempatan lebih lama memandangi kuku-kukunya. Hal itu cukup
membuatku demikian bahagia sampai seminggu berikutnya.
Demikianlah berlangsung selama beberapa bulan. Setiap
Senin pagi aku dapat menjumpai belahan jiwaku, walaupun
hanyakuku-kukunya saja. Hanya sampai di situ saja kemajuan
hubungan kami, takada sapa, takada kata, hanya hati yang bicara
melalui kuku-kuku yang cantik. Tak ada perkenalan, tak ada tatap
muka, tak ada rayuan, dan tak ada pertemuan. Cinta kami adalah
cinta yang bisu, cinta yang sederhana, dan cinta yang sangat malu,
tapi indah, indah sekali tak terperikan.
Kadang-kadang ia menjentikkan jarinya atau menggodaku
sambil terus memegang kotak kapur ketika akan kuambil sehingga
kami saling tarik. Kadang kala ia mengepalkan tinjunya, mungkin
maksudnya: kenapa kamu terlambat? Sering telah kusiapkan diri
berminggu-minggu untuk sedikit saja memegang tangannya atau
untuk mengatakan betapa aku rindu padanya. Tapi setiap kali aku
melihat kuku-kukunya, semua kata yang telah ditulis rapi pun sirna,
menguap bersama aroma keringat orang Sawang dan seluruh
keberanian lenyap tertimbun tumpukan lobak asin. Tirai yang
terbuat dari keong-keong kecil itu demikian kukuh untuk ditembus
oleh mental laki-laki sekecil aku.
Sudah dua musim berlalu, sudah dua kali orang-orang
bersarung turun dari perahu, aku merasa sudah saatnya untuk tahu
siapa namanya. Namun sekali lagi, walaupun sudah berhari-hari
mengumpulkan keberanian untuk bertanya langsung ketika
tangannya menjuilur, aku menjadi bisu dan tuli. Aku begitu kerdil di
depannya. Maka kutugaskan Syahdan mencari informasi. Ia sangat
girang mendapat tugas itu. Lagaknya seperti intel Melayu,
mengendap-endap, berjingkat-jingkat penuh rahasia.
“Namanya A Ling ...!” bisiknya ketika kami sedang khatam
Al-Qur’an di Masjid Al Hikmah. Jantungku berdetak kencang.
“Seangkatan dengan ktia, di sekolah nasional!” Dan pyarrr!!
Kopiah resaman Taikong Razak menghantam rihalan Syahdan.
“Jaga adatmu di muka kitaballah anak muda!!.
Syahdan meringis dan kembali menekuri Khatamul Qur’an.
Sekolah nasional adalah sekolah khusus anak-anak Tionghoa. Aku
menatap Syahdan dengan serius.
Sekolah nasional ...? “Jangan sampai tahu ibuku,” kataku
cemas, “Bisa-bisa kau ken a rajam..
Syahdan tak mau menanggapi peringatkanku yang tidak
kontekstual dengan infonya yang berharga tadi. Wajahnya
mengisyaratkan bahwa ia punya keju tan lain.
“A Ling adalah sepupu A Kiong ...!.
Aku terkejut, rasanya seperti tertelan biji rambutan yang macet
A Kiong, pria kaleng kerupuk itu! Mana mungkin dia punya
sepupu bidadari? Syahdan membaca pikiranku, ia menganggukangguk yakin memastikan, “Iya, betul sekali, Kawan, A Kiong kita
itu, tapi aku tak pasti, apakah A Kiong seperti itu karena tumbal ilmu
sesat, titisan yang keliru, atau anomali genetika?.
Syahdan vulgar dan sok tahu. Aku segera teringat pada A
Kiong. Beberapa hari ini ia belajar di kelas sambil berdiri karena
lima biji bisul padi bermunculan di pantatnya sehingga ia tak bisa
duduk. Tapi ia berkeras ingin tetap sekolah.
Aku tak dapat menggamabrkan perasaanku atas semua info
ini. Kenyataan bahwa A Ling adalah sepupu a Kiong membuatku
bersemangat sekaligus waswas. Aku dan Syahdan berunding serius
membahas perkembangan ini dan kami putuskan untuk
menceritakan situasinya pada A Kiong. Kami menganggap dialah
satu-satunya peluang untuk menembus tirai keong itu.
Kami giring A Kiong menuju kebun bunga sekolah dan kami
dudukkan di abngku kecil dekat kelompok perdu kamar Beloperone
, Pittosporum , dan kembang sepatu yang saat itu sedang bersemi,
tempat yang sempurna untuk bermusyawarah soal cinta.
“Mudahnya begini saja, Kiong,” kataku tak sabar. “Aku akan
menitipkan padamu surat dan puisi untuk A Ling, maukah kau
memberikan padanya? Serahkan padanya kalau kalian sembahyang
di kelenteng, pahamkah engkau?.
Ia mengernyitkan dahinya, rambut landaknya berdiri tegak,
wajahnya yang bulat gemuk tampak semakin jenaka. Ketika ia
melepaskan kembali kernyitannya itu pipinya yang tembem jatuh
berayun-ayun lucu. Dia adalah pria berwajah mengerikan tapi lucu.
“Mengapa tak kauberikan langsung padahal setiap Senin pagi
kau bertemu dengannya? Tidak masuk akal!” A Kiong tak
mengucapkan kata-kata itu tapi inilah arti kernyitannya itu. Aku juga
menjawabnya dari dalam hati, semacam telepati. “Hei, anak
Hokian, sejak kapan cinta masuk akal?.
Aku menarik napas panjang, membalikkan badanku,
memandang jauh ke lapangan hijau pekarangan sekolah kami.
Seperti sedang berakting dalam sebuah teater aku merenggut daundaun Dracaena , meremas- remasnya lalu melemparkannya ke
“Aku malu, A Kiong, nyaliku lumpuh kalau berada satu meter
darinya, aku adalah seorang pria yang kompulsif, jika ceroboh aku
takut ketahuan bapaknya, kalau itu terjadi, tak terbayangkan
Kudapat kata-kata itu dari majalah Aktuil langganan abangku,
barangkali agak kurang tepat, tapi apa peduliku. Demi mendengar
kata-kata seperti naskah sandiwara radio itu Syahdan memeluk eraterat pohon petai cina di sampingnya. Aku kehabisan kata untuk
menjelaskan pada A Kiong bahwa titip-menitip dalam dunia
percintaan mengandung nilai romansa yang tinggi karena ada
unsur-unsur kejutan di sana.
Rupanya A Kiong menangkap keputusasaan dalam nada
suaraku. Ia adalah siswa yang tidak terlalu pintar tapi ia setia kawan.
Sepanjang masih bisa diusahakan ia tak ‘kan pernah membiarkan
sahabatnya patah harapan. Luluh hatinya melihat aktingku.
Sekarang ia tersenyum dan aku menyembahnya seperti murid
shaolin berpamitanpada suhunya untuk memberantas kejahatan.
Namun karena turunan darah wiraswasta leluhurnya, A Kiong tentu
menuntut kompensasi yang rasional. Aku tak keberatan menggarap
PR tata buku hitung dagangnya.
Lalu, tak terbendung, melalui A Kiong, puisi-puisi cintaku
mengalir deras menyerbu pasar ikan. Baginya itu hanyalah tugas
mduha. Sebaliknya, ia mulai merasakan kenikmatan eskalasi gengsi
akibat nilai-nilai tata buku hitung dagang yang membaik.
Hubungan A Kiong, aku dan Syahdan adalah simbiosis
mutualisme, seperti burung cako dengan kerbau. Ia sama sekali tak
menyadari bahwa persoalan titip menitip ini dapat membawa risiko
ia pecah kongsi dengan pamannya A Miauw.
Aku selalu mendesak A Kiong untuk menceritakan
bagaimana wajah A Ling ketika menerima puisi dariku.
“Seperti bebek ketemu kolam,” kata A Kiong penuh godaan
Dan pada suatu sore yang indah, di bulan Juli yang juga
indah, di tempat duduk bulat, sendirian di kebun bunga kami, aku
menulis puisi ini untuk A Ling:
A Ling, lihatlah ke langit
Jauh tinggi di angkasa
Awan-awan putih yang berarak itu
Aku mengirim bunga-bunga krisan untukmu
Ketikaku masukkan puisi ke dalam sampul surat, aku tersenyum,
tak percaya aku bisa menulis puisi seperti itu. Cinta barangkali dapat
memunculkan sesuatu, kemampuan atau sifat-sifat rahasia, yang tak
kita sadari sedang bersembunyi di dalam tubuh kita.
Namun ketika itu aku selalu merasa heran mengapa A Ling
selalu mengembalikan puisiku? Barangkali di tokonya yang sesak tak
ada lagi tempat untuk menyimpan kertas.
Demikianlah pikiranku, bukankah anak kecil selalu berpikir
positif. Aku tak ambil pusing soal itu lagi pula saat ini pikiranku
sedang tak keruan karena pada kotak kapur yang kuambil pagi ini
Jumpai aku di acara sembahyang rebut
Tulisan tangan A Ling! Ini adalah lompatan raksasa dalam
hubungan kami. Bagiku catatan kecil ini sangat penting seperti
katebelece presiden untuk menaikkangaji seluruh pegawai negeri.
Keinginanku melihat kembali wajah Michele Yeoh-ku setelah insiden
tirai dulu adalah tabungan rindu dalam celengan tanah liat yang
setiap saat hampir meledak. Dan dalam waktu 92 jam, 15 menit, 10
detik dari sekarang aku akan menjumpainya langsung! Di halaman
Hari-hari menjelang pertyemuan adalah hari-hari tak bisa
tidur. Klasik sekali memang, tapi apa boleh buiat karena memang itu
kenyataannya maka harus kuceritakan.
Berkali-kali kubaca pesan di atas kotak kapur itu tapi masih
tetap isinya tentang janji ketemu. Dibaca dari arah mana pun, dari
belakang seperti membaca huruf Arab, dari depan, dari atas, dari
jauh, dari dekat, dipantulkan di cermin, digerus dengan lilin, dibaca
dengan kaca pembesar, dibaca di balik api, ditaburi tepung terigu,
diawasi lama-lama seperti melihat gamabr tiga dimensi yang
tersamar, isinya tetap sama yaitu “jumpai aku di acara sembah yang
rebut”. Itu adalah kalimat bahasa Indonesia yang jelas, bukan idiom,
bukan isyarat atau simbol. Aku seolah tak percaya dengan pesan itu
tapi aku, si Ikal ini, akan segera berjumpa dengan cinta pertamanya!
Tak diragukan lagi, dunia boleh iri.
Kotak kapur yang ada tulisan pesan A Ling itu kusimpan di
kamarku seperti benda koleksi yang bernilai tinggi. Syahdan dan A
Kiong sampai bosan terus-menerus mendengar kisahku tentang
pesan itu. Mereka muak. Satu pelajaran berharga, orang yang
sedang jatuh cinta adalah orang yang egois. Aku seolah tak percaya
pada apa yang ak an terjadi, mimpikah ini? “Bukan, Kawan, bukan
mimpi, mandilah bersih-bersih dan tunggu dia pukul emapt sore di
halaman kelenteng, saat persiapan sembah yang rebut. Dia wanita
yang baik, dia akan datang untuk janjinya,” nasihat A Kiong, event
organizer pertemuan penting ini, yang tiba-tiba menjadi amat
Chiong Si Ku atau sembahyang rebut diadakan setiap tahun.
Sebuah acara semarak di mana seluruh warga Tionghoa berkumpul.
Tak jarang anak -anaknya yang merantau pulang kampung untuk
acara ini. Banyak hiburan lain ditempelkan pada ritual keagamaan
ini, misalnya panjat pinang, komidi putar, dan orkes Melayu,
sehingga menarik minat setiap orang untuk berkunjung. Dengan
demikian ajang ini dapat disebut sebagai media tempat empat
komponen utama kelompok subetnik di kampung kami: orang
Tionghoa, orang Melayu, orang pulau bersarung, dan orang Sawang
Orang Sawang tak terlalu tertarik dengan hiburan-hiburan tadi
tapi mata mereka tak lepas dari tiga buah meja berukuran besar
dengan panjang kira-kira 12 meter, lebar dan tingginya kira-kira 2
meter. Di atas meja itu ditimbun berlimpah ruah barang-barang
keperluan rumah tangga, mainan, dan berjenis-jenis makanan.
Barang-barang ini adalah sumbangan dari setiap warga Tionghoa.
Tak kurang dari 150 jenis barang mulai dari wajan, radio transistor,
bahkan televisi, berbagai jenis kue, biskuit, gula, kopi, beras, rokok,
bahan tekstil, berbagai botol dan kaleng minuman ringan, gayung,
pasta gigi, sirop, ban sepeda, tikar, tas, sabun, payung, jaket, ubi
jalar, baju, ember, celana, buah mangga, kursi plastik, batu baterai,
sampai beragam produk kecantikan disusun bertumpuk-tumpuk
laksana gunung di atas meja- meja besar tadi. Daya tarik terkuat dari
sembahyang rebut adalah sebuah benda kecil yang disebut fung pu,
yakni secarik kain merah yang disembunyikan di sela-sela barangbarang tadi. Benda ini merupakan incaran setiap orang karena ia
perlambang hoki dan yang mendapatkannya dapat menjualnya
kembali pada warga Tionghoa dengan harga jutaan rupiah.
Meja itu diletakkan di depan sebuah Thai Tse Ya, yaitu patung
raja hantu yang dibuat dari bambu dan kertas-kertas berwarnawarni. Tinggi Thai Tse Ya mencapai 5 meter dengan diameter perut
2 meter. Ia adalah sesosok hantu raksasa yang menyeramkan.
Matanya sebesar semangka dan lidahnya panjang menjuntai seperti
ingin menjilati jejeran babi berminyak-minyak yang dipanggang
berayun di bawahnya. Thai Tse Ya tak lain adalah representasi sifatsifat buruk dan kesialan manusia. Sepanjang sore dan malam hari,
warga Tionghoa yang Kong Hu Cu tentu saja melakukan
sembahyang di depan Thai Tse Ya ini.
Tepat tengah malam salah seorang paderi akan memukul
sebuah tempayan besar pertanda seluruh hadirin dapat
mengambil—lebih tepatnya merebut—semua barang yang ada di
tiga meja besar tadi. Oleh karena itu Chiong Si Ku disebut juga
acara sembah yang rebut.
Ketika tempayan itu dipukul bertalu-talu tanda mulai berebut
aku menyaksikan salah satu peristiwa paling dahsyat yang pernah
dilakukan manusia. Gunungan beratus- ratus jenis barang tersebut
lenyap dalam waktu tak lebih dari satu menit—25 detik lebih
tepatnya, dan tempat itu berubah menjadi kekacaubalauan yang tak
tertuliskan kata-kata.
Debu tebal mengepul ketika ratusan orang dengan garang
menyerbu meja-meja tinggi itu dengan semangat seperti orang
kesetanan. Tak jarang meja-meja itu hancur berantakan dan para
perebut cidera berat.
Mereka yang berhasil naik ke atas meja dengan gerakan secep
at kilat melemparkan barang-barang secara sistematis kepada rekanrekannya yang menunggu di bawah. Mereka yang bertindak sendiri
naik ke atas meja dan memasukkan apa saja yang ada di dekatnya
ke dalam sebuah karung—juga dengan kecepatan kilat—sampai
kadang kala tak bisa menurunkan karungnya itu karena sudah di
luar batas ten aganya.
Kadang kala belasan orang ber ebut sebuah barang sehingga
terjadi semacam perkelahian di tengah tumpukan barang dan b
eberapa di antaranya terjengkang, jatuh menabrak barang-barang
rebutan, lalu terjembab ke tanah. Para penonton tak sempat
bertepuk tangan tapi hanya terpana menyaksikan pemandangan
sekilas yang mahadahsyat sekaligus ngeri membayangkan
bagaimana manusia bisa begitu serakah dan beringas.
Mereka yang tidak membawa karung memasukkan apa saja ke
dalam seluruh saku baju dan celana bahkan ke dalam bajunya
sehingga tampak seperti badut. Dalam situasi berebutan yang sangat
cepat otak sudah tidak bisa menalar, kadang kala butir-butir beras
dan gula juga dimasukkan ke dalam saku celana. Mereka yang saku
baju dan celananya—bahkan bagian dalam bajunya—telah penuh
memasukkan apa saja ke dalam mulutnya, mereka makan apa saja,
sebanyak mungkin, ketika masih berada di atas meja, jika perlu
mereka akan menyimpan barang di dalam lubang-lubang hidung
dan telinga, luar biasa! Jika berhasil merebut radio transistor jangan
harapakan membawanya pulang dengan utuh karena ketika masih
di atas meja radio itu akan direbut oleh lima belas orang sekaligus
sehingga yang tersisa hanya tombol-tombol atau antenanya saja.
Prinsipnya tak mengapa mendapatkan tombolnya saja asalkan
orang lain juga tak mendapatkan radio seutuhnya. Perkara radio itu
menjadi hancur tak bisa dipakai adalah urusan lain yang tak
penting. Inilah manifestasi dasar keserakahan manusia. Chiong Si
Ku adalah bukti nyata tak terbantah terhadap teori yang dip ercaya
para antropolog tentang kecenderungan egois, tamak, merusak, dan
agresif sebagai sifat-sifat dasar homo sapiens.
Superstar dalam Chiong Si Ku tentu saja orang-orang Sawang.
Tanpa mereka bisa-bisa acara ini kehlilangan sensasinya. Mereka
sukses setiap tahun karena pengorganisasian yang solid. Sejak sore
mereka telah melakukan riset di mana posisi barang-barang
berharga, dari sudut mana harus menyerbu, berapa tenaga yang
diperlukan, dan mengkalkulasi perkiraan perolehan. Berhari-hari
sebelu m sembahyang rebut mereka telah menyusun strategi.
Pembagian tugasnya jelas, yaitu mereka yang berbadan besar
bertugas menjegal kelompok perebut lain, yang kecil menyerbu naik
ke atas meja seperti gerakan monyet: cepat, jeli, dan tangkas, dan
sisanya menunggu di bawah, siaga menangkapapa saja yang
dilemparkan dari atas meja. Kelompok ini beranggotakan sampai
dua puluh orang. Seorang pria Sawang kurus bermata liar
ditugaskan khusus selama bertahun-tahun untuk menjarah fung pu .
Ketika ia beraksi ekspresinya datar seolah ia tak punya urusan
dengan perebut-perebut serakah lainnya.
Tingkah lakunya persis budak yang dijanjikan merdeka oleh
Siti Hindun jika berhasil membunuh Hamzah sang panglima pada
perang Uhud. Sang budak tak ada urusan dengan perang Uhud,
perang itu bukan perangnya, setelah menombak dada Hamzah ia
bergegas pulang. Demikian pula pria bermata liar ini. Ketika paderi
memukul tempayan pertama kali ia langsung memanjat meja seperti
manusia laba-laba, lalu dengan cekatan ia berjingkat-jingkat di
antara lautan barang-barang. Matanya yang tajam nanar jelalatan
melacak ke sana kemari dan dalam waktu singkat ia mampu
menemukan fung fu . Ia selalu sukses meskipun paderi telah
menyembunyikan benda kecil keramat itu dengan amat rapi di
antara tumpukan terdalam lipatan daster, di dalam salah satu dari
puluhan kaleng biskuit Khong Guan yang paling sulit dijangkau, di
dalam karung ekmiri, di sela- sela dedaunan tebu, bahkan di dalam
buah jeruk kelapa. Setelah mendapatkan fung pu ia menyelipkan
carikan merah itu di pinggangnya dan melompat turun seperti
pemilikilmu peringan tubuh. Ia tak sedikit pun peduli dengan
barang-barang berharga lainnya serta kecamuk ratusan pria kasar
yang berebut dengan brutal. Sang legenda hidup Chiong Si Ku itu
mendarat ke bumi tanpa menimbulkan suara lalu sedetik kemudian
ia menghilang di tengah kerumunan massa membawa lari lambang
supremasi Chiong Si Ku. Ia lenyap di telangelap, asap gaharu, dan
Orang-orang Melayu, sebagaimana baisa, susah berorganisasi. Bukannya fokus pada ikhtar untuk mencapai tujuan dan
memenangkan persaingan tapi sebaliknya mereka gemar sekali
berpolitik sesama mereka sendiri. Tak terima jika dikoreksi dan
jarang ada yang mau berintrospeksi. Di antara mereka selalu saja
berbeda pendapat dan mereka senang bukan main dengan
pertengkaran yang tak konstruktif. Tak mengapa tujuan tak tercapai
asal tak jatuh nama dalam debat kusir. Dan selalu terjadi suatu
gejala yang paling umum yaitu: yang paling bodoh dan paling tak
berpendidikan adalah paling lantang dan paling pintar kalau bicara.
Jika orang Melayu membentuk sebuah tim maka setiap orang ingin
menjadi pemimpin. Akhirnya tim yang solid tak pernah terbentuk.
Akibatnya dalam sembahyang rebut mereka beroperasi secara
individu dan berjuang secara soliter maka yang berhasil dibawa
pulang hanya tubuh yang remuk redam, sebatang tebu, beberapa
bungkus sagon, sebelah kaos kaki Mundo, beberapa butir kepala
boneka, bibit kelapa yang tak dipedulikan orang Sawang, dan
pompa air—itu pun hanya sumbatnya saja.
Chiong Si Ku diakhiri dengan membakar Thai Tse Ya dengan
harapan tak ada sifat-sifat buruk dan kesialan melanda sepanjang
tahun ini. Sebuah acara keagamaan tua yang syarat makna, berseni,
Pukul 3.30 selesai shalat Ashar.
Pesan di kotak kapur! Seperti message in a botle . Aku berdiri
tegak di bawah pohon seri di halaman kelenteng sambil memegangi
sepedaku, menunggu. Anak-anak muda Tionghoa hilir mudik.
Mereka sibuk mendirikan Thai Tse Ya setinggi lima meter.
Ada A Kiong diantara mereka, ia berulang kali mengacungkan
jempolnya menyemangatiku.
“Tabahlah, Kawan, ambil semua risiko, begitulah hidup,”
demikian barangkali maksudnya.
Aku membalas dengan senyum kecut karena aku gelisah. Aku
gelisah membayangkan apa yang ada di pikiran seorang wanita
muda Tionghoa tentang laki-laki Melayu kampung seperti aku. Dan
berada di tengah lingkungan mereka membuat aku semakin ragu.
Apa aku pulang saja? Tapi aku rindu. Dan rinduku telanjur
Seperti terjadi setiap hari, pukul 3.30 sore matahari masih
terasa sangat panas dan dengan berdiri di sini sebagian tubuhku
tersiram cahayanya. Aku dapat merasakan keringatku mengalir
pelan di leher baju takwa putih berlengan panjang, baju terbaik
yang aku miliki, hadiah hiburan lomba azan. Jantungku berdetak
kacau, aku gugup luar biasa.
Burung matahari akwanan tujuh ekor yang berkicau-kicau di
dahan-dahan rendah seri jelas-jelas menggodaku. Mereka
berjingkat-jingkat dan ribut sekali. Kumbang juga menerorku, seperti
suara ambulans mereka sibuk melubangi kayu-kayu besar bercat
merah mencolok yang menyangga atap kelenteng. Suaranya
merisaukanku. Aku tak sabar menunggu.
Pukul 3.55 Sudah 25 menit aku mematung di sini, tak ada
tanda-tanda kehadiran A Ling.
Wajah A Kiong menaruh belas kasihan padaku. Barangkali
tadi aku tiba terlalu awal, harusnya aku datang terlambat saja, atau
tak datang sama sekali. Berbagai pikiran aneh mulai merasukiku.
Aku merasa lelah karena tegang. Kakiku kesemutan.
Mataku tak lepas-lepas memandang ke arah satu-satunya jalan
yang menghubungkan kelenteng dengan pasarikan. Di sepanjang
kiri kanan jalan ini tumbuh berderet-deret pohon saga. Cabang-
cabang atasnya bertemu meneduhi jalan di bawahnya sehingga
jalan ini tampak seperti gua. Setelah deretan pohon-pohon saga,
jalan ini berbelok ke kanan. Pinggir jalan ini dipagari bekas-bekas
tulang bangunan yang terlantar.
Tulang-tulang bangunan itu dirambati dengan lebat tak
beraturan ke sana kemari oleh Bougainvillea spectabilis liaratau
kembang kertas dan berakhir pada ujung sebuah jalan buntu. Di
ujung jalan ini berdiri toko Sinar Harapan, rumah A Ling. Maka
berdiri dua puluh meter persis di depan Thak Si Ya adalah posisi
yang telah kuperhitungkan dengan matang. Jika ia muncul di
belokan itu, maka dari posisi ini aku dapat melihatnya langsung
berjalan anggun seperti burung sekretaris menuju ke arahku. Pasti ia
akan menunduk tersenyum-senyum, atau, seperti film India, ia akan
berlari kecil membawa seikat bunga, lalu merentangkan tangannya
untuk memelukku. Ah, aku bermimpi.
Tapi ia tak muncul-muncul dan aku berulang kali mengusap
mataku yang kelelahan memelototi belokan itu. Kakiku penat dan
aku mulai merasa pusing karena ketegangan berkepanjangan.
Sekarang Thak Si Ya telah berdiri, para pemuda Tionghoa bertepuk
tangan, sementara aku semakingelisah. Aku melirik Thak Si Ya yang
berdiri tinggi tegak, matanya seram sekali mengawasi gerak gerikku.
Sekarang sudah pukul 3.57, tiga menit menjelang tenggat
waktu. Aku menghitung dengan jariku, jika sampai hitungan keenam
puluh ia tak muncul maka aku akan pergi saja. Aku kepanasan dan
merasa mual. Karena tegang, perutku naik membaut ngilu ulu
hatiku. Kalautadi pikiran yang bukan-bukan merasukiku, kini
pikiranku dilanda keraguan.
Apakah ia benar-benar seperti persepsiku selama ini? Apakah
yang kuabyangkan tentang dirinya akan sama sekali berbeda
kenyataannya? Mungkinkah sekarang ia sedang menyiangi tauge,
lupa akan janjinya? Tahukah ia betapa berarti pesannya itu
untukku? Dan sekarang ia tak datang, betapa hancur hatiku. Ingin
segera kukayuh sepeda ini, lari sekencang-kencangnya
menceburkan diri ke Sungai Lenggang.
Pukul 4.02, lewat sudah batas janji.
Tik! Tok! Tik! Tok! Tik! Tok! Sudah 60! Hitunganku sampai. Ia
ingkar! Aku berada di puncak kegelisahan. Tanganku dingin,
jantungku berdetak makin cepat. Suara kumbang-kumbang semakin
riuh merubung aku, menerorku tanpa ampun.
Ngiung! Ngiung! Ngiung ...
Dadaku sesak karena rindu dan marah, aku naiki sadel
sepeda, sudah tak tahan ingin berlalu dari neraka ini. Namun ketika
aku akan mengayuh sepeda, aku mendengar persis di belakangku
suara itu. Suara yang lembut seperti tofu. Suara yang membuat
kumbang-kumbang terdiam bungkam. Inilah suara yang sejuk
seperti angin selatan, suara terindah yang pernah kudengar seumur
hidupku, laksana denting harpa dari surga.
Aku berbalik cepat dan terkejut.
Aku tak mampu mengucapkan sep atah kata pun. Karena di
situ, persis di situ, tiga meter di depanku, berdirilah ia, the
distinguished Miss A Ling herself! Michele Yeoh-ku.
Ia datang dari arah yang sama sekali tak kuduga karena
sebenarnya dari tadi ia sudah berada di dalam kelenteng
memerhatikanku, dan pada detik-detik terakhiraku akan kecewa, ia
hadir, memberiku kejutan listrik voltase tinggi, menghancurkan
setiap butiran- butiran darah merah di tubuhku. Setelah lima tahun
mengenalnya, baru tu juh bulan yang lalu pertama melihat
wajahnya, setelah puluhan puisi yang kutulis untuknya, setelah
berton-ton rindu untuknya, baru sore ini dia akan tahu namaku.
Aku tergagap-gagap seeprti orang Melayu belajar mengaji.
Ia mengulum senyum, manis sekali tak terperikan. Hadir
dalam balutan chong kiun , baju acara penting yang memesona, di
suatu bulan Juli yang meriah, ia turun ke bumi bagai venus dari
Laut Cina Selatan. Baju itu mengikuti lekuk tubuhnya dari atas mata
kaki sampai ke leher dan dikunci dengan kancing tinggi berbentuk
Tubuhnya yang ramping bertumpu di atas sepasang sandal
kayu berwarna biru. Cantik rupawan melebihi mayoret mana pun.
Tingginya tak kurang dari 175 cm, jelas lebih tinggi dariku.
Serasi dengan rumpun genayun yang tumbuh kurus
menjulang di sampingnya ia mengikat rambutnya menjadi satu
ikatan besar dan ikatan itu ditegakkan tinggi-tinggi.
Beberapa helai rambut yang disatukan jatuh di atas pundak
chong kiun berwarna lam set , biru muda, dengan motif bunga ros
besar-besar. Beberapa helai rambut lainnya dibiarkan jatuh
melintasi wajahnya yang teduh jelita. Kuku-kukunya yang cantik
memegang hio utnuk sembahyang.
Ada sedikit kilasan kedewasaan pada pancaran matanya
dibanding terakhir kami bertemu. Teori yang memaksakan pendapat
bahwa wanita bermata besar kelihatan lebih cantik akan runtuh
berantakan jika melihat A Ling. Matanya yang sipit sedikti tertarik ke
atas, senada dengan bentuk alis yang dibiarkan alami. Dalam
lukisan wajah yang tirus bentuk mata seperti itu menciptakan rasa
kecantikan dengan karakter yang kaut. Inilah pusat gravitasi pesona
Sejujurnya aku tak sanggup mengatasi keanggunan pada level
seperti ini. Ini bukan untukku. Aku merasa tak pantas. Bagiku ia
seperti seseorang yang akan selalu menjadi milik orang lain. Dan
aku, tak lebih dari pengisi data nama dan alamat pada buku
simfoninya yang akan terlupakan sebulan setelah ini. Aku tak
mungkin berada di dalam liga ini. Aku rasanya ingin pulang saja. Ia
membaca itu. Lalu memegang mata kiang lian , seuntai kalung yang
menggantung panjang di lehernya. Mata kalung itu batu giok dan
bertulisan Tionghoa. Aku tak paham makna tulisan itu.
Miang sui ,” kata A Ling. Nasib, itulah artinya.
Dan lilin besar merah pun dinyalakan, cahayanya berkibarkibar, ratusan jumlahnya. Mata Thai Tse Ya berkilat-kilat karena lilin
menyinari wajahnya dari bawah.
Ia tampak makin seram tapi aura A Ling membuatnya tak
lebih dari boneka kertas yang jenaka dan kumbang-kumbang yang
nakal tadi tak berani muncul lagi.
A Ling menarik tanganku, kami berlari meninggalkan
halaman kelenteng, terus berlari melintasi kebun kosong tak terurus,
menyibak-nyibakkan rumput apit-apit setinggi dada, tertawa kecil
menuju lapangan rumput halaman sekolah nasional. Kami
merebahkan diri kelelahan, memandangi awan senja berarakan.
“Aku membaca puisimu, Bunga Krisan, di depan kelas!”
katanya serius. “Puisi yang indah .....
Wajah A Ling yang cantik berair karena keringat, seperti
embun di permukaan kaca. Ia bangkit, lalu berjalan hilir mudik di
depanku yang memandanginya seperti bayi melihat kelereng. Lalu
dengangaya seperti dosen ia menggenggam jemarinya, bercerita
penuh semangat tentang minatnya pada sketsa dan cita-citanya men
jadi perancang busana. Sebaliknya, aku menceritakan minatku pada
seni. Di dekatnya aku merasa berarti, merasa menjadi seseorang, di
dekatnya aku merasa ingin menjadi seorang pria yang lebih baik. Di
dekatnya aku merasa seperti sedang berada dalam sebuah adegan
Dari lapangan itu kami kemudian berlari-lari menuju komidi
putar. Bukankah komidi putaradalah sebuah benda yang
menakjubkan? Setelah seorang priakumal mengangkat sebuah tuas
lalu benda itu secara mekanik memutarinsan-insan yang dimabuk
cinta yang duduk berimpitan di dalam sebuah tempat seperti
mentudung. Lalu tiba-tiba semuanya menjadi mudah karena semua
hal disaksikan dari suatu jarak. Bagiku mentudung-mentudung itu
seumpama pelaminan di mana orang berusaha menikmati
keindahan cinta dalam kesederhanaan sensasi yang ditawarkan
Keindahan yang sederhana ini membuatku belajar
menghargai cinta yang sekarang duduk di sampingku. Inilah sore
terindah dalam hidupku. Aku bertanya-tanya pada diri sendiri: ke
manakah nasibakan membawaku setelah ini? Dari putaran tertinggi
komidi aku dapat melihat lapangan tempat tadi kami memandangi
DI sebuah buku aku melihatnya mengendarai kuda dengan cara
memeluk erat perut hewan itu seperti prajurit Kubilai Khan. Matanya
berkilat-kilat karena dewa mata tombak telah melukai hatinya.
Darahku menggelegak ketika ia mengendap-endap mendekati
Dan aku tak kuasa membalik satu lembar terakhir saat ia
mengatakan bahwa ia akan mencampakkan cinta wanita-wanita
berdarah campuran Tututni dan Chimakuan. Semua itu karena ia
tak mau mencemari darah Indian Pequot yang mengalir deras di
tubuhnya, dan yang paling memilukan, karena ia adalah pria
terakhir dalam sukunya.
Maka air kelaki-lakiannya bersimbah di punggung-punggung
kuda tak berpelana dan ia mengembara sendirian di lautan padang
rumput Vellowstone yang tak bertepi. Ia menjerit sepanjang hari dan
menari menantang matahari sehingga pandangan matanya gelap
gulita. Ia merangkak-rangkak, berdoa agar salah satu wanita dari
sukunya akan muncul di antara kawanan coyote seperti para dewa
telah menghadirkan wanita-wanita Sguamish. Tapi waktu yang
mengutus angin juga telah tega mengkhianatinya, sehingga ia
menjadi tua, dan saat maut menagih janjinya, ia mati masih perjaka.
Pagi itu langit melapangkan kedua tangan, menyambut darah asli
Pequot. Chinookcuk, yang terakhir dari kaumnya itu adalah prajurit
yang memutuskan untuk mengucilkan diri karena ingin menjaga
kesucian darah Pequot. Sama seperti suatu suku terasing di
Sepahua Amazon. Mereka melarikan diri jauh ke rimba yang dalam
karena ingin menghindarkan diri dari wabah kolera. Sejak tahun
1500 tak seorang pun pernah melihat mereka. Isolated by choice,
demikian para ahli menyebutnya, yaitu sikap sengaja mengasingkan
diri. Sedangkan yang mengumbar keberadaan dirinya seperti sukusuku Osage, Huron, Lakmiut, Cherokee, Sawang, atau Melayu
Belitong umumnya mengalami hambatan-hambatan geografis
sehingga terisolasi. Meskipun dalam kasus tertentu isolasi sengaja itu
juga terjadi karena pertimbangan komersial, misalnya Sheffield yang
tiga tahun lalu memutuskan untuk mengucilkan diri dengan
menutup bandaranya karena tidak menghasilkan keuntungan.
Adapun suku-suku Perupian itu memang terasing karena rimba
belantara yang sulit ditembus, sungai-sungai yang liar, dan gunung
gemu-nung yang terjal.
Pada suatu ketika Melayu Belitong sempat terisolasi karena
mereka tinggal di sebuah pulau kecil yang dikelilingi samudra,
sementara tidak semua peta memuat pulau ini. Waktu itu di sana
belum berdiri BTS-BTS atau antena gelombang mikro untuk
telekomunikasi. Satu- satunya akses suku ini kepada dunia luar
adalah melalui sebuah pintu baja setebal 30 sentimeter. Bagi orang
Belitong, pintu baja itu adalah tabir pemisah kehidupan jahiliah dan
dunia modern, sekaligus laksana teropong kapal selam yang timbul
untuk melongok- longok dunia luar.
Pintu baja tulen itu menutup sebuah ruangan sempit rahasia yang
menyimpan benda-benda keramat berwarna-warni. Ruangan ini
disebut kluis dan merupakan bagian utama dari sebuah kantor
peninggalan Belanda. Jika pintu ini ditutup maka orang Melayu
Belitong merasa bahwa di dunia ini Tuhan hanya menciptakan
mereka dan bumi ber-bentuk lonjong. Kluis adalah jendela alam
semesta bagi suku Melayu Belitong.
Oleh karena itu, kluis sangat penting dan kuncennya bukan orang
sembarangan. Di dunia ini hanya ia dan Tuhan yang tahu
kombinasi sebelas digit nomor benteng pertama kluis. Setelah
memutar kombinasi itu ia harus melalui tiga tahap lagi untuk
membukanya. Pertama, ia harus memasukkan dua buah anak kunci
tembaga kurus panjang ke dalam dua lubang kunci dan
memutarnya setengah lingkaran secara bersamaan. Kedua, ia
kembali memasukkan sebuah anak kunci besar yang harus diputar
dengan kedua tangan karena harus cukup tenaga untuk membalik
enam buah batangan baja murni sebesar lengan manusia dewasa
dari penyekatnya. Inilah tuas kunci utama kluis. Dan ketiga, setelah
pintu besi 30 sentimeter itu terbuka ternyata masih ada lagi pintu
besi jeruji yang dikunci dengan gembok tembaga selebar telapak
Ruangan kluis ini tahan api dan jika diledakkan dengan dinamit
100 kilogram ia masih tak akan bergerak. Di dalamnya gelap pekat
tak ada udara, apabila terperangkap di sana dipastikan akan mati
lemas dalam waktu singkat. Jika pintu itu rusak, hanya seorang pria
tua bernama Hans Ritsema Van Horn dari Uttrech yang bisa
membetulkannya. Pengamanan dibuat demikian ketat berlapis-lapis
karena dalam kluis itu terdapat benda-benda keramat berwarnawarni, benda inilah sang penguasa waktu. Ia bukan sema-cam
lorong waktu yang dapat membalik tempo tapi ia lebih seperti time
slider pada DVD player, dan ia disimpan dalam portepel-portepel.
Dengan Rp200, perangko kilat, tujuh hari insya Allah sampai
kepada alamat penerima, menuju tujuan kota mana pun di Pulau
Jawa, dan Rp75 adalah perangko biasa, jika ingin sampai saat Hari
Raya Idul Adha maka kirimlah sebelum Hari Raya Idul Fitri. Pria
pemegang kunci kluis itu merupakan orang terpilih dan Tuhan diamdiam telah menciptakan untuknya sebuah pekerjaan yang bukan
hanya bergaji rendah tapi juga unik dan bisa memacu otak sekaligus
Dan kepada pemangku pekerjaan inilah seharusnya kita,
khususnya kami, orang-orang Melayu Belitong, menghaturkan
terima kasih yang tak terperikan. Meskipun The Beatles telah
menunjukkan sedikit respek kepadanya dengan menulis lagu Mr.
Postman, tapi masih jarang sekali pujangga-pujangga Melayu yang
tersohor merangkai gurindam, mengarang puisi, atau sekadar
menulis cerpen tentang kiprahnya.
Pekerjaan kuncen kluis yang memacu otak dan jantung
kumaksud di atas adalah pekerjaan Pak Pos yang sekaligus menjadi
kepala kantor pos di kecamatan-kecamatan. Dalam susunan
organisasi, mereka menamainya Pengurus Kantor Pos Pembantu,
tapi di kampung kami beliau disebut Tuan Pos. Beliaulah yang
memungkinkan kami berkomunikasi dengan budaya luar melalui
benda keramat berwarna-warni, yaitu perangko-perangko itu, dan
beliau pula yang menyampaikan koran-koran terlambat sebulan dari
Jakarta sehingga kami tahu rupa kepala suku republik ini. Pada
suatu kurun waktu pernah angin barat berkepan-jangan berembus
demikian kencang, akibatnya kapal-kapal harus memilih muatan
secara selektif dan orang-orang Belitong juga terpaksa memilih:
mau makan beras atau makan kertas?
Karena di kampung kami tidak ada sawah maka kapal-kapal itu
memutuskan untuk membawa barang-barang penting saja, dan
koran dianggap kurang penting. Maka koran- koran itu terlambat
selama tiga puluh dua tahun. Kami tak tahu apa yang terjadi di
Jakarta. Tapi setelah koran-koran itu tiba kami tak kecewa meskipun
telah terlambat selama itu karena ternyata sang kepala suku masih
orang yang sama. Tuan Pos memacu otak karena ia menguras
pikirannya untuk membuat perencanaan cash flow dan benda pos
guna keperluan bulan depan. Ia harus memperkirakan berapa orang
yang akan menarik tabanas, menguangkan wesel, menerima
pensiun, dan mengirim surat, kartu, dan paket. Lalu setelah
sepanjang hari melayani pelanggan di loket, menjelang sore
Tuan Pos mengeluarkan sepeda untuk berkeliling kampung
mengantar surat, ia pun memacu jantungnya.
Tuan Pos kami adalah tuan sekaligus anak buah bagi dirinya
sendiri karena semua pekerjaan ia kerjakan sendiri. Beliau bekerja
sejak subuh: memasak sagu untuk lem, mengangkat karung paket,
menjual perangko, menerima dan membayar tabanas dan wesel,
mencap surat. Kadang-kadang beliau membantu pelanggan menulis
dan malah membacakan surat cinta untuk para kekasih yang buta
huruf. Ketika BUMN yang sok progresif sekarang ribut soal Good
Corporate Citizenship, Tuan Pos kami telah jauh-jauh hari
mempraktik-kannya. Beliau menyortir surat sejak su-buh dan
mengantarnya di bawah hujan dan panas. Sudah begitu tak jarang
pula beliau menerima keluhan yang pedas dari pelanggan.
Sekilas dalam hati aku berdoa:
\"Ya, Allah, cita-citaku adalah menjadi seorang penulis atau
pemain bulu tangkis, tapi jika gagal jadikan aku apa saja kalau
besar nanti, asal jangan jadikan aku pegawai pos. Dan
jangan beri aku pekerjaan sejak subuh.\"
\"APA anak-anak muda di kelas ini sudah boleh menerima surat
cinta, Ibunda Guru?\"
Itulah kata-kata dari sepotong kepala yang melongok dari balik
daun pintu kelas kami.
Bu Mus tersenyum ramah pada Tuan Pos yang tiba-tiba muncul.
Beliau biasa menerima kiriman majalah syiar Islam Panji Masyarakat
dari sebuah kantor Muhammadiyah di Jawa Tengah.
Tapi kali ini Tuan Pos membawa surat untukku.
Inilah surat pertama yang kuterima dari Perum Pos. Dulu aku
sering mengantar nenekku ke kantor pos untuk mengambil pensiun.
Tapi secara pribadi, baru kali ini aku menerima layanan dari
perusahaan umum yang sangat bersahaja ini, sahabat orang kecil,
pos giro. Aku bangga dan sekilas merasa menjadi orang yang agak
Apakah surat ini dari redaksi majalah Kawanku atau majalah Hai
untuk puisi-puisi yang tak pernah kukirimkan? Tentu saja tak
mungkin. Surat ini dialamatkan ke sekolah, tak adanama dan alamat
pengirimnya, sampulnya biru muda, indah, dan harum pula
baunya. Apakah salah alamat? Mungkin untuk Samson atau Sahara
dari sahabat pena mereka di Kuala Tungkai, Sungai Penuh, Lubuk
Sikaping, atau Gunung Sitoli. Mengapa para sahabat pena selalu
berasal dari tempat-tempat yang namanya aneh? Atau mungkin
untuk Trapani yang tampan dari seorang pengagum rahasia?
Pak Pos tersenyum menggoda. Beliau mengeluarkan form xl3.
Tanda terima kiriman penting. \"Surat ini untukmu, rambut ikal,
cepat tanda tangan di sini, tak 'kan kuhabiskan waktuku di
sekolahmu ini, masih banyak kerjaan, sekarang musim bayar pajak,
masih ratusan SPT pajak harus diantar, cepatlah ....
\"Pak Pos belum puas dengan godaannya. \"Ada gadis kecil datang
ke kantor pos pagi-pagi. Mengirimimu kilat khusus dalam kota!
Mungkin asap hio membuatnya sedikit linglung, pakai perangko
biasa pun pasti kuantar hari ini. Ia berkeras dengan kilat khusus,
begitu pentingkah urusanmu belakangan ini, ikal mayang?\" Aha,
asap hio! Sekarang aku paham, kurampas surat itu.
Dadaku berdebar- debar. Menunggu waktu pulang untuk
membuka isi surat itu rasanya seperti menunggu rakaat terakhir
shalat tarawih hari ketiga puluh. Saat itu imam membaca hampir
setengah Surah Al-Baqarah sementara ketupat sudah menari-nari di
Aku duduk sendiri di bawah filicium ketika seluruh siswa sudah
Surat bersampul biru itu berisi puisi.
Cinta benar-benar telah menyusahkanku
Ketika kita saling memandang saat sembahyang rebut
Malamnya aku tak bisa tidur karena wajahmu tak
Mau pergi dari kamarku
Kepala ku pusing sejak itu...
Yang berani merusak tidur dan selera makanku ?
Yang membuatku melamun sepanjang waktu?
Kamu tak lebih dari seorang anak muda pengganggu!
Namun ingin kukatakan padamu
Setiap malam aku bersyukur kita telah bertemu
Karena hanya padamu, aku akan merasa rindu ....
Aku terpaku memandangi kertas itu. Tanganku gemetar. Aku
membaca puisi itu dengan menanggung firasat sepi tak tertahankan
yang diam-diam menyelinap. Aku bahagia tapi dilanda kesedihan
yang gelap, ada rasa kehilangan yang mengharu biru. Tak lama
kemudian aku melihat pagar-pagar sekolahku perlahan-lahan
berubah menjadi kaki-kaki manusia yang rapat berselang-seling.
Ada seseorang duduk bersimpuh di tengah lapangan dikelilingi kakikaki itu. Dan ada bangkai seekor buaya terbujur kaku disampingnya,
Ia tampak samar-samar dan terlihat sangat putus asa. Lalu wajah
samar laki-laki itu mulai mendekat, dia menoleh ke arahku, air mata
mengalir di pipinya yang carut marut berbintik hitam. Hari itu aku
paham bahwa kepedihan Bodenga yang kusaksikan bertahun-tahun
lampau di lapangan basket sekolah nasional telah melekat dalam
benakku sebagai sebuah trauma, dan hari itu, setelah sekian ta-hun
berlalu, untuk.pertama kalinya Bodenga mengunjungiku.
TEKANAN darahku terlalu rendah. Penderita hipo-tensi tidak bisa
bangun tidur dengan tergesa-gesa. Jika langsung berdiri maka
pandangan mata akan berkunang-kunang lalu bisa-bisa ambruk dan
kembali tidur dalam bentuk yang lain. Sebuah konsekuensi yang
mengerikan. Namun, Samson sungguh tak punya perasaan. Ia
membabat kakiku tanpa ampun dengan gulungan tikar lais saat aku
se-dang tertidur lelap.
\"Bangun!\" hardiknya. \"Wak Haji sudah datang, sebentar lagi
azan, disiramnya kau nanti!\" Dan aku terbangkit mendadak,
meracau tak keruan antara tidur dan terjaga, tergagap-gagap.
Kurasakan dunia berputar-putar, pandanganku gelap. Aku
merangkak berlindung di balik pilar agar tak ketahuan Wak Haji
yang sedang membuka jendela- jendela masjid. Sempat kulihat
Lintang, Trapani, Mahar, Syahdan, dan Harun terbirit- birit
menyerbu tempat wudu. Tidur di ruang utama masjid adalah
pelanggaran. Kami seharusnya tidur di belakang, di ruangan beduk
dan usungan jenazah. Aku tersandar tanpa daya pada pilar yang
beku, berusaha meregang-regangkan mataku, jantungku terengahengah, aku bersusah payah mengumpul-ngumpulkan nyawa.
Angin dingin menyerbu lewat jendela. Mataku terpicing
mengintip keluar jendela. Sisa cahaya bulan yang telah pudar jatuh
di halaman rumput, sepi dan murung.
Inilah early morning blue, semacam hipokondria, perasaan
malas, sakit, pesimis, dan kelabu tanpa alasan jelas yang selalu
melandaku jika bangun terlalu dini. Teringat puisi A Ling untukku,
aku ingin tidur lagi dan baru bangun minggu depan.
Setelah Wak Haji selesai mengumandangkan azan baru
kurasakan jiwa dan ragaku bersatu. Kucai yang telah mengambil
wudu dengan sengaja melewatiku, jaraknya dekat sekali, bahkan
hampir melangkahiku. Ia menjentik-jentikkan air kewajahku.
Kibasan sarung panjangnya menampar mukaku.
\"Pemalas!\" katanya.
Malam minggu ini kami menginap di Masjid Al Hikmah karena
setelah shalat subuh nanti kami punya acara seru, yaitu naik
Gunung Selumar tidak terlalu tinggi tapi puncaknya merupakan
tempat tertinggi di Belitong Timur. Jika memasuki kampung kami
dari arah utara maka harus melewati bahu kiri gunung ini. Dari
kejauhan, gunung ini tampak seperti perahu yang terbalik, kukuh,
biru, dan samar-samar. Di sepanjang tanjakan dan turunan
menyusuri bahu kiri Gunung Selumar berderet-deret rumah-rumah
penduduk Selinsing dan Selumar. Mereka memagari pekarangannya
dengan bambu tali yang ditanam rapat-rapat dan dipangkas rendahrendah. Kampung kembar ini dipisahkan oleh sebuah lembah yang
digenangi air yang tenang. Danau Merantik, demikian namanya.
Jika mengendarai sepeda maka stamina tubuh akan diuji oleh
sebuah tanjakan pendek namun curam menjelang Desa Selinsing.
Pemuda-pemuda Melayu yang berusaha membuat kekasihnya
terkesan tak 'kan membiarkannya turun dari sepeda. Mereka nekat
mengayuh sampai ke puncak, mengerahkan segenap tenaga,
tertatih-tatih sehingga sepeda tak lurus lagi jalannya. Setelah
tanjakan Selinsing ini ditaklukkan maka sepeda akan menukik turun.
Sang pemuda akan tersenyum puas, meminta kekasihnya memeluk
pinggangnya erat-erat dan meyakinkannya bahwa ia kurang lebih
tidak akan terlalu memalukan nanti kalau dijadikan suami.
Pada tukikan ini sepeda akan meluncur turun dengan deras,
menikung sedikit, sebanyak dua kali, menelusuri lembah Danau
Merantik, lalu disambut lagi oleh tanjakan kampung Selumar.
Kekasih mana pun akan maklum kalau diminta turun, karena
tanjakan Selumar meskipun tak securam tanjakan Selinsing namun
jarak tanjaknya sangat panjang.
Baru seperempat saja menempuh tanjakan Selumar maka sepeda
yang dituntun akan terasa berat. Pagar bambu tali yang dibentuk
laksana anak-anak tangga tampak berbayang-bayang karena mata
berkunang-kunang akibat kelelahan. Semakin ke puncak langkah
semakin berat seperti dibebani batu. Keringat bercucuran mengalir
deras melalui celah-celah leher baju, daun telinga, dan mata, sampai
Tapi saat mencapai puncaknya, yaitu puncak bahu kiri Gunung
Selumar, semua kelelahan itu akan terbayar. Di hadapan mata
terhampar luas Belitong Timur yang indah, dibatasi pesisir pantai
yang panjang membiru, dinaungi awan-awan putih yang
mengapung rendah, dan barisan rapi pohon-pohon cemara angin.
Dari puncak bahu ini tampak rumah-rumah penduduk teruraiurai mengikuti pola anak- anak Sungai Langkang yang berkelakkelok seperti ular. Kelompok rumah ini tak lagi dipagari oleh bambu
tali namun berselang-seling di antara padang ilalang liar tak bertuan.
Semakin jauh, jalur pemukiman penduduk semakin menyebar
membentuk dua arah. Pemukiman yang berbelok ke arah barat
daya terlihat sayup-sayup mengikuti alur jalan raya satu-satunya
menuju Tanjong Pandan. Dan yang terdesak terus ke utara terputus
oleh aliran sebuah sungai lebar bergelombang yang tersambung ke
laut lepas Sungai Lenggang yang melegenda. Di seberang Sungai
Lenggang rumah-rumah penduduk semakin rapat mengitari pasar
Jangan terburu-buru menuruni lembah. Berhentilah untuk
beristirahat. Sandarkan tubuh berlama-lama di salah satu pokok
pohon angsana tempat anak-anak tupai ekor kuning rajin bermain.
Dengarkan orkestra daun-daun pohon jarum dan jeritan histeris
burung- burung kecil matahari yang berebut sari bunga jambu
mawar dengan kumbang hitam. Nikmati komposisi lanskap yang
manis antara gu-nung, lembah, sungai, dan laut.
Longgarkan kancing baju dan hirup sejuk angin selatan yang
membawa aroma daun Anthurium andraeanum, yaitu bunga hati
yang tumbuh semakin subur beranak pinak mengikuti ketinggian.
Dinamakan bunga hati karena daunnya berbentuk hati.
Aku sendiri tak pasti, apakah aroma harum a-lami yang
melapangkan dada itu berasal andraeanum sendiri atau dari
simbiosisnya, sebangsa fungi Clitocybe gibba yaitu jamur daun tak
bertangkai yang rajin merambati akar-akar familia keladi itu. Jamur
ini bersemi dalam suhu yang semakin lembap saat memasuki musim
angin barat pada bulan-bulan yang berakhiran ber. Bentuknya
tegap, rendah, dan gemuk-gemuk.
Kami sudah sangat sering piknik ke Gunung Selumar dan agak
sedikit bosan dengan sensasinya. Biasanya kami tidak sampai ke
puncak, sudah cukup puas dengan pemandangan dari 75%
ketinggiannya. Lagi pula komposisi batu granit di atas lereng gunung
ini membuat jalur pendakian ke puncak menjadi licin. Namun, kali
ini aku amat bergairah dan bertekad untuk mendaki sampai ke
puncak. Laskar Pelangi menyambut baik semangatku. Belum apaapa mereka telah sibuk bercerita tentang pemandangan hebat yang
akan kami saksikan nanti dari puncak, yaitu seluruh jembatan di
kampung kami, kapal-kapal ikan, dan tongkang pasir gelas yang
bersandar di dermaga.
Tapi aku tak peduli dengan semua pemandangan itu karena aku
punya misi rahasia. Rahasia ini menyangkut sebuah pemandangan
menakjubkan yang hanya bisa disaksikan dari puncak tertinggi
Gunung Selumar. Rahasia ini juga berhubungan dengan bungabunga kecil nan rupawan yang hanya tumbuh di puncak tertinggi.
Mereka adalah bunga liar Callistemon laevis atau bunga jarum
merah, atau kalau beruntung, bunga kecil kuning kelopak empat
semacam Dip lotaxis muralis.
Aku menyebutnya bunga rumput gunung, istilahku sendiri,
karena ia senang menyelinap, enam atau tujuh tangkai
seperanakan, di antara rerumputan zebra liar di puncak-puncak
gunung dekat laut. Kelopaknya selebar ibu jari, berwarna kuning
redup dan tangkai yang menopangnya berwarna hijau muda
dengan ukuran tak sepadan, natural, spontan, lucu, dan cantik.
Daun-daunnya tak dapat dikatakan indah karena bentuk dan
warnanya, bukan kurannya, lebih seperti daun Vitex trif olia biasa.
Namun jika kita siangi daunnya dan berhasil mengumpulkan paling
tidak 15 kuntum lalu disatukan dengan jumlah yang lebih sedikit
dari kuntum bunga jarum merah maka satu kata untuk mereka:
Bunga jarum merah berbentuk jarum yang lebat dengan ujung
bulat kecil-kecil berwarna kuning. Ketika bunga jarum digabungkan
dengan bunga rumput gunung tanpa diatur maka mereka seolah
berebutan tampil. Ikatlah mereka dengan pita rambut berwarna biru
muda dan tulislah sebuah puisi, maka Anda akan mampu
mendinginkan hati wanita mana pun.
Setelah tiga jam mendaki kami tiba di puncak. Lelah, haus, dan
berkeringat, tapi tampak jelas rasa puas pada setiap orang, sebuah
ekspresi \"telah mampu menaklukkan\".
Aku yakin perasaan inilah yang memicu sikap obsesif setiap
pendaki gunung profesional untuk menaklukkan atap-atap dunia.
Kiranya daya tarik mendaki gunung berkaitan langsung dengan
fitrah manusia. Lalu dengan hiruk pikuk sahut-menyahut temantemanku, para Laskar Pelangi, berkomentar tentang pemandangan
yang terhampar luas di bawah mereka.
\"Lihatlah sekolah kita,\" pekik Sahara. Bangunan itu tampak
menyedihkan dari jauh. Rupanya dilihat dari sudut dan jarak
bagaimanapun, sekolah kami tetap seperti gudang kopra!
Lalu Kucai menunjuk sebuah bangunan,\"Hai! Tengoklah! Itu
Seluruh khalayak meneriakinya, tak terima.
\"Itu kelenteng, bodoh!\" Dan mereka pun terbelah dalam dua
kelompok debat kusir.
Sebagaimana biasa Mahar mulai berdongeng, menurutnya
Gunung Selumar adalah seekor ular naga yang sedang menggulung
diri dan telah tidur panjang selama berabad- abad.
\"Ular ini akan bangun nanti kalau hari kiamat. Kepalanya ada di
puncak gunung ini. Berarti tepat berada di bawah kaki-kaki kita
sekarang! Dan ekornya melingkar di muara Sungai Lenggang,\"
\"Maka jangan terlalu ribut di sini, nanti kalian kualat,\" tambahnya
lagi belum puas membodohi diri sendiri. Teman-temanku riuh
rendah mendengar cerita itu dalam pro dan kontra.
Tapi seperti biasa pula, A Kiong-lah yang selalu termakan
dongeng Mahar, ia tampak serius dan percaya seratus persen.
Mungkin sebagai ungkapan rasa kagum atas cerita yang sangat
bermanfaat itu, dengan takzim ia memberikan bekal pisang
rebusnya kepada Mahar. Sikapnya seperti seorang anggota suku
primitif menyerahkan upeti kepada dukun yang telah
menyembuhkannya dari penyakit kudis. Mahar menyambar upeti itu
dan secara kilat memasukkannya ke dalam sistem pencernaannya
tanpa peduli bahwa dia sedang dianggap sangat berwibawa oleh A
Meledaklah tawa Laskar Pelangi melihat pemandangan itu.
Namun A Kiong tetap serius, ia sama sekali tidak tertawa, baginya
kejadian itu tidak lucu.
Demikian pula aku. Aku juga tidak tertawa. Karena aku sedang
merasa sepi di keramaian. Mataku tak lepas me-mandang sebuah
kotak persegi empat berwarna merah nun jauh di bawah sana, atap
sebuah rumah. Rumah A Ling.
Aku menyingkir dari kegirangan teman-temanku, sendirian
menelusuri padang ilalang rendah di puncak gunung, memetik
bunga-bunga liar. Kupandangi lagi atap rumah A Ling dan
segenggam bunga liar nan cantik di dalam genggaman. Untuk inikah
aku mendaki gunung setinggi ini?
Panorama dari puncak ini seperti musik. In-tronya adalah
gumpalan awan putih yang mengapung rendah seolah aku dapat
menjangkaunya. Lalu mengalir vokal dari suitan- suitan panjang
burung-burung prigantil yang kadang-kadang begitu dekat dan
nyaring, sampai terdengar jauh samar-samar bersahut-sahutan
dengan lengkingan-lengkingan kecil kawanan murai batu. Reff
rainnya adalah ribuan burung punai yang menyerbu hamparan
buah bakung yang masak menghitam seperti permadani raksasa.
Musik diakhiri secaraf ade out oleh jajaran panjang hutan bakau
tang-kapan hujan yang memagari anak-anak Sungai Lenggang,
berkelok-kelok sampai tak tampak oleh pandangan mata, ditelan
muara-muara di sepanjang Pantai Manggar sampai ke Tanjong
Angin sejuk yang bertiup dari lembah menampar-nampar
wajahku. Aku merasa tenang dan akan kutulis puisi demi seseorang
di balik tirai keong itu. Puisi inilah misi rahasiaku.
A Ling, hari ini aku mendaki Gunung Seiumar
Tinggi, tinggi sekali, sampai kepuncaknya
Hanya untuk melihat atap rumahmu
SENIN pagi yang cerah. Sepucuk puisi dibungkus kertas ungu
bermotif kembang api. Bunga-bunga kuning kelopak empat dan
kembang jarum merah primadona puncak gunung diikat pita
rambut biru muda. Tak juga hilang kesegarannya karena semalam
telah kurendam di dalam vas keramik. Tak sabar rasanya ingin
segera kuberikan pada A Ling.
Benda-benda ajaib ini adalah properti sekuel cinta pagi ini, dan
skenarionya ada-lah: ketika A Ling menyodorkan kotak kapur, aku
serta-merta meletakkan bunga dan puisiku ini ke tangannya yang
terbuka. Tak perlu ada kata-kata. Biarlah ia menghapus air matanya
karena keindahan bunga-bunga liar dari puncak gunung. Biarlah ia
membaca puisiku dan merasakan kue keranjang tahun ini lebih enak
dari tahun-tahun lalu.
Aku gugup dan bergegas menghampiri lubang kotak kapur segera
setelah A Miauw memberi perintah. Namun ketika tinggal dua
langkah sampai ke kotak itu aku terkejut tak alang kepalang. Aku
terjajar mundur ke belakang dan nyaris terantuk pada kaleng-kaleng
minyak sayur. Aku terperanjat hebat karena melihat tangan yang
menjulurkan kotak kapur adalah sepotong tangan yang sangat
kasar. Tangan itu bukan tangan A Ling!
Tangan itu sangat ganjil, seperti sebilah tembaga yang jahat.
Bentuknya benar-benar kebalikan dari tangan Michele Yeohku.
Tangan itu berotot, dekil, hitam legam, dan berminyak-minyak. Dari
otot lengan atasnya menjalar urat-urat besar berwarna biru, timbul
Sebuah gelang akar bahar, tidak tanggung-tanggung, melingkar
tiga kali pada lengan tembaga sepuhan tembaga itu. Ujung gelang
diukir berbentuk kepala ular beracun kuat pinang barik yang
menganga lapar siap menyambar. Sedangkan ada pergelangan siku,
seperti dikenakan raksasa jahat dalam pewayangan, melekat gelang
alumunium ketat dengan kedua ujung berbentuk gerigi kunci, biasa
dipakai untuk tujuan-tujuan melanggar hukum. Memang tidak
terdapat tato pantangan bagi orang melayu yang tahu agama, tapi
pada tiga jari jemarinya terdapat tiga mata cincin yang mengancam.
Jari telunjuknya dibalut cincin batu satam terbesar yang pernah
kulihat. Batu satam adalah material meteorit yang unik karena di
muka bumi ini hanya ada di Belitong.
Warnanya hitam pekat karena komposisi carbon acid dan
mangaan, dan kepadatannya lebih dari baja sehingga tidak mungkin
bisa dibentuk. Batu-batu ini biasa bersembunyi di lubang bekas
tambang timah dan tak 'kan dapat ditemukan jika sengaja dicari.
Hanya nasib baik yang dapat mengeluarkan satam dari perut bumi.
Tahun 1922 kompeni menyebut batu ini billitonite dan dari sinilah
Pulau Belitong mendapatkan namanya. Tanpa sama sekali
mempertimbangkan estetika, pemilik tangan itu mengikat benda
keramat dari tata surya itu apa adanya dengan kuningan murahan.
Namun, ia memakainya dengan bangga seolah dirinya penguasa
Pada jari manisnya terpajang cincin bermata batu akik yang
mengesankan seperti sebuah batu kecubung asli Kalimantan yang
amat berharga. Tapi aku tak bisa dibohongi. Batu itu tak lebih dari
sintetis hasil masakan plastik yang dipadatkan dengan kristal pada
suhu yang sangat tinggi. Pemakainya adalah seorang penipu. Yang
ditipunya tak lain dirinya sendiri.
Yang terakhir, di jari tengahnya, tampak pemimpin dari seluruh
cincin yang mengintimidasi dan pernyataan kecenderungan licik
pemiliknya. Di situ menyeringai angker sebuah mata cincin besar
tengkorak manusia dengan mata berlubang. Cincin ini dibuat dari
bahan mur baja putih yang didapat secara kongkalikong dengan
orang bengkel alat berat PN Timah. Cara mengubah baja ini
menjadi cincin membuat siapa pun bergidik. Setelah dibentuk secara
kasar dengan mesin bubut kemudian mur besar baja putih mentah
yang sangat keras itu dikikir secara manual selama bermingguminggu.
Kebiasaan membuat cincin seperti ini sering dipraktikkan oleh
karyawan PN Timah dalam tingkatan kuli. Kerja keras rahasia
berminggu-minggu itu hanya akan menghasilkan sebuah cincin
putih berkilauan yang jelek sekali. Sebuah kebiasaan yang tak
masuk akalku sampai sekarang.
Lalu kuku-kuku pemilik tangan ini, aduh! Minta ampun,
bentuknya seperti paras kuku- kuku yang terkena kutukan. Berbeda
seperti langit dan bumi dibanding kuku-kuku A Ling yang bertahuntahun menyihir pandanganku. Kuku-kuku ini sangat tebal, kotor,
panjang tak beraturan, dan ujungnya pecah-pecah. Secara umum
kuku-kuku ini mirip sekali dengan sisik buaya.
Belum hilang rasa terkejutku, aku mendengar suara ketukan
keras kuku-kuku besi itu di permukaan papan dekat kotak kapur
tanda tak sabar, maksudnya biar aku segera mengambil kapur itu.
Dari dalam terdengar suara gerutuan tak bersahabat. Karena kukukuku itu sangat kasar maka ketukan itu terdengar demikian keras,
membuatku semakin gelisah. Tapi yang paling merisaukanku adalah
karena aku tak menemukan A Ling. Ke manakah gerangan Michele
\"Apa yang terjadi?\" Syahdan mendekatiku. \"I-kal, tangan siapa
seperti pentungan satpam itu?\"
Aku tak menjawab, tenggorokanku tercekik. Tangan itu tak asing
bagiku. Itu adalah tangan Bang Sad. Aku ingat ketika ia mengukir
kepala ular pinang barik pada akar bahar pemberian pria-pria
berkerudung tempo hari. Pernah diceritakannya padaku bahwa
dibutuhkan waktu tiga minggu untuk membentuk akar panjang dari
dasar laut itu menjadi gelang >tiga lingkar. Akaryang tadinya lurus
kencang ditaklukkan dengan cara melumurinya dengan minyak rem
dan mengasapinya dengan sabar di atas suhu tungku yang
terkendali. Ketukan-ketukan itu terus menerorku. Bang Sad sungguh
tak punya perasaan. Ia tak tahu aku sedang panik, gugup, dan risau
karena tak menjumpai A Ling seperti kebiasaan yang telah
berlangsung selama tujuh tahun. Baru kali ini terjadi hal di luar
kebiasaan itu. Situasi ini sangat membingungkan buatku. Otakku tak
Hanya Syahdan yang kiranya segera dapat mencerna keadaan,
mengurai kebuntuan, memecah kebekuan. Ia berinisiatif mengambil
kotak kapur itu. Bang Sad menarik tangannya seperti seekor
binatang melata yang masuk kem-bali ke dalam sarangnya.
Syahdan mendekatiku yang ber-diri terpaku, wajahnya sendu. Ia
ingin menunjukkan simpati tapi aku juga tahu bahwa ia sendiri
memerhatikan menghampiriku dengan tenang. Berdiri persis di
sampingku ia menarik napas pan-jang dan mengatur dengan hatihati apa yang ingin diucap-kannya.
\"A Ling sudah pigi Jakarta .... Nanti dia terbang naik pesawat
pukul 9. Ia harus menemani bibinya yang sekarang hidup sendiri, ia
juga bisa mendapat sekolah yang bagus di sana ....\"
Aku tertegun putus asa. Rasanya tak percaya dengan apa yang
kudengar. Terjawab sudah firasatku ketika Bodenga mengunjungiku.
Semangatku terkulai lumpuh.
\"Kalau adanasib, lain hari kalian bisa bertemu lagi.\" A Miauw
menepuk-nepuk pundakku.
Aku terdiam dan menunduk seperti orang sedang
mengheningkan cipta. Tanganku mencengkeram kuat ikatan bungabunga liar dan selembar puisi.
\"Ia titip salam buatmu dan ia ingin kamu menyimpan ini ....\"
A Miauw menyerahkan sebuah kado yang dibungkus kertas
berwarna ungu bermotif kembang api, persis sama dengan kertas
sampul puisiku. Sebuah kebetulan yang hampir mustahil. Aku tahu,
sejak awal Tuhan telah mengamati baik-baik cinta yang luar biasa
Aku merasa seluruh barang dagangan yang ada di toko itu rubuh
menimpaku. Dadaku sesak. Aku melihat sekeliling dan terpikir akan
sesuatu. Aku menarik tangan Syahdan dan mengajaknya pulang.
Persis pukul 8.50 kami sampai di halaman sekolah, lalu berlari
melintasi lapangan menuju pokok pohon gayam tempat kami sering
duduk bersama-sama mengamati pesawat terbang yang datang dan
pergi meninggalkan Tanjong Pandan. Kami mengambil posisi
terbaik sambil bersandar di pokok pohon itu. Kami diam dan terus
menengadahkan kepala, memicingkan mata, ke arah langit yang
cerah biru menyilaukan.
Pukul 9.05. Perlahan-lahan muncul sebuah pesawat Foker 28
melintas pelan di atas lapangan sekolah kami. Aku tahu di dalam
pesawat itu ada A Ling dan ia juga pasti sedang sedih meninggalkan
Aku mengamati pesawat yang per-gi membawa cinta pertamaku
menembus awan-awan putih nun jauh tinggi di angkasa tak
terjangkau. Pesawat itu semakin lama semakin kecil dan
pandanganku semakin kabur, bukan karena pesawat itu semakin
jauh tapi karena air mata tergenang pelupuk mataku. Selamat
tinggal belahan jiwaku, cinta pertamaku.
Setelah pesawat itu sama sekali menghilang Syahdan
meninggalkanku sendirian. Tiba- tiba aku disergap oleh perasaan
sunyi yang tak tertahankan. Rasanya di dunia ini hanya aku satusatunya makhluk hidup. Daun-daun gayam yang rontok berbunyi
seperti bilah- bilah seng yang berjatuhan di kesunyian malam.
Pohon gayam ini adalah satu-satunya pohon di tengah lapangan
sekolahku yang sangat luas dan aku duduk sendiri di bawahnya,
kesepian. Aku baru saja ditinggalkan oleh seseorang yang telah
memenuhi hatiku sampai meluap-luap selama lima tahun terakhir
ini. Lalu dengan tiba-tiba pagi ini, ia begitu saja tercabut dari
Aku membuka kado yang dititipkan A Ling. Di dalamnya
terdapat sebuah buku berjudul Seandainya Mereka Bisa Bicara
karya Herriot dan sebuah diary yang memuat berbagai catatan
harian dan lirik-lirik lagu. Aku membalik lembar demi lembar diary
itu. Tak ada yang istimewa dan tak ada yang khusus ditujukan
untukku. Namun pada suatu halaman aku membaca judul sebuah
puisi yang rasanya aku kenal, judulnya Bunga Krisan. Pada lembarlembar berikutnya aku melihat seluruh puisi yang dulu pernah
kukirimkan kepadanya dan selalu ia kembalikan. A Ling menylin
kembali seluruh puisiku dalam diary-nya.
ANGIN selatan, angin paling jinak, biasa berembus dengan
kecepatan maksimum 10 mph. Angin lembut ini tiba-tiba mengamuk
menjadi monster puting beliung dengan kecepatan seribu kali lipat,
10.000 mph. Pohon dan mobil-mobil beterbangan seperti bulu,
aspal jalan terkelupas. Seluruh bangunan runtuh, bahkan fondasi
rumah tercabut, yang tersisa hanya lubang-lubang WC. Tepung sari
Camellia dan Buxus yang tumbuh di kebun liar peliharaan alam di
puncak Gunung Samak terhambur ke udara, menimbulkan
pemandangan menyedihkan seperti nyawa-nyawa muda yang
dicabut paksa oleh malaikat maut dari jasad yang segar bugar.
Semua itu gara-gara pembakaran minyak solar berlebihan selama
ratusan tahun dalam eksploitasi timah sehingga menimbulkan gas
rumah kaca. Gas itu tertumpuk di atas atmosfer Belitong dan segera
menimbulkan efek rumah kaca, menunggu hari untuk menjadi mara
bahaya. Lalu senyawa gas rumah kaca itu karbondioksida dan
radiasi matahari memicu reaksi kimia yang mengubah tepung sari
yang bergentayangan di udara menjadi semacam bubuk mesiu
dengan daya ledak sangat tinggi seperti TNT. Karena kuantitasnya
telah beraku mulasi demikian lama maka pada suatu tengah hari
saat orang-orang Melayu sedang mendengarkan musik pelepas lelah
di RRI, tanpa firasat apa pun, terjadilah katastropi itu. Sebuah
ledakan yang sangat dahsyat seperti ledakan nuklir menghantam
Orang-orang Belitong mengira kiamat telah datang maka tak
perlu menyelamatkan diri. Mereka terduduk pasrah di tangga-tangga
rumahnya, melongo melihat ekor ledakan yang kemudian
membentuk cendawan raksasa yang menutupi tanah kuno pulau itu
sehingga gelap gulita.
Dalam waktu singkat ajal yang sebenarnya pun pelan-pelan
menjemput, yakni ketika cendawan yang mengandung radio aktif,
merkuri, dan amoniak hanyut turun mengejar orang-orang Belitong
yang kocar-kacir mencari perlindungan. Mereka menyelinap ke
gorong-gorong, menyelam di sungai, sembunyi di dalam karung
goni, terjun ke sumur-sumur, dan tiarap di got-got.
Tapi semua usaha itu sia-sia karena gas-gas kimia tadi larut
dalam udara dan air. Sebagian orang Belitong tewas di tempat,
tertungging seperti ekstremis dibedil kompeni, dan mereka yang
selamat berubah menjadi makhluk-makhluk cebol berbau busuk.
Melihat penampilan orang Belitong seperti itu pemerintah pusat
di Jakarta merasa malu kepada dunia internasional dan tak sudi
mengakui orang Belitong sebagai warga negara republik. Karena itu
Kabupaten Belitong dipaksa rela melakukan referendum. Walaupun
hanya sedikit orang Melayu Belitong yang ingin memisahkan diri
dari NKRI tapi pemerintah menganggap keputusan manusiamanusia cebol itu sebagai aklamasi sehingga
Belitong menjadi negara yang merdeka. Bisa dipastikan bahwa
Belitong tidak mampu menghidupi dirinya sendiri. Di sisi lain, efek
rumah kaca yang demikian tinggi mengakibatkan ekologi di sana
tidak seimbang, permukaan air laut naik, dan suhu menjadi terlalu
panas. Dan saat itulah kebenaran yang hakiki datang. Bodenga
yang telah lama menghilang tiba-tiba muncul mengambil alih
pemerintahan kabupaten, ia menindas tandas orang-orang cebol
yang telah memper-lakukan ia dan ayahnya dengan tidak adil.
Orang-orang cebol itu digiring olehnya dan digelontor ke muara
Sungai Mirang agar dimangsa buaya. Orang-orang cebol itu
meregang nyawa dan dalam waktu singkat mereka tewas ter-apungapung seperti ikan kena tuba.
Itulah kira-kira isi kepala seorang pemimpi yang hampir gila
karena frustrasi putus cinta pertama.
Aku tak bisa berpikir jernih, bermimpi buruk, berhalusinasi, dan
dihantui khayalan- khayalan aneh. Jika aku melihat ke luar jendela
dan ada pelangi melingkar maka pelangi iu menjadi monokrom.
Jika aku mendengar kicauan prenjak maka ia berbunyi seperti
burung mistik pengabar kematian. Aku merasa setiap orang: para
penjaga toko, Tuan Pos, tukang parut kelapa, polisi pamong praja,
dan para kuli panggul telah berkonspirasi melawanku.
Meskipun selama lima tahun aku hanya dua kali berjumpa
dengan Michele Yeohku tapi perasaanku padanya melebihi
segalanya. A Ling adalah sosok yang dapat menimbulkan perasaan
sayang demikian kuat bagi orang-orang yang secara emosional
terhubung dengannya. Ia cantik, pintar, dan baik. Cintanya penuh
imajinasi dan kejutan-kejutan kecil yang menyenangkan, mungkin
itulah yang membuatku amat terkesan. Tapi rupanya ketika ia
melepaskan genggaman tangannya minggu lalu, saat itu pula nasib
memisahkan kami. Kini dirinya menjadi semakin berarti ketika ia
sudah tak ada dan aku merasa getir.
Kepergian A Ling meninggalkan sebuah ruangan kosong, rongga
hampa yang luas, dan duka lara di dalam hatiku. Dadaku sesak
karena rindu dan demi menyadari bahwa rindu itu tak 'kan pernah
terobati, aku rasanya ingin meledak.
Aku selalu ingin menghambur ke toko kelontong Sinar Harapan,
tapi aku tahu tindakan dramatis seperti film India itu akan percuma
saja karena di sana aku hanya akan disambut oleh botol-botol tauco
dan tumpukan terasi busuk. Aku merana, merana sekali.
Aku merasa tak percaya, amat terkejut, dan tak sanggup
menerima kenyataan bahwa sekarang aku sendiri. Sendiri di dunia
yang tak peduli. Jiwaku lumpuh karena ditinggal kekasih tercinta,
atau dalam bahasa puisi: aku mengharu biru tatkala kesepian
melayap mencekam dermaga jiwa, atau: batinku nelangsa berdarahdarah tiada daya mana kala ia sirna terbang mencampak asmara.
Dan juga, laksana film India, perpisahan itu membuatku sakit.
Seperti pertemuan pertama dalam insiden jatuhnya kapur di hari
yang bersejarah tempo hari, saat itu kebahagiaanku tak terlukiskan
kata-kata. Maka kini, saat perpisahan, kepedihanku juga tak
tergambarkan kalimat. Beberapa waktu lalu aku pernah
menertawakan Bang Jumari yang menderita diare hebat dan
menggigil di siang bolong karena cintanya diputuskan oleh Kak
Shita, kakak sepupuku. Ketika itu aku tak habis pikir bagaimana
kekonyolan seperti itu bisa terjadi. Namun, kini hal serupa aku
alami. Hukum karma pasti berlaku ! Selama dua hari aku sudah
tidak masuk sekolah. Maunya hanya tergeletak saja di tempat tidur.
Kepalaku berat, napasku cepat, dan mukaku memerah. Ibuku
memberiku Naspro dan obat cacing Askomin. Tapi aku tak sembuh.
Aku menderita panas tinggi.
Setelah Syahdan, Mahar dan pengikut setianya A Kionglah yang
datang menjengukku. Mahar memakai jas panjang sampai ke lutut
seperti seorang dokter hewan dari Eropa dan A Kiong tergopohgopoh di belakangnya menenteng sebuah tas koper laksana siswa
perawat yang sedang magang. Koper ini sangat istimewa karena di
sana sini ditempeli bekasp eneng sepeda dan berbagai lambang
pemerintahan sehingga mengesankan Mahar seperti seorang pejabat
Syahdan sedang duduk di samping tempat tidurku ketika Mahar
masuk ke kamar. A Kiong dan Mahar tak mengucapkan sepatah
kata pun, ekspresi mereka datar. Dengan gerakan isyarat Mahar
menyuruh Syahdan minggir.
Mahar berdiri persis di sampingku, memandangiku dengan
cermat dari ujung kaki sampai ujung rambut. Ia masih tetap tak
bicara. Wajahnya serius seperti seorang dokter profesional dan
seolah dalam waktu singkat telah menyelesaikan diagnosisnya. Ia
menggeleng-gelengkankan kepalanya pertanda kasus yang dihadapi
tidak sepele. Ia menarik napas prihatin dan menoleh ke arah A
Kiong. \"Pisau!\" pekiknya singkat.
A Kiong cepat-cepat memutar nomor kombinasi koper lalu
mengeluarkan sebilah pisau dapur karatan. Aku dan Syahdan
memerhatikan dengan khawatir. Pisau itu diberikan dengan takzim
pada Mahar yang menerimanya seperti seorang ahli bedah.
\"Kunir !\" perintah Mahar lagi, tegas dan keras.
A Kiong kembali merogoh sesuatu dari dalam koper dan segera
menyerahkan kunir seukuran ibu jari. Tanpa banyak cingcong
Mahar memotong kunir dan dengan gerakan sangat cepat tak
sempat kuhindari ia menggerus kunir itu di keningku, melukis tanda
silang yang besar. Maka terpampanglah di keningku huruf X
berwarna kuning. Lalu, seperti telah sama-sama paham prosedur
berikutnya, tanpa dikomando, A Kiong mengambil dahan-dahan
beluntas dari dalam koper, melemparkannya kepada Mahar yang
menyambutnya dengan tangkas dan langsung menamparnamparkan daun-daun itu ke sekujur tubuhku tanpa ampun sambil
Bukan hanya itu, sementara Mahar mengibas-ngibaskan daundaun beluntas dengan beringas, A Kiong serta-merta menyemburnyemburkan air ke seluruh tubuhku termasuk wajah melalui alat
penyemprot bunga, sehingga yang terjadi adalah sebuah kekacauan.
Aku jadi berantakan dan basah seperti kucing kehujanan, namun
aku tak berkutik karena mereka sangat kompak, cepat, terencana,
dan sistematis. Tak lama kemudian mereka berhenti. Mahar menarik
napas lega dan A Kiong dengan wajah bloonnya ikut-ikutan
bernapas lega sok tahu. Sebuah sikap gabungan antara kebodohan
dan fanatisme. Aku dan Syahdan hanya melongo, terpana, pasrah
\"Tiga anak jin tersinggung karena kau kencing sembarangan di
kerajaan mereka dekat sumur sekolah ...,\" Mahar menjelaskan
dengan gaya seolah-olah kalau dia tidak segera datang nyawaku tak
tertolong. Tak ada rasa bersalah dan niat menipu tecermin dari
wajahnya. Mahar dan A Kiong tampil penuh kordinasi dengan
ketenangan mutlak tanpa dosa. Mereka tak sedikit pun ragu atas
keyakinanya pada metode penyembuhan dukun yang konyol tak
\"Merekalah yang membuatmu demam panas,\" sambungnya lagi
sambil memasukkan alat-alat kedokterannya tadi ke dalam koper,
lalu dengan elegan menyerahkan koper itu pada A Kiong. A Kiong
menyambut tas itu seperti anggota Paskibraka menerima bendera
\"Tapi jangan cemas, Kawan, barusan mereka sudah ku-usir,
besok sudah bisa masuk sekolah!\"
Lalu tanpa basa-basi, tanpa pamit, mereka berdua langsung
pulang. Hanya itu saja kata- katanya. Bahkan A Kiong tak
mengucapkan sepatah kata pun. Aku terengah-engah. Syahdan
menutup wajahnya dengan tangannya.
Mahar memang sudah edan. Ia semakin tak peduli dengan bukubuku dan pelajaran sekolah. Nilai-nilai ulangannya merosot tajam,
bisa-bisa ia tidak lulus ujian nanti.
Sebenarnya ia murid yang pandai, belum lagi menghitung bakat
seninya, tapi nafsu ingin tahu yang terkekang terhadap dunia gaib
membuatnya lebih senang memperdalam hal-hal yang subtil.
Belakangan ini keanehannya semakin menjadi-jadi, dan semua itu
gara-gara anak Gedong yang tomboi itu Flo atau mungkin gara-gara
seorang dukun siluman bernama Tuk Bayan Tula.
Sebulan yang lalu seluruh kampung heboh karena Flo hilang.
Anak bengal penduduk Gedong itu memisahkan diri rombongan
teman-teman sekelasnya ketika hiking di Gunung Selumar. Polisi,
tim SAR, anjing pelacak, anjing kampung, kelompok pencinta alam,
para pendaki profesional dan amatir, para petualang, para
penduduk yang berpengalaman di hutan, para pengangguran yang
bosan tak melakukan apa-apa, dan ratusan orang kampung tumpah
ruah mencarinya di tengah hutan lebat ribuan hektare yang
melingkupi lereng gunung itu. Kami sekelas termasuk di dalamnya.
Sampai senja turun Flo masih belum ditemukan. Bapak, Ibu, dan
saudara-saudaranya berulang kali pingsan. Guru-guru dan teman-
teman sekelasnya menangis cemas. Segenap daya upaya
dikerahkan tapi belum ada tanda-tanda di mana ia berada. Susah
memang, hutan di gunung ini sangat lebat, sebagian belum
terjamah, dan hutan itu ber-ujung di lembah-lembah liar yang dialiri
anak-anak sungai berbahaya.
Salak anjing, teriakan orang memanggil-manggil, dan suara
belasan megafone bertalu- talu di lereng gunung. Para dukun tak
mampu memberi petunjuk apa pun, ada saja alasannya, tapi
umumnya adalah bahwa para jin penunggu Gunung Selumar lebih
sakti, sebuah alasan klasik.
Dari lengkingan megafone itu kami tahu nama anak perempuan
yang sedang hilang: Flo Menjelang sore sebuah lampu sorot besar
yang biasa dipakai di kapal keruk dibawa ke lereng gunung untuk
memudahkan tim penyelamat. Orang-orang dari kampung tetangga
turut bergabung. Sekarang jumlah pencari mencapai ribuan. Hari
beranjak gelap dan keadaan semakin meng-khawatirkan. Kabut
tebal yang menyelimuti gunung sangat menyulitkan usaha
pencarian. Wajah setiap orang mulai kelihatan cemas dan putus asa.
Tahun lalu dua orang anak laki-laki juga tersesat,setelah tiga hari
mereka ditemukan berpelukan di bawah sebatang pohon Medang,
meninggal dunia karena kelaparan dan hipotermia. Sinar merah
lampu sirine mobil ambulans yang berputar-putar menjilati sisi
pohon-pohon besar, menciptakan suasana mencekam, seperti ada
Sudah delapan jam berlalu tapi Flo masih tak diketahui
keberadaanya di tengah hutan rimba gunung ini. Orang tua Flo dan
para pencari mulai panik. Malam pun turun.
Kami merasa kasihan pada Flo. Kini ia seorang diri dalam gelap
gulita rimba. Ia bisa saja terjatuh, mengalami patah kaki atau
pingsan. Atau mungkin saat ini ia sedang terisak- isak, ketakutan,
lapar dan kedinginan di bawah sebatang pohon besar, dan suaranya
telah parau memanggil-manggil minta tolong. Anak perempuan
yang seperti anak laki-laki itu tentu tadi pagi tak menyadari
konsekuensi keisengannya. Mungkin awalnya ia hanya ingin
menggoda teman-temannya. Tapi sekarang, keadaan bisa fatal.
Kontur gunung ini sangat unik. Jika berada di dalam hutannya
banyak sekali komposisi pohon dan permukaan tanah yang tampak
sama. Maka jika melewati jalur itu seolah seseorang merasa berada
di tempat yang telah ia kenal, padahal tanpa disadari langkahnya
semakin menjauh tersasar ke dalam rimba. Jika Flo mengalami ini ia
akan tersasar jauh ke selatan menuju aliran anak-anak Sungai
Lenggang yang sangat deras berjeram-jeram menuju ke muara. Tak
sedikit orang yang telah menjadi korban di sana. Pada beberapa
bagian di wilayah selatan ini juga terhampar dataran tanah luas
yang mengandung jebakan mematikan, yaitu kiumi, semacam pasir
hidup yang kelihatan solid tapi jika diinjak langsung menelan tubuh.
Namun, ia akan sial sekali jika tersasar ke utara. Di sana jauh
lebih berbahaya. Ia memasuki semacam pintu mati. Ia tak 'kan bisa
kembali, sebuah point of no return, karena lereng gunung di bagian
itu terhalang oleh ujung aliran sungai jahat yang disebut Sungai
Buta. Sungai Buta adalah anak Sungai Lenggang tapi alirannya
putus hanya sampai di lereng utara Gunung Selumar. Sungai itu
seperti sebuah gang sempit yang buntu atau seperti jalan yang
berakhir di jurang. Orang kampung menamainya Sungai Buta
sebagai representasi keangkerannya. Buta lebih berarti gelap, tak
ada petunjuk, terperangkap tanpa jalan keluar, dan mati.
Sungai Buta demikian ditakuti karena permukaannya sangat
tenang seperti danau, seperti kaca yang diam. Tapi tersembunyi di
bawah air yang tenang itu adalah maut yang sesungguhnya, yaitu
buaya-buaya besar dan ular-ular dasar air yang aneh-aneh. Buaya
sungai ini berperangai lain dan amat agresif, mereka mengincar
kera-kera yang bergelantungan di dahan rendah, bahkan
menyambar orang di atas perahu. Pohon-pohon tua ru1 yang tinggi
tumbuh dengan akar tertanam di dasar sungai ini, sebagian telah
mati menghitam, membentuk pemandangan yang sangat
menyeramkan seperti sosok-sosok hantu raksasa yang merenungi
per mukaan sungai dan menunggu mangsa melintas.
Sungai Buta berbentuk melingkar, mengurung sisi utara Gunung
Selumar. Jika Flo tersesat ke sini ia tak mung-kin dapat kembali
mundur karena tenaganya pasti tak akan cukup untuk kembali
mendaki punggung granit yang curam.Jika ia memaksa, sangat
mungkin ia akan terpeleset jatuh dan terhempas di atas batu-batu
karang. Pilihan satu- satunya hanya berenang melintasi Sungai Buta
yang horor dengan kelebaran hampir seratus meter. Untuk
menyeberangi sungai itu ia terlebih dahulu harus menyibaknyibakkan hamparan bakung setinggi dada dan hampir dapat
dipastikan pada langkah- langkah pertama di area bakung itu
riwayatnya akan tamat. Di sanalah habitat terbesar buaya-buaya
Di tengah kepanikan tersiar kabar bahwa ada seorang sakti
mandraguna yang mampu menerawang, tapi beliau tinggal jauh di
sebuah Pulau Lanun yang terpencil. Ialah seorang dukun yang telah
menjadi legenda, Tuk Bayan Tula, demikian namanya. Tokoh ini
dianggap raja ilmu gaib dan orang paling sakti di atas yang tersakti,
biang semua keganjilan, muara semua ilmu aneh.
Banyak orang beranggapan Tuk Bayan Tula tak lebih dari
sekadar dongeng, bahwa ia sebenarnya tak pernah ada, dan tak
lebih dari mitos untuk menakuti anak kecil agar cepat-cepat tidur.
Tapi banyak juga yang berani bersaksi bahwa ia benar-benar ada.
Bahkan diyakini beliau dulu pernah tinggal di kampung dan
sempat menjadi penjaga hutan larangan suruhan Belanda, pernah
menjadi carik, dan pernah menjadi nakhoda kapal yang berulang
kali memimpin armada melanglang Selat Malaka. Menjadi
Konon beliau memang memiliki bakat khusus di bidang ilmu
antah berantah, karena dalam usia muda beliau sudah menguasai
budi suci. Ilmu ini sangat potensial membuat penganutnya senang
memanjat tiang bendera di tengah malam sebab menderita sakit
saraf. Jika tak kuat menahankan ilmu gaib budi suci, dalam waktu
singkat seseorang bisa menjadi gila.
tanpa menyentuhnya. Tuk sudah khatam budi suci sejak usia belasan.
Dalam usia itu beliau juga sudah bisa mempraktikkan ilmu
sekuntak, maka beliau mampu memadamkan bohlam hanya
dengan memandangnya sepintas. Namun, seiring tinggi ilmunya ia
Tapi jika sukses, pemegangnya bisa membunuh orang bahkan
semakin menjauhkan diri dari masyarakat dan telah berpantang kata
untuk menjaga kesaktiannya. Maka Tuk Bayan Tula tak 'kan pernah
Kini Tuk menyepi di pulautak berpenghuni. Nama Tuk Bayan
Tula sendiri adalah nama yang menciutkan nyali. Tuk adalah nama
julukan lama, dari kata datuk untuk menyebut orang sakti di
Belitong. Bayan juga panggilan bagi orang berilmu hebat yang
selalu memakai nama binatang, dalam hal ini burung bayan. Tula,
bahasa Belitong asli, artinya kualat, mungkin jika kurang ajar
dengan beliau orang bisa langsung kualat. Sedangkan nama Pulau
Lanun tempat tinggal Tuk sekarang juga tak kalah angker. Lanun
berarti perompak. Pulau itu tak berani didekati para nelayan karena
di sanalah para perompak yang kejam sering merapat. Namun,
kabarnya para perompak itu kabur tunggang langgang ketika Tuk
Bayan Tula menguasai pulau itu. Banyak yang mengatakan para
perompak itu dipenggal Tuk dengan sadis. Kini Tuk tinggal sendirian
Berbagai cerita yang mendirikan bulu kuduk selalu dikait-kaitkan
dengan tokoh siluman ini. Ada yang mengatakan beliau sengaja
mengasingkan diri di pulau kecil sebelah barat sebagai tameng yang
melindungi Pulau Belitong dari amukan badai. Ada yang percaya ia
bisa melayang-layang ringan seperti kabut dan bersembunyi di balik
sehelai ilalang. Dan yang paling menyeramkan adalah bahwa
dikatakan Tuk telah menjadi manusia separuh peri.
Anehnya, di balik keangkeran cerita yang berbau mistis itu semua
orang menganggap Tuk Bayan Tula adalah wakil dari alam bawah
tanah dunia putih. Di beberapa wilayah di Belitong beliau dianggap
sebagai pahlawan yang telah membasmi para dukun hitam
nekromansi yang mengambil keuntungan melalui komunikasi
dengan orang-orang yang telah mati. Beliau dianggapahli
menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh praktik klenik jahat
untuk mencelakakan orang. Maka Tuk tak ubahnya Robin Hood,
pahlawan yang mencuri untuk menolong kaum papa, atau orang
yang berbuat baik dengan cara yang salah. Ada pula sebagian orang
Belitong yang menganggap beliau bukan dukun, tapi sekadar
seorang eksentrik yang dianu-gerahi indra keenam.
Apakah Tuk Bayan Tula seseorang yang mengkhianati ajaran
tauhid? Mungkinkah ia sekadar seorang pahlawan pemusnah santet
yang ingin mati sebagai martir? Ataukah ia hanya seorang tua yang
memutuskan hidup sendiri ka-rena bermasalah dengan perangkat
syahwat? Tak ada yang tahu pasti. Kisah kesaktian, gaya hidup,
biografi, dan paradoks kepahlawanan Tuk ketika dikonfrontasikan
dengan keyakinan orang awam akan menjadi sebuah misteri. Misteri
ini mengandung daya tarik dunia bawah tanah, metafisika,
paranormal, fenomena-fenomena janggal, dan ilmu pengetahuan
yang membakar rasa ingin tahu sebagian orang. Sebagian dari
orang itu adalah Mahar.
Dalam kasus Flo, keadaan paniklah yang menyebabkan orangorang sudah tidak lagi mengandalkan akal sehat sehingga berunding
untuk minta bantuan Tuk Bayan Tula. Kekalutan memuncak karena
saat itu sudah tengah malam dan Flo tak juga diketahui nasibnya.
Maka diutuslah beberapa orang untuk menemui Tuk Bayan Tula.
Utusan ini bukan sembarangan, paling tidak terdiri atas orangorang yang telah cukup berpengalaman dalam urusan mistik
sehingga cukup teguh hatinya jika digertak Tuk. Mereka adalah
seorang pawang hujan, seorang dukun angin, kepala suku Sawang,
dan seorang polisi senior. Utusan ini berangkat menggunakan sp
eedboat milik PN Timah yang berkecepatan sangat tinggi. Kami
waswas menunggu mereka kembali, terutama cemas kalau-kalau
keempat orang utusan itu disembelih oleh sang manusia siluman
Ketika matahari pagi mulai merekah, utusan tadi kembali. Kami
senang menyambut mereka dengan mengharapkan keajaiban yang
tak masuk akal, tapi itu lebih baik dari pada patah harapan sama
sekali. Namun utusan ini tak membawa kabar apa-apa kecuali
sepucuk kertas dari Tuk Bayan Tula. Puluhan orang mengerumuni
cerita mereka yang mencengangkan. Mahar duduk paling depan.
\"Ketika perahu merapat, anjing-anjing hutan melolong-lolong
seolah melihat iblis beterbangan,\" kata ketua utusan, seorang
pawang hujan. Ia termasuk orang berilmu dan dunia bawah tanah
bukan hal baru baginya, tapi terlihat jelas ia takut dan merasa Tuk
tidak ada di liganya. Sama sekali bukan tandingannya.
\"Tuk Bayan Tula tinggal di sebuah gua yang gelap, di jantung
Pulau Lanun. Pulau itu berbelok menyimpang dari jalur nelayan,
jadi tak seorang pun akan ke sana. Perahu- perahu perompak yang
telah beliau bakar berserakan di tepi pantai. Tak ada siapa-siapa di
pulau itu kecuali beliau sendiri dan tak terlihat ada tanaman kebun
atau sumur air tawar, tak tahulah Datuk itu makan minum apa.\"
Kemudian para anggota utusan yang lain sambungmenyambung, \"Melihat wajahnya dada rasanya berdetak, sungguh
seseorang yang tampak sangat sakti dan berilmu ting-gi. Ketika
beliau keluar ke mulut gua seakan seluruh alam menunduk. Di sana
kami merasakan udara yang pe-nuh daya magis.\"
Cerita ini dikonfirmasikan oleh hampir seluruh anggota utusan,
bahwa ketika Tuk Bayan Tula berdiri kira-kira lima meter di depan
mereka, mereka melihat kaki-kaki datuk itu tak menyentuh bumi. Ia
seperti kabut yang melayang.
\"Tubuhnya tinggi besar, rambut, kumis, dan jenggot-nya lebat
dan panjang, matanya berkilat-kilat seperti burung bayan.
Pakaiannya hanya selembar kain panjang yang dililit- lilitkan. Ia
bertelanjang dada, dan sebilah parang yang sangat panjang terselip
di pinggangnya. Aku ketakutan melihatnya.\"
Kami mendengarkan dengan saksama, terutama Mahar yang
tampak terpesona bukan main. Mulutnya ternganga dan raut
wajahnya memperlihatkan kekaguman yang amat sangat pada Tuk
Bayan Tula. Ia tampak begitu terpengaruh dan siap mengabdi pada
superstar dunia gaib itu. Inilah fanatisme buta. Dalam imajinasinya
mungkin Tuk Bayan Tula sedang duduk di atas singgasana yang
dibuat dari tulang belulang musuh-musuhnya.
Lalu beberapa ekor dedemit yang telah ditaklukkannya patuh
melayaninya dengan limpahan anggur-anggur putih. Ketika itu tak
sedikit pun terlintas dalam pikirannya kalau nanti Tuk Bayan Tula
akan memutar jalan hidupnya dan jalan hidup perempuan kecil
yang sedang tersesat di rimba ini dengan sebuah kisah antiklimaks.
\"Di depan mulut gua kami melihat empat lembar pelepah pinang
raja tempat duduk telah tergelar, seolah beliau telah tahu jauh
sebelumnya kalau kami akan datang. Beliau menemui kami, sedikit
pun tidak tersenyum, sepatah pun tidak berkata.\" Sang ketua utusan
mengusap wajahnya yang masih kelihatan terkesiap karena
pertemuan langsungnya dengan tokoh sakti mandraguna Tuk Bayan
Tula. Meskipun sudah beberapa jam yang lalu ia masih belum bisa
menghilangkan perasaan terkejutnya.
\"Kami menceritakan maksud kedatangan kami. Beliau
mendengarkan dengan memalingkan muka. Belum selesai kami
berkisah beliau langsung memberi isyarat meminta sepucuk kertas
dan pena, lalu beliau menuliskan sesuatu. Juga diisyaratkan agar
kami segera pulang dan hanya membuka tulisan beliau setelah tiba
di sini. Di kertas inilah beliau menulis.\"
Ketua utusan memperlihatkan gulungan kertas, semua orang
merubungnya. Mahar melihat gulungan itu dengan tatapan seperti
melihat benda ajaib peninggalan makhluk angkasa luar. Dengan
gemetar sang ketua utusan membuka gulungan kertas itu dan di
INILAH PESAN TUK BAYAN TULA:
“JIKA INGIN MENEMUKAN ANAK PEREMPUAN ITU MAKA
CARILAH DIA DI DEKAT GUBUK LADANG YANG
DITINGGALKAN. TEMUKAN SEGERA, ATAU DIA AKAN
TENGGELAM DI BAWAH AKAR BAKAU..”
Sebuah pesan yang mendirikan bulu tengkuk, lugas, dan
mengancam atau lebih tepatnya menakut-nakuti. Tapi harus diakui
bahwa pesan ini mengandung sebuah tenaga. Pilihan
katanya teliti dan menunjukkan sebuah kualitas ke-paranormalan
tingkat tinggi. Jika Tuk Bayan Tula seorang penipu maka ia pasti
penipu ulung, tapi jika ia memang dukun maka ia pasti bukan
dukun palsu yang oportunistik. Bagaimanapun pesan ini
mengandung pertaruhan reputasi yang pasti. Tidak ada kata
tersembunyi, tak ada kata bersayap. Intinya jelas:jika Flo tidak
ditemukan di dekat gubuk ladang yang telah ditinggalkan
pemiliknya atau jika ia tidak ditemukan tewas hari ini di sela-sela
akar bakau, maka sang legenda Tuk Bayan Tula tak lebih dari
seorang tukang dadu cangkir di pinggir jalan. Semua makhluk yang
senang memain-mainkan dadu adalah kaum penipu. Kalau itu
sampai terjadi rasanya aku ingin berangkat sendiri ke Pulau Lanun
untuk menyita satu- satunya kain yang melilit tubuh Tuk. Tapi selain
semua kemungkinan itu pesan tadi juga harus diakui telah memberi
harapan dan batas waktu, apa yang akan terjadi jika semuanya
Kebiasaan berladang berpindah-pindah masih berlangsung
hingga saat ini. Namun potensi kesulitan sangat mungkin muncul.
Tak mudah menentukan yang mana yang merupakan gubuk
ladang. Gubuk telantar banyak terdapat di lereng gunung, yaitu
gubuk rahasia para pencuri timah. Para pendulang liar menggali
timah nun jauh di lereng gunung secara ilegal dan menjualnya pada
para penyelundup yang menyamar sebagai nelayan di perairan
Bangka Belitong. Pencuri dan penyelundup timah adalah profesi
yang sangat tua. Aktivitas kriminal ini kriminal dari kaca mata PN
Timah tentu saja telah ada sejak orang-orang Kek datang dari
daratan Tiongkok untuk menggali timah secara resmi di Belitong
dalam rangka mengerjakan konsesi dari kompeni, hari-hari itu
PN Timah memperlakukan pelaku eksploitasi timah ilegal dan
penyelundup dengan sangat keras, tanpa perikemanusiaan.
Pelakunya diperlakukan seolah pelaku tindak
pidana subversif. Di gunung-gunung yang sepi tempat para
pendulang timah dianggap pencuri dan di laut tempat penyelundup
dianggap perompak, hukum seolah tak berlaku. Jika tertangkap tak
jarang kepala mereka diledakkan di tempat dengan AKA 47 oleh
manusia-manusia tengik bernama Polsus Timah.
Tim kami berangkat sejak pagi benar di bawah pimpinan Mahar.
Kami bergerak ke utara, ke arah jalur maut Sungai Buta. Belasan
ladang terutama yang dekat sungai telah kami kunjungi dan
gubuknya telah kami obrak-abrik, kami juga mencari-cari di sela-sela
akar bakau, tapi hasilnya nihil. Flo raib seperti ditelan bumi. Suara
kami sampai parau memanggil-manggil namanya dan satu-satunya
megafone yang dibekali posko telah habis baterainya.
Dan pagi pun tiba, pencarian berlangsung terus. Dari walky talky
kami pantau bahwa Flo masih tetap misteri. Sekarang baterai walky
talky mulai lemah dan hanya dapat memonitor saja. Tidak hanya
batu-batu baterai itu, sema-ngat kami pun melemah. Kami mulai
dihinggapi perasaan putus asa.
Dari setiap gubuk yang kami kunjungi dan tidak ditemukan Flo di
dalamnya maka satu kredit minus mengurangi reputasi Tuk.
Sesudah hampir dua puluh gubuk yang nihil, saat itu menjelang
tangah hari, reputasi beliau pun makin pudar kalau bukan disebut
hancur. Kami mulai meragukan kesaktian dukun siluman itu. Mahar
tampak agak tersinggung setiap kali kami mengeluh jika
menemukan gubuk yang kosong, apa lagi ada celetukan yang
melecehkan Tuk Bayan Tula.
\"Kalau dia bisa berubah menjadi burung bayan, tak perlu susahsusah kita mencari-cari seperti ini,\" desah Kucai sambil terengahengah.
Berbagai pikiran buruk menghantui kepala yang penat dan tubuh
Ke manakah engkau gadis kecil? Mungkinkah anak gedongan itu
Parameter pencarian demikian luas. Flo bisa saja tidak menuruni
lereng menuju ke lembah melainkan naik terus ke puncak, atau
berjalan berputar-putar mengelilingi lereng,
tersesat dalam fatamorgana sampai habis tenaganya. Mungkin
juga ia telah tembus di sisi barat daya dan memasuki perkampungan
Tionghoa kebun di sana. Atau ia sedang dililit ular untuk dibusukkan
dan ditelan besok malam.
Mungkinkah ia telah berenang melintasi Sungai Buta? Bukankah
ia anak tomboi yang terkenal nekat tak kenal takut? Selamat atau
sudah tamatkah riwayatnya? Perbekal-an air dan makanan kami
yang seadanya telah habis. Harun, Trapani, dan Samson sudah
ingin menyerah dan menyarankan kami kembali ke posko, tapi
Mahar tak setuju, ia yakin sekali pada kebenaran pesan Tuk Bayan
Tula. Sebaliknya, bagi kami hanya bayangan penderitaan Flo yang
masih menguatkan hati untuk terus mencari. Jika ingat betapa ia
ketakutan, kelaparan, dan kedinginan, kelelahan kami rasanya
Menjelang pukul 10 pagi, berarti telah 27 jam Flo lenyap. Kami
sudah tak memedulikan pesan Tuk. Bagi kami kecuali Mahar datuk
itu tak lebih dari semua dukun-dukun lainnya, palsu dan
oportunistik. Kami memperlebar parameter pencarian sampai agak
naik ke atas ladang. Di setiap gubuk kami menemukan
pemandangan yang sama, yaitu babi-babi hutan yang kawin
berpesta pora atau tikus-tikus pengerat bercengkrama di antara
dengungan kumbang yang bersarang di tiang-tiang gubuk yang
Pukul 11, siang sudah, kami tiba di sebuah batu cadas besar
yang menjorok. Kami berkumpul di sana untuk mengistirahatkan
sisa-sisa tenaga terakhir. Inilah ujung akhir lereng utara karena
setelah ini, nun setengah kilometer di bawah kami adalah wilayah
bahaya maut Sungai Buta. Kami tak 'kan turun ke wilayah yang
dihindari setiap orang itu, bahkan penjelajah profesional tak berani
ke sana. Kami sudah putus asa dan setelah beristirahat ini kami akan
segera kembali ke posko. Kami telah gagal, Flo tetap nihil, dan
paling tidak di lereng utara Tuk Bayan Tula telah berdusta. Dari
walky talky kami memonitor bahwa di barat, timur, dan selatan Flo
juga tak ditemukan, berati Tuk Bayan Tula telah berdusta di empat
Kami diam terpaku menerima berita itu. Wajah Mahar sembap
seperti ingin menangis. Ia seumpama kekasih yang dikhianati orang
tersayang. Tuk telah melukai hatinya meskipun ia sedikit pun tak
kenal tokoh pujaannya itu. Ini risiko keyakinan yang rabun. Dan aku
sedih, bukan karena membayangkan kehancuran integritas Tuk atau
perasaan Mahar yang kecewa, tapi karena memikirkan nasib buruk
yang menimpa Flo. Bisa saja ia tak 'kan pernah ditemukan, hilang,
raib. Bisa juga ia ditemukan tapi cuma tinggal berupa kerangka yang
dipatuki burung gagak. Ia juga mungkin ditemukan dalam keadaan
menyedihkan telah tercabik-cabik hewan buas. Dan yang paling tak
tertahankan adalah jika ia mati sia-sia secara memilukan karena
pertolongan terlambat beberapa jam saja. Sulit untuk bertahan
hidup dalam suhu sedingin malam tadi tanpa makanan sama sekali.
Dan saat-saat sekarang ini sudah memasuki keadaan yang mulai
terlambat itu. Mengapa anak cantik kaya raya yang hidup di rumah
seperti istana, dari keluarga terhormat,tanpa trauma masa kecil, dan
yang memiliki limpahan kasih sayang semua orang, serta lingkungan
seperti taman eden, ha-rus berakhir di tempat ganas ini? Aku tak
sanggup mem-bayangkan lebih jauh perasaan orangtuanya.
Aku terbaring kelelahan memandangi keseluruhan Gunung
Selumar yang biru, agung, dan samar-samar. Aku per-nah menulis
puisi cinta di puncaknya dan gunung ini pernah memberiku inspirasi
keindahan yang lembut. Bahkan di sabana di atas sana tumbuh
bunga-bunga liar kuning kecil yang dapat membuat siapa pun jatuh
cinta, bukan hanya kepada bunganya, tapi juga kepada orang yang
Namun kelembutan gunung ini, seperti kelembutan unsur-unsur
alam lainnya, air, angin, api, dan bumi, ternyata menyembunyikan
kekejaman tak kenal ampun. Betapa teganya, toh bagaimanapun
nakalnya, Flo hanyalah seorang gadis kecil, permata hati
keluarganya. Kucai menepuk-nepuk bahu Mahar dan
menghiburnya. Mahar memalingkan muka. Ia menunduk diam.
Matanya jauh menyapu pandangan ke Sungai Buta dan rawa-rawa
bakung di bawah sana. Kami bangkit, membereskan perlengkapan,
dan mempersiapkan diri untuk pulang. Sebelum kami melangkah
pergi Syahdan yang mengalungkan teropong kecil di lehernya
mencoba-coba benda plastik mainan itu. Ia meneropong tepian
Sungai Buta. Saat kami ingin menuruni batu cadas itu tiba-tiba
Syahdan berteriak, sebuah teriakan nasib.
\"Lihatlah itu, ada pohon kuini di pinggir Sungai Buta.\"
Kami membalikkan badan terkejut dan Mahar serta-merta
merampas teropong Syahdan. Ia berlari ke bibir cadas dan
meneropong ke bawah dengan saksama, \"Dan ada gubuk!\" katanya
\"Kita harus turun ke sana!\" katanya lagi tanpa berpikir panjang.
Kami semua terperanjat dengan usul sinting itu. Kucai yang dari
tadi membisu menganggap kekonyolan Mahar telahmelampaui
batas. Sebagai ketua kelas ia merasa bertanggung jawab.
\"Apa kau sudah gila!\" Ia menyalak dengan galak. Sorot matanya
tajam, merah, dan marah, walaupun yang ditatapnya adalah Harun
yang berdiri melongo di samping Mahar.
\"Mari aku jelaskan ke kepalamu yang dikaburkan asap kemenyan
sehingga tak bisa berpikir waras. Pertama-tama di bawah sana tak
mungkin sebuah ladang. Tak ada orang sinting yang mau berladang
di pinggir Sungai Buta kecuali ia ingin mati konyol. Tak tahukah kau
cerita pengalaman orang lain, di situ buaya tidak menunggu tapi
mengejar. Dan ular-ular sebesar pohon kelapa melingkar-lingkar di
sembarang tempat. Kalaupun itu memang gubuk, itu gubuk pencuri
timah. Berdasarkan pesan datuk setengah iblis anak gedongan itu
hanya ada di gubuk ladang yang ditinggalkan!\"
Mahar menatap Kucai dengan dingin, Kucai semakin geram.
\"Kalau kita turun ke sana, aku pastikan kita bisa menjadi Flo-Flo
baru yang malah akan dicari orang, menambah persoalan,
merepotkan semuanya nanti. Tempat itu sangat berbahaya, Har,
pakai otakmu ! Ayo pulang!!\"
Mahar tetap sedingin es, ekspresinya datar. \"Lagi pula mana
mungkin anak perempuan kecil itu dapat mencapai tempat ini. Batu
ini adalah dinding utara terakhir. Kita telah mendatangi puluhan
gubuk ladang yang ditinggalkan, hasilnya nol, mendatangi satu
gubuk pencuri timah hasilnya akan tetap sama, ayolah pulang,
Kawan, terimalah kenyataan bahwa Tuk telah menipu kita, ayolah
pulang, Kawan ..,,\" Kucai merendahkan suaranya, mungkin ia sadar
membujuk orang setengah gila tidak bisa dengan marah- marah.
Tapi Mahar tetap membatu, ia seperti menhir, masih belum bisa
diyakinkan. Ia tak 'kan menyerah semudah ini. Syahdan ikut
menasihati dengan kata-kata pesimis.
\"Sudah hampir tiga puluh jam Flo hilang, kita harus belajar
realistis, mungkin ia memang ditakdirkan menemui ajal di gunung
ini. Tuhan telah memanggilnya dan gunung ini pun mengambilnya.\"
Mahar tak bergerak. Kami beranjak meninggalkan tempat itu.
Lalu dengan dingin Mahar mengatakan ini, \"Kalian boleh pulang,
aku akan turun sendiri....\"
Maka turunlah kami semua walaupun kami tahu tak 'kan
menemukan Flo di pinggir Sungai Buta. Hal itu sangat muskil,
sangat mustahil. Semuanya menggerutu dan kami mengutuki
Syahdan yang tadi iseng-iseng meneropong dengan teropong plastik
jelek mainan anak-anak itu. Dia menyesal. Tapi semuanya telah
telanjur, sekarang kami pontang panting menuruni punggung lereng
yang curam, berkelak-kelok di antara batu- batu besar dan
menerabas kerimbunan gulma yang sering menusuk mata.
Kami menuju ke sebuah gubuk pencuri timah di wi-layah maut
pinggiran Sungai Buta hanya untuk menemani Mahar, menemani ia
memuaskan egonya, membuktikan padanya bahwa insting tidak
harus selalu benar, dan melindunginya dari ketololannya sendiri.
Walaupun kami benci pada kefanatikannya tapi ia tetap teman
kami, anggota Laskar Pelangi, kami tak ingin kehilangan dia.
Kadang-kadang persahabatan sangat menuntut dan menyebalkan.
Pelajaran moral nomor lima:jangan bersahabat dengan orang yang
Kira-kira satu jam kemudian, tepat tengah hari, kami telah berada
di lembah Sungai Buta. Wilayah ini merupakan blank spot untuk
frekuensi walky talky sehingga suara kemerosok yang sedikit
menghibur dari alat itu sekarang mati dan tempat ini segera jadi
mencekam. Untuk pertama kalinya aku ke sini dan rasa angkernya
memang tidak dibesar-besarkan orang. Kenyataannya malah terasa
lebih ngeri dari bayanganku sebelumnya. Kami memasuki wilayah
yang jelas-jelas menunjukkan permusuhan pada pendatang.
Wilayah ini seperti dikuasai oleh suatu makhluk teritorial yang buas,
asing, dan sangat jahat. Kerasak-kerasak gelap di pokok pohon
nipah yang digenangi air seperti kerajaan jin dan tempat sarang
berkembang biaknya semua jenis bangsa-bangsa hantu. Biawak
berbagai ukuran melingkar-lingkar di situ, sama sekali tak takut pada
kehadiran kami, beberepa ekor di antaranya malah bersikap ingin
Hanya sedikit orang pernah ke sini dan di antara yang sedikit itu
dan yang paling tolol adalah kami. Kami berjalan dalam langkah
senyap berhati-hati. Semuanya mengeluarkan parang dari
sarungnya dan terus-menerus menoleh ke kiri dan kanan serta
membentuk formasi untuk melindungi punggung orang terdekat.
Kami mendengar suara sesuatu ditangkupkan dengan sangat keras
dan mengerikan disertai suara kibasan air yang besar.
Kami diam tak membahas itu, kami tahu suara itu tangkupan
mulut buaya yang besarnya tak terkira. Ada juga suara bayi-bayi
buaya yang berkeciak dan pemandangan beberapa ekor ular
bergelantungan di dahan-dahan pohon. Kami terus merangsek maju
seperti sedang mengintai musuh. Pondok itu kira-kira seratus meter
di depan kami. Semakin dekat, semakin jelas dan mencengangkan
karena tempat itu agaknya memang bekas sebuah ladang yang
ditinggalkan. Kami menemukan kawat-kawat bekas pagar dan dari
kejauhan melihat pohon-pohon kuini, jambu bol, dan sawo. Siapa
orang luar biasa yang berani berladang di sini?
Jarak ladang ini dekat sekali dengan pinggiran Sungai Buta, bisa
dipastikan sangat berbahaya. Pemiliknya pasti ingin mendekati air
tanpa mempertimbangkan keselamatan.
Sebuah tindakan bodoh. Atau mungkinkah karena ketololannya
itulah maka riwayat sang pemilik telah berakhir di tepi sungai ini
sehingga ladangnya sekarang tak bertuan? Tapi ada hal lain, yaitu
siapa pun pemilik tersebut terutama jika ia masih hidup maka ia
pasti tak sanggup memelihara ladang ini karena hama perompak
tanaman juga luar biasa di sini. Kawanan kera sampai mencapai
lima kelompok, saling berebutan lahan dengan serakah. Belum lagi
tupai, lutung, babi hutan, musang, luak, dan tikus pengerat, hewanhewan ini sudah keterlaluan.
Kami berjingkat-jingkat tangkas di atas akar-akar bakau yang
cembung berselang-seling. Akar-akar ini seperti menopang
pohonnya yang rendah. Tak kami temukan Flo tersangkut di bawah
akar-akar itu, satu lagi konfirmasi penipuan Tuk Bayan Tula. Setelah
yakin Flo tak ada di bawah akar bakau, kami pelan-pelan mendekati
Semakin dekat ke lokasi ladang kami dapat melihat dengan jelas
sebuah gubuk beratap daun nipah. Lalu ada suatu pemandangan
yang agak menarik, yaitu salah satu dahan pohon jambu mawar
yang berdaun amat lebat bergoyang-goyang hebat seperti ingin
dirubuhkan. Jambu mawar itu tumbuh persis di samping gubuk.
Pastilah itu ulah lutung besar yang sepanjang waktu selalu lapar.
Kami mendekati pohon jambu mawar itu dengan waspada. Kami
menyusun semacam strategi penyergapan untuk memberi pelajaran
pada lutung rakus itu. Kami mengendap- endap seperti pasukan
katak baru keluar dari rawa untuk merebut sebuah gudang senjata.
Di ladang telantar ini tumbuh subur ilalang setinggi dada dan
pohon-pohon singkong yang sudah centang perenang dirampok
hewan-hewan liar. Buah-buah sawo yang masih muda, putik-putik
jambu bol, dan buah kuini muda juga berserakan di tanah karena
dijarah secara sembrono oleh hama hewan-hewan itu. Bahkan
buah-buahan ini tak sempat masak. Binatang-binatang tak tahu diri!
Lutung besar yang sedang berpesta pora di dahan jambu mawar
itu tak menyadari kehadiran kami. Ia semakin menjadi-jadi,
mengguncang-guncang dahan jambu itu hingga daun dan bakal
buahnya berjatuhan, kurang ajar sekali. Kami semakin dekat dan
berjinjit- jinjit tak menimbulkan suara. Kami ingin menangkapnya
basah sehingga ia semaput ketakutan, inilah hiburan kecil di tengah
ketegangan menyelamatkan nyawa manusia.
Setelah tiba saatnya kami bersama-sama menghitung hingga tiga
dan melompat serentak, menghambur ke bawah dahan itu sambil
bertepuk tangan dan berteriak sekeras-kerasnya untuk mengejutkan
sang lutung. Tapi tak sedikit pun diduga situasi berbalik seratus
delapan puluh derajat, karena sebaliknya, ketika kami menyerbu
justru kami yang terkejut setengah mati tak alang kepalang, rasanya
ingin terkencing-kencing. Kami tak percaya dengan penglihatan
kami dan terkaget-kaget hebat karena persis di atas kami, di selasela dedaunan yang sangat rimbun, bertengger santai seekor kera
besar putih yang tampak riang gembira menunggangi sebatang
dahan seperti anak kecil kegirangan main kuda-kudaan, wajahnya
seperti baru saja bangun tidur dan belum sempat cuci muka. Ia
tertawa terbahak-bahak sampai keluar air matanya melihat wajah
kami yang terbengong- bengong pucat pasi.
Flo yang berandal telah ditemukan!
AKU terengah-engah basah kuyup. Syahdan memandangi aku
dengan prihatin. Kami saling berpandangan lalu tertawa. Tawaku
semakin keras seiring tangis di dalam hati tentu saja. Tangis karena
mendapati diri sampai sakit karena dera putus cinta. Mahar telah
habis—habisan menjadikanku kelinci percobaan. “Anak-anak jin
yang tersinggung?” Ke mana perginya akal sehatnya? Dia patut
mendapat nomor 7 dalam teori gila versi ibuku. Tapi aku tahu dia
sesungguhnya bermaksud baik.
Setelah Mahar, A Kiong dan daun-daun beluntasnya pergi tanpa
pamit lalu datang Bu Mus dan teman-teman sekolahku yang lain.
Syahdan mengadukan kelakuan Mahar, tapi Bu Mus menunjukkan
wajah tak peduli. Beliau sudah cukup lama dibuat pusing oleh
Mahar dan tak berminat menambah beban berat hidupnya dengan
memikirkan dukun palsu itu.
Beliau mengeluarkan pil ajaib APC. Besoknya aku sudah bisa
berangkat ke sekolah dan aku tahu persis yang menyembuhkanku
adalah pil APC. Begitu melihatku memasuki kelas A Kiong Iangsung
menyalami Mahar. Mahar menaikkan alisnya, mengangkat bahunya,
dan mengangguk-angguk seperti burung penguin selesai kawin.
Itulah gerakan khas Mahar yang sangat menyebalkan.
“Apa kubilang!” barangkali itulah maknanya.
Mahar mengelus-elus koper bututnya dan A Kiong semakin
fanatik padanya. Mereka berdua tenggelam dalam kesesatan
memersepsikan diri sendiri.
Rupanya fisikku memang telah sembuh tapi hatiku tidak, Pulang
dari sekolah aku kembali disergap perasaan sedih. Tak mudah
melupakan A Ling. Dadaku kosong karena kehilangan sekaligus
sesak karena rindu. Aku terbaring kuyu di atas dipan memandangi
diary dan buku Herriot kenang-kenangan darinya. Untuk
mengalihkan kesedihan aku mengambil buku Seandainya Mereka
Bisa Bicara itu dan dengan malas aku berusaha membacanya.
Sudah kuniatkan dalam hati bahwa jika buku itu membosankan
maka setelah halaman pertama ia akan langsung kutangkupkan di
wajahku karena aku ingin tidur. Lalu kata demi kata berlalu. Setelah
itu kalimat demi kalimat dan dilanjutkan dengan paragraf demi
paragraf. Aku tak berhenti membaca dan beberapa kali membaca
paragraf yang sama berulang-ulang. Tanpa kusadari dalam waktu
singkat aku telah berada di halaman 10 tanpa sedikit pun sanggup
menggeser posisi tidurku. Seluruh perasaan gundah, putus asa, dan
air mata rindu yang tadi sudah menggenang di pelupuk mataku
diisap habis oleh lembar demi lembar buku itu.
Buku ajaib itu bercerita tentang perjuangan seorang dokter
hewan muda di zaman susah tahun 30an. Dokter muda itu, Herriot
sendiri, bekerja nun jauh di sebuah desa tenpercil di bagian antah
berantah di Inggris sana. Desa kecil itu bernama Edensor.
Mulutku ternganga dan aku menahan napas ketika Herriot
menggambarkan keindahan Edensor: “Lereng-lereng bukit yang tak
teratur tampak seperti berjatuhan, puncaknya seperti bergulingguling tertelan oleh langit sebelah barat, yang bentuknya seperti pita
kuning dan merah tua…
Pegunungan tinggi yang tak berbentuk itu mulai terurai menjadi
bukit-bukit hijau dan lembah-lembah luas. Di dasar lembah tampak
sungai yang berliku-liku di antara pepohonan. Rumah-rumah petani
yang terbuat dan batu-batu yang kukuh dan berwarna kelabu
tampak seperti pulau di tengah ladang yang diusahakan. Ladang itu
terbentang ke atas seperti tanjung yang hijau cerah di atas lereng
Aku sampai di taman bunga mawar, kemudian ke taman
asparagus, yang tumbuh jadi pohon yang tinggi. Lebih jauh ada
pohon arbei dan tumbuhan frambos. Pohon buah terdapat di manamana. Buah persik, buah pir, buah ceri, buah prem, bergantungan
di atas tembok selatan, berebut tempat dengan bunga-bunga mawar
Aku terkesima pada desa kecil Edenson. Aku segera menyadani
bahwa ada keindahan lain yang memukau di dunia ini selain cinta,
Herriot menggambarkan Edensor dengan begitu indah dan
memengaruhiku sehingga ketika ia bercerita tentang jalan-jalan kecil
beralaskan batu-batu bulat di luar rumah praktiknya rasanya aku
dapat mencium harum bunga daffodil dan astuaria yang menjalar di
sepanjang pagar peternakan di jalan itu. Ketika ia bercerita tentang
padang sabana yang terhampar di Bukit Derbyshire yang
mengelilingi Edensor rasanya aku terbaring mengistirahatkan hatiku
yang lelah dan wajahku menjadi dingin ditiup angin dan desa
tenang dan cantik itu. Aku telah jatuh hati dengan Edensor dan
menemukannya sebagai sebuah tempat dalam khayalanku setiap
kali aku ingin Lari dan kesedihan.
Sebaliknya aku semakin mencintai A Ling. Ia dengan bijak telah
mengganti kehadirannya dengan kehadiran Edensor yang mampu
melipur laraku. A Ling meninggalkan buku Herriot untukku tentu
karena sebuah alasan yang jelas. Selanjutnya, aku membaca buku
Herniot berulang-ulang sehingga hampir hafal. Ke mana pun aku
pergi buku itu selalu kubawa dalam tas sandang bututku. Buku itu
adalah representasi A Ling dan pengobat jiwaku. Jika aku merasa
risau dan sedih maka aku segera mengalihkan pikiranku dengan
membayangkan aku sedang duduk di bangku rendah di tengah
taman anggur di Edensor. Kumbang-kumbang berdengung riuh
rendah, mataku menatap lembut Pegunungan Pennines yang biru di
Derbyshire dan angin Lembah yang sejuk mengembus wajahku,
semua kepedihan, resah, dan kesulitan hidupku di sudut
kampung kumuh panas di Belitong ini. Aneh memang, jika Trapani
seluruh hidupnya seolah dipengaruhi oleh lagu Wajib Blajar maka
kini seluruh hidupku terinspirasi oleh buku Seandainya Mereka Bisa
Bicara, terutama oleh Desa Edensor yang ada di buku itu. Jika
beban hidup demikian memuncak rasanya aku ingin sekali berada
di Edensor, Punguk merindukan bulan tentu saja. Mana mungkin
anak Melayu miskin nun di Pulau Belitong sana mengangankan
berada di sebuah tempat di Inggris. Bermimpi pun tak pantas.
Sebaliknya, karena Edensor aku segera merasa pulih jiwa dan
raga. Edensor memberiku alternatif guna memecah penghalang
mental agar tak stres berkepanjangan karena terus-terusan terpaku
pada perasaan patah hati. A Ling telah memberi racun cinta
sekaligus penawarnya. Aku mulai tegar meskipun tak ‘kan ada lagi
Michele Yeoh. Aku siap menyesuaikan diri dengan kenyataan baru.
Aku sudah ikhlas meninggalkan cetak biru kehidupan indah asmara
pertamaku yang bertaburan wangi bunga dalam ritual rutin
pembelian kapur tulis.
Inilah asyiknya menjadi anak kecil. Patah hati karena cinta yang
telah berlangsung sekian tahun lima tahun! bisa pulih dalam waktu
tiga hari dan disembuhkan oleh sebuah desa bernama Edensor di
tempat antah berantah di Inggris sana dan hanya diceritakan melalui
Sedangkan orang dewasa bisa-bisa memerlukan waktu tiga tahun
untuk mengobati frustrasi karena hancurnya cinta platonik tiga
minggu. Apakah semakin dewasa manusia cenderung menjadi
semakin tidak positif? Aku belajar berjiwa besar, berusaha
memahami esensi konsep virtual dan fisik dalam hubungan
emosional. Bukankah jika mencintai seseorang kita harus
membiarkan ia bebas? Apabila hal semacam ini dialami oleh
seorang dewasa mungkin ia tak mau lagi melihat kapur tulis seumur
Kini aku akan mengenang A Ling sebagai bagian terindah dalam
hidupku. Aku tetap rajin, dengan naluri cinta yang sama, dengan
semangat yang sama, berangkat dengan Syahdan setiap Senin pagi
untuk membeli kapur, meskipun sekarang aku disambut oleh sebilah
tangan beruang dan kuku-k uku burung nazar pemakan bangkai.
Setiap membeli kapur aku tetap mengikuti prosedur yang sama dan
menikmati kronologi perasaanku di tengah kepengapan Toko Sinar
Harapan. Aku menyimulasikan urutan-urutan sensasi keindahan
cinta pertama seolah A Ling masih menungguku di balik tirai-tirai
rapat yang terbuat dan keong-keong kecil itu.
Sering kali sekarang aku bertanya pada diri sendiri: berapakah
jumlah pasangan yang telah mengalami cinta pertama, lalu hanya
memiliki satu cinta itu dalam hidupnya, menikah, dan kemudian
hanya terpisahkan karena Tuhan memanggil salah satu dan mereka?
Sedikit sekali! Atau malah mungkin tidak ada! Sepertinya kedua
jawaban tersebut bisa menjadi hipotesis yang meyakinkan untuk
pertanyaan dangkal semacam itu. Karena itulah yang umumnya
terjadi dalam dunia nyata.
Maka aku memiliki pandangan sendiri mengenai perkara cinta
pertama i, yaitu cinta pertama memang tak ‘kan pernah mati, tapi ia
juga tak ‘kan pernah survive. Selain itu aku telah menarik pelajaran
moral nomor enam dan pengalaman cinta pertamaku yaitu: jika
Anda memiliki kesempatan mendapatkan cinta pertama di sebuah
toko kelontong, meskipun toko itu bobrok dan bau tengik, maka
rebutlah cepat-cepat kesempatan itu, karena cinta pertama semacam
itu bisa menjadi demikian indah tak terperikan!
Aku melihat ke belakang, membuat evaluasi kemajuan hidupku,
dan bersyukur telah mengenal A Ling. Jika berpikir positif, ternyata
mengenal seseorang secara emosional memberikan akses pada
sebuah bank data kepribadian tempat kita dapat belajar banyak hal
baru. Hal-hal baru itu bagiku pada intinya satu: wanita adalah
makhluk yang tak mudah diduga. Maka banyak orang berpikir keras
mengurai sifat-sifat rahasia wanita, Paul I. Wellman misalnya
dengan tesis Dewi Aphroditenya. Ia menggambarkan wanita sebagai
makhluk yang di dalam dirinya berkecamuk pertentangan -
pertentangan, mengandung pergolakan abadi, sopan tapi berlagak,
sentimental sekaligus bengis, beradab namun ganas.
Bagiku, aku masih tak mengerti wanita, namun sepertinya ada
semacam komposisi kimiawi tertentu di dalam tubuh mereka yang
menyebabkan lelaki dengan komposisi kimiawi tertentu pula merasa
betah di dekatnya. Maka cinta adalah reaksi kimia sehingga
keanehan dapat terjadi, se-orang pangeran tampan kaya raya bisa
saja ditolak oleh se-orang gadis penjaga pintu tol, dan seorang
wanita public relation officer di sebuah BUMN yang sangat luas
pergaulannya bisa saja tergila-gila setengah mati dengan seorang
laki-laki penyendiri yang eksentrik. Itulah wanita, maka siapa pun ia,
seorang dewi agung dalam mitologi Vunani atau sekadar seorang
penjaga toko kelontong bobrok di Belitong, masing-masing
menyimpan rahasia untuk dirinya sendiri, rahasia yang tak ‘kan
pernah diketahui siapa pun.
Wanita seperti apakah A Ling? Inilah yang paling menarik dan
kisah cinta monyet in Setelah berpisah dengannya, aku baru
mengerti tipe semacam ini. Ia bukanlah pribadi mekanis yang
mengungkapkan perasaan secara eksplisit. Ia memiliki pendirian
yang kuat dan amat percaya diri. Ia model wanita yang memegang
pertanggung jawaban pada setiap gabungan huruf-huruf yang
meluncur dan mulutnya. Dan ini menimbulkan respek karena aku
tahu banyak orang harus berulang-ulang meyakinkan dirinya sendiri
dan pasangannya dengan kata-kata basi berbusa-busa, bahwa
mereka masih saling mencintai, sungguh mengibakan! A Ling tak
ingin menghabiskan waktu berurusan dengan pola respons aksi
reaksi cinta picisan yang klise, retoris, dan membosankan.
Aku belajar berjiwa besar atas seluruh kejadian dengan A Ling.
Sekarang aku memiliki cinta yang baru dalam tas bututku: Edensor,
Sudah selama 115 jam, 37 menit, 12 detik aku kehilangan A Ling
dan saat ini kuputuskan untuk berhenti mengiba-iba mengenang
Akhirnya, aku mampu melangkah menyeberangi garis ujian
tabiat mengasihani diri dan sekarang aku berada di wilayah positif
dalam menilai pengalamanku. Aku mulai bangkit untuk menata diri,
Aku mempelajari metode-metode ilmiah modern agar dapat bangkit
dan keterpunukan. Aku rajin membaca berbagai buku kiat-kiat
sukses, pergaulan yang efektif, cara cepat menjadi kaya, langkahlangkah menjadi pribadi magnetik, dan bunga rampai manajemen
pengembangan pribadi.
Aku berhenti membuat nencana-rencana yang tidak realistis.
Filosofi just do it, itulah prinsipku sekanang, lagi pula bukankah
John Lennon mengatakan life is what happens to us while we are
busy making plans! Sesuai saran buku-buku psikologi praktis yang
mutakhir itu aku mulai menginventanisasi bidang minat, bakat, dan
kemampuanku. Dan aku tak pernah ragu akan jawabannya yaitu:
aku paling piawai bermain bulu tangkis dan aku punya minat sangat
besar dalam bidang tulis-menulis.
Kesimpulan itu kuperoleh karena aku selalu menjadi juara
pertama pertandingan bulu tangkis kelurahan U 19 dan pialanya
berderet-deret di numahku. Piala itu demikian banyak sampai ada
yang dipakai ibuku untuk pemberat tumpukan cucian, ganjal pintu,
dan penahan dinding kandang ayam. Ada juga piala yang dipakai
menjadi semacam palu untuk memecahkan buah kemiri, dan
sebuah piala berbentuk panjang bergerigi dan pertandingan terakhir
sering dimanfaatkan ayahku untuk menggaruk punggungnya yang
Lawan-lawanku selalu kukalahkan dengan skor di bawah
setengah. Kasihan mereka, meskipun telah berlatih mati-matian
berbulan-bulan dan setiap pagi makan telur setengah masak
dicampur jadam dan madu pahit, tapi mereka selalu tak berkutik di
depanku. Kadang-kadang aku beraksi dengan melakukan drop shot
sambil salto dua kali atau menangkis sebuah smash sambil koprol.
Jika aku sedang ingin, aku juga biasa melakukan semacam pukulan
straight dan celah-celah kedua selangkangku dengan posisi
membelakangi lawan, tak jarang aku melakukan itu dengan tangan
Lawan yang tak kuat mentalnya melihat ulahku akan emosi dan
jika ia terpancing marah maka pada detik itulah ia telah kalah. Para
penonton bergemuruh melihat hiburan di lapangan bulu tangkis.
Jika aku bertanding maka pasar menjadi sepi, warung-warung kopi
tutup, sekolah-sekolah memulangkan murid-muridnya Iebih awal,
dan kuli-kuli PN membolos. “Si kancil keriting”, demikianlah mereka
menjulukiku. Lapangan bulu tangkis di samping kantor desa
membludak. Mereka yang tak kebagian tempat berdiri di pinggir
lapangan sampai naik ke pohon-pohon kelapa di sekitarnya.
Kukira semua fakta itu Iebih dan cukup bagiku untuk menyebut
bulu tangkis sebagai potensi seperti dinyatakan dalam buku-buku
pengembangan diri itu, Dan minat besar Iainnya adalah menulis.
Tapi memang tak banyak bukti yang mengonfirmasi potensiku di
bidang in kecuali komentar A Kiong bahwa surat dan puisiku untuk
A Ling sering membuatnya tertawa geli. Tak tahu apa artinya, bagus
atau sebaliknya. Maka aku mulai mengonsentrasikan diri untuk
mengasah kemampuan kedua bidang in Seperti juga disarankan
oleh buku-buku ilmiah itu maka aku membuat program yang jelas,
terfokus, dan memantau dengan teliti kemajuanku. Buku itu juga
menyarankan agar setiap individu membuat semacam rencana A
Rencana A adalah mengerahkan segenap sumber daya untuk
mengembangkan minat dan kemampuan pada kemampuan utama
atau dalam bahasa bukunya core competency, dalam kasusku
berarti bulu tangkis dan menulis. Setelah tahap pengembangan itu
selesai lalu bergerak pelan tapi pasti menuju tahap profesionalisme
dan tahapaktualisasi diri, yaitu muncul menggebrak secara
memesona di hadapan publik sebagai yang terbaik. Kemudian akhir
dan semua usaha sistematis ilmiah dan terencana itu adalah
mendapat pengakuan kejayaan prestasi, menjadi orang tenar atau
selebriti, hidup tenang, sehat walafiat, bahagia, dan kaya raya.
Sebuah rencana yang sangat indah. Setiap kali membaca rencana
Aku aku mengalami kesulitan untuk tidur.
Demikianlah, rencana A sesungguhnya adalah apa yang orang
sebut sebagai kata-kata ajaib mandraguna: cita-cita. Dan aku senang
sekali memiliki cita-cita atau arah masa depan yang sangat jelas,
yaitu: menjadi pemain bulu tangkis yang berprestasi dan menjadi
penulis berbobot. Jika mungkin sekaligus kedua-duanya, jika tidak
mungkin salah satunya saja, dan jika tidak tercapai keduaduanya,
jadi apa saja asal jangan jadi pegawai PoS.
Cita-cita ini adalah kutub magnet yang menggerakkan jarum
kompas di dalam kepalaku dan membimbing hidupku secara
meyakinkan. Setelah selesai merumuskan masa depanku itu sejenak
aku merasa menjadi manusia yang agak berguna.
Jika aku menengok sahabat sekelasku mereka juga ternyata
memiliki cita-cita yang istimewa. Sahara misalnya, ia ingin mejadi
pejuang hak-hak asasi wanita. Dia mendapat inspirasi cita-citanya
itu dan penindasan luar biasa terhadap wanita yang dilihatnya di
film-film India. A Kiong ingin menjadi kapten kapal, mungkin karena
ia senang berpergian atau mungkin tUpi kapten kapal yang besar
dapat menutupi sebagian kepala kalengnya itu, Kucai menyadari
bahwa dirinya memiliki sedikit banyak kualitas sebagai seorang
politisi yaitu bermulut besar, berotak tumpul, pendebat yang
kompulsif, populis, sedikit licik, dan tak tahu malu, maka cita-citanya
sangat jelas: ia ingin jadi seorang wakil rakyat, anggota dewan.
Tak ada angin tak ada hujan, tanpa ragu dan malu-malu,
Syahdan ingin menjadi aktor. Tak sedikit pun tidak menunjukkan
kapasitas atau bakat akting, bahkan dalam pertunjukan teater kelas
kami Syahdan tidak bisa memba-wakan peran apa pun yang
mengandung dialog karena ia selalu membuat kesalahan, Karena itu
Mahar memberinya peran sederhana sebagai tukang kipas putri raja
yang selama pertunjukan tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Tugasnya hanya mengipas-ngipasi sang putri dengan benda
semacam ekor burung merak, itu pun masih sering tak becus ia
lakukan. Semua orang menyarankan agar Syahdan meninjau
kembali cita-citanya tapi ia bergeming. Ia tak peduli dengan segala
cemoohan, ia ingin menjadi aktor, tak bisa diganggu gugat.
“Cita-cita adalah doa, Dan,” begitulah nasihat bijak dan Sahara.
“Kalautuhan mengabulkan doamu, dapatkah kaubayangkan apa
jadinya dunia perfilman Indonesia”
Sedangkan Mahar sendiri mengaku bahwa ia mampu
menerawang masa depannya. Dan dalam terawangannya itu ia
dengan yakin mengatakan bahwa setelah dewasa ia akan menjadi
seorang sutradara sekaligus seorang penasihat spiritual dan
hypnotherapist ternama.
Cita-cita yang paling sederhana adalah milik Samson. Ia memang
sangat pesimis dan hanya ingin menjadi tukang sobek karcis
sekaligus sekuriti di
Bioskop Kicong karena ia bisa dengan gratis menonton film. Ia
memang hobi menonton film. Selain itu profesi tersebut dapat
memelihara citra machonya. Adapun Trapani yang baik dan tampan
ingin menjadi guru. Ketika kami tanyakan kepada Harun apa citacitanya ia menjawab kalau besar nanti ia ingin menjadi Trapani.
Semua ini gara-gara Lintang. Kalautak ada Lintang mungkin
kami tak ‘kan berani bercita-cita. Yang ada di kepala kami, dan di
kepala setiapanak kampung di Belitong adalah jika selesai sekolah
lanjutan pertama atau menengah atas kami akan mendaftar menjadi
tenaga langkong (calon karyawan rendahan di PN Timah) dan akan
bekerja bertahun-tahun sebagai buruh tambang lalu pensiun sebagai
kuli. Namun, Lintang memperlihatkan sebuah kemampuan luar
biasa yang menyihir kepercayaan diri kami. Ia membuka wawasan
kami untuk melihat kemungkinan menjadi orang lain meskipun kami
dipenuhi keterbatasan. Lintang sendiri bercita-cita menjadi seorang
matematikawan. Jika ini tercapai ia akan menjadi orang Melayu
pertama yang menjadi matematikawan, indah sekali.
Pribadi yang positif, menurut buku, tidak boleh hanya memiliki
satu rencana, tapi harus memiliki rencana alternatif yang disebut
dengan istilah yang sangat susah diucapkan, yaitu contingency plan!
Rencana alternatif itu disebut juga rencana B. Rencana B tentu saja
dibuat jika rencana A gagal. Prosedurnya sederhana yakni: lupakan,
dan buang jauh-jauh rencana A dan mulailah mencari minat dan
kemampuan baru, setelah ditemukan maka ikuti lagi prosedur
seperti rencana A. Inilah buku resep kehidupan yang bukan main
hebatnya hasil karya para pakar psikologi praktis yang bersekongkol
dengan para praktisi sumber daya manusia dan penerbit buku tentu
Seorang pribadi yang efektif dan efisien harus sudah memiliki
rencana A dan rencana B sebelum ia keluar dan pekarangan
rumahnya. Tapi aku tak tahan membayangkan rencana B dalam
hidupku karena selain bulu tangkis dan menulis aku tak punya
kemampuan lain. Sebenarnya ada tapi sungguh tak bisa
dipertanggungjawabkan, yaitu kemampuan mengkhayal dan
bermimpi, aku agak malu mengakui in Aku tak punya kecerdasan
seperti Lintang dan tak punya bakat seni seperti Mahar. Aku berpikir
keras untuk memformulasikan rencana B. Namun sangat beruntung, setelah berminggu-minggu melakukan perenungan akhir-nya
tanpa disengaja aku mendapat inspirasi untuk me-rumuskan sebuah
rencana B yang hebat luar biasa.
Rencana B ku ini sangat istimewa karena aku tidak perlu
meninggalkan rencana A. Para pakar sendiri mungkin belum pernah
berpikir sejauh ini. Rencana B-ku sifatnya menggabungkan minat
dan kemampuan yang ada pada rencana A. Tntinya jika aku gagal
meniti karier di bidang bulu tangkis dan tak berhasil sebagai penulis
sehingga semua penerbit hanya sudi menerima tulisanku untuk
dijual menjadi kertas kiloan, maka aku akan menempuh rencana B
yaitu: aku akan menulis tentang bulu tangkis!
Aku menghabiskan sekian banyak waktu untuk membuat
rencana B ini agar sebaik rencana A, yaitu sampai tahap-tahap yang
paling teknis dan operasional. Oleh karena itu, aku telah punya
ancang-ancang judul bukuku, seluruhnya ada tiga yaitu TATA
CARA BERMAIN BULU TANGKIS, FAEDAH BULU TANGKIS,
atau BULU TANGKIS UNTUK PERGAULAN.
Rencana B ini kuanggap sangat rasional karena aku telah melihat
bagaimana pengaruh bulu tangkis pada orang-orang Melayu
pedalaman. Jika musim Thomas Cup atau All England maka di
kampung kami bulu tangkis bukan hanya sekadar olahraga tapi ia
menjadi semacam budaya, semacam jalan hidup, seperti sepak bola
bagi rakyat Brasil. Pada musim itu ilalang tanah-tanah kosong
dibabat, pohon-pohon pinang ditumbangkan untuk dibelah dan
dijadikan garis lapangan bulu tangkis, dan gengsi kampung
dipertaruhkan habis-habisan dalam pertandingan antar dusun. Jika
malam tiba kampung menjelma menjadi semarak karena lampu
petromaks menerangi arena-arena bulu tangkis dan teriakan para
penonton yang gegap gempita. Di sisi lain aku percaya bahwa
ratusan kaum pria yang tergila-gila pada bulu tangkis lalu pulang ke
rumah kelelahan akan mengalihkan mereka dan rutinas malam
sehingga dapat menekan angka kelahiran anak-anak Melayu.
Sungguh besar manfaat bulu tangkis bagi kampung kami yang
minim hiburan. Fenomena ini meyakinkanku bahwa tulisanku
tentang bulu tangkis akan mencapai suatu kedalaman dan kategori
yang disebut para sastrawan pintar zaman sekarang sebagai buku
dalam genre humaniora!
Buku itu akan ditulis setelah melalui riset yang serius dan
melibatkan studi literatur serta wawancara yang luas. Jika beruntung
aku akan mengusahakan agar mendapat semacam kata pengantar
sekapur sirih dan Ferry Sonneville dan dengan sedikit kerja sama
dengan penerbit aku sudah mengkhayalkan akan mendapat banyak
komentar berisi pujian dan para pakar di sampul belakang buku itu.
Misalnya Liem Swie King, ia akan berkomentar, “ini adalah
sebuah buku yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan
kepercayaan diri, membangun network, dan menambah kawan.”
Komentar Lius Pongoh agak lebih singkat:
“Sebuah buku yang memberi pencerahan.”
Seorang birokrat dan komite olah raga menyumbangkan pujian
yang filosofis: “Belum pernah ada buku olahraga ditulis seperti ini,
penulisnya sangat memahami makna men sane incorpore sano.”
Demikian pula pujian seorang seksolog yang gemar bermain bulu
tangkis: “Buku wajib bagi Anda yang memiliki kelebihan berat
badan dan kesulitan membina hubungan.”
Rudy Hartono memuji habis-habisan: “Sebuah buku yang
Sedangkan komentar dan Ivana Lie adalah:
“Membaca buku ini rasanya aku ingin memeluk penulisnya.”
I Be There or Be Damned’
“APAKAH Ananda sudah memiliki rencana A dan rencana B?”
Itulah pertanyaan pertama Bu Mus kepada Mahar sekaligus awal
pidato panjang untuk menasihati tindakannya yang sudah
keterlaluan. Ia sudah berbelok ke jalan gelap dunia hitam, ia harus
segera disadarkan. Pelajaran praktik olahraga yang sangat kami
sukai dibatalkan. Semuanya harus masuk kelas dalam rangka
menghakimi Mahar dan mengembali- kannya ke jalan yang lurus.
Layar pun turun, rol-rol film drama diputar.
Mahar menunduk. Ia pemuda yang tampan, pintar, berseni, tapi
“Ibunda, masa depan milik Tuhan ....“
Aku melihat cobaan yang dihadapi seorang guru. Wajah Bu Mus
redup. Seorang sahabat pernah mengatakan bahwa guru yang
pertama kali membuka mata kita akan huruf dan angka-angka
sehingga kita pandai membaca dan menghitung tak ‘kan putusputus pahalanya hingga akhir hayatnya. Aku setuju dengan
pendapat itu, Dan tak hanya itu yang dilakukan seorang guru. Ia
juga membuka hati kita yang gelap gulita.
“Artinya Ananda tidak punya sebuah rencana yang positif, tak
pernah lagi mau membaca buku dan mengerjakan PR karena
menghabiskan waktu untuk kegiatan perdukunan yang
membelakangi ayat-ayat Allah.’
Bu Mus mulai terdengar seperti warta berita RRI pukul 7.
Lintasan berita: “Nilai-nilai ulanganmu merosot tajam. Kita akan
segera menghadapi ulangan caturwulan ke tiga, setelah itu
caturwulan terakhir menghadapi Ebtanas. Nilaimu bahkan tak
memenuhi syarat untuk melalui caturwulan tiga ini. .Jika nanti ujian
antaramu masih seperti i, Ibunda tidak akan mengizinkanmu ikut
kelas caturwulan terakhir. Itu artinya kamu tidak boleh ikut
Ini mulai serius, Mahar tertunduk makin dalam. Kami diam
mendengarkan dan khotbah berlanjut. Berita utama: “Hiduplah
hanya dan ajaran AlQur’an, hadist, dan sunatullah, itulah pokokpokok tuntunan Muhammadiyah. mnsya Allah nanti setelah besar
engkau akan dilimpahi rezeki yang halal dan pendamping hidup
Disambung berita penting: “Klenik, ilmu gaib, takhayul,
paranormal, semuanya sangat dekat dengan pemberhalaan. Syirik
adalah larangan tertinggi dalam Islam. Ke mana semua kebajikan
dan pelajaran aqidah setiap Selasa? Ke mana semua hikmah dan
pengalaman jahiliah masa lampau dalam pelajaran tarikh Islam? Ke
mana etika ke-Muhammadiyahan?”
Suasana kelas menjadi tegang. Kami harap
Mahar segera minta maaf dan menyatakan pertobatan tapi
sungguh sial, ia malah menjawab dengan nada bantahan.
“Aku mencari hikmah dan dunia gelap Ibunda dan penasaran
karena keingintahuan. Tuhan akan memberiku pendamping dengan
Kurang ajar betul, Bu Mus bersusah payah menahan emosinya.
Aku tahu beliau sebenarnya ingin langsung me-labrak Mahar. Air
mukanya yang sabar menjadi merah. Beliau segera keluar ruangan
Kami serentak menatap Mahar dengan tajam. Alis Sahara
bertemu, tatapan matanya kejam sekali.
“Minta maaf sana! Tak tahu diuntung!” hardik Sahara. Kucai
selaku ketua kelas ambil bagian, suaranya menggelegar, “Melawan
guru sama hukumnya dengan melawan orangtua, durhaka! Siksa
dunia yang segera kauterima adalah burut! Pangkal pahamu akan
membesar seperti timun sun hingga langkahmu ngangkang!” Keras
sekali Kucai menghardik Mahar tapi yang dipelototinya Harun.
Wajah Mahar aneh. Ia seperti sangat menyesal dan merasa
bersalah tapi di sisi lain tampak yakin bahwa ia sedang
mempertahankan sebuah argumen yang benar, menurut versinya
sendiri tentu saja. Persis ketika kami ingin memprotes Mahar secara
besar-besaran tiba-tiba Bu Mus masuk lagi ke dalam ruangan dan
menyemprotkan pokok berita, “Camkan ini anak muda, tidak ada
hikmah apa pun dan kemusynikan, yang akan kau dapat dan
praktik-praktik klenik itu adalah kesesatan yang semakin lama
semakin dalam karena sifat syirik yang berlapis-lapis. Iblis mengipasngipasimu setiap kali kaukipasi bara api kemenyan-kemenyan itu.”
Mahar mengerut. Ia tampak sangat bersalah telah membuat
ibunda gurunya muntab. Bu Mus ternyata bisa juga emosi dan tak
berhenti sampai di situ, “Sekarang kau harus mengambil sikap
karena belum selesai ultimatum itu tiba-tiba terdengar
assalamu’alaikum. Bu Mus menjawab dan mempersilakan masuk
kepala sekolah kami, seorang bapak berwajah penting, dan seorang
anak perempuan tapi seperti laki-laki. Anak perempuan ini berpostur
tinggi, dadanya rata, pantatnya juga rata, Ia seperti sekeping papan
Sepatunya bot Wrangler navigator yang mahal dan itu adalah
sepatu laki-laki. Kaus kakinya lucu, berwarna-warni meriah berlapislapis seperti sarang lebah dan menutupi tempurung lutut. Ia jelas
bukan orang Muhammadiyah karena semua wanita Muhammadiyah
berjilbab. Ia memakai rok besar dan bahan wol bermotif kotak-kotak
besar merah seperti kilt orang-orang Skotlandia. Kilt itu menutupi
ujung atas kaus kakinya tadi sehingga tak ada sedikit pun celah kulit
kakinya yang terbuka. Rambutnya pendek, kulitnya putih bersih
sangat halus, dan wajahnya cantik. Secara umum ia tampak seperti
seorang pemuda Skotlandia yang imut.
Bapak berwajah orang penting tadi berusaha tersenyum ramah.
“ini anak saya, Flo,” katanya pelan-pelan.
“Dia sudah tidak ingin lagi sekolah di sekolah PN dan sudah
membolos dua minggu. Dia bersikeras hanya ingin sekolah di sini.”
Orang penting ini menggaruk-garuk kepalanya. Setiap katakatanya adalah batu berat puluhan kilo yang ia seret satu per satu.
Nada bicananya jelas sekali seperti orang yang sudah kehabisan
akal mengatasi anaknya itu. Kami semua tenmasuk kepala sekolah
tensipu menahan tawa, Bu Mus yang banu saja manah juga
tensenyum. Sebuah senyum tenpaksa karena kami semua sudah
tahu neputasi Flo. Beliau sudah pusing tujuh keliling menghadapi
Mahan dan sekanang hanus ditambah lagi satu anak setengah lakilaki setengah penempuan yang sudah pasti tak bisa diatun! Hari ini
adalah hari yang sial dalam hidup Bu Mus.
Flo sendini acuh tak acuh, ia tak tensenyum dan hanya menatap
bapaknya. Anak cantik ini benkanakten tegas, pasti, tahu pensis apa
yang ia inginkan, dan tak pennah nagu-nagu, sebuah gambanan
sikap yang mengesankan. Bapak-nya juga menatapanaknya, suatu
tatapan penuh kekalahan yang pedih. Lalu bapaknya melihat
sekeliling nuangan kelas kami yang seperti nuang intenogasi tentana
Jepang, tatapannya semakin pedih. Dengan pasnah ia
“Maka saya senahkan anak saya pada Ibu, jika ia menyulitkan,
Bapak Kepala Sekolah sudah tahu di mana harus menemui saya.
Menyesal harus saya sampaikan bahwa ia pasti akan menyulitkan.”
Kami tertawa dan bapaknya tersenyum pahit. Flo masih cuek
seolah semua kata-kata itu tak ada maknanya, laksana angin lewat
saja. Kepala Sekolah dan orang penting itu mohon dir Kepala
Sekolah kami tersenyum simpul sambil memandang Bu Mus penuh
Bu Mus memandangi Flo dan samping Mahar yang baru saja
dimarahinya habis-habisan dan Flo yang berandal berdiri tegak di
depan kelas seperti orang mengambil pose untuk peragaan kaus
kaki Italia model terbaru. Meskipun seperti laki-laki tapi ia
sesungguhnya gadis remaja yang menawan, dan kulitnya indah luar
biasa. Di kelas ini ia laksana Winona Ryder yang diutus UNICEF
untuk membesarkan hati para penderita lepra di sebuah kampung
Flo menyilangkan kakinya, bahunya yang kurus bidang mekar
seperti memiliki bantalan di pundak-pundaknya. Ia sangat
memesona. Semua mata menghunjam ke arahnya. Sebuah
pemandangan yang tak biasa. Jika diamati dengan saksama, di balik
kedua bola matanya yang gelap coklat seperti buah hamlam
tersembunyi kebaikan yang sangat besar,
Semuanya diam, Flo juga diam. Kami berharap Flo akan
memecah kekakuan dengan memperkenalkan dirinya. Tapi ia tak
melakukan itu dan Bu Mus juga tak memintanya mengenalkan diri
karena dua alasan: Flo jelas tak senang dengan formalitas,
kedua: siapa yang tak kenal Flo? Namanya melambung gara-gara
hilang di Gunung Selumar tempo hari dan reputasinya semakin top
karena baru-baru ini menjuarai pertarungan kick boxing. Ia meng
KO hampir seluruh lawannya padahal ia satusatunya petarung
wanita. Maka Bu Mus mengambil inisiatif sambil tersenyum
“Baiklah, selamat datang di kelas kami, setelah ini pelajaran
kemuhammadiyahan, silakan Ananda duduk di sana dengan
Sahara senang bukan main karena selama sembilan tahun hanya
ia satu-satunya wanita di kelas kami. Selama ini ia duduk sendirian
dan sekarang ia akan punya teman sesama jenis. Ia mengusap-usap
kursi kosong di sampingnya dan menampilkan bahasa tubuh
selamat datang. Tapi di luar dugaan ternyata Flo tak beranjak
Wajahnya tak menunjukkan minat sama sekali. Dia membatu dan
meman-dang jauh ke luar jendela. Kami bingung, lalu Flo kembali
meman-dang kami dan kami terkejut ketika dengan pasti ia menunjuk Tarapani sambil bersabda:
“Aku hanya ingin duduk di samping Mahar!”
Luar biasa! Kalimat pertama yang meluncur dan mulut kecil
makmurnya itu setelah baru saja beberapa menit menginjakkan kaki
di sekolah Muhammadiyah adalah sebuah pembangkangan!
Pembangkangan bukanlah hal yang biasa di perguruan kami. Kami
tak pernah sekali pun dengan sengaja menyatakan pembangkangan,
kami bahkan memanggil guru kami ibunda guru. Kami terperanjat,
demikian pula Bu Mus. Air muka sabarnya menjadi keruh. Baru saja
beliau memikirkan kemungkinan kerusakan etika Muhammadiyah
yang akan dibuat Mahar dan murid baru separuh pria ini, tiba-tiba
sekarang dua ekor angin tornado ini ingin bersekutu. Berat sekali
cobaan hidup Bu Mus. Wajah Bu Mus sembap. Flo menunjukkan
wajah tak mau berkompromi dan Bu Mus sudah tahu bahwa
percuma melawan dia, Lagi pula bagi Flo dirinya bukanlah wanita,
maka ia tak mau duduk dengan Sahara. Di sisi lain ia menganggap
Trapani harus mengalah karena ia adalah seorang wanita.
Transeksual memang sering membingungkan.
Trapani kebingungan karena dia sudah sembilan tahun terbiasa
duduk sebangku dengan Mahar dan Bu Mus harus mengambil
keputusan yang sulit. Beliau memberi isyarat pada Trapani agar
lungsur. Flo menghambur ke kursi bekas Trapani di samping Mahar.
Mahar serta-merta mengeluarkan tiga macam sikap khasnya yang
menyebalkan: menaikkan alis, mengangkat bahu, dan menganggukangguk. Kami muak melihatnya tapi ia tampak senang bukan main.
Seperti dugaannya, Tuhan telah memberinya pendamping secara
misterius. Sebuah doa yang langsung dikabulkan di tempat.
Bajingan kecil itu memang selalu beruntung. Sebaliknya, Trapani
kehilangan teman sebangku dan ia sekarang harus duduk dengan
Sahara yang temperamental. Sahara sendiri sangat tidak suka
menerima Trapani. Ia mengaum, alisnya bertemu.
Flo tampak kaku duduk di kelas kami dan seluruh ruangan itu
sama sekali tidak merepresentasikan setiap jenis sandang yang
dikenakannya. Kelas rombeng ini juga tak cocok dengan kulit putih
dan raut mukanya yang penuh sinar kekayaan. Apa yang dicari
anak kaya ini di sekolah miskin yang tak punya apa-apa? Mengapa
ia ingin menukar gemerlap sekolah PN dengan sekolah gudang
kopra? Buah khuldi di pekarangan siapa yang telah dimakannya
sehingga dia terusir dan taman eden Gedong?
Tidak, ia tidak dicampakkan oleh sekolah PN tapi ia sengaja ingin
pindah ke sekolah Muhammadiyah atas kemauan sendiri, tanpa
tekanan dan pihak mana pun dan dalam keadaan sehat walafiat
jasmani dan rohani, hanya pikirannya saja yang sedikit kacau.
Pada hari-hari pertama kami terkagum-kagum dengan berbagai
perlengkapan sekolahnya yang menurut ia biasa saja. Ia memiliki
enam macam tas yang dipakai berbeda-beda setiap hari. Tas hari
Jumat paling menarik karena ber-umbai-rumbai seperti tas Indian. Ia
juga memiliki banyak kotak. Kotak khusus untuk beragam penggaris:
ada penggaris busur, penggaris segitiga, penggaris siku, dan
beragam ukuran penggaris segi empat. Kotak lainnya berisi jangkajangka kecil, berbagai jenis pensil, pulpen, dan penghapus seperti
kue lapis yang dapat menimbulkan rasa lapar. Lalu ada serutan
yang lucu serta sapu tangan handuk kecil di dalam tas rajutan
Di dalam tas rajutan kecil itu ada berjejal-jejal uang kertas yang
dimasukkan dengan sembrono oleh Flo. Jika ia membuka tas itu
sering kali uang tadi berjatuhan ke lantai, Jumlah uang itu semakin
hari semakin banyak dan membuat tasnya menjadi gendut. Flo tidak
bisa membelanjakan uang itu di sekolah Muhammadiyah karena tak
ada yang bisa dibeli. Uang itu memiliki nama yang sangat asing bagi
kami: uang saku. Sesuatu yang seumur-umur tak pernah kami
dapat-kan dan orangtua kami.
Sebagian besar benda-benda itu belum pernah kami lihat. Ia
amat berbeda dengan kami dalam semua hal. Ia seumpama bangau
Hokaido yang anggun tersasar ke kandang itik. Setiap pagi ia
diantar sopirnya dengan sebuah mobil mewah tentu saja setelah ia
sarapan dan semacam benda yang dapat membuat roti meloncat.
Sejak kami menjadi pahlawan kesiangan yang menemukan Flo
ketika ia hilang di Gunung Selumar tempo hari, ia memang telah
mengenal kami, terutama Mahar dan reputasinya. Flo hengkang dan
sekolah PN karena didorong oleh kepribadiannya yang pembosan,
cenderung anti kemapanan, tergilagila dengan pemberontakan, dan
keinginannya menjadi anggota Laskar Pelangi yang unik. Tapi ada
alasan lain yang tak banyak orang tahu, dan ini agak berbahaya,
yaitu ia tergila-gila pada Mahar. Ia mengagumi Mahar bukan
sebagai pribadi tapi sebagai seorang profesional muda perdukunan.
Karena orangnya memang ekstrovert dan berpikiran terbuka
maka kami segera akrab dengan Flo. Pada sebuah sore yang dingin
setelah hujan lebat Flo kami inisiasi di dahan tertinggi fihicium dan
sejak sore itu ia resmi kami bai’at sebagal anggota Laskar Pelangi.
Saat pelangi melingkar dan guruh bersahutsahutan membahana di
atas langit Belitong Timur, ia mengucapkan janji setia persaudaraan.
Ternyata Flo adalah pribadi yang sangat menyenangkan. Ia
memiliki kemampuan beradaptasi yang luar biasa. Ia cantik dan
sangat rendah hati, sehingga kami betah di dekatnya. Ia tak pernah
segan menolong dan selalu rela berkorban, Terbukti bahwa di balik
sifatnya keras kepala tersimpan kebaikan hati yang besar.
Aneh, di sekolah Muhammadiyah yang tak punya fasilitas apa
pun Flo sangat bersemangat. Ada sesuatu yang menggerakkannya.
Ia tak pernah sehari pun bolos dan bersikap sangat santun kepada
para pengajar. Konon bapaknya sampai mengucapkan terima kasih
kepada kepala sekolah kami dan Bu Mus. Ia datang lebih pagi dan
siapa pun, menyapu seluruh sekolah, menimba berember ember air
dan menyiram bunga tanpa diminta. Sekolah ini adalah jembatan
Flo sangat dekat dengan Mahar. Mereka saling tergantung dan
saling melindungi. Hubungan mereka sangat unik. Dengan bersama
Mahar dan berada di sekolah Muhammadiyah Flo seperti berada di
dunia yang memang diidamkannya selama ini. Ia seperti orang yang
telah menemukan identitas setelah bersusah payah mencarinya
melalul pemberontakan-pemberontakan sinting. Demikian pula
Mahar, ia merasa menemukan satu-satunya orang yang
memahaminya, tak pernah melecehkannya, dan menghargai setiap
kelakuan anehnya. Maka mereka seperti Starsky and Hutch atau
Harley Davidson and The Marlboro Man, gandeng renteng ke sana
kemari persis Trapani dan ibunya.
Mahar benar-benar telah mendapatkan pendamping. Mereka
sering tampak berduaan, berbicara, bertukar pikiran sampai berjamjam. Orang yang melihatnya akan menyangka mereka berpacaran.
Seorang pemuda tampan dan seorang anak gadis cantik yang
tomboi, siang malam tak terpisahkan. Saling tergila-gila, serasi
sekali, Tapi kenyataannya mereka sama sekali tidak punya
hubungan emosional semacam itu, Mereka memang tergila-gila tapi
kekasih hati mereka adalah dunia gelap mistik dan klenik.
Dunia gelap itulah yang memicu adrenalin Flo dan itu jugalah
salah satu tujuannya mendekati Mahar. Berbeda dengan A Kiong
yang juga mengabdi kepada Mahar tapi memosisikan diri sebagai
murid, Flo sebaliknya memosisikan diri sebagai rekan. Persekutuan
mereka membawa kemajuan yang pesat dalam elaborasi dunia
metafisik karena ditunjang oleh sumber daya yang dimiliki Flo.
Mereka mempelajari dengan saksama fenomena-fenomena aneh
melalui majalah-majalah luar negeri dan buku-buku ilmiah karangan
psychist ternama. Kalau dulu Mahar berurusan dengan primbon
atau prasasti dan istilah-istilah kuntilanak, jenglot, Dalbho anak
genderuwo, dan pocong, sekarang referensinya meningkat menjadi
paranormal-phernalia, UFO codes, science fictions news, dan The
Anomalist, dan bicaranya juga menjadi lebih maju dan keren, kalau
dulu kemenyan, tuyul, kerasukan setan, dan santet, sekarang
menjadi istilah-istilah paranormal asing seperti exorcism,
clairevoyance, sightings, dan poltergeist.
Mahar tertarik pada mitologi, hubungan supranatural dengan
antropologi, sejarah, cerita rakyat, arkeologi, kekuatan
penyembuhan, ilmu-ilmu purba, ritual, dan kepercayaan berhala.
Maka sedikit banyak ia menganggap dirinya seorang ilmuwan
supranatural. Sebaliknya, Flo adalah petualang sejati. Ia kurang
tertarik dengan aspek ilmu dan keyakinan dalam kejadian-kejadian
mistik tapi ia ingin mengalami manifestasi berbagai teori dan
fenomena magis dalam praktik. Karena tujuan utama pendalaman
mistik Flo adalah untuk menguji dirinya sendiri, sampai sejauh mana
ia bisa menoleransi rasa takutnya. Ia kecanduan getargetar mara
bahaya dunia lain. Flo sedikit lebih parah sintingnya dibanding
Maka untuk merealisasikan semua tujuan itu dan untuk
menikmati hobinya, mereka berdua menyusun sebuah rencana
sistematis. Langkah awal mereka adalah membentuk sebuah
organisasi rahasia para penggemar paranormal. Setelah kasakkusuk
sekian lama, tak dinyana ternyata mereka mampu menemukan
anggota-anggota se-paham yang sangat antusias. Mereka
membentuk sebuah perkumpulan yang disebut Societeit de Limpai
dan melakukan pertemuan rutin serta aktivitas perklenikan secara
Semakin lama aktivitas itu semakin tinggi dan tak jarang
melibatkan perjalanan yang jauh. Tak terbayangkan ke mana
keingintahuan dapat membawa manusia: ke gunung tertinggi, ke
gua yang gelap, melintasi padang, menuruni ngarai, menyeberangi
lumpur, sungai, dan laut. Sing-kat-nya, organisasi bawah tanah ini
sangat sibuk dan menuntut pengadministrasian jadwal, dana, dan
properti sehingga mereka membutuhkan bantuan seorang sekretaris
Ketika aku ditawari posisi itu, aku segera menyambarnya.
Meskipun tidak ada honornya sepeser pun tapi aku merasa
terhormat menjadi seorang sekretaris dan sebuah gerombolan
orangorang yang bersahabat dengan hantu. Aku juga bangga
karena jabatan itu menunjukkan bahwa aku punya cukup integritas
untuk memegang uang, artinya paling tidak aku bisa dipercaya
walaupun hanya dipercaya oleh orang-orang yang sudah tidak lurus
Tugasku sederhana dan cukup diatur melalui sebuah buku
register. Tugas tersebut adalah mencatat iuran anggota, menyimpan
uangnya, dan mencatat barang-barang pribadi milik anggota yang
akan dijual atau digadaikan guna membeli peralatan dan
membiayai ekspedisi. Tugas lainnya adalah mengatur pertemuan
rahasia, Biasanya undangan dibuat oleh bosku, Mahar atau Flo, dan
aku harus mengedarkannya pada seluruh anggota. Seperti sore ini
misalnya, Flo menyerahkan undangan padaku, isinya:
“Rapat mendesak, Los V/B pasar ikan, Pk. 7 tepat.
Be there or be damned!”
Detik-Detik Kebenaran
DALAM sebuah bangunan berarsitektur art deco, di ruangan oval
yang hingar-bingar, kami terpojok: aku, Sahara, dan Lintang.
Kembali kami berada dalam sebuah situasi yang
mempertaruhkan reputasi. Lom-ba kecerdasan. Dan kami berkecil
hati melihat murid-murid negeri dan sekolah PN membawa bukubuku teks yang belum pernah kami lihat, Tebal berkilat-kilat dengan
sampul berwarna-warni, pasti buku-buku mahal. Sebagian peserta
berteriak-teriak keras menghafalkan nama-nama kantor berita.
Risikonya tentu jauh lebih besar dan karnaval dulu. Lomba
kecerdasan adalah arena terbuka untuk mempertontonkan
kecerdasan, atau jika sedang bernasib sial, mempertontonkan
ketololan yang tak terkira. Dan semua nasib sial itu akan ditanggung
langsung oleh aku, Sahara, dan Lintang. Kami adalah regu F pada
lomba memencet tombol in Bagaimana kalau kami tak mampu
menjawab dan hanya membawa pulang angka nol?
Persoalan klasiknya adalah kepercayaan diri. Inilah problem
utama jika berasal dan lingkungan marginal dan mencoba bersaing.
Kami telah dipersiapkan dengan baik oleh Bu Mus. Beliau memang
menaruh harapan besar pada lomba ini lebih dan beliau berharap
waktu kami karnaval dulu. Bu Mus pontang-panting mengumpulkan
contoh contoh soal dan bekerja sangat keras melatih kami dan pagi
sampai sore. Bu Mus melihat lomba ini sebagai media yang
sempurna untuk menaikkan martabat sekolah Muhammadiyah yang
bertahun tahun selalu diremehkan. Bu Mus sudah bosan dihina.
Sayangnya sekeras apa pun beliau membuat kami pintar dan
menguatkan mental kami, mendorong-dorong, membujuk, dan
mengajari kami agar tegar, kami tetap gugup. Semua yang telah
dihafalkan berminggu-minggu lenyap seketika, jalan pikiran menjadi
buntu. Aku berusaha menenangkan diri dengan membayangkan
duduk bersemadi di atas padang rumput hijau di tempat yang paling
tenang dalam imajinasiku: Edensor, tapi upaya ini juga gagal.
“Persetan kepercayaan diri pokoknya dengar pertanyaannya
baik-baik, pencet tombolnya cepatcepat, dan jawab dengan benar”
demikian kataku. Sahara mengangguk, Lintang tak peduli.
Kami duduk menghadapi sebuah meja mahoni yang besar,
panjang, indah, dan dingin. Seluruh teman sekelasku dan guru-guru
hadir untuk menyemangati kami. Ruangan penuh sesak oleh para
pendukung setiap sekolah. Aku, Lintang, dan Sahara mengerut di
balik meja itu. Kami berpakaian amat sederhana dan sepatu cunghai
Lintang masih menebarkan bau hangus.
Pendukung yang paling dominan tentu saja pendukung sekolah
PN. Jumlahnya ratusan dan menggunakan seragam khusus dengan
tulisan mencolok di punggungnya: VINI, VIDI, VICI, artinya AKU
DATANG, AKU LIHAT, AKU MENANG. Benarbenar menjatuhkan
mental lawan. Sekolah PN mengirim tiga regu, masing-masing regu
A, B, dan C. Anggota regu itu adalah yang terbaik dan yang terbaik.
Mereka diseleksi secara khusus dengan amat ketat dan standar yang
sangat tinggi. Beberapa peserta itu pernah menjuarai lomba cerdas
cermat tingkat provinsi bahkan ada yang telah dikirim untuk tingkat
nasional. Pakaian anggota regu juga sangat berbeda.
Mereka mengenakan jas warna biru gelap yang indah, sepatu
yang seragam dengan celana panjang berwarna serasi, dan mereka
Tahun ini mereka dipersiapkan lebih matang, sistematis, dan
secara amat ilmiah oleh seorang guru muda yang terkenal karena
kepandaiannya. Guru ini membuat simulasi situasi lomba
sesungguhnya dengan bel, dewan juri, stop watch, dan antisipasi
variasi-variasi soal. Guru yang cemerlang ini baru saja mengajar di
PN, dulu ia bekerja di sebuah perusahaan asing di unit riset dan
pengembangan kemudian ditawari mengajar di PN dengan gaji
berlipat-lipat dan janji beasiswa S2 dan S3. Ia lulus cum laude dan
Fakultas MIPA sebuah universitas negeri ternama. Tahun ini ia
terpilih sebagai guru teladan provinsi. Ia mengajar fisi-ka, Drs.
Zulfikar, itulah namanya.
Pendukung kami dipimpin oleh Mahar dan Flo. Meskipun hanya
berjumlah sedikit tapi semangat mereka menggebu. Mereka
membawa dua buah bendera besar Muhammadiyah yang telah
lapuk dan berbagai macam tabuh-tabuhannya seperti para suporter
sepak bola. Para pelajar PN yang menganggap Flo pengkhianat
melirik kejam padanya, tapi seperti Lintang, Flo juga tak peduli.
Walaupun besar sekali kemungkinan tim kami dipermalukan oleh
kecerdasan tim PN dalam lomba ini, tapi Flo tak ragu sedikit pun
membela habis-habisan sekolahnya, sekolah kampung
Di antara pendukung kami ada Trapani dan ibunya, kedua anak
beranak ini saling bergandengan tangan. Aku melihat pelajar-pelajar
wanita berbisikbisik, tertawa cekikikan, dan terus-menerus
meliriknya karena semakin remaja Trapani semakin tampan. Ia
ramping, berkulit putih bersih, tinggi, berambut hitam lebat, di
wajahnya mulai tumbuh kumis-kumis tipis, dan matanya seperti
buah kenari muda: teduh, dingin, dan dalam.
Sesungguhnya dalam seleksi tim yang akan mewakili sekolah
kami Trapani telah terpilih. Skornya lebih tinggi dibanding skor
Sahara namun nilai geografinya lebih rendah. Kekuatan tim kami
adalah matematika, hitungan-hitungan IPA, biologi, dan bahasa
Inggris yang semuanya tak diragukan ada di tangan Lintang. Aku
agak baik pada bidangbidang kewarganegaraan, tarikh Islam, fikih,
budi pekerti, dan sedikit bahasa Indonesia. Yang paling lemah
dalam tim kami adalah geografi dan ahli geografi kami adalah
Sahara, Maka demi kekuatan tim Trapani dengan lapang dada
memberi kesempatan pada Sahara untuk tampil. Trapani adalah
pria muda yang amat tampan dan berjiwa besar.
“Tabahkan hatimu, Ikal “ itulah nasihat Trapani pelan padaku.
Sementara di meja mahoni yang megah itu Lintang diam seribu
bahasa, kelelahan, selayaknya orang yang memikul seluruh beban
pertaruhan nama baik. Aku tak henti-henti berkipas, bukan
kepanasan, tapi hatiku mendidih karena gentar. Tak pernah sekali
pun sekolah kampung menang dalam lomba ini, bahkan untuk
diundang saja sudah merupakan kehormatan besar.
Lintang sudah membatu sejak subuh tadi. Di atas truk terbuka
yang membawa kami ke ibu kota kabupaten in Tanjong Pandan, ia
membisu seperti orang sakit gigi parah. Ia memandang jauh. Tak
mampu kuartikan apa yang berkecamuk di dadanya. Ayah, Ibu, dan
adik-adiknya juga ikut. Mereka, termasuk Lintang, baru pertama kali
ini pergi ke Tanjong Pandan.
Sahara duduk di tengah. Aku dan Lintang di samping kin dan
kanannya. Ekspresi Lintang datar, ia tersandar lesu tanpa minat.
Agaknya ia demikian minder, berkecil hati, dan malu berada di
lingkungan yang sama sekali asing baginya. Ia hanya menatap
Ayah, Ibu, dan adik-adiknya yang berpakaian amat sederhana,
duduk saling merapatkan diri di pojok, tampak bingung dalam
suasana yang hiruk pikuk. Aku mencoba berkonsentrasi tapi gagal.
Lintang dan Sahara sudah tak bisa diharapkan.
Kulihat tangan para peserta lain mulai meraba tombol di depan
mereka, siap menyalak. Sahara kelihatan pucat, seperti orang
bingung. Ia yang telah ditugasi dan dilatih khusus memencet tombol
sedikit pun tak mampu mendekatkan jarinya ke benda bulat itu. Ia
sudah pasrah atas kemungkinan kalah mutlak, Sahara mengalami
demam panggung tingkat gawat.
Sementara otakku tak bisa lagi dipakai untuk berpikir. Keributan
yang terjadi ketika peserta lain mencoba-coba tombol dan mikrofon
terdengar bagaikan teror bagi kami. Kami tak sedikit pun mencoba
benda-benda itu. Kami sudah kalah sebelum bertanding. Para
pendukung Muhammadiyah membaca kegentaran kami. Mereka
Suasana semakin tegang ketika ketua dewan Juri bangkit dan
tempat duduknya, memperkenalkan diri, dan menyatakan lomba
dimulai. Jantungku berdegup kencang, Sahara pucat pasi, dan
Lintang tetap diam misterius, ia bahkan memalingkan wajah keluar
Dan inilah detik-detik kebenaran itu. Pertanyaan ditujukan
kepada semua peserta yang harus berlomba cepat memencet
tombol agar dapat menjawab dan jika keliru akan kena denda. Aku
tak berani melihat para penonton. Dan Bu Mus tak berani melihat
wajah kami. Wajahnya dipalingkan ke lampu besar di tengah
ruangan yang berjuntai Junta
laksana raja gurita. Baginya ini adalah peristiwa terpenting
selama lima belas tahun karier mengajarnya. Beliau benar-benar
menginginkan kami menang dalam lomba ini, karena beliau tahu
lomba ini sangat penting artinya bagi sekolah kampung seperti
Muhammadiyah. Wajahnya kusut menanggung beban, mungkin
beliau Juga telah bosan bertahun-tahun selalu diremehkan.
Tak lama kemudian seorang wanita anggun yang bergaun Jas
cantik berwarna merah muda berdiri. Beliau meminta penonton
agar tenang karena beliau akan mengajukan pertanyaan. Suaranya
indah, bertimbre berat, dan tegas seperti penyiar RRI.
Wanita itu mendekatkan wajahnya pada mikrofon dan
menegakkan lembaran kertas di depannya seperti orang akan
membaca Pancasila. Detik-detik kebenaran yang hakiki dan
mencemaskan tergelar di depan kami. Seluruh peserta memasang
telinga baik-baik, siap menyambar tombol, dan siaga mendengar
berondongan pertanyaan. Suasana mencekam
Pertanyaan pertama bergema.
“Ia seorang wanita Prancis, antara mitos dan realita ..
Kring! Kriiiiiiiingggg! Kriiiiiiiiiiiiinnnggggg!
Wanita anggun itu tersentak kaget karena pertanya-annya secara
mendadak dipotong oleh suara sebuah tombol meraung-raung tak
sabar, Aku dan Sahara juga tenpenanjat tak alang kepalang karena
baru saja sepotong lengan kasar dengan kecepatan kilat menyambar
tombol di depan kami, tangan Lintang!
“Regu F!” kata seorang pria anggota dewan Juri lainnya.
Wajahnya seperti almarhum Benyamin S. Ia memakai jas dan dasi
“Joan D’Arch, Loire Valley, France!” jawab Lintang membahana,
tanpa berkedip, tanpa keraguan sedikit pun, dengan logat Prancis
yang sengausenqau aduhai.
“Seratusss!” Benyamin S. tadi membalas disambut tepuk tangan
gemuruh para penonton. Kulihat bendera Muhammadiyah berkibarkibar.
“Pertanyaan kedua: Terjemahkan dalam kalimat integral dan
hitung luas wilayah yang dibatasai oleh y = 2x dan x = S.”
Lintang kembali menyambar tombol secepat kilat dan
jawabannya serta-merta memecah ruangan.
“Integral batas S dan 0, 2x minus x kali dx, hasilnya: dua belas
Luar biasa! tanpa ada kesangsian, tanpa membuat catatan apa
pun, kurang dan S detik, tanpa membuat kesalahan sedikit pun, dan
nyaris tanpa berkedip.
“Seratussssss!” lengking Benyamin S.
Mendengar lengkingan Benyamin S. pendukung kami melonjaklonjak seperti orang kesurupan. Suara mereka riuh rendah laksana
kawanan kumbang kawin. Flo melompat-lompat sambil
mengeluarkan jurus-jurus kick boxing.
“Pertanyaan ketiga: Hitunglah luas dalam jarak integral 3 dan 0
untuk sebuah fungsi 6 plus 5x minus x pangkat 2 minus 4 x.”
Lintang memejamkan matanya sebentar, ia tak membuat catatan
apa pun, semua orang memandangnya dengan tegang, lalu kurang
dan 7 detik kembali ia melolong.
“Tiga belas setengah!”
Tak sebiji pun meleset, tak ada ketergesa gesaan, tak ada
keraguan sedikit pun.
“Seratusssss!” balas Benyamin S. sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya karena takjub melihat kecepatan daya pikir Lintang.
Pendukung kami bersorak sorai histeris gegap gempita. Mereka
mendesak maju karena perlombaan semakin seru. Ayah, Ibu, dan
adik-adik Lintang berusaha berdiri dan bergabung dengan
pendukung kami yang lain. Mereka tersenyum lebar dan kulihat
ayah Lintang, pria cemara angin itu, wajahnya berseri-seri penuh
kebanggaan pada anaknya, matanya yang kuning keruh berkacakaca.
Sementara para peserta lain terpana dan berkecil hati. Lintang
menjawab kontan, bahkan ketika mereka belum selesai menulis soal
itu dalam kertas catatan yang disedia-kan panitia. Beberapa di
antaranya membanting pensil tanpa ampun. Trapani yang kalem
mengangguk-angguk pelan. Pak Hanfan bertepuk tangan girang
sekali seperti anak kecil, wajahnya menoleh ke sana kemani.
“Lihatlah murid-muridku, ini baru murid-muridku ...,“ itu mungkin
makna ekspresi wajahnya.
Bu Mus bergerak maju ke depan, wajah kusutnya telah sirna
menjadi cerah. Sekarang beliau berani mengangkat wajah nya,
matanya juga berkaca-kaca dan bibirnya bergumam, “Subhanallah,
Ibu jas merah muda berupaya keras menenangkan penonton
yang riuh dan berdecak-decak kagum, terutama menenangkan
pendukung kami yang tak bisa menguasai diri. Beliau melanjutkan
“Selain menggunakan teknik radiocarbon untuk menentukan usia
sebuah temuan arkeologi, para ahli juga....“
Kring! Kriiiiiiiingggg!
Kembali Lintang mengamuk, dan ia menjawab Lantang.
“Thermoluminescent dating! Penentuan usia melalui pelepasan
energi sinar dalam suhu panas!”
Berikutnya hanyalah kejadian yang persis sama dengan pertanyaan
itu, Wanita cantik benjas merah muda itu tak pernah sempat
menyelesaikan pertanyaannya. Lintang menyambar setiap soal
tanpa memberikan kesempatan sekali pun pada peserta lain.
Ratusan penonton terkagum-kagum. Warga Muhammadiyah di
ruangan itu berjingkrak-jingkrak sambil saling memeluk pundak.
Yang paling bahagia adalah Harun. Dia memang senang dengan
keramaian. Aku melihatnya bertepuk-tangan tak henti-henti,
berteriak-teriak memberi semangat, tapi wajahnya tak melihat ke
arah kami, ia menoleh keluar jendela. Kiranya ia sedang memberi
semangat kepada sekelompok anak perempuan yang sedang
bermain kasti di halaman.
Di tengah hiruk pikuk para penonton aku sempat mendengar
jawaban-jawaban tangkas Lintang:
“Vincent Van Gogh, men yasszonytanc, The Hunch back of
Notredame, paradoks air, Edgar Alan Poe, medula spinalis, Dian
Fossey, artropoda, 300 ribu kilometer per detik. Basedow,
dactylorhiza moculata, ancyostoma duodenale, Stone Henge,
Platyhelminthes, endoskeleton, Serebrum, Langerhans, fluoxetine
hydrochloride, 8,5 menit cahaya, extremely low frequency, molekul
Ia tak terbendung, aku meninding melihat kecerdasan sahabatku
i. Peserta lain terpesona dibuatnya. Mereka seperti terbius sebuah
kharisma kuat kecerdasan murni dan seorang anak Melayu
pedalaman miskin, murid sekolah kampung Muhammadiyah yang
berambut keriting merah tak terawat dan tinggal di rumah kayu
doyong beratap daun nun jauh terpencil di pesisir.
Para peserta sekolah PN merasa geram karena tak kebagian satu
pun jawaban. Maka mereka mencoba berspekulasi. Tujuannya
bukan untuk menjawab tapi untuk menjegal Lintang. Mereka
berusaha secara tidak rasional memencet tombol secepat mungkin.
Sebuah tindakan tolol yang berakibat denda karena tak mampu
menginterpnetasikan selunuh konteks pentanyaan. Sedangkan
Lintang, seperti dulu pernah kucenitakan, anak ajaib kuli kopra ini,
memiliki kemampuan yang mengagumkan untuk menebak isi kepala
Dominasi Lintang membuat bebenapa penonton
terusik egonya dan penasaran ingin menguji Einstein kecil ini
maka insiden pun terjadi. Ketika itu juri menanyakan:
“Terobosan pemahaman ilmiah terhadap konsep warna pada
awal abad ke-16 memulai penelitian yang intens di bidang optik.
Ketika itu banyak ilmuwan yang percaya bahwa campuran cahaya
dan kegelapanlah yang menciptakan warna, sebuah pendapat yang
rupanya keliru. Kekeliruan itu dibuktikan dengan memantulkan
cahaya pada sekeping lensa cekung ..,.“
Kriiiiiing! Kriiiiing! Kring! Lintang menyalaknyalak.
Sekali lagi suporter kami bergemuruh jumpalitan, tapi tiba-tiba
seseorang di antara penonton menyela, “Saudara ketua! Saudara
ketua! Saudara ketua dewan juri! Saya kira pertanyaan dan jawaban
Seluruh hadirin sontak diam dan melihat ke arah seorang
pemuda yang kecewa ini. Oh, Drs. Zulfikar, guru fisika teladan dan
sekolah PN itu. Gawat! Urusan ini bisa runyam. Sekarang
pandangan seluruh hadirin menghunjam ke arah guru muda yang
otak cemenlangnya sudah kondang ke mana- mana. Untuk diajar
privat olehnya bahkan harus antre. Ia harapan yang akan
melanjutkan tradisi lama sekolah PN sebagai pemenang pertama
lomba kecerdasan ini dan ia sudah mempersiapkan timnya
demikian sempurna. Ia tak ingin dipermalukan dan ia tak pernah
berurusan dengan sesuatu yang tidak terbaik. Sekarang apa yang
akan ia perbuat? Aku dan Sahara waswas tapi Lintang tenangtenang saja. Drs. itu angkat bicara dengan gaya akademisi tulen:
“Percobaan dengan lensa cekung tidak ada kaitannya dengan
bantahan terhadap teori awal yang meyakini bahwa warna
dihasilkan oleh campuran cahaya dan kegelapan. Dan sebaliknya,
pemahaman terhadap penciptaaan warna bukanlah persoalan optik,
kecuali dewan juri ingin membantah Descartes atau Aristoteles. Soal
optik dan spektrum warna adalah dua macam hal yang berbeda.
Situasi ini ambigu, di sini kita menghadapi tiga kemungkinan,
pertanyaan yang salah, jawaban yang keliru, atau kedua-duanya tak
berdasar dalam arti tidak kon t e k s t u a I!”
Aduh...! Komentar ini sudah di luar daya jangkau akalku, asing,
tinggi, dan jauh. ini sudah semacam debat mempertahankan tesis S2
di depan tiga orang profesor. Tapi tidakkah sedikit banyak kata-kata
sang Drs. itu berbentuk U, kritis namun berputar-putar? Dan ia
pintar sekali membimbangkan dewan juri dengan menyintir
pendapat René Descartes, siapa yang berani membantah sinuhun
ilmu zaman lawas itu? Mudah-mudahan Lintang punya argumentasi.
Kalautidak kami akan habis di sini. Aku membatin dengan cemas
tapi tak tahu akan berbuat apa. Pak Harfan bertelekan pinggang lalu
menunduk dan Bu Mus merapatkan kedua tangannya di atas
dadanya seperti orang berdoa, wajahnya prihatin ingin membela
kami tapi beliau tak berdaya karena serangan Drs. Zulfikar memang
sudah ter-lalu canggih. Bu Mus tampak tak tega melihat kami. Aku
memandang Sahara dan ia cepat-cepat memalingkan muka, ia
menoleh keluar jendela seolah tak mengenal kami. Wajahnya
menunjukkan ekspresi bahwa saat itu ia sedang tidak duduk di situ.
Para penonton dan dewan juri terlihat bingung atas bantahan
yang supercerdas itu, Jangankan menjawab bahkan sebagian tak
mengerti apa yang dipersoalkan. Tapi seseorang memang harus
menyelamatkan situasi ini, maka ketua dewan juri bangkit dan
tempat duduknya. Lintang masih tenang-tenang saja, ia tersenyum
sedikit, santai sekali.
‘Tenima kasih atas bantahan yang hebat ini, apa yang harus saya
katakan, bidang saya adalah pendidikan moral Pancasila ...,“ kata
Si Drs. bersungut-sungut, ia merasa di atas angin. Ekor matanya
seolah mengumumkan kalau ia sudah khatam membaca buku
Principle karya Isaac Newton, bahwa ia juga pelanggan jurnal-jurnal
fisika internasional, bahwa ia kutu laboratonium yang kenyang
pengalaman ekspenimen, bahkan seolah fisikawan Christiaan
Huygens itu uwaknya. Pria ini adalah seorang fresh graduate yang
sombong, ia memperlihatkan karakter manusia sok pintar yang baru
Bicaranya di awang-awang dengan gaya seperti Pak Habibie. Ia
mengutip buku asing di sana sini tak keruan, menggunakan istilahistilah aneh karena ingin mengesankan dirinya luar biasa, Tapi kali
ini, aku jamin dia akan menelan APC, pil pahit segala penyakit
andalan orang kampung Belitong yang amat manjur.
Karena merasa sudah menang dengan kritiknya guru muda itu
meningkatkan sifat buruk dan sombong menjadi tak tahan pada
godaan untuk meremehkan.
“Atau barangkali anak-anak SMP Muhammadiyah ini atau
dewan juri bisa menguraikan pendekatan optik Descartes untuk
menjelaskan fenomena warna?”
Keterlaluan! Seluruh hadirin tentu mengerti bahwa kalimat
bernada menguji itu sesungguhnya tak perlu. Pak Zulfikar hanya
ingin menghina sekaligus melumpuhkan mental kami dan dewan
juri karena ia yakin bahwa kami tak mengerti apa pun mengenai
Descartes. Dengan demikian ia dapat menganulir pertanyaan awal
tadi sekaligus menjatuhkan martabat majelis ini. Yang menyakitkan
adalah ia dengan jelas menekankan kata SMP Muhammediyah
untuk megingatkan semua orang bahwa kami hanyalah sebuah
sekolah kampung yang tak penting.
Aku memang tak mengerti pendekatan optik tapi aku tahu sedikit
sejarah penemuan fenomena warna. Aku tahu bahwa Descartes
bekerja dengan prisma dan lembaran-lembaran kertas untuk
menguji warna, bukan murni dengan manipulasi optik. Newton-Iah
sesungguhnya sang guru besar optik. Pak Zulfikar jelas sok tahu dan
dengan mulut besarnya ia mencoba menggertak semua orang
melalui kesan seolah ia sangat memahami teori warna. Aku geram
dan ingin membantah Drs. congkak ini tapi pengetahuanku terbatas.
Tabiat Pak Zulfikar adalah persoalan kiasik di negeri ini, orangorang pintar sering bicara meracau dengan istilah yang tak
membumi dan teori-teori tingkat tinggi bukan untuk menemukan
sebuah karya ilmiah tapi untuk membodohi orang-orang miskin.
Sementara orang miskin diam terpuruk, tak menemukan kata-kata
Aku menatap Lintang, memohon bantuannya jika nanti aku
angkat bicara melawan kezaliman Drs. itu. Aku sangat perlu
dukungannya. Tapi bagaimana nanti kalauternyata aku yang keliru?
Bagaimana kalau aku diserang balik bertubi-tubi?
Ah, risikonya terlalu tinggi, bisa-bisa aku dipermalukan. ini juga
persoalan kiasik bagi orang yang memiliki pengetahuan setengahsetengah sepertiku. Maka dadaku berkecamuk antara ingin melawan
dan ragu-ragu. Tapi aku sangat marah karena sekolahku dihina dan
aku jengkel karena aku tahu bahwa Drs. itu membawa-bawa nama
Descartes secara keliru dan tidak adil guna keuntungannya sendiri.
Melihatku demikian gusar Lintang tersenyum kecil padaku.
Sebuah senyum damai, Aku tahu, seperti biasa, ia dapat membaca
pikiranku dengan benderang. Ia membalas tatapanku dengan
lembut seakan mengatakan, “Sabar Dik, biar Abang bereskan
persoalan ini ....“ Wajahnya tenang sekali. Aku dan Sahara ciut.
Kami mengerut di ketiak kiri kanan pendekar ilmu pengetahuan
yang sakti mandraguna andalan kami ini.
Mendengar tantangan Pak Zulfikaryang tak bersahabat tadi
bapak ketua dewan juri yang baik menarik napas panjang. Beliau
menoleh ke arah para koleganya, anggota dewan juri. Semuanya
menggeleng-gelengkan kepala. Lalu beliau mencoba menengahi
dengan diplomatis dan sangat merendah.
“Maafkan Bapak Guru Muda, atas nama dewan juri saya
tenpaksa mengatakan bahwa pengetahuan kami agaknya belum
Kata-katanya demikian bersahaja. Kasihan bapak tua itu. Ia
seorang guru senior yang rendah hati dan sangat disegani karena
dedikasinya selama puluhan tahun di dunia pendidikan Belitong.
Beliau tampak malu dan putus asa. Lalu beliau mengalihkan
pandangan ke arah regu F, regu kami, Lintang tersenyum dan
mengangguk kecil padanya. Tanpa diduga ketua dewan juri
mengatakan, “Tapi mungkin anak Muhammadiyah yang cemenlang
Suasana sunyi senyap dalam nuansa yang sangat tidak
mengenakkan, dan semakin tidak enak karena sang Drs. kembali
mengudara dengan komentar sengak tanpa perasaan.
“Saya harapargumentasi mereka bisa setepat jawabannya tadi!”
Semakin keterIaIuan Ia sengaja memprovokasi Lintang dan kali
ini Lintang tenpancing, ia angkat bicara ‘Jika bantahan Bapak
mengenai pertanyaan yang tidak kontekstual dengan jawaban,
mungkin saja bantahan semacam itu bisa diterima. Dewan juri
menanyakan sesuatu yang jawabannya tertera di kertas yang
dibacakan ibu pembaca soal, Saya yakin di sana tertulis cincin
Newton dan kami menjawab cincin Newton, berarti kami berhak
atas angka seratus. Maka kalaupun itu memang tidak kontekstual,
itu hanya berarti dewan juri menanyakan sesuatu yang benar
dengan cara keliru . .!
Pak Zulfikar tak terima.
‘Dengan kata lain pertanyaan nomor itu gugur karena bisa saja
peserta lain menduga arah jawaban yang keliru!” Lintang tak sabar.
“Tidak ada yang keliru! Kecuali Bapak tidak memedulikan
substansi dan ingin menggugurkan nilai kami karena persoalan
Pak Zulfikar tersinggung, ia menjadi marah, dan suasana berubah
“Kalau begitu jelaskan pada saya substansinya! Karena bisa saja
kalian mendapat nilai melalui kemampuan menebak-nebak jawaban
secara untung-untungan tanpa memahami persoalan
Wah, ini sudah kurang ajar. Sahara menyeringai, setelah sekian
lama menghilang ke alam lain kini ia kembali dalam penjelmaan
seekor leopard, alisnya bertemu. Para penonton dan dewan juri
tercengang, terlongong-longong dalam adu argumentasi ilmiah
tingkat tinggi yang memanas. Mereka bahkan tak mampu memberi
satu komentar pun, persoalan ini gelap bagi mereka. Tapi aku
tersenyum senang karena aku tahu kali ini guru muda yang sok tahu
ini akan kena batunya.
Bantahannya yang terakhir itu adalah pelecehan. Lintang
tersengat harga dirinya, wajahnya merah padam, sorot matanya tak
lagi jenaka. Lintang, yang baru sekali ini menginjak Tanjong
Pandan, berdiri dengan gagah berani menghadapi guru PN yang
jebolan perguruan tinggi terkemuka itu, sembilan tahun sangat dekat
dengan Lintang, baru kali ini aku melihatnya benar benar muntab,
maka inilah cara orang jenius mengamuk:
“Substansinya adalah bahwa Newton terangterangan berhasil
membuktikan kesalahan teoriteori warna yang dikemukakan
Descartes dan Aristoteles! Bahkan yang pa-ling mutakhir ketika itu,
Robert Hooke. Perlu dicatat bahwa Robert Hooke mengadopsi teori
cahaya berdasarkan filosofi mekanis Descartes dan mereka semua,
ketiga orang itu, menganggap warna memiliki spektrum yang
terpisah. Melalui optik cekung yang kemudian melahirkan dalil
cincin, Newton membuktikan bahwa warna memiliki spektrum yang
kontinu dan spektrum warna sama sekali tidak dihasilkan oleh sifatsifat kaca, ia semata-mata pro-duk dan sifat-sifat hakiki cahaya!”
Drs. Zulfikar terperangah, penonton tersesat dalam teori fisika
optik, sekadar mengangguk sedikit saja sudah tak sanggup. Dan aku
girang tak alang kepalang, dugaanku terbukti! Rasanya aku ingin
meloncat dan tempat duduk dan berdiri di atas meja mahoni mahal
berusia ratusan tahun itu sambil berteriak kencang kepada seluruh
hadirin: “Kalian tahu, ini Lintang Samudra Basara bin Syahbani
Maulana Basara, orang pintar kawanku sebangku! Rasakan kalian
semua!” Sekarang ekspresi Sahara seperti leopard yang sedang
mencabik-cabik predator pesaing, ia mengaum, alisnya bertemu
seperti sayap elang, dan Lintang masih belum puas.
“Newton mengatakan, kecuali Bapak ingin nyangkal manuskrip
ilmiah yang tak terbantahkan selama 500 tahun hasil karya ilmuwan
yang disebut Michael Hart sebagai manusia paling hebat setelah
Nabi Muhammad, bahwa tebal tipisnya partikel transparan
menentukan warna yang ia pantulkan. Itulah persamaan ketebalan
lapisan udara antara optik sebagai dasar dalil warna cincin. Semua
itu hanya bisa diobservasi melalui optik, bagaimana Bapak bisa
mengatakan perkara-perkara ini tidak saling berhubungan?”
Sang Drs. terkulai lemas, wajahnya pucat pasi. Ia membenamkan
pantatnya yang tepos di bantalan kursi seperti tulang belulangnya
telah dipresto. Ia kehabisan kata-kata pintar, kacamata minusnya
merosot layu di batang hidungnya yang bengkok. Ia paham bahwa
berpolemik secara membabi buta dan berkomentar lebih jauh
tentang sesuatu yang tak terlalu ia kuasai hanya akan
memperlihatkan ketololannya sendiri di mata orang genius seperti
Lintang. Maka ia mengibarkan saputangan putih, Lintang telah
menghantamnya knock out. Ia dipaksa Lintang menelan pu APC
yang pahit tanpa air minum dan pil manjur itu kini tersangkut di
tenggorokannya. Sekali lagi para pendukung kami berjingkrakjingkrak histeris seperti doger monyet. Pak Harfan mengacungkan
dua jempolnya tinggi-tinggi pada Lintang. “Bravo! Bravo!” teriaknya
girang. Bu Mus yang berpakaian paling sederhana dibanding guruguru lain mengangguk-angguk takzim. Ia terlihat sangat bangga
pada murid-murid miskinnya, matanya berca-kaca dan dengan haru
beliau berucap lirih, “Subhanallah s ubhanallah ....‘
Selanjutnya, mekanisme lomba menjadi monoton, yaitu ibu
cantik membacakan pertanyaan yang tak selesai, suara kriiiiiing,
teriakan jawaban Lintang, dan pekikan seratussss dan Benyamin S.
Aku terpaku memandang Lintang, betapa aku menyayangi dan
kagum setengah mati pa-da sahabatku in Dialah idolaku. Pikiranku
melayang ke suatu hari bertahun-tahun yang lalu ketika sang bunga
pilea ini membawa pensil dan buku yang keliru, ketika ia beringsutingsut naik sepeda besar 80 kilometer setiap hari untuk sekolah,
ketika suatu hari ia menempuh jarak sejauh itu hanya untuk
menyanyikan lagu Padamu Negeri. Dan ha-ri ini ia meraja di sini di
majelis kecerdasan yang amat terhormat ini.
Seperti Mahar, Lintang berhasil mengharumkan
nama per-guruan Muhammadiyah. Kami adalah sedang tidak
duduk di situ. sekolah kampung pertama yang menjuarai
perlombaan ini, dan dengan sebuah kemenangan mutlak.
Air yang menggenang seperti kaca di mata Bu Mus dan laki-laki
cemara angin itu kini menjadi butirbutiran yang berlinang, air mata
kemenangan yang mengobati harapan, pengorbanan, dan jerih
Hari ini aku belajar bahwa setiap orang, bagaimana pun terbatas
keadaannya, berhak memiliki cita-cita, dan keinginan yang kuat
untuk mencapai Cita-cita itu mampu menimbulkan prestasi-prestasi
lain sebelum cita-cita sesungguhnya tercapai. Keinginan kuat itu juga
memunculkan kemampuankemampuan besar yang tersembunyi dan
keajaibankeajaiban di luar perkiraan. Siapa pun tak pernah
membayangkan sekolah kampung Muhammadiyah yang melarat
dapat mengalahkan raksasa-raksasa di meja mahoni itu, tapi
keinginan yang kuat, yang kami pelajari dan petuah Pak Harfan
sembilan tahun yang lalu di hari pertama kami masuk SD, agaknya
terbukti. Keinginan kuat itu telah mem-belokkan perkiraan siapa pun
sebab kami tampil sebagai juara pertama tanpa banding. Maka
barangkali keinginan kuat tak kalah penting dibanding cita-cita itu
Ketika Lintang mengangkat tinggi-tinggi trofi besar kemenangan,
Harun bersuit-suit panjang seperti koboi memanggil pulang sapisapinya, dan di sana, di sebuah tempat duduk yang besar, ibu
Frischa berkipas-kipas kegerahan, wajahnya menunjukkan sebuah
ekspresi seolah saat itu dia sedang tidak duduk disitu.
MEREKA menyebut diri mereka Societeit de Limpai,
Limpai adalah binatang legendaris jadi-jadian yang menakutkan
dalam mitologi Belitong. Sebuah karakter fabel yang menarik karena
beberapa cerita rakyat memberikan definisi yang berbeda bagi
Orang orang pesisir menganggapnya sebagai semacam peri yang
hidup di gunung-gunung. Di Belitong bagian tengah ia dipercaya
berbentuk binatang besar berwarna putih seperti gajah atau
mammoth, Sebaliknya di utara ia adalah angin yang jika marah
akan menumbangkan pohon-pohon dan merebahkan batangbatang padi.
Ada pula beberapa wilayah yang mengartikannya sebagai bogey
yakni hantu hitam dan besar. Orang-orang muda semakin salah
mengerti. Bagi mereka Limpai adalah urban legend maka ia bisa
saja incubus yaitu setan yang menyaru sebagai pria tampan atau
death omen yang dapat menyamar menjadi apa saja. Disebut salah
mengerti karena sebenarnya akar cerita Limpai terkait dengan
ajaran kuno turun-temurun di Belitong agar masyarakat tidak
semena-mena memperlakukan hutan dan sumber- sumber air.
Ajaran itu mengandung tenaga sugestif ketakutan terhadap kualat
karena hutan dan sumber-sumber air dijaga oleh hantu Limpai.
Namun, dewasa ini sebagian besar orang melihat wujud Limpai tak
lebih dan kabut yang melayanglayang di dalam kepala yang bodoh,
tipis iman, senang bergunjing, dan kurang kerjaan, itulah Limpai.
Societeit de Limpai merupakan organisasi rahasia bentukan
orang-orang aneh dan aku adalah sekretaris organisasi yang unik
ini. Societeit beroperasi diam-diam. Ia semacam organisasi tanpa
bentuk. Tak diketahui kapan, di mana mereka biasa berkumpul, dan
apa yang mereka bicarakan. Jika secara tak sengaja ada yang
memergoki mereka, mereka segera mengalihkan pembicaraan,
bahkan menganggap saling tak kenal satu sama lain. Tindak
tanduknya demikian disamarkan bukan karena mereka mengusung
sebuah misi yang amat berbahaya, anarkis, komunis, atau melawan
hukum, tapi lebih karena mereka menghindarkan diri dan ejekan
khalayak karena kekonyolannya. Sebab Societeit adalah kumpulan
manusia tak berguna yang memiliki kecintaan berlebihan pada
dunia klenik dan mistik. Para peminat klenik dalam masyarakat kami
selalu jadi bahan tertawaan. Mereka tidak populer karena barangkali
tidak seperti pada budaya lain di tanah air, orang-orang Melayu
khususnya di Belitong memang tidak terlalu meminati dunia
perdukunan. Maka Societeit de Limpai pada dasarnya tidak
mendapat tempat di kampung kami.
Namun bagi para anggota Societeit, organisasi mereka adalah
organisasi yang sangat serius. Anggotanya hanya sembilan orang
dan untuk menjadi anggota syaratnya berat bukan main. Anggota
paling senior saat ini berusia 57 tahun, pensiunan syah bandar, dan
yang termuda adalah dua orang remaja berusia 16 tahun. Enam
orang lainnya adalah seorang petugas teller di BRI cabang
pembantu, seorang Tionghoa tukang sepuh emas, seorang
pengangguran, seorang pemain organ tunggal, seorang mahasiswa
teknik elektro drop out yang membuka sebuah bengkel sepeda, dan
Mujis, si tukang semprot nyamuk. Anehnya ketua kelompok ini
justru yang termuda itu. Ialah bapak pendiri organisasi yang disegani
anggotanya karena pengetahuannya yang luas tentang dunma
gelap, perahenan, serta koleksinya yang lengkap tentang cerita
kabar angin atau cerita konon kabarnya. Ia tak lain tak bukan adalah
Mahar yang fenomenal. Sedangkan anak remaja satunya tentu saja
Flo. Adapun aku hanya seorang sekretaris dan pembantu umum,
maka tidak dihitung sebagai anggota kehormatan.
Aktivitas Societeit sangat padat. Mereka melakukan ekspedisi ke
daerah-daerah angker, menyelidiki kejadian-kejadian mistik,
berdiskusi dengan para spiritual di seantero Belitong, dan
memetakan mitologi lokal, baik Folklor maupun urban legend dalam
suatu mitografi yang menarik. Dalam banyak sisi dapat dianggap
bahwa para anggota Societeit sesungguhnya adalah orang-orang
pemberani yang sangat penasaran ingin membongkar rahasia
fenomena ganjil dan memiliki skeptisisme yang tak mau
dikompromikan. Jika belum melihat dan merasakan sendiri, mereka
tak ‘kan percaya. Societeit dengan brilian telah mengadopsi sosok
Limpai yang mistis sebagai metafora sehingga mereka bisa disebut
orang-orang antusias, ilmuwan, orang gila, atau musyrikin
tergantung sudut pandang setiap orang menilainya. Sama seperti
perbedaan perspektif setiap orang dalam memaknai Limpai.
Dalam pembuktiannya terhadap fenomena paranormal mereka
sering menggunakan metode ilmiah sehingga mereka dapat juga
disebut sebagai ilmuwan tentu saja ilmuwan dalam definisi mereka
sendiri. Ke arah inilah Mahar telah berkembang, bukan ke arah
pencapaian-pencapaian seni yang seharusnya menjadi rencana A
baginya, dan dengan kehadiran Flo, kesia-siaan bakat itu semakin
Dalam menjalankan tugas sintingnya mereka melengkapi diri
dengan perangkat elektronik, misalnya beragam alat perekam audio
video, perangkat perangkat sensor, dan berbagai jenis teropong. Di
bawah supervisi mahasiswa elektro yang drop out itu mereka
merakit sendiri detektor medan elektro magnet yang dapat
membaca gelombang area observasi dalam kisaran 2 sampai 7
miligauss karena mereka yakin aktivitas kaum lelembut berada
dalam kisaran tersebut. Mereka juga menciptakan sensor frekuensi
yang dapat mengenali frekuensi sangat rendah sampai di bawah 60
hertz karena menurut akal sesat mereka dalam frekuensi itulah kaum
setan alas sering berbicara. Selain semua elektronik yang canggih itu
pada setiap ekspedisi mereka juga membekali diri dengan
kemenyan, gaharu, jimat telur biawak, buntat, dan penangkal bala,
serta seekor ayam kate kampung karena seekor ayam dianggap
paling cepat tanggap kalau iblis mendekat.
Mereka secara rutin berkelana. Suatu ketika mereka memasuki
Hutan Genting Apit, tempat paling angker di Belitong. Hutan ini
menyimpan ribuan cerita seram dan yang paling menonjol adalah
fenomena ectoplasmic mist yakni kabut yang bercengkerama sendiri
dan secara alamiah atau mungkin setaniah membentuk wujudwujud tertentu seperti manusia, hewan, atau raksasa. Tak jarang
bentuk-bentuk ini tertangkap kamera film biasa. Para pengendara
yang melalui kawasan ini sangat disarankan untuk tidak melirik kaca
spion karena hantu-hantu penghuni lembah ini biasa menumpang
sebentar di jok belakang.
Di lembah ini mereka memasang alat-alat elektronik tadi di
cabang-cabang pohon untuk mendeteksi gerakan, suara, dan
bentuk-bentuk tak biasa lalu menganalisisnya. Kemudian Genting
Apit menjadi semacam laboratorium alam bagi Societeit. Tempat
yang selalu dihindari orang mereka kunjungi seumpama orang
piknik ke pantai saja.
Tak ayal Societeit juga mendatangi kuburan kuburan keramat,
bermalam di lokasi-lokasi yang terkenal keseramannya,
mengumpulkan cerita-cerita takhayul, dan mencari benda-benda
magis pusaka warisan antah berantah. Mereka diam di tempat yang
ditinggalkan orang karena takut, mereka justru menunggu makhlukmakhluk halus yang membuat orang lain terbirit-birit. Semakin lama
Societeit semakin bergairah dengan aktivitasnya meskipun di sisi lain
masyarakat juga semakin mencemooh mereka. Mereka dianggap
orang-orang aneh yang menghambur-hamburkan waktu untuk halhal tak bermanfaat.
Tak semua kegiatan Societeit tak berguna. Adakalanya
pendekatan ilmiah mereka malah mampu mematahkan mitos.
Misalnya dalam kasus api anggun di atas sebatang pohon jemang
besar. Telah puluhan tahun berlangsung para pengendara sering
ketakutan ketika melintasi sebuah tikungan menuju Manggar karena
pada puncak sebuah pohon jemang besar persis di seberang
tikungan itu sering tampak api berkobar-kobar, Jemang Hantu,
demikian juluk-an tempat angker itu. Kejadian itu selalu tengah
malam setelah turun hujan dan sudah menjadi cerita seram yang
Sulit untuk mengatakan bahwa para pengendara telah salah lihat
apalagi berbohong karena di antara mereka yang telah menyaksikan
pemandangan horor itu adalah Zaharudin bin Abu Bakar, ustad
muda kampung kami yang pantang berdusta.
Maka Societeit turun tangan melakukan semacam riset, Setelah
sepanjang sore turun hujan malamnya mereka mengendap-endap di
sekitar jemang angker tadi untuk melakukan pengamatan. Tak lama
setelah lewat tengah malam mereka memang menyaksikan api
berkobar-kobar di puncak pohon itu namun pada saat itu pula
mengerti jawabannya. Mereka berhasil menghancurkan mitos
angker pohon jemang yang telah puluhan tahun menciutkan nyali
Letupan api itu sesungguhnya berasal dan kabel listrik tegangan
tinggi yang korslet karena air hujan. Tiang kabel itu berjarak kira-kira
120 meter dan puncak pohon dan ketinggian keduanya sepadan
sehingga jika dilihat dan jauh sebelum memasuki tikungan seolaholah letupan korslet yang menimbulkan bunga-bunga api itu
berkobar-kobar dan puncak pohon jemang.
Jika tiba dan pengembaraan mistiknya, Mahar dan Flo selalu
membawa cerita-cerita seru ke sekolah. Misalnya suatu hari mereka
berkisah bahwa di tengah sebuah hutan yang gelap mereka
menemukan kuburan dengan ukuran tambak hampir tiga kali enam
meter dan jarak antara kedua misannya hampir lima meter, Karena
orang Melayu selalu memasang misan di sekitar kepala dan ujung
kaki maka dapat diperkirakan ukuran jasad yang terkubur di
bawahnya adalah ukuran manusia yang luar biasa besar.
Flo memulai kisah bahwa ia menemukan piring-piring dan tanah
hat di sekitar kuburan dengan ukuran seperti dulang dan kondisinya
masih utuh. Ia juga menemukan berbagai jenis kendi yang tidak
rusak dan terkubur dangkal. Flo dengan dingin saja memberi tahu
kami bahwa ia tidur paling dekat dengan misan-misan itu dan tak
sedikit pun merasa takut. Ia menceritakan sebuah pengalaman yang
menderikan bulu kuduk seolah sebuah cerita lucu tentang baru saja
meminumkan susu pada anakanak kucing persia di rumahnya. Ingin
kukatakan padanya bahwa gerabah-gerabah arkeologi itu memang
tidak rusak tapi yang rusak adalah otaknya.
Sebaliknya versi Mahar jauh lebih menarik. Ia memberi
penjelasan pengetahuan tentang hubungan beberapa kuburan
purba bertambak super besar di Behitong dengan teori-teori para
arkeolog terkenal seperti Barry Chamis atau Harold T. Wilkins yang
percaya bahwa pada suatu masa yang lampau manusia-manusia
raksasa pernah menjelajahi bumi. Ia membuat analogi yang
menarik, logis, dan lengkap dengan analisis waktu tentang kuburan
itu dengan hal ikhwal tengkorak manusia raksasa Pasnuta yang
ditemukan di Omaha atau kerangka tak utuh manusia yang digali
dan situs-situs kuburan purba di Dataran Tinggi Golan. Jika
direkonstruksi kerangka-kerangka itu membentuk manusia setinggi
Maka cerita Mahar selalu mengandung ilmu. Dia memang
seorang eksentrik yang berdiri di area abu-abu antara imajinasi dan
kenyataan, tapi tak diragukan bahwa ia cerdas, pemikirannya
terstruktur dengan balk, dan pengetahuan dunia gaibnya amat luas.
Mahar dan Flo duduk santai pada cabang rendah tilicium seperti
para paderi tukang cerita dan sebuah kuil Sikh dan kami, para
Laskar Pelangi, bersimpuh membentuk lingkaran, tercengang
dengan mata berbinar-binar mendengar keajaiban-keajaiban
petilasan mereka dalam dunia magis. Adapun orang lain dan
kejauhan hanya akan melihat ikatan persahabatan Laskar Pelangi
Pada kesempatan lain mereka bercerita tentang petualangan
mencari sebuah gua purba tersembunyi yang belum pernah dijamah
siapa pun. Gua itu konon berada di tengah rimba dan eksistensinya
hanya berdasarkan mitos samar turun-temurun dan sebuah
komunitas kecil terasing yang hidup seperti suku primitif di barat
daya Belitong. Mereka menyebutnya qua qambar. Tak tahu apa
maksud nama itu dan bagi mereka gua itu adalah gua gaib yang tak
‘kan pernah ditemukan.
Mendengar kisah itu Societeit berdiri tehinganya dan merasa
Ketika Societeit mendatangi komunitas yang hanya terdiri dan
sebelas kepala keluarga dan mencari informasi tentang gua gambar,
pawang suku di sana menertawakan mereka.
“Ananda tak ‘kan menemukan gua itu, karena gua itu adalah gua
siluman. Gua itu hanya akan menampakkan diri di malam hari yang
paling gelap, itu pun hanya bisa dilihat oleh orang-orang gunung
terpilih yang tak kita kenal.”
Orang-orang gunung adalah cerita konon yang lain. Kami
menyebutnya orang Tungkup. Mereka tinggal di gunung dan juga
tak pernah dilihat orang kampung.
“Selama tiga hari tiga malam kami berjalan kaki menembus
rimba belantara liar untuk mencari gua itu. Pohon-pohon di sana
sebesar pelukan empat orang dewasa dengan kanopi menjulang ke
langit,” demikian cerita Mahar.
“Saking lebatnya hutan itu sinar matahari tak mampu menembus
permukaan tanah. Pohon-pohon berlumut, gelap dan lembap,
penuh lintah, kelelawar, kadal, macan akar, luak, dan ular-ular
besar,” sambung Flo meyakinkan.
“Kami hampir putus asa, tapi beruntung, pengetahuan Mujis
yang baik tentang kontur hutan akhirnya membimbing kami
menuruni sebuah lembah curam di antara dua gunung dan di dasar
lembah itu, pas menjelang magrib, kami menemukan sebuah g u a!”
Kami ternganga-nganga, merapatkan lingkaran duduk, mendekati
dua petualang sejati yang sangat hebat ini, tak sabar mendengar
“Kami belum yakin apakah itu gua gambar seperti dimaksud
komunitas kuno itu. Wilayah itu sangat sulit ditempuh. Mulut gua
sangat sempit dan ditutupi akar-akar mahoni raksasa, seperti jan-jan
yang sengaja menyamarkan,” demikian kata Flo ekspresif. Ah, Flo
yang cantik, ramping, atletis, dan berkulit putih seindah anggrek
bulan, dikombinasikan dengan cerita petualangan mendebarkan
penuh getaran marabahaya di tengah hutan rimba dan sebuah gua
misteri, sungguh sebuah perpaduan yang mem-buat dirinya tampak
semakin indah, mentalitas dan prinsip-prinsip hidup Flo yang tak
biasa, telah menjadikan dirinya seorang wanita yang sangat
“Ketika kami mendekat, kami terkejut karena beberapa ekor
biawak dan musang yang garang berloncatan keluar dan gua.”
Mahar dan Flo sambung menyambung.
“Setelah menyiangi akar-akar itu akhirnya kami berhasil masuk
“Di dalamnya amat lebar dan memanjang, menjulur ke bawah
seperti sumur yang landai, dingin, gelap, dan ada suara riak-riak
“Ternyata di tengah gua itu ada aliran air yang deras!”
Cerita semakin seru, seperti cerita petualangan Indian Winnetou,
kami duduk terpaku menyimak.
“Kami mencoba menelusuri gua itu, bau amis kotoran kelelawar
menyengat hidung dan membuat perut mual. Sarang laba-laba
hitam besar menutupi celah-celah gua seperti tirai putih berjuntaijuntai. Laba-laba itu demikian besar sehingga cecak dan kelelawar
tersangkut di jaringnya dan mengering karena darahnya telah diisap
serangga maut itu. Lintah merayapi dinding gua, mengincar darah
anak-anak kelelawar.”
“Rantai makanan di dalam gua adalah singkat,
tidak se-perti subekosistem lain di luar!” Flo menambahi.
“Kami terus merambah masuk sampai beratusratus meter tapi tak
menemukan tanda-tanda gua itu akan berakhir.”
“Gua itu seperti tak berujung ...,“ Mahar bercerita dengan penuh
penghayatan sehingga kami merasa seperti berada di dalam gua
yang sangat mencekam itu. Kami merasakan udara dingin,
kegelapan, ketakutan, dan seakan mendengar pekik keleawar dan
percikan air di dalamnya.
“Tapi suara aliran air tadi semakin lama semakin bergemuruh,
kami perkirakan di depan kami ada jurang di bawah tanah yang
amat berbahaya, maka kami memutus-kan untuk beristirahat.”
Wajah Mahar serius, nyali kami ciut ketika menatap-nya, dan dia
melanjutkan cerita seperti orang berbisik.
“Kami agak merapat ke dinding gua untuk menyiapkan peralatan
tidur, ketika aku menaikkan lampu aki untuk mendapat bentangan
cahaya yang lebih besar, aku terkejut melihat bayangan goresangoresan berpola yang samar di dinding licin itu,..,”
Menegangkan sekali. Kami semakin merapat, Sahara menggigit
jarinya, A Kiong berkali-kali menarik napas panjang, Samson tak
berkedip, Lintang menyimak penuh perhatian, Syahdan ketakutan,
Trapani memeluk Harun.
“Kami semua saling berpandangan lalu serentak menaikkan
lampu, dan kami tersentak melihat
“Ternyata kami dikelilingi oleh ribuan goresan simbol-simbol
purba atau huruf-huruf hieroglif primitif yang terhampar di dinding
gua, menjalarjalar misterius sampai ke stalagmit dan stalagtit!”
Rasanya aku mau meloncat dan tempat duduk, dan perut
bawahku ngilu menahan kencing karena perasaan tegang yang
meluap-luap. Kami terpana, bahkan tak mampu mengucapkan
sepatah kata pun. Dadaku berdegup kencang.
“Kemudian di langit - langit gua terdapat beberapa lukisan
paleolitikum yang menggambarkan orang-orang yang tak
berpakaian sedang memakan mentah-mentah seekor burung besar
“Sebuah gua antediluvium dengan seni lukis gua yang
memukau!” sambung Flo.
Sekarang kami mengerti mengapa komunitas terasing tadi
menyebut gua itu gua gambar.
“Ada lukisan kucing pohon, tombak kayu, ular tanah, bulan, dan
“Kami memutuskan untuk tidur di bagian itu ...,“ kata Mahar
pelan. Raut wajahnya memperlihatkan bahwa ia masih memiliki
sebuah kejutan lain yang tak kalah misteriusnya. Maka dada kami
“Aku tak bisa tidur sepanjang malam. Ketika semua anggota
Societeit terlelap karena kelelahan aku melamun dan memerhatikan
dengan saksama simbol-simbol yang berserakan tak teratur meme
nuhi dinding dan langit-langit gua.”
Kami terpaku, pasti akan terjadi sesuatu yang ajaib.
“Lalu aku merasa simbol-simbol itu seperti diam-diam terangkai
sendiri dan membisikkan sesuatu ke telingaku. ..“
Oh, jantungku berdebar-debar.
“Tapi semuanya tak jelas, hingga aku merasa Ielah dan
Kami menunggu kejutan besar itu.
“Namun tak lama kemudian, antara tidur dan terjaga, aku
mendengar suara gemerisik seperti jutaan semut mendekatiku, dan
agaknya ribuan simbol-simbol samar itu menjadi hidup lalu
memberiku semacam mimpi, semacam wangsit, semacam gambaran
masa depan ... semua ini tak pernah kuceritakan pada siapa pun!”
Kami semakin merapat, sangat penasaran.
“Apakah wangsit itu saudaraku Mahar??!!’ A Kiong berteriak tak
sabar menunggu terkuaknya sebuah misteri besar. Ia sedikit merayu.
Suaranya tercekat dan bergetar. Bahkan Flo tampak tegang.
Rupanya ia sendiri belum pernah mendengar wangsit ini.
Mahar menarik napas panjang sekali, agaknya ia merasa berat
membocorkan kisah ini. “Begini ...,“ katanya serius,
“Mimpi itu memperlihatkan bahwa sebuah kekuatan besar di
Pulau Belitong akan segera runtuh, Orang-orang Melayu Belitong
akan jatuh melarat dan kembali berperikehidupan seperti zaman
purba dulu, yaitu bernafkah secara bersahaja dan hasilhasil laut dan
Sebaliknya, dunia luar akan maju demikian pesat. Penggunaan
kompu-ter akan merasuki seluruh segi kehidupan. Penggunaan
komputer yang merajalela itu menyebabkan praktikpraktik akuntansi
tak lama lagi akan punah....“
SEPERTI layaknya sesuatu yang sederhana, maka tragedi atau
drama semacam opera sabun tak pernah terjadi di sekolah
Muhammadiyah. Sekolah itu demikian teduh dalam kiprahnya,
tenang dalam kesahajaannya, bermartabat dalam kesederhanaannya, dan tenteram dalam kemiskinannya.
Namun kali ini berbeda, mendung tebal bergelayut rendah siap
menumpahkan murka di atap sekolah itu karena dua warganya
semakin lama semakin tidak waras sehingga kelangsungan
pendidikan keduanya terancam.
Lebih dan itu tingkah laku keduanya merongrong reputasi
sekolah Muhammadiyah yang ketat menjaga nilai-nilai moral Islami.
Dan tak tanggung-tanggung, rongrongan itu berupa pelanggaran
paling berat dalam konteks moral itu sendiri yakni: kemusyrikan
Kedua makhluk dramatis itu tentu saja sudah sangat dikenal: Mahar
Seiring dengan euforia organisasi rahasia Societeit yang mereka
inisiasi, nilai-nilai ulangan Mahar dan Flo persis penerjun yang
terjun dengan parasut cadangan yang tak mengembang terjun
bebas. Rapor terakhir mereka memperlihatkan deretan angka
merah seperti punggung dikerok. Umumnya angka-angka biru
hanya untuk mata pelajaran pembinaan kecakapan khusus, yaitu
kejuruan agraria, kejuruan teknik, ketatalaksanaan, dan bahasa
Indonesia, itu pun hanya untuk bidang bercakap-cakap dan
mengarang. Nilai Flo adalah yang paling parah. Matematika, bahasa
Inggris, dan IPA hanya mendapat angka 2. Meskipun bapaknya
telah menyumbang papan tulis baru, lonceng, jam dinding, dan
pompa air untuk Muhammadiyah namun Bu Mus tak peduli, beliau
tak sedikit pun sungkan menganugerahkan angka-angka bebek
berenang itu di rapor Flo karena memang itulah nilai anak Gedong
Mahar dan Flo berada dalam situasi kritis dan sangat mungkin
dilungsurkan ke kelas bawah karena tidak bisa mengikuti Ebtanas.
Surat peringatan telah mereka terima tiga kali.
Menanggapi masalah gawat ini diam-diam Bapak Flo melakukan
konspirasi dengan Bu Frischa untuk menghasut Flo agar kembali ke
sekolah PN. Lagi pula di sekolah PN Bu Frischa telah menjamin nilai
yang tak memalukan di rapor Flo. Untuk keperluan penghasutan itu
Bu Frischa mengutus seorang guru pria muda yang flamboyan di sekolah PN agar dapat mendekati Flo,
Sore itu kami sekelas baru saja pulang menonton pertandingan
sepak bola dan melewati pasar. Bu Frischa dan guru flamboyan tadi
sedang berbelanja. Flo yang mengenakan celana dan jaket jin belel
mendekati Bu Frischa seperti gaya berjalan koboi yang akan duel
“Nama saya Flo, Floriana,” kata Flo sambil berusaha menyalami
Bu Frischa. Pria flamboyan itu mengangguk santun dan
melemparkan senyum termanisnya untuk Flo.
“Tolong bilang pada pria tengik ini, saya tak ‘kan pernah
meninggalkan Bu Muslimah dan sekolah Muhammadiyah ....“
Flo berlalu begitu saja, Bu Frischa dan sang pria flamboyan
terpana, dan ide untuk menghasutnya tak pernah terdengar lagi.
Nilai-nilai rapor Mahar dan Flo hancur karena agaknya mereka
sulit berkonsentrasi sebab terikat pada komitmen-komitmen kegiatan
organisasi, dan lebih dan itu, karena mereka semakin tergila-gila
dengan mistik. Hari demi hari pendidikan mereka semakin
memprihatinkan. Tapi bukan Mahar dan Flo namanya kalautidak
kreatif. Mereka sadar bahwa mereka menghadapi tradeoff, dua sisi
yang harus saling menyisihkan, memilih sekolah atau memilih
kegiatan organisasi paranormal. Sekolah sangat penting namun
godaan untuk berkelana menyibak misteri gaib sungguh tak
tertahankan. Mereka tidak ingin meninggalkan keduanya.
Lalu tak tahu siapa yang memulai tiba-tiba mereka muncul
dengan satu gagasan yang paling absurd. Karena tak ingin
kehilangan sekolah dan tak ingin meninggalkan hobi klenik maka
mereka berusaha menggabungkan keduanya. Mahar dan Flo akan
mencari jalan keluar mengatasi kemerosotan nilai sekolah melalui
cara yang mereka paling mereka kuasai, yaitu melalui jalan pintas
dunia gaib perdukunan. Sebuah cara tidak masuk akal yang unik,
lucu, dan mengandung mara bahaya.
Mahar dan Flo sangat yakin bahwa kekuatan supranatural dapat
memberi mereka solusi gaib atas nilai-nilai yang anjlok di sekolah.
Dan mereka tahu seorang sakti mandraguna yang dapat membantu
mereka dan kesaktiannya telah mereka buktikan sendiri melalui
Orang sakti ini secara ajaib telah menunjukkan jalan untuk
menemukan Flo ketika ia raib ditelan hutan Gunung Selumar tempo
hari. Orang supersakti itu tentu saja Tuk Bayan Tula. Menurut
anggapan mereka masalah sekolah ini hanyalah masalah kecil
seujung kuku yang tak ada artinya bagi raja dukun itu. Mereka
percaya manusia setengah peri itu bisa dengan mudah membalikkan
angka enam menjadi sembilan, empat menjadi delapan, dan merah
Setelah menemukan rencana solusi yang sangat andal itu Mahar
dan Flo tertawa girang sekali sampai meloncat-loncat. Flo
menunjukkan kekagumannya pada kneativitas Mahar dalam
memecahkan masalah mereka. Mendunq yang menghiasi wajah
mereka setiap kali dimarahi Bu Mus kini sirna sudah. Di dalam kelas
mereka tampak sumringah walaupun tidak sedikit pun belajar.
Seluruh anggota Societeit menyambut antusias ide ketuanya
untuk mengunjungi Tuk Bayan Tula. Para anggota ini sebenarnya
telah lama mengidamkan pertemuan dengan Tuk, idola mereka itu,
namun niat itu terpendam karena mereka takut
mengungkapkannya, bahkan membayangkannya saja mereka tak
berani. Apalagi tersiar kabar bahwa Tuk tak menerima semua orang.
Hanya nasib yang menentukan apakah Tuk berkenan atau tidak.
Dan tragisnya, jika Tuk tak berkenan biasanya yang
mengunjunginya tak pernah kembali pulang. Ketika Mahan
beninisiatif ke sana para anggota menyambut usulan yang memang
telah mereka tunggu-tunggu. Meneka siap menerima risiko asal
dapat melihat wajah Tuk walau hanya sekali saja.
Kunjungan ke Pulau Lanun untuk menjumpai Tuk merupakan
ekspedisi paling penting dan puncak seluruh aktivitas paranormal
Societeit. Mereka mempersiapkan diri dengan teliti dan
mengerahkan seluruh sumber daya karena perjalanan ke Pulau
Lanun tak mudah dan biayanya sangat mahal. Mereka harus
menyewa perahu dengan kemampuan paling tidak 40 PK, jika tidak
maka akan memakan waktu sangat lama dan tak ‘kan kuat melawan
ombak yang terkenal besar di sana.
Kemudian mereka harus menyewa seorang nakhoda yang
berpengalaman dan suku orangorang berkerudung. Karena ia
berpengalaman dan tak mau mati konyol sebab ia tahu reputasi Tuk
maka harga jasa nakhoda ini juga sangat mahal.
Akibatnya Mahar rela menggadaikan sepeda
warisan kakeknya, Flo menjual kalung, cincin, gelang, dan
merelakan tabungan uang saku selama dua bulan yang ada dalam
tas rajutannya. Mujis melego hartanya yang paling berharga, yaitu
sebuah radio transistor dua band merk Philip, si peng-angguran
menggaruk-garuk sampah untuk tambahan ongkos, sang mahasiswa
drop out meminjam uang pada bapaknya, dan si pemain organ
tunggal menggadaikan elec-tone Yamaha PSR sumber nafkahnya.
Adapun orang Tionghoa yang menjadi tukang sepuh emas
memecahkan celengan ayam jago disaksikan tangisan anakanaknya, si petugas teller BRI kerja lembur sampai tengah malam,
sang pensiunan syah bandar menggadaikan lemari kaca yang
digotong empat orang dan menimbulkan keributan besar dengan
istrinya, sementara aku sendiri merelakan koleksi uang kunoku dibeli
Kami berdebar-debar menunggu hari H dan ketika uang
patungan digelar di atas meja gaple, terkumpul uang sebanyak Rp
1,5 juta! Luar biasa.
Uang yang sebagian besar logam itu bergemerincingan
bertumpuk-tumpuk. Aku gemetar karena seumur hidupku tak
pernah melihat uang sebanyak itu, apalagi karena sebagai sekretaris
Societeit aku harus menyimpannya. Aku genggam uang itu dan
terkesiap pada perasaan menjadi orang kaya. Ternyata jika kita
telah menjadi orang miskin sejak dalam kandungan, perasaan itu
Kami bersorak karena inilah dana terbesar
yang berhasil kami kumpulkan. Aku menyimpan uang itu di
dalam saku dan terus-menerus memegangnya. Tiba-tiba semua
orang tampak seperti pencuri. Kadang-kadang uang memang punya
pengaruh yang jahat. Setelah mendapatkan perahu dan
bernegosiasi alot dengan nakhoda akhirnya pas tengah hari kami
Pada awalnya perjalanan cukup lancar, ikan lumba-lumba
berkejaran dengan haluan perahu, cuaca cerah, angin bertiup sepoisepoi, dan semua penumpang bersukacita. Namun, menjelang sore
angin bertiup sangat kencang. Perahu mulai terbanting-banting tak
tentu arah, meliuk-liuk mengikuti ombak yang tiba-tiba naik turun
dengan kekuatan luar biasa. Dan ombak itu semakin lama semakin
tinggi. Dalam waktu singkat keadaan tenang berubah menjadi horor.
Semakin ke tengah laut perahu semakin tak terkendali. Sama sekali
tak diduga sebelumnya ombak mendadak marah dan langit mulai
mendung. Badai besar akan menghantam kami. Semua penumpang
pucat pasi. Terlambat untuk kembali pulang, lagi pula perahu sudah
Kadang-kadang sebuah gelombang yang dahsyat menghantam
lambung perahu hingga terdengar suara seperti papan patah. Aku
menyangka perahu kami pecah dan kami akan karam dan
berserakan di laut lepas i. Gelombang itu mengangkat perahu
setinggi empat meter kemudian menghempaskannya seolah tanpa
beban. Kami terhunjam bersama ombak besar yang menimbulkan
lautan buih putih meluap-luap mengerikan. Ombak sudah demikian
ganas, sedangkan badai yang sesungguhnya belum tiba.
Aku melihat wajah nakhoda yang sudah berpengalaman itu dan
jelas sekali ia cemas, membuat kami menjadi semakin gamang.
Nakhoda menunjuk jauh ke arah depan, di sana tampak sebuah
pemandangan yang membuat kami merinding hebat, yaitu
gumpalan awan gelap bergerak pasti menuju ke arah kami dengan
kilatan-kilatan halilintar sam-bung menyambung di dalamnya. Badai
besar akan segera datang menggulung kami.
Nakhoda mencoba membalikkan arah perahu tapi mesin 40 PK
itu tak berdaya dan jika menelusuri gelombang yang demikian tinggi
nakhoda khawatir perahu akan tertelungkup. Maka tak ada pilihan
baginya kecuali menyonsong awan yang gelap kelam itu. Kami tak
berdaya seperti diombangambingkan oleh sebuah tangan raksasa
dan tangan itu justru mengumpankan kami kepada badai. Dalam
waktu singkat badai sudah tiba di atas kami dan angin puting
beliung memboyakkan perahu tanpa ampun.
Hujan sangat lebat dan suasana menjadi gelap. Sambaransambaran kilat yang sangat dekat dengan perahu menimbulkan
pemandangan yang menciutkan nyali.
Ketika pusaran angin menusuk permukaan laut, kira-kira dua
puluh meter di samping kami, seluruh tubuhku gemetar melihat
semburan air besar tumpah di atas perahu. Perahu berputar-putar di
tempat seperti gasing. Kami terpeleset dan telentang di sepanjang
geladak, berusaha saling memegangi agar tak tumpah dan perahu.
Nakhoda bertindak cepat menurunkan layar yang koyak dihantam
angin, menutup palka, menjauhkan benda-benda tajam, dan
mematikan mesin. Lalu ia berteriak kencang memerintahkan kami
agar mengikat tubuh masing-masing ke tiang layar. Kami melilitlilitkan tali beberapa kali seputar lingkar pinggang dan
menyimpulkan ujungnya dengan simpul mati kemudian
mengikatkan diri dengan cara yang sama ke tiang layar. Usaha ini
dilakukan agar kami tak terpelanting ke laut.
Kami segera sadar bahwa situasi telah menjadi gawat, nyawa
kami berada di ujung tanduk. Begitu cepat alam berubah dan
pelayaran yang damai beberapa waktu lalu hingga menjadi usaha
mempertahankan hidup yang mencekam saat in Kami dibukakan
Allah sebuah lembar kitab yang nyata bahwa kuasaNya demikian
besar tak terbatas. Kami berkumpul membentuk iingkaran kecil
mengelilingi tiang layar. Tangan kami bertumpuk-tumpuk berusaha
menggengam tiang itu. Bahu kami saling bersentuhan satu sama
lain. Kami seperti orang yang bersatu padu menjelang ajal.
Hampir satu jam kami masih tak tentu arah. Aku melihat haluan
perahu berpendar-pendar dan kepalaku pusing seolah akan pecah.
Ketika kulihat Mujis menghamburkan muntah, perutku serasa
diaduk-aduk dan dalam waktu singkat aku pun muntah.
Pemandangan berikutnya adalah setiap orang di atas perahu
menyemburkan seluruh isi perutnya, termasuk nakhoda kapal yang
telah berpengalaman puluhan tahun. Aku mencapai tingkat puncak
mabuk laut ketika tak ada lagi yang bisa dimuntahkan dan yang
keluar hanya cairan bening yang pahit. Semua penumpang perahu
Kami sudah pasrah di atas perahu yang terangkat tinggi lalu
terhempas dahsyat bak sepotong busa di atas samudra yang
mengamuk. Inilah pengalaman terburuk dalam hidupku. Saat itu
aku amat menyesal telah ikut campur dalam ekspedisi orang-orang
gila Societeit untuk menemui seorang dukun yang bahkan tak peduli
dengan hidupnya sendiri. Tak adil mempertaruhkan nyawa untuk
orang yang tidak menghargai nyawa. Aku memandang permukaan
laut yang biru gelap dengan kedalaman tak terbayangkan dan dunia
asing di bawah sana. Aku merasa sangat ngeri jika tenggelam.
Wajah nakhoda tak memperlihatkan harapan sedikit pun. Ia juga
telah mengikatkan tubuhnya ke tiang layar. Ia terpekur menunduk
dalam, tangannya yang kuat dan tua berurat-urat memegang kuat
tiang layar, berebutan dengan tangan-tangan kami. Jika kami
tenggelam maka di dasar laut mayat kami akan melayang-layang di
ujung simpul-simpul tali yang mengikat tubuh kami seperti suraisurai gurita. Sebagian besar penumpang mengalirkan air mata putus
asa. Namun, Flo sama sekali tak menangis. Sebelah tangannya
menggenggam tiang layar, bibirnya membiru, dan wajahnya
menengadah menantang langit. Wanita itu tak pernah takluk pada
Tak ada tanda-tanda ombak akan reda, bahkan semakin
Tinggal menunggu waktu kami akan terbenam karam, Dan saat
yang menakutkan itu datang ketika dari jauh kami melihat
gelombang yang sangat tinggi, hampir tujuh meter. Inilah
gelombang paling besar dalam badai ini
Kami gemetar dan berteriak histeris. Dalam waktu beberapa detik
hentakan gelombang dahsyat itu menerjang perahu dan
mematahkan tiang layar yang sedang kami pegang. Tiang itu patah
dua dan bagian yang patah meluncur deras menuju buritan
membingkas tiga keping papan di lambung perahu sehingga kapal
bocor dan air masuk berlimpahlimpah. Mujis, Mahar, dan orang
Tionghoa yang berpegangan pada sisi belakang layar tertendang
patahan tadi dan terpelanting ke geladak. Jika tak dihalangi tutup
palka mereka sudah jadi santapan samudra. Mereka menjerit-jerit
ketakutan, menimbulkan kepanikan yang mencekam. Aku berpikir
inilah akhir hayatku, akhir hayat kami semua, laut ini akan segera
memerah karena ikan-ikan hiu berpesta pora. Namun pada saat
paling genting itu aku mendengar samar-samar suara orang
berteriak. Rupanya syah bandar melepaskan pegangannya dan tiang
layar dan mengumandangkan azan berulangulang. Kami masih
terlonjak-lonjak dengan hebat dan air mulai menggenangi geladak
tapi lonjakan perahu tiba-tiba reda. Anehnya segera setelah azan itu
selesai perlahan-lahan gelombang turun,
Gelombang laut yang meluap-luap berbuih mengerikan tiba-tiba
surut seperti dihisap kembali oleh awan yang gelap. Kami terkesima
pada perubahan yang drastis. Ombak ganas menjadi semakin jinak.
Hanya dalam waktu beberapa menit angin berhenti bertiup
seperti kipas angin yang dimatikan. Badai yang mencekam nyawa
lenyap seketika seperti tak pernah terjadi apa-apa. Tak lama
kemudian seberkas sinar menyelinap di antara gumpalan awan
hitam, mengintip-intip dan gumpalan-gumpalan kelam yang
memudar, Meskipun kami tak tahu sedang berada di perairan mana
namun kami bersyukur kepada Allah berulang-ulang, bahkan
menangis haru. Setidaknya harapan muncul kembali. Lalu kami
bergegas menimba air yang memenuhi perahu. Permukaan laut
yang luas tak terbatas menjadi amat tenang seperti permukaan
Kami memandang jauh ke laut dan tak berkata-kata karena
masih gentar pada bencana yang baru saja mengancam. Flo
tersenyum puas. Ia telah membuktikan bahwa ketika maut tercekat
di kerongkongannya ía tetap tak takut, Sebelum menemui Tuk
Bayan Tula, ía telah mencapai salah satu tujuannya. Pengalaman
seperti tadilah yang sesungguhnya ía can.
Awan perlahan-lahan menjadi gelap, bukan karena akan badai
tapi karena senja telah turun, Nakhoda berusaha mempenkirakan
posisi kami. Ia membaca bulan dan bintang di atas langit yang cerah
karena cahaya purnama hari kedua belas. Ia menghidupkan mesin
dan perahu bengerak pelan menuju arah sesuai hempasan badai.
Beranti badai tadi telah membuang kami jauh tapi ke arah yang
memang kami tuju. Tak lama kemudian nakhoda kembali
Beliau benjalan menuju haluan dan menyuruh kami diam.
Pantulan sinar bulan berkilau-kilauan di permukaan laut lepas
sejauh mata memandang. Perahu pelan-pelan menembus benteng
kabut yang tebal. Sunyi senyap seperti suasana danau di tengah
nimba. Ada penasaan senam diam-diam menyelinap.
Nakhoda mengawasi jauh ke depan dengan mata tajamnya yang
terlatih. Kami cemas mengantisipasi bahaya lain yang akan datang,
mungkin perompak, munqkin binatang yang besar, atau mungkin
badai lagi. Kami melihat bayangan hitam gelap di depan kami tapi
sangat tak jelas karena tertutup halimun yang semakin tebal. Kami
ketakutan. Tiba-tiba nakhoda menunjuk lurus ke depan dan
mengatakan sesuatu dengan suaranya yang serak.
Kami serentak bendini terperangah dan tepat ketika beliau selesai
menyebutkan nama pulau itu terdenganlah lolongan segerombolan
anjing melengking-lengking mendirikan bulu kuduk, seperti
menyambut tamu tak diundang.
Teronggok sepi seperti sebuah benda asing yang dikelilingi
samudna, Pulau Lanun tampak kecil sekali. Ada puluhan pohon
kelapa di sisi timurnya
dan daun-daun kelapa itu berkilauan laksana lampu-lampu neon
yang berkibar-kibar karena pantulan sinar purnama. Di tengah
pulautumbuh pohon-pohon besar yang rindang di antara ilalang
dan bongkahan-bongkahan batu. Lolongan anjing semakin panjang
dan menjadi-jadi ketika perahu menyelusuri naungan dahan-dahan
bakau, mendekati Pulau Lanun. Pada baqian ini cahaya bulan tak
tembus dan terang hanya kami dapat dan lampu pelita kecil yang
berayun-ayun di tiang layar. Di bawah naungan daun-daun bakau
itu kami disergap perasaan takut yang sulit dijelaskan.
Di dalam hati aku mencoba merekonstruksi perasaan yang
dialami utusan pawang angin tempo hari dan sejauh ini semuanya
tepat. Mereka mengatakan nuansa magis mulai terasa ketika perahu
mendekati pulau, hal itu benar. Saat perahu merapat rasanya
tengkuk ditiup-tiup oleh angin yang jahat dan mulut ribuan hantu
tak kasatmata yang membuntuti kami. Ada sebuah pengaruh mistis
dan udara kuburan. Ada rasa kemurtadan, pengkhianatan, dan
pembangkangan pada Tuhan. Ada jerit kesakitan dan binatang yang
dibantai untuk ritual sesat dan tercium bau amis darah, bau mayatmayat lama yang sengaja tak dikubur, bau asap dupa untuk
memanggil iblis, dan bau ancaman kematian.
Kabut yang beterbangan agaknya makhluk suruhan gentayangan
yang mengawasi setiap gerak-gerik kami. Bangkai-bangkai perahu
perompak yang pemiliknya telah dipenggal Tuk Bayan Tula
berserakan hitam dan hangus. Pakaian-pakaian lengkap manusia
memperlihatkan mayat mereka tak pernah diurus sang datuk. Jika ia
ingin menyembelih kami tak ada hukum yang akan membela kami
di sini. Kami seperti menyerahkan leher memasuki sumur sarang
makhluk jadi-jadian karena tak mampu mengekang nafsu ingin
Anjing-anjing yang melolong dalam kesenyapan malam tak
tampak bentuknya. Kadang kala terdengar seperti bayi yang
menangis atau nenek tua yang memohon ampun karena jilatan api
Suara-suara ni mematahkan semangat dan menciutkan nyali.
Sungguh besar sugesti Tuk Bayan Tula dan sungguh hebat
pengaruh magis legendanya sehingga menciptakan kesan
mencekam seperti in Saat itu kuakui bahwa beliau apa pun
bentuknya memang orang yang berilmu sangat tinggi. Daya bius
magis Tuk Bayan Tula menisbikan pengalaman bertaruh dengan
maut ketika badai menghantam perahu kami beberapa waktu yang
lalu. Seperti kharisma binatang buas yang membuat mangsanya tak
berkutik sebelum diterkam, demikianlah kharisma Tuk Bayan Tula.
Walaupun sinar purnama kedua belas terang tapi semuanya
tampak kelam. Kami berjalan pelan beriringan menuju kelompok
pohon-pohon rindang dan batu-batu tadi. Di situlah Tuk Bayan
Tula, orang tersakti dan yang paling sakti, raja semua dukun, dan
manusia setengah pen tinggal. Kami gemetar namun tampak jelas
setiapanggota Societeit telah menunggu momen ini sepanjang
Tiba-tiba, seperti dikomando, suara lolongan anjing berhenti,
diganti oleh kesenyapan yang mengikat. Burung-burung gagak
berkaok-kaok nyaring di puncak pohon bakau yang tumbuh subur
sampai naik ke daratan.
Suasana semakin seram ketika kami menerabas ilalang dan
menjumpai beberapa punsuk menyembul-nyembul seperti iblis
bersembuyi di celah-celah perdu tebal. Punsuk adalah istilah orang
Kek untuk menyebut gundukan tanah seperti makam-makam kuno.
Punsuk selalu identik dengan rumah berbagai makhluk halus, lebih
dan itu karena ia kelihatan seperti kuburan-kuburan Belanda, maka
padang kecil ini terkesan sangat angker.
Akhirnya, kami tiba di sebuah rongga yang disebut gua oleh
utusan dulu, Gua itu adalah celah antara dua batu be-sar yang
bersanding tidak simetris. Itulah rumah Tuk Bayan Tula. Kengerian
semakin mencekam tapi apa pun yang terjadi semuanya telah
terlambat karena kami melihat se-belas pelepah pinang tergelar di
mulut rongga batu. Kami menjual dan datuk telah membeli. Kami
telah disambut dan harus siap dengan risiko apa pun.
Kami tak langsung duduk karena dilanda ketakutan apa-lagi di
dalam gua terlihat kain tipis berkelebat lalu pelan-pelan seperti asap
yang mengepul dan tumpukan kayu basah yang dibakar muncul
sebuah sosok tinggi besar. Dengan mata kepalaku sendiri aku
menyaksikan bahwa sosok itu tidak menginjak bumi. Ia seperti
mengambang di udara, bergerak maju mundur seumpama benda
tak berbobot. Belum pernah seumur hidupku menyaksikan
pemandangan seajaib itu. Dialah sang orang
sakti, manusia setengah pen, Tuk Bayan Tula.
Tanpa sempat kami berpikir tiba-tiba sosok itu melesat seperti
angin dan telah berdiri tegap kukuh di depan kami. Kami
terperanjat, serentak terjajar mundun, dan nyaris Lari pontangpanting. Tapi kami menguatkan hati. Tuk Bayan Tula benada dua
meter dan kami yang takzim mengelilinginya. Beliau adalah
seseorang yang sungguh-sungguh mencitnakan dirinya sebagai
orang sakti benilmu setinggi langit. Kain hitam melilit-lilit tubuhnya,
parang panjangnya masih sama dengan cenita utusan dulu, rambut,
kumis, dan jenggotnya lebat tak tenunus, benwanna putih
bercampur cokelat. Tulang pipinya sangat keras mengisyanatkan ia
mampu melakukan kekejaman yang tak tenbayangkan dan dan
alisnya mencerminkan ia tak takut pada apa pun bah-kan pada
Tuhan. Namun, yang paling menonjol adalah matanya yang
benkilat-kilat seperti mata burung, selunuhnya berwarna hitam,
Sedikit banyak, apa pun yang akan terjadi, aku merasa beruntung
pernah melihat legenda hidup ini.
Tuk Bayan diam mematung. Selunuh anggota Societeit
memandanginya. Bertarung nyawa ke pulau ini agaknya tenbayan
karena telah melihat tokoh panutan mereka. Tak sedikit pun
kenamahan ditunjukkan Tuk. Lalu beliau duduk dan kami juga
duduk di sebelas pelepah pinang yang secara misterius telah beliau
sediakan. Mahar tampak sangat terpesona dengan sang datuk,
baginya ini mimpi yang menjadi kenyataan. Tapi ia masih tak berani
mendekat karena takut. Maka Flo bangkit menghampiri Mahar,
menarik tangannya, dan wanita muda luar biasa itu tanpa tedeng
aling-aling menyeret Mahar menghadap datuk.
Selanjutnya dengan amat berhati-hati Mahar berbisik pada sang
datuk. Tuk memandang jauh ke samudra yang berkilauan tak peduli
meskipun Mahar menceritakan bahaya maut yang kami alami untuk
menjumpainya. Suara Mahar terdengar sayup-sayup
“... ombak setinggi tujuh meter ....“
“... badai ... angin puting beliung ... tiang Iayar patah ...
Tuk Bayan Tula mendengarkan tanpa minat. Mahar melanjutkan
kisahnya hingga sampai kepada tujuan utama kedatangannya.
“... saya dan Flo akan diusir dan sekolah ....°
“... sudah mendapat surat peringatan karena nilai-ni-lai yang
“... minta tolong agar kami bisa lulus ujian ....“
“... minta tolong Datuk, tak ada lagi harapan lain . ..
“... dimarahi orangtua dan guru setiap hari .. .
Kami diam seribu basa dan terus-menerus memandangi Tuk dan
ujung kaki sampai ujung rambut.
Tiba-tiba tak dinyana, Datuk memalingkan wajahnya pada
Mahar dan Flo. Kedua anak nakal itu pucat pasi. Tuk memegang
pundak Mahar sambil mengangguk-angguk. Mahar berseri-seri
bukan main seperti korban longsor dicium presiden. Para anggota
Societeit tampak bangga ketuanya disentuh dukun sakti pujaan hati
mereka. Mahar mengerti apa yang harus dilakukan. Ia
mengeluarkan sepucuk surat dan sebuah pena lalu menyerahkannya
dengan penuh hormat pada Tuk. Datuk itu mengambilnya dan
dengan kecepatan yang tak masuk akal beliau kembali masuk ke
Selanjutnya terjadi sesuatu yang sangat aneh, Dan dalam gua
terdengar suara keras bantinganbantingan seperti sepuluh orang
sedang berkelahi. Kami terlonjak dan tempat duduk, berkumpul
rapat-rapat, mamandang waspada ke dalam gua. Kami mendengar
suara auman seekor binatang buas bersuara menakutkan yang
belum pernah kami dengar sebelumnya.
Jelas sekali di dalam sana Tuk Bayan Tula sedang bertarung
habis-habisan dengan makhlukmakhluk besar yang ganas. Rupanya
untuk memenuhi permintaan Mahar beliau harus mengalahkan
ribuan hantu. Seberkas penyesalan tampak di wajah Mahar. Ia tak
sanggup menanggungkan beban jika tokoh kesayangannya harus
tewas karena permohonannya.
Debu mengepul dan pasir Iantai gua karena makhluk-makhluk
liar bergumul di dalamnya. Kami bergidik cemas tapi tak berani
mendekat. Kami menunduk memejamkan mata membayangkan
risiko maut. Lalu piring kaleng, panci, tulang-tulang ikan, tempurung
kelapa, tungku, cangkir, cambuk, parang, dan sendok terlempar
keluar gua dan ber-serakan di dekat kami. Di antara benda-benda
itu terdapat primbon, penanggalan tradisional Bali, peta laut, dan
heberapa kitab lama bertulisan tangan bahasa Melayu kuno dan
Pertempuran demikian seru hingga akhirnya terdengar jeritan
kekalahan. Lalu kami melihat puluhan sosok bayangan lelembut
berbentuk seperti jasad terbungkus kain kafan hitam beterbangan
melesat cepat keluar dan dalam gua menembus pucuk-pucuk pohon
santigi menghilang ke arah laut. Anjing-anjing hutan kembali
melolong agaknya lolongan anjing-anjing itu memaki-maki
gerombolan hantu yang telah dikalahkan Tuk Bayan Tula.
Tuk Bayan Tula kembali hadir di mulut gua dalam keadaan
terengah-engah, compang-camping, dan berantakan. Aku sangat
prihatin melihat orang sakti sampai terseok-seok seperti itu. Demi
memenuhi permintaan Mahar dan Flo agar tak diusir dan sekolah
beliau telah mempertaruhkan jiwa.
Tuk mengangkat gulungan kertas pesannya tinggi-tinggi seakan
mengatakan, ‘Lihatlah wahai manusia-manusia cacing tak berguna,
siapa pun, kasat atau siluman tak ‘kan sanggup melawanku. Aku
telah membinasakan iblis-iblis dan dasar neraka untuk membuat
keajaiban yang membalikkan hukum alam. Nilai-nilai ujianmu akan
melingkar sendiri dalam kegelapan untuk menyelamatkanmu di
sekolah tua itu. Terimalah hadiahmu, karena engkau anak muda
pemberani yang telah menantang maut untuk menemuiku ....“
Tuk menyerahkan gulungan kertas itu yang disambut Mahar
dengan kedua tangannya seperti gelandangan yang hampir mati
kelaparan menerima sedekah. Mahar memasukkan gulungan kertas
ke dalam tempat bekas bola badminton dengan amat hati-hati dan
menutupnya rapat-rapat seperti arsitek menyimpan cetak biru
bangunan rahasia tempat menyiksa aktivis. Kotak itu
dimasukkannya ke dalam jaketnya. Tuk memberi isyarat agar kertas
itu dibuka setelah kami tiba di rumah dan menunjuk ke perahu agar
kami segera angkat kaki. Tak sempat kami mengucapkan terima
kasih, secepat kilat, seperti angin Tuk Bayan Tula lenyap dan
pandangan, sirna ditelan gelap dan asap dupa gua
Kami Lari tenbirit-birit menuju perahu. Nakhoda segera
menghidupkan mesin. Kami langsung kabur pulang. Mahar
memegangi kotak bola badminton di jaketnya tak lepas-lepas.
Wajahnya senang bukan main. Flo juga tersenyum lega. Kentas
itulah sertifikat asuransi pendidikan mereka. Kami semua sepakat
akan membuka surat itu besok se-pulang sekolah di bawah flhcium.
Tengah hari itu banyak orang berkumpul di bawah pohon
filicium. Selunuh teman sekelasku, seluruh anggota Societeit
termasuk nakhoda yang juga menyatakan minat mendaftar sebagai
anggota baru, dan para utusan tendahulu yaitu dua orang dukun,
kepala suku Sawang, dan seorang polisi senior. Karena berita kami
mengunjungi Tuk Bayan Tula telah tersebar ke seantero kampung
maka dalam waktu singkat reputasi Societeit melejit.
Semua orang tahu betapa besarnya risiko mengunjungi Pulau
Lanun, yaitu ombak yang ganas, ikan-ikan hiu, dan kekejaman Tuk
Bayan Tula sendiri. Maka dalam pembukaan pesan Tuk siang ini
banyak sekali yang hadir. Kulihat ada Tuan Pos, para calon anggota
baru Societeit yang bersemangat karena reputasi baru organisasi,
beberapa penjaga dan pemilik warung kopi, beberapa orang tukang
gosip, tukang ikan, juraganjuragan perahu, dan beberapa
penggemar para norma’ tingkat pemula.
Setelah seluruh guru pulang Mahar dan Flo keluar dan kelas
dengan wajah berseri-seri. Langkahnya ringan karena beban
hancurnya nilainilai ulangan yang telah sekian lame menggelayut di
pundak mereka akan segera sirna. Mereka yakin sekali pesan Tuk
akan menyelamatkan masa depannya.
Parapsikologi, metafisika, dan paranormal terbukti bisa memasuki
area mana pun, demikian kesan di wajah keduanya. Lalu kesan lain:
kalian boleh membaca buku sampai bola mata kalian meloncat tapi
Tuk Bayan Tula akan membuat kami tampak lebih pintar, atau: belajarlah kalian sampai muntah-muntah dan kami akan terus
mengembara mengejar pesona dunia gaib, tapi tetap naik kelas
sampai tingkat berapa pun.
Mahar dengan cermat mengeluarkan kotak bole badminton, ia
membuka tutupnya pelan-pelan. Mengambil gulungan kertas itu dan
mengangkatnya tinggi-tinggi. Baginya itulah dokumen deklarasi
kemerdekaan dirinya dan Flo dan penjajahan dunia pendidikan
yang banyak menuntut. Mahar memegangi gulungan itu kuat-kuat
dan sebelum membukanya ia memberikan sebuah pidato singkat:
“Nasib baik memihak para pemberani” Itulah pembukaan
pidatonya, sangat filosofis seperti Socrates sedang memberikan
pelajaran filsafat pada murid-muridnya. Anggota Societeit
mengangguk-angguk setuju.
“Inilah pesan yang kami dapatkan dengan susah payah. Kami
mengikatkan diri pada tiang layar karena nyawa kami tinggal
sejengkal dan kami memuntahkan cairan terakhir yang rasanya
pahit untuk mendapatkan keajaiban ini!”
Anggota Societeit bertepuk tangan bangga mendengar pidato
hebat ketuanya. Demi menyaksikan pembukaan pesan ini sang teller
BRI bolos kerja sedangkan bapak Tionghoa tukang sepuh emas
Mahar melanjut-kan pidato dengan berapi-api.
“Kami rela menggadaikan harta benda kesayangan dan berani
mengambil risiko dimusnahkan dan muka bumi oleh Tuk Bayan
Tula, tapi akhirnya kami bisa membuktikan bahwa Societeit de
Limpai bukan organisasi sembarangan!”
Mahar berpidato penuh wibawa di hadapan pare pengikutnya
lalu seperti biasa ia mengeluarkan bahasa tubuhnya yang khas:
menaikkan alis, mengangkat bahu, den mengangguk-angguk.
“Kami menyaksikan sendiri bahwa Tuk Bayan Tula bertempur
habis-habisan untuk memberi kite
pesan pada kertas ini!! Sebagai ketua Societeit, saya merasa
mendapat respek dengan perlakuan beliau itu.”
Anggota Societeit kembali bertepuk tangan bergemuruh. Wajah
Flo tampak semakin cantik ketika ia gembira.
“Maka, inilah prestasi tertinggi Societeit de Limpai.”
Mahar mengangkat lagi gulungan kertas pesan Tuk Bayan Tula
tinggi dan akan segera membukanya.
Semua orang merubung ingin tahu, Beberapa peminat, termasuk
aku, sampai naik ke atas dahan-dahan rendah filicium agar dapat
membaca pesan Tuk. Tangan Mahar gemetar memegang gulungan
kertas keramat itu dan wajah Flo memerah menahan girang, ia
melonjak-lonjak tak sabar menunggu kejutan yang menyenangkan.
Semua orang merasa tegang dan sangat ingin tahu. Mahar
perlahan-lahan membuka gulungan kertas itu dan di sana, di kertas
itu tertulis dengan jelas:
“PESAN TUK-BAYAN-TULA UNTUK KALIAN BERDUA,
KALAU INGIN LULUS UJIAN: BUKA BUKU, BELAJAR!!”
Elvis Has Left the Building
KAMI sedang benci pada Samson karena sikapnya yang keras
kepala. Kami berdebat hebat di bawah pohon filicium. Sembilan
lawan satu. Tapi ia dengan konyol tetap memperjuangkan
pendiriannya, tak mau kalah. Duduk perkaranya adalah semalam
kami baru saja menonton film Pulau Putri yang dibintangi S. Bagyo.
Di film itu S. Bagyo dkk. terdampar di sebuah pulau sepi yang
hanya dihuni kaum wanita. Kerajaan atau berarti lebih tepatnya
keratuan di pulau itu sedang diteror seorang ne-nek sihir berwajah
seram. Jika ia tertawa, ingin rasanya kami terkencing-kencing.
Kami menonton film yang diputar sehabis magrib itu di bioskop
MPB (Markas Pertemuan Buruh) yang khusus disediakan oleh PN
Timah bagi anak anak bukan orang staf. Sebuah bioskop kualitas
misbar dengan 2 buah pengeras suara lapangan merk TOA. Karena
lantainya tidak didesain selayaknya bioskop maka agar penonton
yang paling belakang tidak terhalang pandangannya, di bagman
belakang disediakan bangku tinggi tinggi.
Dan kami, sepuluh orang termasuk Flo duduk berjejer di bangku
Anak-anak orang staf menonton di tempat yang berbeda,
namanya Wisma Ria. Di sana film diputar dua kali seminggu.
Penonton dijemput dengan bus berwarna biru. Tentu saja di
bioskop itu juga terpampang peringatan keras..
“DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”.
Kami tak menduga sama sekali kalau film yang berjudul indah
Pulau Putri tersebut adalah film horor. Membaca judulnya kami pikir
kami akan melihat beberapa putri cantik melumuri tubuhnya dengan
semacam krim dan Lari berlanian sambil tertawa cekikikan di pinggir
“Asyik,” kata Kucai berbinar-binar.
Namun, perkiraan kami meleset, Baru beberapa menit film
dimulai nenek sihir itu muncul dengan tawanya yang mengerikan.
Yang cekikikan adalah kaum dedemit. S. Bagyo dan kawan-kawan
Lari terbirit-birit. Dan belakang aku dapat menyaksikan seluruh
penonton, anak-anak kuli PN
Timah, tiarap setiap nenek jahat itu muncul di layar. Beberapa
anak perempuan menangis dan anak-anak lainnya ambil langkah
seribu, kabur dan bioskop rombeng ini dan tak kembali lagi.
Di deretan tempat dudukku kulihat Samson yang duduk di ujung
kin hampir sama sekali tidak menonton. Ia bersembunyi di ketiak
Syahdan. Sebaliknya, Syahdan bersembunyi di ketiak A Kiong. A
Kiong bersembunyi di ketiak Kucai, Kucai di ketiakku, Aku dan
Trapani di ketiak Mahar.
Trapani menjerit-jerit memanggil ibunya jika nenek sihir itu
mengobrak-abrik kampung. Dan Mahar menunduk seperti orang
Yang berdiri tegak tak bergerak hanya Harun, Sahara, dan Flo.
Mereka tertawa terbahak-bahak melihat S. Bagyo pontang-panting
dikejar setan. Jika S. Bagyo berhasil lolos mereka bertepuk tangan.
Ketika pulang, kami bergandengan tangan. Ketika melewati
kuburan, tangan Trapani sedingin es.
Esoknya, saat istirahat siang Samson berkeras bahwa nenek sihir
itulah yang diuber-uber oleh S. Bagyo. Kami semua protes karena
ceritanya sama sekali tidak begitu.
“Tahukah kau justru Bagyolah yang diuberuber nenek sihir
sepanjang film itu,’ Samson berkeras.
“Mana mungkin,” bantah Kucai.
“Aku melihat sendiri kau menggigil ketakutan di bawah ketiak
Syahdan,” serang A Kiong.
Samson masih berkelit, ‘Apa kau sendiri menonton? Setahuku
hanya Sahara, Harun, dan Flo yang tak sembunyi.”
Sahara melirik kami dengan pandangan jijik, “Semua pria
brengsek!” katanya ketus.
Harun mengangguk-angguk mendukung mutlak pernyataan itu.
“Biar kami hanya melirik sekali-sekali bukan berarti kami tak tahu
jalan ceritanya,” Mahar memojokkan Samson.
Demi mendengar kata “melirik sekali-sekali’ itu
Sahara semakin jijik.
“Semua pria menyedihkan!” Samson membalas Mahar, ‘Ah!
Tahu apa kau soal film, urus saja jambulmu itu!”
Kami semua tertawa geli, dan memang Mahar segera menyisir
Kami semua terlibat perang mulut, kecuali Trapani, ia diam
melamun, Belakangan ini Trapani semakin pendiam dan sering
melamun. Aku paham apa yang terjadi. Samson malu mengakui
bahwa ia bersembunyi di bawah ketiak Syahdan. Ia tak inqin
citranya sebagai pria macho hancur hanya karena ketakutan nonton
sebuah film. Perilakunya itu persis kaum oportunis di panggung
Perdebatan semakin seru. Diperlukan seorang penengah dengan
wawasan dan kata-kata cerdas pamungkas untuk mengakhiri
Sayangnya si cerdas itu sudah dua hari tak tampak batang
hidungnya. Tak ada kabar berita.
Ketika esoknya Lintang tak juga hadir, kami mulai khawatir.
Sembilan tahun bersama-sama tak pernah ia bolos. Saat ini sedang
musim hujan, bukan saatnya kerja kopra. Bukan pula musim panen
kerang, sementara karet telah digerus bulan lalu. Pasti ada sesuatu
yang sangat penting. Rumahnya terlalu jauh untuk mencari berita.
Sekarang hari Kamis, sudah empat hari Lintang tak muncul juga.
Aku melamun memandangi tempat duduk di sebelahku yang
kosong. Aku sedih melihat dahan filicium tempat ia bertengger jika
kami memandangi pelangi. Ia tak ada di sana. Kami sangat
kehilangan dan cemas. Aku rindu pada Lintang.
Kelas tak sama tanpa Lintang. Tanpanya kelas kami hampa
kehilangan auranya, tak berdaya. Suasana kelas menjadi sepi. Kami
rindu jawaban-jawaban hebatnya, kami rindu kata-kata cerdasnya,
kami rindu melihat-nya berdebat dengan guru. Kami juga rindu
rambut acak-acakannya, sandal jeleknya, dan tas karungnya.
Bu Mus berusaha ke sana sini mencari kabar dan menitipkan
pesan pada orang yang mungkin melalui kampung pesisir tempat
tinggal Lintang. Aku cemas membayangkan kemungkinan buruk.
Tapi biarlah kami tunggu sampai akhir minggu ini.
Senin pagi, kami semua berharap menjumpai Lintang dengan
senyum cerianya dan kejutankejutan barunya. Tapi ia tak muncul
Ketika kami sedang berunding untuk mengunjunginya, seorang
pria kurus tak beralas kaki masuk ke kelas kami, menyampaikan
Begitu banyak kesedihan kami lalui dengan Bu Mus selama
hampir sembilan tahun di SD dan SMP Muhammadiyah tapi baru
pertama kali ini aku melihatnya menangis.
Air matanya berjatuhan di atas surat itu..
Ayahku telah meninggal, besok aku akan
Seorang anak laki-laki tertua keluarga pesisir miskin yang
ditinggal mati ayah, harus menanggung nafkah ibu, banyak adik,
kakek-nenek, dan pamanpaman yang tak berdaya, Lintang tak
punya peluang sedikit pun untuk melanjutkan sekolah. Ia sekarang
harus mengambil alih menanggung nafkah paling tidak empat belas
orang, karena ayahnya, pria kurus berwajah lembut itu, telah mati,
karena pria cemara angin itu kini telah tumbang. Jasadnya
dimakamkan bersama harapan besarnya terhadapanak lelaki satusatunya dan justru kematiannya ikut membunuh cita—cita agung
anaknya itu. Maka mereka berdua, orang-orang hebat dan pesisir
ini, hari ini terkubur dalam ironi.
Di bawah pohon filicium kami akan mengucapkan perpisahan.
Aku hanya diam. Hatiku kosong. Perpisahan belum dimulai tapi
Trapani sudah menangis terisak-isak. Sahara dan Harun duduk
bergandengan tangan sambil tersedu-sedu. Samson, Mahar, Kucai,
dan Syahdan berulang kali mengambil wudu, sebenarnya dengan
tujuan menghapus air mata. A Kiong melamun sendirian tak mau
diganggu. Flo, yang baru saja mengenal Lintang dan tak mudah
terharu tampak sangat muram. Ia menunduk diam, matanya
Baru kali ini aku melihatnya sedih.
Kami melepas seorang sahabat genius asli didikan alam, salah
seorang pejuang Laskar Pelangi lapisan tertinggi. Dialah ningrat di
antara kami. Dialah yang telah menorehkan prestasi paling istimewa
dan pahlawan yang mengangkat derajat perguruan miskin in
Kuingat semua jejak kecerdasannya sejak pertama kali ia memegang
pensil yang salah pada hari pertama sekolah, sembilan tahun yang
lalu. Aku ingat semangat persahabatan dan kejernihan buah
pikirannya. Dialah Newton-ku, Adam Smithku, Andre Ampereku.
Lintang adalah mercu suar. Ia bintang petunjuk bagi pelaut di
samudra. Begitu banyak energi positif, keceriaan, dan daya hidup
terpancar dan dirinya. Di dekatnya kami terimbas cahaya yang
masuk ke dalam rongga-rongga otak, memperjelas penglihatan
pikiran, memicu keingintahuan, dan membuka jalan menuju
pemahaman. Darinya kami belajar tentang kerendahan hati, tekad,
dan persahabatan. Ketika ia menekan tombol di atas meja mahoni
pada lomba kecerdasan dulu, ia telah menyihir kepercayaan diri
kami sampai hari ini, membuat kami berani bermimpi melawan
nasib, berani memiliki cita-cita.
Lintang seumpama bintang dalam rasi Cassiopeia yang meledak
dini hari ketika menyentuh atmosfer. Ketika orang-orang masih lelap
tertidur. Cahaya Iedakannya menerangi angkasa raya, membeni
terang bagi kecemerlangan pikiran tanpa seorang pun tahu, tanpa
ada yang peduli. Bagai meteor pijar ia berkelana sendirian ke
planet-planet pengetahuan, lalu kelipnya meredup dalam hitungan
mundur dan hari ini ia padam, tepat empat bulan sebelum ia
menyelesaikan SMP. Aku merasa amat pedih karena seorang anak
supergenius, penduduk asli sebuah pulauterkaya di Indonesia hari
ini harus berhenti sekolah karena kekurangan biaya. Hari ini, seekor
tikus kecil mati di lum-bung padi yang berhimpah ruah.
Kami pernah tertawa, menangis, dan menari bersama di dalam
hingkaran bayang kobaran api. Kami tercengang karena terobosan
pemikirannya, terhibur oleh ide-ide segarnya yang memberontak,
tak biasa, dan menerobos. Ia belum pergi tapi aku sudah rindu
dengan sorot mata lucunya, senyum polosnya, dan setiap kata-kata
cerdas dan mulutnya. Aku rindu pada dunia sendiri di dalam
kepalanya, sebuah dunia kepandaian yang luas tak terbatas dan
kerendahan hati yang tak bertepi.
Inilah kisah klasik tentang anak pintar dan keluarga melarat. Hari
ini, hari yang membuat gamang seorang laki-laki kurus cemara
angin sembilan tahun yang lalu akhirnya terjadi juga. Lintang, sang
bunga meriam ini tak •kan lagi melontarkan tepung sari. Hari ini
aku kehilangan teman sebangku selama sembilan tahun. Kehilangan
ini terasa lebih menyakitkan melebihi kehilangan A Ling, karena
kehilangan Lintang adalah kesia-siaan yang mahabesar. ini tidak
adil. Aku benci pada mereka yang berpesta pora di Gedong dan aku
benci pada diriku sendiri yang tak berdaya menolong Lintang
karena keluarga kami sendiri melarat dan orangtua-orangtua kami
harus berjuang setiap hari untuk sekadar menyambung hidup.
Ketika datang keesokan harinya, wajah Lintang tampak hampa.
Aku tahu hatinya menjerit, meronta-ronta dalam putus asa karena
penolakan yang hebat terhadap perpisahan in Sekolah,
kawankawan, buku, dan pelajaran adalah segala-galanya baginya,
itulah dunianya dan seluruh kecintaannya. Suasana sepi membisu,
suara-suara unggas yang biasanya riuh rendah di pohon fihicium
sore ini lengang. Semua hati terendam air mata melepas sang
mutiara ilmu dan hingkaran pendidikan. Ketika kami satu per satu
memeluknya tanda perpisahan, air matanya mengahir pelan,
pelukannya erat seolah tak mau melepaskan, tubuhnya bergetar saat
jiwa kecerdasannya yang agung tercabut paksa meninggalkan
Aku tak sanggup menatap wajahnya yang pilu dan kesedihanku
yang mengharu biru telah mencurahkan habis air mataku, tak dapat
kutahantahan sekeras apa pun aku berusaha. Kini ia menjadi tangis
bisu tanpa air mata, perih sekahi. Aku bahkan tak kuat
mengucapkan sepatah pun kata perpisahan. Kami semua
sesenggukan. Bibir Bu Mus bergetar menahan tangis, matanya
semerah saga. Tak setitik pun air matanya jatuh. Behiau ingin kami
tegar. Dadaku sesak menahankan pemandangan itu. Sore itu
adahah sore yang paling sendu di seantero Behitong, dan muara
Sungai Lenggang sampai ke pesisir Pangkalan Punai, dan Jembatan
sampai ke Tanjong Pandan. Itu adalah sore yang paling sendu di
Saat itu aku menyadari bahwa kami Sesungguhnya adalah
kumpulan persaudaran cahaya dan api. Kami berjanji setia di bawah
halilintar yang menyambar-nyambar dan angin topan yang
menerbangkan gunung-gunung. Janji kami tertulis pada tujuh
tingkatan langit, disaksikan naga-naga siluman yang menguasai Laut
Cina Selatan. Kami adalah lapisan-lapisan pelangi terindah yang
pernah diciptakan Tuhan.
Dua belas tahun kemudian..
SEORANG wanita setengah baya berjalan de-ngan seorang pria
bernama Dahroji, menghampiriku. Masalah! Pasti masalah lagi!
“Kalau Nyonya mau marah, tumpahkan pada laki-laki
berantakan ini,” kata Dahroji. Ia pergi menahan murka.
Wanita itu mengamatiku baik-baik. Dandanannya, huruf ‘r’ dan
“g” yang keluar dan tenggorokannya, tarikan alisnya, serta gayanya
memandang, mengesankan ia pernah sekian lama tinggal di luar
negeri dan ia muak dengan semua ketidak efisienan di negeri ini.
Agaknya ia memiliki masalah yang sangat gawat. Va, memang
gawat, surat restitusi bea masuk lukisan dan luar negeri yang dikirim
oleh kantor Duane terlambat ia terima karena aku salah sortir.
Seharusnya ia masuk kotak Ciawi tapi aku tak sengaja
melemparkannya ke lubang Gunung Sindur. Human error!
Telah tiga kali aku keliru minggu in Alasanku karena overload.
Dahroji, ketua ekspedisi, tak mau tahu kesulitanku. Volume surat
meningkat tajam dan banyak perluasan wilayah yang membuka wijk
baru yang tak kukenal. Aku memandang kuyu pada tiga karung
surat bercap Union Postale Universele ketika nyonya yang masih
seksi itu komplain. Sejenak aku benci pada hidupku yang kacau
balau, Salah satu ciri hidup yang tak sukses adalah menerima
semprotan pelanggan sebelum sempat sarapan pagi. Tapi sekian
lama bekerja di sini aku telah terlatih memadamkan sementara
fungsi gendang telinga. Maka madam itu hanya kulihat bergetargetar seperti Greta Garbo dalam film bisu hitam putih.
“Hoe vaak moet ikje dat nog zeggen!’ hardiknya sambil melengos
pergi. Benar kan kataku? Kira-kira maksudnya: saya sudah komplain
berapa kali masih saja keliru!
Dan kembali aku termangu-mangu menatap tiga karung surat
tadi. Setelah terpuruk akibat dikhotbahi nyonya itu aku masih harus
bekerja keras menyortir semuanya karena pukul delapan seluruh
pengantar kilat khusus termin pertama akan berangkat dan karena
aku adalah pegawai p0s, tukang sortir, bagian kiriman peka waktu,
shift pagi, yang bekerja mulai subuh.
Aku sengsara batin karena ironi dalam hidupku. Rencana Aku
dua belas tahun yang lalu untuk menjadi seorang penulis dan
pemain bulu tangkis ternama telah lenyap, kandas di dalam kotakkotak sortir surat. Bahkan rencana Bku, yaitu menjadi penulis buku
tentang bulu tangkis dan kehidupan sosial, juga telah gagal
meskipun di dalam hati aku
masih menyimpan komentar-komentar manis para mantan
kampiun bulu tangkis.
Buku itu sebenarnya telah selesai kutulis, tidak tanggungtanggung, seluruhnya mencapai 34 bab dan hampir 100.000 kata.
Untuk menulisnya aku telah melakukan riset yang intensif di federasi
bulu tangkis dan komite olahraga nasional serta mengamati
kehidupan sosial beberapa mantan pemain bulu tangkis terkenal.
Aku juga mempelajari budaya pop serta tren terbaru pengembangan
kepribadian. Tapi para penerbit tak sudi menerbitkan bukuku
berdasarkan pertimbanqan komersial. Mereka lebih tertarik pada
karya-karya sastra cabul, yaitu buku buku yang penuh tulisan jorok,
karena buku-buku semacam itu lebih mendatangkan keuntungan.
Mereka, para penerbit itu, telah melupakan prinsip prinsip men sana
Aku berusaha membesarkan hati dengan berpretensi menyamanyamakan diriku dengan John Steinbeck yang tujuh kali ditolak
penerbit tapi akhirnya bisa mengantongi Pulitzer. Aku juga tak
keberatan menjadi Mary Shelley yang hanya pernah sekali menulis
buku Frankenstein lalu hilang dalam kejayaan. Aku harap bukuku:
Bulu Tangkis den Pergaulan dapat menjadi sebuah karya fenomenal
yang dikenang orang sepanjang masa. Setidaknya itulah
sumbanganku untuk kemanusiaan. Namun bagaimanapun aku
berusaha menguatkan diri, kenyataannya aku hampir mati lemas
ditumpuki kegagalan demi kegagalan. Bagaimanapun dulu Pak
Harfan dan Bu Mus mengajariku agar tak gentar pada kesulitan apa
pun, namun pada titik ini dalam hidupku ternyata nasib telah
menghantamku dengan technical knock out.
Pada suatu dini hari yang paling frustrasi, di bawah hujan deras,
aku menumpuk empat bendel master tulisanku beserta enam buah
disket. Tumpukan itu kusimpul mati dengan tali jalin dan pemberat
setengah kilo berupa segel timah plombir untuk mengikat kantong
pos. Aku berlari menuju Jembatan Sempur lalu buku bulu tangkis
rencana B ku itu, buku bergenre humaniora itu sambil memejamkan
mata dengan hati yang redam kulemparkan ke dasar Kali Ciliwung.
Jika tak tersangkut di celah batu-batu di dasar kali maka buku itu
akan terapung-apung bersama banjir kiriman ke
Jakarta, hanyut terombang-ambing bersama cita-citaku.
Aku ingin melarikan diri ke satu-satunya tempat yang paling indah
dalam hidupku, yang telah kukenal sejak belasan tahun yang lalu.
Sebuah desa cantik dengan taman bunga, pagar-pagar batu kelabu
yang mengelilinginya, dan jalan setapak yang ditudungi untaian
dahan-dahan prem. Itulah Edensor, eden berarti surga, nirwana
pelarian dalam otak kecilku dan buku Herriot yang sangat kumal
karena telah puluhan kali kubaca. Semakin sukar hidupku, semakin
sering aku membacanya. Sayangnya aku tak bisa ke Edensor karena
sampai hari ini tempat itu masih tetap hanya ada dalam khayalanku.
Setiap pulang kerja aku sering duduk melamun
di pokok pohon randu, di pinggir Lapangan Sempur, dekat
kamar kontrakanku. Menghadap ke Kali Ciliwung aku memprotes
“Ya, Allah, bukankah dulu pernah kuminta jika aku gagal
menjadi penulis dan pemain bulu tangkis maka jadi-kan aku apa
saja asal bukan pegawai pos! Dan jangan ben aku pekerjaan mulai
Tuhan menjawab doaku dulu persis sama seperti yang tak
kuminta. Begitulah cara Tuhan bekerja. Jika kita menganggap doa
dan pengabulan merupakan variabel-variabel dalam sebuah fungsi
linier maka Tuhan tak lain adalah musim hujan, sedikit banyak kita
dapat membuat prediksi. Kuberi tahu Kawan, cara bertindak Tuhan
sangat aneh, Tuhan tidak tunduk pada postulat dan teorema mana
pun. Oleh karena itu, Tuhan sama sekali tak dapat diramalkan.
Maka inilah aku sekarang. Dalam asumsi yang konservatif
petugas biro statistik menyebut orang sepertiku sebagai mereka yang
bekerja pada sektor jasa, mengonsumsi di bawah 2.100 kalori setiap
hari, dan berada dekat sekali dengan garis miskin. Miskin, kata itu
demikian akrab sepanjang hidupku, bagaikan sahabat baik, seperti
mandi pagi. Sebenarnya sepanjang waktu aku meloncat-loncat di
antara garis miskin itu, tergantung jam lembur yang diberikan
Dahroji. Jika aku banyak lembur maka bulan itu mereka dapat
mempertimbangkanku dalam lapisan berpenghasilan menengah ke
bawah. Toh orang-orang statistik itu tidak membuat parameter
waktu bagi setiap kategori. Tapi singkatnya begini saja, aku adalah
bagian dan 57% rakyat miskin yang ada republik ini.
Hidup membujang, mandiri, terabaikan, bekerja sepuluh jam
sehari, kisaran usia 25-30 tahun, itulah demografi yang aku wakili.
Secara psikografi identitasku adalah pria yang kesepian. Orang
marketing melihatku sebagai target market produkproduk minyak
rambut, deodoran, peninggi tubuh, peramping perut buncit, atau
apa saja yang berkenaan dengan upaya peningkatan kepercayaan
diri. Dunia tak mau peduli padaku, dan negara hanya mengenalku
me-lalui sembilan digit nomor, 967275337, itulah nomor induk
Tak ada bahagia pada pekerjaan sortir. Pekenjaan ini tidak
termasuk dalam profesi yang ditampilkan munid-munid SD dalam
karnaval. Setiap hari berkubang dalam puluhan kantong pUS dan
negeri antah berantah. Masa depan bagiku adalah pensiun dalam
keadaan miskin dan rutin berobat melalui fasilitas Jamsostek, lalu
mati merana sebagai orang yang bukan siapa-siapa.
Setelah usai bekerja aku tenlalu lelah untuk bersosialisasi. Aku
mendenita insomnia, Setiap malam antara tidur dan terjaga aku
terhipnotis cerita wayang golek dan suara kemerosok radio AM. Aku
bangun pagi-pagi buta ketika orang-orang Bogon masih meringkuk
di tempat tidur mereka yang nyaman. Aku merangkak-rangkak
kedinginan, terseok-seok menuju kantor poS melewati bantaran Kali
Ciliwung yang masih diliputi kabut untuk kembali menyortir ribuan
surat, Saat orang-orang Bogor
bangun dan mengibas-ngibaskan koran pagi di depan teh panas
dan tangkupan roti, aku juga sarapan makian dan madam Belanda
tadi. Itulah hidupku sekarang, masa depanku tak jelas dan aku
sudah tak punya konsep lagi tentang masa depan. Semuanya serba
tak pasti. Yang kutahu pasti cuma satu hal: aku telah gagal. Aku
mengutuki diri sendiri terutama ketika apel Korpri tanggal 17.
Hanya Eryn Resvaldya Novella satu-satunya hiburan dalam
hidupku. Ia cerdas, agamais, cantik, dan baik hati. Usianya 21
tahun. Belakangan aku memanggilnya awardee karena ia baru saja
menerima award sebagai mahasiswa paling bermutu di salah satu
univensitas paling bergengsi di negeri ini di kawasan Depok. Ia
mahasiswa universitas itu, jurusan psikologi. Ayah Eryn, abangku,
terkena PHK dan aku mengambil alih membiayai sekolahnya.
Lelah seharian bekerja lenyap jika melihat Eryn dan semangat
belajarnya, jiwa positifnya, dan intelegensia yang terpancar dan
sinar matanya. Aku rela kerja lembur berjam-jam, membantu
menerjemahkan bahasa Ing-gris, menerima ketikan, dan berkorban
apa saja termasuk baru-baru ini menggadaikan sebuah tape deck,
hartaku yang paling benhanga demi membiayai kuliahnya.
Pengalaman dengan Lintang telah menjadi trauma bagiku. Kadangkadang aku bekenja begitu kenas demi Eryn untuk menghilangkan
perasaan bersalah karena tak mampu membantu Lintang. Eryn
menimbulkan semacam perasaan bahwa semenyedihkan apa pun,
hidupku masih benguna. Tak ada yang dapat dibanggakan dalam
hidupku sekarang, tapi aku ingin mendedikasikannya pada sesuatu
Eryn adalah satu-satunya arti dalam hidupku.
Saat ini Eryn sedang panik karena proposal skripsinya berulang
kali ditolak. Sudah belasan kali hal ini terjadi. Sejak kuliahnya
selesai semester lalu ia telah menghabiskan waktu lima bulan hanya
untuk mencari topik skripsi yang bermutu. Bersama surat penolakan
itu pembimbingnya melampirkan lima belas lembar kertas berisi
judul skripsi yang pernah ditulis. Aku melirik, benar saja, sudah tiga
puluh orang yang menulis tentang personality disorder, puluhan
lainnya menulis topik tentang kepuasan kerja, down syndrome, dan
metode konseling anak. Tak terhitung yang telah menulis skripsi
Pembimbingnya menuntut Eryn menulis sesuatu yang baru,
berbeda, dan mampu membuat terobosan ilmiah karena ia adalah
mahasiswa cerdas pemenang award. Aku setuju dengan pandangan
itu. Eryn sebenarnya telah memiliki konsep tentang sesuatu yang
berbeda itu. Dan pembicaraannya yang meluap-luapaku
menangkap bahwa ia telah mempelajari suatu gejala psikologi di
mana seorang individu demikian tergantung pada individu lain
sehingga tak bisa melakukan apa pun tanpa pasangannya itu.
Kemudian ia pun mengajukan tema tersebut, pembimbingnya
Masalahnya adalah gejala seperti itu sangat jarang terjadi
sehingga Eryn tak kunjung mendapatkan kasus. Memang terdapat
kasus dependensi tapi intensitasnya rendah, gejala sehari-hari
saja yang tidak memerlukan perawatan khusus sehingga dianggap
kurang memadai untuk analisis mendalam. Eryn mencari sebuah
kasus ketergantungan yang akut, Ia telah berkorespondensi dengan
puluhan psikolog, psikiater, dosen-dosen universitas, lembagalembaga yang menangani kesehatan mental, dan para dokter di
rumah sakit jiwa di seluruh negeri, tapi hampir empat bulan berlalu
kasusnya tak kunjung ditemukan. Eryn mulai frustrasi,
Namun agaknya nasib menyapa Eryn hari ini. Ketika menyortir
aku menemukan sepucuk surat yang ditujukan ke kontrakanku.
Surat untuk Eryn dengan sampul resmi yang bagus sekali, dan
sebuah rumah sakit jiwa di Sungai Liat, Bangka.
“Awardee! Seseorang dan rumah sakit jiwa agaknya jatuh hati
padamu ...‘ kataku setiba di rumah kontrakanku.
Ia merampas surat dan tanganku, membacanya sekilas, lalu
meloncat-locat gembira.
“Alhamdullilah, finally! Cicik (paman), kita akan berangkat ke
Eryn telah menemukan kasusnya. Seorang dokter senior profesor
tepatnya yang menjadi staf ahli di rumah sakit jiwa Sungai Liat
memberi tahu bahwa kasus langka yang dicari Eryn ditemukan di
sana. Dokter itu juga mengatakan bahwa kasus itu banyak diincar
para ilmuwan, termasuk beberapa kandidat Ph.D. untuk diteliti, tapi
Eryn diprioritaskan karena prestasi kuliahnya.
Eryn memintaku cuti untuk mengantarnya ke rumah sakit jiwa
itu. Apa dayaku menolak, bukankah semuanya memang untuk
mendukung dirinya. Lagi pula Sungai Liat ada di Pulau Bangka,
tetangga Pulau Belitong. Kami akan sekalian pulang kampung
Rumah sakit jiwa Sungai Liat sudah sangat tua. Orang Belitong
menyebutnya Zaal Batu. Barangkali zaman dulu dinding ruang
perawatannya adalah batu. Karena di Belitong tidak ada rumah
sakit jiwa bahkan sampai sekarang maka orang Belitong yang
mentalnya sakit parah sering dikirim melintasi laut ke rumah sakit
jiwa in Karena itu Zaal Batu bagi orang Belitong selalu memberi
kesan sesuatu yang mendirikan bulu kuduk, kelam, sakit, dan putus
Sore itu mendung ketika kami tiba di Zaal Batu. Suara azan ashar
bersahut-sahutan lalu sepi pun mencekam. Kami memasuki gedung
tua berwarna serba putih dengan plafon tinggi dan pilar-pilar. Lalu
kami melewati sebuah selasar panjang berlantai ubin tua berwarna
cokelat dan bermotif jajaran genjang simetris,
Beberapa jambangan bunga model lama gaya Belanda bederet-
deret di sepanjang selasar itu. Pemandangan lainnya tak berbeda
dengan rumah sakit jiwa lainnya. Pintu-pintu besi dengan gembok
besar, kamar obat berisi botol-botol pendek, bau karbol, meja
beroda, para perawat yang berpakaian serba putih, dan para pasien
yang berbicara sendiri atau memandang aneh. Terdengar lamatlamat suara cekikikan dan teriakan beberapa kelompok pasien yang
sedang bercanda dengan para perawat di halaman rumah sakit yang
Setelah melewati selasar kami berhadapan dengan sebuah pintu
jeruji yang dikunci dengan lilitan rantai dan digembok. Kami terhenti
di situ. Seorang perawat pria tergopoh-gopoh menghampiri kami. Ia
tahu kami sedang ditunggu, ia membuka pintu. Kami masuk
melintasi sebuah ruangan panjang. Ruangan yang terkunci rapat ini
menampung beberapa pasien.
Mereka mengikuti gerakgerik kami dengan teliti.
Eryn tak berani jauh-jauh dari perawat tadi. Aku tak takut tapi
sedih melihat penderitaan jiwa mereka. Suasana di sini mencekam.
Banyak pasien berusia lanjut dan meskipun kelihatan sehat tapi kita
segera tahu bahwa orang-orang ini sangat terganggu kewarasannya.
Pandangan matanya penuh tekanan, kesedihan, dan beban,
Beberapa di antaranya bersimpuh di Iantai atau mengguncangguncang jerejak besi di jendela.
Aku memerhatikan beberapa wajah para pasien di balik
batangan jeruji besi. Perlahan-lahan batangan jeruji itu bergerak
sendiri benselang seling. Wujudnya menjelma menjadi puluhan
pasang kaki manusia. Di sela-sela kaki itu kulihat wajah yang telah
sangat lama kukenal. Kesedihan rumah sakit jiwa ini membuka
ruangan gelap di kepalaku, tempat Bodenga bersembunyi.
Kami kembali terhenti di depan sebuah pintu besi. Kali ini pintu
besi dua lapis. Setelah rantai dibuka kami memasuki ruangan
berupa lorong yang panjang. Sisi kin kanan lorong adalah kamarkamar perawatan. Suasana di lorong ini sunyi senyap. Sebagian
besar kamar kosong dengan pintu terbuka. Kamar yang diisi pasien
tertutup rapat. Lamat-lamat terdengar suara orang meratap dan
balik pintu-pintu tertutup itu.
Aku mendengar suara langkah sepatu yang bergema dalam
kesepian ruangan. Seorang pria berusia enam puluhan mendekati
kami. Beliau tersenyum. Wajahnya tenang, bersih, dan bening,
tipikal wajah yang sering tersiram air wudu. Jemari tangannya
menggulirkan biji-biji tasbih, beliau mengucapkan asma-asma Allah,
beliau membuatku sangat segan, seorang intelektual yang rendah
hati sekaligus yang taat beragama. Profesor ini memiliki dua kualitas
agung tersebut. Dengan sangat santun beliau menyatakan terima
kasih atas kedatangan kami. Namanya Profesor Van.
“ini kasus mother complex yang sangat ekstrem ...,‘ kata profesor
itu dengan suara berat, itu seakan ikut merasakan penderitaan
‘Tiga puluh delapan tahun di bidang ini baru kali ini aku
menjumpai hal semacam in Anak muda ini sedikit pun tak bisa lepas
dan ibunya. Jika bangun tidur tidak melihat ibunya ia menjerit-jerit
histeris. Ketergantungan yang kronis ini menyebabkan ibunya
sendiri sekarang hampir terganggu jiwanya. Mereka telah menghuni
tempat ini hampir selama enam tahun ....“
Aku tersentak miris mendengar penjelasan beliau , Eryn sendiri
terperanjat. Ia berusaha menguatkan diri mendengar kenyataan
yang menghancurkan hati itu. Aku menatap wajah Profesor Van, Ia
adalah dokter jiwa yang amat berpengalaman tapi jelas ia prihatin
dan terpengaruh dengan kasus ini. Di sisi lain aku kagum pada
psikologi dan orang orang yang mendedikasikan hidupnya pada
Penjelasan Profesor Van melekat dalam pikiranku , Aku
merinding karena merasa getir pada nasib anak beranak itu. Anak
muda yang malang. Ibunya yang tadinya sehat terpaksa hidup tidak
normal. Orangtua mana yang mampu menolak kasih sayang
anaknya, meskipun rasa sayang itu berlebihan? Mungkin ia lebih
rela gila daripada membiarkan anaknya berteriak-teriak
memerlukannya sepanjang waktu. Mereka berdua pasti amat
menderita. Enam tahun terpuruk di sini, betapa mengerikan.
Kadangkadang nasib bisa demikian kejam pada manusia. Siapakah
anak beranak yang malang itu?
Profesor Van membimbing kami menyelusuri lorong tadi menuju
sebuah pintu paling ujung. Di sana ada ruangan terpencil dan
menyendiri. Beliau membuka pintu pelan-pelanm. Aku gugup
membayangkan pemandangan yang akan kulihat. Akankah aku
kuat menyaksmkan penderitaan seberat itu? Apa sebaiknya aku
menunggu di luar saja? Tapi Profesor Van telanjur membuka pintu.
Engsel pintu ber-decit panjang, menimbulkan rasa gamang.
Kami berdiri di ambang pintu. Ruangan itu luas, tak berjendela,
dan dindingnya polos tinggi berwarna putih. Tak ada lukisan atau
jambangan bunga. Begitu sepi, tak ada suara satu pun. Penerangan
hanya berasal dan sebuah bohlam dengan kap rendah sehingga
plafon menjadi gelap. Ruangan ini suram, penuh nuansa kepedihan
dan keputusasaan. Dalam sorot lampu tak tampak perabot apa pun
kecuali sebuah bangku panjang kecil nun jauh di sudut ruangan.
Dan di bangku panjang itu, kira-kira lima belas langkah dan
kami, duduk berdua rapat-rapat kedua makhluk malang itu, seorang
ibu dan anaknya. Gerak-gerik mereka gelisah, seperti tempat itu
sangat asing dan mengancam mereka. Mereka seakan memelas,
memohon agar diselamatkan.
Dalam cahaya lampu yang samar tampak sang anak berpostur
tinggi dan sangat kurus, rambutnya panjang dan menutupi sebagian
Jambang, alis, dan kumisnya tebal tak teratur. Kulitnya putih. Air
mukanya menimbulkan perasaan iba yang memilukan. Ia
berpakaian rapi, bajunya adalah kemeja putih lengan panjang,
celananya berwarna gelap, dan sepatu kulitnya bersih mengilap.
Usianya kurang lebih tiga puluhan. Ia ketakutan, Sorot matanya
yang teduh melirik ke kin dan ke kanan. Ia gugup dan sering
menarik napas panjang.
Ibunya kelihatan puluhan tahun lebih tua dan usia
sesungguhnya. Pancaran matanya menyimpan kesakitan yang
parah dan caranya menatap menjalarkan rasa pedih yang dalam.
Lingkaran di sekeliling matanya berwarna hitam dan ia amatlah
kurus. Daya hidup telah padam dalam dirinya. Ia memakai sandal
jepit yang kebesaran dan tampak menyedihkan. Wajahnya jelas
memperlihatkan kerisauan yang amat sangat dan tekanan jiwa yang
Mereka berdua melihat kami sepintas-sepintas tapi kebanyakan
menunduk. Sang anak mengapit lengan ibu-nya. Ketika kami
masuk, ia semakin merapatkan dirinya pada ibunya. Aku tak
sanggup menanggungkan pemandangan memilukan ini. Tanpa
kusadari air mataku mengalir. Eryn pun ingin menangis tapi ia
berupaya keras menjaga sikap profesional sebaqai seorang peneliti.
Aku tak tahan me-lihat anak beranak dengan cobaan hidup seberat
ini, Mereka seperti dua makhluk yang terjerat, cidera, dan tak
berdaya. Aku minta diri keluar dan ruangan yang menyesakan dada
Hampir selama satu setengah jam Eryn dibantu oleh profesor
yang baik itu dalam melakukan semacam wawancara pendahuluan
dengan kedua pasien malang itu. Dan pintu yang tenbuka aku dapat
melihat mereka berempat duduk di bangku tersebut. Kedua pasien
itu masih terlihat gelisah.
Kemudian wawancara pun selesai dan Eryn memberi isyarat
padaku untuk berpamitan pada ibu dan anak itu. Aku masuk lagi ke
ruangan, mencoba tersenyum seramah mungkin walaupun hatiku
hancur membayangkan penderitaan mereka. Aku menyalami
keduanya. Kali ini Eryn tak sanggup menahan air matanya. Lalu
pelan-pelan kami pamit keluar ruangan.
Profesor Van dan Eryn berjalan di depanku. Mereka terlebih
dahulu keluar ruangan, sementara aku yang keluar terakhir meraih
gagang pintu dan menutupnya. Tepat pada saat itu aku terperanjat
karena mendengar seseorang me-mang-gil namaku.
“Ikal ...,“ suara lirih itu berucap.
Eryn dan Profesor Van kaget. Mereka terheran-heran, apa-lagi
aku. Kami saling berpandanqan. Tak ada orang lain di ruangan itu
kecuali kami bertiga dan kedua makhluk malang tadi. Dan jelas
suara itu berasal dan ruangan yang ba-ru saja kututup. Kami
berbalik, tapi ragu, maka aku tak segera membuka pintu.
“Ikal •..,“ panggilnya lagi.
“Mereka memanggil Cicik!’ teriak Eryn menatapku takjub.
Salah seorang dan pasien itu jelas memanggilku.
Aku memutar gagang pintu dan menghambur ke dalam.
Kuhampiri mereka dengan hati-hati. Dalam jarak tiga meter aku
berhenti. Mereka berdua bangkit. Aku mengamati mereka baik-baik,
berusaha keras mengenali kedua tubuh ringkih yang berdiri saling
mencengkeram lengan masing-masing dengan jan-jan yang kurus
tak terawat. Rambut sang ibu yang kelabu terjuntai panjang
semrawut menutupi kedua matanya yang cekung dan berwarna
abuabu. Pipi anaknya basah karena air mata yang mengalir pelan.
Air matanya itu berjatuhan ke lantai. Bibirnya yang pucat bergetar
mengucapkan namaku berkali-kali, seakan ia telah bertahun-tahun
menu n gg u k u, tangannya menjangkau - jangkau. Ibunya terisakisak dan menutup wajah de-ngan kedua tangannya. Aku tak mampu
berkata apa pun dan masih diliputi tanda tanya. Namun, tepat
ketika aku maju selangkah untuk mengamati mereka lebih dekat si
anak menyibakkan rambut panjang yang menutupi wajahnya dan
pada saat itu aku tersentak tak alang kepalang.
Aku terkejut luar biasa. Kurasakan seluruh tubuhku menggigil.
Rangka badanku seakan runtuh dan setiap persendian di tubuhku
seakan terlepas. Aku tak percaya dengan pemandangan di depan
mataku. Aku merasa kalut dan amat pedih. Aku ingin berteriak dan
meledakkan tangis. Aku mengenal dengan baik kedua anak beranak
yang malang itu. Mereka adalah Trapani dan ibunya.
Satu titik dalam relativitas waktu:
Saat inilah masa depan itu..!
TOKO Sinar Harapan tak banyak berubah, masih amburadul
Ketika bus reyot yang membawaku pulang kampung melewati
toko itu, di sebelahnya aku melihat toko yang bernama Sinar
Perkasa. Di situ ada seorang laki-laki yang menarik perhatianku.
Pria itu agaknya seorang kuli toko. Badannya tinggi besar dan
rambutnya panjang sebahu diikat seperti samurai. Lengan bajunya
digulung tinggi-tinggi. Ia sengaja memperlihatkan otot-ototnya. Tapi
wajahnya sangat ramah dan tapaknya ia senang sekali menunaikan
tugasnya. Belanjaan yang dipanggul kuli ini tak tanggungtanggung:
dua karung dedak di punggungnya, ban sepeda dikalungkan di
Iehernya, dan plastik-plastik kresek serta tas-tas belanjaan
bergelantungan di lengan kin kanannya. Ia seperti toko kelontong
Di belakangnya berjalan terantuk-antuk seorang nyonya gemuk
yang memborong segala macam barang itu.
Setelah memuat belanjaan ke atas bak sebuah mobil pikap, pria
bertulang besi tadi menerima sejumlah uang. Ia mengucapkan
terima kasih dengan menunduk sopan lalu kembali ke tokonya.
Toko berjudul Sinar Perkasa itu, sesuai sekali dengan penampilan
kulinya. Pria itu menyerahkan uang tadi kepada juragan toko yang
kemudian mengibas-ngibaskan uang itu ke barang-barang
daganqannya lalu mereka berdua tertawa lepas layaknya dua
sahabat baik. Wajah keduanya tak lekang dimakan waktu.
Aku tersenyum mengenang nostalgia di Toko Sinar Harapan dan
teringat bahwa dulu aku pernah memiliki cinta yang ternyata tak
hanya sedalam lubuk kaleng-kaleng cat yang sampai sekarang masih
berjejal-jejal di situ. Aku juga merasa beruntung telah menjadi orang
yang pernah mengungkapkan cinta, Masih terasa indahnya sampai
sekarang. Merasa beruntung karena kejadian itu merupakan tonggak
bagaimana secara emosional aku telah berevolusi. Dan agaknya
cinta pertamaku dulu amat berkesan karena ia telah
melambungkanku ke puncak kebahagiaan sekaligus membuatku
menggelongsor karena patah hati di antara keranjang buah
mengkudu busuk di toko itu.
Kita dapat menjadi orang yang skeptis, selalu
curiga, dan tak gampang percaya karena satu orang pernah
menipu kita. Tapi ternyata dengan satu kasih yang tulus lebih dan
cukup untuk mengubah seluruh persepsi tentang cinta. Paling tidak
itu terjadi padaku. Meskipun kemudian setelah dewasa beberapa
kali cinta memperlakukan aku dengan amat buruk, aku tetap
percaya pada cinta. Semua itu gara-gara wanita berparas kuku ajaib
di Toko Sinar Harapan itu. Kemanakah gerangan dia sekarang? Aku
tak tahu dan tak mau tahu. Gambaran cinta seindah lukisan taman
bunga karya Monet itu biarlah seperti apa adanya. Kalau aku
menjumpai A Ling lagi bisa-bisa citra lukisan itu pudar karena
mungkin saja A Ling sekarang adalah A Ling dengan parises, selulit,
pantat turun, susu kempes, gemuk, perut buncit, dan kantong mata.
Ia dulu adalah venus dan Laut Cina Selatan dan aku ingin tetap
mengenangnya seperti itu.
Aku mengeluarkan dan tasku buku Seandainya Mereka Bisa
Bicara yang dihadiahkan A Ling padaku sebagai kenangan cinta
pertama kami. Bus reyot yang terlonjak-lonjak karena jalan yang
berlubanglubang membuat aku tak dapat membacanya. Ketika jarak
antara bus dan Toko Sinar Harapan perlahan mengembang aku
merasa takjub bagaimana lingkaran hidup merupakan jalinan aksi
dan reaksi seperti postulat Isaac Newton atau hidup tak ubahnya sekotak cokelat seperti kata Forest Gump. Jika membuka kotak cokelat
kita tak ‘kan dapat menduga rasa apa yang akan kita dapatkan dan
bungkus-bungkus plastik lucu di dalamnya. Sebuah benda kecil
yang tak penting atau suatu kejadian yang sederhana pada masa
yang amat lampau dapat saja menjadi sesuatu yang kemudian
sangat memengaruhi kehidupan kita.
Buku itu kugenggam erat di atas pangkuanku dan aku segera
menyadari bahwa seluruh kehidupan dewasaku telah terinspirasi
oleh buku kumal yang selalu kubawa ke mana-mana itu, Dulu ketika
frustrasi karena berpisah dengan A Ling maka pesona Desa
Edensor, Taman Daffodil dan jalan pasar berlandaskan batu-batu
bulat, serta hamparan sabana di bukit-bukit Derbyshire telah
menghiburku. Kemudian pada masa dewasa ini ketika kehidupanku
di Bogor berada pada titik terendah aku perlahan-lahan bangkit juga
karena semangat yang dipancarkan oleh Herriot, sang tokoh utama
buku itu. Seperti ajaran Pak Harfan, Bu Mus, dan Kemuhammadiyahan, Herriot juga mengajariku tentang optimisme dan
bagaimana aku harus berjuang untuk meraih masa depanku.
Seminggu setelah kulemparkan naskah bulu tangkisku ke Kali
Ciliwung aku membaca sebuah pengumuman beasiswa pendidikan
lanjutan dan sebuah negara asing. Aku segera menyusun rencana C,
yaitu aku ingin sekolah lagi! Kemudian setelah itu tak ada satu menit
pun waktu kusiasiakan selain untuk belajar. Aku membaca
sebanyak-banyaknya buku. Aku membaca buku sambil menyortir
surat, sambil makan, sambil minum, sambil tiduran mendengarkan
wayang golek di radio AM. Aku membaca buku di dalam angkutan
umum, di dalam jamban, sambil mencuci pakaian, sambil dimarahi
pelanggan, sambil disindir ketua ekspedisi, sambil upacara Korpri,
sambil menimba air, atau sambil memperbaiki atap bocor. Bahkan
aku membaca sambil membaca, Dinding kamar kostku penuh
dengan grafiti rumus-rumus kalkulus, GMAT, dan aturan-aturan
tenses. Aku adalah pengunjung perpustakaan LIPI yang paling rajin
dan shift sortir subuh yang dulu sangat kubenci sekarang malah
kuminta karena dengan demikian aku dapat pulang lebih awal untuk
belajar di rumah. Jika beban pe-kerjaan demikian tinggi aku
membuat resume bacaanku dalam kertas-kertas kecil, inilah teknik
jembatan keledai yang dulu diajarkan Lintang padaku. Kertas-kertas
kecil itu kubaca sambil menunggu ketua 05 menurunkan kantongkantong surat dan truk.
Di rumah aku belajar sampai jauh malam dan penyakit insomnia
ternyata malah mendukungku. Aku adalah penderita insomnia yang
paling produktif karena saat-saat tak bisa tidur kugunakan untuk
membaca. Jika kelelahan belajar aku melakukan penyegaran mental
yaitu kembali membuka buku Seandainya Mereka Bisa Bicara dan
di sana kutemukan bagaimana Herriot menghadapi kesulitan
membuktikan dirinya di depan para petani Derbyshire yang sangat
skeptis, keras kepala, dan antiperubahan. Dan buku itu juga aku
merasakan angin pagi lembah Edensor yang dingin bertiup merasuki
dadaku yang sesak setelah menyelusup di antara dedaunan astuaria.
Membaca semua itu semangatku kembali terpompa dan hatiku
semakin bening slap menerima pelajaran-pelajaran baru.
“Aku harus mendapatkan beasiswa itu!” demiklan kataku dalam
hati setiap berada di depan kaca. Aku benar-benar bertekad
mendapatkan beasiswa itu karena bagiku ia adalah tiket untuk
meninggalkan hidupku yang terpuruk. Lebih dan itu aku merasa
berutang pada Lintang, A Ling, Pak Harfan, Bu Mus, Laskar
Pelangi, Sekolah Muhammadiyah, dan Herriot.
Kemudian tes demi tes yang mendebarkan berlang-sung selama
berbulan-bulan, diawah dengan sebuah tes pe-nyaringan pertama di
sebuah stadion sepak bola yang dipenuhi peserta. Hampir tujuh
bulan kemudian aku berada pada tahap yang disebut penentuan
terakhir. Penentuan terakhir merupakan sebuah wawancara di
sebuah lembaga yang hebat di Jakarta.
Wawancara akhir ini dilakukan oleh seorang mantan menteri
yang berwajah tampan tapi senang bukan main pada rokok.
“Disgusting habit!” Sebuah kebiasaan yang menjijikkan, kata
Morgan Freeman dalam sebuah film.
Aku mengenakan pakaian rapi dan untuk pertama kalinya.
Berdasi, memakai sedikit minyak wangi, dan menyemir sepatu.
Pulpen di saku dan kubawa map yang tak tahu berisi apa. Aku telah
menjadi tipikal orang muda yang spekulatif. Sebuah pemandangan
yang menyedihkan sesungguhnya.
Bapak perokok itu memanggilku, mempersila kan duduk di
depannya, dan mengamatiku dengan teliti. Barangkali ía berpikir
apakah anak kampung ini akan bikin malu tanah air di negeri orang.
Lalu ia membaca motivation letterku yaitu suatu catatan alasan dan
berbagai aspek yang dibuat peserta mengapa ia merasa patut diberi
Mantan menteri itu mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu ajaib
sekali! Ia sama sekali tidak mengeluarkan kembali asap rokok itu.
Rupanya asap itu diendapkannya sebentar di dalam rongga
dadanya. Matanya terpejam ketika menikmati racun nikotin lalu
disertai sebuah senyum puas yang mengerikan ia mengembuskan
asap rokok itu dekat sekali dengan wajahku. Mataku perih, aku
menahan batuk dan ingin muntah tapi apa dayaku, laki-laki di
depan-ku ini memegang tiket masa depanku dan tiket itu amat
kuperlukan. Maka aku duduk bertahan sambil membalas
senyumnya dengan senyum basi ala pramugari sementara perutku
“Saya tertarik dengan motivation letter Anda, alasan dan cara
Anda menyampaikannya dalam kalimat Inggris sangat
mengesankan,” katanya.
Aku kembali tersenyum, kali ini senyum khas penjual asuransi.
“Belum tahu dia, orang Melayu lincah benar bersilat kata,” kataku
Lalu sang mantan menteri membuka proposal penelitianku yang
berisi bidang yang akan kutekuni, materi riset, dan topik tesis dalam
pendidikan beasiswa nanti.
“Ahhhh, ml juga menarik ....“
Ia ingin melanjutkan kata-katanya tapi agaknya rokok yang
sangat dicintainya itu lebih penting maka ia kembali memenuhi
dadanya dengan asap. Aku berani bertaruh jika dirontgen maka
rongga dada dan seluruh isinya pasti telah berwarna hitam, Bapak
ini terkenal sangat pintar bukan hanya di dalam negeri tapi juga di
luar negeri, sumbangannya tak kecil untuk bangsa ini, tapi
bagaimana ia bisa menjadi demikian bodoh dalam persoalan rokok
“Hmmm ... hmmm ... sebuah topik yang memang patut dipelajari
lebih jauh, menarik sekali, siapa yang membimbing Anda menulis
ini?” beliau tersenyum lebar dan asap masih mengepul di mulutnya.
Aku tahu pertanyaan itu retoris., tak memerlukan jawaban,
karena dia tahu seseorang tak mungkin dibimbing untuk membuat
proposal tersebut, maka aku hanya tersenyum.
“Bu Mus, Pak Harfan, Lintang, Sekolah Muhammadiyah, A Ling,
dan Herriot!” Itulah jawaban yang tak kuucapkan.
“Saya telah lama menunggu ada proposal riset semacam i,
ternyata datang dan seorang pegawai kantor pos! Ke mana kau
pergi selama ini anak muda?”
Kembali retoris dan aku kembali tersenyum. “Edensor!” Bisik
Maka tak lama kemudian aku telah menjadi mahasiswa,
Meskipun hanya langkah kecil aku merasa telah membuat sebuah
kemajuan dan sekarang aku dapat menilai hidupku dan perspektif
yang sama sekali berbeda, Aku lega terutama karena aku telah
membayar utangku pada Sekolah Muhammadiyah, Bu Mus, Pak
Harfan, Lintang, Laskar Pelangi, A Ling, bahkan Herriot dan
Edensor. Setiap titik yang aku singgahi dalam hidupku selalu
memberiku pelajaran berharga. Sekolah Muhammadiyah dan
persahabatan Laskar Pelangi telah membentuk karakterku, A Ling,
Herriot, dan Edensor telah mengajariku optimisme dan
menunjukkan bahwa jalinan nasib dapat menjadi begitu
menakjubkan. Kemudian, meskipun aku tidak menyukai pekerjaan
sortir, tapi orang-orang hebat kawan sekerja di kantor Pos Bogor
telah mengajariku arti integritas bagi sebuah badan usaha dan
makna dedikasi pada pekerjaan pos yang mulia, yaitu mengemban
ADA orang-orang tertentu yang memendam cinta demikian rapi.
Bahkan sampai mereka mati, sekerling pun me-reka tak pernah
memperlihatkan getar hatinya. Cinta mereka sesepi stambul lama
nan melankolis dengan pengarang yang tak pernah dikenal, Jika
malam tiba mereka mendengus-dengus meratapi rindu, menampar
muka sen-diri karena jengkel tak berani mendeklarasikan cinta yang
menggelitik perutnya.
Cintanya tak pernah terungkap karena ngeri membayangkan
rismko ditolak. Lama-lama, seperti seorang narsis, mereka
menyukai mencintai seseorang di dalam hatinya sendiri. Cinta
satu sisi, indah tapi merana tak terperi. Mereka hidup dalam
Mengungkapkan cinta agaknya mengandung daya tank paling
misterius dan cinta itu sendiri. Itulah yang dirasakan A Kiong selama
Hampa karena cinta dan kecewa pada masa depan membuat A
Kiong sempat menjalani hidup sebagai seorang agnostik, yaitu orang
yang percaya kepada Tuhan tapi tidak memeluk agama apa pun,
oleh karena itu ia tidak pernah beribadah. Ia mendaki puncak bukit
keangkuhan di dalam hatinya untuk berteriak lantang menentang
segala bentuk penyembahan. Ia berkelana mengamati agama demi
agama, terombang ambing dalam kebingungan tentang keyakinan
dan konsep keadilan Tuhan. Hari demi hari ia semakin sesat. Ia kafir
Namun, menjelang dewasa ia mengalami suatu masa di saat
setiap mendengar suara azan ia sering disergap perasaan sepi nan
indah yang menyelusup ke dalam kalbunya, membuatnya terpaku,
dan melelehkan air matanya. Panggilan shalat itu mengembuskan
rasa hampa yang menyuruhnya merenung. Ia cemas serasa akan
mati esok pagi. Ia merenung dan pada suatu hari dengungan azan
magrib membuatnya berputar seperti gasing, perutnya naik
memuntahkan seluruh makanan dan minuman haram dan lipatanlipatan ususnya, ia terjerembap tak berdaya seakan tulang
belulangnya hancur dihantam palu godam. Air matanya berlinang
tak terbendung. Ia merangkak-rangkak memohon ampunan. Ia
telah dipilih oleh Allah untuk diselamatkan. A Kiong, makhluk
pendusta agama ini, bagian dan sebagian kecil orang yang amat
beruntung, mendapat magfirah.
Ia memeluk Islam, disunat, dan mengucapkan kalimat syahadat
disaksikan Pak Harfan dan Bu Mus. Bu Mus menganugerahkan
sebuah nama untuknya: “Muhammad Jundullah Gufron Nur
Zaman”, Nama yang sangat hebat. Artinya tentara Allah, orang
yang mendapat ampunan dan cahaya. A Kiong tinggal sejarah,
bagian dan sebuah masa lalu yang gelap. Ia segera menjadi muslim
yang taat. Hidupnya tenang, namun kesepian sepanjang malam
Penerima cahaya ini menceritakan dengan sepenuh jiwa
kepadaku bahwa yang merisaukannya itu adalah cinta yang telah
disimpannya sangat lama. Cinta yang tak terungkap. Tak seorang
pun tahu kalau Nur Zaman selama ini telah menjadi seekor
pungguk. Wanita itu, katanya, telah membuat malam-malamnya
“Aku lemas karena paru-paruku basah digenangi air mata rindu,°
demikian ungkapan perasaannya padaku. Laki-laki berkepala kaleng
kerupuk ini bisa juga puitis.
“Berhari-hari terperangkap dalam bingkai kaca seraut wa-jah
yang sama, tak dapat lagi kupikirkan lagi hal-hal lain. Setiap melihat
cermin yang terpantul hanya wajahnya. Aku tak mau makan, tak
bisa tidur ...,“ kenangnya. Romantis laksana opera sabun, sekaligus
lucu dan menyedihkan.
Lalu setelah belasan tahun mengumpulkan keberanian, pada
suatu malam, dengan basmallah, ia menjumpai wanita itu dan
langsung, di depan orangtuanya, menyatakan keinginannya
melamar. Ia pasrahkan semua keputusan kepada Allah. Ia siap
hijrah ke Kanton naik kapal barang jika ditolak. Ternyata wanita itu
juga telah lama diam-diam menaruh hati padanya. Terberkatilah
mereka yang berani berterus terang. Wanita itu adalah Sahara.
Sekarang mereka sudah punya anak lima dan membuka toko
kelontong dengan judul Sinar Perkasa tadi. Mereka mempekerjakan
seorang kuli dan memperlakukannya sebagai sahabat. Kulinya
adalah pria raksasa berambut sebahu seperti samurai itu, tak lain
adalah Samson, Jika waktu luang mereka bertiga mengunjungi
Harun. Harun bercerita tentang kucingnya yang berbelang tiga,
melahirkan anak tiga, semuanya berbelang tiga, dan kejadian itu
terjadi pada tanggal tiga. Sahara mendengarkan penuh perhatian.
Kalau dulu Harun adalah anak kecil yang terperangkap dalam tubuh
orang dewasa, sekarang ia adalah orang dewasa yang terperangkap
dalam alam pikiran anak kecil.
“Aku mendapatkan kebahagiaan terbesar yang mungkin
didapatkan seorang pria,” kata Nur Zaman padaku.
Ingatkah akan kata-kata itu? Bukankah dulu kata-kata itu pernah
kuucapkan? Klise! Tidak, sama sekali tidak klise bagi Nur Zaman. Ia
adalah pria terhormat yang telah memanfaatkan dengan baik waktu
yang diberikan Tuhan. Ia berhasil menemukan kebenaran hakiki
melalui penderitaan pergolakan batin. Tuhan mencintai orang-orang
BUS reyot itu menurunkan aku di seberang jaIan di depan rumah
ibuku. Aku mendengar lagu Payuan Pulau Kelapa di RRI, yang
berarti warta berita pukul 12. Sebuah siang yang panas dan sunyi.
Dan kesunyian itu bubar oleh suara klakson panjang dan sebuah
mobil tronton kapasitas sepuluh ton, gardan ganda, bertenaga turbo,
dengan delapan belas ban berdiameter satu meter.
Seorang pria kecil terlonjak-lonjak di jok sopir. Ia terlalu kecil bagi
truk raksasa pengangkut pasir gelas ini.
“Pulang kampung juga kau akhirnya, Ikal. Hari yang sibuk!
Datanglah ke proyek,” teriaknya.
Aku melepaskan empat tas yang membebaniku tapi hanya
sempat melambaikan tangan. Ia pun pergi meninggalkan debu.
Esoknya aku berkunjung ke bedeng proyek pasir gelas sesuai
undangan sopir kecil itu. Bedeng itu memanjang di tepi pantai, tak
berpintu, lebih seperti kandang ternak. Inilah tempat beristirahat
puluhan sopir truk pasir yang bekerja siang malam bergiliran 24 jam
untuk mengejar tenggat waktu mengisi tongkang. Tongkangtongkang itu dimuati ribuan ton kekayaan bumi Belitong, tak tahu
dibawa ke mana, salah satu perbuatan kongkalikong yang
mengangkangi hak-hak warga pribumi.
Aku masuk ke dalam bedeng dan melihat ke sekeliling. Di tengah
bedeng ada tungku besar tempat berdiang melawan dingin angin
laut, Di pojok bertumpuk-tumpuk kaleng minyak solar, bungkus
rokok Jambu Bol, dongkrak, beragam kunci, pompa minyak, tong,
jerigen air minum, semuanya serba kuma? dan berkilat. Panci hitam,
piring kaleng, kotak obat nyamuk, kopi, dan ini instan berserakan di
lantai tanah. Selembar sajadah usang terhampar lesu. Sebuah
kalender bergambar wanita berbikini tergantung miring. Walaupun
sekarang sudah bulan Mei tak ada yang berminat menyobek
kalender bulan Maret, karena gambar wanita bulan Maret paling hot
dibanding bulan lainnya.
Pria yang kemarin menyapaku, yang menyetir tronton itu, salah
satu dan puluhan sopir truk yang tinggal di bedeng in duduk di atas
dipan, dekat tungku, berhadap-hadapan denganku. Ia kotor, miskin,
hidup membujang, dan kurang gizi, ia adalah Lintang.
Aku tak berkata apa-apa. Terlihat jelas ia kelelahan melawan
nasib. Lengannya kaku seperti besi karena kerja rodi tapi tubuhnya
kurus dan ringkih. Binar mata kepintaran dan senyum manis yang
jenaka itu tak pernah hilang walaupun sekarang kulitnya kering
berkilat dimakan minyak. Rambutnya semakin merah awut-awutan.
Lin- tang dan keseluruhan bangunan ini menimbulkan rasa iba, iba
karena kecerdasan yang sia-sia terbuang.
Aku masih diam. Dadaku sesak. Bedeng ini berdin di atas tanah
semacam semenanjung, daratan yang menjorok ke laut. Aku
mendengar suara Bum .! Bum ,..! Bum ...! Aku melihat ke luar
jendela sebelah kananku.
Sebuah tugboat, penarik tongkang meluncur pelan di samping
bedeng. Suara motor tempel yang nendang menggetarkan tiangtiang
bedeng dan asap hitam mengepul tebal. Gelombang halus yang
ditimbulkan tugboat tersebut memecah tepian yang berkilat seperti
permukaan kaca berwarna-warni karena digenangi minyak.
Kupandangi terus tugboat yang melaju dan sekejapaku merasa
tugboat itu tak bergerak tapi justru aku dan bedeng itu yang
Lintang yang dan tadi mengamatiku membaca pikiranku.
“Einstein is simultaneous relativity” katanya memulai
Kerinduannya pada bangku sekolah tentu membuatnya perih.
Aku juga tersenyum. Aku mengerti ia tidak mengalami apa yang
secara imajiner baru saja aku alami. Dua orang melihat objek yang
sama dan dua sudut pandang yang berbeda maka pasti mereka
memiliki persepsi yang berbeda. Oleh karena itu, Lintang
menyebutnya simultan. Sebuah konteks yang relevan dengan
perspektifku melihat hidup kami berdua sekarang.
Tak lama kemudian aku mendengar lagi suara bum! Bum! Bum!
Kali ini sebuah tugboat yang lain meluncur pelan dan arah yang
berlawanan dengan arah tugboat yang pertama tadi. Buritan
tugboat yang pertama belum habis melewatiku maka aku menoleh
ke kin dan ke kanan membandingkan panjang ke dua tugboat yang
melewatiku secara berlawanan arah.
Lintang mengobservasi penilakuku. Aku tahu ia kembali
membaca isi kepalaku, keahliannya yang selalu mem-buatku
“Paradoks ...,“ kataku.
“Relatif ...,“ kata Lintang tersenyum.
Aku menyebut paradoks karena ukuran yang kupen-kinakan
sebagai subjek yang diam akan berbeda dengan ukuran orang lain
yang ada di tugboat meskipun untuk tugboat yang sama.
“Bukan, bukan paradoks, tapi relatif,” sanggah Lintang.
“Ukuran objek bergerak dilihat oleh subjek yang diam dan
bergerak membuktikan hipotesis bahwa waktu dan jarak tidaklah
mutlak tapi sebaliknya relatif, Einstein membantah Newton dengan
pendapat itu dan itulah aksi oma pertama teori relativitas yang
melambungkan Einstein.”
Ugghh, Lintang! Sejak kecil aku tak pernah punya kesempatan
sedikit pun untuk berhenti mengagumi tokoh di depanku ini, Mantan
kawanku sebangku yang sekarang menjadi penghuni sebuah bedeng
kuli ternyata masih sharp! Walaupun bola mata jenakanya telah
menjadi kusam seperti kelereng diamplas namun intuisi
kecerdasannya tetap tajam seperti alap-alap mengintai anak ayam.
Aku beruntung sempat bertemu dengan beberapa orang yang
sangat genius tapi aku tahu Lintang memiliki bakat genius yang jauh
Aku termenung lalu menatapnya dalam-dalam. Aku merasa amat
sedih. Pikiranku melayang membayangkan dia memakai celana
panjang putih dan rompi pas badan dan bahan rajutan poliester,
melapisi kemeja lengan panjang benwarna binu laut, naik mimbar,
membawakan sebuah makalah di sebuah forum ilmiah yang
terhormat. Makalah itu tentang terobosannya di bidang biologi
manitim, fisika nuklin, atau energi alternatif.
Mungkin ia lebih berhak hilir mudik keluar negeni, mendapat
beasiswa bergengsi, dibanding begitu banyak mereka yang mengaku
dininya intelektual tapi tak lebih dan ilmuwan tanggung tanpa
kontnibusi apa pun selain tugas akhin dan nilai-nilai ujian untuk
dininya sendini. Aku ingin membaca namanya di bawah sebuah
artikel dalam jurnal ilmiah. Aku ingin mengatakan pada setiap orang
bahwa Lintang, satu-satunya ahli genetika di Indonesia, orang yang
telah menguasai operasi pohon Pascal sejak kelas satu SMP, orang
yang memahami filosofi diferensial dan integral sejak usia demikian
muda, adalah munid perguruan Muhammadiyah, temanku
Namun, hari ini Lintang tennyata hanya seonang laki-laki kunus
yang duduk bensimpuh menunggu gilinan kenja nodi. Aku teningat
lima belas tahun yang lalu ia memejamkan matanya tak lebih dan
tujuh detik untuk menjawab soal matematika yang rumit atau untuk
meneriakkan Joan dArch! Merajai lomba kecerdasan, melejitkan
kepercayaan diri kami.
Kini ia terpojok di bedeng ini, tampak tak yakin akan masa
depannya sendiri. Aku sering berangan-angan ia mendapat
kesempatan menjadi orang Melayu pertama yang menjadi
matematikawan. Tapi anganangan itu menguap, karena di sini, di
dalam bendeng tak berpintu inilah Isaac Newtonku berakhir.
“Jangan sedih Ikal, paling tidak aku telah memenuhi harapan
ayahku agar tak jadi nelayan .,..“
Dan kata-kata itu semakin menghancurkan hatiku, maka
sekarang aku marah, aku kecewa pada kenyataan be-gitu banyak
anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi.
Aku mengutuki orang-orang bodoh sok pintar yang
menyombongkan diri, dan anak-anak orang kaya yang menyianyiakan kesempatan pendidikan.
ALASAN orang menenima profesi tertentu kadang-kadang sangat
luar biasa. Ada orang yang senang menjadi kondektur karena
hobinya jalanjalan keliling kota, ada yang gembira memandikan
gajah di kebun binatang karena hobinya main air, dan ada yang
selalu meminta tugas ke luar kota agar dapat sekian ama
meninggalkan istrinya. Tapi tak ada yang senang menyortir surat
untuk alasan apa pun. Oleh karena itu, ketika 10 karung surat
ditumpahkan di depanku untuk disortir sedangkan tambahan tenaga
yang kuminta berulang-ulang tak terpenuhi, aku langsung hengkang
meninggalkan meja sortir itu, tak pernah kembali.
Sebagian orang menduduki profesinya sekarang sesuai citacitanya, sebagian besar tak pernah sama sekali menduga bahwa ia
akan menjadi seperti apa adanya sekarang, dan sebagian kecil
memilih profesi karena pertemuan dengan seseorang.
Pertemuan dengan seseorang sering menjadi sebuah titik balik
nasib. Jika tak percaya, tanyakan itu pada Mahar, Flo, dan seluruh
anggota Societeit de Limpai. Pertemuan dengan Tuk Bayan Tula
dan pesan beliau yang berbunyi: “Jika ingin lulus ujian, buka buku,
belajar!” Ternyata menjadi kata-kata keramat yang mampu
memutar haluan hidup mereka.
Pada hari Sabtu, sehari sesudah Mahar membaca pesan Tuk,
kami bendesak-desakkan di jendela kelas menyaksikan Flo dan
Mahar menemui Bu Mus di bawah pohon filicium. Ketiga orang itu
berdiri mematung dan tak banyak bicara. Lalu tampak kedua anak
berandal itu bergantian men-cium tangan Bu Mus, guru kami yang
bersahaja. Per-seteruan lama telah benakhin dengan damai.
Keesokan harinya Mahar membubarkan Societeit de Limpai, dan
esoknya lagi, pada Senin pagi yang biasa saja, kami menerima
kejutan yang luar biasa, mengagetkan, dan amat mengharukan, Flo
datang ke sekolah mengenakan jilbab.
Mahar dan Flo berhasil lulus ujian caturwulan terakhir. Flo telah
berubah total. Ia dulu seorang wanita yang berusaha melawan
kodratnya namun akhirnya ia menjadi wanita sejati. Momentum
dalam hidupnya jelas terjadi karena pertemuan dengan seseorang.
Seseorang itu ada dua, yaitu Mahar dan Tuk Bayan Tula, Kejadian
itu telah memutarbalikkan hidupnya. Flo menempuh perguruan
tinggi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di universitas
Sriwijaya. Setelah lulus, ia menjadi guru TK di Tanjong Pandan dan
bercita-cita membangun gerakan wanita Muhammadiyah. Ia
menikah dengan seorang petugas teller bank BRI mantan anggota
Societeit, dan keinginan lama Flo untuk menjadi laki-laki dibayar
Allah dengan memberinya dua kali persalinan yang melahirkan
empat anak laki-laki yang tampan luar biasa dalam jarak hanya
setahun. Dua kali anak kembar!
Pesan Tuk Bayan Tula telah memberi pencerahan bagi para
anggota Societeit, bahwa tak ada yang dapat dicapai di dunia ini
tanpa usaha yang rasional. Sebuah pencerahan terang benderang
yang datang justru dan seorang tokoh dunia gelap, manusia separuh
pen, bahkan banyak yang menganggapnya manusia separuh iblis.
Para anggota Societeit adalah orang-orang biasa, miskin, dan
kebanyakan, namun mereka kaya raya akan pengalaman batin dan
petualangan penuh mara bahaya untuk mencari kebenaran hakiki.
Mereka memastikan setiap kesangsian, mem buktika
prasangka dan mitos-mitos, serta mengalami sendiri apa yang
hanya bisa diduga-duga orang. Mereka memuaskan sifat dasar
keingin tahuan manusia sampai batas akhir yang menguji
keyakinan. Mereka adalah orang-orang yang menjemput hidayah
dan tidak duduk termangumangu menunggunya.
Kini mereka menjadi orangorang Islam yang taat yang
menjauhkan diri dan syirik. Di bawah pemimpin baru, pemain organ
tunggal itu, mereka mem-bentuk perkumpulan yang aktif melakukan
dakwah dan mengislamkan komunitas-komunitas terasing di pulaupulauterpencil di perairan Bangka Belitong. Mereka laksana
manusia-manusia baru yang dilahirkan dan kegelapan dan kini
berjalan tegak di ladang ijtihad di bawah siraman air Danau Kautsar
yang membersihkan hati.
Tuk Bayan Tula sendiri tak ada kabar beritanya. Anggota
Societeit adalah manusia terakhir yang melihat beliau masih hidup.
Dalam kaar (peta laut) terakhir perairan Belitong yang dipetakan
oleh TNI AL, Pulau Lanun sudah tak tampak. Di perairan ini sering
sekali pulau-pulau kecil timbul dan tenggelam karena badai atau
ketidakstabilan permukaan air laut. Adapun pensiunan syah bandar
yang dulu mengumandangkan azan ketika anggota Societeit hampir
tewas dilamun badai sekarang menjadi muazin tetap di Masjid AlHikmah,
Nasib, usaha, dan takdir bagaikan tiga bukit biru samar-samar
yang memeluk manusia dalam lena. Mereka yang gagal tak jarang
menyalahkan aturan main Tuhan. Jika me-reka miskin mereka
mengatakan bahwa Tuhan, melalui takdir-Nya, memang
mengharuskan mereka miskin.
Bukit-bukit itu membentuk konspirasi rahasia masa depan dan
definisi yang sulit dipahami sebagian orang. Seseorang yang lelah
berusaha menunggu takdir akan mengubah nasibnya. Sebaliknya,
seseorang yang enggan mem-banting tulang menerima saja
nasibnya yang menurutnya tak ‘kan berubah karena semua telah
ditakdirkan. Inilah lingkaran iblis yang umumnya melanda para
pemalas. Tapi yang pasti pengalaman selalu menunjukkan bahwa
hidup dengan usaha adalah mata yang ditutup untuk memilih buahbuahan dalam keranjang. Buah apa pun yang didapat kita tetap
mendapat buah. Sedangkan hidup tanpa usaha ada-lah mata yang
ditutup untuk mencari kucing hitam di dalam kamar gelap dan
kucingnya tidak ada. Mahar memiliki bukti untuk hipotesis ini.
Ia hanya berijazah SMA. Nasibnya seperti Lintang. Mereka
adalah dua orang genius yang kemampuannya dinisbikan secara
paksa oleh tuntutan tanggung jawab pada keluarga. Mahar tak bisa
meninggalkan rumah untuk berkiprah di lingkungan yang lebih
mendukung bakatnya sejak ibunya sakit-sakitan karena tua. Sebagai
anak tunggal ia harus merawat ibunya siang malam karena ayahnya
Mahar pernah menganggur dan setiap hari, tanpa berusaha,
menunggu takdir menyapanya. Ia mengharapkan su-rat panggilan
dan Pemda untuk tenaga honorer. Ketika itu ia berpikir kalautakdir
menginginkannya menjadi se-orang guru kesenian maka ia tak perlu
melamar. Ternyata cara berpikir seperti itu tak berhasil.
Maka ia mulai berusaha menulis artikel-artikel kebudayaan
Artikelnya menarik bagi para petinggi lalu ia dipercaya membuat
dokumentasi permainan anak tradisional. Dokumentasi itu
berkembang ke bidang-bidang lain seperti kesenian dan bahasa
yang membuka kesem-patan riset kebudayaan yang luas dan
memungkinkannya menulis beberapa buku
Jika dulu ia tak menulis artikel maka ia tak ‘kan pernah menulis
buku. Melalui buku-buku itu ia tertakdirkan menjadi seorang
narasumber budaya. One thing leads to another, Dalam kasus
Mahar nasib adalah setiap deretan titik-titik yang dilalui sebagai
akibat dan setiap gerakan-gerakan konsisten usahanya dan takdir
adalah ujung titiktitik itu. Sekarang Mahar sibuk mengajar dan
mengor-ganisasi berbagai kegiatan budaya.
Tentu saja pekerjaan-pekerjaan itu tak mampu menyokong
nafkah ia dan ibunya maka honor kecil tapi rutin juga Mahar
peroleh dan orang pesisir yang meminta bantuannya melatih beruk
kelapa. Ia sangat ahli dalam bidang ini. Dalam tiga minggu
seekor beruk sudah bisa mengguncangguncang kelapa untuk
membedakan mana kelapa yang harus dipetik.
Lain pula cerita Syahdan. Syahdan yang kecil, santun, dan lemah
lembut agaknya memang ditakdirkan untuk menjadi pecundang
yang selalu menerima perintah. Jika kami membentuk tim ia pasti
menjadi orang yang paling tak penting. Ia adalah seksi repot, tempat
penitipan barang, pengurus konsumsi, pembersih, tukang
angkatangkat, dan jika makan paling belakangan. Ia adalah
kambing hitam tempat tumpahan semua kesalahan, dia tak pernah
sekalipun dimintai pertimbangan jika Laskar Pelangi mengambil
keputusan, lalu dalam lomba apa pun dia selalu kalah. Lebih dan itu
ia sangat menyebalkan karena sangat gagap teknologi. Ia sama
sekali tak bisa diandalkan untuk hal-hal berbau teknik, bahkan
hanya untuk membetulkan rantai sepeda yang lepas saja ia sering
tak becus. Cita-citanya untuk menjadi aktor sangat tidak realistis,
maka kami tak pernah berhenti menyadarkannya dan mimpi itu,
bahkan bertubi-tubi mencemoohnya.
Namun tak disangka di balik kelembutannya ternyata Syahdan
adalah seorang pejuang. Semangat juangnya sekeras batu satam.
Setelah SMA ia berangkat ke Jakarta. Dengan map di ketiaknya ia
melamar untuk menjadi aktor dan satu rumah produksi ke rumah
produksi lainnya, hanya bermodalkan satu hal: keinginan! Itu saja.
Aneh, setelah lebih dan setahun akhirnya ia benar-benar menjadi
Sayangnya sampai hampir tiga tahun berikutnya ia masih saja
seorang aktor figuran. Lalu ia bosan berperan sebagai figuran
makhluk-makhluk aneh: tuyul, setan, dan jin-jin kecil karena
tubuhnya yang mini dan berkulit gelap. Ia juga bosan menjadi
pesuruh ini itu di sebuah grup sandiwara tradisional kecil yang
sering manggung di pinggiran Jakarta. Tugas ini itu-nya itu antara
lain memikul genset dan mencuci layar panggung yang sangat besar.
Lebih dan semua itu, menjadi figuran dan pesuruh ternyata tak
mampu menghidupinya. Di tengah kemelaratannya Syahdan yang
malang iseng-iseng kursus komputer dan di tengah perjuangan
mendapatkan kursus itu ia nyaris menggelandang di Jakarta.
Di luar dugaan, orang lain umumnya mengetahui bakatnya
ketika masih belia tapi Syahdan baru tahu kalau ia berbakat
mengutak-atik program komputer justru ketika sudah dewasa.
Dengan cepat ia menguasai berbagai bahasa pemrograman dan
dalam waktu singkat ia sudah menjadi net-work designer. Tahun
berikutnya sangat mengejutkan. Ia mendapat beasiswa short course
di bidang computer net-work di Kyoto university, Jepang. Di sana ia
berhasil men-capai kualifikasm keahliannya dan menjadi salah satu
dan segelintir orang Indonesia yang memiliki sertifikat Sisco Expert
Network. Ia kembali ke Indonesia dan dua tahun kemudian
Syahdan, pria liliput putra orang Melayu, nelayan, jebolan sekolah
gudang kopra Muhammadiyah telah menduduki posisi sebagai
Information Technology Manager di sebuah perusahaan
multinasional terkemuka yang berkantor pusat di Tangerang. Dan
sudut pandang material Syahdan adalah anggota
Laskar Pelangi yang paling sukses. Ia yang dulu selalu menjadi
penerima perintah, tukang angkat-angkat, dan tak becus terhadap
sesuatu yang berbau teknik, kini memimpin divisi inovasi teknologi
dengan ratusan anak buah.
Namun Syahdan tak pernah menyerah pada cita-citanya untuk
menjadi aktor sungguhan. Suatu hari ía meneleponku tanpa salam
pembukaan dan tanpa basa-basi penutupan. Ia hanya mengatakan
ini dan tanpa sempat aku berkata apa-apa ia langsung menutup
“Kau dengar ini Ikal, aku ingin menjadi aktorfl”
Syahdan tak pernah melepaskan mimpinya karena ia adalah
DAN inilah yang paling menyedihkan dan seluruh kisah ini.
Karena tak selembar pun daun jatuh tanpa sepengetahuan Tuhan
maka tak absurd untuk menyamakan PN Timah dengan The Tower
of Babel di Babylonia. Sebuah analogi yang pas karena setelah
membentuk provinsi baru kawasan itu juga disebut Babel: Bangka
Pada tahun 1987 harga timah dunia merosot dan 16.000
USD/metriks ton menjadi hanya 5.000 USD/metriks ton dan dalam
sekejap PN Timah lumpuh. Seluruh fasilitas produksi tutup, puluhan
ribu karyawan terkena PHK.
Ketika berada di puncak komidi putar dulu, barangkali itu sebuah
kemunafikan, seperti halnya Babylonia, sebab Tuhan menghukum
keduanya dengan kehancuran berkeping-keping yang menghinakan.
Ternyata untuk musnah tak harus termaktub dalam Talmud. Tak
ada firasat sebelumnya, Perusahaan Gulliver yang telah berjaya
ratusan tahun itu mendadak lumpuh hanya dalam hitungan malam.
Maka Babel adalah inskripsi, sebuah prasasti peringatan bahwa
Tuhan telah menghancurkan dekadensi di Babylonia seperti Tuhan
menghancurkan kecongkakan di Belitong. Segera setelah harga
timah dunia turun, keadaan diperparah oleh ditemukannya sumber
suplai lain di beberapa negara, PN Timah pun megap-megap.
Orang Islam tidak diperbolehkan memercayai ramalan namun ingin
rasanya mengenang mimpi Mahar bertahun-tahun yang lalu di gua
gambar tentang kehancuran sebuah kekuatan besar di Belitong. Hari
ini mimpi meracau itu terbukti, Pemerintah pusat yang rutin
menerima royalti dan deviden miliaran rupiah tiba-tiba seperti tak
pernah mengenal pulau kecil itu. Mereka memalingkan muka ketika
rakyat Belitong menjerit menuntut ketidakadilan kompensasi atas
PHK massal. Habis manis sepah dibuang. Jargon persatuan dan
kesatuan menjadi sepi ketika ayam petelur telah menjadi mandul.
Belitong yang dulu biru berkilauan laksana jutaan ubur-ubur
Ctenopore redup laksana kapal hantu yang terapung-apung tak
tentu arah, gelap, dan sendirian.
Dalam waktu singkat Gedong berada dalam status quo. Warga
pribumi yang menahankan sakit hati karena kesenjangan selama
puluhan tahun, dan yang agak sedikit picik, menyerbu Gedong.
Para Polsus kocar-kacir ketika warga menjarah rumahrumah Victoria
mewah di kawasan prestisus tak bertuan itu. Laksana kaum proletar
membalas kesemena-menaan borjuis, mereka merubuhkan dinding,
menariki genteng, menangkapi angsa dan ayam kalkun, men-cabuti
pagar, mencuri daun pintu dan jendela, mencongkel kusen,
memecahkan setiap kaca, mengungkit tegel, dan membawa lan
Tanda-tanda peringatan “DILARANG MASUK BAGI YANG
TIDAK MEMILIKI HAK” diturunkan dan dibawa pulang untuk
dijadikan koleksi seperti cinderamata pecahan batu tembok Berlin.
Sebagian penjarah yang marah duduk sebentar di sofa besar
chesterfield dan makan di meja terracotta yang mahal, berpura-pura
menjadi orang staf sebelum mereka beramai-ramai menjarahnya.
Rumah-rumah Victoria di kawasan Gedong, negeri dongeng
tempat pun dan Cinderella bersukaria langsung berubah menjadi
Bukit Carphatian tempat kastil keluarga Dracula. Jika malam
kawasan itu gelap gulita. Pohon-pohon beringin tak lagi imut tapi
kini menunjukkan karakter asli-nya sebagai pohon tempat kaum jin
rajin beranak pinak. Daunnya yang rindang memayungi jalan raya
seakan siap memangsa siapa pun yang melintas di bawahnya.
Danau-danau buatan berubah menjadi habitat biawak dan tiangtiang utama dan bangunan yang telah dijarah tampak seumpama
bangkai binatang besar atau tombak-tombak perang bangsa Troya
yang panjang dan di puncaknya ditancapkan kepala-kepala
manusia. Sekolahsekolah PN bubar, berubah menjadi bangunan
kosong yang termangu-mangu sebagai jejak feodalisme. Kini
sekolah-sekolah itu lebih cocok menjadi lokasi shooting acara
misteri. Ratusan siswa PN yang masih aktif dilungsurkan ke sekolahsekolah negeri atau sekolah kampung.
Rumah Kepala Wilayah Produksi PN yang berdiri amat megah
seperti istana di Manggar, puncak Bukit Samak dengan
pemandangan spektakuler laut lepas dan sebuah generator listrik
terbesar seAsia Tenggara dijarah sehingga rata dengan tanah.
Rumah Sakit PN yang hebat juga tak luput dan anarkisme. Obatobatan dihamburkan ke jalan, kursi dan meja roda dibawa pulang
atau dihancurkan. Sepintas aku masih mencium amis darah di atas
brankar dan bau cairan kompres yang tergenang dalam piring piala
ginjal, suatu bau busuk kekayaan yang dikumpulkan dalam pundipundi ketidakadilan tanpa belas kasihan pada rakyat kecil,
Bentangan kawat telepon digulung. Kabel ustrik yang masih
dialiri tegangan tinggi dikampak sehingga menimbulkan bunga api
seperti asteroid menabrak atmosfer. Kapal keruk digergaji menjadi
besi kiloan, Sebuah dinasti yang kukuh dan congkak hancur
berantakan menjadi remah-remah hanya dalam hitungan malam,
seiring dengan itu, reduplah seluruh metafora yang mewakili
kedigdayaan sebuah perusahaan yang telah membuat Belitong
Yang terpukul knock out tentu saja orangorang staf. Tidak hanya
karena secara mendadak kehilangan jabatan dan hancur citranya
tapi sekian lama mapan dalam mentalitas feodalistik terorganisasi
yang inheren tiba-tiba menjadi miskin tanpa pelindungan sistem.
Karakter terbunuh secara besar-besaran. Verloop ke wisma-wisma
timah yang mewah di Jakarta atau Bandung dua kali setahun
sekarang harus diganti dengan mencangkul, memanjat, memancing,
menjerat, menggali, mendulang, atau menyelam untuk menghidupi
keluarga. Anakronistis mungkin, sebab mereka kembali hidup
bersahaja seperti zaman antediluvium ketika orang Melayu masih
Karena tak terbiasa susah dan ditambah dengan anak-anak yang
tak mau berkompromi dalam menurunkan standar hidup sementara
mereka tengah kuliah di universitas-universitas swasta mahal
membuat orang-orang staf stres berkepanjangan. Tak jarang
masalah mereka berakhir dengan stroke, operasi jantung, mati
mendadak, drop out massal, dan lilitan utang.
Mereka seperti orang tersedak sendok perak. Yang tak mampu
menerima kenyataan dan hidup menipu diri sendiri didera post
power syndrome, biasanya tak bertahan lama dan segera check in di
ZaaI Batu. Komidi berputar berbalik arah dalam kecepatan tinggi,
penumpangnya pun terjungkal.
Kehancuran PN Timah adalah kehancuran agen kapitalis yang
membawa berkah bagi kaum yang selama ini terpinggirkan, yakni
penduduk pribumi Belitong. Blessing in disguise, berkah tersamar.
Sekarang mereka bebas menggali timah di mana pun mereka suka
di tanah nenek moyangnya dan menjualnya seperti menjual ubi
Saat ini diperkirakan tak kurang dan 9.000 orang bekerja
mendulang timah di Belitong Mereka menggali tanah dengan sekop
dan mendulang tanah itu dengan kedua tangannya untuk
memisahkan bijih-bijih timah. Mereka bekerja dengan pakaian
seperti tarzan namun menghasilkan 15,000 ton timah per tahun.
Jumlah itu lebih tinggi dan produksi PN Timah dengan 16 buah
kapal keruk, tambangtambang besar, dan open pit mining, serta
dukungan miliaran dolar aset. Satu lagi bukti kegagalan metanarasi
Ekonomi Belitong yang sempat lumpuh pelan pelan mengqeliat,
berputar lagi karena aktivitas para pendulang. Suatu profesi yang
dulu dihukum sangat keras seperti pelaku subversi.
Tahun 1991 perguruan Muhammadiyah ditutup. Namun perintis
jalan terang yang gagah berani ini meninggalkan semangat
pendidikan Islam yang tak pernah mati. Sekarang Belitong telah
memiliki dua buah pesantren.
Pembangunan pesantren ini adalah harapan para tokoh
Muhammadiyah sejak lama. Generasi baru para legenda K.H.
Achmad Dahlan, Zubair, K.A. Abdul Hamid, Ibrahim bin Zaidin, dan
K.A. Harfan Effendi Noor lahir silih berganti. Suatu hari nanti akan
ada yang mengisahkan hidup mereka laksana sebuah epik.
Tak dapat dikatakan bahwa seluruh alumni sekolah
Muhammadiyah Belitong telah menjadi orang yang sukses apalagi
secara matenial namun para mantan pengajar sekolah itu patut
bangga bahwa mereka telah mewariskan semacam rasa bersalah
bagi mantan muridnya jika mencoba-coba berdekatan dengan
khianat terhadap amanah, jika mempertimbangkan dirinya
merupakan bagian dan sebuah gerombolan atau rencana yang
melawan hukum, dan jika membelakangi ayat-ayat Allah. Itulah
panggilan tak sadar yang membimbing lurus jalan kami sebagai
keyakinan yang dipegang teguh karena bekal dan pendidikan dasar
Islam yang tangguh di sekolah miskin itu. Perasaan beruntungku
karena didaftarkan ayahku di SD miskin itu puluhan tahun lalu
terbukti dan masih berlaku hingga saat ini.
Fondasi budi pekerti Islam dan kemuhammadiyahan yang telah
diajarkan padaku menggema hingga kini sehingga aku tak pernah
berbelok jauh dan tuntunan Islam bagaimanapun ibadahku sering
berfluktuasi dalam kisaran yang lebar. Sepanjang pengetahuanku
tak ada mantan warga Muhammadiyah yang menjadi bagian dan
sebuah daftar para kniminal, khususnya koruptor. Pesan Pak
Hanfan bahwa hiduplah dengan memberi sebanyak banyaknya,
bukan menerima sebanyak-banyaknya terefleksi pada kehidupan
puluh-an mantan siswa Muhammadiyah yang kukenal dekat secara
pribadi. Mereka adalah tipikal orang yang sederhana namun
bahagia dalam kesederhanaan itu.
Pak Harfan dan mantan pengajar penguruan Muhammadiyah
hingga kini tak pernah berhenti mendengungkan syiar Islam. Mereka
bangga memikul takdir sebagai pembela agama. Bu Mus dan guruguru muda Muhammadiyah mendapat kesempatan dan Depdikbud
untuk mengikuti kursus Pendidikan Guru (KPG) lalu diangkat
menjadi PNS. Bu Mus sekarang mengajar Matematika di SD Negeri
6 Belitong Timur. Beliau telah menjadi guru selama 34 tahun dan
mengaku tak pernah lagi menemukan murid-murid spektakuler
seperti Lintang, Flo, dan Mahar.
AKU bangga duduk di sini di antara para panelis, yaitu para
budayawan Melayu yang selalu menimbulkan rasa in. Sebuah
benda segitiga dan plastik di depanku menyatakan eksistensiku:
Syahdan Noor Aziz Bin
Aku terutama bangga pada sahabat lamaku Mahar Ahlan bin
Jumadi Ahlan bin Zubair bin Awam, cicit langsung tokoh besar
pendidikan Belitong, Zubair. Ia meluncurkan bukunya hari in
Sebuah novel tentang persahabatan yang sangat indah. Ketika ia
memintaku menjadi panelis, aku langsung setuju. Aku mengambil
cuti di antara kesibukanku di Bandung sekaligus pulang kampung ke
Di antara hadirin ada Nur Zaman dan guruku, Bu Mus serta Pak
Harfan, Ada pula Kucai, sekarang ia adalah Drs. Mukharam Kucai
Khairani, MBA dan selalu berpakaian safari. Dulu di kelas otaknya
paling lemah tapi sekarang gelar akademiknya termasuk paling
tinggi di antara kami. Nasib memang aneh.
Kucai selalu berpakaian safari karena citacitanya untuk menjadi
anggota dewan rupanya telah tercapai. Ia telah menjadi politisi
walaupun hanya kelas kampung. Ia menjadi seorang ketua salah
satu fraksi di DPRD Belitong. Kucai sangat progresif. Ia bertekad
menurunkan peringkat korupsi bangsa ini dan ia geram ingin
membongkar perilaku eksekutif yang sengaja membuat struktur baru
guna melegalisasi skenario besar, yaitu merampoki uang rakyat.
Bersama Mahar ia juga berniat mengembalikan nama-nama daerah
di Belitong kepadanama asli berbahasa setempat. Nama-nama itu
sehama masa orde baru dengan konyol dibahasa Indonesia kan,
Proyek prestisius mereka lainnya adahah mematenkan permainan
perosotan dengan pelepah pinang.
Tapi lebih dar semua itu aku rindu pada Ikal. Kasihan pria
keriting yang pernah jadi tukang sortir itu. Kelelahan mencari
identitas, insomnia, dan terobsesi dengan satu cinta telah
membuatnya agak senewen. Kabarnya ia hengkang dar kantor pos
lalu mendapat beasiswa untuk mehanjutkan pendidikan. Barangkahi
untuk tujuan sebenarnya: ”membuang dirinya sendiri.”
Setehah acara pehuncuran buku, aku, Nur Zaman, Mahar, dan
Kucai mengunjungi ibu Ikal untuk bersilaturahmi sekalian
menanyakan kabar anaknya di rantau orang. Ketika bus umum
yang kami tumpangi melewati pasar Tanjong Pandan, aku melihat
seorang pria yang sangat gagah seperti seorang petinggi bank atau
seperti petugas asuransi dan Jakarta yang sedang mengincar
asuransi aset di provinsi baru Babel.
Pria itu bercelana panjang cokelat teduh senada dengan warna
ikat pinggangnya. Kemejanya jatuh menarik di tubuhnya yang kurus
tinggi dengan bahu bidang. Postur yang disukai para perancang
mode. Sepatu pantofelnya jelas sering disemir. Rambutnya lurus
pendek disisir ke belakang. Kulitnya putih bersih. Tak berlebihan, ia
seperti Adrien Brody!
Sayangnya barang bawaannya sama sekali tak sesuai dengan
penampilan gagahnya. Ia menenteng plastik kresek be-lanjaan,
ikatan daun saledri, kangkung, kardus, dan alat-alat dapur. Ia
berjalan tercepuk-cepuk mengikuti seorang ibu di depannya.
Meskipun sangat repot dan kepanasan Ia-pi ia berseri-seri. Aku kenal
pria ganteng itu, ia Trapani. Tahun lalu aku mendengar cerita
pertemuannya dengan Ikal di Zaal Batu. Ia mengalami kemajuan
dan diizinkan pulang. Aku tak memberi tahu Nur Zaman, Mahar,
dan Kucai. Aku memandang ibu dan anak itu berjalan beriringan
sampai jauh. Air mataku mengahir. Nur Zaman, Mahar, dan Kucai
Aku terkenang lima belas tahun yang lalu. Setelah tamat SMA,
aku, Ikal, Trapani, dan Kucai memutuskan untuk merantau
mengadu nasib ke Jawa, Hari itu kami berjanji berangkat dengan
kapal barang dari Dermaga Ohivir. Tapi sampai sore Trapani tak
datang. Karena kapal barang hanya
berangkat sebulan sekali maka terpaksa kami berangkat tanpa
dia. Pada saat itu rupanya Trapani telah mengambil keputusan lain.
Ia tak datang ke dermaga karena ia tak mampu meninggalkan
ibunya. Setelah itu kami tak pernah mendengar kabar Trapani.
Sekarang kami duduk di beranda sebuah rumah panggung kuno
khas Melayu, rumah ibu Ikal.
“Bagaimana kabarnya si Ikal itu, Ibunda?” tanya Mahar kepada
Ibu tua berwajah keras itu awalnya tadi sangat ramah. Beliau
menyatakan rindu kepada kami, namun demi mendengar
pertanyaan itu beliau menatap Mahar dengan tajam.
Mahar tersenyum kecut. Wajah ibu Ikal kelihatan kecewa berat.
Beliau diam. Tangannya memegang sebilah pisau antip,
mencengkeramnya dengan geram sehingga dua butir pinang
terbelah dua tanpa ampun. Salah satu belahan pinang jatuh
berguling dan terjerumus di antara celah lantai papan lalu diserbu
ayam-ayam di bawah rumah, beliau tak sedikit pun peduli.
Si pemimpi itu pasti sudah bikin ulah lagi. Mahar sedikit
menyesal mengungkapkan pertanyaan itu. dan gambir yang
bertumpuk-tumpuk di dalam kotak tembaga yang disebut
keminangan. Lalu dua lembar daun sirih dibalutkan pada ramuan
tadi sehingga menjadi bola kecil. Beliau menggigit bola kecil itu
dengan geraham di sudut mulutnya seperti orang ingin memutuskan
kawat dengan gigi, bersungutsungut, dan bersabda dengan tegas:
“Terakhir ia mengirimiku sepucuk surat dan diselipkannya
selembar foto dalam suratnya itu.”
Beliau meludahkan cairan merah yang terbang melalui jendela
rumah panggung sambil melilitkan jilbabnya dua kali menutupi
dagunya sehingga seperti cadar. Beliau jelas sedang marah.
“Rupanya dia dan kawan-kawannya sedang mengikuti semacam
festival seni mahasiswa, Wajahnya di foto itu di-coreng-moreng tak
keruan tapi dia sebut itu seni?!!”
Kami menunduk tak berani berkomentar.
“Menurutnya itu seni lukis wajah, ya seni lukis wajah, apa itu...
gotik! Va gotik! Dia sebut itu seni lukis wajah gotik! Dan dia sangat
bangga pada coreng-morengnya itu!”
Beliau menghampiri kami yang duduk tertunduk melingkari meja
tua batu pualam. Kami pun ciut.
“Bukan main anak muda Melayu zaman sekarang!!!”
Ibu Ikal mengepalkan tinjunya, kami ketakutan, beliau
mengacung-acungkan pisau antip, kami tak berkutik, suara beliau
meninggi..“Dia sebut itu seni??? Ha! Seni!!
Barangkali dia ingin tahu pendapatku tentang seninya itu!!!”
Ibu Ikal meramu tembakau, pinang, kapur sirih,
Beliau benar-benar muntab, murka tak terkirakira. Untuk kedua
kalinya beliau menyemburkan cairan merah sirih melalui jendela
seperti anak-anak panah yang melesat.
“Pendapatku adalah wajahnya itu persis benar dengan wajah
orang yang sama sekali tidak pernah shalat!
Demi mendengar kata-kata itu Kucai yang tengah memamah
biak sagan tak bisa menguasai diri. Dia berusaha keras menahan
tawa tapi tak berhasil sehingga serbuk kelapa sagon terhambur ke
wajah Mahar, membuat jambul pengarang berbakat itu kacau balau.
Kucai berulang kali minta maaf pada ibu Ikal, bukan pada Mahar,
tapi wajahnya mengangguk-angguk takzim menghadap ke Nur
Dul Muluk: sandiwara orang Melayu, dipentaskan seperti ketoprak tapi
pakemnya berbabak-babak, dalam Dul Muluk tak ada unsur musik
sebagai bagian dan dramatisasi sandiwara, Temanya selalu tentang
sesuatu yang berhubungan dengan kerajaan. Dul Muluk disebut
Demulok dalam dialek Belitong atau sekadar Mulok saja.
Filicium (Filicium decipiens; fern tree; pohon kerel/kiara/kerai payung;
Ki Sabun): pohon yang termasuk familia Sapindaceae, disebut Ki
Sabun karena seluruh bagian tubuhnya mengandung saponin atau zat
kimia yang menjadi salah satu bahan dasar sabun. Pohon peneduh ini
termasuk salah satu jenis pohon yang dapat mengurangi polusi udara
Keramba: keranjang atau kotak dan bilah bambu untuk
membudidayakan ikan yang diletakkan di pinggir pantai, sungai, danau,
atau keranjang untuk mengangkut ikan, bentuknya lonjong, terbuat
dan anyaman bambu dengan kerangka kayu, biasanya berlapis ter
Kopra: daging buah kelapa yang dikeringkan untuk membuat minyak
Tercepuk-cepuk: istilah daerah untuk menggambarkan cara jalan yang
terpincang-pincang/ terseok-seok.
Antediluvium: masa sebelum diluvium (zaman pleistosen).
Burung pelintang pulau: agaknya berada dalam keluarga betet dan bayan
penampilannya seperti itu, selebihnya misterius.
Bushman: suku yang hidup di dataran bersemaksemak dan belukar di
sabana-sabana Afrika (bush dalam bahasa Inggris berarti
semak/belukar). Nama itu didapat dan antropolog Prancis. Suku ini
terangkat pamornya karena film Cod Must be Crazy, wajah dan sifat
mereka polos dan lugu.
Cemara angin: salah satu jenis cemara (Casuarina eqnisetifolia) yang
penampakannya sangat seram,
tinggi meranggas, sekeras batu. Entah menanggung karma apa jenis
cemara ini karena sering sekali disambar petir, tapi mungkin karena ada
unsur medan magnet di dalamnya. Daunnya jika ditiup angin kadangkadang berbunyi seperti siulan, mungkin ini yang menyebabkan orang
menamainya cemara angin.
Crinum giganteum: jenis crinum yang paling besar (kata giganteum
berasal dan kata gigantic
yang berarti raksasa). Umumnya setiap bunga
crinum mengeluarkan aroma seperti aroma vanili. Di dunia terdapat
tidak kurang dan 180 jenis crinum, banyak ahli yang menganggap ia
masuk dalam familia lily, lebih tepatnya perennial lily, karena warnanya
yang putih dan bentuknya yang mirip bunga tersebut. Tapi ada juga ahli
yang tidak sependapat, karena jika dilihat dan jenis crinum rawa (swamp
crinum atau Crinum asiaticum) yang beracun, penampilannya jauh benar
Ketapang (Terminalia catapa): pohon besar yang berdaun lebar dan
buahnya bertempurung keras. Kulit buahnya dipakai untuk menyamak
kulit dan bijinya dapat dibuat minyak. Pohon ini banyak sekali tumbuh
di daerah pinggir laut.
Lintang: bahasa Jawa, berarti bintang.
Nebula: sekelompok bintang di langit yang tampak sebagai kabut atau
Nipoh (Nipa fruticans): palem yang tumbuh merumpun dan subur di
rawa-rawa daerah tropis, menyerupai pohon sagu, tingginya mencapai 8
meter, daunnya digunakan untuk bahan atap, tikar, keranjang, topi, dan
payung. Nira dan sadapan perbungaannya digunakan untuk pembuatan
Pilea/bunga meriam (P/lea microphylla atau
artillery plant): tanaman ini berbentuk menyerupai pakis, dengan daundaun hijau yang mungil. Daunnya mengandung tepung sari yang pada
musim kemarau akan menebal dan jika terkena percikan air, tepung sari
tersebut akan terlontar, atau seperti meledak sehingga disebut bunga
Atop sirop: Map yang dibuat dan kayu ulin
(Eusideroxylon zwageri), sebagian orang menyebutnya kayu besi atau
kayu belian. Ulin sirap secara alamiah berupa pohon yang batangnya
seperti berlapis-lapis sehingga begitu dibelah langsung rata menyerupai
tripleks atau papan tipis. Langkah selanjutnya tinggal memotongmotong ulin sirap sesuai dengan ukuran yang dikehendaki dan siap
digunakan untuk atap rumah. Kayu ulin sirap yang berusia tua sudah
semakin sulit diperoleh karena penebangan hutan yang tidak terkendali.
Sekarang ini penggunaan atap sirap sudah semakin langka,
namun masih bisa dilihat misalnya gedung asli ITB di Bandung.
Tionghoo kebun: sebuah julukan di masyarakat Melayu untuk orangorang Tionghoa yang tidak berdagang seperti kebanyakan profesi
komunitasnya, melainkan berkebun untuk mencari nafkah. Kebanyakan
kehidupannya kurang beruntung dibandingkan saudara-saudaranya yang
berdagang, sehingga julukan Tionghoa kebun identik dengan
Lois (Tandarus furcatus): tanaman semacam pandan tapi berduri,
anyaman daunnya digunakan untuk membuat topi kerucut, karung, dan
Aichong: dahan-dahan, ranting, yang digunakan untuk menyumbat
agar ahiran air tidak bocor.
Aluvium: lempung, pasir halus, pasir, kerikil, atau butiran lain yang
terendapkan oheh air mengahir; zaman geohogi yang paling muda dan
zaman kuarter atau zaman geohogi yang sekarang.
dan dedaunan seha-seha kiaw
Bangsa Lemuria: seperti Pompeii yang dilanda bencana terus punah,
Lemuria dianggap bangsa berbudaya tinggi yang ada di wilayah
Samudra Pasifik. Hilang secara misterius dan sebagian arkeolog
menganggap Lemuria hanya mitos.
Granit: batuan keras yang berwarna keputihputihan dan berkilauan,
Hematit: bijih besi yang
Ilmenit: mineral yang bentuknya persis bijih timah, yaitu berupa pasir,
berwarna hitam, tapi sangat ringan, sementara bijih timah amat berat.
Berat segenggam timah seperti segenggam besi, sedangkan segenggam
ilmenit lebih ringan daripada segenggam pasir, sehingga ilmenit disebut
juga timah kosong. Ilmenit banyak sekali berada di lapisan aluvium
yang dangkal. Sekian lama tak dipedulikan karena dianggap tak
berharga sampai seorang ilmuwan Australia menemukan bahwa ilmenit
merupakan bahan yang nyaris sempurna untuk produk-produk antipanas
Kaolin: tanah bat yang lunak, halus, dan putih, terjadi dan pelapukan
batuan granit, dijadikan
bahan untuk membuat porselen atau untuk campuran membuat kain
tenun (kertas, karet, obat-obatan, dan sebagainya); tanah hat Gina.
Khaknai: lumpur yang akan dibuang setelah bijih-bijih timah dipisahkan
Kiaw: kayu-kayu bulat sepanjang dua atau tiga meter sebesar lengan
laki-laki dewasa yang digunakan untuk membuat phok.
Knautia (widow flower): tanaman ini diyakini hanya hidup di daerah
tropis, karena susah tumbuh jika terlindung dan sinar matahari.
Bunganya bertangkai kurus, kelopaknya menyerupai daun-daun kecil
dan berwarna merah menyala.
Kuarsa: mineral penyusun utama dalam pasir, batuan, dan berbagai
mineral, bersifat lebih tembus cahaya ultraungu daripada kaca biasa
sehingga banyak digunakan dalam alat optik; silika,
Phok: tanggul air yang dibuat oleh penambang dalam instalasi
penambangan timah tradisional.
mineral yang terdiri atas unsur plumbum sulfur (S), berbentuk seperti
rvlonazite: fosfat berwarna cokelat kemerahan,
mengandung logam bumi yang langka dan
merupakan sumber penting dan thorium,
lanthanum, dan cerium. Biasanya berupa kristalkristal kecil yang
Senotim: berada pada lapisan aluvium, berbentuk butir-butir pasir
berwarna kekuning-kuningan dengan kandungan utama fosfat, thorium,
yttrium. Mineral ini juga mengandung unsur radioaktif, namun masih
bisa ditoleransi karena kadarnya sangat rendah.
Siderit: mineral besi karbonat alamiah, lazim diperoleh dan meteor.
Silika: mineral terbesar dan pasir dan batu pasir; Si02; kristal; hablur.
Tanah ulayah: tanah hutan yang diwariskan turun-temurun (sudah
menjadi milik orang/adat) tapi belum diusahakan.
Titanium: logam berwarna kelabu tua dan amorf; unsur dengan nomor
atom 22, berlambang Ti. Logam ini sangat ringan dan kuat.
Topas: batu permata berwarna macam-macam (kuning, cokelat,
kemerah-merahan, tidak berwarna, dan sebagainya); aluminium silikat
dengan berbagai campuran.
Trickle down effect: teori ekonomi yang menyebutkan bahwa
keuntungan finansial dan lainnya yang diterima oleh bisnis besar secara
bertahapakan menyebar menjadi keuntungan seluruh masyarakat.
Zirkonium: logam tanah langka, berwarna putih perak kristalin atau
kelabu amorf, tahan terhadap korosi, lambang kimia Zr.
Caesar salad: salad yang dibuat dan campuran lettuce (daun dan tanaman
serupa kol yang berwarna putih kehijauan, lebar, dan renyah), croutons
(roti tawar kering berbentuk dadu), keju parmesan, dan anchovy
(semacam ikan ten yang diasinkan), dengan bumbu (dressing) berbahan
dasar telur. Namanya diambil dan Caesar Gardini, pemilik sebuah
restoran di Tijuana, Meksiko, yang konon pertama kali menemukannya.
Cappuccino: minuman yang merupakan campuran dan kopi espresso
dan susu panas yang berbusa, kadang ditaburi bubuk kayu manis atau
Chicken cordon bleu: ayam yang diisi dengan gulungan daging asap dan
keju dan digoreng dengan tepung panir.
ChVisis (baby orchid): anggrek ini sepintas menyerupai cattelya, tapi
bunganya lebih tebal dan berlilin, Sepal dan petalnya lebar dan luas,
labelumnya berdaging tebal dan berlilin. Daunnya tersusun seperti kipas
dan berbaris di sepanjang pseudobulbnya. Spesies-spesiesnya memiliki
yang berbeda-beda: putih-kuning, putih dengan ujung ungu, kuning
kecokelatan, kuning-peach dengan setrip merah di labelumnya.
Cul de sac: jalan yang tertutup di salah satu ujungnya, biasanya untuk di
Mannequin Piss: nama sebuah patung yg sangat terkenal, merupakan
landmark berusia ratusan tahun yang terletak di sebuah persimpangan
kecil di pusat Kota Brussel, Belgia. Legendanya, zaman dahulu ketika
terjadi sebuah kebakaran hebat warga diselamatkan oleh seorang
malaikat yang berkemih. Patung-patung kecil menyerupai Mannequin
Piss banyak diproduksi dan digunakan sebagai hiasan di air mancur.
NVmphaea caerulea (seroja biru; tunjung biru; the blue waterlily; blue
lotus; egyptian lotus;
Sacred Narcotic Lily of the Nile): jenis lotus air berwarna biru nan
cantik. Dipercaya telah digunakan oleh bangsa Mesir kuno sebagai obat
dan pelengkap ritual. Bunga yang dikeringkan terkadang diisap seperti
rokok untuk menimbulkan efek sedatif ringan.
Plum: buah kecil bulat berwarna ungu gelap kemerahan dengan kulit
licin. Berasal dan pohon plum, yang satu genus (Prunus) dengan buah
persik (peach), ceri, aprikot, dan lain-lain. Buah plum mengandung
antioksidan, vitamin C dengan kadar
sangat tinggi, rasanya asam, berair, dan bisa dimakan segar atau
dibuat selai dan prunes (dried plums).
Pumpkin dan Gorgonzola soup: sup labu yang dicampur dengan
Gorgonzola (keju biru Italia yang lembap dengan rasa yang kuat).
Saga (Adenanthera microsperma): Ada dua macam saga, yaitu saga
pohon dan saga rambat. Saga pohon biasa disebut saga saja, pohonnya
bisa tumbuh sangat besar seperti be-ringin dan berbuah keras, kecil, dan
berwarna merah berkilap. Tumbuhan ini termasuk suku polong-
polongan (Papiliocaceae), berdaun majemuk menyirip ganjil, bunganya
Snooker bar: tempat bermain snoolcer, yaitu sebuah variasi dan
permainan biliar, yang dimainkan di atas meja berlapis kain laken yang
memiliki 6 kantung berbukaan bundar (4 di tiap sudut dan 2 di tengah
sisi panjangnya). Permainan ini menggunakan sebuah tongkat panjang
(cue), satu bola putih (cue ball), 15 bola merah, serta 6 bola warna
lainnya (merah muda, hijau, cokelat, biru, kuning, dan hitam).
Permainan ini sangat populer di Inggris dan negara-negara yang pernah
menjadi bagian dan Kekaisaran Inggris.
Tainia shimadai (azalea orchid): anggrek ini memiliki sepal berwarna
kuning, cokelat kehijauan,
atau cokelat, Labelumnya berwarna kuning dengan bercak-bercak
merah cokelat kecil di kedua sisinya, dengan ujung depan terbelah tiga.
Tainia banyak hidup di pegunungan yang dingin dan lem-bap. Namanya
berasal dan kata Vunani, “tainia” yang berarti fillet, karena daunnya
yang panjang dan sempit dengan tangkai daun yang panjang.
Teh Earl Grey: teh khas Inggris yang menggunakan bergamot sebagai
campuran, sehingga menghasilkan warna seduhan yang lebih muda
dengan rasa yang musky. Konon nama tersebut diambil dan Charles
Grey, yaitu Earl Grey kedua (1764-1845), seorang negarawan dan
mantan perdana men-ten Inggris.
Vitello alla Provenzale: masakan Italia, terbuat dan daging sapi muda
(umumnya berusia 18-20 bulan) yang dimasak (di-stew) dengan tomat
dan bumbu-bumbu lain.
Vuka: sebutan untuk pekerjaan terendah, jika di PN Timah pekerjaan itu
adalah menjahit karung timah yang bersifat musiman dan borongan.
Entok: itik yang dipelihara sebagai pengeram yang baik, terutama untuk
mengerami telur bebek yang tidak dapat dierami induknya sendiri,
berdesis; itik manila; itik surati.
Gangan: nama semacam sayuran dengan bumbu kunir, bisa dimasak
bersama daging (gangan daging) atau ikan (gangan ikan).
Ikan gabus (Ophiocepha/us striatus): ikan air tawar, bentuknya seperti
ikan lele, tetapi tidak berpatil; ikan aruan.
]adam: getah dan semacam pohon yang hanya tumbuh di Arab, dibentuk
seperti kapur, dan berwarna hitam. Bila ada yang menderita sakit,
misalnya memar di tulang rusuk, maka jadam tersebut dikikis, dicampur
Bondol peking (Lonchura punctulata; scaly- breasted Munia; Nutmeg
Mannikin; Spice Finch):
jenis bondol (Munia maja: burung kecil pemakan biji yang berkepala
putih, pipit uban; emprit kaji) yang setelah dewasa akan memiliki ciri:
berparuh pendek, tebal, dan gelap, berpunggung cokelat, berkepala
cokelat gelap, dengan dada berbercak putih dan hitam atau cokelat.
Panjang tubuhnya sekitar 11-12 cm. Burung muda memiliki punggung
yang lebih pucat, kepala lebih terang, dan dada yang berwarna krem
Bubu: alat untuk menangkap ikan yang dibuat dan saga atau bambu
yang dapat dianyam, dipasang dalam air sehingga ikan dapat masuk tapi
tidak bisa keluar lagi.
Burung matahari: burung kecil, berdada kuning, dengan sayap berwarna
hitam, bentuk tubuhnya seperti kolibri, dan ia pemakan sari bunga.
Cinenen kelabu (Orthotomus sep/urn; Ashy Tailorbird; Olive-backed
Tailorbird): burung kicau kecil (sekitar 13 cm) berwarna kelabu, dengan
campuran warna hitam pada sayapnya, merah pada bagian kepala, dan
kuning pada dada. Burung ini memiliki sayap yang pendek dan
membulat, ekor pendek yang tegak, kaki yang kuat, serta paruh yang
panjang dan melengkung. Nama Ia//orb/rd diambil dan cara mereka
membangun sarang menjahit tepian beberapa daun besar menjadi satu
dengan serat tanaman atau sarang laba-laba sehingga menjadi semacam
kantung tempat sarang rumput yang sesungguhnya dibangun.
Gayam (Inocarpus eduls): pohon yang daunnya lebat dan dapat dipakai
sebagai pembungkus, biasanya tumbuh di daerah yang banyak air. Buah
pohon ini enak dimakan biasanya orang Melayu merebusnya dan
menyajikannya bersama kelapa parut, asal jangan digoreng, karena buah
tersebut akan mengeras seperti batu.
Gelatik (Hunla oryzivora): burung pipit, bulunya berwarna abu-abu,
berparuh merah, berbadan agak kecil.
]alak (Sturnupostor jala): burung beo kecil, bulunya hitam, kaki dan
paruhnya berwarna kuning.
Jalak biasa: jalak yang berparuh hitam.
]amur telur: jamur kecil yang tumbuh di sembarang tempat, beracun.
Kertas kajang: kertas minyak berwarna merah, biru, kuning, biasa dibuat
rvladu sepah: burung kecil dengan punggung berwarna merah dan paruh
rvlarkacite: berbentuk batangan-batangan kecil kisut berwarna abu-abu.
Juga mengandung plum bum dan sulfur, namun kadarnya berbeda
Ornitologi: ilmu pengetahuan tentang burung, termasuk deskripsi dan
klasifikasi, penyebaran, dan kehidupannya.
Parkit (Psitacula passer/na; parakeet): burung bayan kecil, berbulu
cerah (biasanya bertubuh hijau, berkepala kuning, dan bermuka oranye),
berekor panjang dan lancip, berukuran sekitar 30
cm. Burung jenis ini sekarang sudah semakin langka, dulunya
mereka ditembaki karena dianggap sebagai hama di perkebunan buah.
Peneng sepeda: pajak sepeda berupa semacam perangko yang
ditempelkan di sepeda.
Phyrite: Mineral yang berbentuk seperti kristal, mengandung unsur
sulfur (S) dan plumbum (Pb). Dapat memengaruhi keasaman air.
Trapeze: artinya tongkat horizontal yang terikat pada dua lajur tali yang
tergantung secara paralel, digunakan untuk sebuah nomor dalam senam
indah atau dalam permainan akrobat di sirkus.
Un g kut - u n g kut (Coppersmith barbe t; Megalaema haema): burung
yg agak ke hijau—hijauan pada punggungnya, dada berwarna putih.
Vessel board: adalah alat sambung komunikasi model lama yang
ditunggui seorang operator. Jika ada panggilan telepon maka operator ini
akan menyambungkan kawat-kawat pada sebuah papan yang penuh
lubang saluran telekomunikasi.
Wasserij: (baca: wasray), bhs. belanda, tempat pencucian. Timah
wasserj adalah timah yang telah dicuci.
Andromeda: nama untuk konstilasi terbesar di belahan bumi utara yang
terletak persis di selatan dan konstilasi Cassiopeia dan di utara konstilasi
Perseus. Tidak ada bintang di Andromeda melainkan tempat beradanya
Galaksi Andromeda, yaitu salah satu anggota dan kelompok yang sama
dengan Galaksi Bimasakti (Ini/ky Way) kita.
]awi (Ficus rhododendrifofia): pohon sejenis beringin tapi kecil yang
banyak sekali akar tunjangnya dan biasanya tumbuh di tepi telaga atau
Kumpai (Panicum stagninum): rumput (gelagah), tumbuh di paya-paya,
hijau, mengambang di atas air.
friusim selatan: sebutan orang Melayu untuk sekitar bulan April-Mei, di
saat tiupan angin lebih tenang. Berlawanan dengan musim barat yang
dingin dan berangin (di saat nama bulan berakhiran dengan suku kata “-
Triangulum: konstilasi kecil di belahan bumi selatan yang berada di
dekat Aries dan Perseus.
Zaman Cretaceous: istilah geologi untuk menyebutkan masa setelah
zaman Mesozoic berakhir, yaitu sekitar 65 sampai 144 juta tahun
yang lalu. Bumi mulai menghangat pada masa ini, beberapa genus
reptilia besar mulai punah pada akhir zaman ini, sementara jenis flora
yang masih ada sampai sekarang mulai tumbuh (seperti pohon eik dan
Auriga: konstelasi berbentuk layangan di langit sebelah utara. Bintang
yang terbesar dalam konstelasi ini adalah Capella. Bintang-bintang di
dalam Auriga kebanyakan merupakan bintang biner, yaitu sepasang
bintang yang berputar mengelilingi pusat massa. Auriga mencapai titik
tertingginya pada bulan Juni dan dapat terlihat dan belahan bumi utara
dan sebelah utara belahan bumi selatan.
Gurindam: sajak dua bans yang mengandung petuah atau nasihat
(misalnya: baik-baik memilih kawan, salah-salah bisa jadi lawan).
Andante: tempo musik yang agak lambat, lebih pelan daripada moderato
tapi lebih cepat daripada adagio. Berasal dan bahasa Italia yang berarti
“berjalan”. Jika ditambah dengan “maestoso” maka berarti tempo
tersebut harus dimainkan dengan berwibawa,
Linaria (toad/lax; butter-and-eggs): nama genus untuk tanaman liar
yang memiliki bunga bergerombol (ada yang tegak, ada yang merayap
di atas tanah) yang umumnya berwarna menyala kuning pucatoranye
(spesies lain ada yang berwarna ungu, biru, merah, putih) dan daun-daun
yang kecil. Bunganya berbentuk tabung sempit yang terbelah di
ujungnya sehingga membentuk bibir atas (disebut hood atau
kerudung/topi) dan bibir bawah yang kecil dan berwarna lain. Tanaman
ini disebut toad/lax karena jika bunganya ditekan sisinya, ia akan
berbentuk seperti katak (toad) yang sedang membuka mulut.
Perenjak sayap garis (Pr/nla familiaris; Barwinged Pr/nla): burung kecil
pemakan serangga, berwarna kelabu, memiliki sayap pendek bergarisgaris dan ekor yang panjang lentik seperti murai batu. Paruhnya tipis dan
agak melengkung. Habitat burung ini adalah di tempat terbuka seperti
Thistle crescent (Vanessa cardui; painted lady; thist/e butterfly;
cosmopolte): jenis kupu-kupu yang mungkin pa-ling luas persebarannya
dan paling banyak dijumpai di seluruh dunia. Kupu-kupu ini hidup di
daerah yang terbuka dan terkena cahaya matahari terutama taman,
lapangan, dan tanah kosong. Sayapnya berwarna oranye atau merah
kecokelatan dengan bercak dan tepian hitam, sementara permukaan
bawahnya biasanya berwarna merah muda dengan corak putih dan
Sayap belakangnya biasa-nya memiliki corak seperti mata yang
berwarna biru. Kupu-kupu ini hidup dan nektar bunga thist/e (tanaman
dengan batang dan daun berduri, dengan braktea bunga yang
lanciplancip seperti dun, biasanya berwarna ungu), aster, dan red c/over
Cymbal: alat musik berupa dua piring kuningan yang diadu.
Eureka: istilah yang digunakan untuk mengekspresikan keberhasilan
dalam menemukan sesuatu atau memecahkan suatu masalah. Dan kata
Vunani “heurçka” yang secara harfiah berarti “aku telah
menemukan(nya)”, konon diucapkan oleh Archimedes saat ia berhasil
menemukan hukum berat jenis air.
Paleontologi: ilmu tentang fosil (binatang dan tumbuhan).
Sekstan: alat untuk mengukur sudut astronomis yang meliputi
seperenam lingkaran (600) untuk menentukan posisi kapal di laut).
Colias crocea (Pure clouded yellow): kupu-kupu dengan warna dasar
kuning-jingga, dengan tepian luar sayap berwarna gelap bersetrip kuning
di atas pembuluh darahnya. Habitat kupu-kupu ini adalah di stepa,
lembah, dan lereng yang kering.
Colias myrmidone (Danube clouded yellow): mirip dengan C. Crocea,
juga memiliki tepian berwarna gelap, namun tanpa pembuluh-pembuluh
kuning. Habitatnya di daerah stepa dan hutan-stepa dengan pepohonan
yang renggang, biasanya pinus.
Papilio blumei: kupu-kupu dan jenis swallowtail (dicirikan dengan
“ekor’ di ujung bawah sayapnya) yang berukuran cukup besar (sekitar
12 cm lebar dan 10 cm panjang). Sayapnya yang berwarna hitam begitu
kontras dengan strip biru hijau sehingga memberinya tampilan yang
sangat eksotis. Konon ditemukan di Taman Nasional Bantimurung di
Maros, Sulawesi Selatan, dan diberi nama berdasarkan nama
panggilannya, Belu, dan bulan penemuannya, Mei.
Pohon santigi: pohon Iangka yang biasanya tumbuh di daerah pantai.
Pohon ini bisa dibonsai seperti beringin dan harganya mencapai jutaan
rupiah. Konon termasuk pohon keramat dan kayunya banyak dicari
karena diyakini dapat menolak santet atau bisa menjadi gagang keris
atau tombak yang baik.
Shaman: pemimpin spiritual, seseorang yang bertindak sebagai
perantara antara wilayah fisik dan wilayah spiritual, dan yang dipercaya
memiliki kekuatan tertentu seperti kemampuan meramal dan
Pinang (Areca catechu): tumbuhan berumpun, berbatang lurus seperti
hIm, tangkai daun yang melekat pada batangnya berbentuk seperti
lembaran kuhit, buah yang tua berwarna kuning kemerah-merahan untuk
Po hon ke pang (Aquilarie malaccensis):
yang kuhitnya bisa dijadikan tahi.
Antip kuku: istilah orang Melayu untuk menyebut alat pemotong
Burung ayam-ayam (Gallierex cinerea): unggas yang serupa ayam,
berkaki panjang, tidak kuat terbang, biasa hidup di tambak atau di rawarawa.
Petunia: tanaman terna (tumbuhan dengan batang lunak tidak berkayu
atau hanya mengandung jaringan kayu sedikit sekahi sehingga pada
masa tumbuhnya mati sampai ke pangkalnya tanpa ada batang yang
tertinggal di atas tanah) dan famihi Scianaceal, tingginya antara 16-30
cm, batangnya lengket, bunganya berbentuk kerucut seperti corong, ada
yang bermahkota tunggal dan ada pula yang bermahkota ganda dengan
warna yang bervariasi (merah, putih, kuning pucat, biru, dan ungu tua).
Pohon angsana (Pterocarpus md/ca): pohon yang bunganya berwarna
kuning dan berbau jeruk, kuhitnya dapat dimanfaatkan sebagai obat,
kayunya digunakan untuk pembuatan alat-alat rumah tangga, bahan
bangunan, kerajinan tangan, dan lain-lain.
Pohon medang (Cinnamomum porrectum); pohon gadis; kayu lada;
madang loso; medang sahang; kisereh; kipedes; selasihan; marawahi;
merang; parari; pelarah; peluwari; pahio): salah satu jenis suku
Lauraceae, yang kuhit dan kayunya berbau harum. Pohon ini berukuran
sedang hingga besar dengan ketinggian bisa mencapai 35-45 meter.
Batang pohonnya bundar, lurus, dan umumnya tidak berbanir (banir:
akaryang menganjur ke luar menyerupai dinding penopang pohon,
seperti pada beringin). Permukaan kuhit batang berwarna kelabu atau
kelabu cokelat sampai krem, serta beralur dangkal merapat dan
mengelupas kecil-kecil. Bagian kuhit dalam pohon ini cokelat
kemerahan, dan makin ke dalam menjadi merah muda atau putih. Pohon
termasuk beruntung karena banyak dilestarikan oleh pen-duduk yang
memanfaatkan kulitnya sebagai sumber nafkah (meskipun seperti juga
banyak jenis pohon lain, kayu pohon medang sebenarnya bisa digunakan
untuk bahan bangunan, kayu lapis, mebel, lantai, dinding, kerangka
pintu dan jendela, dan sebagainya). Kulit kayu medang merupakan
bahan baku racun nyamuk bakar dan gaharu (hio). Sementara getah yang
menempel di kulitnya bisa digunakan untuk bahan baku lem. Pohon itu
tidak akan mati meskipun berkali-kali diambil kulitnya, melainkan akan
semakin besar sehingga semakin banyak kulitnya yang bisa diambil oleh
Pohon meranti: termasuk jenis Shorea, kayunya keras, digunakan untuk
bahan bangunan, landasan rel kereta api, tiang listrik, dan lain
Tanjung (Mimusops elengi): pohon yang bunganya berwarna putih
kekuning-kuningan dan berbau harum, biasa dipakai untuk hiasan
Abutilon (Mallow, Indian Mallow, Flowering Maple):
genus besar yang terdiri dan sekitar 150 spesies tanaman berdaun lebar
yang tergolong dalam familia mallow (Malvaceae). Tanaman ini sangat
populer di daerah subtropis. Daun-daun abutilon ada yang
tidak berkelompok, ada yang tanpa kelopak, ada
juga yang menjari dengan 3-7 kelopak.
Bunga-bunganya sangat mencolok dengan lima petal, kebanyakan
berwarna merah, merah muda, jingga, kuning, atau putih.
Amarilis (Amaryllis; naked lady): genus yang terdiri dan hanya satu
spesies, yaitu Belladona Lily (Amaryllis belladonna), yang berasal dan
Afrika Selatan, Amarilis merupa-kan tanaman berumbi yang memiliki
beberapa helai daun dengan panjang 30-SO cm dan lebar 2-3 cm, yang
tertata dalam dua bans. Di musim gugur daun-daun amarilis akan
tumbuh dan kemudian gugur di akhir musim semi. Di akhir musim
panas umbinya memproduksi satu atau dua batang setinggi 30-60 cm, di
ujungnya akan muncul 2 sampai 12 buah bunga berbentuk corong.
Bunga ini berdiameter sekitar 6-10 cm dan terdiri dan 6 tepal (3 sepal
luar dan 3 petal dalam yang hampir mirip), dan berwarna putih, merah
mu-da, merah, atau ungu. Nama amarilis juga sering digunakan untuk
menyebut familia Amaryllidaceae yang terdiri dan beragam genus
seperti Hiopeastrum, Narcissus, Galan-thus, dan Clivia.
Ardisia: kelompok besar beberapa jenis pohon dan semak
hijau.Tanaman kecil akan tampak cantik di dalam pot jika sedang
tertutup oleh buah-buah bern kecilnya yang berwarna merah sampai
hitam. Daunnya kecil-kecil, berwarna hijauy gelap, dengan bunga putihmerah muda.
Aster (Aster corvifollus): nama yang umum digunakan untuk sebuah
genus yang memiliki lebih dan 250 spesies tanaman berbunga majemuk
yang harum, termasuk familia Compositae (Composite Flowers) atau
Asteraceae. Bunga aster berwarna merah, putih, kuning, ungu, atau
merah muda. Aster memiliki floret tengah (disk floret) yang bundar dan
berwarna kuning sementara floret pinggir (ray florets, terdiri dan banyak
petal) yang mengelilinginya memiliki warna bervariasi dan ungu sampai
biru, serta dan merah muda sampai putih.
Azalea: nama spesies dan genus Rhododendron. Berasal dan kata
Vunani ‘azaleas” yang berarti “kering”, meski sebenarnya ini tidak
cocok dengan azalea zaman sekarang yang tidak tumbuh di daerah
kering seperti varietas aslinya. Tanaman ini merupakan sesemakan
dengan kelompok-kelompok besar bunga berwarna merah muda, merah,
jingga, ungu, kuning, atau putih.
Banar (Smilax helferi): pohon yang merambat seperti rotan, akarnya bisa
digunakan sebagai pengikat, juga sebagai obat.
Begonia: nama umum untuk familia tanaman berbunga yang terdiri lebih
dan 1.000 spesies, memiliki karakteristik berupa daun-daun yang
asimetris serta bunga-bunga jantan dan betina yang terpisah dalam
tanaman yang sama. Bungabunga ini berwarna kuning, oranye, merah
atau putih. Batangnya kebanyakan berair, namun ada yang tegak,
merambat, atau tumbuh di bawah tanah, Begonia ada yang sengaja
dibudidayakan karena keindahan daunnya (oainted-leaf begonia) yang
berbentuk hati (bisa mencapai panjang 30 cm) dan berpola mencolok
dengan kombinasi warna merah, hitam, perak, dan hijau dengan tepian
Calathea: tanaman tropis yang unik, daunnya hijau gelap (pada Calathea
amabilis [kadang juga disebut Stromanthe amabilis atau Ctenante]
daunnya disertai pola garis-garis putih-hijau) dan berimpel, berbentuk
oval dan melancip di ujung, sementara bagian bawah daunnya berwarna
maroon. Bentuk braktea (daun gagang; daun pelindung) bunganya
bervariasi, dan bentuk kerucut sarang lebah yang berkilau sampai bentuk
ekor ular derik dan berwarna biru, merah, putih, dan lain sebagainya
Calathea crocata bunganya berbentuk seperti nyala api dan berwarna
oranye atau kuning). Di Afrika Selatan, orang menggunakan Calathea
sebagai makanan, obat, anyaman keranjang, dan atap. Menariknya,
tanaman ini akan menutup daunnya di kala malam tiba.
Damar: getah keras yang berasal dan bermacammacam pohon dan
Daun picisan (sisik naga): merupakan tumbuhan epifit, terna, tumbuh di
batang dan dahan pohon,
memiliki akar rimpang panjang, kecil, merayap, bersisik, panjang 5-
22 cm, dengan akar melekat kuat. Daun yang satu dengan yang Iainnya
tumbuh dengan jarak yang pendek, tebal berdaging, berbentuk jorong
(bulat panjang), dengan ujung tumpul atau membundar, pangkal
runcing, tepi rata, permukaan daun tua gundul dan berambut jarang pada
permukaan bawah, warnanya berkisar dan hijau sampai kecokelatan.
Ukuran daun yang berbentuk bulat sampai jorong hampir sama dengan
uang logam picisan sehingga tanaman ini dinamakan picisan. Tanaman
ini memiliki berbagal khasiat, salah satunya adalah bisa digunakan
sebagai penghilang rasa nyeri dan obat batuk.
Delima (Puniëa granatum): tumbuhan perdu dengan cabang yang
rendah dan berduri jarang. Daunnya kecil-kecil agak kaku dan berwarna
hijau berkilap. Buahnya dapat dimakan, berkulit kekuningkuningan
sampai merah tua, kalau masak merekah. Juga disebut cempaka tanjung.
Dendrobium: merupakan jenis anggrek epifit (menumpang di pohon tapi
tidak mengambil makanan darinya seperti anggrek parasit). Namanya
diambil dan katavunani, “dendron” yang berarti pohon dan “bios” yang
berarti hidup. Spesies dan anggrek ini memiliki bunga warna merah
muda, putih, kuning, atau kombinasi.
pohon tengkaras (Aquilaria malaccensis).
]ambu air mawar (Eugenia jambos): jambu air yang berbentuk bulat
kecil, berwarna kuning pucat atau kehijauan, berkulit licin dan agak
jurassic: periode geologi di saat dinosaurus berkembang pesat, burungburung dan mamalia pertama kali muncul, berlangsung sekitar 210-140
juta tahun yang lalu. Jurassic merupakan periode pertengahan dan zaman
Keladi (Co!ocasia esculenta): tumbuhan jenis terna; berdaun lebar dan
berumbi dan ada yang dapat dimakan ada yang tidak.
Keranjang pempang: keranjang yang bercabang agar bisa diletakkan di
bagian belakang sepeda.
rvlammillaria: nama genus yang termasuk familia Cactaceae (cacti) atau
kaktus. Nama Mammillaria datang dan bahasa Latin “mamma” karena
tonjolantonjolan (tubercules) yang menutupi seluruh tubuh tanaman
tersebut, dan yang, pada beberapa spesies, mengandung cairan tubuh
yang kental seperti susu (lateks). Tubuh kaktus ini bulat dan pendek,
tumbuh soliter atau berkelompok. Dun-dun kaktusnya tumbuh di puncak
tonjolan tadi dan dibedakan menjadi dun sentral dan dun radial.
Bunganya berwarna merah, merah muda, putih, kuning, atau benvaniasi,
biasanya mekar di siang
Gaharu: kayu yang harum baunya, biasanya dan
frionstera (Monstera delicioca; Swiss cheese
plant): tumbuhan berdaun besar berwarna hijau, berkilap, dan bundar
atau berbentuk hati ketika masih muda. Ciri khasnya adalah tepian yang
robek serta berlubang, yang baru tampak ketika tanaman ini dewasa.
Dengan perawatan yang tepat tanaman ini bisa tumbuh sampai mencapai
lebar 60 cm dan tinggi 2.4 m. Monstera menyukai posisi yang terang
tapi teduh. Di alam liar tanaman ini tumbuh di batang pohon dan se-panjang cabang pohon, bergantung dengan akar aenialnya yang menyerupai
ekor berwarna cokelat.
Nolina (Beaucarnea recurvata; ponytail plant; ponytail palm; elephants
foot): sebuah genus dan familia agave (Agavaceae). Nolina memiliki
daun yang panjang, langsing, dan lancip, yang keluar dan menjuntai dan
puncak sebuah batang keras yang panjang dengan dasar yang
menggelembung mirip kaki gajah. Beberapa spesiesnya dibudidayakan
sebagai tanaman hias. Jenis yang paling sering ditemui adalah Nolina
recurvata, yang biasa ditanam di dalam rumah.
Peperomia: genus dengan lebih dan 1.500 spesies di seluruh dunia dan
sekitar 20 di antaranya sudah populer sebagai tanaman pot. Semuanya
memiliki vanietas dengan dedaunan berwarna unik yang tepiannya tidak
rata. Batangnya berdaging, ada
yang tumbuh ke atas, ada yang menggantung atau merambat.
Warnanya bervaniasi antara hijau muda, merah, kuning, dan kombinasi.
Kebanyakan adalah tumbuhan epifit. Namanya diambil dan kata Vunani
“pepri” (lada) dan “homoios” (mirip), yang berarti “tampak seperti
Stromanthe: genus dan familia yang sama dengan Calathea yang terdiri
dan dua spesies tanaman dalam ruang, yaitu S. amabilis dan S.
sanguinea. S. amabilis memiliki daun-daun yang berukuran panjang 15-
25 cm dan lebar 5 cm, sementara S. sanguinea memiliki daun yang lebih
besar (mencapai panjang 30-50 cm dan lebar sekitar 10 cm) dan berkilat.
Keduanya memiliki daun-daun yang berbentuk seperti kipas.
Tabla: sepasang drum asli India, satu berbentuk sihinder, satunya lagi
berbentuk seperti mangkuk.
Trombon: alat musik tiup berbentuk trompet panjang dan cara
memainkannya ditiup sambil menyonong dan menanik alat pada pipa
Klarinet: alat musik tiup dengan lidah-lidah tunggal (single reeds)
yang dapat bergetar, dibuat dan kayu atau logam yang diberi lubanglubang dan gamitan, menghasilkan suara kecil melengking.
Saksofon: alat musik tiup yang dibuat dan logam, berbentuk lengkung
seperti pipa cangklong, dilengkapi dengan lubang dan tombol Jan.
Saksofon ada berbagai macamnya: saksofon tenor, saksofon alto, dan
Snare drum (side drum): sejenis drum yang dilengkapi dengan
bentangan kawat di bagian bawahnya agar menghasilkan suara yang
bergetar atau berderik.
Bugenvil (bunga kertas; Bougainvillea): nama umum genus tanaman
bunga merambat yang memiliki sulur berduri. Genus ini terdiri dan
sekitar 13 spesies. Tanaman ini memiliki bunga yang kecil, sederhana,
dan terpisah, yang biasanya dikelilingi oleh braktea yang mencolok.
Braktea ini bisa berwarna merah, merah muda, ungu, kuning, oranye,
atau putih. Namanya diambil dan Louis Antoine de Bougainville, pria
Prancis pemimpin ekspedisi saat tanaman ini ditemukan.
kelompok bangau, begitu anggun, tinggi, berkaki panjang, dan
berjalan melenggak lenggok, berasal dan Afrika.
Daffodil (Narcissus): dinamai dan tokoh pemuda dalam mitologi
Vunani yang terpesona oleh keindahannya sendiri sampai ajal
menjemputnya dan ia pun berubah menjadi sekuntum bunga. Genus
Narcissus merupakan keluarga amarilis. Tanaman ini berumbi, memiliki
bunga tunggal atau ganda dengan enam petal, mahkota bunga yang
memiliki enam petal yang bersatu, enam benang sari, dan sebuah putik
yang soliter. Sebuah mahkota berbentuk seperti piala disebut korona
mencuat dan permukaan dalam bunganya. Daffodil biasanya berwarna
putih atau kuning, atau kombinasi dan keduanya. Spesies yang paling
umum ditemui adalah yellow daffodil (Narcissus pseudonarcissus) yang
memiliki ciri khas mahkota bunga berwarna kuning yang dalam dan
menyerupai trompet. Umbi Narcissus mengandung alkaloid yang
beracun jika dimakan karena bisa menyebabkan gangguan pencernaan
akut seperti muntah, diare, disertai dengan gemetar dan kejang.
Dracaena: genus besar tanaman tropis yang memiliki daun runcing
seperti pedang atau oval dan lancip di ujungnya, sering kali dengan
corak warna yang bergradasi, yang berkelompok di ujung batangnya.
Tanaman ini jarang sekali memproduksi bunganya yang kecil dan
berwarna putih kehijauan.
Burung sekretaris (secretary bird): burung dan
Spesiesnya yang paling umum ditemui adalah fragrant dracaena
(Dracaena fragrans; cornplant), dengan ciri khas berupa daun yang
lemas dan melengkung, dengan setrip warna daun yang lebih muda di
tengahnya. Ada juga spesies go/ddust dracaena (Dracaena surcu/osa)
yang memiliki daun berbintik keemasan.
Katebelece: surat pendek untuk memberitakan hal seperlunya saja; surat
pengantar dan pejabat untuk urusan tertentu
Pittosporum: nama genus besar untuk semak hijau dengan daun kecil
yang kasar. Bunganya berkelompok, berwarna putih, ungu, atau kuning
kehijauan dan berbau harum. Biasa diqunakan sebagai pagar tanaman.
Bombu toli (Gigantoc/-i/oa apus): bambu yang batangnya (setelah
dibelah-belah) dapat dijadikan tali,
Collistemon loevis atau bunga jarum merah
(Bottlebrush): adalah sebuah genus yang memiliki 34 spesies dan
familia Myrtaceae. Disebut
bctt/ebrush karena bunganya yang silindris dan seperti sikat botol. Daundaunnya berbentuk linier dan lancip.
Hipokondria: ketakutan yang berlebihan dan terus-menerus (bersifat
jangka panjang) terhadap gangguan kesehatan tubuh. Penderita
hipokondria biasanya yakin bahwa ia memiliki penyakit serius tanpa ada
Vitex trifolia: tumbuhan dengan daun-daun yang bagian permukaan
atasnya berwarna hijau keabuabuan dengan corak putih yang menawan,
sementara permukaan bawahnya berwarna perak. Daun-daun yang
sangat dekoratif ini cocok untuk daerah tropis dan dapat tumbuh dengan
mudah, selain itu juga tanaman ini tak membutuhkan banyak air.
Camellia (Came/la japonica; japonica): tumbuhan sesemakan dan
keluarga teh dengan bunga yang bentuknya menyerupai mawar.
Daunnya berwarna hijau dan berkilat. Berasal dan bahasa Latin modern
untuk nama Joseph Kamel (1661-1706), seorang misionaris dan ahli
botani yang pertama kali mendeskripsikan tanaman ini.
Hipotermia: keadaan suhu tubuh yang turun sampai di bawah 350 C,
biasanya karena terpaan dingin dalam waktu lama.
Buntat: semacam batu hitam yang terdapat di perut kelabang, dipercaya
ampuh sebagai jimat pengasih.
Incubus: berasal dan cerita rakyat Eropa, yaitu seorang setan laki-laki
yang dipercaya suka mencari wanita untuk disetubuhi saat mereka tidur.
Macan akar: sebutan untuk macan kecil yang selalu berada di dekat akar
Paleolitikum: zaman batu tua; purba yang berlangsung dan 750.000
sampai 15.000 tahun yang lalu, ditandai dengan pemakaian alat-alat
Svah bandar: pejabat pemerintah yang bertugas mengatur pelabuhan.
Metafisika: ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hal-hal yang
nonfisik atau tidak kelihatan.
Parapsikoloçji: cabang ilmu jiwa tentang hal-hal yang gaib atau di luar
jangkauan pancaindra.
Trade-off: sebuah situasi saat seseorang harus
berkompromi dengan menyerahkan seluruh atau sebagian dan suatu
hal untuk menukarnya dengan hal lainnya.
Cassiopeia: konstelasi bintang berbentuk seperti huruf “w” di belahan
bumi utara, berada di dekat Polaris.
Agnostik: orang yang berpandangan bahwa kebenaran tertinggi (Tuhan)
tidak dapat diketahui dan mungkin tidak akan dapat diketahui. Orang
seperti ini percaya bahwa Tuhan ada tapi tak mau memeluk agama apa
pun. Agnotisisme tumbuh subur di Belanda.
Pungguk (Ninox sentulata malaccensis): burung elang malam (burung
hantu) yang suka memandang bulan.
Anakronistis(a): tidak cocok tertentu. Anakronisme(n): hal dengan
dengan zaman ketidakcocokan
penempatan tokoh, peristiwa, percakapan, dan unsur latar yang tidak
sesuai menurut waktu dalam karya sastra.
Open pit mining: pertambangan sumur terbuka, istilah untuk bagian dan
lubang sumur yang digunakan untuk menahan guguran yang bisa
menutupi sumurjika ada ledakkan dan dalam.
Gotik: dalam fesyen berarti gaya busana dan rias wajah yang serbagelap,
biasanya dengan lipstik dan rias mata hitam dengan wajah yang
dipucatkan, dilengkapi dengan perhiasan perak yang berat. Gaya ini
populer di tahun 8Oan.
Pisau antip: sebutan untuk semacam alat pemotong dengan sistem per
seperti pemotong kuku.
-----------------------------------------------
Tentang Tetralogi Laskar Pelangi Andrea Hirata: Out of the Blue
Di negeri ini, tidak mudah menulis novel-novel yang kesemuanya best
seller, apalagi merupakan karyakarya pertama, ditulis seseorang yang
tak berasal dan lingkungan sastra, dan lebih gawat lagi, novel- novel itu
sama sekali tak sejalan dengan trend pasar. Tapi hal itu dapat dilakukan
Andrea Hirata. Melalui Laskar Plangi, Andrea Hirata langsung
menempatkan dirinya sebagai salah satu penulis muda Indonesia yang
amat menjanjikan. Laskar Plangi telah beredar di luar negeri, bahkan
mampu mencapai best seller di Malaysia.
Andrea Hirata, out of the blue, tak dikenal sebelumnya, tak pernah
menulis sepotong pun cerpen, tiba-tiba muncul, langsung menulis
tetralogi sesuatu yang juga cukup ajaib bagi penulis pemula dengan gaya
rea/is bertabur metafora yang disebut Prof. Sapardi Djoko Damono, guru
besar sastra Universitas Indonesia, sebagai metafora yang berani, tak
biasa, tak terduga, kadang kala ngewur, namun amat memikat.
Bagaimana karya-karya Andrea dapat menjadi best seller tanpa harus
Tentu tak terlepas dan muatan intelektualitas dan spiritualitas bukubuku itu. Sastrawan Ahmad Tohari mengatakan, “Andrea adalah
jaminan bagi sebuah karya sastra bergaya saintifik dengan penyampaian
yang cerdas dan menyentuh.” Prof. Dr. Syafii Maarif, mantan ketua
umum Muhammadiyah berkomentar,, “Andrea langsung membidik
Meski masih terlalu hipotetik, karya Andrea diterima secara luas
mungkin juga karena pembaca kita jenuh akan sajian metropop bertema
urban superringan, pornografi, hedonistik, dan mulai mendamba tulisan
yang lebih berkapasitas. “Andrea mengobati kehausan para pencinta
buku akan buku-buku Indonesia bermutu” (Kompas, 11 November
Daya tank yang menonjol dan karya-karya Andrea juga terletak pada
kemungkinan yang amat luas dan eksplorasinya terhadap karakter dan
peristiwa, sehingga paragrafnya selalu mengandung kekayaan. Setiap
paragraf seakan dapat berkembang menjadi sebuah cerpen, dan setiap
bab mengandung letupan intelejensia, kisah, dan
romantika untuk dapat tumbuh menjadi buku tersendiri. Andrea tak
pernah kekeringan ide dan tak pernah kehilangan tempat untuk melihat
suatu fenomena dan satu sudut yang tak pernah dilihat orang lain. Setiap
kalimatnya potensial. Ironi diolahnya menjadi jenaka, cinta pertama
absurd menjadi demikian memesona, tragedi diparodikan, ia
menyastrakan fisika, kimia, biologi, dan
astronomi. “Andrea adalah seorang seniman katakata,” ujar Nicola
Homer. Majalah Tempo menyebutnya, “Andrea berhasil menyajikan
kenangannya menjadi cerita yang menarik, deskripsinya kuat, filmis.”
Santi Indra Astuti, Msi., seorang dosen komunikasi, di Koran Tempo
berpendapat, “Laskar Pelangi ageless, timeless, borderless.” Garin
Nugroho, “Inspiratif.”
Dan, Pin Piza, “A must read.”
Novel pertama Andrea Hirata, Laskar Pelangi, telah berkembang bukan
hanya sebagai bacaan sastra, namun sebagai referensi ilmiah. Novel ini
banyak dirujuk untuk penulisan skripsi, tesis, dan telah diseminarkan
oleh birokrat untuk menyusun rekomendasi kebijakan pendidikan.
Adapun dalam novel keduanya., Sang Pemimpi, Andrea menarikan
imajinasi dan melantunkan stambul mimpi-mimpi dua anak Melayu
Novel Edensor adalah novel ketiga dan tetralogi Laskar Pelangi. Novel
ini bercerita tentang keberanian bermimpi, kekuatan cinta, pencarian diri
sendiri, dan penaklukan-pe-naklukan yang gagah berani.
Novel keempat, atau terakhir dalam rangkaian empat karya tetralogi
Laskar Pelangi, adalah Maryamah Karpov. Dalam Maryamab Karpov,
dengan satirenya yang khas, ironi yang menggelitik, dan intelegensia
yang meluap-luap namun membumi, Andrea berkisah tentang
perempuan dan satu sudut yang amat jarang diekspos penulis Indonesia
Membaca keempat novel tetralogi Laskar Peangi, kita tak hanya
menikmati epik yang bermutu. Kita juga akan menyaksikan bagaimana
seorang penulis berbakat berevolusi dan satu karya ke karya lainnya
untuk menuju master piecenya.
Buku ini kupersembahkan untuk
Guruku Ibu Muslimah Hafsari dan Bapak Harfan Effendi Noor.
Sepuluh sahabat masa kecilku anggota Laskar Pelangi
Ucapan terima kasih kusampaikan kepada Ally, Katja Kochling, Saskia de Rooij, Basuni
Hamin, Cindy Riza Stella, Heldy Suliswan Hirata, Yan Sancin, Zaharudin, Roxane,
Resval, Gatot Indra, Olan, Hazuan Seman Said, K.A. Arizal Artan, Okin di Telkom
Jember, dan terutama untuk Mas Gangsar Sukrisno serta Mbak Suhindrati a. Shinta di
Bab 1 Sepuluh Murid baru
Bab 4 Perempuan-Perempuan Perkasa
Bab 5 The Tower of Babel
Bab 8 Center of Excellence
Bab 9 Penyakit Gila No. 5
Bab 11 Langit Ketujuh
Bab 13 Jam Tangan Plastik Murahan
Bab 14 Laskar Pelangi dan Orang-Orang Sawang
Bab 15 Euforia Musim Hujan
Bab 16 Puisi Surga dan Kawanan Burung Pelintang Pulau
Bab 17 Ada Cinta di Toko Kelontong Bobrok Itu
Bab 19 Sebuah Kejahatan Terencana
Bab 22 Early Morning blue
Bab 26 Be There or Be Damned!
Bab 27 Detik-Detik Kebenaran
Bab 28 Societeit de Limpai
Bab 30 Elvis Has Left the Building
Dua belas tahun kemudian
“… and to every action there is always an equal
and opposite or contrary, reaction …”
Isaac newton, 1643-172
PAGI itu, waktu aku masih kecil, aku duduk di bangku panjang di depan sebuah kelas.
Sebatang pohon filicium tua yang riang meneduhiku. Ayahku duduk di sampingku,
memeluk pundakku dengan kedua lengannya dan tersenyum mengangguk-angguk pada
setiap orangtua dan anak-anaknya yang duduk berderet-deret di bangku panjang lain di
depan kami. Hari itu adalah hari yang agak penting: hari pertama masuk SD.
Di ujung bangku-bangku panjang tadi ada sebuah pintu terbuka. Kosen pintu itu
miring karena seluruh bangunan sekolah sudah doyong seolah akan roboh. Di mulut pintu
berdiri dua orang guru seperti para penyambut tamu dalam perhelatan. Mereka adalah
seorang bapak tua berwajah sabar, Bapak K.A. Harfan Efendy Noor, sang kepala sekolah
dan seorang wanita muda berjilbab, Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus. Seperti
ayahku, mereka berdua juga tersenyum.
Namun, senyum Bu Mus adalah senyum getir yang dipaksakan karena tampak
jelas beliau sedang cemas. Wajahnya tegang dan gerak-geriknya gelisah. Ia berulang kali
menghitung jumlah anak-anak yang duduk di bangku panjang. Ia demikian khawatir
sehingga tak peduli pada peluh yang mengalir masuk ke pelupuk matanya. Titik-titik
keringat yang bertimbulan di seputar hidungnya menghapus bedak tepung beras yang
dikenakannya, membuat wajahnya coreng moreng seperti pameran emban bagi
permaisuri dalam Dul Muluk, sandiwara kuno kampung kami.
“Sembilan orang … baru sembilan orang Pamanda Guru, masih kurang satu…,”
katanya gusar pada bapak kepala sekolah. Pak Harfan menatapnya kosong.
Aku juga merasa cemas. Aku cemas karena melihat Bu Mus yang resah dan
karena beban perasaan ayahku menjalar ke sekujur tubuhku. Meskipun beliau begitu
ramah pagi ini tapi lengan kasarnya yang melingkari leherku mengalirkan degup jantung
yang cepat. Aku tahu beliau sedang gugup dan aku maklum bahwa tak mudah bagi
seorang pria beruisa empat puluh tujuh tahun, seorang buruh tambang yang beranak
banyak dan bergaji kecil, utnuk menyerahkan anak laki-lakinya ke sekolah. Lebih mudah
menyerahkannya pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut atau pada juragan pantai
untuk menjadi kuli kopra agar dapat membantu ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak
berarti mengikatkan diri pada biaya selama belasan tahun dan hal itu bukan perkara
gampang bagi keluarga kami.
Maka aku tak sampai hati memandang wajahnya.
“Barangkali sebaiknya aku pulang saja, melupakan keinginan sekolah, dan
mengikuti jejak beberapa abang dan sepupu-sepupuku, menjadi kuli ….”
Tapi agaknya bukan hanya ayahku yang gentar. Setiap wajah orangtua di depanku
mengesankan bahwa mereka tidak sedang duduk di bangku panjang itu, karena pikiran
mereka, seperti pikiran ayahku, melayang-layang ke pasar pagi atau ke keramba di tepian
laut membayangkan anak lelakinya lebih baik menjadi pesuruh disana.Paraorangtua ini
sama sekali tak yakin bahwa pendidikan anaknya yang hanya mampu mereka biayai
paling tinggi sampai SMP akan dapat mempercerah masa depan keluarga. Pagi ini
mereka terpaksa berada di sekolah ini untuk menghindarkan diri dari celaan aparat desa
karena tak menyekolahkan anak atau sebagai orang yang terjebak tuntutan zaman baru,
tuntutan memerdekakan anak dari buta huruf.
Aku mengenal para orangtua dan anak-anaknya yang duduk di depanku. Kecuali
seorang anak lelaki kecil kotor berambut keriting merah yang meronta-ronta dari
pegangan ayahnya. Ayahnya itu tak beralas kaki dan bercelana kain belacu. Aku tak
mengenal anak beranak itu.
Selebihnya adalah teman baikku.Trapanimisalnya, yang duduk di pangkuan
ibunya, atau Kucai yang duduk di samping ayahnya, atau Syahdan yang tak diantar siapa-siapa.
Kami bertetangga dan kami adalah orang-orang Melayu belitong dari sebuah
komunitas yang paling miskin di pulau itu. Adapun sekolah ini, SD Muhammadiyah, juga
sekolah kampung yang paling miskin di Belitong.Adatiga alasan mengapa para orangtua
mendaftarkan anaknya di sini. Pertama, karena sekolah Muhammadiyah tidak
menetapkan iuran dalam bentuk apa pun, para orangtua hanya menyumbang sukarela
semampu mereka. Kedua, karena firasat, anak-anak mereka dianggap memiliki karakter
yang mudah disesatkan iblis sehingga sejak usia muda harus mendapatkan pendadaran
Islam yang tangguh. Ketiga, karena anaknya memang tak diterima di sekolah mana pun.
Bu Mus yang semakin khawatir memancang pandangannya ke jalan raya di
seberang lapangan sekolah berharap kalau-kalau masih ada pendaftar baru. Kami prihatin
melihat harapan hampa itu. Maka tidk seperti suasana di SD lain yang penuh
kegembiraan ketika menerima murid angkatan baru, suasana hari pertama di SD
Muhammadiyah penuh dengan kerisauan, dan yang paling risau adalah Bu Mus dan Pak
Guru-guru yang sederhana ini berada dalam situasi genting karena Pengawas
Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah memperingatkan bahwa jika SD Muhammadiyah
hanya mendapat murid baru kurang dari sepuluh orang maka sekolah paling tua di
Belitong ini harus ditutup. Karena itu sekarang Bu Mus dan Pak Harfan cemas sebab
sekolah mereka akan tamat riwayatnya, sedangkan para orangtua cemas karena biaya,
dan kami, sembilan anak-anak kecil ini yang terperangkap di tengah cemas kalau-kalau kami tak
Tahun lalu SD Muhammadiyah hanya mendapatkan sebelas siswa, dan tahun ini
Pak Harfan pesimis dapat memenuhi target sepuluh. Maka diam-diam beliau telah
mempersiapkan sebuah pidato pembubaran sekolah di depan para orangtua murid pada
kesempatan pagi ini. Kenyataan bahwa beliau hanya memerlukan satu siswa lagi untuk
memnuhi target itu menyebabkan pidato ini akan menjadi sesuatu yang menyakitkan hati.
“Kita tunggu sampai pukul sebelas,” kata Pak Harfan pada Bu Mus dan seluruh
orangtua yang telah pasrah. Suasana hening.
Paraorangtua mungkin menganggap kekurangan satu murid sebagai pertanda
bagi anak-anaknya bahwa mereka memang sebaiknya didaftarkan pada para juragan saja.
Sedangkan aku dan agaknya juga anak-anak yang lain merasa amat pedih: pedih pada
orangtua kami yang tak mampu, pedih menyaksikan detik-detik terakhir sebuah sekolah
tua yang tutup justru pada hari pertama kami ingin sekolah, dan pedih pada niat kuat
kami untuk belajar tapi tinggal selangkah lagi harus terhenti hanya karena kekurangan
satu murid. Kami menunduk dalam-dalam.
Saat itu sudah pukkul sebelas kuranglimadan Bu Mus semakin gundah.Lima
tahun pengabdiannya di sekolah melarat yang amat ia cintai dan tiga puluh dua tahun
pengabdian tanpa pamrih pada Pak Harfan, pamannya, akan berakhir di pagi yang sendu
“Baru sembilan orang Pamanda Guru …,” ucap Bu Mus bergetar sekali lagi. Ia
sudah tak bisa berpikir jernih. Ia berulang kali mengucapkan hal yang sama yang telah
diketahui semua orang. Suaranya berat selayaknya orang yang tertekan batinnya.
Akhirnya, waktu habis karena telah pukul sebelas lewatlimadan jumlah murid
tak juga genap sepuluh. Semangat besarku untuk sekolah perlahan-lahan runtuh. Aku
melepaskan lengan ayahku dari pundakku.Saharamenangis terisak-isak mendekap
ibunya karena ia benar-benar ingin sekolah di SD Muhammadiyah. Ia memakai sepatu,
kaus kaki, jilbab, dan baju, serta telah punya buku-buku, botol air minum, dan tas
punggung yang semuanya baru.
Pak Harfan menghampiri orangtua murid dan menyalami mereka satu per satu.
Sebuah pemandangan yang pilu.Paraorangtua menepuk-nepuk bahunya untuk
membesarkan hatinya. Mata Bu Mus berkilauan karena air mata yang menggenang. Pak
Harfan berdiri di depan para orangtua, wajahnya muram. Beliau bersiap-siap memberikan
pidato terakhir. Wajahnya tampak putus asa. Namun ketika beliau akan mengucapkan
kata pertama Assalamu’alaikum seluruh hadirin terperanjat karena Tripani berteriak
sambil menunjuk ke pinggir lapangan rumput luas halaman sekolah itu.
Kami serentak menoleh dan di kejauhan tampak seorang pria kurus tinggi berjalan
terseok-seok. Pakaian dan sisiran rambutnya sangat rapi. Ia berkemeja lengan panjang
putih yang dimasukkan ke dalam. Kaki dan langkahnya membentuk huruf x sehingga jika berjalan
seluruh tubuhnya bergoyang-goyang hebat. Seorang wanita gemuk setengah
baya yang berseri-seri susah payah memeganginya. Pria itu adalah Harun, pria jenaka
sahabat kami semua, yang sudah berusialimabelas tahun dan agak terbelakang
mentalnya. Ia sangat gembira dan berjalan cepat setengah berlari tak sabar menghampiri
kami. Ia tak menghiraukan ibunya yang tercepuk-cepuk kewalahan menggandengnya.
Mereka berdua hampir kehabisan napas ketika tiba di depan Pak Harfan.
“Bapak Guru …,” kata ibunya terengah-engah.
“Terimalah Harun, Pak, karena SLB hanya ada di PulauBangka, dan kami tak
punya biaya untuk menyekolahkannya kesana. Lagi pula lebih baik kutitipkan dia di
sekolah ini daripada di rumah ia hanya mengejar-ngejar anak-anak ayamku ….”
Harun tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya yang kuning panjang-panjang.
Pak Harfan juga terseyum, beliau melirik Bu Mus sambil mengangkat bahunya.
“Genap sepuluh orang …,” katanya.
Harun telah menyelamatkan kami dan kami pun bersorak.Saharaberdiri tegak
merapikan lipatan jilbabnya dan menyandang tasnya dengan gagah, ia tak mau duduk
lagi. Bu Mus tersipu. Air mata guru muda ini surut dan ia menyeka keringat di wajahnya
yang belepotan karena bercampur dengan bedak tepung beras.
IBU Muslimah yang beberapa menit lalu sembap, gelisah, dan coreng-moreng kini
menjelma menjadi sekuntum Crinum giganteum. Sebab tiba-tiba ia mekar sumringah dan
posturnya yang jangkung persis tangkai bunga itu. Kerudungnya juga berwarna bunga
crinum demikian pula bau bajunya, persis crinum yang mirip bau vanili. Sekarang dengan
ceria beliau mengatur tempat duduk kami.
Bu Mus mendekati setiap orangtua murid di bangku panjang tadi, berdialog
sebentar dengan ramah, dan mengabsen kami. Semua telah masuk ke dalam kelas, telah
mendapatkan teman sebangkunya masing-masing, kecuali aku dan anak laki-laki kecil
kotor berambut keriting merah yang tak kukenal tadi. Ia tak bisa tenang. Anak ini berbau
hangus seperti karet terbakar.
“Anak Pak Cik akan sebangku dengan Lintang,” kata Bu Mus pada ayahku.
Oh, itulah rupanya namanya, Lintang, sebuah nama yang aneh.
Mendengar keputusan itu Lintang meronta-ronta ingin segera masuk kelas.
Ayahnya berusaha keras menenangkannya, tapi ia memberontak, menepis pegangan
ayahnya, melonjak, dan menghambur ke dalam kelas mencari bangku kosongnya sendiri.
Di bangku itu ia seumpama balita yang dinaikkan ke atas tank, girang tak alang kepalang,
tak mau turun lagi. Ayahnya telah melepaskan belut yang licin itu, dan anaknya baru saja
meloncati nasib, merebut pendidikan.
Bu Mus menghampiri ayah Lintang. Pria itu berpotongan seperti pohon cemara
angin yang mati karena disambar petir: hitam, meranggas, kurus, dan kaku. Beliau adalah
seorang nelayan, namun pembukaan wajahnya yang mirip orang Bushman adalah raut
wajah yang lembut, baik hati, dan menyimpan harap. Beliau pasti termasuk dalam
sebagian besar warga negaraIndonesiayang menganggap bahwa pendidikan bukan hak
Tidak seperti kebanyakan nelayan, nada bicaranya pelan. Lalu beliau bercerita
pada Bu Mus bahwa kemarin sore kawanan burung pelintang pulau mengunjungi pesisir.
Burung-burung keramat itu hinggap sebentar di puncak pohon ketapang demi menebar
pertanda bahwa laut akan diaduk badai. Cuaca cenderung semakin memburuk akhir-akhir
ini maka hasil melaut tak pernah memadai. Apalagi ia hanya semacam petani penggarap,
bukan karena ia tak punya laut, tapi karena ia tak punya perahu.
Agaknya selama turun temurun keluarga laki-laki cemara angin itu tak mampu
terangkat dari endemik kemiskinan komunitas Melayu yang menjadi nelayan. Tahun ini
beliau menginginkan perubahan dan ia memutuskan anak laki-laki tertuanya, Lintang, tak
akan menjadi seperti dirinya. Lintang akan duduk di samping pria kecil berambut ikal
yaitu aku, dan ia akan sekolah di sini lalu pulang pergi setiap hari naik sepeda. Jika
panggilan nasibnya memang harus menjadi nelayan maka biarkan jalan kerikil batu
merah empat puluh kilometer mematahkan semangatnya. Bau hangus yang kucium tadi
ternyata adalah bau sandal cunghai, yakni sandal yang dibuat dari ban mobil, yang aus
karena Lintang terlalu jauh mengayuh sepeda.
Keluarga Lintang berasal dari Tanjong Kelumpang, desa nun jauh di pinggir laut.
Menuju kesanaharus melewati empat kawasan pohon nipah, temapt berawa-rawa yang
dianggap seram di kampung kami. Selain itu disanajuga tak jarang buaya sebesar
pangkal pohon sagu melintasi jalan. Kampung pesisir itu secara geografis dapat dikatakan
sebagai wilayah paling timur diSumatra, daerah minus nun jauh masuk ke pedalaman
Pulau Belitong. Bagi Lintang,kotakecamatan, tempat sekolah kami ini, adalah
metropolitan yang harus ditempuh dengan sepeda sejak subuh. Ah! Anak sekecil itu ….
Ketika aku menyusul Lintang ke dalam kelas ia menyalamiku dengan kuat seperti
pegangan tangan calon mertua yang menerima pinangan. Energi yang berlebihan di
tubuhnya serta-merta menjalar padaku laksana tersengat listrik. Ia berbicara tak henti henti penuh
minat dengan dialek Belitong yang lucu, tipikal orang Belitong pelosok. Bola
matanya bergerak-gerak cepat dan menyala-nyala. Ia seperti pilea, bunga meriam itu,
yang jika butiran air jatuh di atas daunnya, ia melontarkan tepung sari, semarak, spontan,
mekar, dan penuh daya hidup. Di dekatnya, aku merasa seperti ditantang mengambil
ancang-ancang untuk sprint seratus meter. Sekencang apa engkau berlari? Begitulah
Aku sendiri masih bingung. Terlalu banyak perasaan untuk ditanggung seorang
anak kecil dalam waktu demikian singkat. Cemas, senang, gugup, malu, teman baru, guru
baru … semuanya bercampur aduk. Ditambah lagi satu perasaan ngilu karena sepasang
sepatu baru yang dibelikan ibuku. Sepatu ini selalu kusembunyikan ke belakang. Aku
selalu menekuk lututku karena warna sepatu itu hitam bergaris-garis putih maka ia
tampak seperti sepatu sepak bola, jelek sekali. Bahannya pun dari plastik yang keras.
Abang-abangku sakit perut menahan tawa melihat sepatu itu waktu kami sarapan pagi
tadi. Tapi pandangan ayahku menyuruh mereka bungkam, membuat perut mereka kaku.
Kakiku sakit dan hatiku malu dibuat sepatu ini.
Sementara itu, kepala Lintang terus berputar-putar seperti burung hantu. Baginya,
penggaris kayu satu meter, vas bunga tanah liat hasil prakarya anak kelas enam di atas
meja Bu Mus, papan tulis lusuh, dan kapur tumpul yang berserakan di atas lantai kelas
yang sebagian telah menjadi tanah, adalah benda-benda yang menakjubkan.
Kemudian kulihat lagi pria cemara angin itu. Melihat anaknya demikian bergairah
ia tersenyum getir. Aku mengerti bahwa pira yang tak tahu tanggal dan bulan
kelahirannya itu gamang membayangkan kehancuran hati anaknya jika sampai drop out
saat kelas dua atau tiga SMP nanti karena alasan klasik: biaya atau tuntutan nafkah. Bagi
beliau pendidikan adalah enigma, sebuah misteri. Dari empat garis generasi yang
diingatnya, baru Lintang yang sekolah. Generasi kelima sebelumnya adalah masa
antediluvium, suatu masa yang amat lampau ketika orang-orang Melayu masih berkelana
sebagai nomad. Mereka berpakaian kulit kayu dan menyembah bulan.
UMUMNYA Bu Mus mengelompokkan tempat duduk kami berdasarkan
kemiripan. Aku dan Lintang sebangku karena kami sama-sama berambut ikal.Trapani
duduk dengan Mahar karena mereka berdua paling tampan. Penampilan mereka seperti
para penaltun irama semenanjung idola orang Melayu pedalaman.Trapanitak tertarik
dengan kelas, ia mencuri-curi pandang ke jendela, melirik kepala ibunya yang muncul
sekali-sekali di antara kepala orangtua lainnya.
Tapi Borek (bacanya Bore’, “e”-nya itu seperti membaca elang, bukan seperti
menyebut “e” pada kata edan, dan “k”-nya itu bukan “k” penuh, Anda tentu paham
maksud saya) dan Kucai didudukkan berdua bukan karena mereka mirip tapi karena
sama-sama susah diatur. Baru beberapa saat di kelas Borek sudah mencoreng muka
Kucai dengan penghapus papan tulis. Tingkah ini diikutiSaharayang sengaja
menumpahkan air minum A Kiong sehingga anak Hokian itu menangis sejadi-jadinya
seperti orang ketakutan dipeluk setan. N.A. Sahara Aulia Fadillah binti K.A. Muslim
Ramdhani Fadillah, gadis kecil berkerudung itu, memang keras kepala luar biasa.
Kejadian itu menandai perseteruan mereka yang akan berlangsung akut bertahun-tahun.
Tangisan A Kiong nyaris merusak acara perkenalan yang menyenangkan pagi itu.
Sebaliknya, bagiku pagi itu adalah pagi yang tak terlupakan sampai puluhan tahun
mendatang karena pagi itu aku melihat Lintang dengan canggung menggenggam sebuah
pensil besar yang belum diserut seperti memegang sebilah belati. Ayahnya pasti telah
keliru membeli pensil karena pensil itu memiliki warna yang berbeda di kedua ujungnya.
Salah satu ujungnya berwarna merah dan ujung lainnya biru. Bukankah pensil semacam
itu dipakai para tukang jahit untuk menggaris kain? Atau para tukang sol sepatu untuk
membuat garis pola pada permukaan kulit? Sama sekali bukan untuk menulis.
Buku yang dibeli juga keliru. Buku bersampul biru tua itu bergaris tiga. Bukankah
buku semacam itu baru akan kami pakai nanti saat kelas dua untuk pelajaran menulis
rangkai indah? Hal yang tak akan pernah kulupakan adalah bahwa pagi itu aku
menyaksikan seorang anak pesisir melarat—teman sebangku—untuk pertama kalinya
memegang pensil dan buku, dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya, setiap apa pun
yang ditulisnya merupakan buah pikiran yang gilang gemilang, karena nanti ia—seorang
anak miskin pesisir—akan menerangi nebula yang melingkupi sekolah miskin ini sebab
ia akan berkembang menjadi manusia paling genius yang pernah kujumpai seumur
TAK susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan
atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit
saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan.
Kami memiliki enam kelas kecil-kecil, pagi untuk SD Muhammadiyah dan sore
untuk SMP Muhammadiyah. Maka kami, sepuluh siswa baru ini bercokol selama
sembilan tahun di sekolah yang sama dan kelas-kelas yang sama, bahkan susunan kawan
sebangku pun tak berubah selama sembilan tahun SD dan SMP itu.
Kami kekurangan guru dan sebagian besar siswa SD Muhammadiyah ke sekolah
memakai sandal. Kami bahkan tak punya seragam. Kami juga tak punya kotak P3K. Jika
kami sakit, sakit apa pun: diare, bengkak, batuk, flu, atau gatal-gatal maka guru kami
akan memberikan sebuah pil berwarna putih, berukuran besar bulat seperti kancing jas
hujan, yang rasanya sangat pahit. Jika diminum kita bisa merasa kenyang. Pada pil itu
ada tulisan besar APC. Itulah pil APC yang legendaris di kalangan rakyat pinggiran
Belitong. Obat ajaib yang bisa menyembuhkan segala rupa penyakit.
Sekolah Muhammadiyah tak pernah dikunjungi pejabat, penjual kaligrafi,
pengawas sekolah, apalagi anggota dewan. Yang rutin berkunjung hanyalah seorang pria
yang berpakaian seperti ninja. Di punggungnya tergantung sebuah tabung aluminium
besar dengan slang yang menjalar kesanakemari. Ia seperti akan berangkat ke bulan.
Pria ini adalah utusan dari dinas kesehatan yang menyemprot sarang nyamuk dengan
DDT. Ketika asap putih tebal mengepul seperti kebakaran hebat, kami pun bersoraksorak
Sekolah kami tidak dijaga karena tidak ada benda berharga yang layak dicuri.
Satu-satunya benda yang menandakan bangunan itu sekolah adalah sebatang tiang
bendera dari bambu kuning dan sebuah papan tulis hijau yang tergantung miring di dekat
lonceng. Lonceng kami adalah besi bulat berlubang-lubang bekas tungku. Di papan tulis
itu terpampang gambar matahari dengan garis-garis sinar berwarna putih. Di tengahnya
Sekolah Dasar Muhammadiyah
Lalu persis di bawah mathari tadi tertera huruf-huruf arab gundul yang nanti
setelah kelas dua, setelah aku pandai membaca huruf arab, aku tahu bahwa tulisan itu
berbunyi amar makruf nahi mungkar artinya :menyuruh kepada yang makruf dan
mencegah dari yang mungkar”. Itulah pedoman utama warga Muhammadiyah. Kata-kata
itu melekat dalam kalbu kami sampai dewasa nanti. Kata-kata yang begitu kami kenal
seperti kami mengenal bau alami ibu-ibu kami.
Jika dilihat dari jauh sekolah kami seolah akan tumpah karena tiang-tiang kayu
yang tua sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka sekolah kami sangat mirip
gudang kopra. Konstruksi bangunan yang menyalahi prinsip arsitektur ini menyebabkan
tak ada daun pintu dan jendela yang bisa dikunci karena sudah tidak simetris dengan
rangka kusennya. Tapi buat apa pula dikunci?
Di dalam kelas kami tidak terdapat tempelan poster operasi kali-kalian seperti
umumnya terdapat di kelas-kelas sekolah dasar. Kami juga tidak memiliki kalender dan
tak ada gambar presiden dan wakilnya, atau gambar seekor burung aneh berekor delapan
helai yang selalu menoleh ke kanan itu. Satu-satunya tempelan disanaadalah sebuah
poster, persis di belakang meja Bu Mus untuk menutupi lubang besar di dinding papan.
Poster itu memperlihatkan gambar seorang pria berjenggot lebat, memakai jubah, dan ia
memegang sebuah gitar penuhgaya. Matanya sayu tapi meradang, seperti telah
mengalami cobaan hidup yang mahadahsyat. Dan agaknya ia memang telah bertekad
bulat melawan segala bentuk kemaksiatan di muka bumi. Di dalam gambar tersebut sang
pria tadi melongok ke langit dan banyak sekali uang-uang kertas serta logam berjatuhan
menimpa wajahnya. Di bagian bawah poster itu terdapat dua baris kalimat yang tak
kupahami. Tapi nanti setelah naik ke kelas dua dan sudah pintar membaca, aku mengerti
bunyi kedua kalimat itu adalah: RHOMA IRAMA, HUJAN DUIT!
Maka pada intinya tak ada yang baru dalam pembicaraan tentang sekolah yang
atapnya bocor, berdinding papan, berlantai tanah, atau yang kalau malam dipakai untuk
menyimpan ternak, semua itu telah dialami oleh sekolah kami. Lebih menarik
membicarakan tentang orang-orang seperti apa yang rela menghabiskan hidupnya
bertahan di sekolah semacam ini. Orang-orang itu tentu saja kepala sekolah kami Pak
K.A. Harfan Efendy Noor bin K.A. Fadillah Zein Noor dan Ibu N.A. Muslimah Hafsari
Hamid binti K.A. Abdul Hamid.
Pak Harfan, seperti halnya sekolah ini, tak susah digambarkan. Kumisnya tebal,
cabangnya tersambung pada jenggot lebat berwarna kecokelatan yang kusam dan
beruban. Hemat kata, wajahnya mirip Tom Hanks, tapi hanya Tom Hanks di dalam film
di mana ia terdampar di sebuah pulau sepi, tujuh belas bulan tidak pernah bertemu
manusia dan mulai berbicara dengan sebuah bola voli. Jika kita bertanya tentang
jenggotnya yang awut-awtuan, beliau tidak akan repot-repot berdalih tapi segera
menyodorkan sebuah buku karya Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandhallawi Rah,
R.A. yang berjudul Keutamaan Memelihara Jenggot. Cukup membaca pengantarnya saja
Anda akan merasa malu sudah bertanya.
K.A. pada nama depan Pak Harfan berarti Ki Agus. Gelar K.A. mengalir dalam
garis laki-laki silsilah Kerajaan Belitong. Selama puluhan tahun keluarga besar yang amat
bersahaja ini berdiri pada garda depan pendidikan disana. Pak Harfan telah puluhan
tahun mengabdi di sekolah Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan apa pun demi motif
syiar Islam. Beliau menghidupi keluarga dari sebidang kebun palawija di pekarangan
Hari ini Pak Harfan mengenakan baju takwa yang dulu pasti berwarna hijau tapi
kini warnanya pudar menjadi putih. Bekas-bekas warna hijau masih kelihatan di baju itu.
Kaus dalamnya berlubang di beberapa bagian dan beliau mengenakan celana panjang
yang lusuh karena terlalu sering dicuci. Seutas ikat pinggang plastik murahan bermotif
ketupat melilit tubuhnya. Lubang ikat pinggang itu banyak berderet-deret, mungkin telah
dipakai sejak beliau berusia belasan.
Karena penampilan Pak Harfan agak seperti beruang madu maka ketika pertama
kali melihatnya kami merasa takut. Anak kecil yang tak kuat mental bisa-bisa langsung
terkena sawan. Namun, ketika beliau angkat bicara, tak dinyana, meluncurlah mutiara-
mutiara nan puitis sebagai prolog penerimaan selamat datang penuh atmosfer sukacita di
sekolahnya yang sederhana. Kemudian dalam waktu yang amat singkat beliau telah
merebut hati kami. Bapak yang jahitan kerah kemejanya telah lepas itu bercerita tentang
perahu Nabi Nuh serta pasangan-pasangan binatang yang selamat dari banjir bandang.
“Mereka yang ingkar telah diingatkan bahwa air bah akan datang …,” demikian
ceritanya dengan wajah penuh penghayatan.
“Namun, kesombongan membutakan mata dan menulikan telinga mereka, hingga
mereka musnah dilamun ombak ….”
Sebuah kisah yang sangat mengesankan. Pelajaran moral pertama bagiku: jika tak
rajin sahalat maka pandai-pandailah berenang.
Cerita selanjutnya sangat memukau. Sebuah cerita peperangan besar zaman
Rasulullah di mana kekuatan dibentuk oleh iman bukan oleh jumlah tentara: perang
Badar! Tiga ratus tiga belas tentara Islam mengalahkan ribuan tentara Quraisy yang kalap
dan bersenjata lengkap.
“Ketahuilah wahai keluarga Ghudar, berangkatlah kalian ke tempat-tempat
kematian kalian dalam masa tiga hari!” Demikian Pak Harfan berteriak lantang sambil
menatap langit melalui jendela kelas kami. Beliau memekikkan firasat mimpi seorang
penduduk Mekkah, firasat kehancuran Quraisy dalam kehebatan perang Badar.
Mendengar teriakan itu rasanya aku ingin melonjak dari tempat duduk. Kami
ternganga karena suara Pak Harfan yang berat menggetarkan benang-benang halus dalam
kalbu kami. Kami menanti liku demi liku cerita dalam detik-detik menegangkan dengan
dada berkobar-kobar ingin membela perjuangan para penegak Islam. Lalu Pak Harfan
mendinginkan suasana yang berkisah tentang penderitaan dan tekanan yang dialami
seorang pria bernama Zubair bin Awam. Dulu nun di tahun 1929 tokoh ini bersusah
payah, seperti kesulitan Rasulullah ketika pertama tiba di Madinah, mendirikan sekolah
dari jerjak kayu bulat seperti kandang. Itulah sekolah pertama di Belitong. Kemudian
muncul para tokoh seperti K.A. Abdul Hamid dan Ibrahim bin Zaidin yang berkorban
habis-habisan melanjutkan sekolah kandang itu menjadi sekolah Muhammadiyah.
Sekolah ini adalah sekolah Islam pertama di Belitong, bahkan mungkin di Sumatra
Pak Harfan menceritakan semua itu dengan semangat perang badar sekaligus
setenang embusan angin pagi. Kami terpesona pada setiap pilihan kata dan gerak lakunya
yang memikat.Adasemacam pengaruh yang lembut dan baik terpancar darinya. Ia
mengesankan sebagai pria yang kenyang akan pahit getir perjuangan dan kesusahan
hidup, berpengetahuan seluas samudra, bijak, berani mengambil risiko, dan menikmati
daya tarik dalam mencari-cari bagaimana cara menjelaskan sesuatu agar setiap orang
Pak Harfan tampak amat bahagia menghadapi murid, tipikal “guru” yang
sesungguhnya, seperti dalam lingua asalnya,India, yaitu orang yang tak hanya
mentransfer sebuah pelajaran, tapi juga yang secara pribadi menjadi sahabat dan
pembimbing spiritual bagi muridnya. Beliau sering menaikturunkan intonasi, menekan
kedua ujung meja sambil mempertegas kata-kata tertentu, dan mengangkat kedua
tangannya laksana orang berdoa minta hujan.
Ketika mengajukan pertanyaan beliau berlari-lari kecil mendekati kami, menatap
kami penuh arti dengan pandangan matanya yang teduh seolah kami adalah anak-anak
Melayu yang paling berharga. Lalu membisikkan sesuatu di telinga kami, menyitir
dengan lancar ayat-ayat suci, menantang pengetahuan kami, berpantun, membelai hati
kami dengan wawasan ilmu, lalu diam, diam berpikir seperti kekasih merindu, indah
Beliau menorehkan benang merah kebenaran hidup yang sederhana melalui katakatanya
yang ringan namun bertenaga seumpama titik-titik air hujan. Beliau
mengobarkan semangat kami utnuk belajar dan membuat kami tercengang dengan
petuahnya tentang keberanian pantang menyerah melawan kesulitan apa pun. Pak Harfan
memberi kami pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, tentang ketekunan,
tentang keinginan kuat untuk mencapai cita-cita. Beliau meyakinkan kami bahwa hidup
bisa demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban
untuk sesama. Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap
jauh ke dalam dadaku serta memberi arah bagiku hingga dewasa, yaitu bahwa hiduplah
untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.
Kami tak berkedip menatap sang juru kisah yang ulung ini. Pria ini buruk rupa
dan buruk pula setiap apa yang disandangnya, tapi pemikirannya jernih dan kata-katanya
bercahaya. Jika ia mengucapkan sesuatu kami pun terpaku menyimaknya dan tak sabar
menunggu untaian kata berikutnya. Tiba-tiba aku merasa sangat beruntung didaftarkan
orangtuaku di sekolah miskin Muhammadiyah. Aku merasa telah terselamatkan karena
orangtuaku memilih sebuah sekolah Islam sebagai pendidikan paling dasar bagiku. Aku
merasa amat beruntung berada di sini, di tengah orang-orang yang luar biasa ini. Ada
keindahan di sekolah Islam melarat ini. Keindahan yang tak ‘kan kutukar dengan seribu
kemewahan sekolah lain.
Setiap kali Pak Harfan ingin menguji apa yang telah diceritakannya kami
berebutan mengangkat tangan, bahkan kami mengacung meskipun beliau tak bertanya,
dan kami mengacung walaupun kami tak pasti akan jawaban. Sayangnya bapak yang
penuh daya tarik ini harus mohon diri. Satu jam dengannya terasa hanya satu menit. Kami
mengikuti setiap inci langkahnya ketika meninggalkan kelas. Pandangan kami melekat
tak lepas-lepas darinya karena kami telah jatuh cinta padanya. Beliau telah membuat
kami menyayangi sekolah tua ini. Kuliah umum dari Pak Harfan di hari pertama kami
masuk SD Muhammadiyah langsung menancapkan tekad dalam hati kami untuk
membela sekolah yang hampir rubuh ini, apa pun yang terjadi.
Kelas diambil alih oleh Bu Mus. Acaranya adalah perkenalan dan akhirnya tibalah
giliran A Kiong. Tangisnya sudah reda tapi ia masih terisak. Ketika diminta ke depan
kelas ia senang bukan main. Sekarang di sela-sela isaknya ia tersenyum. Ia menggoyanggoyangkan
tubuhnya. Tangan kirinya memegang botol air yang kosong—karena isinya
tadi ditumpahkanSahara—dan tangan kanannya menggenggam kuat tutup botol itu.
“Silahkan ananda perkenalkan nama dan alamat rumah …,” pinta Bu Mus lembut
pada anak Hokian itu.
A Kiong menatap Bu Mus dengan ragu kemudian ia kembali tersenyum.
Bapaknya menyeruak di antara kerumunan orangtua lainnya, ingin menyaksikan anaknya
beraksi. Namun, meskipun berulang kali ditanya A Kiong tidak menjawab sepatah kata
pun. Ia terus tersenyum dan hanya tersenyum saja.
“Silakan ananda …,” Bu Mus meminta sekali lagi dengan sabar.
Namun sayang A Kiong hanya menjawabnya dengan kembali tersenyum. Ia
berkali-kali melirik bapaknya yang kelihatan tak sabar. Aku dapat membaca pikiran
ayahnya, “Ayolah anakku, kuatkan hatimu, sebutkan namamu! Paling tidak sebutkan
nama bapakmu ini, sekali saja! Jangan bikin malu orang Hokian!” Bapak Tionghoa
berwajah ramah ini dikenal sebagai seorang Tionghoa kebun, strata ekonomi terendah
dalam kelas sosial orang-orang Tionghoa di Belitong.
Namun, sampai waktu akan berakhir A Kiong masih tetap saja tersenyum. Bu
Mus membujuknya lagi.
“Baiklah ini kesempatan terakhir untukmu mengenalkan diri, jika belum bersedia
maka harus kembali ke tempat duduk.”
A Kiong malah semakin senang. Ia masih sama sekali tak menjawab. Ia
tersenyum lebar, matanya yang sipit menghilang. Pelajaran moral nomor dua: jangan
tanyakan nama dan alamat pada orang yang tinggal di kebun. Maka berakhirlah
perkenalan di bulan Februari yang mengesankan itu.
PEREMPUAN-PERMPUAN PERKASA
AKU pernah membaca kisah tentang wanita yang membelah batu karang untuk
mengalirkan air, wanita yang menenggelamkan diri belasan tahun sendirian di tengah
rimba untuk menyelamatkan beberapa keluarga orang utan, atau wanita yang berani
mengambil risiko tertular virus ganas demi menyembuhkan penyakit seorang anak yang
sama sekali tak dikenalnya nun jauh diSomalia. Di sekolah Muhammadiyah setiap hari
aku membaca keberanian berkorban semacam itu di wajah wanita muda ini.
N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, atau kami
memanggilnya Bu Mus, hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian
Putri), namun beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya—K.A. Abdul Hamid,
pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong—untuk terus mengobarkan pendidikan
Islam. Tekad itu memberinya kesulitan hidup yang tak terkira, karena kami kekurangan
guru—lagi pula siapa yang rela diupah beras 15 kilo setiap bulan? Maka selama enam
tahun di SD Muhammadiyah, beliau sendiri yang mengajar semua mata pelajaran—mulai
dari Menulis Indah, Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, Ilmu Bumi, sampai
Matematika, Geografi, Prakarya, dan Praktik Olahraga. Setelah seharian mengajar, beliau
melanjutkan bekerja menerima jahitan sampai jauh malam untuk mencari nafkah,
menopang hidup dirinya dan adik-adinya.
BU MUS adalah seroang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan
jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri silabus pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan
kepada kami sejak dini pandangan-pandangan dasar moral, demokrasi, hukum, keadilan,
dan hak-hak asasi—jauh hari sebelum orang-orang sekarang meributkan soal
materialisme versus pembangunan spiritual dalam pendidikan. Dasar-dasar moral itu
menuntun kami membuat konstruksi imajiner nilai-nilai integritas pribadi dalam konteks
Islam. Kami diajarkan menggali nilai luhur di dalam diri sendiri agar berperilaku baik
karena kesadaran pribadi. Materi pelajaran Budi Pekerti yang hanya diajarkan di sekolah
Muhammadiyah sama sekali tidak seperti kode perilaku formal yang ada dalam konteks
legalitas institusional seperti sapta prasetya atau pedoman-pedoman pengalaman lainnya.
“Shalatlah tepat waktu, biar dapat pahala lebih banyak,” demikian Bu Mus selalu
Bukankah ini kata-kata yang diilhami surah An-Nisa dan telah diucapkan ratusan
kali oleh puluhan khatib? Sering kali dianggap sambil lalu saja oleh umat. Tapi jika yang
mengucapkannya Bu Mus kata-kata itu demikian berbeda, begitu sakti, berdengungdengung
di dalam kalbu. Yang terasa kemudian adalah penyesalan mengapa telah
Pada kesempatan lain, karena masih kecil tentu saja, kami sering mengeluh
mengapa sekolah kami tak seperti sekolah-sekolah lain. Terutama atap sekolah yang
bocor dan sangat menyusahkan saat musim hujan. Beliau tak menanggapi keluhan itu tapi
mengeluarkan sebuah buku berbahasa Belanda dan memerplihatkan sebuah gambar.
Gambar itu adalah sebuah ruangan yang sempit, dikelilingi tembok tebal yang
suram, tinggi, gelap, dan berjeruji. Kesan di dalamnya begitu pengap, angker, penuh
kekerasan dan kesedihan.
“inilah sel Pak Karno di sebuah penjara diBandung, di sini beliau menjalani
hukuman dan setiap hari belajar, setiap waktu membaca buku. Beliau adalah salah satu
orang tercerdas yang pernah dimiliki bangsa ini.”
Beliau tak melanjutkan ceritanya.
Kami tersihir dalam senyap. Mulai saat itu kami tak pernah lagi memprotes
keadaan sekolah kami. Pernah suatu ketika hujan turun amat lebat, petir sambar
menyambar.Trapanidan Mahar memakai terindak, topi kerucut dari daun lais khas
tentara Vietkong, untuk melindungi jambul mereka. Kucai, Borek, danSaharamemakai
jas hujan kuning bergambar gerigi metal besar di punggungnya dengan tulisan “UPT Bel”
(Unit Penambangan Timah Belitong)—jas hujan jatah PN Timah milik bapaknya. Kami
sisanya hampir basah kuyup. Tapi sehari pun kami tak pernah bolos, dan kami tak pernah
mengeluh, tidak, sedikit pun kami tak pernah mengeluh.
Bagi kami Pak Harfan dan Bu Mus adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang
sesungguhnya. Merekalah mentor, penjaga, sahabat, pengajar, dan guru spiritual. Mereka
yang pertama menjelaskan secara gamblang implikasi amar makruf nahi mungkar
sebagai pegangan moral kami sepanjang hayat. Mereka mengajari kami membuat rumahrumahan
dari perdu apit-apit, mengusap luka-luka di kaki kami, membimbing kami cara
mengambil wudu, melongok ke dalam sarung kami ketika kami disunat, mengajari kami
doa sebelum tidur, memompa ban sepeda kami, dan kadang-kadang membuatkan kami
Mereka adalah ksatriatampapamrih, pangeran keikhlasan, dan sumur jernih ilmu
pengetahuan di ladang yang ditinggalkan. Sumbangan mereka laksana manfaat yang
diberikan pohon filicium yang menaungi atap kelas kami. Pohon ini meneduhi kami dan
dialah saksi seluruh drama ini. Seperti guru-guru kami, filicium memberi napas
kehidupan bagi ribuan organisme dan menjadi tonggak penting mata rantai ekosistem.
JUMLAH orang Tionghoa di kampung kami sekitar sepertiga dari total populasi.Ada
orang Kek, ada orang Hokian, ada orang Tongsan, dan ada yang tak tahu asal usulnya.
Bisa saja mereka yang lebih dulu mendiami pulau ini daripada siapa pun. Aichang, phok,
kiaw, dan khaknai, seluruhnya adalah perangkat penambangan timah primitf yang
sekarang dianggap temuan arkeologi, bukti bahwa nenek moyang mereka telah lama
sekali berada di Pulau Belitong. Komunitas ini selalu tipikal: rendah hati ddan pekerja
keras. Meskipun jauh terpisah dari akar budayanya namun mereka senantiasa memelihara
adat istiadatnya, dan di Belitong mereka beruntung karena mereka tak perlu jauh-jauh
datang ke Jinchanying kalau hanya ingin melihat Tembok Besar Cina.
Persis bersebelahan dengan toko-toko kelontong milik warga Tionghoa ini berdiri
tembok tinggi yang panjang dan disanasini tergantung papan peringatan “DILARANG
MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”. Di atas tembok ini tidak hanya
ditancapi pecahan-pecahan kaca yang mengancam tapi juga dililitkan empat jalur kawat
berduri seperti di kampAuschwitz. Namun, tidak seperti Tembok Besar Cina yang
melindungi berbagai dinasti dari sebuan suku-suku Mongol di utara, di Belitong tembok
yang angkuh dan berkelak-kelok sepanjang kiloan meter ini adalah pengukuhan sebuah
dominasi dan perbedaan status sosial.
Di balik tembok itu terlindung sebuah kawasan yang disebut Gedong, yaitu negeri
asing yang jika berada di dalamnya orang akan merasa tak sedang berada di Belitong.
Dan di dalamsanaberdiri sekolah-sekolah PN. Sekolah PN adalah sebutan untuk sekolah
milik PN (Perusahaan Negara) Timah, sebuah perusahaan yang paling berpengaruh di
Belitong, bahkan sebuah hegemoni lebih tepatnya, karena timah adalah denyut nadi pulau
Suatu sore seorang gentleman keluar dari balik tembok itu untuk berkeliling
kampung dengan sebuah Chevrolet Corvette, lalu esoknya di depan sebuah majelis ia
“Tak satu pun kulihat ada anak muda memegang pacul! Tak pernah kulihat orangorang
muda demikian malas seperti di sini.”
Ha? Apa dia kira kami bangsa petani? Kami adalah buruh-buruh tambang yang
bangga, padi tak tumbuh di atas tanah-tanah kami yang kaya material tambang!
LAKSANA theTowerofBabel—yakni Menara Babel, metafora tangga menuju
surga yang ditegakkan bangsa babylonia sebagai perlambang kemakmuran 5.600 tahun
lalu, yang berdiri arogan di antara Sungai Tigris dan Eufrat di tanah yang sekarang
disebut Irak—timah di Belitong adalah menara gading kemakmuran berkah Tuhan yang
menjalar sepanjang Semenanjung Malaka, tak putus-putus seperti jalian urat di punggung
Orang Melayu yang merogohkan tangannya ke dalam lapisan dangkal aluvium,
hampir di sembarang tempat, akan mendapati lengannya berkilauan karena dilumuri
ilmenit atau timah kosong. Bermil-mil dari pesisir, Belitong tampak sebagai garis pantai
kuning berkilauan karena bijih-bijih timah dan kuarsa yang disirami cahaya matahari.
Pantulan cahaya itu adalah citra yang lebih kemilau dari riak-riak gelombang laut dan
membentuk semacam fatamorgana pelangi sebagai mercusuar yang menuntun para
Tuhan memberkahi Belitong dengan timah bukan agar kapal yang berlayar ke
pulau itu tidak menyimpang ke Laut Cina Selatan, tetapi timah dialirkan-Nya kesana
untuk menjadi mercusuar bagi penduduk pulau itu sendiri. Adakah mereka telah semena mena pada
rezeki Tuhan sehingga nanti terlunta-lunta seperti di kala Tuhan menguji
Kilau itu terus menyala sampai jauh malam. Eksploitasi timah besar-besaran
secara nonstop diterangi ribuan lampu dengan energi jutaan kilo watt. Jika disaksikan
dari udara di malam hari Pulau Belitong tampak seperti familia besar Ctenopore, yakni
ubur-ubur yang memancarkan cahaya terang berwarna biru dalam kegelapan latu: sendiri,
kecil, bersinar, indah, dan kaya raya. Belitong melayang-layang di antara Selat Gaspar
dan Karimata bak mutiara dalma tangkupan kerang.
Dan terberkatilah tanah yang dialiri timah karena ia seperti knautia yang dirubung
beragam jenis lebah madu. Timah selalu mengikat material ikutan, yakni harta karun tak
ternilai yang melimpah ruah: granit, zirkonium, silika, senotim, monazite, ilmenit, siderit,
hematit, clay, emas, galena, tembaga, kaolin, kuarsa, dan topas …. Semuanya berlapislapis,
meluap-luap, beribu-ribu ton di bawah rumah-rumah panggung kami. Kekayaan ini
adalah … bahan dasar kaca berkualitas paling tinggi, bijih besi dan titanium yang bernas,
… material terbaik untuk superkonduktor, timah kosong ilmenit yang digunakan
laboratorium roket NASA sebagai materi antipanas ekstrem, zirkonium sebagai bahan
dasar produk-produk tahan api, emas murni dan timah hitam yang amat mahal, bahkan
kami memiliki sumber tenaga nuklir: uranium yang kaya raya. Semua ini sangat
kontradiktif dengan kemiskinan turun temurun penduduk asli Melayu Belitong yang
hidup berserakan di atasnya. Kami seperti sekawanan tikus yang paceklik di lumbung
Belitong dalam batas kuasa eksklusif PN Timah adalahkotapraja Konstantinopel
yang makmur. PN adalah penguasa tunggal Pulau Belitungyang termasyhur di seluruh
negeri sebagai Pulau Timah. Nama itu tercetak di setiap buku geografi atau buku
Himpunan Pengetahuan Umum pustaka wajib sekolah dasar. PN amat kaya. Ia punya
jalan raya, jembatan, pelabuhan, real estate, bendungan, dok kapal, sarana
telekomunikasi, air, listrik, rumah-rumah sakit, sarana olahraga—termasuk beberapa
padanggolf, kelengkapan sarana hiburan, dan sekolah-sekolah. PN menjadikan
Belitong—sebuah pulau kecil—seumpama desa perusahaan dengan aset triliunan rupiah.
PN merupakan penghasil timah nasional terbesar yang mempekerjakan tak kurang
dari 14.000 orang. Ia menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong dan
menghasilkan devisa jutaan dolar. Lahan eksploiotasinya tak terbatas. Lahan itu disebut
kuasa penambangan dan secara ketat dimonopoli. Legitimasi ini diperoleh melalui
pembayaran royalti—lebih pas disebut upeti—miliaran rupiah kepada pemerintah. PN
mengoperasikan 16 unit emmer bager atau kapal keruk yang bergerak lamban, mengorek
isi bumi dengan 150 buah mangkuk-mangkuk baja raksasa, siang malam merambah laut,
sungai, dan rawa-rawa, bersuara mengerikan laksana kawanan dinosaurus.
Di titik tertinggi siklus komidi putar, di masa keemasan itu, penumpangnya
mabuk ketinggian dan tertidur nyenyak, melanjutkan mimpi gelap yang ditiup-tiupkan
kolonialis. Sejak zaman penjajahan, sebagai platform infrastruktur ekonomi, PN tidak
hanya memonopoli faktor produksi terpenting tapi juga mewarisi mental bobrok
feodalistis ala Belanda. Sementara seperti sering dialami oleh warga pribumi di mana pun
yang sumber daya alamnya dieksploitasi habis-habisan, sebagaian komunitas di Belitong
juga termarginalkan dalam ketidakadilan kompensasi tanah ulayah, persamaan
kesempatan, dan trickle down effects.
PULAU Belitong yang makmur seperti mengasingkan diri dari tanahSumatrayang
membujur dan disanamengalir kebudayaan Melayu yang tua. Pada abad ke-19, ketika
korporasi secara sistematis mengeksploitasi timah, kebudayaan bersahaja itu mulai hidup
dalam karakteristik sosiologi tertentu yang atribut-atributnya mencerminkan perbedaan
sangat mencolok seolah berdasarkan status berkasta-kasta. Kasta majemuk itu tersusun
rapi mulai dari para petinggi PN Timah yang disebut “orang staf” atau urang setap dalam
dialek lokal sampai pada para tukang pikul pipa di instalasi penambangan serta warga
suku Sawang yang menjadi buruh-buruh yuka penjahit karung timah. Salah satu atribut
diskriminasi itu adalah sekolah-sekolah PN.
Maka lahirlah kaum menak, implikasi dari institusi yang ingin memelihara citra
aristokrat. PN melimpahi orang staf dengan penghasilan dan fasilitas kesehatan,
pendidikan, promosi, transportasi, hiburan, dan logistik yang sangat diskriminatif
dibanding kompensasi yang diberikan kepada mereka yang bukan orang staf. Mereka,
kaum borjuis ini, bersemayam di kawasan eksklusif yang disebut Gedong. Mereka seperti
orang-orang kulit putih di wilayah selatan Amerika pada tahun 70-an. Feodalisme di
Belitong adalah sesuatu yang unik, karena ia merupakan konsekuensi dari adanya budaya
korporasi, bukan karena tradisi paternalistik dari silsilah, subkultur, atau privilese yang
dianugerahkan oleh penguasa seperti biasa terjadi di berbagai tempat lain.
Sepadan dengan kebun gantung yang memesona di pelataran menaraBabylonia,
sebuah taman kesayangan Tiran Nebuchadnezzar III untuk memuja Dewa Marduk,
Gedong adalah land markBelitong. Ia terisolasi tembok tinggi berkeliling dengan satu
akses keluar masuk seperti konsep cul de sacdalam konsep pemukiman modern.
Arsitektur dan desain lanskapnya bergaya sangat kolonial. Orang-orang yang tinggal di
dalamnya memiliki nama-nama yang aneh, misalnya Susilo, Cokro, Ivonne, Setiawan,
atau Kuntoro, tak ada Muas, Jamali, Sa’indun, Ramli, atau Mahader seperti nama orangorang
Melayu, dan mereka tidak pernah menggunakan bin atau binti.
Gedong lebih seperti sebuahkotasatelit yang dijaga ketat oleh para Polsus (Polisi
Khusus) Timah. Jika ada yang lancang masuk maka koboi-koboi tengik itu akan
menyergap, mengintergoasi, lalu interogasi akan ditutup dengan mengingatkan sang
tangkapan pada tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”
yang bertaburan secara mencolok pada berbagai akses dan fasilitas disana, sebuah power
statementtipikal kompeni.
Kawasan warisan Belanda ini menjunjung tinggi kesan menjaga jarak, dan kesan
itu diperkuat oleh jajaran pohon-pohon saga tua yang menjatuhkan butir-butir buah
semerah darah di atas kap mobil-mobil mahal yang berjejal-jejal sampai keluar garasi. Di
sana, rumah-rumah mewah besar bergayaVictoriamemiliki jendela-jendela kaca lebar
dan tinggi dengan tirai yang berlapis-lapis laksana layar bioskop. Rumah-rumah itu
ditempatkan pada kontur yang agak tinggi sehingga kelihatan seperti kastil-kastil kaum
bangsawan dengan halaman terpelihara rapi dan danau-danau buatan. Di dalamnya hidup
tenteram sebuah keluarga kecil dengan dua atau tiga anak yang selalu tampak damai,
Setiap rumah memiliki empat bangunan terpisah yang disambungkan oleh selasarselasar
panjang. Itulah rumah utama sang majikan, rumah bagi para pembantu, garasi,
dan gudang-gudang. Selasar-selasar itu mengelilingi kolam kecil yang ditumbuhi
Nymphaea caereuleaatau the blue water lilyyang sangat menawan dan di tengahnya
terdapat patung anak-anak gendut semacam Manequin Piss legenda negeri Belgia yang
menyemprotkan air mancur sepanjang waktu dari kemaluan kecilnya yang lucu.
Pot-pot kayu anggrek mahal Tainia shimadaidan Chysisdigantungkan berderetderet
di bibir atap selasar dan di bawahnya tersusun rapi bejana keramik antik bertanggatangga
berisi kaktus Chaemasereasdan Parodia scopa. Untuk urusan bunga ini ada
petugas khusus yang merawatnya. Di luar lingkar kolam didirikan sebuah kandang
berlubang kotak-kotak kecil persegi berbentuk piramida yang berseni dan ditopang oelh
sebuah pilar bergaya Romawi, itulah rumah burung merpati Inggris.
Di dalam rumah utama sang majikan terdapat ruang tamu dengan lampu-lampu
yang teduh dan perabot utama disanaadalah sebuah sofa Victorian rosewoodberwarna
merah. Jika duduk di atasnya seseorang dapat merasa dirinya seperti seorang paduka raja.
Di samping ruang tamu adalah ruang makan tempat para penghuni rumah makan malam
mengenakan busana senja yang terbaik dan bersepatu. Di meja makan mewah dengan
kayu cinnamon glaze, mereka duduk mengelilingi makanan yang namanya bahkan belum
ada terjemahannya. Pertama-tama perangsang lapar pumpkin and Gorgonzola soup, lalu
hadir caesar saladmenu utama, chicken cordon bleu, vitello alla Provenzale, atau ….
Pada bagian akhir sebagai makanan penutup adalah creamy cheesecake topped with
stawberry puree, buah-buah persik dan prem.
Mereka makan dengan tenang sembari mendengarkan musik klasik yang elegan:
Mozart: Haffner No. 35 in D Major. Mereka mematuhi table manner. Setelah
melampirkan serbet di atas pangkuannya makan malam dimulai nyaris tanpa suara dan
tak ada seorang pun yang menekan bibir meja dengan sikunya.
Sarapan pagi disajikan di ruangan yang berbeda. Ruangan ini terbuka, menghadap
ke kebun anggrek dan kolam renang dangkal yang biru. Mejanya juga berbeda yakni
terracotta tile top ovalyang lucu namun berkelas. Di pagi hari mereka senang mencicipi
omelet dan menyeruput the Earl Greyatau cappuccino, lalu mereka melemparkan remahremah
roti pada burung-burung merpati Inggris yang berebutan, rakus tapi jinak.
Halaman setiap rumah sangat luas dan tak dipagar. Kebanyakan didekorasi
dengan karya seni instalasi dari konstruksi logam yang maknanya tak mudah dicerna
orang awam. Hamparan rumput manila di halaman menyentuh lembut bibir jalan raya
dengan tinggi permukaan yang sama.Adadaya tarik tersendiri di situ. Tak ada parit,
karena semua sistem pembuangan diatur di bawah tanah. Pekarangan ditumbuhi pinang
raja, bambu Jepang, pisang kipas, dan berjenis-jenis palem yang berselang-seling di
antara taman-taman bunga umum, ornamen, galeri, angsa-angsa besar yang berkeliaran,
kafe members only, patung-patung, snooker bar, sudut-sudut tempat bermain anak-anak
berisi ayam-ayam kalkun yang dibiarkan bebas, trotoar untuk membawa anjing jalanjalan,
kolam-kolam renang, dan lapangan-lapangan golf. Tenang dan tidak berisik,
kecuali sedikit bunyi, rupanya anjing pudel sedang mengejar beberapa ekor kucing
Namun, selain suara hewan-hewan lucu itu sore ini terdengar lamat-lamat denting
piano dari salah satu kastilVictoriayang terututp rapat berpilar-pilar itu. Floriana atau
Flo yang tomboi, salah seorang siswa sekolah PN, sedang les piano. Guru privatnya
sangat bersemangat tapi Flo sendiri terkantuk-kantuk tanpa minat. Kedua tangannya
menopang wajah murungnya sambil menguap berulang-ulang di samping sebuah
instrumen megah: grand pianomerk Steinway and sonsyang hitam, dingin, dan
berkilauan. Wajah Flo seperti kucing kebanyakan tidur dan bangun magrib-magrib.
Bapaknya—seorang Mollen Bas, kepala semua kapal keruk—duduk di sebuah
kursi besar semacam singgasana sehingga tubuh kecilnya tenggelam. Kakinya dibungkus
sepatu mahal De Carlocokelat yang elegan, tergantung berayun-ayun lucu. Ia geram
pada tingkah si tomboi dan malu pada sang guru, seorang wanita berkacamata, setengah
baya, berwajah cerdas dan hanya bisa tersenyum-senyum. Beliau tak henti-henti
memohon maaf pada wanita Jawa yang sangat santun itu atas kelakuan anaknya.
Bapak Flo adalah orang hebat, seseorang yang amat terpelajar. Ia adalah insinyur
lulusan terbaik dari Technische Universiteit Delfdi Holland dari Fakultas
Werktuiqbouwkunde, Maritieme techniek & technische materiaalwetenschappen, yang
artinya kurang lebih: jago teknik.
Ia adalah salah satu dari segelintir orang Melayu asli Belitong yang berhak tinggal
di Gedong dan orang kampung yang mampu mencapai karier tinggi di jajaran elite orang
staf karena kepintarannya. Sebagai Mollen Basbeliau sanggup mengendalikan shift
ribuan karyawan, memperbaiki kerusakan kapal keruk yang tenaga-tenaga ahli asing
sendiri sudah menyerah, dan mengendalikan aset produksi miliaran dolar. Tapi
menghadapi anak perempuan kecilnya, si tomboi gasing yang tak bisa diatur ini, beliau
hampir menyerah. Semakin keras suara bapaknya menghardik semakin lebar Flo
Pokok perkaranya sederhana, yakni beliau telah memiliki beberapa anak laki-laki
dan Flo si bungsu, adalah anak perempuan satu-satunya. Namun anak perempuannya ini
bersikeras ingin menjadi laki-laki. Setiap hari beliau berusaha memerempuankanFlo
antara lain dengan memaksanya kursus piano. Grand pianoitu didatangkan dengan kapal
khusus dariJakarta. Guru privat yang merupakan seorang instruktur musik profesional,
juga khusus dijemput dari Tanjong Pandan. Lebih dari itu, di sela kesibukannya,
bapaknya rela menunggui Flo kursus, namun yang beliau dapat tak lebih dari uapanuapan
itu. Flo bahkan tak berminat menyentuh tuts-tuts hitam putih yang berkilat-kilat
karena pikirannya melayang ke sasana tempat ia latihan kick boxingdan angkat barbel.
Flo tak suka menerima dirinya sebagai seorang perempuan. Mungkin karena
pengharuh dari saudara-saudara kandungnya yang seluruhnya laki-laki atau karena suatu
ketidakseimbangan dalam kimia tubuhnya. Maka ia memotong rambut dengan model
lurus pendek dan ia belajar mengubah ekspresi wajah cantiknya agar merefleksikan
seringai laki-laki. Ia bercelana jeans, kaos oblong, dan membuang anting-anting yang
dibelikan ibunya. Guru privat itu memperkenalkan dengan lembut notasi do, mi, sol, si
dalam lintasan empat oktaf dan memperlihatkan posisi jari-jemari pada setiap notasi itu
sebagai dasar bagi Flo untuk berlatih fingering. Flo menguap lagi.
TAK disangsikan, jika di- zoom out, kampung kami adalah kampung terkaya diIndonesia.
Inilah kampung tambang yang menghasilkan timah dengan harga segenggam lebih mahal
puluhan kali lipat dibanding segantang padi. Triliunan rupiah aset tertanam disana,
miliaran rupiah uang berputar sangat cepat seperti putaran mesin parut, dan miliaran
dolar devisa mengalir deras seperti kawanan tikus terpanggil pemain seruling ajaib Der
Rattenfanger von Hameln. Namun jika di- zoom in, kekayaan itu terperangkap di satu
tempat, ia tertimbun di dalam batas tembok-tembok tinggi Gedong.
Hanya beberapa jengkal di luar lingkaran tembok tersaji pemandangan kontras
seperti langit dan bumi. Berlebihan jika disebut daerah kumuh tapi tak keliru jika
diumpamakankotayang dilanda gerhana berkepanjangan sejak era pencerahan revolusi
industri. Disana, di luar lingkar tembok Gedong hidup komunitas Melayu Belitong yang
jika belum punya enam anak belum berhenti beranak pinak. Mereka menyalahkan
pemerintah karena tidak menyediakan hiburan yang memadai sehingga jika malam tiba
mereka tak punya kegiatan lain selain membuat anak-anak itu.
Di luar tembok feodal tadi berdirilah rumah-rumah kami, beberapa sekolah
negeri, dan satu sekolah kampung Muhammadiyah. Tak ada orang kaya disana, yang ada
hanya kerumunan toko miskin di pasar tradisional dan rumah-rumah panggung yang
renta dalam berbagai ukuran. Rumah-rumah asli Melayu ini sudah ditinggalkan zaman
keemasannya. Pemiliknya tak ingin merubuhkannya karena tak ingin berpisah dengan
kenangan masa jaya, atau karena tak punya uang.
Di antara rumah panggung itu berdesak-desakan kantor polisi, gudang-gudang
logistik PN, kantor telepon, toapekong, kantor camat, gardu listrik, KUA, masjid, kantor
pos, bangunan pemerintah—yang dibuat tanpa perencanaan yang masuk akal sehingga
menjadi bangunan kosong telantar, tandon air, warung kopi, rumah gadai yang selalu
dipenuhi pengunjung, dan rumah panjang suku Sawang.
Komunitas Tionghoa tinggal di bangunan permanen yang juga digunakan sebagai
toko. Mereka tidak memiliki pekarangan. Adapun pekarangan rumah orang Melayu
ditumbuhi jarak pagar, beluntas, beledu, kembang sepatu, dan semak belukar yang
membosankan. Pagar kayu saling-silang di parit bersemak di mana tergenang air mati
berwarna cokelat—juga sangat membosankan. Entok dan ayam kampung berkeliaran
seenaknya. Kambing yang tak dijaga melalap tanaman bunga kesayangan sehingga sering
menimbulkan keributan kecil.
Jalan raya di kampung ini panas menggelegak dan ingar-bingar oleh suara logam
yang saling beradu ketika truk-truk reyot lalu-lalang membawa berbagai peralatan teknik
eksplorasi timah. Kawasan kampung ini dapat disebut sebagai urban atau perkotaan.
Umumnya tujuh macam profesi tumpang tindih di sini: kuli PN sebagai mayoritas,
penjaga toko, pegawai negeri, pengangguran, pegawai kanotr desa, pedagang, dan
pensiunan. Sepanjang waktu mereka hilir mudik dengan sepeda. Semuanya, para
penduduk, kambing, entok, ayam, dan seluruh bangunan itu tampak berdebu, tak teratur,
tak berseni, dan kusam.
Keseharian orang pinggiran ini amat monoton. Pagi yang sunyi senyap mendadak
sontak berantakan ketika kantor pusat PN Timah membunyikan sirine, pukul 7 kurang 10.
Sirine itu memekakkan telinga dalam radius puluhan kilometer seperti peringatan
serangan Jepang dalam pengeboman Pearl Harbour.
Demi mendengar sirine itu, dari rumah-rumah panggung, jalan-jalan kecil, sudutsudut
kampung, rumah-rumah dinas permanen berdinding papan, dan gang-gang sempit
bermunculanlah para kuli PN bertopi kuning membanjiri jalan raya. Mereka berdesakan,
terburu-buru mengayuh sepeda dalam rombongan besar atau berjalan kaki, karena
sepuluh menit lagi jam kerja dimulai. Jumlah mereka ribuan.
Mereka menyerbu tempat kerja masing-masing: bengkel bubut, kilang minyak,
gudang beras, dok kapal, dan unit-unit pencucian timah. Para kuli yang bekerja shiftdi
kapal keruk melompat berjejal-jejal ke dalam bak truk terbuka seperti sapi yang akan
digiring ke penjagalan. Tepat pukul 7 kembali dibunyikan sirene kedua tanda jam resmi
masuk kerja. Lalu tiba-tiba jalan-jalan raya, kampung-kampung, dan pasar kembali
lengang, sunyi senyap. Setelah pukul 7 pagi, rumah orang Melayu Belitong hanya dihuni
kaum wanita, para pensiunan, dan anak-anak kecil yang belum sekolah. Kampung
kembali hidup pada pukul 10, yaitu ketika wanita-wanita itu memainkan orkestra
menumbuk bumbu. Suara alu yang dilantakkan ke dalam lumpang kayu bertalu-talu,
sahut-menyahut dari rumah ke rumah.
Pukul 12 sirine kembali berbunyi, kali ini adalah sebagai tanda istirahat. Dalam
sekejap jalan raya dipenuhi para kuli yang pulang sebentar. Lapar membuat mereka
tampak seperti semut-semut hitam yang sarangnya terbakar, lebih tergesa dibanding
waktu mereka berangkat pagi tadi. Pukul 2 siang sirine berdengung lagi memanggil
mereka bekerja.Parakuli ini akan kembali pulang ke peraduan setelah terdengar sirine
yang sangat panjang tepat pukul 5 sore. Demikianlah yang berlangsung selama puluhan
TIDAK seperti di Gedong, jika makan orang urban ini tidak mengenal appetizer
sebagai perangsang selera, tak mengenal main course, ataupun dessert. Bagi mereka
semuanya adalah menu utama. Pada musim barat ketika nelayan enggan melaut, menu
utama itu adalah ikan gabus.Parakuli yang bernafsu makan besar sesuai dengan
pembakaran kalorinya itu jika makan seluruh tubuhnya seakan tumpah ke atas meja. Agar
lebih praktis tak jarang baskom kecil nasi langsung digunakan sebagai piring. Di situlah
diguyur semangkuk gangan, yaitu masakna tradisional dengan bumbu kunir. Ketika
makan emreka tak diiringi karya Mozart Haffner No. 35 in D Majortapi diiringi
rengekan anak-anaknya yang minta dibelikan baju pramuka.
Setiap subuh para istri meniup siong(potongan bambu) untuk menghidupkan
tumpukan kayu bakar. Asap mengepul masuk ke dalam rumah, menyembul keluar
melalui celah dinding papan, dan membangunkan entok yang dipelihara di bawah rumah
panggung. Asap itu membuat penghuni rumah terbatuk-batuk, namun ia amat diperlukan
guna menyalakan gemuk sapi yang dibeli bulan sebelumnya dan digantungkan berjuntaijuntai
seperti cucian di atas perapian. Gemuk sapi itulah sarapan mereka setiap pagi.
Sebelum berangkat para kuli itu tidak minum teh Earlgreyatau cappuccino, melainkan
minum air gula aren dicampur jadamuntuk menimbulkan efek tenaga kerbau yang akan
digunakan sepanjang hari.
Apabila persediaan gemuk sapi menipis dan angin barat semakin kencang, maka
menu yang disajikan sangatlah istimewa, yaitu lauk yang diasap untuk sarapan, lauk yang
diasin untuk makan siang, dan lauk yang dipepes untuk makan malam, seluruhnya terbuat
DI luar lingkungan urban, berpencar menuju dua arah besar adalah wilayah rural
atau pedesaan. Daerha ini memanjang dalam jarak puluhan kilometer menuju ke barat ibu
kotaKabupaten: Tanjong Pandan. Sebaliknya, ke arah selatan akan menelusuri jalur ke
pedalaman. Jalur ini berangsur-angsur berubah dari aspal menjadi jalan batu merah dan
lama-kelamaan menjadi jalan tanah setapak yang berakhir di laut.
Di sepanjang jalur pedesaan rumah penduduk berserakan, berhadap-hadapan
dipisahkan oleh jalan raya. Dulu nenek moyang mereka berladang di hutan. Belanda
menggiring mereka ke pinggir jalan raya, agar mudah dikendalikan tentu saja. Orangorang
pedesaan ini hidup bersahaja, umumnya berkebun, mengambil hasil hutan, dan
mendapat bonus musiman dari siklus buah-buahan, lebah madu, dan ikan air tawar.
Mereka mendiami tanah ulayat dan di belakang rumah mereka terhampar ribuan hektar
tanah tak bertuan, padang sabana, rawa-rawa layaknya laboratorium alam yang lengkap,
dan aliran air bening yang belum tercemar.
Kekuatan ekonomi Belitong dipimpin oleh orang staf PN dan para cukong swasta
yang mengerjakan setiap konsesi eksploitasi timah. Mereka menempati strata tertinggi
dalam lapisan yang sangat tipis. Kelas menengah tak ada, oh atau mungkin juga ada,
yaitu para camat, para kepala dinas dan pejabat-pejabat publik yang korupsi kecilkecilan,
dan aparat penegak hukum yang mendapat uang dari menggertaki cukongcukong
Sisanya berada di lapisan terendah, jumlahnya banyak dan perbedaannya amat
mencolok dibanding kelas di atasnya. Mereka adalah para pegawai kantor desa, karyawan
rendahan PN, pencari madu dan nira, para pemain organ tunggal, semua orang Sawang,
semua orang Tionghoa kebun, semua orang Melayu yang hidup di pesisir, para tenaga
honorer Pemda, dan semua guru dan kepala sekolah—baik sekolah negeri maupun
sekolah kampung—kecuali guru dan kepala sekolah PN.
SEKOLAH-SEKOLAH PN Timah, yaituTK,SD, dan SMP PN berada dalam kawasan
Gedong. Sekolah-sekolah ini berdiri megah di bawah naungan Aghatis berusia ratusan
tahun dan dikelilingi pagar besi tinggi berulir melambangkan kedisiplinan dan mutu
tinggi pendidikan. Sekolah PN merupakan center of excellenceatau tempat bagi semua
hal yang terbaik. Sekolah ini demikian kaya raya karena didukung sepenuhnya oleh PN
Timah, sebuah korporasi yang kelebihan duit. Institusi pendidikan yang sangat modern
ini lebih tepat disebut percontohan bagaimana seharusnya generasi muda dibina.
Gedung-gedung sekolah PN didesain dengan arsitektur yang tak kalah indahnya
dengan rumah bergayaVictoriadi sekitarnya. Ruangan kelasnya dicat warna-warni
dengan tempelan gambar kartun yang edukatif, poster operasi dasar matematika, tabel
pemetaan unsur kimia, peta dunia, jam dinding, termometer, foto para ilmuwan dan
penjelajah yang memberi inspirasi, dan ada kapstok topi. Di setiap kelas ada patung
anatomi tubuh yang lengkap, globe yang besar, white board, dan alat peraga konstelasi
Di dalam kelas-kelas itu puluhan siswa brilian bersaing ketat dalam standar mutu
yang sanggat tinggi. Sekolah-sekolah ini memiliki perpustakaan, kantin, guru BP,
laboratorium, perlengkapan kesenian, kegiatan ekstrakurikuler yang bermutu, fasilitas
hiburan, dan sarana olahraga—termasuk sebuah kolam renang yang masih disebut dalam
bahasa Belanda: zwembad. Di depan pintu masuk kolam renang ini tentu saja terpampang
peringatan tegas “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”. Di
setiap kelas ada kotak P3K berisi obat-obat pertolongan pertama. Kalau ada siswanya
yang sakit maka ia akan langsung mendapatkan pertolongan cepat secara profesional atau
segera dijemput oleh mobil ambulans yang meraung-raung.
Mereka memiliki petugas-petugas kebersihan khusus, guru-guru yang bergaji
mahal, dan para penjaga sekolah yang berseragam seperti polisi lalu lintas dan selalu
meniup-niup peluit. Tali merah bergulung-gulung keren sekali di bahu seragamnya itu.
“Jumlah gurunya banyak.”
Demikian ujar Bang Amran Isnaini bin Muntazis Ilham—yang pernah sekolah di
sana—persis pada malam sebelum esoknya aku masuk pertama kali di SD
“Setiap pelajaran ada gurunya masing-masing, walaupun kau baru kelas satu.”
Maka pada malam itu aku tak bsia tidur akibat pusing menghitung berapa banyak
jumlah guru di sekolah PN, tentu saja juga selain karena rasa senang akan masuk sekolah
Murid PN umumnya anak-anak orang luar Belitong yang bapaknya menjadi
petinggi di PN. Sekolah ini juga menerima anak kampung seperti Bang Amran, tapi tentu
saja yang orangtuanya sudah menjadi orang staf. Mereka semua bersih-bersih, rapi, kaya,
necis, dan pintar-pintar luar biasa. Mereka selalu mengharumkan nama Belitong dalam
lomba-lomba kecerdasan, bahkan sampai tingkat nasional. Sekolah PN sering dikunjungi
para pejabat, pengawas sekolah, atau sekolah lain untuk melakukan semacam
benchmarking, melihat bagaimana seharusnya ilmu pengetahuan ditransfer dan
bagaimana anak-anak kecil dididik secara ilmiah.
Pendaftaran hari pertama di sekolah PN adalah sebuah perayaan penuh sukacita.
Puluhan mobil mewah berderet di depan sekolah dan ratusan anak orang kaya mendaftar.
Adabazar dan pertunjukan seni para siswa. Setiap kelas bisa menampung hampir
sebanyak 40 siswa dan paling tidak ada 4 kelas untuk setiap tingkat. SD PN tidak akan
membagi satu pun siswanya kepada sekolah-sekolah lain yang kekurangan murid karena
sekolah itu memiliki sumber daya yang melimpah ruah untuk mengakomodasi berapa
pun jumlah siswa baru. Lebih dari itu, bersekolah di PN adalah sebuah kehormatan,
hingga tak seorang pun yang berhak sekolah di situ sudi dilungsurkan ke sekolah lain.
Ketika mendaftar badan mereka langsung diukur untuk tiga macam seragam
harian dan dua macam pakaian olah raga. Mereka juga langsung mendapat kartu
perpustakaan dan bertumpuk-tumpuk buku acuan wajib. Seragamnya untuk hari Senin
adalah baju biru bermotif bunga rambat yang indah. Sepatu yang dikenakan berhak dan
berwarna hitam mengilat. Sangat gagah ketika ber- marching bandmelintasi kampung.
Melihat mereka aku segera teringat pada sekawanan anak kecil yang lucu, putih, dan
bersayap, yang turun dari awan—seperti yang biasa kita lihat pada gambar-gambar buku
komik. Setiap pagi para murid PN dijemput oleh bus-bus sekolah berwarna biru.
Kepala sekolahnya adalah seorang pejabat penting, Ibu Frischa namanya. Caranya
ber- make upjelas memperlihatkan dirinya sedang bertempur mati-matian melawan usia
dan tampak jelas pula, dalam pertempuran itu, beliau telah kalah. Ia seorang wanita keras
yang terpelajar, progresif, ambisius, dan sering habis-habisan menghina sekolah
kampung. Gerak geriknya diatur sedemikian rupa sebagai penegasan kelas sosialnya. Di
dekatnya siapa pun akan merasa terintimidasi.
Kalau sempat berbicara dengan beliau, maka ia sama seperti orang Melayu yang
baru belajar memasak, bumbunya cukup tiga macam: pembicaraan tentang fasilitasfasilitas
sekolah PN, anggaran ekstrakurikuler jutaan rupiah, dan tentang murid-muridnya
yang telah menajdi dokter, insinyur, ahli ekonomi, pengusaha, dan orang-orang sukses di
kotaatau bahkan di luar negeri. Bagi kami yang waktu itu masih kecil, masih
berpandangan hitam putih, beliau adalah seorang tokoh antagonis.
Yang dimaksud dengan sekolah kampung tentu saja adalah perguruan
Muhammadiyah dan beberapa sekolah swasta miskin lainnya di Belitong. Selain sekolah
miskin itu memang terdapat pula beberapa sekolah negeri di kampung kami. Namun
kondisi sekolah negeri tentu lebih baik karena mereka disokong oleh negara. Sementara
sekolah kampung adalah sekolah swadaya yang kelelahan menyokong dirinya sendiri.
FILICIUM decipiensbiasa ditanam botanikus untuk mengundang burung. Daunnya lebat
tak kenal musim. Bentuk daunnya cekung sehingga dapat menampung embun untuk
burung-burung kecil minum. Dahannya pun mungil, menarik hati burung segala ukuran.
Lebih dari itu, dalam jarak 50 meter dari pohon ini, di belakang sekolah kami, berdiri
kekar menjulang awan sebatang pohon tua ganitri ( Elaeocarpus sphaericus schum).
Tingginya hampir 20 meter, dua kali lebih tinggi dari filicium. Konfigurasi ini
menguntungkan bagi burung-burung kecil cantik nan aduhai yang diciptakan untuk selalu
menjaga jarak dengan manusia (sepertinya setiap makhluk yang merasa dirinya cantik
memang cenderung menjaga jarak), yaitu red breasted hanging parrotsatau tak lain
Sebelum menyerbu filicium, serindit Melayu terlebih dulu melakukan pengawasan
dari dahan-dahan tinggi ganitri sambil jungkir balik seperti pemain trapeze. Melongok-longok ke
sana kemari apakah ada saingan atau musuh. Buah ganitri yang biru mampu
menyamarkan kehadiran mereka. Kemampuan burung ini berakrobat menyebabkan ahli
ornitologi Inggris menambahkan nama hangingpada nama gaulnya itu. Jika keadaan
sudah aman kawanan ini akan menukik tajam menuju dahan-dahan filiciumdan tanpa
ampun, dengan paruhnya yang mampu memutuskan kawat, secepat kilat, unggas mungil
rakus ini menjarah buah-buah kecil filiciumdengan kepala waspada menoleh ke kiri dan
kanan. Pelajaran moral nomor tiga: jika Anda cantik, hidup Anda tak tenang.
Seumpama suku-suku Badui di Jazirah Arab yang menggantungkan hidup pada
oasis maka filiciumtua yang menaungi atap kelas kami ini adalah mata air bagi kami.
Hari-hari kami terorientasi pada pohon itu. Ia saksi bagi drama masa kecil kami. Di
dahannya kami membuat rumah-rumahan. Di balik daunnya kami bersembunyi jika bolos
pelajaran kewarganegaraan. Di batang pohonnya kami menuliskan janji setia
persahabatan dan mengukir nama-nama kecil kami dengan pisau lipat. Di akarnya yang
menonjol kami duduk berkeliling mendengar kisah Bu Mus tentang petualangan Hang
Jebat, dan di bawah keteduhan daunnya yang rindang kami bermain lompat kodok,
berlatih sandiwara Romeo dan Juliet, tertawa, menangis, bernyanyi, belajar, dan
Setelah serindit Melayu terbang melesat pergi seperti anak panah Winetou
menembus langit maka hadirlah beberapa keluarga jalak kerbau. Penampilan burung ini
sangat tak istimewa. Karena tak istimewa maka tak ada yang memerhatikannya. Mereka
santai saja bertamu ke haribaan dedaunan filicium, menikmati setiap gigitan buah
kecilnya, buang hajat sesuka hatinya .... Bahkan ketika mulutnya penuh, mereka pun akan
membersihkan paruhnya dengan menggosok-gosokkannya pada kulit filiciumyang
seperti handuk kering. Mereka kemudian akan turun ke tanah, buncit, penuh daging, bulat
beringsut-ingsut laksana seorang MC. Tak peduli pada dunia. Sebaliknya, kami pun tak
tertarik menggodanya. Interaksi kami dengan jalak kerbau adalah dingin dan
Demikian pula hubungan kami dengan burung ungkut-ungkut yang mematuki ulat
di kulit filicium. Menurutku ungkut-ungkut mendapat nama lokal yang tidak adil.
Bayangkan, nama bukunya adalah coppersmith barbet. Nyatanya ia tak lebih dari burung
biru pucat membosankan dengan bunyi yang lebih membosankan kut...kut...kut... namun
kehadirannya sangat kami tunggu karena ia selalu mengunjungi pohon filiciumsekitar
pukul 10 pagi. Pada jam ini kami mendapat pelajaran kewarganegaraan yang jauh lebih
membosankan. Suara kut-kut-kut persis di luar jendela kelas kami jelas lebih menghibur
dibanding materi pelajaran bergaya indoktrinasi itu.
Setelah ungkut-ungkut berlalu hinggaplah kawanan cinenen kelabu yang mencari
serangga sisa garapan ungkut-ungkut. Tak pernah kulihat mereka hadir bersamaan karena
peringai coppersmithyang tak pernah mau kalah. Lalu silih berganti sampai menjelang
sore berkunjung burung-burung madu sepah, pipit, jalak biasa, gelatik batu, dan burung
matahari yang berjingkat-jingkat riang dari dahan ke dahan.
Demikian harmonisnya ekosistem yang terpusat pada sebatang pohon filicium
anggota familia Acaciaini. Seperti para guru yang mengabdi di bawahnya, pohon ini tak
henti-hentinya menyokong kehidupan sekian banyak spesies. Padam usim hujan ia
semakin semarak. Puluhan jenis kupu-kupu, belalang sembah, bunglon, lintah, jamur
telur beracun, kumbang, capung, ulat bulu, dan ular daun saling berebutan tempat.
Drama, opera, dan orkestra yang manggung di dahan-dahan filiciumsepanjang
hari tak kalah seru dengan panggung sandiwara yang dilakoni sepuluh homo sapiens di
sebuah kelas di bawahnya. Seperti episode pagi ini misalnya.
“Aku mau ikut ke pasar, Cai,” Syahdan memohon kepada Kucai, ketika kami
dibagi kelompok dalam pelajaran pekerjaan tangan dan harus membli kertas kajang di
“Tapi sandal dan bajuku buruk begini”, katanya lagi dengan polos dan tahu diri
sambil melipat karung kecampang yang dipakainya sebagai tas sekolah.
“Jangan kau bikin malu aku, Dan, apa kata anak-anak SD PN nanti?” jawab Kucai
sok gengsi padahal satu pun ia tak kenal anak-anak kaya itu. Mengesankan dirinya kenal
dengan anak-anak sekolah PN dikiranya mampu menaikkan martabatnya di mata kami.
Maka sepatuku yang seperti sepatu bola itu kupinjamkan padanya. Borek rela
menukar dulu bajunya dengan baju Syahdan. Lalu Syahdan pun, yang memang
berpembawaan ceria, kali ini terlihat sangat gembira. Ia tak peduli kalau baju Borek
kebesaran dan sebenarnya tak lebih bagus dari bajunya. Ada pula kemungkinan Borek
kurapan, aku pernah melihat kurap itu ketika kami ramai-ramai mandi di dam tempo hari.
Seperti Lintang, Syahdan yang miskin juga anak seorang nelayan. Tapi bukan
maksudku mencela dia, karena kenyataannya secara ekonomi kami, sepuluh kawan
sekelas ini, memang semuanya orang susah. Ayahku, contohnya, hanya pegawai
rendahan di PN Timah. Beliau bekerja selama 25 tahun mencedok tailing, yaitu material
buangan dalam instalasi pencucian timah yang disebut wasserij. Selain bergaji rendah,
beliau juga rentan pada risiko kontaminasi radio aktif dari monazite dan senotim.
Penghasilan ayahku lebih rendah dibandingkan penghasilan ayah Syahdan yang bekerja
di bagan dan gudang kopra, penghasilan sampingan Syahdan sendiri sebagai tukang
dempul perahu, serta ibunya yang menggerus pohon karet jika digabungkan sekaligus.
Masalahnya di mata Syahdan, gedung sekolah, bagan ikan, dan gudang kopra tempat
kelapa-kelapa busuk itu bersemedi adalah sama saja. Ia tidak punya sense of fashionsama
sekali dan di lingkungannya tidak ada yang mengingatkannya bahwa sekolah berbeda
Sebangku dengan Syahdan adalah A Kiong, sebuah anomali. Tak tahu apa yang
merasuki kepala bapaknya, yaitu A Liong, seorang Kong Hu Cu sejati, waktu
mendaftarkan anak laki-laki satu-satunya itu ke sekolah Islam puritan dan miskin ini.
Mungkin karena keluarga Hokian itu, yang menghidupi keluarga dari sebidang kebun
sawi, juga amat miskin.
Tapi jika melihat A Kiong, siapa pun akan maklum kenapa nasibnya berakhir di
SD kampung ini. Ia memang memiliki penampilan akan ditolak di mana-mana. Wajahnya
seperti baru keluar dari bengkel ketok magic, alias menyerupai Frankenstein. Mukanya
lbar dan berbentuk kotak, rambutnya serupa landak, matanya tertarik ke atas seperti
sebilah pedang dan ia hampir tidak punya alis. Seluruh giginya tonggos dan hanya tinggal
setengah akibat digerogoti phyritedan markacitedari air minum. Guru mana pun yang
melihat wajahnya akan tertekan jiwanya, membayangkan betapa susahnya menjejalkan
ilmu ke dalam kepala aluminiumnya itu.
Dia sangat naif dan tak peduli seperti jalak kerbau. Jika kitam engatakan bahwa
dunia akan kiamat besok maka ia pasti akan bergegas pulang untuk menjual satu-satunya
ayam yang ia miliki, bahkan meskipun sang ayam sedang mengeram. Dunia baginya
hitam putih dan hidup adalah sekeping jembatan papan lurus yang harus dititi. Namun,
meskipun wajahnya horor, hatinya baik luar biasa. Ia penolong dan ramah, kecuali pada
Tapi tak dinyana, sekian lama waktu berlalu, rupanya kepala kalengnya cepat juga
menangkap ilmu. Justru pria beraut manis manja yang duduk di depannya dan
berpenampilan layaknya orangpintar serta selalu mengangguk-angguk kalau menerima
pelajaran, ternyata lemotbukan main, namanya Kucai.
Kucai sedikit tak beruntung. Kekurangan gizi yang parah ketika kecil mungkin
menyebabkan ia menderita miopia alias rabun jauh. Selian itu pandangan matanya tidak
fokus, melenceng sekitar 20 derajat. Maka jika ia memandang lurus ke depan artinya
yang ia lihat adalah benda di samping benda yang ada persis di depannya dan demikian
sebaliknya, sehingga saat berbicara dengan seseorang ia tidak memandang lawan
bicaranya tapi ia menoleh ke samping. Namun, Kucai adalah orang paling optimis yang
pernah aku jumpai. Kekurangannya secara fisik tak sedikit pun membuatnya minder.
Sebaliknya, ia memiliki kepribadian populis, oportunis, bermulut besar, banyak teori, dan
Kucai memiliki networkyang luas. Ia pintar bermain kata-kata. Kalau hanya
perkara perselisihan peneng sepeda dengan aparat desa, informasi di mana bisa menjual
beras jatah PN, atau bagaimana cara mendapatkan karcis pasar malam separuh harga,
serahkan saja padanya, ia bisa memberi solusi total. Kelemahannya adalah nilai-nilai
ulangannya tidak pernah melampaui angka enam karena ia termasuk murid yang agak
kurang pintar, bodoh yang diperhalus.
Maka jika digabungkan sifat populis, sok tahu, dan oportunis dengan otaknya
yang lemot—Kucai memiliki semua kualitas untuk menjadi seorang politisi.
Kenyataannya memang begitu. Seperti kebanyakan politisi jika ia bicara tatapan matanya
dan gayanya sangat meyakinkan walaupun dungunya minta ampun. Kualitas
kepolitisiannya itu mungkin menurun dari bapaknya. Beliau adalah seorang pensiunan
tukang bagi beras di PN Timah dan telah bertahun-tahun menjabat sebagai ketua Badan
Kucai juga bertahun-tahun menjadi ketua kelas kami namun bagi kami ketua
kelas adalah jabatan yang paling tidak menyenangkan. Jabatan itu menyebalkan antara
lain karena harus mengingatkan anggota kelas agar jangan berisik padahal diri sendiri tak
bisa diam. Ini menyebabkan tak ada dari kami yang ingin menjadi ketua kelas, apalagi
kelas kami ini sudah terkenal susah dikendalikan. Berulang kali Kucai menolak diangkat
kembali menduduki jabatan itu, namun setiap kali Bu Mus mengingatkan betapa
mulianya menjadi seorang pemimpin, Kucai pun luluh dan dengan terpaksa bersedia
Suatu hari dalam pelajaran bdui pekerti kemuhamadiyahan, Bu Mus menjelaskan
tentang karakter yang dituntut Islam dari seorang amir. Amir dapat berarti seorang
pemimpin. Beliau menyitir perkataan Khalifah Umar bin Khatab.
“Barangsiapa yang kami tunjuk sebagai amir dan telah kami tetapkan gajinya
untuk itu, maka apa pun yang ia terima selain gajinya itu adalah penipuan!”
Rupanya Bu Mus geram dengan korupsi yang merajalela di negeri ini dan beliau
menyambung dengan lantang.
“Kata-kata itu mengajarkan arti penting memegang amanah sebagai pemimpin
dan Al-Qur’an mengingatkan bahwa kepemimpinan seseorang akan
dipertanggungjawabkan nanti di akhirat ....”
Kami terpesona mendengarnya, namun Kucai gemetar. Mendapati dirinya sebagai
seorang pemimpin kelas ia gamang pada pertanggungjawaban setelah mati nanti, apalagi
sebagai seorang politisi ia menganggap bahwa menjadi ketua kelas itu tidak ada
keuntungannya sama sekali. Tidak adil! Lagi pula ia sudah muak mengurusi kami. Kami
terkejut karena serta-merta ia berdiri dan berdalih secara diplomatis.
“Ibunda Guru, Ibunda mesti tahu bahwa anak-anak kuli ini kelakuannya seperti
setan. Sama sekali tak bisa disuruh diam, terutama Borek, kalau tak ada guru ulahnya
ibarat pasien rumah sakit jiwa yang buas. Aku sudah tak tahan, Ibunda, aku menuntut
pemungutan suara yang demokratis untuk memilih ketua kelas baru. Aku juga tak
sanggup mempertanggungjawabkan kepemimpinanku dipadangMasyar nanti, anak-anak
kumal ini yang tak bisa diatur ini hanya akan memberatkan hisabku!”
Kucai tampak sangat emosional. Tangannya menunjuk-nunjuk ke atas dan
napasnya tersengal setelah menghamburkan unek-unek yang mungkin telah dipendamnya
bertahun-tahun. Ia menatap Bu Mus dengan mata nanar tapi pandangannya ke arah
gambar R.H. Oma Irama Hujan Duit.
Kami semua menahan tawa melihat pemandangan itu tapi Kucai sedang sangat
serius, kami tak ingin melukai hatinya.
Bu Mus juga terkejut. Tak pernah sebelumnya beliau menerima tanggapan
selugas itu dari muridnya, tapi beliau meklum pada beban yang dipikul Kucai. Beliau
ingin bersikap seimbang maka beliau segera menyuruh kami menuliskan nama ketua
kelas baru yang kami inginkan di selembar kertas, melipatnya, dan menyerahkannya
kepada beliau. Kami menulis pilihan kami dengan bersungguh-sungguh dan saling
berahasiakan pilihan itu dengan sangat ketat.
Kucai senang sekali. Wajahnya berseri-seri. Ia merasa telah mendapatkan
keadilan dan menganggap bahwa bebannya sebagai ketua kelas akan segera berakhir.
Suasana menjadi tegang menunggu detik-detik penghitungan suara. Kami gugup
mengantisipasi siapa yang akan menjadi ketua kelas baru.
Sembilan gulungan kertas telah berada dalam genggaman Bu Mus. Beliau sendiri
kelihatan gugup. Beliau membuka gulungan pertama.
“Borek!” teriak Bu Mus.
Borek pucat dan Kucai melonjak girang. Terang-terangan ia menunjukkan bahwa
ia sendiri yang telah memilih Borek, kawan sebangkunya yang ia anggap pasien rumah
sakit jiwa yang buas. Bu Mus melanjutkan.
Kali ini Borek yang melonjak dan Kucai terdiam. Kertas ketiga.
Kucai tersenyum pahit. Kertas keempat.
Kucai pucat pasi. Demikian seterusnya sampai kertas kesembilan. Kucai terpuruk.
Ia jengkel sekali kepada Borek yang tubuhnya menggigil menahan tawa. Ia memandang
Borek dengan tajam tapi matanya mengawasi Trapani.
Karena Harun tak bisa menulis maka jumlah kertas hanya sembilan tapi Bu Mus
tetap menghargai hak asasi politiknya. Ketika Bu Mus mengalihkan pandangan kepada
Harun, Harun mengeluarkan senyum khas dengan gigi-gigi panjgannya dan berteriak
Kucai terkulai lemas. Hari ini kami mendapat pelajaran penting tentang
demokrasi, yaitu bahwa ternyata prinsip-prinsipnya tidak efektif untuk suksesi jabatan
kering. Bu Mus menghampirinya dengan lembut sambil tersenyum jenaka.
“Memegang amanah sebagai pemimpin memang berat tapi jangan khawatir orang
yang akan mendoakan. Tidakkah Ananda sering mendengar di berbagai upacara petugas
sering mengucap doa: Ya, Allah lindungilah para pemimpin kami? Jarang sekali kita
mendengar doa: Ya Allah lindungilah anak-anak buah kami ....”
DUDUK di pojok sana adalah Trapani. Namanya diambil dari nama sebuah kota
pantai di Sisilia. Nyatanya ia memang seelok kota pantai itu. Ia memesona seumpama
bondol peking. Si rapi jali ini adalah maskot kelas kami. Seorang perfeksionis berwajah
seindah rembulan. Ia tipe pria yang langsung disukai wanita melalui sekali pandang.
Jambul, baju, celana, ikat pinggang, kaus kaki, dan sepatunya selalu bersih, serasi
warnanya, dan licin. Ia tak bicara jika tak perlu dan jika angkat bicara ia akan
menggunakan kata-kata yang dipilih dengan baik. Baunya pun harum. Ia seorang pemuda
santun harapan bangsa yang memenuhi semua syarat Dasa Dharma Pramuka. Citacitanya
ingin jadi guru yang mengajar di daerah terpencil untuk memajukan pendidikan
orang Melayu pedalaman, sungguh mulia. Seluruh kehidupannya seolah terinspirasi lagu
Wajib Belajarkarya R.N. Sutarmas.
Ia sangat berbakti kepada orangtua, khususnya ibunya. Sebaliknya, ia juga
diperhatikan ibunya layaknya anak emas. Mungkin karena ia satu-satunya laki-laki di
antaralimasaudara perempuan lainnya. Ayahnya adalah seorang operator vessel boarddi
kantor telepon PN sekaligus tukang sirine. Meskipun rumahnya dekat dengan sekolah
tapi sampai kelas tiga ia masih diantar jemput ibunya. Ibu adlaah pusat gravitasi
Trapaniagak pendiam, otaknya lumayan, dan selalu menduduki peringkat ketiga.
Aku sering cemburu karena aku kebajiran salam dari sepupu-sepupuku untuk
disampaikan pada laki-laki muda flamboyan ini. Dia tak pernah menanggapi salam-salam
itu. Di sisi lain kami juga sering jengkel padaTrapanikarena setiap kali kami punya
“acara”, misalnya menyangkutkan sepeda Pak Fahimi—guru kelas empat yang tak
bermutu dan selalu menggertak murid—di dahan pohon gayam,Trapaniharus minta izin
Lalu adaSahara, satu-satunya hawa di kelas kami. Dia secantik grey cheeked
green, atau burung punai lenguak. Ia ramping, berjilbab, dan sedikit lebih beruntung.
Bapaknya seorang Taikong, yaitu atasan para Kepala Parit, orang-orang lapangan di PN.
Sifatnya yang utama: penuh perhatian dan kepala batu. Maka tak ada yang berani bikin
gara-gara dengannya karena ia tak pernah segan mencakar. Jika marah ia akan mengaum
dan kedua alisnya bertemu.Saharasangat temperamental, tapi ia pintar. Peringkatnya
bersaing ketat denganTrapani. Kebalikan dair A Kiong,Saharasangat skeptis, susah
diyakinkan, dan tak mudah dibaut terkesan. Sifat lainSaharayang amat menonjol adalah
kejujurannya yang luar biasa dan benar-benar menghargai kebenaran. Ia pantang
berbohong. Walaupun diancam akan dicampakkan ke dalam lautan api yang berkobarkobar,
tak satu pun dusta akan keluar dari mulutnya.
Musuh abadiSaharaadalah A Kiong. Mereka bertengkar hebat, berbaikan, lalu
bertengkar lagi. Sepertinya mereka sengaja dipertemukan nasib untuk selalu berselisih.
Mereka saling memprotes dan berbeda pendapat untuk hal-hal sepele.Sahara
menganggap apa pun yang dilakukan A Kiong selalu salha, dan demikian pula
sebaliknya. Kadang-kadang perseteruan mereka itu lucu dan membuka wawasan.
Milsanya ketika kami berkumpul danTrapanibercerita tentang bagusnya buku
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, karya legendaris Buya Hamka.
“Aku juga sudah pernah membaca buku itu, maaf aku tak suka, terlalu banyak
nama dan tempat, susah aku mengingatnya.” Demikian komentar A Kiong mencari
Saharayang sangat menghargai buku tertusuk hatinya dan menyalak tanpa
ampun, “Masya Allah! Dengar anak muda, mana bisa kauhargai karya sastra bermutu,
nanti jika Buya menulis lagi buku berjudul Si Kancil Anak Nakal Suka Mencuri Timun
barulah buku seperti itu cocok buatmu ….”
Kami semua tertawa sampai berguling-guling.
A Kiong tersinggung, tapi ia kehabisan kata, maka ditelannya saja ejekan itu
mentah-mentah, pahit memang. Apa boleh buat, ia tak bisa mengonter cemoohan
Sebaliknya,Saharasangat lembut jika berhadapan dengan Harun. Harun adalah
seorang pria santun, pendiam, dan murah senyum. Ia juga merupakan teman yang
menyenangkan. Model rambutnya seperti Chairil Anwar dan pakaiannya selalu rapi.
Masalah pakaian itu benar-benar diperhatikan oleh ibunya. Ia lebih kelihatan seperti
pejabat kantoran di PN daripada anak sekolahan. Bagian belakang bajunya, yang
disetrika dengan lipatan berpola kotak-kotak—lagi mode ketika itu—tampak serasi di
Harun memiliki hobi mengunyah permen asam jawa dan sama sekali tidak bisa
menangkap pelajaran membaca atau menulis. Jika Bu Mus menjelaskan pelajaran, ia
duduk tenang dan terus-menerus tersenyum. Pada setiap mata pelajaran, pelajaran apa
pun, ia akan mengacung sekali dan menanyakan pertanyaan yang sama, setiap hari,
sepanjang tahun, “Ibunda Guru, kapan kita akan libur lebaran?”
“Sebentar lagi Anakku, sebentar lagi …,” jawab Bu Mus sabar, berulang-ulang,
puluhan kali, sepanjang tahun, lalu Harun pun bertepuk tangan.
Jika istirahat siangSaharadan Harun duduk berdua di bawah pohon filicium.
Mereka memiliki kaitan emosi yang unik, seperti persahabatan Tupai dan Kura-Kura.
Harun dengan bersemangat menceritakan kucingnya yang berbelang tiga baru saja
melahirkan tiga ekor anak yang semuanya berbelang tiga pada tanggal tiga kemarin.
Saharaselalu sabar mendengarkan cerita itu walaupun Harun menceritakannya setiap
hari, berulang-ulang, puluhan kali, sepanjang tahun, dari kelas satu SD sampai kelas tiga
SMP.Saharatetap setia mendengarkan.
Jika kami naik kelas harun juga ikut naik kelas meskipun ia tak punya rapor.
Pengecualian dari sistem, demikian orang-orang pintar diJakartamenyebut kasus seperti
ini. Aku sering memandangi wajahnya lama-lama untuk menebak apa yang ada di dalam
pikirannya. Dia hanya tersenyum menanggapi tingkahku. Harun adalah anak kecil yang
terperangkap dalam tubuh orang dewasa.
Pria kedelapan adalah Borek. Pada awalnya dia adalah murid biasa, kelakuan dan
prestasi sekolahnya sangat biasa, rata-rata air. Tapi pertemuan tak sengajanya dengan
sebuah kaleng bekas minyak penumbuh bulu yang kiranya berasal dari sebuah negeri nun
jauh di Jazirah Arabsanatelah mengubah total arah hidupnya. Gambar di kaleng itu
memperlihatkan seorang pria bercelana dalam merah, berbadang tinggi besar, berotot
kawat tulang besi, dan berbulu laksana seekor gorila jantan. Ia menemukan kaleng itu di
dapur seorang pedagang kaki lima spesialis penumbuh segala jenis rambut.
Sejak itu Borek tidak tertarik lagi dengan hal lain dalam hidup ini selain sesuatu
yang berhubungan dengan upaya membesarkan ototnya. Karena latihan keras, ia berhasil,
dan mendapat julukan Samson. Sebuah gelar ningrat yang disandangnya dengan penuh
rasa bangga. Agak aneh memang, tapi paling tidak sejak usia muda Borek sudah menjadi
dirinya sendiri dan sudah tau pasti ingin menjadi apa dia nanti, l.alu secara konsisten ia
berusaha mencapainya. Ia melompati suatu tahap pencarian identitas yang tak jarang
mengombang-ambingkan orang sampai tua. Bahkan sering sekali mereka yang tak
kunjung menemukan identitas menjalani hidup sebagai orang lain. Borek lebih baik dari
Samson demikian terobsesi dengan body buildingdan tergila-gila dengan citra
cowokmacho, dan pada suatu hari aku termakan hasutannya.
AKU tak mengerti dari mana ia mendapat sebuah pengetahuan rahasia untuk
membesarkan otot dada.
“Jangan bilang siapa-siapa …!” katanya berbisik. Ia menoleh ke kiri dan kanan,
seakan takut ada yang memerhatikan dan mencuri idenya. Lalu ia menarik tanganku,
kami pun berlari menuju belakang sekolah, sembunyi di ruangan bekas gardu listrik. Dari
dalam tasnya ia mengeluarkan sebuah bola tenis yang dibelah dua.
“Kalau i9ngin dadamu menonjol seperti dadaku, inilah rahasianya!” Kembali ia
berbisik walaupun ia tahu di sana tak mungkin ada siapa-siapa. Agaknya bola tenis itu
mengandung sebuah keajaiban.
“Pasti sebuah penemuan yang hebat, rupanya bola tenis inilah rahasia keindahan
tubuhnya,” pikirku. Tapi akan diapakan aku ini?
“Buka bajumu!” perintahnya. “Biar kujadikan kau pria sejati pujaan kaum
Wajahnya menunjukkan bahwa ia tak habis pikir mengapa semua laki-laki di luar
sanatidak melakukan metode praktisnya ini, jalan pintas menuju kesempurnaan
penampilan seorang lelaki. Sesungguhnya aku ragu tapi tak punya pilihan lain. Pintu
Namun, belum sempat aku berpikir jauh tiba-tiba ia merangsek maju ke arahku
dan dengan keras menekankan bola tenis itu ke dadaku. Aku terjajar ke belakang sampai
hampir jatuh. Aku tak berdaya. Dengan leluasa dan sekuat tenaga ia membenamkan
benda sialan itu ke kulit dadaku karena sekarang punggungku terhalang oleh tumpukan
balok. Badannya jauh lebih besar, tenaganya seperti kuli, alisnya sampai bertemu karena
ia mengerahkan segenap kekuatannya, emmbuatku meronta-ronta.
Aku paham, belahan bola tenis ini dimaksudkan bekerja seperti sebuah benda
aneh bertangkai kayu dan berujung karet yang dipakai orang untuk menguras lubang WC.
Bola tenis itu adalah alat bekam yang akan menarik otot sehingga menonjol dan bidang.
Itu idenya. Sekarang tekanan tenaga Samson dan daya isap bola tenis itu mulai bereaksi
Yang akurasakan adalah seluruh isi dadaku: jantung, hati, paru-paru, limpa,
berikut isi perut dan darahku seperti terisap oleh bola tenis itu. Bahkan mataku rasanya
akan meloncat. Aku tercekat, tak sanggup mengeluarkan kata-kata. Aku memberi isyarat
agar ia melepaskan pembekam itu.
“Belum waktunya, harus seslesai hitung nama dan orangtua, baru ada
Hitung nama dan orangtua? Aduh! Celaka!
Hitung nama dan orangtua adalah inovasi konyol kami sendiri, yaitu
mebngerjakan sesuatu dalam durasi menyebut nama sekaligus nama orang tua, misalnya
Trapani Ihsan Jamari bin Zainuddin Ilham Jamari atau Harun Ardhli Ramadhan bin
Syamsul Hazana Ramadhan. Aku sudah tak sanggup menanggungkan benda yang
menyedot dadaku ini selama menyebut nama sepuluh teman sekelas apalagi dengan nama
orangtuanya. Nama orang Melayu tak pernah singkat.
Samson tak peduli, ia tetap menekan belahan bola tenis itu tanpa perasaan. Ini
adalah adu kekuatan antara David yang kecil dan Goliath sang raksasa. Aku terperangkap
seperti ikan kepuyu di dalam bubu. Aku mulai sesak napas. Tubuhku rasanya akan
meledak. Isapan bola tenis itu laksana sengatan lebah tanah kuning yang paling berbisa
dan tubuhku mulai terasa menciut. Kakiku mengais-ngais putus asa seperti banteng
bernafsu menanduk matador. Namun, pada detik paling gawat itu rupanya Tuhan
menyelamatkanku karena tanpa diduga salah satu balok di belakangku jatuh sehingga
sekarang aku memiliki ruang utnuk mengambil ancang-ancang. Tanpa menyia-nyiakan
kesempatan, kuambil seluruh tenaga terakhir yang tersisa lalu dengan sekali jurus
kutendang selangkang Samson, tepat di belahan pelirnya, sekuat-kuatnya, persis pegulat
Jepang Antonio Inoki menghantam Muhammad Ali di lokasi tak sopan itu pada
pertarungan absurd tahun ’76.
Samson melolong-lolong seperti kumbang terperangkap dalam stoples. Aku
melompat kabur pontang-panting. Belahan bola tenis inovasi genius dunia body building
itu pun terpental ke udara dan jatuh berguling-guling lesu di atas tumpukan jerami.
Sempat aku menoleh ke belakang dan melihat Samson masih berputar-putar memegangi
selangkangnya, lalu manusia Herucles itu pun tumbang berdebam di atas tanah.
Di dadaku melingkar tnada bulat merah kehitam-hitaman, sebuah jejak
Ketika ibuku bertanya tentang tanda itu aku tak berkutik, karena pelajaran Budi
Pekerti Kemuhammadiyahan setiap Jumat pagi tak membolehkan aku membohongi
orangtua, apalagi ibu. Maka dengan amat sangat terpaksa kutelanjangi kebodohanku
sendiri. Abang-abang dan ayahku tertawa sampai menggigil dan saat itulah untuk
pertama kalinya aku mendengar teori canggih ibuku tentang penyakit gila.
“Gila itu ada 44 macam,” kata ibuku seperti seorang psikiater ahli sambil
mengunyah gambir dan sirih.
“Semakin kecil nomornya semakin parah gilanya,” beliau menggeleng-gelengkan
kepalanya dan menatapku seeperti sedang menghadapi seorang pasien rumah sakit jiwa.
“Maka orang-orang yang sudah tidak berpakaian dan lupa diri di jalan-jalan,
itulah gila no.1, dan gila yang kau buat dengan bola tenis itu sudah bisa masuk no. 5.
Cukup serius! Hati-hati, kalau tak pakai akal sehat dalam setiap kelakuanmu maka angka
itu bisa segera mengecil.”
Bukan bermaksud berpolemik dengan temuan para ahli jiwa. Kami mengerti
bahwa teori ini tentu saja hanya untuk mengingatkan anak-anaknya agar jangan bertindak
keterlaluan. Tapi begitulah teori penyakit gila versi ibuku dan bagiku teori itu efektif.
Aku malu sudah bertindak konyol.
Aku tak yakin apakah Samson benar-benar menerapkan teknik sinting itu untuk
memperbesar otot-ototnya, ataukah ia hanya ingin membodohi aku. Yang kutahu pasti
adalah selama tiga hari berikutnya ia ke sekolah dengan berjalan terkangkang-kangkang
seperti orang pengkor, badannya yangb esar membuat ia tampak seperti kingkong.
PADA sebuah pagi yang lain, pukul sepuluh, seharusnya burung kut-kut sudah
datang. Tapi pagi ini senyap. Aku tersenyum sendiri melamunkan seifat-sifat kawan
sekelasku. Lalu aku memandangi guruku Bu Mus, seseorang yang bersedia menerima
kami apa adanya dengan sepenuh hatinya, segenap jiwanya. Ia paham betul kemiskinan
dan posisi kami yang rentan sehingga tak pernah membuat kebijakan apa pun yang
mengandung implikasi biaya. Ia selalu membesarkan hati kami. Kupandangi juga
sembilan teman sekelasku, orang-orang muda yang luar biasa. Sebagian mereka ke
sekolah hanya memakai sandal, sementara yang bersepatu selalu tampak kebesaran
sepatunya. Orantua kami yang tak mampu memang sengaja membeli sepatu dua nomor
lebih besar agar dapat dipakai dalam dua tahun ajaran.
Ada keindahan yang unik dalam interaksi masing-masing sifat para sahabatku.
Tersembunyi daya tarik pada cara mereka mengartikan sekstan untuk mengukur diri
sendiri, menilai kemampuan orang tua, melihat arah masa depan, dan memersepsi
pandangan lingkungan terhadap mereka. Kadang kala pemikiran mereka kontradiktif
terhadap pendapat umum laksana gurun bertemu pantai atau ibarat hujan ketika matahari
sedang terik. Tak jarang mereka seperti kelelawar yang tersasar masuk ke kamar,
menabrak-nabrak kaca ingin keluar dan frustasi. Mereka juga seperti seekor parkit yang
terkurung di dalam gua, kebingungan dengan gema suaranya sendiri.
Sejak kecil aku tertarik untuk menjadi pengamat kehidupan dan sekarang aku
menemukan kenyataan yang memesona dalam sosiologi lingkungan kami yang ironis. Di
sini ada sekolahku yang sederhana, para sahabatku yang melarat, orang Melayu yang
terabaikan, juga ada orang staf dan sekolah PN mereka yang glamor, serta PN Timah
yang gemah ripah dengan Gedong, tembok feodalistisnya. Semua elemen itu adalah
perpustakaan berjalan yang memberiku pengetahuan baru setiap hari.
Pengetahuan terbesar terutama kudapat dari sekolahku, karena perguruan
Muhammadiyah bukanlah center of excellence, tapi ia merupakan pusat marginalitas
sehingga ia adalah sebuah universitas kehidupan. Di sekolah ini aku memahami arti
keikhlasan, perjuangan, dan integritas. Lebih dari itu, perintis peruguran ini mewariskan
pelajaran yang amat berharga tentang ide-ide besar Islam yang mulia, keberanian untuk
merealisasi ide itu meskipun tak putus-putus dirundung kesulitan, dan konsep menjalani
hidup dengan gagasan memberi manfaat sebesar-besarnya untuk orang lain melalui
pengorbanan tanpa pamrih.
Maka sejak waktu virtual tercipta dalam definisi hipotesis manusia tatkala nebula
mengeras dalam teori lubang hitam, di antara titik-titik kurunnya yang merentang panjang
tak tahu akan berhenti sampai kapan, aku pada titik ini, di tempat ini, merasa bersyukur
menjadi orang Melayu Belitong yang sempat menjadi murid Muhammadiyah. Dan
sembilan teman sekelasku memberiku hari-hari yang lebih dari cukup untuk suatu ketika
di masa depan nanti kuceritakan pada setiap orang bahwa masa kecilku amat bahagia.
Kebahagiaan yang spesifik karena kami hidup dengan persepsi tentang kesenangan
sekolah dan persahabatan yang kami terjemahkan sendiri.
Kami adalah sepuluh umpan nasib dan kami seumpama kerang-kerang halus yang
melekat erat satu sama lain dihantam deburan ombak ilmu. Kami seperti anak-anak
bebek. Tak terpisahkan dalam susah dan senang. Induknya adalah Bu Mus. Sekali lagi
kulihat wajah mereka, Harun yang murah senyum,Trapaniyang rupawan, Syahdan yang
lilipu, Kucai yang sok gengsi,Saharayang ketus, A Kiong yang polos, dan pria
kedelapan—yaitu Samson—yang duduk seperti patung Ganesha.
Lalu siapa pria yang kesembilan dan kesepuluh? Lintang dan Mahar. Pelajaran
apa yang mereka tawarkan? Mereka adalah pria-pria muda yang sangat istimewa.
Memerlukan bab tersendiri untuk menceritakannya. Sampai di sini, aku sudah merasa
menjadi seorang anak kecil yang sangat beruntung.
PAGI ini Lintang terlambat masuk kelas. Kami tercengang mendengar ceritanya.
“Aku tak bisa melintas. Seekor buaya sebesar pohon kelapa tak mau beranjak,
menghalang di tengah jalan. Tak ada siapa-siapa yang bisa kumintai bantuan. Aku hanya
berdiri mematung, berbicara dengan diriku sendiri.”
“Buaya sebesar itu tak ‘kanmampu menyerangku dalam jarak ini, ia lamban, pasti
kalah langkah. Kalau cukup waktu aku dapat menghitung hubungan massa, jarak, dan
tenaga, baik aku maupun buaya itu, sehingga aku dapat memperkirakan kecepatannya
menyambarku dan peluangku untuk lolos. Ilmu menyebabkan aku berani maju beberapa
langkah lagi. Apalagi fisika tidak mempertimbangkan psy war, kalau aku maju ia pasti
akan terintimidasi dan masuk lagi ke dalam air.
“Aku maju sedikit, membunyikan lonceng sepeda, bertepuk tangan, berdeham-deham,
membuat bunyi-bunyian agar dia merayap pergi. Tapi ia bergeming. Ukurannya
dan teritip yang tumbuh di punggungnya memperlihatkan dia penguasa rawa ini. Dan
sekarang saatnya mandi matahari. Secara fisik dan psikologis binatang atau secara apa
pun, buaya ini akan menang. Ilmu tak berlaku di sini.
“Tapi lebih dari setengah perjalanan sudah, aku tak ‘kankembali pulang gara-gara
buaya bodoh ini. Tak ada kata bolos dalam kamusku, dan hari ini ada tarikh Islam, mata
pelajaran yang menarik. Ingin kudebatkan kisah ayat-ayat suci yang memastikan
kemenanganByzantiumtujuh tahun sebelum kejadian. Sudah siang, aku maju sedikit,
aku pasti terlambat tiba di sekolah.”
“Aku hanya sendirian. Jika ada orang lain aku berani lebih frontal. Tahukah
hewan ini pentingnya pendidikan? Aku tak berani lebih dekat. Ia menganga dan bersuara
rendah, suara dari perut yang menggetarkan seperti sendawa seekor singa atau seperti
suara orang menggeser sebuah lemari yang sangat besar. Aku diam menunggu. Tak ada
jalur alternatif dan kekuatan jelas tak berimbang. Aku mulai frustasi. Suasana sunyi
senyap. Yang ada hanya aku, seekor buaya ganas yang egois, dan intaian maut.”
Kami prihatin dan tegang mendengar kisah perjuangan Lintang menuju sekolah.
“Tiba-tiba dari arah samping kudengar riak air. Aku terkejut dan takut.
Menyeruak di antara lumut kumpai, membelah genangan setinggi dada, seorang laki-laki
seram naik dari rawa. Ia berjalan menghampiriku, kakinya bengkok seperti huruf O,”
“Siapa laki-laki itu Lintang?” tanyaSaharatercekat.
“Ooh …,” kami serentak menutup mulut dengan tangan. Menakutkan sekali. Tak
ada yang berani berkomentar. Tegang menunggu kelanjutan cerita Lintang.
“Aku lebih takut padanya daripada buaya mana pun. Pria ini tak mau dikenal
orang tapi sepanjang pesisir Belitong Timur, siapa tak kenal dia?
“Dia melewatiku seperti aku tak ada dan dia melangkah tanpa ragu mendekati
binatang buas itu. Dia menyentuhnya! Menepuk-nepuk lembut kulitnya sambil
menggumamkan sesuatu. Ganjil sekali, buaya itu seperti takluk, mengibas-ngibaskan
ekornya laksana seekor anjing yang ingin mengambil hati tuannya, lalu mendadak sontak,
dengan sebuah lompatan dahsyat seperti terbang reptil zaman Cretaceous itu terjun ke
rawa menimbulkan suara laksana tujuh pohon kelapa tumbang sekaligus.
Lintang menarik napas.
“Aku terkesima dan tadi telah salah hitung. Jika binatang purba itu mengejarku
maka orang-orang hanya akan menemukan sepeda reyot ini. Fisika sialan. Memprediksi
perilaku hewan yang telah bertahan hidup jutaan tahun adalah tindakan bodoh nan
“Dari permukaan air yang bening jelas kulihat binatang itu menggoyangkan ekor
panjangnya untuk mengambil tenaga dorong sehingga badannya yang hidrodinamis
menghujam mengerikan ke dasar air.
“bodenga berbalik ke arahku. Seperti selalu, ekspresinya dingin dan jelas tak
menginginkan ucapan terima kasih. Kenyataannya aku tak berani menatapnya, nyaliku
runtuh. Dengan sekali sentak ia bisa menenggelamkanku sekaligus sepeda ini ke dalam
rawa. Aku mengenal reputasi laki-laki liar ini. Tapi aku merasa beruntung karena aku
telah menjadi segelintir orang yang pernah secara langsung menyaksikan kehebatan ilmu
AKU termenung mendengar cerita Lintang. Aku memang tidak pernah
menyaksikan langsung Bodenga beraksi tapi aku mengenal Bodenga lebih dari Lintang
mengenalnya. Bagiku Bodenga adalah guru firasat dan semua hal yang berhubungan
dengan perasaan gamang, pilu, dan sedih.
Tak seorang pun ingin menjadi sahabat Bodenga. Wajahnya carut-marut, berusia
empat puluhan. Ia menyelimuti dirinya dengan dahan-dahan kelapa dan tidur melingkar
seperti tupai di bawah pohon nifah selama dua hari dua malam. Jika lapar ia terjun ke
sumur tua di kantor polisi lama, menyelam, menangkap belut yang terperangkap di
bawahsanadan langsung memakannya ketika masih di dalam air.
Ia makhluk yang merdeka. Ia seperti angin. Ia bukan Melayu, bukan Tionghoa,
dan bukan pula Sawang, bukan siapa-siapa. Tak ada yang tahu asal usulnya. Ia tak
memiliki agama dan tak bsia bicara. Ia bukan pengemis bukan pula penjahat. Namanya
tak terdaftar di kantor desa. Dan telinganya sudah tak bisa mendengar karena ia pernah
menyelami dasar Sungai Lenggang untuk mengambil bijih-bijih timah, demikian dalam
hingga telinganya mengeluarkan darah, setelah itu menjadi tuli.
Bodenga kini sebatang kara. Satu-satunya ekluarga yang pernah diketahui orang
adalah ayahnya yang buntung kaki kanannya. Orang bilang karena tumbal ilmu buaya.
Ayahnya itu seorang dukun buaya terkenal. Serbuan Islam yang tak terbendung ke
seantero kampung membuat orang menjauhi mereka, karena mereka menolak
meninggalkan penyembahan buaya sebagai Tuhan.
Ayahnya telah mati karena melilit tubuhnya sendiri kuat-kuat dari mata kaki
sampai ke leher dengan akar jawi lalu menerjunkan diri ke Sungai Mirang. Ia sengaja
mengumpankan tubuhnya pada buaya-buaya ganas di sana. Masyarakat hanya
menemukan potongan kaki buntungnya. Kini Bodenga lebih banyak menghabiskan waktu
memandangi aliran Sungai Mirang, sendirian sampai jauh malam.
Pada suatu sore warga kampung berduyun-duyun menuju lapangan basket
Sekolah Nasional. Karena baru saja ditangkap seekor buaya yang diyakini telah
menyambar seorang wanita yang sedang mencuci pakaian di Manggar. Karena aku masih
kecil maka aku tak dapat menembus kerumunan orang yang mengelilingi buaya itu, aku
hanya dapat melihatnya dari sela-sela kaki pengunjung yang rapat berselang-seling.
Mulut buaya besar itu dibuka dan disangga dengan sepotong kayu bakar.
Ketika perutnya dibelah, ditemukan rambut, baju, jam tangan, dan kalung. Saat
itulah aku melihat Bodenga mendesak maju di antara pengunjung. Lalu ia bersimpuh di
samping sang buaya. Wajahnya pucat pasi. Ia memberi isyarat kepada orang-orang,
memohon agar berhenti mencincang binatang itu. Orang-orang mundur dan melepaskan
kayu bakar yang menyangga mulut buaya tersebut. Mereka paham bahwa penganut ilmu
buaya percaya jika mati mereka akan menjadi buaya. Dan mereka maklum bahwa bagi
Bodenga buaya ini adalah ayahnya karena salah satu kaki buaya ini buntung.
Bodenga menagnsi. Suaranya pedih memilukan.
“Baya … Baya … Baya …,” panggilnya lirih. Beberapa orang menangis
sesenggukan. Aku menyaksikan dari sela-sela kaki pengunjung air matanya mengalir
membasahi pipinya yang rusak berbintik-bintik hitam. Air mataku juga mengalir tak
mampu kutahan. Buaya ini satu-satunya cinta dalam hidupnya yang terbuang, dalam
dunianya yang sunyi senyap.
Ia mengucapkan ratapan yang tak jelas dari mulutnya yang gagu. Ia mengikat
sang buaya, membawanya ke sungai, menyeret bangkai ayahnya itu sepanjang pinggiran
sungai menuju ke muara. Bodenga tak pernah kembali lagi.
Bodenga dalam fragmen sore itu menciptakan cetak biru rasa belas kasihan dan
kesedihan di alam bawah sadarku. Mungkin aku masih terlalu kecil utnuk menyaksikan
tragedi sepedih itu. Ia mewakili sesuatu yang gelap di kepalaku. Pada tahun-tahun
mendatang bayangannya sering mengunjungiku. Jika aku dihadapkan pada situasi yang
menyedihkan maka perlahan-lahan ia akan hadir, mewakili semua citra kepedihan di
dalam otakku. Maka sore itu sesungguhnya Bodenga telah mengajariku ilmu firasat. Ia
juga yang pertama kali memeprlihatkan padaku bahwa nasib bisa memperlakukan
manusia dengan sangat buruk, dan cinta bisa menjadi demikian buta.
Lintang memang tak memiliki pengalaman emosional dengan Bodenga seperti
yang aku alami, tapi bukan baru sekali itu ia dihadang buaya dalam perjalanan ke
sekolah. Dapat dikatakan tak jarang Lintang mempertaruhkan nyawa demi menempuh
pendidikan, namun tak sehari pun ia pernah bolos. Delapan puluh kilometer pulang pergi
ditempuhnya dengan sepeda setiap hari. Tak pernah mengeluh. Jika kegiatan sekolah
berlangsung sampai sore, ia akan tiba malam hari di rumahnya. Sering aku merasa ngeri
membayangkan perjalanannya.
Kesulitan itu belum termasuk jalan yang tergenang air, ban sepeda yang bocor,
dan musim hujan berkepanjangan dengan petir yang menyambar-nyambar. Suatu hari
rantai sepedanya putus dan tak bisa disambung lagi karena sudah terlalu pendek sebab
terlalu sering putus, tapi ia tak menyerah. Dituntunnya sepeda itu puluhan kilometer, dan
sampai di sekolah kami sudah bersiap-siap akan pulang. Saat itu adalah pelajaran seni
suara dan dia begitu bahagia karena masih sempat menyanyikan lagu Padamu Negeridi
depan kelas. Kami termenung mendengarkan ia bernyanyi dengan sepenuh jiwa, tak
tampak kelelahan di matanya yang berbinar jenaka. Setelah itu ia pulang dengan
menuntun sepedanya lagi sejauh empat puluh kilometer.
Pada musim hujan lebat yang bisa mengubah jalan menjadi sungai, menggenangi
daratan dengan air setinggi dada, membuat guruh dan halilintar membabat pohon kelapa
hingga tumbang bergelimpangan terbelah dua, pada musim panas yang begitu terik
hingga alam memuai ingin meledak, pada musim badai yang membuat hasil laut nihil
hingga berbulan-bulan semua orang tak punya uang sepeser pun, pada musim buaya
berkembang biak sehingga mereka menjadi semakin ganas, pada musim angin barat
putting beliung, pada musim demam, pada musim sampar—sehari pun Lintang tak
Dulu ayahnya pernah mengira putranya itu akan takluk pada minggu-minggu
pertama sekolah dan prasangka itu terbukti keliru. Hari demi hari semangat Lintang
bukan semakin pudar tapi malah meroket karena ia sangat mencintai sekolah, mencintai
teman-temannya, menyukai persahabatan kami yang mengasyikkan, dan mulai
kecanduan pada daya tarik rahasia-rahasia ilmu. Jika tiba di rumah ia tak langsung
beristirahat melainkan segera bergabung degan anak-anak seusia di kampungnya untuk
bekerja sebagai kuli kopra. Itulah penghasilan sampingan keluarganya dan juga sebagai
kompensasi terbebasnya dia dari pekerjaan di laut serta ganjaran yang ia dapat dari
“kemewahan” bersekolah.
Ayahnya, yang seperti orang Bushmanitu, sekarang menganggap keputusan
menyekolahkan Lintang adalah keputusan yang tepat, paling tidak ia senang melihat
semangat anaknya menggelegak. Ia berharap suatu waktu di masa depan nanti Lintang
mampu menyekolahkan lima orang adik-adiknya yang lahir setahun sekali sehingga
berderet-deret rapat seperti pagar, dan lebih dari itu ia berharap Lintang dapat
mengeluarkan mereka dari lingkaran kemiskinan yang telah lama mengikat mereka
hingga sulit bernapas.
Maka ia sekuat tenaga mendukung pendidikan Lintang dengan cara-caranya
sendiri, sejauh kemampuannya. Ketika kelas satu dulu pernah Lintang menanyakan
kepada ayahnya sebuah persoalan perkerjaan rumah kali-kalian sederhana dalam mata
“Kemarilah Ayahanda … berapa empat kali empat?”
Ayahnya yang buta huruf hilir mudik. Memandang jauh ke laut luas melalui
jendela, lalu ketika Lintang lengah ia diam-diam menyelinap keluar melalui pintu
belakang. Ia meloncat dari rumah panggungnya dan tanpa diketahui Lintang ia berlari
sekencang-kencangnya menerabas ilalang. Laki-laki cemara angin itu berlari pontangpanting
sederas pelanduk untuk minta bantuan orang-orang di kantor desa. Lalu secepat
kilat pula ia menyelinap ke dalam rumah dan tiba-tiba sudah berada di depan Lintang.
“Em … emm… empat belasss … bujangku … tak diragukan lagi empat belasss ..
tak lebih tak kurang …,” jawab beliau sembari tersengal-sengal kehabisan napas tapi juga
tersenyum lebar riang gembira. Lintang menatap mata ayahnya dalam-dalam, rasa ngilu
menyelinap dalam hatinya yang masih belia, rasa ngilu yang mengikrarkan nazar aku
harus jadi manusia pintar, karena Lintang tahu jawaban itu bukan datang dari ayahnya.
Ayahnya bahkan telah salah mengutip jawaban pegawai kantor desa. Enam belas,
itulah seharusnya jwabannya, tapi yang diingat ayahnya selalu hanya angka empat belas,
yaitu jumlah nyawa yang ditanggungnya setiap hari.
Setelah itu Lintang tak pernah lagi minta bantuan ayahnya. Mereka tak pernah
membahas kejadian itu. Ayahnya diam-diam maklum dan mendukung Lintang dengan
cara lain, yakni memberikan padanya sebuah sepeda laki bermerk Rally Robinson, made
in England. Sepeda laki adalah sebutan orang Melayu untuk sepeda yang biasa dipakai
kaum lelaki. Berbeda dengan sepeda bini, sepeda laki lebih tinggi, ukurannya panjang,
sadelnya lebar, keriningannya lebih maskulin, dan di bagian tengahnya terdapat batang
besi besar yang tersambung antara sadel dan setang. Sepeda ini adalah harta warisan
keluarga turun-temurun dan benda satu-satunya yang paoling berharga di rumah mereka.
Lintang menaiki sepeda itu dengan terseok-seok. Kakinya yang pendek menyebabkan ia
tidak bisa duduk di sadel, melainkan di atas batang sepeda, dengan ujung-ujung jari kaki
menjangkau-jangkau pedal. Ia akan beringsut-ingsut dan terlonjak-lonjak hebat di atas
batangan besi itu sambil menggigit bibirnya, mengumpulkan tenaga. Demikian
perjuangannya mengayuh sepeda ke pulang dan pergi ke sekolah, delapan puluh
kilometer setiap hari.
Ibu Lintang, seperti halnya Bu Mus dan Sahara adalah seorang N.A. Itu adalah
singkatan dari Nyi Ayu, yakni sebuah gelar bangsawan kerajaan lama Belitong khusus
bagi wanita dari ayah seorang K.A. atau Ki Agus. Adat istiadat menyarankan agar gelar
itu diputus pada seorang wanita sehingga Lintang dan adik-adik perempuannya tak
menyandang K.A. atau N.A. di depan nama-nama mereka. Meskipun begitu, tak jarang
pria-pria keturunan N.A. menggunakangelar K.A., dan hal itu bukanlah persoalan karena
gelar-gelar itu adalah identitas kebanggaan sebagai orang Melayu Belitong asli.
Jika benar kecerdasan bersifat genetik maka kecerdasan Lintang pasti mengalir
dari keturunan nenek moyang ibunya. Meskipun buta huruf dan kurang beruntung karena
waktu kecil terkena polio sehingga salah satu kakinya tak bertenaga, tapi ibu Lintang
berada dalam garis langsung silsilah K.A. Cakraningrat Depati Muhammad Rahat,
seseorang bangsawan cerdas anggota keluarga Sultan Nangkup. Sultan ini adalah utusan
Kerajaan Mataram yang membangun keningratan di tanah Belitong. Beliau membentuk
pemerintahan dan menciptakan klan K.A. dan N.A. itu. Anak cucunya tidak diwarisi
kekuasaan dan kekayaan tapi kebijakan, syariat Islam, dan kecendekiawanan. Maka
Lintang sesungguhnya adalah pewaris darah orang-orang pintar masa lampau.
Meskipun tak bisa membaca, ibu Lintang senang sekali melihat barisan huruf dan
angka di dalam buku Lintang. Beliau tak peduli, atau tak tahu, jika melihat sebuah buku
secara terbalik. Di beranda rumahnya beliau merasa takjub mengamati rangkaian kata dan
terkagum-kagum bagaimana baca-tulis dapat mengubah masa depan seseorang.
Beranda itu sendiri merupakan bagian dari gubuk panggung dengan tiang-tiang
tinggi untuk berjaga-jaga jika laut pasang hingga meluap jauh ke pesisir. Adapun gubuk
ini merupakan bagian dari pemukiman komunitas orang Melayu Belitong yang hidup di
sepanjang pesisir, mengikuti kebiasaan leluhur mereka para penggawa dan kerabat
kerajaan. Oleh karena itu, dalam lingkungan Lintang banyak bersemayam keluarga-keluarga K.A.
Gubuk itu beratap daun sagu dan berdinding lelakdari kulit pohon meranti. Apa
pun yang dilakukan orang di dalam gubuk itu dapat dilihat dari luar karena dinding kulit
kayu yang telah berusia puluhan tahun merekah pecah seperti lumpur musim kemarau.
Ruangan di dalamnya sempit dan berbentuk memanjang dengan dua pintu di depan dan
belakang. Seluruh pintu dan jendela tidak memiliki kunci, jika malam mereka ditutup
dengan cara diikatkan pada kusennya. Benda di dalma rumah itu ada enam macam:
beberapa helai tikar lais dan bantal, sajadah dan Al-Qur’an, sebuah lemari kaca kecil
yang sudah tidak ada lagi kacanya, tungku dan alat-alat dapur, tumpukan cucian, dan
enam ekor kucing yang dipasangi kelintingan sehinga rumah itu bersuara gemerincing
Di luar bangunan sempit memanjang tadi ada semacam pelataran yang digunakan
oleh empat orang tua untuk menjalin pukat. Bagian ini hanya ditutupi beberapa keping
papan yang disandarkan saja pada dahan-dahan kapuk yang menjulur-julur, bahkan untuk
memaku papan-papan itu pun keluarga ini tak punya uang. Empat orang tua itu adalah
bapak dan ibu dari bapak dan ibu Lintang. Semuanya sudah sepuh dan kulit mereka
keriput sehingga dapat dikumpulkan dan digenggam. Jika tidak sedang menjalin pukat,
keempat orang itu duduk menekuri sebuah tampah memunguti kutu-kutu dan ulat-ulat
lentik di antara bulir-bulir beras kelas tiga yang mampu mereka beli, berjam-jam lamanya
karena demikian banyak kutu dan ulat pada beras buruk itu.
Selain empat orang itu ikut pula dalam keluarga ini dua orang adik laki-laki ayah
Lintang, yaitu seorang pria muday ang kerjanya hanya melamun saja sepanjang hari
karena agak terganggu jiwanya dan seorang bujang lapuk yang tak dapat bekerja keras
karena menderita burut akibat persoalan kandung kemih. Maka ditambahlimaadik
perempuan Lintang, Lintang sendiri, dan kedua orangtuanya, seluruhnya berjumlah
empat belas orang. Mereka hidup bersama, berdesak-desakan di dalam rumah sempit
Empat orangtua yang sudah sepuh, dua adik laki-laki yang tak dapat diharapkan,
semua ini membuat keempat belas itu kelangsungan hidupnya dipanggul sendiri oleh
ayah Lintang. Setiap hari beliau menunggu tetangganya yang memiliki perahu atau
juragan pukat harimau memintanya untuk membantu mereka di laut. Beliau tidak
mendapatkan persentasi dari berapa pun hasil tangkapan, tapi memperoleh upah atas
kekuatan fisiknya. Beliau adalah orang yang mencari nafkah dengan menjual tenaga.
Tambahan penghasilan sesekali beliau dapat dari Lintang yang sudah bisa menjadi kuli
kopra dan anak-anak perempuannya yang mengumpulkan kerang saat angin teduh musim
Lintang hanya dapat belajar setelah agak larut karena rumahnya gaduh, sulit
menemukan tempat kosong, dan karena harus berebut lampu minyak. Namun sekali ia
memegang buku, terbanglah ia meninggalkan gubuk doyong berdinding kulit itu. Belajar
adalah hiburan yang membuatnya lupa pada seluruh penat dan kesulitan hidup. Buku
baginya adalah obat dan sumur kehidupan yang airnya selalu memberi kekuatan baru
agar ia mampu mengayuh sepeda menantang angin setiap hari. Jika berhdapan dengan
buku ia akan terisap oleh setiap kalimat ilmu yang dibacanya, ia tergoda oleh sayap-sayap
kata yang diucapkan oleh para cerdik cendekia, ia melirik maksud tersembunyi dari
sebuah rumus, sesuatu yang mungkin tak kasat mata bagi orang lain.
Lalu pada suatu ketika, saat hari sudah jauh malam, di bawah temaram sinar
lampu minyak, ditemani deburan ombak pasang, dengan wajah mungil dan matanya yang
berbinar-biran, jari-jari kurus Lintang membentang lembar demi lembar buku lusuh
stensilan berjudul Astronomi dan Ilmu Ukur. Dalam sekejap ia tenggelam dilamun katakata
ajaib pembangkangan Galileo Galilei terhadap kosmologi Aristoteles, ia dimabuk
rasa takjub pada gagasan gila para astronom zaman kuno yang terobsesi ingin mengukurb
erapa jarak bumi ke Andromeda dan nebula-nebula Triangulum. Lintang menahan napas
ketika membaca bahwa gravitasi dapat membelokkan cahaya saat mempelajari tentang
analisis spektral yang dikembangkan untuk studi bintang gemintang, dan juga saat tahu
mengenai teori Edwin Hubble yang menyatakan bahwa alam hidup mengembang
semakin membesar. Lintang terkesima pada bintang yang mati jutaan tahun silam dan ia
terkagum-kagum pada pengembaraan benda-benda langit di sudut-sudut gelap kosmos
yang mungkin hanya pernah dikunjungi oleh pemikiran-pemikiran Nicolaus Copernicus
Ketika sampai pada Bab Ilmu Ukur ia tersenyum riang karena nalarnya demikian
ringan mengikuti logika matematis pada simulasi ruang berbagai dimensi. Ia dengan
cepat segera menguasai dekomposisi tetrahedral yang rumit luar biasa, aksioma arah, dan
teorema Phytagorean. Semua materi ini sangat jauh melampaui tingkat usia dan
pendidikannya. Ia merenungkan ilmu yang amat menarik ini. Ia melamun dalam lingkar
temaram lampu minyak. Dan tepat ketika itu, dalam kesepian malam yang mencekam,
lamunannya sirna karena ia terkejut menyaksikan keanehan di atas lembar-lembar buram
yang dibacanya. Ia terheran-heran menyaksikan angka-angka tua yang samar di lembaran
itu seakan bergerak-gerak hidup, menggeliat, berkelap-kelip, lalu menjelma menjadi
kunang-kunang yang ramai beterbangan memasuki pori-pori kepalanya. Ia tak sadar
bahwa saat itu arwah para pendiri geometri sedang tersenyum padanya dan Copernicus
serta Lucretius sedang duduk di sisi kiri dan kanannya. Di sebuah rumah panggung
sempiot, di sebuah keluarga Melayu pedalaman yang sangat miskin, nun jauh di pinggir
laut, seorang genius alami telah lahir.
Esoknya di sekolah Lintang heran melihat kami yang kebingungan dengan
persoalan jurusan tiga angka.
“Apa, sih yang dipusingkan orang-orang kampung ini dengan arah angin itu?”
Demikian suara dari dalam hatinya.
Seperti juga kebodohan yang sering tak disadari, beberapa orang juga tak
menyadari bahwa dirinya telah terpilih, telah ditakdirkan Tuhan untuk ditunangkan
KEBODOHAN berbentuk seperti asap, uap air, kabut. Dan ia beracun. Ia berasal dari
sebuah tempat yang namanya tak pernah dikenal manusia. Jika ingin menemui
kebodohan makab erangkatlah dari tempat di mana saja di planet biru ini dengan
menggunakan tabung roket atau semacamnya, meluncur ke atas secara vertikal, jangan
eprnah sekali pun berhenti.
Gapailah gumpalan awan dalam lapisan troposfer, lalu naiklah terus menuju
stratosfer, menembus lapisan ozon, ionosfer, dan bulan-bulan di planet yang asing.
Meluncurlah terus sampai ketinggian di mana gravitasi bumi sudah tak peduli. Arungi
samudra bintang gemintang dalam suhu dingin yang mampu meledakkan benda padat.
Lintasi hujan meteor sampai tiba di eksosfer—lapisan paling luar atmosfer dengan
bentangan selebar 1.200 kilometer, dan teruslah melaju menaklukkan langit ketujuh.
Kita hanya dapat menyebutnya langit ketujuh sebagai gambaran imajiner tempat
tertinggi dari yang paling tinggi. Di tempat asing itu, tempat yang tak ‘kanpernah
memiliki nama, di atas langit ke tujuh, di situlah kebodohan bersemanyam. Rupanya
seperti kabut tipis, seperti asap cangklong, melayang-layang pelan, memabukkan .maka
apabila kita tanyakan sesuatu kepada orang-orang bodoh, mereka akan menjawab dengan
merancau, menyembunyikan ketidaktahuannya dalam omongan cepat, mencari beragam
alasan, atau membelokkan arah pertanyaan. Sebagaian yang lain diam terpaku, mulutnya
ternganga, ia diselubungi kabut dengan tatapan mata yang kosong dan jauh. Kedua jenis
reaksi ini adalah akibat keracunan asap tebal kebodohan yang mengepul di kepala
Kita tak perlu menempuh ekspedisi gila-gilaan itu. Karena seluruh lapisan langit
dan gugusan planit itu sesungguhnya terkonstelasi di dalam kepala kita sendiri. Apa yang
ada pada pikiran kita, dalam gumpalan otak seukuran genggam, dapat menjangkau ruang
seluas jagat raya.Parapemimpi seperti Nicolaus Copernicus, Battista Della Porta, dan
Lippershey malah menciptakan jagat rayanya sendiri, di dalam imajinasinya, dengan
sistem tata suryanya sendiri, dan Lucretius, juga seoerang pemimpi, menuliskan ilmu
Tempat di atas langit ketujuh, tempat kebodohan bersemanyam, adalah metafor
dari suatu tempat di mana manusia tak bisa mempertanyakan zat-zat Allah. Setiap usaha
mempertanyakannya hanya akan berujung dengan kesimpulan yang mempertontonkan
kemahatololan sang penanya sendiri. Maka semua jangkauan akal telah berakhir di langit
ketujuh tadi. Di tempat asing tersebut, barangkali Arasy, di sana kembali metafor
kagungan Tuhan bertakhta. Di bawah takhta-Nya tergelar Lauhul Mahfuzh, muara dari
segala cabang anak-anak sungai ilmu dan kebijakan, kitab yang telah mencatat setiap
lembar daun yang akan jatuh. Ia juga menyimpan rahasia ke mana nasib akan membawa
sepuluh siswa baru perguruan Muhammadiyah tahun ini. Karena takdir dan nasib
termasuk dalam zat-Nya.
Tuhan menakdirkan orang-orang tertentu untuk memiliki hati yang terang agar
dapat memberi pencerahan pada sekelilingnya. Dan di malam yang tua dulu ketika
Copernicus dan Lucretius duduk di samping Lintang, ketika angka-angka dan huruf
menjelma menjadi kunang-kunang yang berkelap-kelip, saat itu Tuhan menyemaikan biji
zarah klecerdasan, zarah yang jatuh dari langit dan menghantam kening Lintang.
Sejak hari perkenalan dulu aku sudah terkagum-kagum pada Lintang. Anak
pengumpul kerang ini pintar sekali. Matanya menyala-nyala memancarkan inteligensi,
keingintahuan menguasai dirinya seperti orang kesurupan. Jarinya tak pernah berhenti
mengacung tanda ia bisa menjawab. Kalau melipat dia paling cepat, kalau membaca dia
paling hebat. Ketika kami masih gagap menjumlahkan angka-angka genap ia sudah
terampil mengalikan angka-angka ganjil. Kami baru saja bisa mencongak, dia sudah
pintar membagi angka desimal, menghitung akar dan menemukan pangkat, lalu, tidak
hanya menggunakan, tapi juga mampu menjelaskan hubungan keduanya dalam tabel
logaritma. Kelemahannya, aku tak yakin apakah hal ini bisa disebut kelemahan, adalah
tulisannya yang cakar ayam tak keruan, tentu karena mekanisme motorik jemarinya tak
mampu mengejar pikirannya yang berlari sederas kijang.
“13 kali 6 kali 7 tambah 83 kurang 39!” tantang Bu Mus di depan kelas.
Lalu kami tergopoh-gopoh membuka karet yang mengikat segenggam lidi, untuk
mengambil tiga belas lidi, mengelompokkannya menjadi enam tumpukan, susah payah
menjumlahkan semua tumpukan itu, hasilnya kembali disusun menjadi tujuh kelompok,
dihitung satu per satu sebagai total dua tahap perkalian, ditambah lagi 83 lidi lalu diambil
39. Otak terlalu penuh untuk mengorganisasi sinyal-sinyal agar mengambil tindakan
praktis mengurangkan dulu 39 dari 83. Menyimpang sedikit dari urutan cara berpikir
orang kebanyakan adalah kesalahan fatal yang akan mengacaukan ilmu hitung aljabar.
Rata-rata dari kami menghabiskan waktu hampir selama 7 menit. Efektif memang, tapi
tidak efisien, repot sekali.
Sementara Lintang, tidak memegang sebatang lidi pun, tidak berpikir dengan cara
orang kebanyakan, hanya memjamkan matanya sebentar, tak lebih dari 5 detik ia
Tak sebiji pun meleset, meruntuhkan semangat kami yang sedang belepotan
memegangi potongan lidi, bahan belum selesai dengan operasi perkalian tahap pertama.
Aku jengkel tapi kagum. Waktu itu kami baru masuk hari pertama di kelas dua SD!
“ Superb! Anak pesisir, superb!” puji Bu Mus. Beliau pun tergoda untuk
menjangkau batas daya pikir Lintang.
“18 kali 14 kali 23 tambah 11 tambah 14 kali 16 kali 7!”
Kami berkecil hati, temangu-mangu menggenggami lidi, lalu kurang dari tujuh
detik, tanpa membuat catatan apa pun, tanpa keraguan, tanpa ketergesa-gesaan, bahkan
tanpa berkedip, Lintang berkumandang.
“Purnama! Lintang, bulan purnama di atas Dermaga Olivir, indah sekali! Itulah
jawabanmu, ke mana kau bersembunyi selama ini …?”
Ibu Mus bersusah payah menahan tawanya. Ia menatap Lintang seolah telah
seumur hidup mencari murid seperti ini. Ia tak mungkin tertawa lepas, agama melarang
itu. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Kami terpesona dan bertanya-tanya bagaimana
cara Lintang melakukan semua itu. Dan inilah resepnya ….
“Hafalkan luar kepala semua perkalian sesama angka ganjil, itulah yang sering
menyusahkan. Hilangkan angka satuan dari perkalian dua angka puluhan karena lebih
mudah mengalikan dengan angka berujung nol, kerjakan sisanya kemudian, dan jangan
kekenyangan kalau makan malam, itu akan membuat telingamu tuli dan otakmu tumpul!”
Polos, tapi ia telah menunjukkan kualifikasi highly cognitive complexdengan
mengembangkan sendiri teknik-teknik melokalisasi kesulitan, menganalisis, dan
memecahkannya. Ingat dia baru kelas dua SD dan ini adalah hari pertamanya. Selain itu
ia juga telah mendemonstrasikan kualitas nalar kuantitatif level tinggi. Sekarang aku
mengerti, aku sering melihatnya berkonsentrasi memandangi angka-angka. Saat itu dari
keningnya seolah terpancar seberkas sinar, mungkin itulah cahaya ilmu. Anak semuda itu
telah mampu mengontemplasikan bagaimana angka-angka saling bereaksi dalam suatu
operasi matematika. Kontemplasi-kontemplasi ini rupanya melahirkan resep ajaib tadi.
Lintang adalah pribadi yang unik. Banyak orang merasa dirinya pintar lalu
bersikap seenaknya, congkak, tidak disiplin, dan tak punya integritas. Tapi Lintang
sebaliknya. Ia tak pernah tinggi hati, karena ia merasa ilmu demikian luas untuk
disombongkan dan menggali ilmu tak akan ada habis-habisnya.
Meskipun rumahnya paling jauh tapi kalau datang ia paling pagi. Wajah manisnya
senantiasa bersinar walaupun baju, celana, dan sandal cunghai-nya buruknya minta
ampun. Namun sungguh kuasa Allah, di dalam tempurung kepalanya yang ditumbuhi
rambut gimbal awut-awutan itu tersimpan cairan otak yang encer sekali. Pada setiap
rangkaian kata yang ditulisnya secara acak-acakan tersirat kecemerlangan pemikiran
yang gilang gemilang. Di balik tubuhnya yang tak terawat, kotor, miskin, serta berbau
hangus, dia memiliki an absolutely beautiful mind. Ia adalah buah akal yang jernih, bibit
genius asli, yang lahir di sebuah tempat nun jauh di pinggir laut, dari sebuah keluarga
yang tak satu pun bisa membaca.
Lebih dari itu, seperti dulu kesan pertama yang kutangkap darinya, ia laksana
bunga meriam yang melontarkan tepung sari. Ia lucu, semarak, dan penuh vitalitas. Ia
memperlihatkan bagaimana ilmu bisa menjadi begitu menarik dan ia menebarkan hawa
positif sehingga kami ingin belajar keras dan berusaha menunjukkan yang terbaik.
Jika kami kesulitan, ia mengajari kami dengan sabar dan selalu membesarkan hati
kami. Keunggulannya tidak menimbulkan perasaan terancam bagi sekitarnya,
kecemerlangannya tidak menerbitkan iri dengki, dan kehebatannya tidak sedikit pun
mengisyaratkan sifat-sifat angkuh. Kami bangga dan jatuh hati padanya sebagai seorang
sahabat dan sebagai seorang murid yang cerdas luar biasa. Lintang yang miskin duafa
adalah mutiara, galena, kuarsa, dan topas yang paling berharga bagi kelas kami.
Lintang selalu terobsesi dengan hal-hal baru, setiap informasi adalaha sumbu ilmu
yang dapat meledakkan rasa ingin tahunya kapan saja. Kejadian ini terjadi ketika kami
kelas lima, pada hari ketika ia diselamatkan oleh Bodenga.
“Al-Qur’an kadangkala menyebut nama tempat yang harus diterjemahkan dengan
teliti ….” Demikian penjelasan Bu Mus dalam tarikh Islam, pelajaran wajib perguruan
Muhammadiyah. Jangan harap naik kelas kalau mendapat angka merah untuk ajaran ini.
“Misalnya negeri yang terdekat yang ditaklukkan tentara Persia pada tahun ….”
“620 Masehi! Persia merebut kekaisaran Heraklius yang juga berada dalam
ancaman pemberontakan Mesopotamia, Sisilia, dan Palestina. Ia juga diserbu bangsa
Avar, Slavia, danArmenia….”
Lintang memotong penuh minat, kami ternganga-nganga, Bu Mus tersenyum
senang. Beliau menyampingkan ego. Tak keberatan kuliahnya dipotong. Beliau memang
menciptakan atmosfer kelas seperti ini sejak awal. Memfasilitasi kecerdasan muridnya
adalah yang paling penting bagi beliau. Tidak semua guru memiliki kualitas seperti ini.
Bu Mus menyambung, “Negeri yang terdekat itu ….”
“Byzantium! Nama kuno untuk Konstantinopel, mendapat nama belakangan itu
dari The Great Constantine. Tujuh tahun kemudian negeri itu merebut lagi
kemerdekaannya, kemerdekaan yang diingatkan dalam kitab suci dan diingkari kaum
musyrik Arab, mengapa ia disebut negeri yang terdekat Ibunda Guru? Dan mengapa kitab
“Sabarlah anakku, pertanyaanmu menyangkut pernjelasan tafsir surah Ar-Ruum
dan itu adalah ilmu yang telah berusia paling tidak seribu empat ratus tahun. Tafsir baru
akan ktia diskusikan nanti kalau kelas dua SMP….”
“Tak mau Ibunda, pagi ini ketika berangkat sekolah aku hampir diterkam buaya,
maka aku tak punya waktu menunggu, jelaskan di sini, sekarang juga!”
Kami bersorak dan untuk pertama kalinya kami mengerti makna adnal ardli, yaitu
tempat yang dekat atau negeri yang terdekat dalam arti harfiah dan tempat paling rendah
di bumi dalam konteks tafsir, tak lain dari Byzantium di kekaisaran Roma sebelah timur.
Kami bersorak tentu bukan karena adnal ardli, apalagi Byzantium yang merdeka, tapi
karena kagum dengan sikap Lintang menantang intelektualitasnya sendiri. Kami merasa
beruntung menjadi saksi bagaimana seseorang tumbuh dalam evolusi inteligensi. Dan
ternyata jika hati kita tulus berada di dekat orang berilmu, kita akan disinari pancaran
pencerahan, karena seperti halnya kebodohan, kepintaran pun sesungguhnya demikian
ORANG cerdas memahami konsekuensi setiap jawaban dan menemukan bahwa
di balik sebuah jawaban tersembunyi beberapa pertanyaan baru. Pertanyaan baru tersebut
memiliki pasangan sejumlah jawaban yang kembali akan membawa pertanyaan baru
dalam deretan eksponensial. Sehingga mereka yang benar-benar cerdas kebanyakan
rendah hati, sebab mereka gamang pada akibat dari sebuah jawaban. Konsekuensikonsekuensi
itu mereka temui dalam jalur-jalur seperti labirin, jalur yang jauh menjalarjalar,
jalur yang tak dikenal di lokus-lokus antah berantah, tiada berujung. Mereka
mengarungi jalur pemikiran ini, tersesat di jauh di dalamnya, sendirian.
Godaan-godaan besar bersemayam di dalam kepala orang-orang cerdas. Di
dalamnya gaduh karena penuh dengan skeptisisme. Selesai menyerahkan tugas kepada
dosen, mereka selalu merasa tidak puas, selalu merasa bisa berbuat lebih baik dari apa
yang telah mereka presentasikan. Bahkan ketika mendapat nilai A plus tertinggi, mereka
masih saja mengutuki dirinya sepanjang malam.
Orang cerdas berdiri di dalam gelap, sehingga mereka bisa melihat sesuatu yang
tak bisa dilihat orang lian. Mereka yang tak dipahami oleh lingkungannya, terperangkap
dalam kegelapan itu. Semakin cerdas, semakin terkucil, semakin aneh mereka. Kita
menyebut mereka: orang-orang yang sulit. Orang-orang sulit ini tak berteman, dan
mereka berteriak putus asa memohon pengertyian. Ditambah sedikit saja dengan sikap
introver, maka orang-orang cerdas semacam ini tak jarang berakhir di sebuah kamar
dengan perabot berwarna teduh dan musik klasik yang terdengar lamat-lamat, itulah
ruang terapi kejiwaan. Sebagian dari mereka amat menderita.
Sebaliknya, orang-orang yang tidak cerdas hidupnya lebih bahagia. Jiwanya sehat
walafiat. Isi kepalanya damai, tenteram, sekaligus sepi, karena tak ada apa-apa di situ,
kosong. Jika ada suara memasuki telinga mereka, maka suara itu akan terpantul-pantul
sendirian di dalam sebuah ruangan yang sempit, berdengung-dengung sebentar, lalu
segera keluar kembali melalui mulut mereka.
Jika menyerahkan tugas, mereka puas sekali karena telah berhasil memenuhi
batas akhir, dan ketika mendapat nilai C, mereka tak henti-hentinya bersyukur karena
Mereka hidup di dalam terang. Sebuah senter menyiramkan sinar tepat di atas
kepala mereka dan pemikiran mereka hanya sampai pada batas lingkaran cahaya senter
itu. Di luar itu adalah gelap. Mereka selalu berbicara keras-keras karena takut akan
kegelapan yang mengepung mereka. Bagi sebagian orang, ketidaktahuan adalah berkah
Aku pernah mengenal berbagai jenis orang cerdas.Adaorang genius yang jika
menerangkan sesuatu lebih bodoh dari orang yang paling bodoh. Semakin keras ia
berusaha menjelaskan, semakin bingung kita dibuatnya. Hal ini biasanya dilakukan oleh
mereka yang sangat cerdas. Ada pula yang kurang cerdas, bahkan bodoh sebenarnya, tapi
kalau bicara ia terlihat paling pintar. Ada orang yang memiliki kecerdasan sesaat,
kekuatan menghafal yang fotografis, namun tanpa kemampuan analisis. Ada juga yang
cerdas tapi berpura-pura bodoh, dan elbih banyak lagi yang bodoh tapi berpura-pura
Namun, sahabatku Lintang memiliki hampir semua dimensi kecerdasan. Dia
seperti toko serba ada kepandaian. Yang paling menonjol adalah kecerdasan spasialnya,
sehingga ia sangat unggul dalam geometri multidimensional. Ia dengan cepat dapat
membayangkan wajah sebuah konstruksi suatu fungsi jika digerak-gerakkan dalam
variabel derajat. Ia mampu memecahkan kasus-kasus dekomposisi modern yang runyam
dan mengajari kami teknik menghitung luas poligon dengan cara membongkar sisisisinya
sesuai Dalil Geometri Euclidian. Ingin kukatakan bahwa ini sama sekali bukan
Ia sering membuat permainan dan mendesain visualisasi guna menerjemahkan
rumusan geometris pada tingkat kesulitan yang sangat tinggi. Tujuannya agar gampang
disimulasikan sehingga kami sekelas dapat dengan mudah memahami kerumitan
Teorema Kupu-Kupu atau Teorema Morley yang menyatakan bahwa pertemuan segitiga
yang ditarik dari trisektor segitiga bentuk apa pun akan membentuk segitiga inti yang
sama sisi. Semua itu dilengkapinya dengan bukti-bukti matematis dalam jangkauan
analisis yang melibatkan kemampuan logika yang sangat tinggi. Ini juga sama sekali
bukan urusan mudah, terutama untuk tingkat pendidikan serendah kami serta. Dan
mengingat kopra maka kuanggap apa yang dilakukan Lintang sangat luar biasa.
Lintang juga cerdas secara experientialyang membuyatnya piawai
menghubungkan setiap informasi dengan konteks yang lebih luas. Dalam kaitan ini, ia
memiliki kapasitas metadiscourseselayaknya orang-orang yang memang dilharikan
sebagai seorang genius. Artinya adalah jika dalam pelajaran biologi kami baru
mempelajari fungsi-fungsi otot sebagai subkomponen yang membentuk sistem mekanik
parsial sepotong kaki maka Liontang telah memahami sistem mekanika seluruh tubuh
dan ia mampu menjelaskan peran sepotong kaki itu dalam keseluruhan mekanika
persendian dan otot-otot yang terintegrasi.
Kecerdasannya yang lain adalah kecerdasan linguistik. Ia mudah memahami
bahasa, efektif dalam berkomunikasi, memiliki nalar verbal dan logika kualitatif. Ia juga
mempunyai descriptive power, yakni suatu kemampuan menggambarkan sesuatu dan
mengambil contoh yang tepat. Pengalamanku dengan pelajaran bahasa Inggris di harihari
pertama kelas 2 SMP nanti membuktikan hal itu.
Saat itu aku mendapat kritikan tajam dari ayahku karena nilai bahasa Inggris yang
tak kunjung membaik. Aku pun akhirnya menghadap pemegang kunci pintu ilmu filsafat
untuk mendapat satu dua resep ajaib. Aku keluhkan kesulitanku memahami tense.
“Kalau tak salah jumlahnya sampai enam belas, dan jika ia sudah berada dalam
sebuah narasi aku ekhliangan jejak dalam konteks tenseapa aku berada? Pun ketika ingin
membentuk sebuah kalimat, bingung aku menentukan tense-nya. Bahasa Inggrisku tak
“Begini,” kata Lintang sabar menghadapi ketololanku. Ketika itu ia sedang
memaku sandal cunghai-nya yang menganga seperti buaya lapar. Kupikir ia pasti
mengira bahwa aku mengalami disorientasi waktu dan akan menjelaskan makna tense
secara membosankan. Tapi petuahnya sungguh tak kuduga.
“Memikirkan struktur dan dimensi waktu dalam sebuah bahasa asing yang baru
saja kita kenal tidak lebih dari hanya akan merepotkan diri sendiri. Sadarkah kau bahasa
apa pun di dunia ini, di mana pun, mulai dari bahasa Navajo yang dipakai sebagai sandi
tak terpecahkan di perang dunia kedua, bahsa Gaelic yang amat langka, bahasa Melayu
pesisir yang berayun-ayun, sampai bahasa Mohican yang telah punah, semuanya adalah
kumpulan kalimat, dan kalimat tak lain adalah kumpulan kata=kata, paham kau sampai di
Aku mengangguk, semua oarng tahu itu.
Lalu ia melanjutkan, “Nah, kata apa pun, pada dasarnya adalah kata benda, kata
kerja, kata sifat, dan kata keterangan, paham? Ini bukan masalah bahasa yang sulit tapi
masalah cara berpikir.”
Sekarang mulai menarik.
“Berangkatlah dari sana, pelajari bagaimana menggunakan kata benda, kata kerja,
kata sifat, dan kata keterangan dalam sebuah kalimat Inggris, itu saja, Kal. Tak lebih dari
Belajar kata terlebih dulu, bukan belajar bahasa, itulah inti paradigma belajar
bahsa Inggris versi Lintang. Sebuah ide cemerlang yang hanya terpikirkan oleh orang-orang yang
memahami prinsip-prinsip belajar behasa. Dengan paradigma ini aku
mengalami kemajuan pesat, bukan hanya karena aku dapat mempelajari bahsa Inggris
dengan bantuan analogi bahasaIndonesia, tapi petuahnya mampu melenyapkan sugesti
kesulitan belajar bahasa asing yang umum melanda siswa-siswa daerah. Bahwa bahasa,
baik lokal maupun asing, adalah permainan kata-kata, tak lebih dari itu!
Setelah aku mampu membangun konstruksiku sendiri dalam memahami kalimat-kalimat
Inggris, kemudain Lintang menunjukkan cara meningkatkan kualitas tata
bahasaku dengan mengenalkan teori strktur dan aturan-aturan tense. Pendekatan ini diam-diam
kami sebarkan pada seluruh teman sekelas. Dan ternyata hal ini sukses besar,
sehingga dapat dikatakan Lintanglah yang telah mengakhiri masa kejahiliahan bahasa
Inggris di kelas kami.
Mungkin kami telah belajar bahasa Inggris dengan pendekatan yang keliru, tapi
cara ini efektif. Dan cara ini diajarkan oleh seseorang yang percaya bahwa setiap orang
memiliki jalan yang berbeda untuk memahami bahasa. Aku kagum dengan daya pikir
Lintang, dalam usia semuda itu ia mampu melihat elemen-elemen filosofis sebuah ilmu
lalu jmenerjemahkannya menjadi taktik-taktik praktsi untuk menguasainya. Yang lebih
istimewa, orang yang mengajariku ini bahkan tak mampu membeli buku teks wajib
Lintang memasuki suatu tahap kreatif yang melibatkan intuisi dan pengembangan
pemikiran divergen yang orisinal. Ia menggali rasai ngin tahunya dan tak henti mencoba-coba.
Indikasi kegeniusannya dapat dilihat dari kefasihannya dalam berbahasa numerik,
yaitu ia terampil memproses sebuah pernyataan matematis mulai dari hipotesis sampai
pada kesimpulan. Ia membuat penyangkalan berdasarkan teorema, bukan hanya
berdasarkan pembuktian kesalahan, apalagi simulasi. Dalam usia muda dia telah
memasuki area yang amat teoretis, cara berpikirnya mendobrak, mengambil risiko, tak
biasa, dan menerobos. Setiap hari kami merubungnya untuk menemukan kejutan-kejutan
Baru naik ke kelas satu SMP, ketika kami masih pusing tujuh keliling memetakan
absis dan ordinat pada produk cartesius dalam topik relasi himpunan sebagai dasar fungsi
linear, Lintang telah mengutak-atik materi-materi untuk kelas yangj auh lebih tinggi di
tingkat lanjutan atas bahkan di tingkat awal perguruan tinggi seperti implikasi,
biimplikasi, filosofi Pascal, binomialNewton, limit, diferensial, integral, teori-teori
peluang, dan vektor. Ketika kami baru saja mengenal dasar-dasar binomial ia telah
beranjak ke pengetahuan tentang aturan multinomial dan teknik eksploitasi polinomial, ia
mengobrak-abrik pertidaksamaan eksponensial, mengilustrasikan grafik-grafik sinus, dan
membuat pembuktian sifat matematis menggunakan fungsi-gunsgi trigonometri dan
aturan ruang tiga dimensi.
Suatu waktu kami belajar sistem persamaa nlinier dan tertatih-tatih menguraiuraikan
kasusnya dengan substitusi agar dapat menemukan nilai sebuah variabel, ia bosan
dan menghambur ke depan kelas, memenuhi papan tulis dengan alternatif-alternatif solusi
linier, di antaranya dengan metode eliminasi Gaus-Jordan, metode Crammer, metode
determinan, bahkan dengan nilai Eigen. Setelah itu Lintang mulai menggarap dan tampak
sangat menguasai prinsip-prinsip penyelesaian kasus nonlinier. Ia dengan amat lancar
menejlaskan persamaan multivariabel, mengeksploitasi rumus kuadrat, bahkan
menyelesaikan operasi persamaan menggunakan metode matriks! Padahal dasar-dasar
matriks paling tidak baru dikhotbahkan para guru pada kelas dua SMA. Yang lebih
menakjubkan adalah semua pengetahuan itu ia pelajari sendiri dengan membaca
bermacam-macam buku milik kepala sekolah kami jika ia mendapat giliran tugas
menyapu di ruangan beliau. Ia bersimpuh di balik pintu ayun, semacam pintu koboi,
menekuni angka-angka yang bicara, bahkan dalam buku-buku berbahasa Belanda.
Ia memperlihatkan bakat kalkulus yang amat besar dan keahliannya tidak hanya
sebatas menghitung guna menemukan solusi, tapi ia memahami filosofi operasi-operasi
matematika dalam hubungannya dengan aplikasi seperti yang dipelajari para mahasiswa
tingkat lanjut dalam subjek metodologi riset. Ia membuat hitungan yang iseng namun
cerdas mengenai berapa waktu yang dapat dihemat atau berapa tambahansuratyang
dapat diantar per hari oleh Tuan Pos jika mengubah rute antarnya. Ia membuat perkiraan
ketahanan benang gelas dalam adu layangan untuk berbagai ukuran nilon berdasarkan
perkiraan kekuatan angin, ukuran layangan, dan panjang benang. Rekomendasinya
menyebabkan kami tak pernah terkalahkan.
Prediksinya tak pernah meleset dalam menghitung waktu kuncup, bersemi, dan
mati untuk bunga red hot cat taildengan meneliti kadar pupuk, suplai air, dan sinar
matahari. Ia mengompilasi dengan cermat tabel pengamatan distribusi durasi, frekuensi
dan waktu curah hujan lalu menghitung rata-rata, variansi, dan koefisien korelasi dalam
rangka memperkirakan berapa kali Pak Harfan bolos karena bengek itu menunjukkan
pola yang konsisten terhadap fungsi hujan dan lebih ajaib lagi Lintang mampu membuat
persentase bias dugaannya.
Lintang bereksperimen merumuskan metode jembatan keledainya sendiri untuk
pelajaran-pelajaran hafalan. Biologi misalnya. Ia menciptyakan sebuah konfigurasi
belajar metabolisme dengan merancang kelompok sistem biologis mulai dari sistem alat
tubuh, pernapasan, pencernaan, gerak, sampai sistem saraf dan indra, baik untuk manusia,
vertebrata, maupun avertebrata, sehingga mudah dipahami.
Maka jika kita tanyakan padanya bagaiaman seekor cacing melakukan hajat
kecilnya, siap-siap saja menerima penjelasan yang rapi, kronologis, terperinci, dan
sangat cerdas mengenai cara kerja rambut getar di dalam sel-sel api, lalu dengan santai
saja, seumpama seekor monyet sedang mencari kutu di punggung pacarnya, ia akan
membuat analogi buang hajat cacing itu pada sistem ekskresi protozoa dengan anatomi
vakuola kontraktil yang rumit itu, bahkan jika tidak distop, ia akan dengan senang hati
menjelaskan fungsi-fungsi korteks, simpai bowman, medulla, lapisan malpigi, dan dermis
dalam sistem ekskresi manusia. Karena bagi Lintang, melalui desain jembatan keledainya
tadi, benda-benda hafalan ini dengan mudah dapat ia kuasai, satu malam saja, sekali
Masih dalam pelajaran biologi, terjadi perdebatan sengit di antara kami tentang
teori yang memaksakan pendapat bahwa manusia berasal dari nenek moyang semacam
lutung, kami terperangah oleh argumentasi lintang:
“Persoalannya adalah apakah Anda seorang religius, seorang darwinian, atau
sekadar seorang oportunis? Pilihan sesungguhnya hanya antara religius dan darwinian,
sebab yang tidak memilih adalah oportunis! Yaitu mereka yang berubah-ubah sikapnya
sesuai situasi mana yang akan lebih menguntungkan mereka. Lalu pilihan itu seharusnya
menentukan perilaku dalam menghargai hidup ini. Jika Anda seorang darwinian, silakan
berperilaku seolah tak ada tuntutan akhirat, karena bagi Anda kitab suci yang memaktub
bahwa manusia berasal dari Nabi Adam adalah dusta. Tapi jika Anda seorang religius
maka Anda tahu bahwa teori evolusi itu palsu, dan ketika Anda tak kunjung
mempersiapkan diri untuk dihisab nanti dalam hidup setelah mati, maka dalam hal ini
anda tak lebih dari seorang sekuler oportunis yang akan dibakar di dasar neraka!”
Itulah Lintang dengan pandangannya. Pikirannya memang telah sangat jauh
meninggalkan kami. Dan dengarlah itu, bicaranya lebih pintar dari bicara seluruh menteri
penerangan yang pernah dimiliki republik ini.
“Ayo yang lain, jangan hanya anak Tanjong keriting ini saja yang terus
menjawab,” perintah Bu Mus.
Biasanya setelah itu aku tergoda utnuk menjawab, agak ragu-ragu, canggung, dan
kurang yakin, sehingga sering sekali salah, lalu Lintang membetulkan jawabanku, dengan
semangat konstruktif penuh rasa akrab persahabatan. Lintang adalah seorang cerdas yang
rendah hati dan tak pernah segan membagi ilmu.
Aku belajar keras sepanjang malam, tapi tak pernah sedikit pun, sedetik pun bisa
melampaui Lintang. Nilaiku sedikit lebih baik dari rata-rata kelas namun jauh tertinggal
dari nilainya. Aku berada di bawah bayang-bayangnya sekian lama, sudah terlalu lama
malah. Rangking duaku abadi, tak berubah sejak caturwulan pertama kelas satu SD.
Abadi seperti lukisan ibu menggendong anak di bulan. Rival terberatku, musuh
bebuyutanku adalah temanku sebangku, yang aku sayangi.
Dapat dikatakan bahwa Bu Mus sering kewalahan menghadapi Lintang, terutama
untuk pelajaran matematika, sehingga ia sering diminta membantu. Ketika Lintang
menerangkan sebuah persoalan rumit dan membaut simbol-simbol rahasia matematika
menjadi sinar yang memberi terang bagi kami, Bu Mus memerhatikan dengan seksama
bukan hanya apa yang diucapkan Lintang tapi juga pendekatannya dalam menjelaskan.
Lalu beliau menggeleng-gelengkan kepalanya, komat-kamit, berbicara sendiri tak jelas
seperti orang menggerendeng. Belakangan aku tahu apa yang dikomat-kamitkan beliau.;
Bu Mus mengucapkan pelan-pelan kata-kata penuh kagum,
“Subhanallah….Subhanallah….”
“Yang paling membuatku terpesona,” cerita Bu Mus pada ibuku. “Adalah
kemampuannya menemukan jawaban dengan cara lain, cara yang tak pernah terpikirkan
olehku,” sambungnya sambil membetulkan jilbab.
“Lintang mampu menjawab sebuah pertanyaan matematika melalui paling tidak
tiga cara, padahal aku hanya mengajarkan satu cara. Dan ia menunjukkan padaku
bagaimaan menemukan jawaban tersebut melalui tiga cara lainnya yang tak pernah
sedikit pun aku ajarkan! Logikanya luar biasa, daya pikirnya meluap-luap. Aku sudah tak
bisa lagi mengatasi anak pesisir ini Ibunda Guru.”
Bu Mus tampak bingung sekaligus bangga memiliki murid sepandai itu.
Sebaliknya, ibuku, seperti biasa, sangat tertarik pada hal-hal yang aneh.
“Ceritakan lagi padaku kehebatannya yang lain,” pancing beliau memanasi Bu
Mus sambil memajukan posisi duduknya, mendekatkan keminangan tempat cupu-cupu
gambir dan kapur, lalu meludahkan sirih melalui jendela rumah panggung kami.
Dan tak ada yang lebih membahagiakan seorang guru selain mendapatkan seorang
murid yang pintar. Kecemerlangan Lintang membawa gairah segar di sekolah tua kami
yang mulai kehabisan napas, megap-megap melawan paradigma materialisme sistem
pendidikan zaman baru. Sekarang suasana belajar mengajar di sekolah kami menjadi
berbeda karena kehadiran Lintang, hanya tinggal menunggu kesempatqan saja baginya
untuk mengharumkan nama perguruan Muhammadiyah. Lintang dengan segala daya tarik
kecerdasannya daalah gemerincing tamborin yang nakal, bernada miring, dalam alunan
stambulgayalama. Dialah mantar dalam rima-rima gurindam yang itu-itu saja. Dia ikan
lele yang menggeliat dalam timbunan lumpur berku kemarau sekolah kami yang telah
bosan dihina. Tubuhnya yang kurus menjadi siku-siku yang mengeakkan kembali tiang
utama perguruan Muhammadiyah yang bahkan belum tentu tahun depan mendapatkan
Dewan guru tak henti-hentinya membicarakan nilai rapor Lintang. Angka
sembilan berjejer mulai dari pelajaran aqaid(akidah), Al-Qur’an, fikih, tarikh Islam, budi
pekerti, kemuhammadiyahan, pendidikan kewarganegaraan, ilmu bumi, dan bahasa
Untuk biologi, matematika dan semua variannya: ilmu ukur, aritmatika, aljabar,
dan ilmu pengetahuan alam bahkan Bu Mus berani bertanggung jawab untuk memberi
nilai sempurna: sepuluh. Kehebatan Lintang tak terbendung, kepiawaiannya mulai
kondang ke seantero kampung. Dan yang lebih mendebarkan, karena reputasinya itu,
kami dipertimbangkan untuk diundang mengikuti lomba kecerdasan antarsekolah yang
daat menaikkan gengsi sekolah setinggi rasi bintang Auriga. Sudah demikian lama kami
tak diundang dalam acara bergengsi ini karena prestasi sekolah selalu di bawah rata-rata.
Nilai terendah di rapor Lintang, yaitu delapan, hanya pada mata pelajaran
kesenian. Walaupun sudah berusaha sekuat tenaga dan mengerahkan segenap daya pikir
dia tak mampu mencapai angka sembilan karena tak memapu bersaing dengan seorang
pria muda berpenampilan eksentrik, bertubuh ceking, dan berwajah tampan yang duduk
di pojoksanasebangku denganTrapani. Nilai sembilan untuk pelajaran kesenian selalu
milik pria itu, namanya Mahar.
BAKAT laksana Area 51 di GurunNevada, tempat di mana mayat-mayat alien
disembunyikan: misterius! Jika setiap orang tahu dengan pasti apa bakatnya maka itu
adalah utopia. Sayangnya utopia tak ada dalam dunia nyata. Bakat tidak seperti alergi,
dan ia tidak otomatis timbul seperti jerawat, tapi dalam banyak kejadian ia harus
Banyak orang yang berusaha mati-matian menemukan bakatnya dan banyak pula
yang menunggu seumur hidup agar bakatnya atau dirinya ditemukan, tapi lebih banyak
lagi yang merasa dirinya berbakat padahal tidak. Bakat menghinggapi orang tanpa
diundang. Bakat main bola seperti Van Basten mungkin diam-diam dimiliki sorang
tukang taksir di kantor pegadaian di Tanjong Pandan. Seorang Karl Marx yang lain bisa
saja sekarang sedang duduk menjaga wartel di sebuah kampus diBandung. Seorang
kondektur ternyata adalah John Denver, seorang salesmanternyata berpotensi menjadi
penembak jitu, atau salah seorang tukang nasi bebek diSurabayaternyata berbakat
menjadi komposer besar seperti Zuybin Mehta.
Namun, mereka sendiri tak pernah mengetahui hal itu. Si tukang taksir terlalu
sibuk melayani orang Belitong yang kehabisan uang sehingga tak punya waktu main
bola, sang penjaga wartel sepanjang hari hanya duduk memandangi struk yang menjulur-julur dari
printer Epson yang bunyinya merisaukan seperti lidah wanita dalam film
Perempuan Berambut Api, kondektur dan salesmansetiap hari mengukur jalan, dan
lingkungan si tukang nasi bebek sama sekali jauh dari sesuatu yang berhubungan dengan
musik klasik. Ia hanya tahu bahwa jika mendengarkan orkestra telinganya mampu
melacak nada demi nada yang berdenting dari setiap instrumen dan hatinya bergetar
hebat. Sayangnya sepanjang hidupnya ia tak pernah mendapat kesempatan sekali pun
memegang alat musik, dan tak juga pernah ada seorang pun yang menemukannya. Maka
ketika ia mati, bakat besar gilang gemilang pun ikut terkubur bersamanya. Seperti
mutiara yang tertelan kerang, tak pernah seorang pun melihat kilaunya.
Karena bakat sering kali harus ditemukan, maka ada orang yang berprofesi
sebagai pemandu bakat. Di Amerika orang-orang seperti ini khusus berkeliling dari satu
negara bagian ke negara baigan lain untuk mencari pemain baseballpotensial. Jika—satu
di antara sejuta kemungkinan—orang ini tak pernah menghampiri seseorang yang
sesungguhnya berbakat, maka hanya nasib yang menentukan apakah bakat seseorang
tersebut pernah ditemukan atau tidak, pelajaran moral nomor empat: Ternyata nasib yang
juga sangat misterius itu adalah seorang pemandu bakat! Hal ini paling tidak dibuktikan
oelh Forest Gump, jika ia tidak mendaftar menjadi tentara dan jika ia tidak mengikuti
kegiatan ekstrakurikuler di barak pada suatu sore maka mungkin ia tak pernah tahu kalau
ia sangat berbakat bermain tenis meja. Ritchie Blackmore juga begitu, kalau orang tuanya
membelikan papan catur untuk hadiah ulang tahun mungkin ia tak pernah tahu kalau dia
berbakat menjadi seorang gitaris classic rock.
Dan di siang yang panas menggelegak ini, ketika pelajaran seni suara, di salah
satu sudut kumuh perguran miskin Muhammadiyah, kami menjadi saksi bagaimana nasib
menemukan bakat Mahar. Mulanya Bu Mus meminta A Kiong maju ke depan kelas
untuk menyanyikan sebuah lagu, dan seperti diduga—hal ini sudah delapan belas kali
terjadi—ia akan membawakan lagu yang sama yaitu Berkibarlah Benderaku karya Ibu
“…berkiballah bendelaku….”
“…lambang suci gagah pelwila ….”
“… bergelak-bergelak! Selentak … selentak …!”
A Kiong membawakan lagu itu dengangayamars tanpa rasa sama sekali. Ia
memandang keluar jendela dan pikirannya tertuju pada labu siam yang merambati dahan-dahan
rendah filiciumserta buah-buahnya yang gendut-gendut bergelantungan. Ia bahkan
tidak sedikit pun memandang ke arah kami. Ia mengkhianati penonton.
Telinganya tak mendengarkan suaranya sendiri karena ia agaknya mendengarkan
suara ribut burung-burung kecil prenjak saya pgaris yang berteriak-teriak beradu kencang
dengan suara kumbang-kumbang betina pantat kuning. Ia tak mengindahkan jangkauan
suaranya serta atk ambil pusing dengan notasi. Kali ini ia mengkhianati harmoni.
Kami juga tak memerhatikannya bernyanyi. Lintang sibuk dengan rumus
phytagoras, Harun tertidur pulas sambil mendengkur, Samson menggambar seorang pria
yang sedang mengangkat sebuah rumah dengan satu tangan kiri.Saharaasyik menyulam
kruistik kaligrafi tulisan Arab Kulil Haqqu Walau Kana Murronartinya: Katakan
kebenaran walaupun pahitdanTrapanimelipat-lipat sapu tangan ibunya. Sementara itu
Syahdan, aku dan Kucai sibuk mendiskusikan rencana kami menyembunyikan sandal Pak
Fahimi (guru kelas empat yang galak itu) di Masjid Al-Hikmah. Mahar adalah orang
satu-satunya yang menyimaknya. Sedangkan Bu Mus menutup wajahnya dengan kedua
tangan, beliau berusaha keras menahan kantuk dan tawa mendengar lolongan A Kiong.
Lalu giliran aku. Tak kalah membosankan, lebih membosankan malah. Setelah
dimarahi karena selalu menyanyikan lagu Potong Bebek Angsa, kini aku membuat sedikit
kemajuan dengan lagu baru Indonesia Tetap Merdekakarya C. Simanjuntak yang
diaransemen Damoro IS. Ketika aku mulai menyanyi Sahar mengangkat sebentar
wajahnya dari kruistiknya dan terang-terangan memandangku dengan jijik karena aku
menyanyikan lagu cepat-tegap itu dengan nada yang berlari-lari liar sesuka hati, kesana
kemari tanpa harmonisasi. Aku tak peduli dengan pelecehan itu dan tetap bersemangat.
“…Sorak-sorai bergembira…bergembira semua….”
“…telah bebas negeri kita…Indonesia merdeka ….”
Namun, aku menyanyi melompati beberapa oktaf secara drastis tanpa dapat
kukendalikan sehingga tak ada keselarasan nada dan tempo. Aku telah mengkhianati
Kali ini Bu Mus sudah tak bisal agi menahan tawanya, beliau terpingkal-pingkal
sampai berair matanya. Aku berusaha keras memperbaiki harmonisasi lagu itu tapi
semakin keras aku berusaha semakin aneh kedengarannya. Inilah yang dimaksud dengan
tidak punya bakat. Aku susah payah menyelesaikan lagu itu dan teman-temanku sama
sekali tak mengindahkan penderitaanku karena mereka juga menderita menahan kantuk,
lapar, dan haus di tengah hari yang panas ini, dan batin mereka semakin tertekan karena
Bu Mus menyelamatkan aku dengan buru-buru menyuruhku berhenti bernyanyi
sebelum lagu merdu itu selesai, dan sekarang beliau menunjuk Samson. Kenyataannya
semakin parah, Samson menyanyikan lagu yang berjudul Teguh Kukuh Berlapis Baja
juga karya C. Simanjuntak sesuai dengan citra tubuh raksasanya. Ia menyanyikan lagu itu
dengan sangat nyaring sambil menunduk dalam dan menghentak-hentakkan kakinya
“…Teguh kukuh berlapis baja!”
“…rantai smangat mengikat padu!”
“…tegak bentengIndonesia!”
Tapi ia juga sama sekali tidak tahu konsep harmonisasi sehingga ia menjadikan
lagu itu seperti sebuah lagu lain yang belum pernah kami kenal. Ia mengkhianati C.
Simanjuntak. Maka sebelum bait pertama selesai, Bu Mus segera menyuruhnya kembali
ke tempat duduk. Samson membatu, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya,
“mengapa aku dihentikan, Ibunda Guru …?”
Inilah yang dimaksud dengan tak punya bakat dan tak tahu diri.
Maka seni suara adalah mata pelajaran yang paling tidak prospektif di kelas kami.
Oleh karena itu, ia ditempatkan di bagian akhir paling siang. Fungsinya hanya untuk
menunggu waktu Zuhur, yaitu saatnya kami pulang, atua untuk sekadar hiburan bagi Bu
Mus karena dengan menyuruh kami bernyanyi beliau bisa menertawakan kami. Pada
umumnya kami memang tak bisa menyanyi. Bahkan Lintang hanya bisa menampilkan
dua buah lagu, yaitu Padamu Negeridan Topi Saya Bundar. Lagu tentang topi ini adlaah
lagu superringkas dengan bait yang dibalik-balik. Lintang menyanyikannya dengan
tergesa-gesa sehingga seperti rapalan agar tugas itu cepat selesai.
Adapun Trapani, sejak kelas satu SD tak pernah menyanyikan lagu lain selain
lagu Kasih Ibu Sepanjang Jalan. Sahar menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapadengan
gaya seperti seriosa yang menurut dia sangat bagus padahal sumbangnya minta ampun.
Sedangkan Kucai—juga dari kelas satu SD—hanya menampilkan dua buah lagu yang
sama, kalau tidak lagu Rukun Islamia akan menyanyikan lagu Rukun Iman.
“Masih ada lima menit sebelum azan zuhur. Ah, masih bisa satu lagu lagi,” kata
Bu Mus sambil tersenyum simpul. Kami memandang beliau dengan benci.
“Ibunda, kenapa tak pulang saja!”
Kami sudah mengantuk, lelah, lapar, dan haus. Siang ini panas sekali. Burungburung
prenjak sayap garis semakin banyak dan tak mau kalah dengan kumbangkumbang
betina pantat kuning. Kadang-kadang mereka hinggap di jendela kelas sambil
menjerit sejadi-jadinya, menimbulkan suara bising yang memusingkan bagi perut-perut
“Nah, sekarang giliran ….” Bu Mus memandangi kami satu per satu untuk
menjatuhkan pilihan secara acak … dan kali ini pandangannya berhenti pada Mahar.
“Ya, Mahar, silakan ke depan anakku, nyanyikan sebuah lagu sambil kita
menunggu azan zuhur.”
Bu Mus terus tersenyum mengantisipasi kekonyolan apa lagi yang akan
ditampilkan muridnya. Sebelumnya kami tak pernah mendengar Mahar bernyanyi, karena
setiap kali tiba gilirannya, azan zuhur telanjur berkumandang sehingga ia tak pernah
mendapat kesempatan tampil.
Kami tidak peduli ketika Mahar beranjak. Ia menyandang tasnya, sebuah karung
kecampang, karena ia juga sudah bersiap-siap akan pulang. Kami sibuk sendiri-sendiri.
Sahara sama sekali tak memalingkan wajah dari kruistiknya, Lintang terus menghitung,
Samson masih menggambar, dan yang lain asyik berdiskusi. Mahar melangkah ke depan
dengan tenang, anggun, tak tergesa-gesa.
Di depan kelas ia tak langsung menyanyikan lagu pilihannya, tapi menatap kami
satu per satu. Kami terheran-heran melihat tingkahnya yang ganjil, namun tatapannya
penuh arti, seperti sebuah tatapan kerinduan dari seorang penyanyi pop gaek yang
melakukan konser khusus untuk para ibu-ibu single parent, dan kaum ibu ini adalah para
penggemar setia yang sudah amat lama tak bersua dengan sang artis nostalgia.
Setelah memandangi kami cukup lama, ia memalingkan wajahnya ke arah Bu Mus
sambil tersenyum kecil dan menunduk, layaknya peserta lomba bintang radio yang
memberi hormat kepada dewan juri. Mahar merapatkan kedua tangannya di dadanya
seperti seniman India, seperti orang memohon doa. Tampak jelas jari-jari kurusnya yang
berminyak seperti lilin dan ujung-ujung kukunya yang bertaburan bekas-bekas luka kecil
sehingga seluruh kukunya hampir cacat. Sejak kelas dua SD Mahar bekerja sampingan
sebagai pesuruh tukang parut kelapa di sebuah toko sayur milik seorang Tionghoa
miskin. Tangannya berminyak karena berjam-jam meremas ampas kelapa sehingga
tampak licin, sedangkan jemari dan kukunya cacat karena disayat gigi-gigi mesin parut
yang tajam dan berputar kencang. Mesin itu mengepulkan asap hitam dan harus
dihidupkan dengan tenaga orang dewasa dengan cara menarik sebuah tuas berulangulang.
Bunyi mesin itu juga merisaukan, suatu bunyi kemelaratan, kerja keras, dan hidup
tanpa pilihan. la membantu menghidupi keluarga dengan menjadi pesuruh tukang parut
karena ayahnya telah lama sakit-sakitan.
Bu Mus membalas hormat takzimnya yang santun dengan tersenyum ganjil. “Anak
muda ini pasti tak pandai melantun tapi jelas ia menghargai seni,\" mungkin demikian
yang ada dalam hati Bu Mus. Tapi tetap saja beliau menahan tawa. Lalu Mahar
mengucapkan semacam prolog.
“Aku akan membawakan sebuah lagu tentang cinta Ibunda Guru, cinta yang
teraniaya lebih tepatnya ....\"
Tuhanku! Kami terperangah dan Bu Mus terkejut. Prolog semacam ini tak pernah
kami lakukan, dan tema lagu pilihan Mahar sangat tak biasa. Lagu kami hanya tiga macam
yaitu: lagu nasional, lagu kasidah, dan lagu anak-anak. Lagu apakah gerangan yang
akan dibawakan anak muda berwajah manis ini? Kini kami semua memandanginya dengan heran,
Sahara melepaskan kruistiknya. Belum sempat kami mencerna ia
menyambung kalem dengangayaseperti seorang bijak berpetuah.
\"Lagu ini bercerita tentang seseorang yang patah hati karena kekasih yang sangat ia
cintai direbut oleh teman baiknya sendiri ....\"
Mahar tercenung syahdu, tatapan matanya kosong jauh melintasi jendela, jauh
melintasi awan-awan berarakan, hidup memang kejam ....
Bu Mus termenung ragu-ragu. Beliau menatap Mahar sambil tersenyum penuh
tanda tanya. Hati kami juga penasaran. Lalu Bu Mus mengambil sebuah keputusan
\"Jalan ke ladang berliku-liku, jangan lewat hutan cemara, segera nyanyikan
lagumu, biar kutahu engkau merana ....\"
Mahar tersenyum dalam duka.
\"Terima kasih Ibunda Guru.\"
Mahar bersiap-siap, kami menunggu penuh keingintahuan, dan kami semakin
takjub ketika ia membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah alat musik: ukulele!
Suasana jadi hening dan kemudian perlahan-lahan Mahar memulai intro lagunya
dengan memainkan melodi ukulele yang mendayu-dayu, ukulele itu dipeluknya dengan
sendu, matanya terpejam, dan wajahnya syahdu penuh kesedihan yang mengharu biru,
pias menahankan rasa. Jiwanya seolah terbang tak berada di tempat itu. Lalu dengan
interludeyang halus meluncurlah syair-syair lagu menakjubkan dalam tempo pelan
penuh nuansa duka yang dinyanyikan dengan keindahan andante maestosoyang tak
terlukiskan kata-kata
\"...I was dancing with my darling to the Tennesse waltz...\"
\"... when an old friend I happened to see...\"
\"... intoduced her to my love one and while they were dancing...
\"... my friend stole my sweetheart from me...\"
Seketika kami tersentak dalam pesona, itulah lagu Tennesse Waltzyang sangat
terkenal karya Anne Muray, dan lagu itu dibawakan Mahar dengan teknik menyanyi
seindah Patti Page yang melambungkan lagu lama itu. Ritme ukulele mengiringi vibrasi
sempurna suaranya disertai sebuah penghayatan yang luar biasa sehingga ia tampak
demikian menderita karena kehilangan seorang kekasih.
Syair demi syair lagu itu merambati dinding-dinding papan tua kelas kami,
hinggap di daun-daun kecil linariaseperti kupu-kupu cantik thistle crescent, lalu
terbang hanyut dibawa awan-awan tipis menuju ke utara. Suara Mahar terdengar pilu
merasuki relung hati setiap orang yang ada di ruangan. Intonasinya lembut membelaibelai
kalbu dan Mahar memaku hati kami dalam rasa pukau menyaksikannya menyanyi
sambil menitikkan air mata. Apa pun yang sedang kami kerjakan terhenti karena kami
telah terkesima. Kami tersihir oleh aura seni yang terpancar dari sosok anak muda
tampan yang menyanyi dari jiwanya, bukan hanya dari mulutnya, sehingga lagu itu
menjadi sebuah simfoni yang agung. Kami terbawa suasana melankolis karena Mahar
benar-benar mengembuskan napas lagu itu. Rasa kantuk, lapar, dan dahaga menjadi tak
terasa. Bahkan kumbang-kumbarrg dan kawanan burung prenjak sayap garis menjadi
senyap, berhenti menjerit-jerit demi mendengar lantunannya. Suhu udara yang panas
perlahan-lahan menjadi sejuk menghanyutkan.
Ketika Mahar bernyanyi seluruh alam diam menyimak. Kami merasakan sesuatu
tergerak di dalam hati bukan karena Mahar bernyanyi dengan tempo yang tepat, teknik
vokal yang baik, nada yang pas, interpretasi yang benar, atau chordukulele yang
sesuai, tapi karena ketika ia menyanyikan Tennesse Waltzkami ikut merasakan
kepedihan yang mendalam seperti kami sendiri telah kehilangan kekasih yang paling
dicintai. Kemampuan menggerakkan inilah barangkali yang dimaksud dengan bakat.
Siang itu, ketika sedang menunggu azan zuhur, ternyata seorang seniman besar telah
lahir di sekolah gudang kopra perguruan Muhammadiyah. Mahar mengakhiri lagunya
secara fade outdisertai linangan air mata.
“... I lost my litle darling the night they were playing the beautiful Tennesse
Dan kami serentak berdiri memberi standing applauseyang sangat panjang
untuknya,limamenit! Bu Mus berusaha keras menyembunyikan air mata yang
menggenang berkilauan di pelupuk mata sabarnya.
Tak dinyana, beberapa menit yang lalu, ketika Bu Mus menunjuk Mahar secara
acak untuk menyanyi, saat itulah nasib menyapanya. Itulah momen nasib yang sedang
bertindak selaku pemandu bakat. Siang ini, komidi putar Mahar mulai menggelinding
dalam velositas yang bereskalasi.
JAM TANGAN PLASTIK MURAHAN
SETELAH tampil dengan lagu memukau Tennesse Waltzkami menemukan Mahar
sebagai lawan virtual rasionalitas Lintang. Ia adalah penyeimbang perahu kelas kami
yang cenderung oleng ke kiri karena tarikan otak kiri Lintang. Sebaliknya, otak sebelah
kanan Mahar meluap-luap melimpah ruah. Mereka berdua membangun tonggak artistik
daya tarik kelas kami sehingga tak pernah membosankan.
Jika Lintang memiliki level intelektualitas yang demikian tinggi maka Mahar
memperlihatkan bakat seni selevel dengan tingginya inteligensia Lintang. Mahar
memiliki harnpir setiap aspek kecerdasan seni yang tersimpan seperti persediaan
amunisi kreativitas dalam lokus-lokus di kepalanya. Kapasitas estetika yang tinggi
melahirkannya sebagai seniman serba bisa, ia seorang pelantun gurindam, sutradara
teater, penulis yang berbakat, pelukis natural, koreografer, penyanyi, pendongeng yang
ulung, dan pemain sitar yang fenomenal.
Lintang dan Mahar seperti Faraday kecil dan Warhol mungil dalam satu kelas, atau
laksana Thomas Alva Edison muda dan Rabindranath Tagore junior yang berkumpul.
Keduanya penuh inovasi dan kejutan-kejutan kreativitas dalam bidangnya masing-masing.
Tanpa mereka, kelas kami tak lebih dari sekumpulan kuli tambang melarat yang
mencoba belajar tulis rangkai indah di atas kertas bergaris tiga.
Dan di antara mereka berdua kami terjebak di tengah-tengah seperti orang-orang
dungu yang ditantangColumbusmendirikan telur. Karena Lintang dan Mahar duduk
berseberangan maka kami sering menoleh ke kiri dan ke kanan dengan cepat, persis
penonton pertandingan pingpong, terkagum-kagum pada kegeniusan mereka.
Jika tak ada guru, Lintang tampil ke depan, menggambar rangkaian teknik
bagaimana membuat perahu dari pelepah sagu. Perahu ini digerakkan baling-baling yang
disambungkan dengan motor yang diambil dari tape recorderdan ditenagai dua buah
batu baterai. Ia membuat perhitungan matematis yang canggih untuk memanipulasi gerak
mekanik motor tapedan menjelaskan kepada kami hukum-hukum pokok hidrolik.
Perhitungan matematikanya itu dapat memperkirakan dengan sangat akurat laju
kecepatan perahu berdasarkan massanya. Aku terpesona melihat perahu kecil itu
berputar-putar sendiri di dalam baskom.
Setelah itu Mahar maju, menundukkan kepala dengan takzim di depan kami seperti
seniman istana yang ingin bersenandung atas perkenan tuan raja, lalu dengan manis ia
membawakan lagu Leaving on a Jet Planedengan gitarnya dengan ketukan-ketukan
bernuansa hadrah. Di tangan orang yang tepat musik ternyata bisa menjadi demikian
indah. Mahar juga membaca beberapa bait puisi parodi tentang orang-orang Melayu yang
mendadak kaya atau tentang burung-burung putih di Pantai Tanjong Kelayang. Mahar
dengan aksesori-aksesori etniknya ibarat orang yang dititipi Engelbert Humperdink suara
emas dan diwarisi Salvador Dali sikap-sikap nyentrik. Persahabatannya dengan para
seniman lokal dan seorang penyiar radio AM yang memiliki beragam koleksi musik
memperkaya wawasan seni dan perbendaharaan lagu Mahar.
Pada kesempatan lain Lintang mempresentasikan percobaan memunculkan arus
listrik dengan mengerak-gerakkan magnet secara mekanik dan menjelaskan prinsip-prinsip kerja
dinamo. Mahar memperagakan cara membuat sketsa-sketsa kartun dan cara
menyusun alur cerita bergambar. Lintang menjelaskan aplikasi geometri dan aerodinamika dalam
mendesain layangan, Mahar menceritakan kisah yang memukau tentang bangsa-bangsa yang punah.
Pernah juga Lintang menyusun potongan-potongan kaca yang dibentuk cekung seperti parabola dan
menghadapkannya ke arah matahari agar
mendapatkan suhu yang sangat tinggi, rancangan energi matahari katanya. Sebaliknya
Mahar tak mau kalah, ia menggotong sebuah meja putar dan mendemonstrasikan seni
membuat gerabah yang indah, teknik-teknik melukis gerabah itu dan mewarnainya.
Lintang memperagakan cara kerja sekstan dan menjelaskan beberapa perhitungan
matematika geometris dengan alat itu, Mahar membaca puisi yang ditulisnya sendiri
dengan judul Doadan dibawakan secara memukau dengangayatilawatil Qur'an, belum
pernah aku melihat orang membaca puisi seperti itu.
Kadang kala mereka berkolaborasi, misalnya Mahar menginginkan sebuah gitar
elektrik yang gampang dibawa seperti tas biasa, sehingga tak merepotkan jika naik
sepeda, maka Lintang datang dengan sebuah desain produk yang belum pernah ada dalam
industri instrumen musik, yaitu desain stang gitar yang dipotong lalu dipasangi semacam
engsel sehingga terciptalah gitar yang bisa dilipat. Sungguh istimewa. Sudah banyak aku
melihat keanehan di dunia pentas—misalnya pemain biola yang ketiduran ketika sedang
manggung, panggung yang roboh, musisi yang menghancurkan alat-alat musik, pemain
gitar yang kesetrum, seorang pria midlandyang makan kelelawar, atau orang-orang
kampung yang meniru-niru Mick Jagger—tapi gitar dilipat sehingga menjadi seperti
papan catur, baru kali ini aku saksikan. Dan jika Mahar dan Lintang beraksi, kami
berkumpul di tengah-tengah kelas, bertumpuk-tumpuk kegirangan, terbuai keindahan,
dan menggumamkan subhanallah berulang-ulang, atas dua macam kepintaran mengasyikkan yang
dianugerahkan Ilahi kepada mereka.
Mahar sangat imajinatif dan tak logis—seseorang dengan bakat seni yang sangat
besar. Sesuatu yang berasal dari Mahar selalu menerbitkan inspirasi, aneh, lucu, janggal,
ganjil, dan menggoda keyakinan. Namun, mungkin karena otak sebelah kanannya benar-benar aktif
maka ia menjadi pengkhayal luar biasa. Di sisi lain ia adalah magnet, simply
Ia penggemar berat dongeng-dongeng yang tidak masuk akal dan segala sesuatu
yang berbau paranormal. Tanyalah padanya hikayat lama dan mitologi setempat, ia hafal
luar kepala, mulai dari dongeng naga-naga raksasa Laut Cina Selatan sampai cerita raja
berekor yang diyakininya pernah menjajah Belitong.
Ia sangat percaya bahwa alienitu benar-benar ada dan suatu ketika nanti akan turun
ke Belitong menyamar sebagai mantri suntik di klinik PN Timah, penjaga sekolah,
muazin di Masjid Al-Hikmah, atau wasit sepak bola. Dalam keadaan tertentu ia sangat
konyol misalnya ia menganggap dirinya ketua persatuan paranormal internasional yang
akan memimpin perjuangan umat manusia mengusir serbuan alien dengan kibasan daun-daun
Aku ingat kejadian ini, suatu ketika untuk nilai rapor akhir kelas enam, Bu Mus
yang berpendirian progresif dan terbuka terhadap ide-ide baru, membebaskan kami berekspresi.
Kami diminta menyetor sebuah master piece, karya yang berhak mendapat
tempat terhormat, dipajang di ruang kepala sekolah. Maka esoknya kami membawa celengan bebek
dari tanah liat dan asbak dari cetakan lilin. Sebagian lainnya membawa
replika rumah panggung Melayu dari bahan perdu apit-apit dan simpai dari jalinan rotan
untuk mengikat sapu lidi.Trapanimenyetorkan peta Pulau Belitong yang dibuat dari
serbuk kayu. Syahdan membuat karya yang persis sama tapi bahannya bubur koran, jelek
sekali dan busuk baunya.
Harun menyetorkan tiga buah botol bekas kecap, itu saja, botol kecap! Tak lebih
tak kurang. Aku sendiri hanya mampu membuat tirai dari biji-biji buah berang yang
dikombinasikan dengan tali rapiah yang digulung kecil-kecil. Setiap tiga buah biji berang
berarti satu ketupat kecil tali rapiah berwarna-warni. Sebuah karya norak yang sangat
Tapi masih mending. A Kiong membuat lampion tanpa perhitungan akal sehat.
Ketika dinyalakan lampion itu terbakar berkobar-kobar sehingga dengan terpaksa, demi
keamanan, Samson melemparkan benda itu keluar jendela. Padahal A Kiong tak tidur
barang sepicing pun membuatnya. Karena karya kami sangat tidak memuaskan, kami
semua mendapat nilai tak lebih dari angka 6,5. Sungguh tak sebanding dengan jerih
payah yang dikeluarkan.
Amat berbeda dengan Mahar. Ia datang membawa sebuah bingkai besar yang
ditutupi selembar kain hitam. Kami sangka ia membuat sebuah lukisan. Tapi setelah kain
itu pelan-pelan dilucuti, sangat mengejutkan! Di baliknya muncul semacam cetakan
tenggelam di atas batu apung. Cetakan kerangka seekor makhluk purbakala yang sangat
janggal dan mengesankan sangat buas.
Makhluk ini bukan acanthopholis, sauropodomorphas, kera anthropoid, dinosaurus
atau saurus-saurus semacamnya, dan bukan pula makhluk-makhluk prasejarah seperti
yang telah kita kenal. Sebaliknya, Mahar membuat sebuah cetakan fosil kelelawar
raksasa semacam Palaeochiropterxy tupaiodontapi dengan bentuk yang dimodifikasi
sehingga tampak ganjil dan mengerikan. Anatomi makhluk itu tentu tak pernah
teridentifikasi oleh para ahli karena ia hanya ada di kepala Mahar, di dalam imajinasi
Fosil di atas batu apung tipis itu dibuat begitu orisinal sehingga mengesankan
seperti temuan paleontologi yang autentik. Ia menggunakan semacam lapisan karbon
untuk memperkuat kesan purba pada setiap detail fosil itu. Lalu karyanya dibingkai
dengan potongan-potongan balak lapuk yang sudut-sudutnya diikat tali pohon jawi agar
kesan purbanya benar-benar terasa.
\"Inilah seni, Bung!\" khotbahnya di hadapan kami yang terkesima. Gayanya seperti
pesulap sehabis membuka genggaman tangan untuk memperlihatkan burung merpati.
Dan ia mendapat angka sembilan, tak ada lawannya. Angka itu adalah nilai
kesenian tertinggi yang pernah dianugerahkan Bu Mus sepanjang karier mengajarnya.
Bahkan Lintang sekalipun tak berkutik.
Imajinasi Mahar meloncat-loncat liar amat mengesankan. Sesungguhnya, seperti
Lintang, ia juga sangat cerdas, dan aku belum pernah menjumpai seseorang dengan
kecerdasan dalam genre seperti ini. Ia tak pernah kehabisan ide. Kreativitasnya tak
terduga, unik, tak biasa, memberontak, segar, dan menerobos. Misalnya, ia melatih kera
peliharaannya sedemikian rupa sehingga mampu berperilaku layaknya seorang instruktur.
Maka dalam sebuah penampilan, keranya itu memerintahkannya untuk melakukan
sesuatu yang dalam pertunjukan biasa hal itu seharusnya dilakukan sang kera. Sang kera
dengangayaseorang instruktur menyuruh Mahar bernyanyi, menari-nari, dan berakrobat.
Mahar telah menjungkirbalikkan paradigma seni sirkus, yang menurutku merupakan
sebuah terobosan yang sangat genius.
Pada kesempatan lain Mahar bergabung dengan grup rebana Masjid Al-Hikmah
dan mengolaborasikan permainan sitar di dalamnya. Jika grup ini mendapat tawaran
mengisi acara di sebuah hajatan perkawinan, para undangan lebih senang menonton
mereka daripada menyalami kedua mempelai.
Mahar pula yang membentuk sekaligus menyutradarai grup teater kecil SD
Muhammadiyah. Penampilan favorit kami adalah cerita perang Uhud dalam episode Siti
Hindun. Dikisahkan bahwa wanita pemarah ini mengupah seorang budak untuk
membunuh Hamzah sebagai balas dendam atas kematian suaminya. Setelah Hamzah mati
wanita itu membelah dadanya dan memakan hati panglima besar itu. A Kiong
memerankan Hamzah, danSaharasangat menikmati perannya sebagai Siti Hindun. Juga
karena inisiatif Mahar, akhirnya kami membentuk sebuah grup band. Alat-alat musik
kami adalah electoneyang dimainkanSahara, standing bassyang dibetot tanpa ampun
oleh Samson, sebuah drum, tiga buah tabla, serta dua buah rebana yang dipinjam dari
badan amil Masjid Al-Hikmah.
Pemain rebana adalah aku dan A Kiong. Mahar menambahkan kendang dan
seruling yang dimainkan secara sekaligus olehTrapanimelalui bantuan sebuah kawat
agar seruling tersebut dapat dijangkau mulutnya tanpa meninggalkan kendang itu. Maka
pada aransemen tertentuTrapanileluasa menggunakan tangan kanannya untuk menabuh
kendang sementara jemari tangan kirinya menutup-nutup enam lubang seruling. Sebuah
pemandangan spektakuler seperti sirkus musik. Setiap wanita muda dipastikan bertekuk
lutut, terbius seperti orang mabuk sehabis kebanyakan makan jengkol jika melihat
Trapaniyang tampan berimprovisasi.Trapaniadalah salah satu daya tarik terbesar band
kami. Hanya ada sedikit masalah, yaitu ia mogok tampil jika ibunya tidak ikut menonton.
Insiden sempat terjadi pada awal pembentukan bandini karena Harun bersikeras
menjadi drumer padahal ia sama sekali buta nada dan tak paham konsep tempo.
. \"Dengarkan musiknya, Bang, ikuti iramanya,\" kata Mahar sabar.
\"Drum itu tak bisa kauperlakukan semena-mena.\"
Setelah dimarahi seperti itu biasanya Harun tersenyum kecil dan memperhalus
tabuhannya. Tapi itu tak berlangsung lama. Beberapa saat kemudian, meskipun kami
sedang membawakan irama bertempo pelan nan syahdu, misalnya lagu Semenanjung Tak
Seindah Wajahyang syairnya bercerita tentang seorang pria Melayu duafa meratapratap
karena ditipu kekasihnya, Harun kembali menghantam drum itu sekuat tenaganya seperti
memainkan lagu rockDeep Purple yang berjudul Burn. Dan ia sendiri tak pernah tahu
kapan harus berhenti. la hanya tertawa riang dan menghantam drum itu sejadi-jadinya.
Mahar tetap sabar menghadapi Harun dan berusaha menuntunnya pelan-pelan,
namun akhirnya kesabaran Mahar habis ketika kami membawakan lagu Light My Fire
milik The Doors. Di sepanjang lagu yang inspiratif itu Harun menghajar hithat, tenor
drum, simbal, serta menginjak-injak pedal bass drumsejadi-jadinya. Dengan stik drum ia
menghajar apa saja dalam jangkauannya, persis drumer Tarantula melakukan end fill
untuk menutup lagu rockdangdut Wakuncar.
\"Dengar kata adikmu ini, Abangda Harun, kalau Abang bermain drum seperti itu
bisa-bisa Jim Morrison melompat dari liang kuburnya!\"
Diperlukan waktu berhari-hari dan permen asam jawa hampir setengah kilo untuk
membujuk Harun agar mau melepaskan jabatan sebagai drumer dan menerima promosi
jabatan baru sebagai tukang pikul drum itu ke mana pun kami tampil.
Mahar adalah penata musik setiap lagu yang kami bawakan dan racun pada setiap
aransemennya menyengat ketika ia memainkan melodi dengan sitarnya. Ia
berimprovisasi, berdiri di tengah pertunjukan, dan dengan wajah demikian syahdu ia
mengekspresikan setiap denting senar sitar yang bercerita tentang daun-daun pohon
bintang yang melayang jatuh di permukaan Sungai Lenggang yang tenang lalu hanyut
sampai jauh ke muara, tentang angin selatan yang meniup punggung Gunung Selumar,
berbelok dalam kesenyapan Hutan Jangkang, lalu menyelinap diam-diam ke
perkampungan. Ah, indahnya, pria muda ini memiliki konsep yang jelas bagaimana
seharusnya sebuah sitar berbunyi.
Mahar adalah arrangerberbakat dengan musikalitas yang nakal. Ia piawai memilih
lagu dan mengadaptasikan karakter lagu tersebut ke dalam instrumen-instrumen kami
yang sederhana. Misalnya pada lagu Owner of a Lonely Heartkarya group rock Yess.
Mahar mengawali komposisinya dengan intro permainan solo tablayang menghentak
bertalu-talu dalam tempo tinggi. Ia mengajari Syahdan menyelipkan-nyelipkan wana
tabuhan Afrika danpadangpasir pada fondasi tabuhangayasuku Sawang. Sangat eksotis.
Gebrakan solo Syahdan seumpama garam bagi mereka yang darah tinggi:
berbahaya, beracun, dan memicu adrenalin. Syahdan mengudara sendirian dengan
letupan-letupan yang menggairahkan sampai beberapa bar. Lalu Syahdan menurunkan
sedikit tempo bahana tabla-nya dan pada momen itu, kami—para pemain rebana dan dua
pemain tablalainnya-pelan-pelan masuk secara elegan mendampingi suara tabla
Syahdan yang surut, namun tak lama kemudian kembali bereskalasi menjadi tempo yang
semakin cepat, semakin garang, semakin ganas memuncak. Kami menghantam tabuh-tabuhan ini
sekuat tenaga dengan tempo secepat-cepatnya beserta semangat Spartan,
para penonton menahan napas karena berada dalam tekanan puncak ekstase, lalu tepat
pada puncak kehebohan, suara alat-alat perkusi ini secara mendadak kami hentikan, tiga
detik yang diam, lengang, sunyi, dan senyap. Ketika penonton mulai melepaskan
kembali napas panjangnya dengan penuh kenyamanan perlahan-lahan hadirlah
dentingan sitar Mahar menyambut perasaan damai itu. Mahar melantunkan dawai sitar
sendirian dalam nada-nada minor nan syahdu bergelombang seperti buluh perindu.
Pilihan nada ini demikian indah hingga terdengar laksana aliran sungai-sungai di bawah
taman surga. Dada terasa lapang seperti memandang laut lepas landai tak bertepi di
sebuah sore yang jingga.
Pada bagian ini biasanya penonton menghambur ke bibir panggung. Lalu Mahar
meningkahi sitar dengan intonasi naik turun dalam jangkauan hampir empat oktaf.
DengangayaIndiaklasik, Mahar berimprovisasi. Ia memainkan sitar dengan sepenuh
jiwa seolah esok ia telah punya janji pasti dengan malaikat maut. Matanya terpejam
mengikuti alur skala minor yang menyentuh langsung bagian terindah dari alam bawah
sadar manusia yang mampu menikmati sari pati manisnya musik. Jemarinya yang kurus
panjang mengaduk-aduk senar sitar dengan teknik yang memukau. Ia menyerahkan
segenap jiwa raganya, terbang dalam daya bius melodi musik.
Suara sitar itu menyayat-nyayat, berderai-derai seperti hati yang sepi, meraungraung
seperti jiwa yang tersesat karena khianat cinta, merintih seperti arwah yang tak
diterima bumi. Rendah, tinggi, pelan, kencang, berbisik laksana awan, marah laksana
topan, memekakkan laksana ledakan gunung berapi, lalu diam tenang laksana danau di
tengah rimba raya. Semakin lama semakin keras dan semakin cepat, kembali
memuncak, semakin lama semakin tinggi dan pada titik nadirnyaTrapaniserta-merta
menyambut dengan sorak melengking melalui tiupan seruling, panjang, satu not,
menjerit-jerit nyaring pada tingkat nada tertinggi yang dapat dicapai seruling bambu
Mereka berdua bertanding, berlomba-lomba meninggikan nada dan mengeraskan
suara instrumen masing-masing. Mereka seperti seteru lama yang menanggungkan
dendam membara, seruling clan sitar saling menggertak, menghardik, dan membentak
galak ... namun dengan harmoni yang terpelihara rapi. Tiba-tiba, amat mengejutkan,
sama sekali tak terduga, secara mendadak mereka break!Tiga detik diam. Setelah itu
serta-merta datang menyerbu, menyalak galak, menghambur masuk bertalu-talu seluruh
suara alat musik: drum, standing bass, seluruh tabla, sitar, seruling, seluruh rebana,
dan electonesekeras-kerasnya. Tepat pada puncak bahana seluruh alat musik secara
mendadak kami breaklagi, satu detik diam, napas penonton tertahan, lalu pada detik
kedua Mahar meloncat seperti tupai, merebut mikrofon dan langsung menjerit-jerit
menyanyikan lagu Owner of a Lonely Heartdalam nada tinggi yang terkendali.Para
penonton histeris dalam sensasi, kemudian tubuh mereka terpatah-patah mengikuti
hentakan-hentakan staccatoyang dinamis sepanjang lagu itu.
Inilah musik, kawan. Musik yang dibawakan dengan sepenuh kalbu. Mahar
menekankan konsep akustik dalam komposisi ini, misalnya dengan mengambilgaya
piano grandpada electonedengan tambahan sedikit efek sustain. Keseluruhan komposisi
dan konsep ini ternyata menghasilkan interpretasi yang unik terhadap lagu Owner of a
Lonely Heart. Kami yakin sedikit banyak kami telah berhasil menangkap semangat lagu
itu, termasuk esensi pesannya, yaitu hati yang sepi lebih baik dari hati yang patah, seperti
dimaksudkan orang-orang hebat dalam grup Yess.
Maka tak ayal lagu rockmodern tersebut adalah master piecepenampilan kami
selain sebuah lagu Melayu berjudul Patah Kemudikarya Ibu Hajah Dahlia Kasim.
Mahar juga adalah seorang seniman idealis. Pernah sebuah parpol ingin
memanfaatkan grup kami yang mulai kondang untuk menarikmassamelalui iming-iming
uang dan berbagai mainan anak-anak, Mahar menolak mentah-mentah.
\"Orang-orang itu sudah terkenal dengan tabiatnya menghamburkan janji yang
tak'kan ditepatinya,\" demikian Mahar berorasi di tengah-tengah kami yang duduk melingkar di
bawah filicium. Jarinya menunjuk-nunjuk langit seperti seorang koordinator
\"Kita tidak akan pernah menjadi bagian dari segerombolan penipu! Sekolah kita
adalah sekolah Islam bermartabat, kita tidak akan menjual kehormatan kita demi sebuah
jam tangan plastik murahan!\"
Mahar demikian berapi-api dan kami bersorak-sorai mendukung pendiriannya. Dan
mungkin karena kecewa kepada para pemimpin bangsa maka Mahar memberi sebuah
nama yang sangat memberi inspirasi untuk band kami, yaitu: Republik Dangdut.
Mahar adalah Jules Verne kami. la penuh ide gila yang tak terpikirkan orang lain,
walaupun tak jarang idenya itu absurd dan lucu. Salah satu contohnya adalah ketika ketua
RT punya masalah dengan televisinya. TV hitam putih satu-satunya hanya ada di rumah
beliau dan tidak bisa dikeluarkan dari kamarnya yang sempit karena kabel antenanya
sangat pendek dan ia kesulitan mendapatkan kabel untuk memperpanjangnya. Kabel itu
tersambung pada antena di puncak pohon randu. Keadaan mendesak sebab malam itu ada
pertandingan final badminton All England antara Svend Pri melawan Iie Sumirat. Begitu
banyak penonton akan hadir, tapi ruangan TV sangat sempit. Sejak sore Pak Ketua RT
tak enak hati karena banyak handai taulan yang akan bertamu tapi tak 'kansemua
mendapat kesempatan menonton pertandingan seru itu.
Ketika beliau berkeluh kesah pada kepala sekolah kami, maka Mahar yang sudah
kondang akal dan taktiknya segera dipanggil dan ia muncul dengan ide ajaib ini:
\"Gambar TV itu bisa dipantul-pantulkan melalui kaca, Ayahanda Guru,\" kata
Mahar berbinar-binar dengan ekspresi lugunya.
Pak Harfan melonjak girang seperti akan meneriakkan \"eureka!\" Maka digotonglah
dua buah lemari pakaian berkaca besar ke rumah ketua. Lemari pertama diletakkan di
ruang tamu dengan posisi frontal terhadap layar TV dan ruangan itu paling tidak
menampung 17 orang. Sedangkan lemari kedua ditempatkan di beranda. Lemari kaca
kedua diposisikan sedemikian rupa sehingga :dapat menangkap gambar TV dari lemari
kaca pertama.Adasekitar 20 orang menonton TV melalui lemari kaca di beranda.
Tak ada satu pun penonton yang tak kebagian melihat aksi Iie Sumirat. Penonton
merasa puas dan benar-benar menonton dari layar kaca dalam arti sesungguhnya.
Meskipun Svend Pri yang kidal di layar TV menjadi normal di kaca yang pertama dan
kembali menjadi kidal pada layar lemari kaca kedua. Menurutku inilah ide paling
revolusioner, paling lucu, dan paling hebat yang pernah terjadi pada dunia penyiaran.
Aku rasa yang dapat menandingi ide kreatif ini hanya penemuan remote control
beberapa waktu kemudian.
Kepada majelis penonton TV yang terhormat Pak Harfan berulang kali
menyampaikan bahwa semua itu adalah ide Mahar, dan bahwa Mahar itu adalah
muridnya. Murid yang dibanggakannya habis-habisan.
Sayangnya, seperti banyak dialami seniman hebat lainnya, mereka jarang sekali
mendapat perhatian dan penghargaan yang memadai.Gayahidup dan pemikiran mereka
yang mengawang-awang sering kali disalahartikan. Misalnya Mahar, kami sering
menganggapnya manusia aneh, pembual, dan tukang khayal yang tidak dapat
membedakan antara realitas dan lamunan.
Keadaan ini diperparah lagi dengan ketidakmampuan kami mengapresiasi karyakarya
seninya. Sehingga beberapa karya hebatnya malah mendapat cemoohan. Kenyataannya
adalah kami tidak mampu menjangkau daya imajinasi dan pesan-pesan abstrak
yang ia sampaikan melalui karya-karya tersebut. Kami selalu membesar-besarkan kekurangannya,
ketika sebuah pertunjukan gagal total, tapi jika berhasil kami jarang ingin memujinya. Mungkin
karena masih kecil, maka kami sering tidak adil padanya.
LASKAR PELANGI DAN ORANG-ORANG SAWANG
PAPILIO blumei, kupu-kupu tropis yang menawan berwarna hitam bergaris biru-hijau itu
mengunjungi pucuk filicium. Kehadiran mereka semakin cantik karena kehadiran kupu-kupu
kuning berbintik metalik yang disebut pure clouded yellow. Mereka dan lidah atap
sirap cokelat yang rapuh menyajikan komposisi warna kontras di atas sekolah
Muhammadiyah. Dua jenis bidadari taman itu melayanglayang tanpa bobot bersukacita.
Tak lama kemudian, seperti tumpah dari langit, ikut bergabung kupu-kupu lain, danube
Hanya para ahli yang dapat membedakan pure clouded yellowdengan danube
clouded yellow, berturut-turut nama latin mereka adalah Colias croceadan Colias
myrmidone. Di mata awam kecantikan mereka sama: absolut, dan hanya dapat
dibayangkan melalui keindahan namanya. Keduanya adalah si kuning berawan yang
memesona laksana DanauDanubeyang melintasi Eropa: sejuk, elegan, dan misterius.
Berbeda dengan tabiat unggas yang cenderung agresif dan eksibisionis, makhlukmakhluk
bisu berumur pendek ini bahkan tak tahu kalau dirinya cantik. Meskipun
jumlahnya ratusan, tapi kepak sayapnya senyap dan mulut mungil indahnya diam dalam
kerupawanan yang melebihi taman lotus. Melihat mereka rasanya aku ingin menulis
Saat ratusan pasang danube clouded yellowberpatroli melingkari lingkaran daundaun
filicium, maka mereka menjelma menjadi pasir kuning di Dermaga Olivir. Sayapsayap
yang menyala itu adalah fatamorgana pantulan cahaya matahari, berkilauan di
atas.butiran-butiran ilmenit yang terangkat abrasi. Sebuah daya tarik Belitong yang lain,
pesona pantai dan kekayaan material tambang yang menggoda.
Kupu-kupu clouded yellowdan Papilio blumeisaling bercengkrama dengan
harmonis seperti sebuah reuni besar bidadari penghuni berbagai surga dari agama yang
berbeda-beda. Jika diperhatikan dengan saksama, setiap gerakan mereka, sekecil apa pun,
seolah digerakkan oleh semacam mesin,keserasian. Mereka adalah orkestra warna
dengan insting sebagai konduktornya. Dan agaknya dulu memang telah diatur jauh-jauh
hari sebelum mereka bermetamorfosis, telah tercatat di Lauhul Mahfuzh saat mereka
masih meringkuk berbedak-bedak tebal dalam gulungan-gulungan daun pisang, bahwa
sore ini mereka akan menari-nari di pucuk-pucuk filicium, bersenda gurau, untuk
memberiku pelajaran tentang keagungan Tuhan.
Kupu-kupu ini sering melakukan reuni setelah hujan lebat. Sayangnya sore ini,
pemandangan seperti butiranbutiran cat berwarna-warni yang dihamburkan dari langit itu
serentak bubar dan harmoni ekosistem hancur berantakan karena serbuan sepuluh sosok
Homo sapiens. Makhluk brutal ini memanjati dahan-dahan filicium, bersoraksorai, dan
bergelantungan mengklaim dahannya masingmasing. Kawanan itu dipimpin oleh setan
kecil bernama Kucai. Berada pada posisi puncak rantai makanan seolah melegitimasi
kecenderungan Homo sapiensuntuk merusak tatanan alam.
Kucai mengangkangi dahan tertinggi, sedangkanSahara, satu-satunya betina dalam
kawanan itu, bersilang kaki di atas dahan terendah. Pengaturan semacam itu tentu bukan
karena budaya patriarki begitu kental dalam komunitas Melayu, tapi semata-mata karena
pakaianSaharatidak memungkinkan ia berada di atas kami. Ia adalah muslimah yang
menjaga aurat rapat-rapat.
Kepentingan kami tak kalah mendesak dibanding keperluan kaum unggas, fungi,
dan makhluk lainnya terhadap filiciumkarena dari dahan-dahannya kami dapat dengan
leluasa memandang pelangi.
Kami sangat menyukai pelangi. Bagi kami pelangi adalah lukisan alam, sketsa
Tuhan yang mengandung daya tarik mencengangkan. Tak tahu siapa di antara kami
yang pertama kali memulai hobi ini, tapi jika musim hujan tiba kami tak sabar
menunggu kehadiran lukisan langit menakjubkan itu. Karena kegemaran kolektif
terhadap pelangi maka Bu Mus menamai kelompok kami Laskar Pelangi.
Sore ini, setelah hujan lebat sepanjang hari, terbentang pelangi sempurna,
setengah lingkaran penuh, terang benderang dengan enam lapis warna. Ujung kanannya
berangkat dari Muara Genting seperti pantulan permadani cermin sedangkan ujung
kirinya tertanam di kerimbunan hutan pinus di lereng Gunung Selumar. Pelangi yang
menghunjam di daratan ini melengkung laksana jutaan bidadari berkebaya warna-warni
terjun menukik ke sebuah danau terpencil, bersembunyi malu karena kecantikannya.
Kini filiciummenjadi gaduh karena kami bertengkar bertentangan pendapat
tentang panorama ajaib yang terbentang melingkupi Belitong Timur. Berbagai versi
cerita mengenai pelangi menjadi debat kusir. Dongeng yang paling seru tentu saja
dikisahkan oleh Mahar. Ketika kami mendesaknya ia sempat ragu-ragu. Pandangan
matanya mengisyaratkan bahwa: kalian tidak akan bisa menjaga informasi yang sangat
Dia diam demi membuat pertimbangan serius, namun akhirnya ia menyerah,
bukan kepada kami yang memohon tapi kepada hasratnya sendiri yang tak terkekang
\"Tahukah kalian ...,\" katanya sambil memandang jauh.
\"Pelangi sebenarnya adalah sebuah lorong waktu!\" Kami terdiam, suasana jadi
bisu, terlena khayalan Mahar. -
\"Jika kita berhasil melintasi pelangi maka kita akan bertemu dengan orang-orang
Belitong tempo dulu dan nenek moyang orang-orang Sawang.\"
Wajahnya tampak menyesal seperti baru saja membongkar sebuah rahasia
keluarga yang terdalam dan telah disimpan tujuh turunan. Lalu dengan nada terpaksa ia
melanjutkan, \"Tapi jangan sampai kalian bertemu dengan orang Belitong primitif dan
leluhur Sawang itu, karena mereka itu adalah kaum kanibal ...!!\"
Sekarang wajahnya pasrah. A Kiong menutup mulutnya dengan tangan dan
hampir saja tertungging dari dahan karena melepaskan pegangan. Sejak kelas satu SD,
A Kiong adalah pengikut setia Mahar. Ia percaya-dengan sepenuh jiwa-apa pun yang
dikatakan Mahar. Ia memposisikan Mahar sebagai seorang suhu dan penasihat
spriritual. Mereka berdua telah menasbihkan diri sendiri dalam sebuah sekte ketololan
Demi mendengar kisah Mahar, Syahdan yang bertengger persis di belakang
pendongeng itu dengan gerakan sangat takzim, tanpa diketahui Mahar, menyilangkan
jari di atas keningnya dan mengesek-gesekkannya beberapa kali. Mahar tidak mengerti
apa yang sedang terjadi di belakangnya. Sakit perut kami menahan tawa melihat
kelakuan Syahdan. Baginya Mahar sudah tak waras.
Lintang menepuk-nepuk punggung Mahar, menghargai ceritanya yang
menakjubkan, tapi ia tersenyum simpul dan pura-pura batuk untuk menyamarkan
tawanya. Kami terus memandangi keindahan pelangi tapi kali ini kami tak lagi berdebat.
Kami diam sampai matahari membenamkan diri. Azan magrib menggema dipantulkan
tiang-tiang tinggi rumah panggung orang Melayu, sahut-menyahut dari masjid ke masjid.
Sang lorong waktu perlahan hilang ditelan malam. Kami diajari tak bicara jika azan
\"Diam dan simaklah panggilan menuju kemenangan itu ...,\" pesan orangtua kami.
KAMI orang-orang Melayu adalah pribadi-pribadi sederhana yang memperoleh
kebijakan hidup dari para guru mengaji dan orang-orang tua di surau-surau sehabis salat
magrib. Kebijakan itu disarikan dari hikayat para nabi, kisah Hang Tuah, dan rima-rima
gurindam. Ras kami adalah ras yang tua. Malayatau Melayu telah dikenal Albert Buffon
sejak lampau ketika ia mengidentifikasi ras-ras besar Kaukasia, Negroid, dan Mongoloid.
Meskipun banyak antropolog berpendapat bahwa ras Melayu Belitong tidak sama dengan
ras Malay versi Buffon-dengan kata lain kami sebenarnya bukan orang Melayu—tapi
kami tak membesarbesarkan pendapat itu. Pertama karena orang-orang Belitong tak
paham akan hal itu dan kedua karena kami tak memiliki semangat primordialisme. Bagi
kami, orang-orang sepanjang pesisir selat Malaka sampai keMalaysiaadalah Melayuatas
dasar ketergila-gilaan mereka pada irama semenanjung, dentaman rebana, dan
pantun yang sambut: menyambut-bukan atas dasar bahasa, warna kulit, kepercayaan, atau
struktur bangun tulang-belulang. Kami adalah ras egalitarian.
Aku melamun merenungkan cerita Mahar. Aku tak tertarik dengan lorong waktu,
tapi terpancang pada ceritanya tentang orang-orang Belitong tempo dulu. Minggu lalu
ketika sedang memperbaiki sound systemdi masjid, demi melihat kabel centang perenang
yang dianggapnya benda ajaib zaman baru, muazin kami yang telah berusia 70 tahun
menceritakan sesuatu yang membuatku terkesiap.
Cerita itu adalah tentang kakek beliau yang sempat bercerita kepadanya bahwa
orangtua kakeknya itu, berarti mbah buyut atau datuk muazin kami, hidup berkelompok
mengembara di sepanjang pesisir Belitong. Mereka berpakaian kulit kayu dan mencari
makan dengan cara menombak binatang atau menjeratnya dengan akar-akar pohon.
Mereka tidur di dahan-dahan pohon santigi untuk menghindari terkaman binatang buas.
Kala bulan purnama mereka menyalakan api dan memuja bulan serta bintang gemintang.
Aku merinding memikirkan betapa masih dekatnya komunitas kami dengan kebudayaan
\"Kita telah lama bersekutu dengan orang-orang Sawang. Mereka adalah pelaut
ulung yang hidup di perahu. Suku itu berkelana dari pulau ke pulau. Di Teluk Balok
leluhur kita menukar pelanduk, rotan, buah pinang, dan damar dengan garam buatan
wanita-wanita Sawang ...,\" cerita muazin itu.
Seperti ikan yang hidup dalam akuarium, senantiasa lupa akan air, begitulah
kami. Sekian lama hidup berdampingan dengan orang Sawang kami tak menyadari
bahwa mereka sesungguhnya sebuah fenomena antropologi. Dibanding orang
Melayu penampilan mereka amat berbeda. Mereka seperti orang-orang Aborigin.
Kulit gelap, rahang tegas, mata dalam, pandangan tajam, bidang kening yang
sempit, struktur tengkorak seperti suku Teuton, dan berambut kasat lurus seperti
PN Timah mempekerjakan suku maskulin ini sebagai buruh yuka, yaitu
penjahit karung timah, pekerjaan strata terendah di gudang beras. Dan mereka
bahagia dengan sistem pembayaran setiap hari Senin. Sulit dikatakan uang itu akan
bertahan sampai Rabu. Tak ada kepelitan mengalir dalam pembuluh darah arang
Sawang. Mereka membelanjakan uang seperti tak ada lagi hari esok dan berutang
seperti akan hidup selamanya.
Karena kekacauan persoalan manajemen keuangan ini, orang Sawang tak
jarang menjadi korban stereotip di kalangan mayoritas Melayu. Setiap perilaku
minus tak ayal langsung diasosiasikan dengan mereka. Diskredit ini adalah refleksi
sikap diskriminatif sebagian orang Melayu yang takut direbut pekerjaannya karena
malas bekerja kasar. Sejarah menunjukkan bahwa orang-orang Sawang memiliki
integritas, mereka hidup eksklusif dalam komunitasnya sendiri, tak usil dengan
urusan orang lain, memiliki etos kerja tinggi, jujur, dan tak pernah berurusan dengan
hukum. Lebih dari itu, mereka tak pernah lari dari utang-utangnya.
Orang Sawang senang sekali memarginalkan diri sendiri. Itulah sifat alamiah
mereka. Bagi mereka hidup ini hanya terdiri atas mandor yang mau membayar
mereka setiap minggu dan pekerjaan kasar yang tak sanggup dikerjakan suku lain.
Mereka tak memahami konsep aristokrasi karena kultur mereka tak mengenal power
distance. Orang yang tak memaklumi hal ini akan menganggap mereka tak tahu tata
krama. Satu-satunya manusia terhormat di antara mereka adalah sang kepala suku,
seorang shamansekaligus dukun, dan jabatan itu sama sekali bukan hereditas.
PN memukimkan orang Sawang di Sebuah rumah panjang yang bersekatsekat.
Di situ hidup 30 kepala keluarga.Tak ada catatan pasti dari mana mereka
berasal. Mungkinkah mereka belum terpetakan oleh para antropolog? Tahukah para
pembuat kebijakan bahwa tingkat kelahiran mereka amat rendah sedangkan
mortalitasnya begitu tinggi sehingga di rumah panjang hanya tertinggal beberapa
keluarga yang berdarah murni Sawang? Akankah bahasa mereka yang indah hilang
TAMBANG hitam terbentang cekung di atas permukaan air berwarna cokelat yang
bergelora. Ujung tambang yang diikat dengan sepotong kayu bercabang tersangkut ke
sebuah dahan karet tua yang rapuh di tengah aliran sungai. Tadi Samson yang telah
melemparkannya dengan gugup. Hampir tujuh belas meter jarak antara tepian sungai
dan dahan karet tempat kayu satu meter itu tersangkut. Berarti lebar sungai ini paling
tidak tiga puluh meter dan dalamnya hanya Tuhan yang tahu. Alirannya meluncur deras
tergesa-gesa, tipikal sungai di Belitong yang berawal dan berakhir di laut. Bagian
membujur permukaan sungai tampak berkilat-kilat disinari cahaya matahari.
Sekarang ujung tambang satunya dipegangi A Kiong yang pucat pasi pada posisi
melintang. Ia memanjat pohon kepang rindang yang berseberangan dengan pohon karet
tadi dan menambatkan tali pada salah satu cabangnya. Badanku gemetar ketika aku
melintas menuju pohon karet dengan cara menggeser-geserkan genggaman tanganku
yang mencekik tambang erat-erat. Aku bergelantungan seperti tentara latihan perang.
Kadang-kadang kakiku terlepas dari tambang dan menyentuh permukaan air yang
meliuk-liuk, membuat darahku dingin berdesir. Kulihat samar bayanganku di atas air
yang keruh. Kalau aku terjatuh maka aku akan ditemukan tersangkut di akar-akar pohon
bakau dekat jembatan Lenggang,limapuluh kilometer dari sini.
SEMUA susah payah melawan larangan orangtua itu hanyalah untuk memetik
buah-buah karet dan demi sedikit taruhan harga diri dalam arena tarak. Atau barangkali
perbuatan bodoh itu justru digerakkan oleh keinginan untuk membongkar rahasia buah
karet yang misterius. Kekuatan kulit buah karet tak bisa diramalkan dari bentuk dan
warnanya. Pada rahasia itulah tersimpan daya tarik permainan mengadu kekuatan
kulitnya. Permainan kuno nan legendaris itu disebut tarak. Cuma ada satu hal yang agak
berlaku umum, yaitu pohon-pohon karet yang buahnya sekeras batu selalu berada di
tempat-tempat yang jauh di dalam hutan dan memerlukan nyali lebih, atau sikap nekat
yang tolol, untuk mengambilnya.
Di dalam tarak, dua buah karet ditumpuk kemudian dipukul dengan telapak
tangan. Buah yang tak pecah adalah pemenangnya. Inilah permainan pembukaan musim
hujan di kampung kami, semacam pemanasan untuk menghadapi permainan-permainan
lainnya yang jauh lebih seru pada saat air bah tumpah dari langit.
SEIRING dengan semakin gencarnya hujan mengguyur kampung-kampung orang
Melayu Belitong, aura tarakperlahan-lahan redup. Jika taraksudah tak dimainkan maka
` itulah akhir bulan September, begitulah tanda alam yang dibaca secara primitif. Wilayahwilayah
tropis di muka bumi akan mengalami mendung seharian dan hujan
berkepajangan. Sementara di Baratsana, orang-orang menjalani hari-hari yang kelabu
menjelang musim salju. Pada sepanjang bulan berakhiran \"-ber\", seisi dunia tampak lebih
murung, maka tidak mengherankan di beberapa bagian barat angka statistik bunuh diri
Aku melongok keluar jendela, RRI mengumandangkan sebuah lagu lama sebelum
siaran berita, Rayuan Pulau Kelapa. Alunan nada Hawaian yang tak lekang dimakan
waktu mendayu-dayu membuat mata mengantuk. Sebuah siang yang syahdu, sesyahdu
Howling Wolfsaat menyanyikan lagu blues How Long Baby, How Long.
Tapi suasana agak berbeda bagi kami. Acara sedih di bulan-bulan penghujung
tahun ini adalah urusan orang dewasa. Bagi kami hujan yang pertama adalah berkah dari
langit yang disambut dengan sukacita tak terkira-kira. Dan tak pernah kulihat di wilayah
lain, hujan turun sedemikian lebat seperti di Belitong.
Tujuh puluh persen daratan di Belitong adalah rain forestalias hutan hujan. Pulau
kecil itu berada pada titik pertemuan Laut Cina Selatan di sisi barat dan Laut Jawa di sisi
timur. Adapun di sisi utara dan selatan ia diapit oleh Selat Karimata dan Selat Gaspar.
Letaknya yang terlindung daratan luas Pulau Jawa danKalimantanmelindungi pantainya
dari gelombang ekstrem musim barat, namun uapan jutaan kubik air selama musim
kemarau dari samudra berkeliling itu akan tumpah seharian selama berbulan-bulan pada
musim hujan. Maka hujan di Belitong tak pernah sebentar dan tak pernah kecil.
Hujan di Belitong selalu lama dan sejadi-jadinya seperti air bah tumpah ruah dari
langit, dan semakin lebat hujan itu, semakin gempar guruh menggelegar, semakin
kencang angin mengaduk-aduk kampung, semakin dahsyat petir sambar-menyambar,
semakin giranglah hati kami. Kami biarkan hujan yang deras mengguyur tubuh kami
yang kumal. Ancaman dibabat rotan oleh orangtua kami anggap sepi. Ancaman tersebut
tak sebanding dengan daya tarik luar biasa air hujan, binatang-binatang aneh yang
muncul dari dasar parit, mobil-mobil proyek timah yang terbenam, dan bau air hujan
yang menyejukkan rongga dada.
Kami akan berhenti sendiri setelah bibir membiru dan jemari tak terasa karena
kedinginan. Seluruh dunia tak bisa mencegah kami. Kami adalah para duta besar yang
berkuasa penuh saat musim hujan. Para orangtua hanya menggerutu, frustrasi merasa
dirinya tak dianggap. Kami berlarian, bermain sepak bola, membuat candi dari pasir, berpura-pura
menjadi biawak, berenang di lumpur, memanggil-manggil pesawat terbang
yang melintas, dan berteriak keras-keras tak keruan kepada hujan, langit, dan halilintar
seperti orang lupa diri.
Tapi lebih dari itu, yang paling seru adalah permainan tanpa nama yang melibatkan
pelepah-pelepah pohon pinang hantu. Satu atau dua orang duduk di atas pelepah selebar
sajadah, kemudian dua atau tiga orang lainnya menarik pelepah itu dengan kencang.
Maka terjadilah pemandangan seperti orang main ski es, tapi secara manual karena
ditarik tenaga manusia.
Penumpang yang duduk di depan memegangi pelepah seperti penunggang unta
sedangkan penumpang di belakang memeluknya erat-erat agar tidak tergelincir. Mereka
yang bertubuh paling besar, yaitu Samson, Trapani, dan A Kiong menduduki jabatan
penarik pelepah dan mereka amat bangga dengan jabatan itu.
Puncak permainan ini adalah momen ketika para penarik pelepah yang bertenaga
sekuat kuda beban berbelok mendadak serta dengan sengaja menambah kekuatannya di
belokan itu. Maka penumpangnya akan melaju sangat kencang, terseret sejajar ke arah
samping, meluncur mulus tapi deras sekali di atas permukaan lumpur yang licin, lalu
menikung tajam dalam kecepatan tinggi.
Aku rasakan tingkungan itu membanting tubuhku tanpa dapat kukendalikan dan
sempat kulihat cipratan air bercampur lumpur yang besar menghempas dari sisi kanan
pelepah mengotori para penonton: Sahara, Harun, Kucai, Mahar, dan Lintang. Mereka
gembira luar biasa menerima cipratan air kotor itu, semakin kotor airnya semakin senang
mereka. Mereka bertepuk tangan girang menyemangati kami. Sementara Syahdan yang
duduk di belakangku memegang tubuhku kuat-kuat sambil bersorak-sorai.
Syahdan bertindak selaku co-pilot, dan aku pilotnya. Kami meluncur menyamping
dengan tubuh rebah persis seperti gerakan laki-laki gondrong pengendara sepeda motor
tong setan di sirkus atau lebih keren lagi seperti gerakan speed raceryang merendahkan
tubuhnya untuk mengambil belokan maut. Sebuah gaya rebah yang penuh aksi. Pada saat
menikung itu aku merasakan sensasi tertinggi dari permainan tradisional yang asyik ini.
Namun, cerita tidak selesai sampai di situ. Karena sudut belokan tersebut tidak
masuk akal maka tikungan tersebut tak `kan pernah bisa diselesaikan. Para penarik
bertabrakan sesama dirinya sendiri, terjatuh-jatuh jumpalitan, terbanting-banting tak tentu
arah, sementara aku dan Syahdan terpental dari pelepah, terhempas, terguling-guling, lalu
kami berdua terkapar di dalam parit.
Kepalaku terasa berat, kuraba-raba dan benjolan kecilkecil bermunculan. Air
masuk melalui hidungku, suaraku jadi aneh, seperti robot, dan ada rasa pening di bagian
kepala sebelah kanan yang menjalar ke mata. Rasa itu hanya sebentar, biasa kita alami
kalau air memasuki hidung. Aku tersedak-sedak kecil seperti kambing batuk. Lalu aku
mencari-cari Syahdan. Ia terbanting agak jauh dariku. Tubuhnya telentang, tergeletak tak
berdaya, air menggenangi setengah tubuhnya di dalam parit. Ia tak bergerak.
Kami menghambur ke arah Syahdan. Aduh! Gawat, apakah ia pingsan? Atau gegar
otak? Atau malah mati? Karena ia tak bernapas sama sekali dan tadi ia terpelanting
seperti tong jatuh dari truk. Di sudut bibirnya dan dari lubang hidungnya kulihat darah
mengalir, pelan dan pekat. Kami merubung tubuhnya yang diam seperti mayat. Sahara
mulai terisak-isak, wajahnya pias. Aku memandangi wajah temanku yang lain, semuanya
pucat pasi. A Kiong gemetar hebat, Trapani memanggil-manggil ibunya, aku sangat
Aku menampar-nampar pipinya.
\"Dan! Dan ...!\" Aku pegang urat di lehernya, seperti pernah kulihat dalam film
Little House on The Prairie. Namun sayang sebenarnya aku sendiri tak mengerti apa
yang kupegang, karena itu aku tak merasakan apa-apa. Samson, Kucai, dan Trapani turut
menggoyang-goyang tubuh Syahdan, berusaha menyadarkannya. Tapi Syahdan diam
kaku tak bereaksi. Bibirnya pucat dan tubuhnya dingin seperti es. Sahara menangis keras,
diikuti oleh A Kiong.
\"Syahdan ... Syahdan .., bangun Dan ...,\" ratap Sahara pedih dan ketakutan.
Kami semakin panik, tak tahu harus berbuat apa. Aku terus-menerus memanggilmanggil
nama Syahdan, tapi ia diam saja, kaku, tak bernyawa, Syahdan telah mati.
Kasihan sekali Syahdan, anak nelayan melarat yang mungil ini harus mengalami nasib
Kami menggigil ketakutan dad Samson memberi isyarat agar mengangkat Syahdan.
Ketika kami angkat tubuhnya telah keras seperti sepotong balok es. Aku memegang
bagian kepalanya. Kami gotong tubuh kecilnya sambil berlari. Sahara dan A Kiong
meraung-raung. Kami benar-benar panik, namun dalam kegentingan yang memuncak
tiba-tiba di gumpalan bulat kepala keriting yang kupeluk kulihat deretan gigi-gigi hitam
keropos dan runcing-runcing seperti dimakan kutu meringis ke arahku, kemudian kudengar pelan
suara tertawa terkekeh-kekeh.
Ha! Rupanya co-pilot-ku ini hanya berpura-pura tewas! Sekian lama ia
membekukan tubuhnya dan berusaha menahan napas agar kami menyangka ia mati.
Kurang ajar betul, lalu kami membalas penipuannya dengan melemparkannya kembali ke
dalam parit kotor tadi. Dia senang bukan main. Ia terpingkal-pingkal melihat kami
kebingungan. Kami pun ikut tertawa. Sahara menghapus tangisnya dengan lengannya
yang kotor. Makin lama tawa kami makin keras. Kulirik lagi Syahdan, ia meringis
kesakitan tapi tawanya keras sekali sampai-sampai keluar air matanya. Air matanya itu
bercampur dengan air hujan.
Anehnya, justru peristiwa terjatuh, terhempas, dan terguling-guling yang
menciderai, lalu disusul dengan tertawa keras saling mengejek itulah yang kami anggap
sebagai daya tarik terbesar permainan pelepah pinang. Tak jarang kami mengulanginya
berkali-kali dan peristiwa jatuh seperti itu bukan lagi karena sudut tikungan, kecepatan,
dan massa yang melanggar hukum fisika, tapi memang karena ketololan yang disengaja
yang secara tidak sadar digerakkan oleh spirit euforia musim hujan. Pesta musim hujan
adalah sebuah perhelatan meriah yang diselenggarakan oleh alam bagi kami anak-anak
PUISI SURGA DAN KAWANA BURUNG PELINTANG PULAU
NAH, seluruh kejadian ini terjadi pada bulan Agustus saat aku berada di kelas dua
SMP. Kemarau masih belum mau pergi. Pohon-pohon angsana menjadi gundul, bambu-bambu
kuning meranggas. Jalan berbatu-batu kecil merah, setiap dihempas kendaraan,
mengembuskan debu yang melekat pada sirip-sirip daun jendela kayu. Kota kecilku
kering dan bau karat.
Warga Tionghoa semakin rajin menekuni kebiasaannya: mandi saat tengah hari,
menyisir rambutnya yang masih basah ke belakang, lalu memotongi ujung-ujung
kukunya dengan antip. Hanya mereka yang tampak sedikit bersih pada bulan-bulan
seperti ini. Adapun warga suku Sawang termangu-mangu memeluk tiang-tiang rumah
panjang mereka, terlalu panas untuk tidur di bawah atap seng tak berplafon dan terlalu
lelah untuk kembali bekerja, dilematis.
Orang-orang Melayu semakin kumal. Sesekali anak-anaknya melewati jalan
raya membawa balok-balok es dan botol sirop Capilano. Hawa pengap tak ‘kan
menguap sampai malam. Sebaliknya, menjelang dini hari suhu akan turun drastis,
dingin tak terkira, menguji iman umat Nabi Muhammad untuk beranjak dari tempat
tidur dan shalat subuh di masjid.
Perubahan ekstrem suhu adalah konsekuensi geografis pulau kecil yang
dikelilingi samudra. Karena itu kemarau di kampung kami menjadi sangat tidak
menyenangkan. Kepekatan oksigen menyebabkan tubuh cepat lelah dan mata mudah
mengantuk. Namun, ada suka di mana-mana. Anda tentu paham maksud saya. Bulan ini
amat semarak karena banyak perayaan berkenaan dengan hari besar negeri ini. Agustus,
semuanya serba menggairahkan!
Begitu banyak kegiatan yang kami rencanakan setiap bulan Agustus, antara lain
berkemah! Ketika anak-anak SMP PN dengan bus birunya berekreasi ke Tanjong
Pendam, mengunjungi kebun binatang atau museum di Tanjong Pandan, bahkan
verloop* bersama orangtuanya ke Jakarta. Kami, SMP Muhammadiyah, pergi ke Pantai
Pangkalan Punai. Jauhnya kira-kira 60 km, ditempuh naik sepeda. Semacam liburan
murah yang asyik luar biasa.
Meskipun setiap tahun kami mengunjungi Pangkalan Punai, aku tak pernah
bosan dengan tempat ini. Setiap kali berdiri di bibir pantai aku selalu merasa terkejut,
persis seperti pasukan Alexander Agung pertama kali menemukan India. Jika laut
berakhir di puluhan hektar daratan landai yang dipenuhi bebatuan sebesar rumah dan
pohon-pohon rimba yang rindang merapat ke tepi paling akhir ombak pasang
mengempas, maka kita akan menemukan keindahan pantai dengan cita rasa yang
berbeda. Itulah kesan utama yang dapat kukatakan mengenai Pangkalan Punai.
Tak jauh dari pantai mengalirlah anak-anak sungai berair payau dan di sanalah
para penduduk lokal tinggal di dalam rumah panggung tinggi-tinggi dengan formasi
berkeliling. Mereka juga orang-orang Melayu, orang Melayu yang menjadi nelayan.
Berarti rumah-rumah ini tepatnya terkurung oleh hutan lalu di tengahnya mengalir
anak-anak sungai dan posisinya cenderung menjorok ke pinggir laut. Sebuah komposisi
lanskap hasil karaya tangan Tuhan. Keindahan seperti digambarkan dalam buku-buku
komik Hans Christian andersen.
Namun, pemandangan semakin cantik jika kita mendaki bukit kecil di sisi barat
daya Pangkalan. Saat sore menjelang, aku senang berlama-lama duduk sendiri di
punggung bukit ini. Mendengar sayup-sayup suara anak-anak nelayan—laki-laki dan
perempuan—menendang-nendang pelampung, bermain bola tanpa tiang gawang nun di
bawah sana. Teriakan mereka terasa damai. Sekitar pukul empat sore, sinar matahari
akan mengguyur barisan pohon cemara angin yang tumbuh lebat di undakan bukit yang
lebih tinggi di sisi timur laut. Sinar yang terhalang pepohonan cemara angin itu
membentuk segitiga gelap raksasa, persis di tempat aku duduk. Sebaliknya, di sisi lain,
sinarnya ayang kontras menghunjam ke atas permukaan pantai yang dangkal, sehingga
dari kejauhan dapat kulihat pasir putih dasar laut.
Jika aku menoleh ke belakang, maka aku dapat menyaksikan pemandangan
padang sabana. Ribuan burung pipit menggelayuti rumput-rumput tinggi, menjerit-jerit
tak karuan, berebutan tempat tidur. Di sebelah sabana itu adalah ratusan pohon kelapa
bersaling-silang dan di antara celah-celahnya aku melihat batu-batu raksasa khas
Pangkalan Punai. Batu-batu raksasa yang membatasi tepian Laut Cina Selatan yang biru
berkilauan dan luas tak terbatas. Seluruh bagian ini disirami sinar matahari dan aliran
sungai payau tampak sampai jauh berkelok-kelok seperti cucuran perak yang dicairkan.
Sebaliknya, jika aku melemparkan pandangan lurus ke bawah, ke arah formasi
rumah panggung yang berkeliling tadi, maka sinar matahari yang mulai jingga jatuh
persis di atas atap-atap daun nanga’ yang menyembul-nyembul di antara rindangnya
dedaunan pohon santigi. Asap mengepul dari tungku-tungku yang membakar serabut
kelapa untuk mengusir serangga magrib. Asap itu, diiringi suara azan magrib, merayap
menembus celah-celah atap daun, hanyut pelan-pelan menaungi kampung seperti hantu,
lamat-lamat merambati dahan-dahan pohon bintang yang berbuah manis, lalu hilang
tersapu semilir angin, ditelan samudra luas. Dari balik jendela-jendela kecil rumah
panggung yang berserakan di bawah sana sinar lampu minyak yang lembut dan
kuntum-kuntum api pelita menari-nari sepi.
Pesona hakiki Pangkalan Punai membayangiku menit demi menit sampai
terbawa-bawa mimpi. Mimpi ini kemudian kutulis menjadi sebuah puisi karena, sebagai
bagian dari program berkemah, kami harus menyerahkan tugas untuk pelajaran
kesenian berupa karangan, lukisan, atau pekerjaan tangan dari bahan-bahan yang
didapat di pinggir pantai. Inilah puisiku.
Aku Bermimpi Melihat Surga
Sungguh, malam ketiga di Pangkalan Punai aku mimpi melihat surga
Ternyata surga tidak megah, hanya sebuah istana kecil di tengah hutan
Tidak ada bidadari seperti disebut di kitab-kitab suci
Aku meniti jembatan kecil
Seorang wanita berwajah jernih menyambutku
“Inilah surga” katanya.
Ia tersenyum, kerling matanya mengajakku menengadah
Seketika aku terkesiap oleh pantulan sinar matahari senja
Menyirami kubah-kubah istana
Mengapa sinar matahari berwarna perak, jingga, dan biru?
Sebuah keindahan yang asing
Dahan-dahan pohon ara menjalar ke dalam kamar-kamar sunyi yang bertingkattingkat
Gelas-gelas kristal berdenting dialiri air zamzam
Menebarkan rasa kesejukan
Bunga petunia ditanam di dalam pot-pot kayu
Pot-pot itu digantungkan pada kosen-kosen jendela tua berwarna biru
Di beranda, lampu-lampu kecil disembunyikan di balik tilam, indah sekali
Sinarnya memancarkan kedamaian
Tembus membelah perdu-perdu di halaman
Tapi aku ingin tetap di sini
Karena kuingat janjimu Tuhan
Kalau aku datang dengan berjalan
ENGKAU akan menjemputku dengan berlari-lari
Dengan puisi ini, untuk pertama kalinya aku mendapat nilai kesenian yang
sedikit lebih baik dari nilai Mahar, tapi hal itu hanya terjadi sekali itu saja. Puisiku ini
membuktikan bahwa karya seni yang baik, setidaknya baik bagi Bu Mus, adalah karya
seni yang jujur. Namun, aku punya cerita yang panjang dan kurasa cukup penting
mengapa kali ini Mahar tidak mendapatkan nilai kesenian tertinggi seperti baisanya.
Semua itu gara-gara sekawanan burung hebat nan misterius yang dinamai orang-orang
Belitong sebagai burung pelintang pulau.
Nama burung pelintang pulau selalu menarik perhatian siapa saja, di mana saja,
terutama di pesisir. Sebagian orang malah menganggap burung ini semacam makhluk
gaib. Nama burung ini mampu menggetarkan nurani orang-orang pesisir sehubungan
dengan nilai-nilai mitos dan pesan yang dibawanya.
Burung pelintang pulau amat asing. Para pencinta burung lokal dan orang-orang
pesisir hanya memiliki pengetahuan yang amat minim mengenai burung ini. Di mana
habitatnya, bagaimana rupa dan ukuran aslinya, dan apa makanannya, selalu jadi
polemik. Hanya segelintir orang yang sedang beruntung saja pernah melihatnya
langsung. Burung ini tak pernah tertangkap hidup-hidup. Kerahasiaan bruung ini adalah
konsekuensi dari kebiasaannya.
Nama pelintang pulau adalah cerminan kebiasaan burung ini terbang sangat
kencang dan jauh tinggi melintang (melintasi) pulau demi pulau. Mereka hanya singgah
sebentar dan selalu hinggap di puncak tertinggi dari pohon-pohon yang tingginya
puluhan meter seperti pohon medang dan tanjung. Singgahnya pun tak pernah lama,
tidak untuk makan apa pun. Mereka sangat liar, tidak mungkin bisa didekati.
Setelah hinggap sebentar dengan kawanan lima atau enam ekor mereka terburuburu
terbang dengan kencang ke arah yang sama sekali tak dapat diduga. Banyak
orangy ang percaya bahwa mereka hidup di pulau-pulau kecil yang tak dihuni manusia.
Sementara mitos lain mengatakan bahwa burung-burung ini hanya hinggap sekali saja
pada sebuah kanopi di setiap pulau. Merekam enghabiskan sebagian besar hidupnya
terbang tinggi di angkasa, melintas dari satu pulau ke pulau lain yang berjumlah
puluhan di perairan Belitong.
Orang-orang Melayu pesisir percaya bahwa jika burung ini singgah di kampung
maka pertanda di laut sedang terjadi badai hebat atau angin puting beliung. Sering
sekali kehadirannya membatalkan niat nelayan yang akan melaut. Tapi ada penjelasan
logis untuk pesan ini, yaitu jika mereka memang tinggal di pulau terpencil maka badai
laut akan menyapu pulau tersebut dan saat itulah mereka menghindar menuju pesisir
Burung yangkonon sangat cantik dengan dominasi warna biru dan kuning ini
berukuran seperti burung bayan. Tapi aku agak kurang setuju dengan pendapat itu. Aku
setuju dengan warnanya, tapi ukurannya pasti jauh lebih besar, karena saksi mata
melihatnya bertengger puluhan meter darinya sehingga akan tampak lebih kecil.
Perkiraanku burung itu paling tidak berpenampilan seperti burung rawe yang beringas
atau peregam segagah rajawali. Demikianlah burugn pelintang pulau, semakin misterius
keberadaannya, semakin legendaris ceritanya. Mungkinkah burung ini belum terpetakan
oleh para ahli ornitologi?
Namun, burung apa pun itu, ketika melakukan semacam penelitian untuk
membuat tugas kesenian yang ia putuskan berupa lukisan, Mahar mengaku melihat
burung pelintang pulau nun jauh tinggi berayun-ayun di pucuk-pucuk meranti. Ia
pontang-panting menuju tenda untuk memberitahukan apa yang baru saja dilihatnya,
dan kami pun menghambur masuk ke hutan untuk menyaksikan salah satu spesies
paling langka kekayaan fauna pulau Belitong itu. Sayangnya yang kami saksikan hanya
dahan-dahan yang kosong, beberapa ekor anak lutung yang masih berwarna kuning, dan
langit hampa yang luas menyilaukan. Mahar menjebak dirinya sendiri. Maka, seperti
biasa, mengalirlah ejekan untuk Mahar.
“Kalau makan buah bintang kebanyakan, manisnya memang dapat membaut
orang mabuk, Har, pandangan kabur, dan mulut melantur,” Samson menarik pelatuk
dan penghujatan pun dimulai.
“Sungguh Son, yang kulihat tadi burung pelintang pulau kawanan lima ekor.”
“Dalam laut dapat kukira, dalamnya dusta siapa sangka,” dengan rima pantun
yang sederhana Kucai menohok Mahar tanpa perasaan.
Keputusasaan terpancar di wajah Mahar yang tanpa dosa, matanya mencari-cari
dari dahan ke dahan. Aku iba melihatnya, dengan cara apa aku dapat membelanya?
Tanpa saksi yang menguatkan, posisinya tak berdaya.
Kulihat dalam-dalam mata Mahar dan aku yakin yang baru saja dilihatnya
memang burung-burung keramat itu. Ah! Beruntung sekali. Sayangnya upaya Mahar
meyakinkan kami sia-sia karena reputasinya sendiri yang senang membual. Itulah
susahnya jadi pembual, sekali mengajukan kebenaran hakiki di antara seribu macam
dusta, orang hanya akan menganggap kebenaran itu sebagai salah satu dari buah
“Mungkin yang kau lihat tadi burung ayam-ayam yang sengaja hinggap di dahan
tepat di atasmu utnuk mengencingi jambulmu itu,” cela Kucai.
Tawa kami meledak menusuk perasaan Mahar. Burung ayam-ayaman tidak
eksklusif, terdapat di mana-mana, dan senang bercanda di sepanjang saluran
pembuangan pasar ikan. Perut-perut ikan adalah caviar bagi mereka. Burung itu selalu
digunakan orang Melayu sebagai perlambang untuk menghina. Belum reda tawa kami
Sahara berusaha menyadarkan kesesatan Mahar
“Jangan kaucampuradukkan imajinasi dan dusta, kawan. Tak tahukah engkau,
kebohongan adalah pantangan kita, larangan itu bertalu-talu disebutkan dalam buku
Budi Pekerti Muhammadiyah.”
Trapani mencoba sedikit berlogika, “Barangkali kau salah lihat Har, keluarga
Lintang saja yang sudah empat turunan tinggal di pesisir tak pernah sekalipun melihat
burung itu apa lagi kita yangb aru berkemah dua hari.”
Masuk akal juga, tapi nasib orang siapa tahu?
Situasi makin kacau ketika sore itu berita kunjungan burung pelintang pulau
menyebar ke kampung dan beberapa nelayan batal melaut. Ibu Mus tak enak hati tapi
tak mengerti bagaimana menetralisasi suasana. Mahar semakin terpojok dan merasa
bersalah. Namun percaya atau tidak, malamnya angin bertiup sangat kencang
mengobrak-abrik tenda kami. Beberapa batang pohon cemara tumbang. Di laut kami
melihat petir menyambar-nyambar dengan dahsyat dan awan hitam di atasnya
berugulung-gulung mengerikan. Kami lari terbirit-birit mencari perlindungan ke rumah
“Mungkin yang kau lihat tadi sore benar-bear burung pelintang pulau, Har,”
kata Syahdan gemetar.
Mahar diam saja. Aku tahu kata “mungkin” itu tidak tepat. Bagaimanapun juga
badai ini sedikit banyak memihak ceritanya, mengurangi rasa bersalahnya, dan dapat
menghindarkannya dari cap pembual, apalagi esoknya para nelayan berterima kasih
padanya. Namun, ternyata temannya masih meragukannya dengan menggunakan kata
“mungkin”, padahal tenda kami sudah hancur lebur diaduk-aduk badai. Rasa
tersinggungnya tidak berkurang sedikit pun. Pada tingkat ini dia sudah merasa dirinya
seorang persona non grata, orang yang tak disukai.
Demikianlah dari waktu ke waktu kami selalu memperlakukan Mahar tanpa
perasaan. Kami lebih melihatnya sebagai seorang bohemian yang aneh. Kami dibutakan
tabiat orang pada umumnya, yaitu menganggap diri paling baik, tidak mau mengakui
keunggulan orang, dan mencari-cari kekurangan orang lain untuk menutupi
ketidakbecusan diri sendiri.
Kami jarang sekali ingin secarao bjektif membuka mata melihat bakat seni hebat
yang dimiliki Mahar dan bagaimaan bakat itu berkembang secara alami dengan
menakjubkan. Namun, tak mengapa, lihatlah sebentar lagi, seluruh ketidakadilan
selama beberapa tahun ini akan segara dibalas tuntas olehnya dengan setimpal. Cerita
Besoknya Mahar membuat lukisan berjudul “Kawanan Burung Pelintang
Pulau”. Sebuah tema yang menarik. Lukisan itu berupa lima ekor burung yang tak jelas
bentuknya melaju secepat kilat menembus celah-celah pucuk pohon meranti. Latar
belakangnya adalah gumpalana awan kelam yang memancing badai hebat. Hamparan
laut dilukis biru gelap dan permukaannya berkilat-kilat memantulkan cahaya halilintar
Kelima ekor burung itu hanya ditampakkan berupa serpihan-serpihan warna
hijau dan kuning dengan ilustrasi tak jelas, seperti sesuatu yang berkelebat sangat cepat.
Jika dilihat sepintas, memang masih terlihat samar-samar seperti lima kawanan burung
tapi kesan seluruhnya adalah seperti sambaran petir berwarna-warni. Sebuah lukisan
penuh daya mitos yang menggettarkan.
Dengan kekuatan imajinasinya Mahar berusaha mengabadikan sifat-sifat
misterius burung ini. Yang ada dalam pemikiran di balik lukisannya bukanlah bentuk
anatomis burung pelintang pulau tapi representasi sebuah legenda magis, sifat-sifat
alami burung pelintang pulau yang fenomenal, keterbatasan pengetahuan kita tentang
mereka, karakternya yang suka menjauhi manusia, dan mitos-mitos ganjil yang
menggerayangi setiap kepala orang pesisir.
Lukisan Mahar sesungguhnya merupakan swebuah karya hebat yang memiliki
nyawa, mengandung ribuan kisah, menentang keyakinan, dan mampu menggugah
perasaan. Namun, Mahar tetaplah anak kecil dengan keterbatasan kosa kata untuk
menjelaskan maksudnya. Ia kesulitan menemukan orang yang dapat memahaminya, dan
lebih dari itu, ia juga seniman yang bekerja berdasarkan suasana hati. Maka ketika
Samson, Syahdan, dan Sahara berpendapat bahwa bentuk burung yang tak jelas karena
Mahar sebenarnya tak pernah melihatnya, Mahar kembali tenggelam dalam sarkasme,
mood-nya rusak berantakan.
Inilah kenyataan pahit dunia nyata. Begitu banyak seniman bagus yang hidup di
antara orang-orang buta seni. Lingkungan umumnya tak memahami mereka dan lebih
parah lagi, tanpa beban berani memberi komentar seenak udelnya. Ketika Mahar sudah
berpikir dalam tataran imajinasi, simbol, dan substansi, Samson, Syahdan, dan Sahara
masih berpikir harfiah. Kasihan Mahar, seniman besar kami yang sering dilecehkan.
Karena kecewa sebab karyanya dianggap tak jujur, Mahar setengah hati
menyerahkan karyanya kepada Bu Mus sehingga terlambat. Inilah yang menyebabkan
nilai Mahar agak berkurang sedikit. Yaitu karena melanggar tata tertib batas
penyerahan tugas, bukan karena pertimbangan artistik. Ironis memang.
“Kali ini Ibunda tidak memberimu nilai terbaik untuk mendidikmu sendiri,” kata
Bu Mus dengan bijak pada Mahar yang cuek saja.
“Bukan karena karyamu tidak bermutu, tapi dalam bekerja apa pun kita harus
Aku rasa pandangan ini cukup adil. Sebaliknya, aku dan kami sekelas tidak
menganggap keunggulanku dalam nilai kesenian sebagai momentum lahirnya seniman
baru di kelas kami. Seniman besar kami tetap Mahar, the one and only.
Adapun Mahar yang nyentrik sama sekali tidak peduli. Ia tak ambil pusing
mengenai bagaimana karya-karya seninya dinilai dalam skala angka-angka, apalagi
sekarang ia sedang sibuk. Ia sedang berusaha keras memikirkan konsep seni untuk
ADA CINTA DI TOKO KELONTONG BOBROK ITU
MEMANG menyenangkan menginjak remaja. Di sekolah, mata pelajaran mulai terasa
bermanfaat. Misalnya pelajaran membuat telur asin, menyemai biji sawi, membedah
perut kodok, keterampilan menyulam, menata janur, membuat pupuk dari kotoran
hewan, dan praktek memasak. Konon di Jepang pada tingkat ini para siswa telah belajar
semikonduktor, sudah bisa menjelaskan perbedaan antara istilah analog dan digital,
sudah belajar membuat animasi, belajar software development, serta praktik merakit
Tak mengapa, lebih dari itu kami mulai terbata-bata berbahasa Inggris: good
this, good that, excuse me, I beg your pardon, dan I am fine thank you. Tugas yang
paling menyenangkan adalah belajar menerjemahkan lagu. Lagu lama Have I Told You
Lately That I Love Youternyata mengandung arti yang aduhai. Dengarlah lagu penuh
pesona cinta ini. Bermacam-macam vokalis kelas satu telah membawakannya termasuk
pria midlandbersuara serak: Mr. Rod Stewart. Tapi sedapat mungkin dengarlah versi
Kenny Rogers dalam album Vote For Love Volume 1. Lagu cantik itu ada di trek
Syair lagu itu kira-kira bercerita tentang seorang anak muda yang benci sekali
jika disuruh gurunya membeli kapur tulis, sampai pada suatu hari ketika ia berangkat
dengan jengkel untuk membeli kapur tersebut, tanpa disadarinya, nasib telah
menunggunya di pasar ikan dan menyergapnya tanpa ampun.
Membeli kapur adalah salah satu tugas kelas yang paling tidak menyenangkan.
Pekerjaan lain yang amat kami benci adalah menyiram bunga. Beragam familia pakis
mulai dari kembang tanduk rusa sampai puluhan pot suplir kesayangan Bu Mus serta
rupa-rupa kaktus topi uskup, Parodia, dan Mammillariaharus diperlakukan dengan
sopan seperti porselen mahal dari Tiongkok. Belum lagi deretan panjang pot amarilis,
kalimatis, azalea, nanas sabrang, Calathea, Stromanthe, Abutilon, kalmus, damar
kamar, dan anggrek Dendrobiumdengan berbagai variannya. Berlaku semena-mena
terhadap bunga-bunga ini merupakan pelanggaran serius.
“Ini adalah bagian dari pendidikan!” pesan Bu Mus serius.
Masalahnya adalah mengambil air dari dalam sumur di belakang sekolah
merupakan pekerjaan kuli kasar. Selain harus mengisi penuh dua buah kaleng cat 15
kilogram dan pontang-panting memikulnya, sumur tua yang angker itu sangat
mengerikan. Sumur itu hitam, berlumut, gelap, dan menakutkan. Diameternya kecil,
dasarnya tak kelihatan saking dalamnya, seolah tersambung ke dunia lain, ke sarang
makhluk jadi-jadian. Beban hidup terasa berat sekali jika pagi-pagi sekali harus
menimba air dan menunduk ke dalam sumur itu.
Hanya ketika menyirami bunga stripped canna beautyaku merasa sedikit
terhibur. Ah, indahnya bunga yang semula tumbuh liar di bukit-bukit lembap di Brazil
ini. Masih dalam familia Apocynaceae maka agak sedikit mirip dengan alamanda tapi
strip-strip putih pada bunganya yang berwarna kuning adalah daya tarik tersendiri yang
tak dimiliki jenis cannalain. Daun hijaunya yang menjulur gemuk-gemuk kontras
dengan gradasi warna kuntum bunga sepanjang musim, menghadirkan pesona
keindahan purba. Orang Parsi menyebutnya bunga surga. Jika ia merekah maka dunia
tersenyum. Ia adalah bunga yang emosional, maka menyiramnya harus berhati-hati.
Tidak semua orang dapat menumbuhkannya. Konon hanya mereka yang bertangan
dingin, berhati lembut putih bersih yang mampu membiakkannya, ialah Bu Muslimah,
Kami memiliki beberapa pot stripped canna beautydan sepakat
menempatkannya pada posisi yang terhormat di antara tanaman-tanaman kerdil nan
cantik Peperomia, daun picisan, sekulen, dan Ardisia. Ketika tiba musim bersemi
bersamaan, maka tersaji sebuah pemandangan seperti kue lapis di dalam nampan.
Aku selalu tergesa-gesa menyirami bunga biar tugas itu cepat selesai, namun
jika tiba pada bagian cannaitu dan para tetangganya tadi, aku berusaha setenangtenangnya.
Aku menikmati suatu lamunan, menduga-duga apa yang dibayangkan orang
jika berada di tengah-tengah surga kecil ini. Apakah mereka merasa sedang berada di
Aku melihat sekeliling kebun bunga kecil kami. Letaknya persis di depan kantor
kepala sekolah. Ada jalan kecil dari batu-batu persegi empat menuju kebun ini. Di sisi
kiri kanan jalan itu melimpah ruah Monstera, Nolina, Violces, kacang polong, cemara
udang, keladi, begonia, dan aster yang tumbuh tinggi-tinggi serta tak perlu disiram.
Bunga-bunga ini tak teratur, kaya raya akan nektar, berdesak-desakan dengan bunga
berwarna menyala yang tak dikenal, bermacam-macam rumput liar, kerasak, dan semak
Secara umum kebun bunga kami mengensankan taman yang dirawat sekaligus
kebun yang tak terpelihara, dan hal ini justru secara tak sengaja menghadirkan paduan
yang menarik hati. Latar belakang kebun itu adalah sekolah kami yang doyong, seperti
bangunan kosong tak dihuni yang dilupakan zaman. Semuanya memperkuat kesan
sebuah paradiso liar, keeksotisan tropika.
Lalu erambat pada tiang lonceng adalah dahan jalar labu air. Seperti tangan
raksasa ia menggerayangi dinding papan pelepak sekolah kami, tak terbendung
menujangkau-jangkau atap sirap yang terlepas dari pakunya. Sebagian dahannya
merambati pohon jambu mawar dan dlima yang meneduhi atap kantor itu. Cabangcabang
buah muda labu air terkulai di depan jendela kantor sehingga dapat dijangkau
tangan. Burung-burugn gelatik rajin bergelantungan di situ. Sepanjang pagi tempat itu
riuh rendah oleh suara kumbang dan lebah madu. Jika aku memusatkan pendengaran
pada dengungan ribuan lebah madu itu, lama-kelamaan tubuhku seakan kehilangan
daya berat, mengapung di udara. Itulah kebun sekolah muhammadiyah, indah dalam
ketidakteraturan, seperti lukisan Kandinsky. Kalau bukan gara-gara sumur sarang jin
yang horor itu, pekerjaan menyiram bunga seharusnya bisa menjadi tugas yang
Namun, tugas memebli kapur adalah pekerjaan yang jauh lebih horor. Toko
Sinar Harapan, pemasok kapur satu-satunya di Belitong Timur, amat jauh letaknya.
Sesampainya di sana—di sebuah toko yang sesak di kawasan kumuh pasar ikan yang
becek—jika perut tidak kuat, siapa pun akan muntah karena bau lobak asin, tauco,
kanji, kerupuk udang, ikan teri, asam jawa, air tahu, terasi, kembang kol, pedak cumi,
jengkol, dan kacang merah yang ditelantarkan di dalam baskom-baskom karatan di
Jika berani masuk ke dalam toko, bau itu akan bercampur dengan bau plastik
bungkus mainan anak-anak, aroma kapur barus yang membuat mata berair, bau cat
minyak, bau gaharu, bau sabun colek, bau obat nyamuk, bau ban dalam sepeda yang
bergelantungan di sembarang tempat di seantero toko, dan bau tembakau lapuk di atas
rak-rak besi yang telah bertahun-tahun tak laku dijual.
Dagangan yang tak laku ini tidak dibuang karena pemiliknya menderita suatu
gejala psikologis yang disebut hoarding, sakit gila no. 28, yaitu hobi aneh
mengumpulkan barang-barang rongsokan tak berguna tapi sayang dibuang. Seluruh
akumulasi bau tengik itu masih ditambah lagi dengan aroma keringat kuli-kuli panggul
yang petantang-petenteng membawa gancu, ingar-bingar dengan bahasanya sendiri, dan
lalu-lalang seenaknya memanggul karung tepung terigu.
Belum seberapa, pusat bau busuk yang sesungguhnya berada di los pasar ikan
yang bersebelahan langsung dengan Toko Sinar Harapan. Di sini ikan hiu dan pari
dsangkutkan pada cantolan paku dengan cara menusukkan banar mulai dari insang
sampai ke mulut binatang malang itu, sebuah pemandangan yang mengerikan. Bau amis
darah menyebar ke seluruh sudut pasar. Perut-perut ikan dibiarkan bertumpuk-tumpuk
di sepanjang meja, berjejal tumpah berserakan di lantai yang tak pernah dibersihkan.
Dan bau yang paling parah berasal dari makhluk-makhluk laut hampir busuk yang
disimpan dalam peti-peti terbuka dengan es seadanya.
Pagi itu giliran aku dan Syahdan berangkat ke toko bobrok itu. Kami naik
sepeda dan membuat perjanjian yang bersungguh-sungguh, bahwa saat berangkat ia
akan memboncengku. Ia akan mengayuh sepeda setengah jalan sampai ke sebuh
kuburan Tionghoa. Lalu aku akan menggantikannya mengayuh sampai ke pasar. Nanti
pulangnya berlaku atruan yagn sama. Suatu pengaturan tidak masuk akal yang dibuat
oleh orang-orang frustrasi. Ditambah lagi satu syarat cerewt lainnya, yaitu setiap jalan
menanjak kami harus turun dari sepeda lalu sepeda dituntun bergantian dengan umlah
langkah yang diperhitungkan secara teliti.
Tubuh Syahdan yang kecil terlonjak-lonjak di atas batang sepeda laki punya Pak
Harfan saat ia bersusah payah mengayuh pedal. Sepeda itu terlalu besar untuknya
sehingga tampak seperti kendaraana yang tak bisa ia kuasai, apalagi dibebani tubuhku
di tempat duduk belakang. Namun, ia bertekad terus mengayuh sekuat tenaga. Siapa
pun yang melihat pemandangan itu pasti prihatin sekaligus tertawa. Tapi suasana hatiku
sedang tidak peka untuk segala bentuk komedi. Aku duduk di belakang, tak acuh pada
“Turun dulu, tuan raja ...,” Syahdan menggodaku ketika sepeda kami menanjak.
Ia ngos-ngosan, tapi tersenyum lebar dan membungkuk laksana seorangp enjilat.
Syahdan selalu riang menerima tugas apa pun, termasuk menyiram bunga, asalkan
dirinya dapat menghindarkan diri dari pelajaran di kelas. Baginya acara pembelian
kapur ini adalah vakansi kecil-kecilan sambil melihat beragam kegiatan di pasar dan
kesempatan mengobrol dengan beberapa wanita muda pujaannya. Aku turun dengan
malas, dingin, tak tertarik dengan kelakarnya, dan tak punya waktu untuk bertoleransi
pada penderitaan pria kecil ini.
Kami sampai di sebuah Toapekong. Di depannya ada bangunan rendah
berbentuk seperti kue bulan dan di tengah bangunan itu tertempel foto hitam putih
wajah serius seorang nyonya yang disimpan dalam bidang yang ditutupi kaca. Lelehan
lilin merah berserakan di sekitarnya. Itulah kuburan yang kumaksud taid dalam
perjanjian kami, maka tibalah giliranku mengayuh sepeda.
Aku naiki sepeda itu tanpa selera, setengah hati, dan sejak gelindingan roda
yang pertama aku sudah memarahi diriku sendiri, menyesali tugas ini, toko busuk itu,
dan pengaturan bodoh yang kami baut. Aku menggerutu karena rantai sepeda reyot itu
terlalu kencang sehingga berat untuk aku mengayuhnya. Aku juga mengeluh karena
hukum yang tak pernah memihak orang kecil: sadel yang terlalu tinggi, parak oruptor
yang bebas berkeliaran seperti ayam hutan, Syahdan yang berat meskipun badannya
kecil, dunia yang tak pernah adil, dan baut dinamo sepeda yangl onggar sehingga girnya
menempel di ban akibatnya semakin berat mengayuhnya dan menyalakan lampu
sepeda di siang bolong ini persis kendaraan pembawa jenazah.
Syahdan duduk dengan penuh nikmat di tempat duduk belakang sambil
menyiul-nyiulkan lagu Semalam di Malaysia. Ia tak ambil pusing mendegar ocehanku,
peluh hampir masuk ke dalam kelopak matanya tapi wajahnya riang gembira tak alang
Lalu kami memasuki wilayah bangunan permanen yang berderet-deret,
berhadapan satu sama lain hampir beradu atap. Inilah jejeran toko kelontong dengan
konsep menjual semua jenis barang. Sepeda kami meliuk-liuk di antara truk-truk
raksasa yang diparkir seenaknya di depan warung-warung kopi. Di sana hiruk pikuk
para karyawan rendahan PN Timah, pengangguran, bromocorah, pensiunan, pemulung
besi, polisi pamong praja, kuli panggul, sopir mobil omprengan, para penjaga malam,
dan pegawai negeri. Pembicaraan mereka selalu seru, tapi selalu tentang satu topik,
yaitu memaki-maki pemerintah.
Setelah deretan warung kopi lalu berdiri hitam berminyak-minyak beberapa
bengkel sepeda dan tenda-tenda pedagang kaki lima. Kelompok ini berada di sela-sela
mobil omprengan dan para pedagang dadakan dari kampung yang menjual berbagai
hasil bumi dalam keranjang-keranjang pempang. Pedagang kampung ini menjual
beragam jenis rebung, umbi-umbian, pinang, sirih, kayu bakar, madu pahit, jeruk nipis,
gaharu, dan pelanduk yang telah diasap. Bagian akhirp asar ini adalah meja-meja tua
panjang, parit-parit kecil yang mampet, dan tong-tong besar untuk menampung jeroan
ikan, sapi, dan ayam. Baunya membuat perut mual. Inilah pasar ikan.
Pasar ini sengaja ditempatkan di tepi seungai dengan maksud seluruh
limbahnya, termasuk limbah pasar ikan, dapat dengan mudah dilungsurkan ke sungai.
Tapi pasar ini berada di dataran rendah. Akibatnya jika laut pasang tinggi sungai akan
menghanyutkan kembali gunungan sampah organik itu menuju lorong-lorong sempit
pasar. Lalu ketika air surut sampah itu tersangkut pada kaki-kaki meja, tumpukan
kaleng, pagar-pagar yang telah patah, pangkal-pangkal pohon seri, dan tiang-tiang kayu
yang centang perenang. Demikianlah pasar kami, hasil karya perencanaan kota yang
canggih dari para arsitek Melayu yang paling kampungan. Tidak dekaden tapi kacau
Toko Sinar Harapan terletak sangat strategis di tengah pusaran bau busuk. Ia
berada di antara para pedagang kaki lima, bengkel sepeda, mobil-mobil omprengan, dan
Pembelian sekotak kapur adalah transaksi yang tak penting sehingga pembelinya
harus menunggu sampai juragan toko selesai melayani sekelompok pria dan wanita
yang menutup kepalanya dengan sarung dan berpakaian dengan dominasi warna
kuning, hijau, dan merah. Di sekujur tubuh wanita-wanita ini bertaburan perhiasan
emas—asli maupun imitasi, perak, dan kuningan yang sangat mencolok.
Mereka tidak tertarik untuk berbasa-basi dengan orang-orang Melayu di
sekelilingnya. Mereka hanya berbicara sesama mereka sendiri atau sedikit bicara
dengan Bang Sad atau “bangsat”. Itulah panggilan untuk Bang Arsyad, orang Melayu,
tangan kanan A Miauw sang juragan Toko Sinar Harapan, karena kadang-kadang tabiat
Bang Sad tak jauh dari namanya. Pria-pria bersarung ini berbicara sangat cepat dengan
nada yang beresklasi harmonis naik turun dalam bandyang lebar, maka akan terdengar
persis pola akumulatif suara ombak menghempas pantai, suatu lingua yang sangat
A Miauw sendiri adalah sesosok teror. Pira yang sok mendapat hoki ini sangat
berlagak bagai bos. Tubuhnya gendut dan ia selalu memakai kaus kutang, celana
pendek, dan sandal jepit. Di tangannya tak pernah lepas sebuah buku kecil panjang
bersampul otif batik, buku utang. Pensil terselip di daun telinganya yang berdaging
seperti bakso dan di atas mejanya ada sempoa besar yang jika dimainkan bunyinya
mampu merisaukan pikiran.
Tokoknya lebih cocok jika disebut gudang rabat. Ratusan jenis barang
bertumpuk-tumpuk mencapai plafon di dalam ruangan kecil yang sesak. Selain berbagai
jenis sayur, buah, dan makanan di dalma baskom-baskom karatan tadi, toko ini juga
menjual sajadah, asinan kedondong dalma stopelas-stoples tua, pita mesin tik, dan cat
besi dengan bonus kalender wanita berpakaian seadanya.Di dalam sebuah bufet kaca
panjang dipajang bedak kerang pemutih wajah murahan, tawas, mercon, peluru senapan
angin, racun tikus, kembang api, dan antena TV. Jika kita terburu-buru membeli obat
diare cap kupu-kupu, maka jangan harap A Miauw dapat segera menemukannya.
Kadang-kadang ia sendiri tak tahu di mana puyer itu disimpan. Ia seperti tertimbun
dagangan dan tenggelam di tengah pusaran barang-barang kelontong.
A Miauw memanggil tak sabar, dan Bang Sad tergopoh-gopoh menghampirinya.
“ Magai di Manggara masempo linna?”
Orang-orang bersarung keberatan ketika mengamati harga kaus lampu
petromaks. Di Manggar lebih murah kata mereka.
“ Kito lui, ba? Ngape de Manggar harge e lebe mura?”
Bang Sad menyampaikan keluhan itu pada juragannya dalam bahasa Kek
Aku sudah muak di dalam toko bau ini tapi sedikit terhibur dengan percakapan
tersebut. Aku baru saja menyaksikan bagaimana kompleksitas perbedaan budaya dalam
komunitas kami didemonstrasikan. Tiga orang pria dari akar etnik yang sama sekali
berbeda berkomunikasi dengan tiga macam bahasa ibu masing-masing, campur aduk.
Orang-orang yang berjiwa penuh prasangka akan menduga A Miauw sengaja
merekayasa konfigurasi komunikasi seperti itu untuk keuntungannya sendiri, namun
mari kugambarkan sedikit kepribadian A Miauw. Ia memang pria congkak dengan
intonasi bicara tak enak didengar, wajahnya juga seperti orang yang selalu ingin
memerintah, kata-katanya tidak bersahabat, dan badannya bau tengik bawang putih,
tapi ia adalah seorang Kong Hu Cu yang taat dan dalam hal berniaga ia jujur tak ada
Maka dalam harmoni masyarakat kami, warga Tionghoa adalah pedagang yang
efisien. Adapun para produsen berada di negeri antah berantah, mereka hanya kami
kenal melalui tulisan made in... yang tertera di buntut-buntut panci. Orang-orang
Melayu adalah kaum konsumen yang semakin miskin justru semakin konsumtif.
Sedangkan orang-orang pulau berkerudung tadi adalah para pembuka lapangan kerja
musiman bagi warga suku Sawang yang memanggil belanjaan mereka.
“ Segere! Siun! Siun!” hardik tiga orang Sawang, kuli panggul, yang numpang
lewat, membyuarkan lamunanku. Mereka adalah kawan yang telah lama kukenal.
Dolen, Baset, dan Kunyit, begitulah nama mereka. Agaknya urusan A Miauw dengan
orang-orang berkerudung itu telah selesai dan sekarang masuklah ia ke transaksi kapur.
“Aya...ya..., Muhammadiyah! Kapur tulis!” keluh A Miauw menarik napas
panjang, seolah kami hanya akan merusak hokinya.
Acara pembelian kapur adalah rutin dan sama. Setelah menunggu sekian lama
sampai hampir pingsan di dalam toko bau itu, A Miauw akan berteriak nyaring
memerintahkan seseorang mengambil sekotak kapur. Lalu dari ruang belakang akan
terdengar teriakan jawaban dari seseorang—yang selalu kuduga seorang gadis kecil—
yang juga berbicara nyaring, lantang, dan cepat seperti kicauan burung murai batu.
Kotak kapur dikeluarkan melalui sebuah lubang kecil persegi empat seperti
kandang burung merpati. Yang terlihat hanya sebuah tangan halus, sebelah kanan, yang
sangat putih bersih, menjulurkan kotak kapur melalui lubang itu. Wajah pemilik tangan
ini adlaah misterius, sang burung murai batu tadi, tersembunyi di balik dinding papan
yang membatasi ruangan tengah toko dengan gudang barang dagangan di belakang.
Sang misteri ini tidak pernah bicara sepatah kata pun padaku. Ia menjulurkan kotak
kapur dengan tergesa-gesa dan menarik tangannya cepat-cepat seperti orang
mengumpankan daging ke kandang macan. Demikianlah berlangsung bertahun-tahun,
prosedurnya tetap, itu-itu saja, tak berubah.
Jika tangannya menjulur tak kulihat ada cincin di jari-jemarinya yang lentik,
halus, panjang-panjang, dan ramping, namun siuk a, gelang giok indah berwarna hijau
tampak berkarakter dan melingkar garang pada pergelangan tangannya yang ditumbuhi
bulu-bulu halus. Dalam hatiku, jika kau berani macam-macam pastilah jemarinya
secepat patukan bangau menusuk kedua bola mataku dengan gerakan kuntau yang tak
terlihat. Mungkin pula gelang giok yang selalu membuatku segan itu diwarisinya dari
kakeknya, seorang suhu sakti, yang mendapatkan gelang itu dari mulut seekor naga
setelah naga itu dibinasaan dalam pertarunagan dahsyat untuk merebut hati neneknya.
Ah! Kiranya aku terlalu banyak nonton film shaolin.
Namun, tahukah Anda? Di balik kesan yang garang itu, di ujung jari-jemari
lentik si misterius ini tertanam paras-paras kuku nan indah luar biasa, terawat amat
baik, dan sangat memesona, jauh lebih memesona dibanding gelang giok tadi. Tak
pernah kulihat kuku orang Melayu seindah itu, apalagi kuku orang Sawang. Ia tak
pernah memakai kuteks. Aliran urat-urat halus berwarna merah tersembunyi samarsamar
di dalam kukunya yang saking halus dan putihnya sampai tampak transparan.
Ujung-ujung kuku itu dipotong dengan presisi yang mengagumkan dalam bentuk
seperti bulan sabit sehingga membentuk harmoni pada kelima jarinya.
Permukaan kulit di seputar kukunya sangat rapi, menandakan perawtan intensif
dengan merendamnya lama-lama di dalam bejana yang berisi air hangat dan pucukpucuk
daun kenanga. Ketika memanjang, kuku-kuku itu bergerak maju ke depan
dengan bentuk menunduk dan menguncup, semakin indah seperti batu-batu kecubung
dari Martapura, atau lebih tepatnya seperti batu kinyang air muda kebiru-biruan yang
tersembunyi di kedalaman dasar Sungai Mirang. Amat berbeda dengan kuku Sahar
yang jika memanjang ia akan melebar dan makin lama semakin menganga, persis
Dan yang tercantik dari yang paling cantik adalah kuku jari manisnya. Ia
memperlihatkan seni perawatan kuku tingkat itnggi melalui potongan pendek natural
dengan tepian kuku berwarna kulit yang klasik. Tak berlebihan jika kukatakan bahwa
paras kuku jari manis nona misterius ini laksana batu merah delima yang terindah di
antara tumpukan harta karun raja brana yang tak ternilai harganya.
Aku sudah terlalu sering mendapatkan tugas membeli kapur yang
menjengkelkan ini, sudah puluhan kali. Satu-satunya penghiburan dari tugas horor ini
adalah kesempatan menyaksikan sekilas kuku-kuku itu lalu menertawakan bagaimana
kontrasnya kuku-kuku zamrud khatulistiwa tersebut dibanding potongan-potongan kecil
terasi busuk di seantero toko bobrok ini. Karena terlalu sering, aku jadi hafal jadwal si
nona misterius memotong kukunya setiap hari Jumat, lima minggu sekali.
Demikianlah berlangsung selama beberapa tahun. Aku tak pernah seklai pun
melihat wajah non aini dan ia pun sama sekali tak berminat melihat bagaimana rupaku.
Bahkan setiap kuucapkan kamsia setelah kuterima kotak kapurnya, ia juga tidak
menjawab. Diam seribu bahasa. Non penuh rahasia ini seperti pengejawantahan
makhluk asing dari negeri antah berantah, dan ia dengan sangat konsisten menjaga
jarak denganku. Tidak ada basa basi, tak ada ngobrol-ngobrol, tak ada buang-buang
waktu untuk soal remeh-temeh, yang ada hanya bisnis!
Kadangkala aku penasaran ingin melihat bagaimana wajah pemilik kuku-kuku
nirwana itu. Apakah wajahnya seindah kuku-kukunya? Apakah jari-jari tangan kirinya
seindah jari-jari tangan kanannya? Atau ... apakah dia Cuma punya satu tangan?
Jangan-jangan dia tidak punya wajah! Tapi semua pikiran itu hanya di dalam hatiku
saja. Tak ada niat sedikit pun untuk mengintip wajahnya. Mendapat kesempatan
memandangi kuku-kukunya saja pun cukuplah untuk membuatku bahagia. Kawan, aku
tidak termasuk dalam golongan pria-pria yang kurang ajar.
Biasanya setelah mengambil kapur, ikami langsung pulang, A Miauw akan
mencatat di buku utang dan nanti akan dilunasi Pak Harfan setiap akhir bulan. Kami tak
berurusan dengan masalah keuangan, dan ketika kami berlalu, si juragan itu tak sedikit
pun melirik kami. Ia menjentikkan dengan keras biji-biji sempoe seolah mengingatkan
“Utang kalian sudah menumpuk!”
Bagi A Miauw kami adalah pelanggan yang tidak menguntungkan, alias hanya
merepotkan saja. Kalau sekali-kali Syahdan mendekatinya untuk meminjam pompa
sepeda, ia akan meminjamkan pompa itu sambil mengomel meledak-ledak. Aku benci
sekali melihat kaus kutangnya itu.
Sekarang sudah hampir tengah hari, udara s emakin panas. Berada di tengah
toko ini serasa direbus dalam panci sayur lodeh yang mendidih. Cuaca mendung tapi
gerahnya tak terkira. Aku sudah tak tahan dan mau muntah. Untungnya A Miauw,
seperti biasa, menjerit memerintahkan nona misterius agar menjulurkan kapur di kotak
merpati. Dengan pandangan matanya yang sok kuasa A Miauw memberiku isyarat
untuk mengambil kapur itu.
Aku berjalan cepat melintas iakrung-karung bawang putih tengik sambil
menutup hidung. Aku bergegas agar tugas penuh siksaan ini segera selesai. Namun,
tinggal beberapa langkah mencapai kotak merpati sekejap angin semilir yang sejuk
berembus meniup telingaku—hanya sekejap saja. Saat itu tak kusadari bahwa sang
nasib yang gaib menyelinap ke dalam toko bobrok itu, mengepungku, dan menyergapku
tanpa ampun, karena tepat pada momen itu kudengar si nona berteriak keras
Bersamaan dengan teriakan itu terdengar suara puluhan batangan kapur jatuh di
Rupanya si kuku cantik sembrono sehingga ia menjatuhkan kotak kapur
sebelum aku sempat mengambilnya. Maka kapur-kapur itu sekarang berserakan di
Agaknya aku harus merangkak-rangkak, memunguti kapur-kapur itu di sela-sela
karung buah kemiri, meskipun kulitnya telah dikelupas, tapi buahnya masih basah
sehingga berbau memusingkan kepala. Kuperlukan bantuan Syahdan, namun kulihat ia
sedang berbicara dengan putri tukang hok lo panatau martabak terang bulan seperti
orang menceritakan dirinya sedang banyak uang karena baru saja selesai menjual 15
ekor sapi. Aku tak mau mengganggu saat-saat gombalnya itu.
Maka apa boleh buat, kupunguti susah payah kapur-kapur itu. Sebagian kapur
itu jatuh di bawah daun pintu terbuka yang dibatasi oleh tirai yang amat rapat, terbuat
dari rangkaian keong-keong kecil. Aku tahu di balik tirai itu, sang nona itu juga
memunguti kapur karena kudengar gerutuannya.
“Haiyaaa ... haiyaaa ....”
Ketika aku sampai pada kapur-kapur yang berserakan persis di bawah tirai itu,
hatiku berkata pasti nona ini akan segera menutup pintu agar aku tidak punya
kesempatan sedikit pun untuk melihat dia lebih dari melihat kukunya, namun yang
terjadi kemudian sungguh di luar dugaan. Kejadiannya sangat mengejutkan, karena
amat cepat, tanpa disangka sama sekali, si nona misterius justru tiba-tiba membuka tirai
dan tindakan cerobohnya itu membuat wajah kami sama-sama terperanjat hampir
bersentuhan!!! Kami beradu pandang dekat sekali ... dan suasana seketika menjadi
hening .... Mata kami bertatapan dengan perasaan yang tak dapat kulukiskan dengan
kata-kata. Kapur-kapur yang telah ia kumpulkan terlepas dari genggamannya, jatuh
berserakan, sedangkan kapur-kapur yang ada di genggamanku terasa dingin membeku
seperti aku sedang mencengkeram batangan-batangan es lilin.
Saat itu kau merasa jarum detik seluruh jam yang ada dunia ini berhenti
berdetak. Semua gerakan alam tersentak diam dipotret Tuhan dengan kamera raksasa
dari langit, blitz-nya membutakan, flash!!! Menyilaukan dan membekukan. Aku terpana
dan merasa seperti melayang, mati suri, dan mau pingsan dalam ekstase. Aku tahu A
Miauw pasti sedang berteriak-teriak tapi aku tak mendengar sepatah kata pun dan aku
tahu persis bau busuk toko itu semkin menjadi-jadi dalam udara pengap di bawah atap
seng, tapi pancaindraku telah mati. Aliran darah di sekujur tubuhku menjadi dingin,
jantungku berhenti berdetak sebentar kemudian berdegup kencang sekali dengan ritme
yang kacau seperti kode morse yang meletup-letupkan pesan SOS. Lebih dari itu aku
menduga bahwa dia, si misterius berkuku seindah pelangi, yang tertegun seperti patung
persis di depan hidungku ini, agaknya juga dilanda perasaan yang sama.
“ Siun! Siun! Segere...!” teriak kuli-kuli Sawang, terdengar samar, menggema
jauh berulang-ulang seperti didengungkan di dalma gua yang panjang dan dalam,
mereka memintaku minggir.
Tapi kami berdua masih terpaku pandang tanpa mampu berkata apa pun, lidahku
terasa kelu, mulutku terkunci rapat—lebih tepatnya ternganga. Tak ada satu kata pun
yang dapat terlaksana. Aku tak sanggup beranjak. Wanita ini memiliki aura yang
melumpuhkan. Tatapan matanya itu mencengkeram hatiku.
Ia memiliki struktur wajah lonjong dengan air muka yang sangat menawan.
Hidungnya kecil dan bangir. Garis wajahnya tirus dengan tatapan mata kharismatik
menyejukkan seklaigus menguatkan hati, seperti tatapan wanita-wanita yang telah
menjadi ibu suri. Jika menerima nasihat dari wanita bermata semacam ini, semangat
pria mana pun akan berkobar.
Bajunya ketat dan bagus seperti akan berangkat kondangan, dengan dasar biru
dan motif kembang portlandicakecil-kecil berwarna hijau muda menyala. Kerah baju
itu memiliki kancing sebesar jari kelingking, tinggi sampai ke leher, merefleksikan
keanggunan seorang wanita yang menjaga integritasnya dengan keras. Alisnya indah
alami dan jarak antara alis dengan batas rambut di keningnya membentuk proporsi yang
cantik memesona. Ia adalah lukisan Monalisa yang ditenggelamkan dalam danau yang
dangkal dan dipandangi melalui terang cahaya bulan.
Seperti kebanyakan ras Mongoloid, tulang pipinya tidak menonjol, tapi bidang
wajahnya, bangun bahunya, jenjang lehernya, potongan rambutnya, dan jatuh dagunya
yang elegan menciptakan keseluruhan kesan dirinya benar-benar mirip Michelle Yeoh,
bintang film Malaysia yang cantik itu. Maka terkuaklah rahasia yang tertutup rapi
selama bertahun-tahun. Sang pemilik kuku-kuku indah itu ternyata seorang wanita
muda cantik jelita dengan aura yang tak dapat dilukiskan dengan cara apa pun.
Kejadian ini membaut pipinya yang putih bersih tiba-tiba memerah dan matanya
yang sipit bening seperti ingin menghamburkan air mata. Aku tahu bahwa selain sejuta
perasaan tadi yang mungkin sama-sama melanda kami, ia juga merasakan malu tak
terkira. Ia bangkit dengan cepat dan membanting pintu tanpa ampun. Ia tak peduli
dengan kapur-kapur itu dan tak peduli padaku yang masih hilang dalam tempat dan
Suara keras bantingan pintu itu membuatku siuman dari sebuah pesona yang
memabukkan dan menyadarkan aku bahwa aku telah jatuh cinta. Aku limbung,
kepalaku pening dan pandangan mataku berkunang-kunang karena syok berat.
Beberapa waktu berlalu aku masih terduduk terbengong-bengong bertumpu di atas
lututku yang gemetar. Aku mencoba mengatur napas dan darahku berdesir menyelusuri
seluruh tubuhku yang berkeringat dingin. Aku baru saja dihantam secara dahsyat oleh
cinta pertama pada pandangan yang paling pertama. Sebuah perasaan hebat luar biasa
yang mungkin dirasakan manusia.
Aku berupaya keras bangun dan ketika aku menoleh ke belakang, orang-orang
di sekelilingku, Syahdan yang menghampiriku, A Miauw yang menunjuk-nunjuk,
orang-orang bersarung yang pergi beriringan, dan kuli-kuli Sawang yang terhuyunghuyung
karena beban pikulannya, mereka semuanya, seolah bergerak seperti dalam
slow motion, demikian indah, demikian anggun. Bahkan para uli panggul yang
memilikul karung jengkol tiba-tiba bergerak penuh wibawa, santun, lembut, dan
berseni, seolah mereka sedang memperagakan busana Armani yang sangat mahal di
Aku tak peduli lagi dengan kotak kapur yang isinya tinggal setengah. Aku
berbalik meninggalkan toko dan merasa kehilangan seluruh bobot tubuh dan beban
hidupku. Langkahku ringan laksana orang suci yang mampu berjalan di atas air. A ku
menghampiri sepeda reyot Pak Harfan yang sekarang terlihat seperti sepeda keranjang
baru. Aku dihinggapi semacam perasasaan bahagia yang aneh, sebuah rasa bahagia
bentuk lain yang belum pernah kualami sebelumnya. Rasa bahagia ini melebihi ketika
aku mendapat hadiah radio transistor 2- banddari ibuku sebagai upah mau disunat
Ketika mempersiapkan sepeda untuk pulang, aku mencuri pandang ke dalam
toko. Kulihat dengan jelas Michele Yeoh mengintipku dari balik tirai keong itu. Ia
berlindung, tapi sama sekali tak menyembunyikan persaaannya. Aku kembali melayang
menembus bintang gemerlapan, menari-nari di atas awan, menyanyikan lagu nostalgia
Have I Told You Lately That I Love You. Aku menoleh lagi ke belakang, di situ, di
antara tumpukan kemiri basah yang tengik, kaleng-kaleng minyak tanah, dan karungkarung
pedak cumi aku telah menemukan cinta.
Kutatap Syahdan dengan senyum terbaik yang aku memiliki—ia membalas
dengan pandangan aneh—lalu kuangkat tubuhnya yang ekcil untuk mendudukkannya di
atas sepeda. Aku ingin, degnan gemira, mengayuh sepeda itu, membonceng Syahdan,
mengantarnya ke tempat-tempat di mana saja di jagad raya ini yang ia inginkan. Oh,
inilah rupanya yang disebut mabuk kepayang!
Dalam perjalanan pulang aku dengan sengaja melanggar perjanjian. Setelah
kuburan Tionghoa aku tak meminta Syahdan menggantikanku. Karena aku sedang
bersukacita. Seluruh energi positif kosmis telah memberiku kekuatan ajaib. Semua
terasa adil kalau sedang jatuh cinta. Cinta memang sering membuat perhitungan
menjadi kacau. Sepanjang perjalanan aku bersiul dengan lagu yang tak jelas. Lagu
tanpa harmoni; lagu yang belum pernah tercipta, karena yang menyanyi bukan mulutku,
tapi hatiku. Jika sedang tak bersiul di telingaku tak henti-henti berkumandang lagu All I
Seusai pelajarn aku dan Syahdan dipanggil Bu Mus untuk
mempertanggungjawabkan kapur yang kurang. Aku diam meatung, tak mau berdusta,
tak mau menjawab apa pun yang ditanyakan, dan tak mau membantah apa pun yang
dituduhkan. Aku siap menerima hukuman seberat apa pun—termasuk jikalau harus
mengambil ember yang kemarin dijatuhkan Trapani di sumur horor itu. Saat itu yang
ada di pikiranku hanyalah Michele Yeoh, Michele Yeoh, dan Michele Yeoh, serta
detik-detik ketika cinta menyergapku tadi. Hukuman yang kejam hanya akan
menambah sentimentil suasana romantis di mana aku rela masuk sumur maut dunia lain
sebagai pahlawan cinta pertama .... Ah! Cinta ...
Benar saja hukumannya seperti kuduga. Sebelum turun ke dalam sumur sempat
kulihat Bu Mus menginterogasi Syahdan yang mengangkat-angkat bahunya yang kecil,
menggeleng-gelengkan kepalanya, dan menyilangkan jarinya di kening.
“Hari! Ia menuduhku sudah sinting ...?”
BARU kali ini Mahar menjadi penata artistik karnaval, dan karnaval ini tidak main-main,
inilah peristiwa besar yang sangat penting, karnaval 17 Agustus. Sebenarnya guru-guru
kami agak pesimis karena alasan klasik, yaitu biaya. Kami demikian miskin sehingga tak
pernah punya cukup dana untuik membuat karnaval yang representatif. Para guru juga
merasa malu karena parade kami kumuh dan itu-itu saja. Namun, ada sedikit harapan
tahun ini. Harapan itu adalah Mahar.
Karnaval 17 Agustus sangat potensial untuk meningkatkan gengsi sekolah, sebab
ada penilaian serius di sana. Ada kategori busana terbaik, parade paling megah, peserta
paling serasi, dan yang paling bergengsi: penampil seni terbaik. Gengsi ini juga tak
terlepas dari integritas para juri yang dipimpin oleh seorang seniman senior yang sudah
kondang, Mbah Suro namanya. Mbah Suro adalah orang Jawa, ia seniman Yogyakarta
yang hijrah ke Belitong karena idealisme berkeseniannya. Karena sangat idelais maka
tentu saja Mbah Suro juga sangat melarat.
Seperti telah diduga siapa pun, seluruh kategori—mulai dari juara pertama sampai
juara harapan ketiga—selalu diborong sekolah PN. Kadang-kadang sekolah negeri
mendapat satu dua sisa juara harapan. Sekolah kampung tak pernah mendapat
penghargaan apa pun karena memang tampil sangat apa adanya. Tak lebih dari
Sekolah-sekolah negeri mampu menyewa pakaian adat lengkap sehingga tampil
memesona. Sekolah-sekolah PN lebih keren lagi. Parade mereka berlapis-lapis, paling
panjang, dan selalu berada di posisi paling strategis. Barisan terdepan adalah puluhan
sepeda keranjang baru yang dihias berwarna-warni. Bukan hanya sepedanya,
pengendaranya pun dihias dengan pakaian lucu. Lonceng sepeda dibunyikan dengan
keras bersama-sama, sungguh semarak.
Pada lapisan kedua berjejer mobil-mobil hias yang dindandani berbentuk perahu,
pesawat terbang, helikopter, pesawat ulang alik Apollo, taman bunga, rumah adat
Melayu, bahkan kapal keruk. Di atas mobil-mobil ini berkeliaran putri-putri kecil
berpakaian putih bersih, bermahkota, dengan rok lebar seperti Cinderella. Putri-putri peri
ini membawa tongkat berujung bintang, melambai-lambaikan tangan pada para penonton
yang bersukacita dan melempar-lemparkan permen.
Setelah parade mobil hias muncullah barisan para profesional, yaitu para murid
yang berdandan sesuai dengan cita-cita mereka. Banyak di antara mereka yang berjubah
putih, berkacamata tebal, dan mengalungkan stetoskop. Tentulah anak-anak ini nanti jika
sudah besar ingin jadi dokter.
Ada juga para insinyur dengan pakaian overalldan berbagai alat, seperti test pen,
obeng ,dan berbagai jenis kunci. Beberapa siswa membawa buku-buku tebal, mikroskop,
dan teropong bintang karena ingin menjadi dosen, ilmuwan, dan astronom. Selebihnya
berseragam pilot, pramugari, tentara, kapten kapal, dan polisi, gagah sekali. Gurugurunya
—di bawah komando Ibu Frischa—tampak sangat bangga, mengawal di depan,
belakang, dan samping barisan, masing-masing membawa handy talky.
Setelah lapisan profesi tadi muncul lapisan penghibur yang menarik. Inilah
kelompok badut-badut, para pahlawan super seperti Superman, Batman, dan Captain
America. Balon-balon gas menyembul-nyembul dibawa oleh kurcaci dengan tali-tali
setinggi tiang telepon. Dalam barisan ini juga banyak peserta yang memakai baju
binatang, mereka menjadi kuda, laba-laba, ayam jago, atau ular-ular naga. Mereka
menari-nari raing dengan koreografi yang menarik. Mereka juga bernyanyi-nyanyi
sepanjang jalan, mendendangkan lagu anak-anak yang riang. Yang paling menponjol dari
penampilan kelompok ini adalah serombongan anak-anak yang berjalan-jalan memakai
engrang. Di antara mereka ada seorang anak perempuan dengan egrang paling tinggi
melintas dengan tangkas tanpa terlihat takut akan jatuh. Dialah Flo, dan dia melangkah ke
sana kemari sesuka hatinya tanpa aturan. Penata rombongan ini susah payah
menertibkannya tapi ia tak peduli. Ayah ibunya tergopoh-gopoh mengikutinya, berteriak-teriak
menyuruhnya berhati-hati, Flo berlari-lari kecil di atas egrang itu membuat kacau
Penutup barisan karnaval sekolah PN adalah barisan marching band. Bagian yang
paling aku sukai. Tiupan puluhan trambon laksana sangkakala hari kiamat dan dentuman
timpani menggetarkan dadaku. Marching bandsekolah PN memang bukan sembarangan.
Mereka disponsori sepenuhnya oleh PN Timah. Koreografer, penata busana, dan penata
musiknya didatangkan khusus dari Jakarta. Tidak kurang dari seratus lima puluh siswa
terlibat dalam marching bandini, termasuk para colour guardyang atraktif. Tanpa
marching bandsekolah PN, karnaval 17 Agustus akan kehilangan jiwanya.
Puncak penampilan parade karnaval sekolah PN adalah saat barisan panjang
marching bandmembentuk fomrasi dua kali putaran jajaran genjang sambil memberi
penghormatan di depan podium kehormatan. Dengan penataan musik, koregrafi, dan
busana yang demikian luar biasa, marching bandPN selalu menyabet juara pertama
untuk kategori yang paling bergengsi tadi, yaitu Penampil Seni Terbaik. Kategori ini
sangat menekankan konsep performing artdalam trofinya adalah idaman seluruh peserta.
Sudah belasan tahun terakhir, tak tergoyahkan, trofi tersebut terpajang abadi di lemari
prestisius lambang supremasi sekolah PN.
Podium kehormatan merupakan tempat terhormat yang ditempati makhlukmakhluk
terhormat, yaitu Kepala Wilayah Operasi PN Timah, sekretarisnya, seseorang
yang selalu membawa walky talky, beberapa pejabat tinggi PN Timah, Pak Camat, Pak
Lurah, Kapolsek, Komandan Kodim, para Kepala Desa, para tauke, Kepala Puskesmas,
para Kepala Dinas, Tuan Pos, Kepala Cabang Bank BRI, Kepala Suku Sawang, dan
kepala-kepala lainnya, beserta ibu. Podium ini berada di tengah-tengah pasar dan di
sanalah pusat penonton yang paling ramai. Masyarakat lebih suka menonton di dekat
podium daripada di pinggir-pinggir jalan, karena di podium para peserta diwajibkan
beraksi, menunjukkan kelebihan, dan mempertontonkan atraksi andalannya sambil
memberi penghormatan. Di sudut podium itulah bercokol Mbah Suro dan para juri yang
akan memberi penilaian.
Bagi sebagian warga Muhammadiyah, karnaval justru pengalaman yang kurang
menyenangkan, kalau tidak bisa dibilang traumatis. Karnaval kami hanya terdiri atas
serombongan anak kecil berbaris banjar tiga, dipimpin oleh dua orang siswa yang
membawa spanduk lambang Muhammadiyah yang terbuat dari kain belacu yang sudah
lusuh. Spanduk itu tergantung menyedihkan di antara dua buah bambu kuning seadanya.
Di belakangnya berbaris para siswa yang memakai sarung, kopiah, dan baju takwa.
Mereka melambangkan tokoh-tokoh Sarekat Islam dan pelopor Muhammadiyah tempo
Samson selalu berpakaian seperti penjaga pintu air. Tentu bukan karena setelah
besar ia ingin jadi penjaga pintu air seperti ayahnya, tapi hanya itulah kostum karnaval
yang ia punya. Sedangkan pakaian tetap Syahdan adalah pakaian nelayan, juga sesuai
dengan profesi ayahnya. Adapun A Kiong selalu mengenakan baju seperti juri kunci
penunggu gong sebuah perguruan shaolin.
Sebagian besar siswa memakai sepatu bot tinggi, baju kerja terusan, dan helm
pengaman. Pakaian ini juga milik orangtuanya. Mereka memperagakan diri sebagai buruh
kasar PN Timah. Beberapa orang yang tidak memiliki sepatu bot atau helm tetap nekat
berparade memakai baju terusan. Jika ditanya, mereka mengatakan bahwa mereka adalah
buruh timah yang sedang cuti.
Selebihnya memanggul setandan pisang, jagung, dan semanggar kelapa. Ada pula
yang membawa cangkul, pancing, beberapa jerat tradisional, radio, ubi kayu, tempat
sampah, dan gitar. Agar lebih dramatis Syahdan membawa sekarung pukat, Lintang
meniup-niup peluit karena ia wasit sepak bola, sementara aku dan Trapani berlari ke sana
kemari mengibas-ngibaskan bendera merah karena kami adalah hakim garis.
Beberapa siswa memikul kerangka besar tulang belulang ikan paus, membawa
tanduk rusa, membalut dirinya dengan kulit buaya, dan menuntun beruk peliharaan—tak
jelas apa maksudnya. Seorang siswa tampak berpakaian rapi, memakai sepatu hitam,
celana panjang warna gelap, ikat pinggang besar, baju putih lengan panjang dan
menenteng sebuah tas koper besar. Siswa ajaib ini adalah Harun. Tak jelas profesi apa
yang diwakilinya. Di mataku dia tampak seperti orang yang diusir mertua.
Demikianlah karnaval kami seetiap tahun. Tak melambangkan cita-cita. Mungkin
karena kami tak berani bercita-cita. Setiap siswa disarankan memakai pakaian profesi
orangtua karena kami tak punya biaya untuk membuat atau menyewa baju karnaval.
Semuanya adalah wakil profesi kaum marginal. Maka dalam hal ini Kucai juga
berpakaian rapi seperti Harun dan ia melambai-lambaikan sepucuk kartu pensiun kepada
para penonton sebab ayahnya adalah pensiunan. Sedangkan beberapa adik kelasku
terpaksa tidak bisa mengikuti karnaval karena ayahnya pengangguran.
Satu-satunya daya tarik karnaval kami adalah Mujis. Meskipun bukan murid
Muhammadiyah namun tukang semprot nyamuk ini selalu ingin ikut. Dengan dua buah
tabung seperti penyelam di punggungnya dan topeng yang berfungsi sebagai kacamata
dan penutup mulut seperti moncong babi, ia menyemprotkan asap tebal dan anak-anak
kecil yang menonton di pinggir jalan berduyun-duyun mengikutinya.
Jika melewati podium kehormatan, biasanya kami berjalan cepat-cepat dan berdoa
agar parade itu cepat selesai. Nyaris tak ada kesenangan karena minder. Hanya Harun,
dengan koper zaman The Beatles-nya tadi yang melenggang pelan penuh percaya diri dan
melemparkan senyum penuh arti kepada para petinggi di podium kehormatan.
Mungkin dalam hati para tamu terhormat itu bertanya-tanya, “Apa yang dilakukan
anak-anak bebek ini?”
Kenyataan inilah yang memicu pro dan kontra di antara murid dan guru
Muhammadiyah setiap kali akan karnaval. Beberapa guru menyarankan agar jangan ikut
saja daripada tampil seadanya dan bikin malu. Mereka yang gengsian dan tak kuat mental
seperti Sahara jauh-jauh hari sudah menolak berpartisipasi. Maka sore ini, Pak Harfan,
yang berjiwa demokratis, mengadakan rapat terbuka di bawah pohon fillicium. Rapat ini
melibatkan seluruh guru dan murid dan Mujis.
Beliau diserang bertubi-tubi oleh para guru yang tak setuju ikut karnaval, tapi
beliau dan Bu Mus berpendirian sebaliknya. Suasana memanas. Kami terjebak di tengah.
“Karnaval ini adalah satu-satunya cara untuk menunjukkan kepada dunia bahwa
sekolah kita ini masih eksis di muka bumi ini. Sekolah kita ini adalah sekolah Islam yang
mengedepankan pengajaran nilai-nilai religi, kita harus bangga dengan hal itu!”
Suara Pak Harfan bergemuruh. Sebuah pidato yang menggetarkan. Kami bersorak
sorai mendukung beliau. Tapi tak berhenti sampai di situ.
“Kita harus karnaval! Apa pun yang terjadi! Dan biarlah tahun ini para guru tidak
ikut campur, mari kita beri kesempatan kepada orang-orang muda berbakat seperti Mahar
untuk menunjukkan kreativitasnya, tahukah kalian ... dia adalah seniman yang genius!”
Kali ini tepuk tangan kami yang bergemuruh, gegap gempita sambil berteriakteriak
seperti suku Mohawk berperang. Pak Harfan telah membakar semangat kami
sehingga kami siap tempur. Kami sangat mendukung keputusan Pak Harfan dan sangat
senang karena akan digarap oleh Mahar, teman kami sekelas. Kami mengelu-elukannya,
tapi ia tak tampak. Ooh, rupanya dia sedang bertengger di salah satu dahan filicium. Dia
Sebagai kelanjutan keputusan rapat akbar, Mahar serta-merta mengangkat A
Kiong sebagai General Affair Assistant, yaitu pembantu segala macam urusan. A Kiong
mengatakan padaku tiga malam dia tak bisa tidur saking bangganya dengan penunjukan
itu. Dan telah tiga malam pula Mahar bersemadi mencari inspirasi. Tak bisa diganggu.
Kalau masuk kelas Mahar diam seribu bahasa. Belum pernah aku melihatnya
seserius ini. Ia menyadari bahwa semua orang berharap padanya. Setiap hari kami dan
para guru menunggu dengan was was konsep seni kejutan seperti apa yang akan ia
tawarkan. Kami menunggu seperti orang menunggu buku baru Agatha Christie. Jika kami
ingin berbicara dengannya dia buru-buru melintangkan jari di bibirnya menyuruh kami
diam. Menyebalkan! Tapi begitulah seniman bekerja. Dia melakukan semacam riset,
mengkhayal, dan berkontemplasi.
Dia duduk sendirian menabuh tabla, mencari-cari musik, sampai sore di bawah
filicium. Tak boleh didekati. Ia duduk melamun menatap langit lalu tiba-tiba berdiri,
mereka-reka koreografi, berjingkrak-jingkrak sendiri, meloncat, duduk, berlari
berkeliling, diam, berteriak-teriak seperti orang gila, menjatuhkan tubuhnya, berguling-guling di
tanah, lalu dia duduk lagi, melamun berlama-lama, bernyanyi tak jelas, tiba-tiba
berdiri kembali, berlari ke sana kemari. Tak ada ombak tak ada angin ia menyeruduk-nyeruduk
seperti hewan kena sampar.
Apakah ia sedang menciptakan sebuah master piece? Apakah ia akan berhasil
membuktikan sesuatu pada event yang mempertaruhkan reputasi ini? Apakah ia akan
berhasil membalikkan kenyataan sekolah kami yang telah dipandang sebelah mata dalam
karnaval selama dua puluh tahun? Apakah ia benar-benar seorang penerobos, seorang
pendobrak yang akan menciptakan sebuah prestasi fenomenal? Haruskan ia menanggung
beban seberat ini? Bagaimanapun ia masih tetap seorang anak kecil.
Kuamati ia dari jauh. Kasihan sahabatku seniman yang kesepian itu, yang tak
mendapatkan cukup apresiasi, yang selalu kami ejek. Wajahnya tampak kusut semrawut.
Sudah seminggu berlalu, ia belum juga muncul dengan konsep apa pun.
Lalu pada suatu Sabtu pagi yang cerah ia datang ke sekolah dengan bersiul-siul.
Kami paham ia telah mendapat pencerahan. Jin-jin telah meraupi wajah kucel kurang
tidurnya dengan ilham, dan Dionisos, sang dewa misteri dan teater, telah meniup ubun-ubunnya
subuh tadi. Ia akan muncul dengan ide seni yang seksi. Kami sekelas dan
banyak siswa dari kelas lain serta para guru merubungnya. Ia maju ke depan siap
mempresentasikan rencananya. Wajahnya optimis.
Semua diam siap mendengarkan. Ia sengaja mengulur waktu, menikmati
ketidaksabaran kami. Kami memang sudah sangat penasaran. Ia menatap kami satu per
satu seperti akan memperlihatkan sebuah bola ajaib bercahaya pada sekumpulan anak
“Tak ada petani, buruh timah, guru ngaji, atau penjaga pintu air lagi utnuk
karnaval tahun ini!” teriaknya lantang, kami terkejut.
Dan ia berteriak lagi.
“Semua kekuatan sekolah Muhammadiyah akan kita satukan untuk satu hal!!!”
Kami hanya terperangah, belum mengerti apa maksudnya, tapi Mahar optimis
“Apa itu Har? Ayolah, bagaimana nanti kami akan tampil, jangan bertele-tele!”
tanya kami penasaran hampir bersamaan. Lalu inilah ledakan ide gemilangnya.
“Kalian akan tampil dalam koreografi massal suku Masai dari Afrika!”
Kami saling berpandangan, serasa tak percaya dengan pendengaran sendiri. Ide
itu begitu menyengat seperti belut listrik melilit lingkaran pinggang kami. Kami masih
kaget dengan ide luar biasa itu ketika Mahar kembali berteriak menggelegar
melambungkan gairah kami.
“Lima puluh penari! Tiga puluh penabuh tabla! Berputar-putar seperti gasing, kita
ledakkan podium kehormatan!”
Oh, Tuhan, aku mau pingsan. Serta-merta kami melonjak girang seperti
kesurupan, bertepuk tangan, bersorak sorai senang membayangkan kehebohan
penampilan kami nanti. Mahar memang sama sekali tak bisa diduga. Imajinasinya liar
meloncat-loncat, mendobrak, baru, dan segar.
“Dengan rumbai-rumbai!” kata suara keras di belakang. Suara Pak Harfan sok
tahu. Kami semakin gegap gempita. Wajah beliau sumringah penuh minat.
“Dengan bulu-bulu ayam!” sambung Bu Mus. Kami semakin riuh rendah.
“Dengan surai-surai!”
“Dengan lukisan tubuh!”
Demikian guru-guru lain sambung-menyambung.
“Belum pernah ada ide seperti ini!” kata Pak Harfan lagi.
Para guru mengangguk-angguk salut dengan ide Mahar. Mereka salut karena
selain karena menampilkan sesuatu yang berbeda, menampilkan suku terasing di Afrika
adalah ide yang cerdas. Suku itu tentu berpakaian seadanya. Semakin sedikit
pakaiannya—atau dengan kata lain semakin tidak berpakaian suku itu—maka anggaran
biaya untuk pakaian semakin sedikit. Ide Mahar bukan saja baru dan yahud dari segi nilai
seni tapi juga aspiratif terhadap kondisi kas sekolah. Ide yang sangat istimewa.
Seluruh kalangan di perguruan Muhammadiyah sekarang menjadi satu hati dan
mendukung penuh konsep Mahar. Semangat kami berkobar, kepercayaan diri kami
meroket. Kami saling berpelukan dan meneriakkan nama Mahar. Ia laksana pahlawan.
Kami akan menampilkan sebuah tarian spektakuler yang belum pernah ditampilkan
sebelumnya. Dengan suara tabla bergemuruh, dengan kostum suku Masai yang eksotis,
dengan koreografi yang memukau, maka semua itu akan seperti festival Rio. Kami sudah
membayangkan penonton yang terpesona. Kali ini, untuk pertama kalinya, kami berani
Setelah itu, setiap sore, di bawah pohon filicium, kami bekerja keras berhari-hari
melatih tarian aneh dari negeri yang jauh. Sesuai dengan arahan Mahar tarian ini harus
dilakukan dengan gerakan cepat penuh tenaga. Kaki dihentakkan-hentakkan ke bumi,
tangan dibuang ke langit, berputar-putar bersama membentuk formasi lingkaran,
kemudian cepat-cepat menunduk seperti sapi akan menanduk, lalu melompat berbalik,
lari semburat tanpa arah dan mundur kembali ke formasi semula dengan gerakan seperti
banteng mundur. Kaki harus mengais tanah dengan garang. Demikian berulang-ulang.
Tak ada gerakan santai atau lembut, semuanya cepat, ganas, rancak, dan patah-patah.
Mahar menciptakan koreografi yang keras tapi penuh nilai seni. Asyik ditarikan dan
merupakan olah raga yang menyehatkan.
Tahukah Anda apa yang dimaksud dengan bahagia? Ialah apa yang aku rasakan
sekarang. Aku memiliki minat besar pada seni, akan membuat sebuah performing art
bersama para sahabat karib—dan kemungkinan ditonton oleh cinta pertama? Aku
mengalami kebahagiaan paling besar yang mungkin dicapai seorang laki-laki muda.
Kami sangat menyukai gerakan-gerakan nerjik rekaan Mahar dan kuat dugaanku
bahwa kami sedang menarikan kegembiraan suku Masai karena sapi-sapi peliharaannya
baru saja beranak. Selain itu selama menari kami harus meneriakkan kata-kata yang tak
kami pahami artinya seperti, “Habuna! Habuna! Habuna! Baraba...
baraba...baraba..habba...habba..homm!”
Ketika kami tanyakan makna kata-kata itu, dengan gaya seperti orang memiliki
pengetahuan yang amat luas sampai melampaui benua Mahar menjawab bahwa itulah
pantun orang Afrika. Aku baru tahu ternyata orang Afrika juga memiliki kebiasaan
seperti orang Melayu, gemar berpantun. Aku simpan baik-baik pengetahuan ini.
Namun mengenai maksud, ternyata aku salah duga. Semula aku menyangka
bahwa kami berdelapan—karena Sahara tak ikut dan Mahar sendiri menjadi pemain
tabla—adlaah anggota suku Masai yang gembira karena sapi-sapinya beranak. Tapi
ternyata kami adalha sapi-sapi itu sendiri. Karena setelah kami menari demikian riang
gembira, kemudian kami diserbu oleh dua puluh ekor cheetah. Mereka mengepung,
mencabik-cabik harmonisasi formasi tarian kami, meneror, menerkam, mengelilingi
kami, dan mengaum-aum dengan garang. Lalu situasi menjadi kritis dan kacau balau bagi
paras api dan pada saat itulah menyerbu dua puluh orang Moran atau prajurit Masai yang
sangat terkenal itu. Prajurit-prajurit ini menyelamatkan para sapi dan berkelahi dengan
cheetah yang menyerang kami. Gerakan cheetah itu direka-reka Mahar dengan sangat
genius sehingga mereka benar-benar tampak seperti binatang yang telah tiga hari tidak
makan. Sedangkan para Moran dilatih lebih khusus sebab menyangkut keterampilan
memainkan properti-properti seperti tombak, cambuk, dan parang.
Demikianlah cerita koreografi Mahar. Keseluruhan fragmen itu diiringi oleh
tabuhan tiga puluh tabla yang lantang bertalu-talu memecah langit. Para penabuh tabla
juga menari-nari dengan gerakan dinamis memesona. Hasil akhirnya adalah sebuah
drama seru pertarungan massal antara manusia melawan binatang dalam alam Afrika
yang liar, sebuah karya yang memukau, master piece Mahar.
Nuansa karnaval semakin tebal menggantung di awan Belitong Timur. Hari H
semakin dekat. Seluruh sekolah sibuk dengna berbagai latihan. Marching band sekolah
PN sepanjang sore melakukan geladi sepanjang jalan kampung. Baru latihannya saja
penonton sudah membludak. Meneror semangat peserta lain.
Tapi kami tak gentar. Situasi moril kami sedang tinggi. Melihat kepemimpinan,
kepiawaian, dan gaya Mahar kepercayaan diri kami meletup-letup. Ia tampil laksana para
event organizer atau para seniman, atau mereka yang menyangka dirinya seniman.
Pakaiannya serba hitam dengan tas pinggang berisi walkman, pulpen, kacamata hitam,
batu baterai, kaset, dan deodoran. Kami mengerahkan seluruh sumber daya civitas
akademika Muhammadiyah. Latihan kami semakin serius dan yang palihng sering
membaut kesalahan adalah Kucai. Meskipun dia ketua kelas tapi di panggung sandiwara
ini Maharlah yang berkuasa.
Mahar mencoba menjelaskan maksudnya dengan berbagai cara. Kadang-kadang
ia demikian terperinci seperti buku resep masakan, dan lebih sering ia merasa frustrasi.
Namun, kami sangat patuh pada setiap perintahnya walaupun kadang-kadang tidak
masuk akal. Tapi ini seni, Bung, tak ada hubungannya dengan logika.
“Dalam tarian ini kalian harus mengeluarkan seluruh energi dan harus tampak
gembira! Bersukacita seperti karyawan PN baru terima jatah kain, seprti orang Saqwang
dapat utangan, seperti para pelaut terdampar di sekolah perawat!”
Aku sungguh kagum dari mana Mahar menemukan kata-kata seperti itu. Ketika
istirahat A Kiong berbisik pada Samson, “Son, aku baru tahu kalau di Belitong ada
sekolah perawat di pinggir laut?”
Rupanya bisikan polos itu terdengar oleh Sahara yang kemduian, seperti biasa,
merepet panjang mencela keluguan A Kiong, “Apa kau tak paham kalau itu
perumpamaan! Banyak-banyaklah membaca buku sastra!”
Sebuah Kejahatan Terencana
DAN tibalah hari karnaval. Hari yang sangat mendebarkan. Mahar merancang pakaian
untuk cheetah dengan bahan semacam terpal yang dicat kuning bertutul-tutul sehingga
dua puluh orang adik kelasku benar-benar mirip hewan itu. Wajah mereka dilukis seperti
kucing dan rambut mereka dicat kuning menyala-nyala dengan bahan wantek.
Tiga puluh pemain tabla seluruh tubuhnya dicat hitam berkilat tapi wajahnya dicat
putih mencolok sehingga menimbulkan pemandangan yang sangat aneh. Sedangkan dua
puluh Moran atau prajurit Masai sekujur tubuhnya dicat merah, mereka menggunakan
penutup kepala berupa jalinan besar ilalang, membawa tombak panjang, dan mengenakan
jubah berwarna merah yang sangat besar. Tampak sangat garang dan megah.
Tampaknya Mahar memberi perhatian istimewa pada delapan ekor sapi. Pakaian
kami paling artistik. Kami memakai celana merah tua yang menutup pusar sampai ke
bawah lutut. Seluruh tubuh kami dicat cokelat muda seperti sapi Afrika. Wajah dilukis
berbelang-belang. Pergelangan kaki dipasangi rumbai-rumbai seperti kuda terbang
dengan lonceng-lonceng kecil sehingga ketika melangkah terdengar suara gemerincing
semarak. Di pinggang dililitkan selendang lebar dari bahan bulu ayam. Kami juga
memakai beragam jenis aksesoris yang indah, yaitu anting-anting besar yang dijepit dan
gelang-gelang yang dibuat dari akar-akar kayu.
Yang paling istimewa adalah penutup kepala. Tak cocok jika disebut topi, tapi
lebih sesuai jika disebut mahkota seribu rupa. Mahkota ini sangat besar, dibuat dari lilitan
kain semacam stagen yang sangat panjang. Lalu berbagai jenis benda diselipkan, dijepit,
atau dijahit pada stagen itu. Puluhan bulu angsa dan belibis, berbagai jenis perdu
sepanjang hampir satu meter, dahan sapu-sapu, berbagai bunga liar, berbagai jenis daun,
dan bendera-bendera kecil. Empat hari Sahara membuat mahkota hebat ini. Lalu
punggung kami dipasangi sesuatu seperti surai kuda, bahannya—seperti tertulis pada
sketsa—adalah tali rafia. Kami adalah sapi yang anggun dan megah.
Inilah rancangan adiguna karya Mahar. Secara umum kami tidak tampak seperti
sapi. Dilihat dari belakang kami lebih mirip manusia keledai, dari samping seperti ayam
kalkun, dari atas seperti sarang burung bangau. Jika dilihat dari wajah, kami seperti
Aksesori yang tampaknya biasa saja adlaah untaian kalung. Juga sesuai dengan
sketsa rancangan Mahar, kami akan memakai kalung besar yang terbuat dari benda-benda
bulat sebesar bola pingpong berwarna hijau. Tak ada yang istimewa dengan kalung ini
dan tak seorang pun mau membicarakannya. Kami sibuk membahas mahkota kami. Kami
yakin mahkota ini akan membuat orang kampung ternga-nga mulutnya dan wanita-wanita
muda di kawasan pasar ikan berebutan kirim salam.
Tak disangka ternyata kalung yang tak menarik perhatian itulah sesungguhnya
sentral ide seluruh koreografi ini. Tak ada seorang yang menduga bahwa pada untaian
anak-anak kalung itu Mahar menyimpan rahasia terdalam daya magis penampilan kami,
yang membuatnya tidak tidur tiga hari tiga malam. Sesungguhnya kalung itulah puncak
tertinggi kreativitas Mahar.
Setelah seluruh pakaian siap, Mahar mengeluarkan aksesori terakhir dari dalam
karung, yaitu kalung tadi. Jumlahnya delapan sejumlah sapi. Kami semakin girang. Tentu
Mahar telah bersusah payah sendirian membuatnya. Kalung itu dibuat dari buah pohon
aren yang masih hijau sebesar bola pingpong yang ditusuk seperti sate dengan tali rotan
kecil. Kami berebutan memakainya. Tak banyak pengetahuan kami mengenai buah hutan
ini. Sebelum parade kami berkumpul berpegangan tangan, menundukkan kepala untuk
Seperti telah kami duga, sambutan penonton di sepanajng jalan sangat luar biasa.
Mereka bertepuk tangan dan berlarian mengikuti dari belakang untuk melihat penampilan
kami di depan podium kehormatan.
Menjelang podium kami mendengar gelegar suara sepuluh unit trimpani, yaitu
drum terbesar. Suaranya menggetarkan dada dan ditimpali oleh suara membahana
puluhan instrumen brass mulai dari tuba, horn, trombon, klarinet, trompet, saksopon tenor
dan bariton yang dimainkan puluhan siswa. Marching band sekolah PN sedang beraksi!
Pakaian pemain marching band dibedakan berdasarkan instrumen yang
dimainkan. Yang paling gagah adalah barisan bass drum yang tampil menggunakan
pakaian prajurit Romawi. Mereka membuat helm bertanduk runcing dan benar-benar
mencetak aluminium menjadi rompi lalu mengecatnya dengan warna kuningan. Pemain
simbal memakai rompi berwarna-warni dan bawahan celana panjang biru yang
dimasukkan dalam sepatu bot Pendragon yang mahal setinggi lutut. Mereka seperti
sekawanan ksatria yang baru turun dari punggung kuda-kuda putih. Marching band PN
tampil semakin baik setiap tahun. Mereka selalu menunjukkan bahwa mereka yang
Sebagai entry podium kehormatan mereka melantunkan Glenn Miller’s In the
Mood dengan interpretasi yang pas. Penonton melenggak-lenggok diayun irama swing
yang asyik. Para colour guard serta-merta menyesuaikan koreografinya dengan gaya
kabaret khas tahun 60-an. Panggung kasino Las Vegas segera berpindah ke sudut pasar
ikan Belitong yang kumuh. Setiap siswa yang terlibat dalam marching band ini belum-belum sudah
mengumbar senyum kemenangan seolah seperti tahun-tahun lalu: Penampil
Seni Terbaik tahun ini pasti mereka sabet. Tapi jika menyaksikan mereka beraksi
agaknya keyakinan itu memang sangat beralasan.
Sebagai puncak atraksi di depan podium mereka membawakan Concerto for
Trumpet dan Orchestra yang biasa dilantunkan Wynton Marsalis. Dalam nomor ini
penampilan mereka amat mengagumkan. Agaknya mereka sudah bisa dikompetisikan di
luar negeri. Komposisi ini sesungguhnya adalah musik klasik karya Johann Hummel tapi
oleh Marching Band PN dibawakan kembali dalam aransemen big band dengan kekuatan
brass section yang memukau.
Bagian intro Concerto indah itu diisi atraksi lima belas pemain blira dengan
pecahan suara satu, dua, dan tiga. Lalu ikut bergabung hentakan-hentakan sepuluh pasang
simbal, bass drum, dan timpani. Tempo dan bahana mereka pelankan ketika puluhan
snare drum mengambil alih. Jiwa siapa pun yang mendengarnya akan tergetar. Belum
tuntas sensasi penonton dengan buaian snare drum yang cantik rancak tiba-tiba para
colour guard memasuki medan, membentuk formasi dan menampilkan tarian
kontemporer yang memikat. Bayangkan indahnya: sebuah big band dengan kekuatan
brasss, kostum yang gemerlapan, dan koreografi kontemporer.
Ribuan penonton bertepuk tangan kagum. Kemudian mereka bersorak-sorai
ketika tiga orang mayoret—ratu segala pesona—dengan sangat terampil melempar-lemparkan
tongkatnya tanpa membuat kesalahan sedikit pun. Para mayoret cantik,
bertubuh ramping tinggi, dengan senyum khas yang dijaga keanggunannya, meliuk-liuk
laksana burung merak sedang memamerkan ekornya.
Wanita-wanita muda yang meloncat dari gambar-gambar di almanak ini
mengenakan rok mini degnan stocking berwarna hitam dan sepatu bot Cortez metalik
tinggi sampai ke lutut. Sarung tangannya putih sampai ke lengan atas dan mereka
bergerak demikian lincah tanpa sedikit pun terhalangi hak sepatunya yang tinggi.
Topinya adalah baret putih yang diselipi selembar bulu angsa putih bersih seperti topi
Robin Hood. Mereka tidak sekadar mayoret, mereka adalah pergawati. Langkahnya cepat
panjang-panjang dan sering kali memekik memberi perintah. Pandangannya menyapu
seluruh penonton seperti tipuna sihir yang membius.
Wajahnya mencerminkan suatu kebiasaan bergaul dengan barang-barang impor
dan tidak mau menghabiskan waktu untuk soal remeh-temeh. Jika sore mereka berjalan-jalan
dengan beberapa ekor anjing chihuahua dan malam hari makan di bawah temaram
cahaya lilin. Tak pernah kekenyangan dan tak pernah berserdawa. Garis matanya
memperlihatkan kemanjaan, kesejahteraan dan masa depan yang gilang gemilang.
Mereka seperti orang-orang yang tak’kan pernah kami kenal namanya, seperti orang yang
berasal dari tempat yang sangat jauh dan hanya mampir sebentar untuk membuat kami
ternganga. Mereka seperti orang-orangy ang hanya memakan bunga-bunga putih melati
dan emngisap embun utnuk hidup. Jubahnya dari bahan sutera berkilat, berkibar-kibar
tertiup angin, menebarkan bau harum memabukkan.
Sementara di sini, di sudut ini, kami terpojok di pinggir, seperti segerombolan
spesies primata aneh yang menyembul-nyembul dari sela-sela akar pohon beringin.
Hitam, kumal, dan coreng-moreng, terheran-heran melihat gemerlap dunia. Tapi kami
segera membentuk barisan, tak surut semangat, tak sabar menunggu giliran.
Segera setelah ujung Marching Band PN meninggalkan arena podium dan
perlahan-lahan menghilang bersama lagu syahdu penutup sensasi: Georgia on My Mind,
diiringi tepuk tangan dan suitan panjang penonton, seketika itu juga, tanpa membuang
tempo, dengan amat ejli mencuri momen, secara sangat mendadak Mahar bersama tiga
puluh pemain tabla menghambur tak beraturan menguasai arena depan podium. Gerakan
mereka mengagetkan. Dengan dentuman tabla bertalu-talu serta tingkah tarian yang
sangat dinamis, penonton pun terperanjat. Mahar menyajikan pemandangan natural, asli,
yang sama sekali kontras dengan marching band modern. Melalui lantakan tabla sekuat
tenaga dan gerak tari seperti ratusan monyet sedang berebutan dengan tupai menjarah
buah kuini, Mahar menyeret fantasi penonton ke alam liar Afrika.
Penonton terbelalak menerima sajian musik etnik menghentak yang tak didugaduga.
Mereka berdesak-desakan maju merepotkan para pengaman. Para penonton terbius
oleh irama yang belum pernah mereka dengar dan pakaian serta tarian yang belum pernah
mereka lihat. Demi mendengar lengkingan tabla yang memecah langit, barisan Marching
Band PN terpecah konsentrasinya dan berbalik arah ke podium. Mereka membubarkan
diri tanpa komando lalu bergabung dengan para penonton yang terpaku. Mereka
keheranan melihat tarian liar yang tak seperti Campak Darat, yaitu tarian Belitong paling
kuno dengan gerakan tetap maju mundur, dan irama yang tak seperti Betiong yakni irama
asli Belitong yang biasa mereka dengar. Sebaliknya yang mereka saksikan adalah
gerakan rancak tanpa pola dan ekspresi bebas spontan dari tubuh-tubuh muda yang lentik
meliuk-liuk seperti gelombang samudra, garang seperti luak, dan menyengat laksana
lebah tanah. Koreografi Mahar berkarakter dance drumming dari suku-suku sub Sahara
yang mengandung fragmen survival ribuan tahun dari spesies yang hidup saling
memangsa. Inilah adzohu, sebuah manifestasi perjuangan eksistensi dalam metafora
gesture tubuh manusia yang memaknai ketukan tabla laksana tiupan mantra-mantra nan
magis. Koreografi ini mengandung tenaga gaib yang emnyihir. Mahar memvisualisasikan
alam ganas di mana hukum rimba berkuasa. Maka musik tari ini tak hanya mendetak
degup jantung karena tabla yang berdentum-dentum tapi membran vibrasinya juga
menggetarkan jiwa karena tenaga mistik sebuah ritual suci siklus hidup.
Penonton semakin merangsek ke depan dan mulai terpukau pada tarian etnik
Afrika yang eksotis. Mereka mengamati satu per satu wajah kami yang tersamar dalam
coreng moreng, ingin tahu siapa penampil tak biasa ini. Namun tanpa disadari tubuh
mereka bergerak-gerak patah-patah mengikuti potongan-potongan irama yang
dilantakkan dan tanpa diminta tepuk tangan, siulan, dan sorak-sorai ribuan penonton
membahana menyambut kejutan aksi seksi tabla. Penonton riuh rendah berdecak kagum.
Pada detik itu aku tahu bahwa penampilan kami telah berhasil. Mahar telah melakukan
entry dengan sukses. Semua seniman panggung mengerti jika entry telah sukses biasanya
seluruh pertunjukan akan selamat. Para hadirin telah terbeli tunai!
Kesuksesan entry pemain tabla mengangkat kepercayaan diri kami sampai level
tertinggi. Kami, delapan ekor sapi, yang akan tampil pada plot kedua, gemetar menunggu
aba-aba dari Mahar untuk menerjang arena. Kami tak sabar dan rasanya kaki sudah gatal
ingin mendemonstrasikan kehebatan mamalia menari. Kami adalah remaja-remaja
kelebihan energi dan lapar akan perhatian. Lima belas meter dari tempat kami berdiri
adalah arena utama dan kami mengambil ancang-ancang laksana peluru-peluru meriam
yang siap diledakkan. Sangat mendebarkan, apalagi penonton semakin menggila tak
terkendali mengikuti ketukan tabla. Mereka membentuk lingkaran yang rapat, ikut
menari, bertepuk tangan, bersuit-suit panjang, dan berteriak-teriak histeris.
“Tabahkan hati kalian, keluarkan seluruh kemampuan!” ledak Bu Mus memberi
semangat kepada kami, para mamalia. Pak Harfan sudah tidak bisa bicara apa-apa.
Tangannya membekap dada seperti orang berdoa.
Tapi di tengah penantian menegangkan itu aku merasakan sedikit keanehan di
lingkaran leherku. Seperti ada kawat panas menggantung. Aku juga merasa heran melihat
warna telinga teman-temanku yang berubah menjadi merah, demikian pula kalung kami,
membentuk lingkaran berwarna kelam di kulit. Aku merasakan panas pada bagian dada,
wajah, dan telinga, lalu rasa panas itu berubah menjadi gatal.
Dalam waktu singkat rasa gatla meningkat dan aku mulai menggaruk-garuk di
seputar leher. Sekarang kami sadar bahwa rasa gatal itu berasal dari getah buah aren yang
menjadi mata kalung kami. Hasil rancangan adibusana Mahar. Buah aren yang ditusuk
dengan tali rotan itu mengeluarkan getah yang pelan-pelan melelh di lingkaran leher.
Rasa gatal itu semakin menjadi-jadi tapi kami takb isa berbuat apa-apa karena untuk
melepaskan kalung itu berarti harus melepaskan mahkota. Dan melepaskan mahkota
besar yang beratnya hampir satu setengah kilogram ini bukan persoalan mudah. Mahkota
raksasa ini sengaja dirancang Mahar untuk dikenakan dengan lilitan tiga kali melalui
dagu sehingga tanpa bantuan seseorang tak mungkin membukanya sendiri. Tak mungkin
melakukan itu apalagi Mahar sekarang telah melakukan gerakan seperti menyembah-nyembah ke
arah kami. Itulah isyarat kami harus masuk dan beraksi.
Maka semua usaha untuk berbuat sesuatu pada kalung itu terlambat dan yang
terjadi berikutnya tak ‘kan pernah kulupakan seumur hidupku. Kami menyerbu arena
dengan semangat spartan. Tepuk tangan penonton bergemuruh. Pada awalnya kami
menari bersukacita sesuai dengan skenario. Lalu kami, para sapi ini, mulai bergerakgerak
aneh dan sedikit melenceng dari gerakan seharusnya karena kami diserang oleh
rasa gatal yang luar biasa.
Rasa gatal ini begitu dahsyat. Aku tak pernah merasakan gatal demikian hebat dan
jelas berasal getah buah aren muda yang menjadi mata kalung kami. Pertama-tama
rasanya panas, perih, lalu geli dan gatal sekali. Jika digaruk bukannya sembuh tapi akan
semakin menjadi-jadi, bertambah gatal dua kali lipat. Karena gerakan kami rancak
dengan tangan mengibas-ngibas ke sana kemari maka getah aren itu menyebar ke seluruh
tubuh. Sekarang seluruh tubuh kami dilanda gatal tak tertahankan.
Kami berusaha tidak menggaruk-garuk karena hal itu akan merusak koreografi,
kami bertekad mengalahkan Marching Band PN. Selain itu menggaruk hanya akan
memperparah keadaan, maka kami bertahan dalam penderitaan. Satu-satunya cara
mengalihkan siksaan gatal adalah dengan terus-menerus bergerak jumpalitan seperti
orang lupa diri. Maka sekarang kami bergerak sendiri-sendiri tak terkendali seperti orang
kesetanan. Kami berteriak-teriak, meraung, saling menanduk, saling menerkam, saling
mencakar, merayap, berguling-guling di tanah, menggelepar-gelepar. Semua itu tak
terdapat dalam skenario. Lintang komat-kamit tak jelas dan matanya memerah seperti
buah saga. Trapani sama sekali menguap ketampanannya, wajah manisnya berubah
menjadi wajah algojo yang sedang kalap. Sedangkan A Kiong menampar-nampar dirinya
sendiri dengan keras seperti orang kesurupan. Telinganya seolah mengeluarkan asap dan
wajahnya seperti kaleng biskuit Roma. Wajah kami memerah seperti terbakar api dan
urat-urat lengan bertimbulan menahankan gatal.
Kami bergerak demikian beringas, berjingkrak-jingkrak seperti sekaleng cacing
yang dicurahkan di atas aspal yang panas mendidih. Sebaliknya, melihat kami sangat
menjiwai, para pemain tabla pun terbakar semangatnya. Mereka mempercepat tempo
untuk mengikuti gerakan-gerakan liar kami. Kami menari dengan tenaga dua kali lipat
dari latihan dan gerakan dua kali lebih cepat dari seharusnya. Kami seolah berkejaran
dengan tabuhan tabla. Menimbulkan pemandangan yang menakjubkan. Bahkan orang
Afrika sendiri tak pernah menari sehebat ini.
Sesungguhnya maksud kami bukan itu. Tapi kami senewen menanggungkan
gatal. Penonton yang tidak memahami situasi mengira suara tabla itu mengandung sihir
dan telah membuat kami, delapan ekor sapi ini, kesurupan, maka mereka bertepuk tangan
gegap gempita karena kagum dengan daya magis tarian Afrika. Mereka berteriak-teriak
histeris memberi semangat dan salut kepada kami yang mampu mencapai penghayatan
setinggi itu. Penonton semakin merapat dan petinggi di podium kehormatan menghambur
ke depan meninggalkan tempat-tempat duduknya yang teduh dan nyaman. Mereka
berebutan menyaksikan kami dari dekat. Mereka takjub dengan sebuah pemandangan
aneh. Bagi mereka ini adalah ekspresi seni yang luar biasa. Sementara kami semakin
tunggang-langgang, berputar-putar seperti gasing. Kami sudah tak peduli dengan pantun
Afrika yang harusnya kami lantunkan. Teriakan kami sekarang menjadi:
“Hushhhhhhh ...hushh...hushhhh! Habbaa...habbbaaa... habbaaaa...!!!”
Penonton malah mengira itu mantra-mantra gaib. Aku melirik Mahar. Aneh
sekali, wajahnya tapak senang tak alang kepalang, gembira bukan main. Ia tampak sangat
setuju dengan seluruh gerakan gila kami walaupun tidak seperti yang dilatihkannya dulu.
“Terus Kawan, hebat sekali, ayo berguling-guling, inilah maksudnya,” bisiknya di
antara kami sambil berlari-lari memikul tabla. Aku mulai curiga. Tapi aku tak sempat
berpikir jauh karena kami sekarang sedang diserang oleh dua puluh ekor cheetah.
Suasana semakin seru. Kami semakin sinting karena gatal dan panas. Kami merasa sangat
haus, menderita dehidrasi. Ketika cheetah menyerang, kami berbalik menyerang. Kami
sudah lupa diri. Seharusnya hal ini tak terjadi. Skenarionya tidak begitu.
Skenarionya adalah kami seharusnya menguik-nguik ketakutan sampai prajurit
Masai, Moran yang gagah berani itu, datang sebagai pahlawan untuk menyelamatkan
kami. Tapi sebaliknya sekarang kami dengan beringas membalas serangan cheetah
karena kami tak mungkin diam, jika diam rasa gatal rasanya akan memecahkan pembuluh
Para cheetah kebingungan. Ketika mereka menerjang kami membalas, cheetah
berlari kocar-kacir dan kembali menyerang, demikian terjadi berulang-ulang. Namun
anehnya skenario yang kacau balau tak direncanakan ini justru memunculkan karakter
asli binatang yang pada suatu ketika bisa demikian ganas tanpa ampun dan pada keadaan
yang lain terbirit-birit ketakutan jika kekuatannya tak berimbang. Sebaliknya sekali lagi
kulirik Mahar. Ia senang sekali dengan improvisasi spontan ini, tabuhan tablanya
semakin ganas. Senyumnya mengembang. Tak pernah aku melihatnya sebahagia itu.
Surai kuda, selendang yang melilit pinggang, dan mahkota kami melambai-lambai
eksotis karena kami melonjak-lonjak tak terkendali. Kami menari seperti orang dirasuki
iblis yang paling jahat, seperti ditiup Lucifer sang raja hantu. Arena semakin membara
dan gairah tarian mendidih ketika dua puluh prajurit Masai menyerbu masuk untuk
menyelamatkan kami, yang terjadi adalah pertarungan dahsyat antara sapi dan prajurit
Masai melawan dua puluh ekor cheetah. Ada enam puluh penari termasuk pemain tabla
yang sekarang saling menyerang dalam hentakan musik Masai. Penonton riuh rendah
dalam kekaguman. Para fotografer sampai kehabisan film.
Pasir-pasir halus yang bertaburan di atas arena membubung menjadi debu tebal
yang mengaburkan pandangan. Debu itu mengelilingi kami yang berputar seperti pusaran
angin. Di tengah pusaran itu kami bertempur habis-habisan dalam sebuah ritual liar alam
Afrika yang kami tarikan seperit binatang buas yang terluka. Dalam kekacaubalauan
terdengar teriakan-teriakan hsiteris, auman binatang, dan suara tabla berdentum-dentum.
Keseluruhan koreografi yang menampilkan fragmen pertempuran manusia melawan
binatang dengan gerakan spontan di depan podium kehormatan itu ternyata menghasilkan
karya seni yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Sebuah formasi gerakan chaos orisinal
yang tercipta secara tidak sengaja. Para penonton tersihir melihat kami trance secara
kolektif, mereka tersentak dalam histeria menyaksikan pemandangan magis yang
menkjubkan. Sebuah pemandangan eksotis dari totalitas tarian yang menciptakan efek
seni yang luar biasa. Sebuah efek seni yang memang diharapkan Mahar, efek seni yang
akan membawa kami menjadi Penampil Seni Terbaik tahun ini, tak diragukan, tak ada
Pak Harfan, Bu Mus, dan guru-guru kami sangat bangga dan seolah tak percaya
melihat murid-muridnya memiliki kemampuan seperti itu. Mereka tak sadar bahwa kami
menderita berat karena gatal dan gerakan kami tak ada hubungannya dengan Moran,
cheetah, dan bunyi-bunyian tabla yang memecah gendang telinga.
Tiga puluh menit kami tampil serasa tiga puluh jam. Kami, para sapi, memang
dirancang untuk meninggalkan arena pertama kali. Pemain tabla, cheetah, dan prajurit
Masai masih harus melanjutkan fragmen. Segera setelah meninggalkan arena kami berlari
pontang panting mencari air. Sayangnya air terdekat adalah sebuah kolam kangkung
butek di belakang sebuah toko kelontong. Kolam itu adalah tempat pembuangan akhir
ikan-ikan busuk yang tak laku dijual. Apa boleh buat, kami ramai-ramai menceburkan
Kami tak melihat ketika penonton memberikan standing applause selama tujuh
menit. Kami tak menyaksikan guru-guru kami menangis karena bangga. Aku kagum
kepada Mahar, ia berhasil memompa kepercayaan diri kami dan dengan kepercayaan diri
ternyata siapa pun dapat membuat prestasi yang mencengangkan. Hal itu dibuktikan oleh
sekolah Muhammadiyah yang mampu mematahkan mitos bahwa sekolah kampung tidak
mungkin menang melawan sekolah PN dalam karnaval. Sayangnya saat itu kami tak
dapat bergembira seperti warga Muhammadiyah di podium dan kami juga tak mendengar
ketika ketua dewan juri, Mbah Suro, naik mimbar. Beliau mengucapkan pidato panjang
puji-pujian untuk kami:
“Sekolah Muhammadiyah telah menciptakan daripada suatu arwah baru dalam
karnaval ini. Maka dari itu mereka telah mencanangkan suatu daripada standar baru yang
semakin kompetitif dari pada mutu festival seni ini. Mereka mendobrak dengan ide
kreatif, tampil all out, dan berhasil menginterpretasikan dengan sempurna daripada
sebuah tarian dan musik dari negeri yang jauh. Para penarinya tampil penuh penghayatan,
dengan spontanitas dan totalitas yang mengagumkan sebagai suatu manifestasi daripada
penghargaan daripada mereka terhadap seni pertunjukan itu sendiri. Penampilan
Muhammadiyah tahun ini adalah daripada suatu puncak pencapaian seni yang gilang
gemilang dan oleh karena itu dewan juri tak punya daripada pilihan lain selian daripada
menganugerahkan penghargaan daripada penampila seni terbaik tahun ini kepada sekolah
Wahai dewan juri yang terhormat, mari kuberitahukan pada bapak-bapak sekalian,
tahu apa bapak-bapak soal seni, interpretasi seni kami adalah interpretasi getah buah aren
yang gatalnya membakar lingkaran leher kami sampai ke pangkal-pangkal paha dengan
perasaan seperti memakan api. Itulah yang membuat kami menari seperti orang yang
tidak waras, dan itulah interpretasi seni kami.
Mendengar pidato itu para penonton kembali bergemuruh dan seluruh warga
Muhammadiyah bersorak-sorai senang karena sebuah kemenangan yang fenomenal.
Sebaliknya kami, delapan ekor ternak dalam koreografi hebat itu, tetap tak tahu
semua kejadian yang menggemparkan itu, dan kami juga masih tak tahu ketika Mahar
diarak warga Muhammadiyah setelah sekolah menerima trofi bergengsi Penampil Seni
Terbaik tahun ini. Trofi yang telah dua puluh tahun kami idamakan dan selama itu pula
bercokol di sekolah PN. Baru pertama kali ini trofi itu dibawa pulang oleh sekolah
kampung. Trofi yang tak ‘kan membuat sekolah kami dihina lagi.
Kami tak tahu semua itu karena ketika itu kami sedang berkubang di dalam
lumpur kolam kangkung, menggosok-gosok leher dengan daun genjer. Yang kami tahu
hanyalah bahwa Mahar telah membalas kami dengan setimpal karena pelecehan kami
padanya selama ini. Buah-buah aren itu sungguh merupakan sebuah rancangan kalung
etnik properti adi busana koreografi yang bernilai seni, hasil perenungan Mahar berjam-jam sambil
memandangi langit di bawah pohon filicium. Itulah sebuah perenungan
tingkat tinggi yang membuat hatinya bergejolak sepanjang malam karena girang akan
memberi kami pelajaran, sebuah perenungan pembalasan dendam yang telah ia
rencanakan dengan rapi selama bertahun-tahun.
Wajah manisnya pasti sedang tersenyum sekarang dan senyumnya tak berhenti
mengembang jika ia ingat penderitaan kami. Di kolam busuk luar biasa sehingga
merontokkan bulu hidung ini kami membayangkan Mahar melonjak-lonjak girang
disirami sinar agung prestasi dan kata-kata pujian setinggi langit. Sedangkan kami
agaknya memang patut dihukum di kolam perut ikan ini. Mahar membalas kami
sekaligus merebut penghargaan terbaik—sekali tepuk dua nyamuk tumbang. Pria muda
yang nyeni itu memang genius luar baisa, dan baginya pembalasan ini maniiiiis sekali,
semanis buah bintang.
AWAN-AWAN kapas berwarna biru lembut turun. Mengapung rendah ingin menyentuh
permukaan laut yang surut jauh, beratus-ratus hektare luasnya, hanya setinggi lutut,
meninggalkan pohon-pohon kelapa yang membujur di sepanjang Pantai Tanjong
Kelayang. Aku tahu bahwa awan-awan kapas biru muda itu dapat menjadi penghibur
bagi mataku, tapi dia takkanpernah menjadi sahabat bagi jiwaku, karena sejak minggu
lalu aku telah menjadi sekuntum daffodilyang gelisah, sejak kukenal sebuah kosakata
baru dalam hidupku: rindu.
Kini setiap hari aku dilanda rindu pada nona kuku cantik itu. Aku rindu pada
wajahnya, rindu pada paras kuku-kukunya, dan rindu pada senyumnya ketika
memandangku. Aku juga rindu pada sandal kayunya, rindu pada rambut-rambut liar di
dahinya, rindu pada caranya mengucapkan huruf “r”, serta rindu pada caranya merapikan
lipatan-lipatan lengan bajunya.
Kadang-kadang aku bersembunyi di bawah pohon filicium, melamun sendiri,
dadku sesak sepanjang waktu. Aku segera mengerti bahwa aku adalah tipe laki-laki yang
tak kuat menahankan rindu. Lalu aku berpikir keras mencari jalan untuk meringankan
beban itu. Setelah melalui pengkajian berbagai taktik, akhirnya aku sampai pada
kesimpulan bahwa rinduku hanya bisa diobati dengan cara sering-sering membeli kapur
dan untuk itu Bu Mus adalah satu-satunya peluangku.
Maka aku mengerahkan segala daya upaya, memohon sepenuh hati, agar tugas
membeli kapur tulis diserahkan padaku, kalau perlu kapur tulis untuk seluruh kelas SD
dan SMP Muhammadiyah, sepanjang tahun ini.
“Bukankah kau paling benci tugas itu Ikal?”
Aku tersipu. Ironis, aku telah menemukan definisi ironi yang sebenarnya.
Penyebabnya tentu bukan karena Toko Sinar Harapan telah menjadi wangi, tapi semata-mata
karena ada putri Gurun Gobi menungguku disana. Maka ironi bukanlah persoalan
substansi, ia tak lain hanyalah soal kompensasi. Itulah definisi ironi, tak kurang tak lebih.
Bu Mus tak berminat mendebatku dan kulihat perubahan wajahnya. Pastilah
instingnya selama bertahun-tahun menjadi guru secara naluriah telah membunyikan
lonceng di kepalanya bahwa hal ini sedikit banyak berhubungan dengan urusan cinta
monyet. Dengan jiwa penuh pengertian dan sebuah senyum jengkel beliau mengiyakan
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Asal jangan kau hilangkan lagi kapur-kapur itu, perlu kau tahu, kapur itu dibeli
dari uang sumbangan umat!”
Kemudian aku dan Syahdan menjadi tim yang solid dalam pengadaan kapur. Aku
menjadi semacam manajer pembelian, Syahdan tak perlu mengayuh sepeda, cukup duduk
di belakang, memegang kotak-kotak kapur kuat-kuat dan menjaga mulutnya rapat-rapat,
karena hubungan antar-rasadalah isu yang sensitif ketika itu. Kami menikmati
ketegangan perjanjian rahasia ini dan selama beberapa bulan setelah itu aku telah menjadi
tukang kapur yang berdedikasi tinggi. Sebaliknya Syahdan, tentu saja melalui
rekomendasiku pada Bu Mus, selalu ikut denganku. Ia gembira karena semakin lama
meninggalkan kelas sekligus leluasa mendekati putri tukang hok lo pan.
Sesampainya di toko biasanya aku langsung cepat-cepat masuk dan berdiri tegak
dengan saksama di tengah-tengah lautan barang kelontong. Minyak kayu putih kukipas-kipaskan di
bawah hidung untuk melawan bau tengik. Aku menyeka keringat dan tak
sabar menunggu menit-menit ajaib, yaitu ketika A Miauw memberi perintah kepada
burung murai batu di balik tirai yang terbuat dari keong-keong kecil itu.
Aku menghampiri kotak merpati saat ia menjulurkan kapur. Setiap kali ini terjadi
jantungku berdebar. Ia masih tetap tak berkata apa pun, diam seribu bahasa, demikian
juga aku. Tapi aku tahu ia sekarang tak lagi cepat-cepat menarik tangannya. Ia
memberiku kesempatan lebih lama memandangi kuku-kukunya. Hal itu cukup
membuatku demikian bahagia sampai seminggu berikutnya.
Demikianlah berlangsung selama beberapa bulan. Setiap Senin pagi aku dapat
menjumpai belahan jiwaku, walaupun hanya kuku-kukunya saja. Hanya sampai di situ
saja kemajuan hubungan kami, tak ada sapa, tak ada kata, hanya hati yang bicara melalui
kuku-kuku yang cantik. Tak ada perkenalan, tak ada tatap muka, tak ada rayuan, dan tak
ada pertemuan. Cinta kami adalah cinta yang bisu, cinta yang sederhana, dan cinta yang
sangat malu, tapi indah, indah sekali tak terperikan.
Kadang-kadang ia menjentikkan jarinya atau menggodaku sambil terus
memegang kotak kapur ketika akan kuambil sehingga kami saling tarik. Kadang kala ia
mengepalkan tinjunya, mungkin maksudnya: kenapa kamu terlambat? Sering telah
kusiapkan diri berminggu-minggu untuk sedikit saja memegang tangannya atau untuk
mengatakan betapa aku rindu padanya. Tapi setiap kali aku melihat kuku-kukunya,
semua kata yang telah ditulis rapi pun sirna, menguap bersama aroma keringat orang
Sawang dan seluruh keberanian lenyap tertimbun tumpukan lobak asin. Tirai yang terbuat
dari keong-keong kecil itu demikian kukuh untuk ditembus oleh mental laki-laki sekecil
Sudah dua musim berlalu, sudah dua kali orang-orang bersarung turun dari
perahu, aku merasa sudah saatnya untuk tahu siapa namanya. Namun sekali lagi,
walaupun sudah berhari-hari mengumpulkan keberanian untuk bertanya langsung ketika
tangannya menjuilur, aku menjadi bisu dan tuli. Aku begitu kerdil di depannya. Maka
kutugaskan Syahdan mencari informasi. Ia sangat girang mendapat tugas itu. Lagaknya
seperti intel Melayu, mengendap-endap, berjingkat-jingkat penuh rahasia.
“Namanya A Ling ...!” bisiknya ketika kami sedang khatam Al-Qur’an di Masjid
Al Hikmah. Jantungku berdetak kencang.
“Seangkatan dengan ktia, di sekolah nasional!” Dan pyarrr!! Kopiah resaman
Taikong Razak menghantam rihalan Syahdan.
“Jaga adatmu di muka kitab Allah anak muda!!”
Syahdan meringis dan kembali menekuri Khatamul Qur’an. Sekolah nasional
adalah sekolah khusus anak-anak Tionghoa. Aku menatap Syahdan dengan serius.
Sekolah nasional ...?
“Jangan sampai tahu ibuku,” kataku cemas, “Bisa-bisa kau kena rajam.”
Syahdan tak mau menanggapi peringatkanku yang tidak kontekstual dengan
infonya yang berharga tadi. Wajahnya mengisyaratkan bahwa ia punya kejutan lain.
“A Ling adalah sepupu A Kiong ...!”
Aku terkejut, rasanya seperti tertelan biji rambutan yang macet di tenggorokanku.
A Kiong, pria kaleng kerupuk itu! Mana mungkin dia punya sepupu bidadari?
Syahdan membaca pikiranku, ia mengangguk-angguk yakin memastikan, “Iya,
betul sekali, Kawan, A Kiong kita itu, tapi aku tak pasti, apakah A Kiong seperti itu
karena tumbal ilmu sesat, titisan yang keliru, atau anomali genetika?”
Syahdan vulgar dan sok tahu. Aku segera teringat pada A Kiong. Beberapa hari
ini ia belajar di kelas sambil berdiri karenalimabiji bisul padi bermunculan di pantatnya
sehingga ia tak bisa duduk. Tapi ia berkeras ingin tetap sekolah.
Aku tak dapat menggamabrkan perasaanku atas semua info ini. Kenyataan bahwa
A Ling adalah sepupu a Kiong membuatku bersemangat sekaligus waswas. Aku dan
Syahdan berunding serius membahas perkembangan ini dan kami putuskan untuk
menceritakan situasinya pada A Kiong. Kami menganggap dialah satu-satunya peluang
untuk menembus tirai keong itu.
Kami giring A Kiong menuju kebun bunga sekolah dan kami dudukkan di abngku
kecil dekat kelompok perdu kamar Beloperone, Pittosporum, dan kembang sepatu yang
saat itu sedang bersemi, tempat yang sempurna untuk bermusyawarah soal cinta.
“Mudahnya begini saja, Kiong,” kataku tak sabar. “Aku akan menitipkan padamu
suratdan puisi untuk A Ling, maukah kau memberikan padanya? Serahkan padanya
kalau kalian sembahyang di kelenteng, pahamkah engkau?”
Ia mengernyitkan dahinya, rambut landaknya berdiri tegak, wajahnya yang bulat
gemuk tampak semakin jenaka. Ketika ia melepaskan kembali kernyitannya itu pipinya
yang tembem jatuh berayun-ayun lucu. Dia adalah pria berwajah mengerikan tapi lucu.
“Mengapa tak kauberikan langsung padahal setiap Senin pagi kau bertemu
dengannya? Tidak masuk akal!” A Kiong tak mengucapkan kata-kata itu tapi inilah arti
kernyitannya itu. Aku juga menjawabnya dari dalam hati, semacam telepati. “Hei, anak
Hokian, sejak kapan cinta masuk akal?”
Aku menarik napas panjang, membalikkan badanku, memandang jauh ke
lapangan hijau pekarangan sekolah kami. Seperti sedang berakting dalam sebuah teater
aku merenggut daun-daun Dracaena, meremas-remasnya lalu melemparkannya ke udara.
“Aku malu, A Kiong, nyaliku lumpuh kalau berada satu meter darinya, aku adalah
seorang pria yang kompulsif, jika ceroboh aku takut ketahuan bapaknya, kalau itu terjadi,
tak terbayangkan akibatnya!”
Kudapat kata-kata itu dari majalah Aktuillangganan abangku, barangkali agak
kurang tepat, tapi apa peduliku. Demi mendengar kata-kata seperti naskah sandiwara
radio itu Syahdan memeluk erat-erat pohon petai cina di sampingnya. Aku kehabisan kata
untuk menjelaskan pada A Kiong bahwa titip-menitip dalam dunia percintaan
mengandung nilai romansa yang tinggi karena ada unsur-unsur kejutan disana.
Rupanya A Kiong menangkap keputusasaan dalam nada suaraku. Ia adalah siswa
yang tidak terlalu pintar tapi ia setia kawan. Sepanjang masih bisa diusahakan ia tak ‘kan
pernah membiarkan sahabatnya patah harapan. Luluh hatinya melihat aktingku. Sekarang
ia tersenyum dan aku menyembahnya seperti murid shaolin berpamitan pada suhunya
untuk memberantas kejahatan. Namun karena turunan darah wiraswasta leluhurnya, A
Kiong tentu menuntut kompensasi yang rasional. Aku tak keberatan menggarap PR tata
buku hitung dagangnya.
Lalu, tak terbendung, melalui A Kiong, puisi-puisi cintaku mengalir deras
menyerbu pasar ikan. Baginya itu hanyalah tugas mduha. Sebaliknya, ia mulai merasakan
kenikmatan eskalasi gengsi akibat nilai-nilai tata buku hitung dagang yang membaik.
Hubungan A Kiong, aku dan Syahdan adalah simbiosis mutualisme, seperti burung cako
dengan kerbau. Ia sama sekali tak menyadari bahwa persoalan titip menitip ini dapat
membawa risiko ia pecah kongsi dengan pamannya A Miauw.
Aku selalu mendesak A Kiong untuk menceritakan bagaimana wajah A Ling
ketika menerima puisi dariku.
“Seperti bebek ketemu kolam,” kata A Kiong penuh godaan persahabatan.
Dan pada suatu sore yang indah, di bulan Juli yang juga indah, di tempat duduk
bulat, sendirian di kebun bunga kami, aku menulis puisi ini untuk A Ling:
A Ling, lihatlah ke langit
Jauh tinggi di angkasa
Awan-awan putih yang berarak itu
Aku mengirim bunga-bunga krisan untukmu
Ketika kumasukkan puisi ke dalam sampul surat, aku tersenyum, tak percaya aku
bisa menulis puisi seperti itu. Cinta barangkali dapat memunculkan sesuatu, kemampuan
atau sifat-sifat rahasia, yang tak kita sadari sedang bersembunyi di dalam tubuh kita.
Namun ketika itu aku selalu merasa heran mengapa A Ling selalu mengembalikan
puisiku? Barangkali di tokonya yang sesak tak ada lagi tempat untuk menyimpan kertas.
Demikianlah pikiranku, bukankah anak kecil selalu berpikir positif. Aku tak ambil pusing
soal itu lagi pula saat ini pikiranku sedang tak keruan karena pada kotak kapur yang
kuambil pagi ini ada tulisan:
Jumpai aku di acara sembahyang rebut
Tulisan tangan A Ling! Ini adalah lompatan raksasa dalam hubungan kami.
Bagiku catatan kecil ini sangat penting seperti katebelecepresiden untuk menaikkan gaji
seluruh pegawai negeri. Keinginanku melihat kembali wajah Michele Yeoh-ku setelah
insiden tirai dulu adlaah tabungan rindu dalam celengan tanah liat yang setiap saat
hampir meledak. Dan dalam waktu 92 jam, 15 menit, 10 detik dari sekarang aku akan
menjumpainya langsung. Di halaman kelenteng.
Hari-hari menjelang pertyemuan adalah hari-hari tak bisa tidur. Klasik sekali
memang, tapi apa boleh buiat karena memang itu kenyataannya maka harus kuceritakan.
Berkali-kali kubaca pesan di atas kotak kapur itu tapi masih tetap isinya tentang janji
ketemu. Dibaca dari arah mana pun, dari belakang seperti membaca huruf Arab, dari
depan, dari atas, dari jauh, dari dekat, dipantulkan di cermin, digerus dengan lilin, dibaca
dengan kaca pembesar, dibaca di balik api, ditaburi tepung terigu, diawasi lama-lama
seperti melihat gamabr tiga dimensi yang tersamar, isinya tetap sama yaitu “jumpai aku
di acara sembahyang rebut”. Itu adalah kalimat bahasa Indonesia yang jelas, bukan
idiom, bukan isyarat atau simbol. Aku seolah tak percaya dengan pesan itu tapi aku, si
Ikal ini, akan segera berjumpa dengan cinta pertamanya! Tak diragukan lagi, dunia boleh
Kotak kapur yang ada tulisan pesan A Ling itu kusimpan di kamarku seperti
benda koleksi yang bernilai tinggi. Syahdan dan A Kiong sampai bosan terus-menerus
mendengar kisahku tentang pesan itu. Mereka muak. Satu pelajaran berharga, orang yang
sedang jatuh cinta adalah orang yang egois. Aku seolah tak percaya pada apa yang akan
terjadi, mimpikah ini?
“Bukan, Kawan, bukan mimpi, mandilah bersih-bersih dan tunggu dia pukul
emapt sore di halaman kelenteng, saat persiapan sembahyang rebut. Dia wanita yang
baik, dia akan datang untuk janjinya,” nasihat A Kiong, event organizerpertemuan
penting ini, yang tiba-tiba menjadi amat bijaksana.
Chiong Si Ku atau sembahyang rebut diadakan setiap tahun. Sebuah acara
semarak di mana seluruh warga Tionghoa berkumpul. Tak jarang anak-anaknya yang
merantau pulang kampung untuk acara ini. Banyak hiburan lain ditempelkan pada ritual
keagamaan ini, misalnya panjat pinang, komidi putar, dan orkes Melayu, sehingga
menarik minat setiap orang untuk berkunjung. Dengan demikian ajang ini dapat disebut
sebagai media tempat empat komponen utama kelompok subetnik di kampung kami:
orang Tionghoa, orang Melayu, orang pulau bersarung, dan orang Sawang berkumpul.
Orang Sawang tak terlalu tertarik dengan hiburan-hiburan tadi tapi mata mereka
tak lepas dari tiga buah meja berukuran besar dengan panjang kira-kira 12 meter, lebar
dan tingginya kira-kira 2 meter. Di atas meja itu ditimbun berlimpah ruah barang-barang
keperluan rumah tangga, mainan, dan berjenis-jenis makanan. Barang-barang ini adalah
sumbangan dari setiap warga Tionghoa. Tak kurang dari 150 jenis barang mulai dari
wajan, radio transistor, bahkan televisi, berbagai jenis kue, biskuit, gula, kopi, beras,
rokok, bahan tekstil, berbagai botol dan kaleng minuman ringan, gayung, pasta gigi,
sirop, ban sepeda, tikar, tas, sabun, payung, jaket, ubi jalar, baju, ember, celana, buah
mangga, kursi plastik, batu baterai, sampai beragam produk kecantikan disusun
bertumpuk-tumpuk laksana gunung di atas meja-meja besar tadi. Daya tarik terkuat dari
sembahyang rebut adalah sebuah benda kecil yang disebut fung pu, yakni secarik kain
merah yang disembunyikan di sela-sela barang-barang tadi. Benda ini merupakan incaran
setiap orang karena ia perlambang hoki dan yang mendapatkannya dapat menjualnya
kembali pada warga Tionghoa dengan harga jutaan rupiah.
Meja itu diletakkan di depan sebuah Thai Tse Ya, yaitu patung raja hantu yang
dibuat dari bambu dan kertas-kertas berwarna-warni. Tinggi Thai Tse Ya mencapai 5
meter dengan diameter perut 2 meter. Ia adalah sesosok hantu raksasa yang
menyeramkan. Matanya sebesar semangka dan lidahnya panjang menjuntai seperti ingin
menjilati jejeran babi berminyak-minyak yang dipanggang berayun di bawahnya. Thai
Tse Ya tak lain adalah representasi sifat-sifat buruk dan kesialan manusia. Sepanjang sore
dan malam hari, warga Tionghoa yang Kong Hu Cu tentu saja melakukan sembahyang di
depan Thai Tse Ya ini.
Tepat tengah malam salah seorang paderi akan memukul sebuah tempayan besar
pertanda seluruh hadirin dapat mengambil—lebih tepatnya merebut—semua barang yang
ada di tiga meja besar tadi. Oleh karena itu Chiong Si Ku disebut juga acara sembahyang
Ketika tempayan itu dipukul bertalu-talu tanda mulai berebut aku menyaksikan
salah satu peristiwa paling dahsyat yang pernah dilakukan manusia. Gunungan beratus-ratus jenis
barang tersebut lenyap dalam waktu tak lebih dari satu menit—25 detik lebih
tepatnya, dan tempat itu berubah menjadi kekacaubalauan yang tak tertuliskan kata-kata.
Debu tebal mengepul ketika ratusan orang dengan garang menyerbu meja-meja tinggi itu
dengan semangat seperti orang kesetanan. Tak jarang meja-meja itu hancur berantakan
dan para perebut cidera berat.
Mereka yang berhasil naik ke atas meja dengan gerakan secepat kilat
melemparkan barang-barang secara sistematis kepada rekan-rekannya yang menunggu di
bawah. Mereka yang bertindak sendiri naik ke atas meja dan memasukkan apa saja yang
ada di dekatnya ke dalam sebuah karung—juga dengan kecepatan kilat—sampai kadang
kala tak bisa menurunkan karungnya itu karena sudah di luar batas tenaganya.
Kadang kala belasan orang berebut sebuah barang sehingga terjadi semacam
perkelahian di tengah tumpukan barang dan beberapa di antaranya terjengkang, jatuh
menabrak barang-barang rebutan, lalu terjembab ke tanah. Para penonton tak sempat
bertepuk tangan tapi hanya terpana menyaksikan pemandangan sekilas yang mahadahsyat
sekaligus ngeri membayangkan bagaimana manusia bisa begitu serakah dan beringas.
Mereka yang tidak membawa karung memasukkan apa saja ke dalam seluruh
saku baju dan celana bahkan ke dalma bajunya sehingga tampak seperti badut. Dalam
situasi berebutan yang sangat cepat otak sudah tidak bisa menalar, kadang kala butir-butir
beras dan gula juga dimasukkan ke dalam saku celana. Mereka yang saku baju dan
celananya—bahkan bagian dalam bajunya—telah penuh memasukkan apa saja ke dalma
mulutnya, mereka makan apa saja, sebanyak mungkin, ketika masih berada di atas meja,
jika perlu mereka akan menyimpan barang di dalam lubang-lubang hidung dan telinga,
Jika berhasil merebut radio transistor jangan harap akan membawanya pulang
dengan utuh karena ketika masih di atas meja radio itu akan direbut oleh lima belas orang
sekaligus sehingga yang tersisa hanya tombol-tombol atau antenanya saja. Prinsipnya tak
mengapa mendapatkan tombolnya saja asalkan orang lain juga tak mendapatkan radio
seutuhnya. Perkara radio itu menjadi hancur tak bisa dipakai adalah urusan lain yang tak
penting. Inilah manifestasi dasar keserakahan manusia. Chiong Si Ku adalah bukti nyata
tak terbantah terhadap teori yang dipercaya para antropolog tentang kecenderungan egois,
tamak, merusak, dan agresif sebagai sifat-sifat dasar homo sapiens.
Superstardalam Chiong Si Ku tentu saja orang-orang Sawang. Tanpa mereka
bisa-bisa acara ini kehlilangan sensasinya. Mereka sukses setiap tahun karena
pengorganisasian yang solid. Sejak sore mereka telah melakukan riset di mana posisi
barang-barang berharga, dari sudut mana harus menyerbu, berapa tenaga yang
diperlukan, dan mengkalkulasi perkiraan perolehan. Berhari-hari sebelum sembahyang
rebut mereka telah menyusun strategi. Pembagian tugasnya jelas, yaitu mereka yang
berbadan besar bertugas menjegal kelompok perebut lain, yang kecil menyerbu naik ke
atas meja seperti gerakan monyet: cepat, jeli, dan tangkas, dan sisanya menunggu di
bawah, siaga menangkap apa saja yang dilemparkan dari atas meja. Kelompok ini
beranggotakan sampai dua puluh orang. Seorang pria Sawang kurus bermata liar
ditugaskan khusus selama bertahun-tahun untuk menjarah fung pu. Ketika ia beraksi
ekspresinya datar seolah ia tak punya urusan dengan perebut-perebut serakah lainnya.
Tingkah lakunya persis budak yang dijanjikan merdeka oleh Siti Hindun jika berhasil
membunuh Hamzah sang panglima pada perang Uhud. Sang budak tak ada urusan
dengan perang Uhud, perang itu bukan perangnya, setelah menombak dada Hamzah ia
bergegas pulang. Demikian pula pria bermata liar ini. Ketika paderi memukul tempayan
pertama kali ia langsung memanjat meja seperti manusia laba-laba, lalu dengan cekatan
ia berjingkat-jingkat di antara lautan barang-barang. Matanya yang tajam nanar jelalatan
melacak ke sana kemari dan dalam waktu singkat ia mampu menemukan fung pu. Ia
selalu sukses meskipun paderi telah menyembunyikan benda kecil keramat itu dengan
amat rapi di antara tumpukan terdalam lipatan daster, di dalam salah satu dari puluhan
kaleng biskuit Khong Guan yang paling sulit dijangkau, di dalam karung ekmiri, di sela-sela
dedaunan tebu, bahkan di dalam buah jeruk kelapa. Setelah mendapatkan fung puia
menyelipkan carikan merah itu di pinggangnya dan melompat turun seperti pemilik ilmu
peringan tubuh. Ia tak sedikit pun peduli dengan barang-barang berharga lainnya serta
kecamuk ratusan pria kasar yang berebut dengan brutal. Sang legenda hidup Chiong Si
Ku itu mendarat ke bumi tanpa menimbulkan suara lalu sedetik kemudian ia menghilang
di tengah kerumunan massa membawa lari lambang supremasi Chiong Si Ku. Ia lenyap
di telan gelap, asap gaharu, dan aroma dupa.
Orang-orang Melayu, sebagaimana baisa, susah berorganisasi. Bukannya fokus
pada ikhtar untuk mencapai tujuan dan memenangkan persaingan tapi sebaliknya mereka
gemar sekali berpolitik sesama mereka sendiri. Tak terima jika dikoreksi dan jarang ada
yang mau berintrospeksi. Di antara mereka selalu saja berbeda pendapat dan mereka
senang bukan main dengan pertengkaran yang tak konstruktif. Tak mengapa tujuan tak
tercapai asal tak jatuh nama dalam debat kusir. Dan selalu terjadi suatu gejala yang paling
umum yaitu: yang paling bodoh dan paling tak berpendidikan adalah paling lantang dan
paling pintar kalau bicara. Jika orang Melayu membentuk sebuah tim maka setiap orang
ingin menjadi pemimpin. Akhirnya tim yang solid tak pernah terbentuk. Akibatnya dalam
sembahyang rebut mereka beroperasi secara individu dan berjuang secara soliter maka
yang berhasil dibawa pulang hanya tubuh yang remuk redam, sebatang tebu, beberapa
bungkus sagon, sebelah kaos kaki Mundo, beberapa butir kepala boneka, bibit kelapa
yang tak dipedulikan orang Sawang, dan pompa air—itu pun hanya sumbatnya saja.
Chiong Si Ku diakhiri dengan membakar Thai Tse Ya dengan harapan tak ada
sifat-sifat buruk dan kesialan melanda sepanjang tahun ini. Sebuah acara keagamaan tua
yang syarat makna, berseni, dan sangat memesona.
Pukul 3.30 selesai shalat Ashar.
Pesan di kotak kapur! Seperti message in a botle. Aku berdiri tegak di bawah
pohon seri di halaman kelenteng sambil memegangi sepedaku, menunggu. Anak-anak
muda Tionghoa hilir mudik. Mereka sibuk mendirikan Thai Tse Ya setinggi lima meter.
Ada A Kiong diantara mereka, ia berulang kali mengacungkan jempolnya
“Tabahlah, Kawan, ambil semua risiko, begitulah hidup,” demikian barangkali
Aku membalas dengan senyum kecut karena aku gelisah. Aku gelisah
membayangkan apa yang ada di pikiran seorang wanita muda Tionghoa tentang laki-laki
Melayu kampung seperti aku. Dan berada di tengah lingkungan mereka membuat aku
semakin ragu. Apa aku pulang saja? Tapi aku rindu. Dan rinduku telanjur berdarah-darah.
Seperti terjadi setiap hari, pukul 3.30 sore matahari masih terasa sangat panas dan
dengan berdiri di sini sebagian tubuhku tersiram cahayanya. Aku dapat merasakan
keringatku mengalir pelan di leher baju takwa putih berlengan panjang, baju terbaik yang
aku miliki, hadiah hiburan lomba azan. Jantungku berdetak kacau, aku gugup luar biasa.
Burung matahari akwanan tujuh ekor yang berkicau-kicau di dahan-dahan rendah seri
jelas-jelas menggodaku. Mereka berjingkat-jingkat dan ribut sekali. Kumbang juga
menerorku, seperti suara ambulans mereka sibuk melubangi kayu-kayu besar bercat
merah mencolok yang menyangga atap kelenteng. Suaranya merisaukanku. Aku tak sabar
Sudah 25 menit aku mematung di sini, tak ada tanda-tanda kehadiran A Ling.
Wajah A Kiong menaruh belas kasihan padaku. Barangkali tadi aku tiba terlalu awal,
harusnya aku datang terlambat saja, atau tak datang sama sekali. Berbagai pikiran aneh
mulai merasukiku. Aku merasa lelah karena tegang. Kakiku kesemutan.
Mataku tak lepas-lepas memandang ke arah satu-satunya jalan yang
menghubungkan kelenteng dengan pasar ikan. Di sepanjang kiri kanan jalan ini tumbuh
berderet-deret pohon saga. Cabang-cabang atasnya bertemu meneduhi jalan di bawahnya
sehingga jalan ini tampak seperti gua. Setelah deretan pohon-pohon saga, jalan ini
berbelok ke kanan. Pinggir jalan ini dipagari bekas-bekas tulang bangunan yang terlantar.
Tulang-tulang bangunan itu dirambati dengan lebat tak beraturan ke sana kemari
oleh Bougainvillea spectabilisliar atau kembang kertas dan berakhir pada ujung sebuah
jalan buntu. Di ujung jalan ini berdiri toko Sinar Harapan, rumah A Ling. Maka berdiri
dua puluh meter persis di depan Thak Si Ya adalah posisi yang telah kuperhitungkan
dengan matang. Jika ia muncul di belokan itu, maka dari posisi ini aku dapat melihatnya
langsung berjalan anggun seperti burung sekretaris menuju ke arahku. Pasti ia akan
menunduk tersenyum-senyum, atau, seperti film India, ia akan berlari kecil membawa
seikat bunga, lalu merentangkan tangannya untuk memelukku. Ah, aku bermimpi.
Tapi ia tak muncul-muncul dan aku berulang kali mengusap mataku yang
kelelahan memelototi belokan itu. Kakiku penat dan aku mulai merasa pusing karena
ketegangan berkepanjangan. Sekarang Thak Si Ya telah berdiri, para pemuda Tionghoa
bertepuk tangan, sementara aku semakin gelisah. Aku melirik Thak Si Ya yang berdiri
tinggi tegak, matanya seram sekali mengawasi gerak gerikku.
Sekarang sudah pukul 3.57, tiga menit menjelang tenggat waktu.
Aku menghitung dengan jariku, jika sampai hitungan keenam puluh ia tak muncul
maka aku akan pergi saja. Aku kepanasan dan merasa mual. Karena tegang, perutku naik
membaut ngilu ulu hatiku. Kalau tadi pikiran yang bukan-bukan merasukiku, kini
pikiranku dilanda keraguan.
Apakah ia benar-benar seperti persepsiku selama ini? Apakah yang kuabyangkan
tentang dirinya akan sama sekali berbeda kenyataannya? Mungkinkah sekarang ia sedang
menyiangi tauge, lupa akan janjinya? Tahukah ia betapa berarti pesannya itu untukku?
Dan sekarang ia tak datang, betapa hancur hatiku. Ingin segera kukayuh sepeda ini, lari
sekencang-kencangnya menceburkan diri ke Sungai Lenggang.
Pukul 4.02, lewat sudah batas janji.
Tik! Tok! Tik! Tok! Tik! Tok!
Sudah 60! Hitunganku sampai. Ia ingkar!
Aku berada di puncak kegelisahan. Tanganku dingin, jantungku berdetak makin
cepat. Suara kumbang-kumbang semakin riuh merubung aku, menerorku tanpa ampun.
Ngiung! Ngiung! Ngiung ...
Dadaku sesak karena rindu dan marah, aku naiki sadel sepeda, sudah tak tahan
ingin berlalu dari neraka ini. Namun ketika aku akan mengayuh sepeda, aku mendengar
persis di belakangku suara itu. Suara yang lembut seperti tofu. Suara yang membuat
kumbang-kumbang terdiam bungkam. Inilah suara yang sejuk seperti angin selatan, suara
terindah yang pernah kudengar seumur hidupku, laksana denting harpa dari surga.
Aku berbalik cepat dan terkejut.
Aku tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Karena di situ, persis di situ, tiga
meter di depanku, berdirilah ia, the distinguished Miss A Ling herself!Michele Yeoh-ku.
Ia datang dari arah yang sama sekali tak kuduga karena sebenarnya dari tadi ia sudah
berada di dalam kelenteng memerhatikanku, dan pada detik-detik terakhir aku akan
kecewa, ia hadir, memberiku kejutan listrik voltase tinggi, menghancurkan setiap butiran-butiran
darah merah di tubuhku. Setelah lima tahun mengenalnya, baru tujuh bulan yang
lalu pertama melihat wajahnya, setelah puluhan puisi yang kutulis untuknya, setelah
berton-ton rindu untuknya, baru sore ini dia akan tahu namaku.
Aku tergagap-gagap seeprti orang Melayu belajar mengaji.
Ia mengulum senyum, manis sekali tak terperikan. Hadir dalam balutan chong
kiun, baju acara penting yang memesona, di suatu bulan Juli yang meriah, ia turun ke
bumi bagai venus dari Laut Cina Selatan. Baju itu mengikuti lekuk tubuhnya dari atas
mata kaki sampai ke leher dan dikunci dengan kancing tinggi berbentuk seperti paku.
Tubuhnya yang ramping bertumpu di atas sepasang sandal kayu berwarna biru. Cantik
rupawan melebihi mayoret mana pun. Tingginya tak kurang dari 175 cm, jelas lebih
Serasi dengan rumpun genayun yang tumbuh kurus menjulang di sampingnya ia
mengikat rambutnya menjadi satu ikatan besar dan ikatan itu ditegakkan tinggi-tinggi.
Beberapa helai rambut yang disatukan jatuh di atas pundak chong kiun berwarna lam set,
biru muda, dengan motif bunga ros besar-besar. Beberapa helai rambut lainnya dibiarkan
jatuh melintasi wajahnya yang teduh jelita. Kuku-kukunya yang cantik memegang hio
Ada sedikit kilasan kedewasaan pada pancaran matanya dibanding terakhir kami
bertemu. Teori yang memaksakan pendapat bahwa wanita bermata besar kelihatan lebih
cantik akan runtuh berantakan jika melihat A Ling. Matanya yang sipit sedikti tertarik ke
atas, senada dengan bentuk alis yang dibiarkan alami. Dalam lukisan wajah yang tirus
bentuk mata seperti itu menciptakan rasa kecantikan dengan karakter yang kaut. Inilah
pusat gravitasi pesona wajah A Ling.
Sejujurnya aku tak sanggup mengatasi keanggunan pada level seperti ini. Ini
bukan untukku. Aku merasa tak pantas. Bagiku ia seperti seseorang yang akan selalu
menjadi milik orang lain. Dan aku, tak lebih dari pengisi data nama dan alamat pada buku
simfoninya yang akan terlupakan sebulan setelah ini. Aku tak mungkin berada di dalam
liga ini. Aku rasanya ingin pulang saja. Ia membaca itu. Lalu memegang mata kiang lian,
seuntai kalung yang menggantung panjang di lehernya. Mata kalung itu batu giok dan
bertulisan Tionghoa. Aku tak paham makna tulisan itu.
“ Miang sui,” kata A Ling. Nasib, itulah artinya.
Dan lilin besar merah pun dinyalakan, cahayanya berkibar-kibar, ratusan
jumlahnya. Mata Thai Tse Ya berkilat-kilat karena lilin menyinari wajahnya dari bawah.
Ia tampak makin seram tapi aura A Ling membuatnya tak lebih dari boneka kertas yang
jenaka dan kumbang-kumbang yang nakal tadi tak berani muncul lagi.
A Ling menarik tanganku, kami berlari meninggalkan halaman kelenteng, terus
berlari melintasi kebun kosong tak terurus, menyibak-nyibakkan rumput apit-apit setinggi
dada, tertawa kecil menuju lapangan rumput halaman sekolah nasional. Kami
merebahkan diri kelelahan, memandangi awan senja berarakan.
“Aku membaca puisimu, Bunga Krisan, di depan kelas!” katanya serius. “Puisi
Wajah A Ling yang cantik berair karena keringat, seperti embun di permukaan
kaca. Ia bangkit, lalu berjalan hilir mudik di depanku yang memandanginya seperti bayi
melihat kelereng. Lalu dengan gaya seperti dosen ia menggenggam jemarinya, bercerita
penuh semangat tentang minatnya pada sketsa dan cita-citanya menjadi perancang
busana. Sebaliknya, aku menceritakan minatku pada seni. Di dekatnya aku merasa
berarti, merasa menjadi seseorang, di dekatnya aku merasa ingin menjadi seorang pria
yang lebih baik. Di dekatnya aku merasa seperti sedang berada dalam sebuah adegan
Dari lapangan itu kami kemudian berlari-lari menuju komidip utar. Bukankah
komidi putar adalah sebuah benda yang menakjubkan? Setelah seorang pria kumal
mengangkat sebuah tuas lalu benda itu secara mekanik memutar insan-insan yang
dimabuk cinta yang duduk berimpitan di dalam sebuah tempat seperti mentudung. Lalu
tiba-tiuba semuanya menjadi mudah karena semua hal disaksikan dari suatu jarak. Bagiku
mentudung-mentudung itu seumpama pelaminan di mana orang berusaha menikmati
keindahan cinta dalam kesederhanaan sensasi yang ditawarkan sebuah komidi putar.
Keindahan yang sederhana ini membuatku belajar menghargai cinta yang sekarang duduk
di sampingku. Inilah sore terindah dalam hidupku. Aku bertanya-tanya pada diri sendiri:
ke manakah nasib akan membawaku setelah ini? Dari putaran tertinggi komidi aku dapat
melihat lapangan tempat tadi kami memandangi awan.
DI sebuah buku aku melihatnya mengen-darai kuda dengan cara memeluk erat perut
hewan itu seperti prajurit Kubilai Khan. Matanya berkilat-kilat karena dewa mata tombak
telah melukai hatinya. Darahku menggelegak ketika ia mengendap-endap mendekati
seekor moose jantan. Dan aku tak kuasa membalik satu lembar terakhir saat ia
mengatakan bahwa ia akan mencampak-kan cinta wanita-wanita berdarah campuran
Tututni dan Chimakuan. Semua itu karena ia tak mau mencemari darah Indian Pequot
yang mengalir deras di tubuhnya, dan yang paling memilukan, karena ia adalah pria
terakhir dalam sukunya.
Maka air kelaki-lakiannya bersimbah di punggung-punggung kuda tak berpelana dan ia
mengembara sendirian di lautan padang rumput Vellowstone yang tak bertepi. Ia menjerit
sepanjang hari dan menari menantang matahari sehingga pandangan matanya gelap
gulita. Ia merangkak-rangkak, berdoa agar salah satu wanita dari sukunya akan muncul di
antara kawanan coyote seperti para dewa telah menghadirkan wanita-wanita Sguamish.
Tapi waktu yang mengutus angin juga telah tega mengkhianatinya, sehingga ia menjadi
tua, dan saat maut menagih janjinya, ia mati masih perjaka. Pagi itu langit melapangkan
kedua tangan, menyambut darah asli Pequot.
Chinookcuk, yang terakhir dari kaumnya itu adalah prajurit yang memutuskan untuk
mengucilkan diri karena ingin menjaga kesucian darah Pequot. Sama seperti suatu suku
terasing di Sepahua Amazon. Mereka melarikan diri jauh ke rimba yang dalam karena
ingin menghindarkan diri dari wabah kolera. Sejak tahun 1500 tak seorang pun pernah
melihat mereka. Isolated by choice, demikian para ahli menyebutnya, yaitu sikap sengaja
mengasingkan diri. Sedangkan yang mengumbar keberadaan dirinya seperti suku-suku
Osage, Huron, Lakmiut, Cherokee, Sawang, atau Melayu Belitong umumnya mengalami
hambatan-hambatan geografis sehingga terisolasi. Meskipun dalam kasus tertentu isolasi
sengaja itu juga terjadi karena pertimbangan komersial, misalnya Sheffield yang tiga
tahun lalu memutuskan untuk mengucilkan diri dengan menutup bandaranya karena tidak
menghasilkan keuntungan. Adapun suku-suku Perupian itu memang terasing karena
rimba belantara yang sulit ditembus, sungai-sungai yang liar, dan gunung gemunung
Pada suatu ketika Melayu Belitong sempat terisolasi karena mereka tinggal di sebuah
pulau kecil yang dikelilingi samudra, sementara tidak semua peta memuat pulau ini.
Waktu itu di sana belum berdiri BTS-BTS atau antena gelombang mikro untuk telekomunikasi.
Satu-satunya akses suku ini kepada dunia luar adalah melalui sebuah pintu baja setebal 30
sentimeter. Bagi orang Belitong, pintu baja itu adalah tabir pemisah kehidupan jahiliah dan dunia
modern, sekaligus laksana teropong kapal selam yang timbul untuk melongok-longok dunia luar.
Pintu baja tulen itu menutup sebuah ruangan sempit rahasia yang menyimpan benda-benda keramat
berwarna-warni. Ruangan ini disebut ktuis dan merupakan bagian utama
dari sebuah kantor peninggalan Belanda. Jika pintu ini ditutup maka orang Melayu
Belitong merasa bahwa di dunia ini Tuhan hanya menciptakan mereka dan bumi berbentuk
lonjong. Kluis adalah jendela alam semesta bagi suku Melayu Belitong.
Oleh karena itu, kluis sangat penting dan kuncennya bukan orang sembarangan. Di dunia
ini hanya ia dan Tuhan yang tahu kombinasi sebelas digit nomor benteng pertama kluis.
Setelah memutar kombinasi itu ia harus melalui tiga tahap lagi untuk membukanya.
Pertama, ia harus memasukkan dua buah anak kunci tembaga kurus panjang ke dalam
dua lubang kunci dan memutarnya setengah lingkaran secara bersamaan. Kedua, ia
kembali memasukkan sebuah anak kunci besar yang harus diputar dengan kedua tangan
karena harus cukup tenaga untuk membalik enam buah batangan baja murni sebesar
lengan manusia dewasa dari penyekatnya inilah tuas kunci utama kluis. Dan
ketiga, setelah pintu besi 30 sentimeter itu terbuka ternyata masih ada lagi pintu besi
jeruji yang dikunci dengan gembok tembaga selebar telapak tangan.
Ruangan kluis ini tahan api dan jika diledakkan dengan dinamit 100 kilogram ia masih
tak akan bergerak. Di dalamnya gelap pekat tak ada udara, apabila terperangkap di sana
dipastikan akan mati lemas dalam waktu singkat. Jika pintu itu rusak, hanya seorang pria
tua bernama Hans Ritsema Van Horn dari Uttrech yang bisa membetulkannya.
Pengamanan dibuat demikian ketat berlapis-lapis karena dalam kluis itu terdapat benda-benda
keramat berwarna-warni, benda inilah sang penguasa waktu. Ia bukan sema-cam
lorong waktu yang dapat membalik tempo tapi ia lebih seperti time slider pada DVD
player,dan ia disimpan dalam portepel-portepel. Dengan Rp200, perangko kilat, tujuh
hari insya Allah sampai kepada alamat penerima, menuju tujuan kota mana pun di Pulau
Jawa, dan Rp75 adalah perangko biasa, jika ingin sampai saat Hari Raya Idul Adha maka
kirimlah sebelum Hari Raya Idul Fitri.Pria pemegang kunci kluis itu merupakan o-rang
terpilih dan Tuhan diam-diam telah menciptakan untuknya sebuah pekerjaan yang bukan
hanya bergaji rendah tapi juga unik dan bisa memacu otak sekaligus jantungnya. Dan
kepada pemangku pekerjaan inilah seharusnya kita, khusus nya kami, orang-orang
Melayu Belitong, menghaturkan terima kasih yang tak terperikan.Meskipun The Beatles
telah menunjukkan sedikit respek kepadanya dengan menulis lagu Mr. Postman, tapi
masih jarang sekali pujangga-pujangga Melayu yang tersohor merangkai gurindam,
mengarang puisi, atau sekadar menulis cerpen tentang kiprahnya.pekerjaan kuncen kluis
yang memacu otak dan jantung kumaksud di atas adalah pekerjaan Pak Pos yang
sekaligus menjadi kepala kantor pos di kecamatan-kecamatan. Dalam susunan organisasi,
mereka menamainya Pengurus Kantor Pos Pembantu, tapi di kampung kami beliau
disebut Tuan Pos. Beliaulah yang memungkinkan kami berkomunikasi dengan budaya
luar melalui benda keramat berwarna-warni, yaitu perangko-perangko itu, dan beliau pula
yang menyampaikan koran-koran terlambat sebulan dari Jakarta sehingga kami tahu rupa
kepala suku republik ini. Pada suatu kurun waktu pernah angin barat berkepan-jangan
berembus demikian kencang, akibatnya kapal-kapal harus memilih muatan secara selektif
dan orang-orang Belitong juga terpaksa memilih: mau makan beras atau makan kertas?
Karena di kampung kami tidak ada sawah maka kapal-kapal itu memutuskan untuk
membawa barang-barang penting saja, dan koran dianggap kurang penting. Maka Koran-koran itu
terlambat selama tiga puluh dua tahun. Kami tak tahu apa yang terjadi di
Jakarta. Tapi setelah koran-koran itu tiba kami tak kecewa meskipun telah terlambat
selama itu karena ternyata sang kepala suku masih orang yang sama.
Tuan Pos memacu otak karena ia menguras pikirannya untuk membuat perencanaan cash
flowdan benda pos guna keperluan bulan depan. Ia harus memperkirakan berapa orang
yang akan menarik tabanas, menguangkan wesel, menerima pensiun, dan mengirim surat,
kartu, dan paket. Lalu setelah sepanjang hari melayani pelanggan di loket, menjelang sore
Tuan Pos mengeluarkan sepeda untuk berkeliling kampung mengantar surat, ia pun
Tuan Pos kami adalah tuan sekaligus anak buah bagi dirinya sendiri karena semua
pekerjaan ia kerjakan sendiri. Beliau bekerja sejak subuh: memasak sagu untuk lem,
mengangkat karung paket, menjual perangko, menerima dan membayar tabanas dan
wesel, mencap surat. Kadang-kadang beliau membantu pelanggan menulis dan malah
membacakan surat cinta untuk para kekasih yang buta huruf. Ketika BUMN yang sok
progresif sekarang ribut soal Good Corporate Citizenship, Tuan Pos kami telah jauh-jauh
hari mempraktik-kannya. Beliau menyortir surat sejak su-buh dan mengantarnya di
bawah hujan dan panas. Sudah begitu tak jarang pula beliau menerima keluhan yang
pedas dari pelanggan. Sekilas dalam hati aku berdoa:
\"Ya, Allah, cita-citaku adalah menjadi seorang penulis atau pemain bulu tangkis, tapi jika
gagal jadikan aku apa saja kalau besar nanti, asal jangan jadikan aku pegawai pos. Dan
jangan beri aku pekerjaan sejak subuh.\"
\"APA anak-anak muda di kelas ini sudah boleh menerima surat cinta, Ibunda Guru?\"
Itulah kata-kata dari sepotong kepala yang melongok dari balik daun pintu kelas kami. Bu
Mus tersenyum ramah pada Tuan Pos yang tiba-tiba muncul. Beliau biasa menerima
kiriman majalah syiar Islam Panji Masyarakat dari sebuah kantor Muhammadiyah di
Jawa Tengah. Tapi kali ini Tuan Pos membawa surat untukku.
Istimewa sekali! Inilah surat pertama yang kuterima dari Perum Pos. Dulu aku sering
mengantar nenekku ke kantor pos untuk mengambil pensiun. Tapi secara pribadi, baru
kali ini aku menerima layanan dari perusahaan umum yang sangat bersahaja ini, sahabat
orang kecil, pos giro. Aku bangga dan sekilas merasa menjadi orang yang agak sedikit
Apakah surat ini dari redaksi majalah Kawanku atau majalah Hai untuk puisi-puisi yang
tak pernah kukirimkan? Tentu saja tak mungkin. Surat ini dialamatkan ke sekolah, tak
ada nama dan alamat pengirimnya, sampulnya biru muda, indah, dan harum pula baunya.
Apakah salah alamat? Mungkin untuk Samson atau Sahara dari sahabat pena mereka di
Kuala Tungkai, Sungai Penuh, Lubuk Sikaping, atau Gunung Sitoli. Mengapa para
sahabat pena selalu berasal dari tempat-tempat yang namanya aneh? Atau mungkin untuk
Trapani yang tampan dari seorang pengagum rahasia?
Pak Pos tersenyum menggoda. Beliau mengeluarkan form xl3. Tanda terima kiriman penting.
\"Surat ini untukmu, rambut ikal, cepat tanda tangan di sini, tak 'kan kuhabiskan waktuku
di sekolahmu ini, masih banyak kerjaan, sekarang musim bayar pajak, masih ratusan SPT
pajak harus diantar, cepatlah ....\"
Pak Pos belum puas dengan godaannya.
\"Ada gadis kecil datang ke kantor pos pagi-pagi. Mengirimimu kilat khusus dalam kota!
Mungkin asap hio membuatnya sedikit linglung, pakai perangko biasa pun pasti kuantar
hari ini. Ia berkeras dengan kilat khusus, begitu pentingkah urusanmu belakangan ini, ikal
mayang?\" Aha, asap hio! Sekarang aku paham, kurampas surat itu. Dadaku berdebar-debar.
Menunggu waktu pulang untuk membuka isi surat itu rasanya seperti menunggu rakaat
terakhir shalat tarawih hari ketiga puluh. Saat itu imam membaca hampir setengah Surah
AlBaqarah sementara ketupat sudah menari-nari di depan mata.
Aku duduk sendiri di bawah filicium ketika seluruh siswa sudah pulang. Surat bersampul
biru itu berisi puisi.
Cinta benar-benar telah menyusahkanku
Ketika kita saling memandang saat sembahyang
Malamnya aku tak bisa tidur karena wajahmu tak
mau pergi dari kamarku
Kepalaku pusing sejak itu...
Yang berani merusak tidur dan selera makanku ?
Yang membuatku melamun sepanjang waktu?
Kamu tak lebih dari seorang anak muda
Namun ingin kukatakan padamu
Setiap malam aku bersyukur kita telah bertemu
Karena hanya padamu, aku akan merasa rindu....
Aku terpaku memandangi kertas itu. Tanganku gemetar. Aku membaca puisi itu dengan
menanggung firasat sepi tak tertahankan yang diam-diam menyelinap. Aku bahagia tapi
dilanda kesedihan yang gelap, ada rasa kehilangan yang mengharu biru. Tak lama
kemudian aku melihat pagar-pagar sekolahku perlahan-lahan berubah menjadi kaki-kaki
manusia yang rapat berselang-seling. Ada seseorang duduk bersimpuh di tengah lapangan
dikelilingi kaki-kaki itu. Dan ada bangkai seekor buaya terbujur kaku disampingnya
Ia tampak samara-samar dan terlihat sangat putus asa. Lalu wajah samara laki-laki itu tampak
mendekat, ia menoleh ke arahku, air mata mengalir di pipinya yang carut marut berbintik-bintik
hitam. Hari itu aku paham bahwa kepedihan Bodenga yang kusaksikan bertahun-tahun lampau di
lapangan basket sekolah nasional telah melekat dalam benakku sebagai sebuah trauma, dan hari itu,
setelah sekian tahun berlalu, untuk pertama kalinya Bodenga mengunjungiku
TEKANANdarahku terlalu rendah. Penderita hipo-tensi tidak bisa bangun tidur dengan
tergesa-gesa. Jika langsung berdiri maka pandangan mata akan berkunang-kunang lalu
bisa-bisa ambruk dan kembali tidur dalam bentuk yang lain. Sebuah konsekuensi yang
Namun, Samson sungguh tak punya perasaan. Ia membabat kakiku tanpa ampun dengan
gulungan tikar lais saat aku se-dang tertidur lelap.
\"Bangun!\" hardiknya. \"Wak Haji sudah datang, sebentar lagi azan, disiramnya kau
nanti!\" Dan aku terbangkit mendadak, meracau tak keruan antara tidur dan terjaga,
tergagap-gagap. Kurasakan dunia berputar-putar, pandanganku gelap. Aku merangkak
berlindung di balik pilar agar tak ketahuan Wak Haji yang sedang membuka jendelajendela
masjid. Sempat kulihat Lintang, Trapani, Mahar, Syahdan, dan Harun terbiritbirit
menyerbu tempat wudu.
Tidur di ruang utama masjid adalah pelanggaran. Kami seharusnya tidur di belakang, di
ruangan beduk dan usungan jenazah. Aku tersandar tanpa daya pada pilar yang beku,
berusaha meregang-regangkan mataku, jantungku terengah-engah, aku bersusah payah
mengumpul-ngumpulkan nyawa.
Angin dingin menyerbu lewat jendela. Mataku terpicing mengintip keluar jendela. Sisa
cahaya bulan yang telah pudar jatuh di halaman rumput, sepi dan murung. Inilah early
morning blue,semacam hipokondria, perasaan malas, sakit, pesimis, dan kelabu tanpa
alasan jelas yang selalu melandaku jika bangun terlalu dini. Teringat puisi A Ling
untukku, aku ingin tidur lagi dan baru bangun minggu depan.
Setelah Wak Haji selesai mengumandangkan azan baru kurasakan jiwa dan ragaku
bersatu. Kucai yang telah mengambil wudu dengan sengaja melewatiku, jaraknya dekat
sekali, bahkan hampir melangkahiku. Ia menjentikjentikkan air ke wajahku. Kibasan
sarung panjangnya menampar mukaku.
\"Pemalas!\" katanya.
Malam minggu ini kami menginap di Masjid Al Hikmah karena setelah shalat subuh
nanti kami punya acara seru, yaitu naik gunung!
Gunung Selumar tidak terlalu tinggi tapi puncaknya merupakan tempat tertinggi di
Belitong Timur. Jika memasuki kampung kami dari arah utara maka harus melewati bahu
kiri gunung ini. Dari kejauhan, gunung ini tampak seperti perahu yang terbalik, kukuh,
biru, dan samar-samar. Di sepanjang tanjakan dan turunan menyusuri bahu kiri Gunung
Selumar berderet-deret rumah-rumah penduduk Selinsing dan Selumar. Mereka
memagari pekarangannya dengan bambu tali yang ditanam rapat-rapat dan dipangkas
rendah-rendah. Kampung kembar ini dipisahkan oleh sebuah lembah yang digenangi air
yang tenang. Danau Merantik, demikian namanya.
Jika mengendarai sepeda maka stamina tubuh akan diuji oleh sebuah tanjakan pendek
namun curam menjelang Desa Selinsing. Pemuda-pemuda Melayu yang berusaha
membuat kekasihnya terkesan tak 'kan membiarkannya turun dari sepeda. Mereka nekat
mengayuh sampai ke puncak, mengerahkan segenap tenaga, tertatih-tatih sehingga
sepeda tak lurus lagi jalannya. Setelah tanjakan Selinsing ini ditaklukkan maka sepeda
akan menukik turun. Sang pemuda akan tersenyum puas, meminta kekasihnya memeluk
pinggangnya erat-erat dan meyakinkannya bahwa ia kurang lebih tidak akan terlalu
memalukan nanti kalau dijadikan suami.
Pada tukikan ini sepeda akan meluncur turun dengan deras, menikung sedikit, sebanyak
dua kali, menelusuri lembah Danau Merantik, lalu disambut lagi oleh tanjakan kampung
Selumar. Kekasih mana pun akan maklum kalau diminta turun, karena tanjakan Selumar
meskipun tak securam tanjakan Selinsing namun jarak tanjaknya sangat panjang.
Baru seperempat saja menempuh tanjakan Selumar maka sepeda yang dituntun akan
terasa berat. Pagar bambu tali yang dibentuk laksana anak-anak tangga tampak
berbayang-bayang karena mata berkunang-kunang akibat kelelahan. Semakin ke puncak
langkah semakin berat seperti dibebani batu. Keringat bercucuran mengalir deras melalui
celah-celah leher baju, daun telinga, dan mata, sampai membasahi celana. Tapi saat
mencapai puncaknya, yaitu puncak bahu kiri Gunung Selumar, semua kelelahan itu akan
terbayar. Di hadapan mata terhampar luas Belitong Timur yang indah, dibatasi pesisir
pantai yang panjang membiru, dinaungi awan-awan putih yang mengapung rendah, dan
barisan rapi pohon-pohon cemara angin.
Dari puncak bahu ini tampak rumah-rumah penduduk terurai-urai mengikuti pola anak-anak Sungai
Langkang yang berkelak-kelok seperti ular. Kelompok rumah ini tak lagi
dipagari oleh bambu tali namun berselang-seling di antara padang ilalang liar tak bertuan.
Semakin jauh, jalur pemukiman penduduk semakin menyebar membentuk dua arah.
Pemukiman yang berbelok ke arah barat daya terlihat sayup-sayup mengikuti alur jalan
raya satu-satunya menuju Tanjong Pandan. Dan yang terdesak terus ke utara terputus
oleh aliran sebuah sungai lebar bergelombang yang tersambung ke laut lepas Sungai
Lenggang yang melegenda. Di seberang Sungai Lenggang rumah-rumah penduduk
semakin rapat mengitari pasar tua kami yang kusam.
Jangan terburu-buru menuruni lembah. Berhentilah untuk beristirahat. Sandarkan tubuh
berlama-lama di salah satu pokok pohon angsana tempat anak-anak tupai ekor kuning
rajin bermain. Dengarkan orkestra daun-daun pohon jarum dan jeritan histeris burung-burung kecil
matahari yang berebut sari bunga jambu mawar dengan kumbang hitam.
Nikmati komposisi lanskap yang manis antara gu-nung, lembah, sungai, dan laut.
Longgarkan kancing baju dan hirup sejuk angin selatan yang membawa aroma daun
Anthurium andraeanum,yaitu bunga hati yang tumbuh semakin subur beranak pinak
mengikuti ketinggian. Dinamakan bunga hati karena daunnya berbentuk hati.
Aku sendiri tak pasti, apakah aroma harum a-lami yang melapangkan dada itu berasal
andraeanumsendiri atau dari simbiosisnya, sebangsa fungi Clitocybe gibba yaitu jamur
daun tak bertangkai yang rajin merambati akar-akar familia keladi itu. Jamur ini bersemi
dalam suhu yang semakin lembap saat memasuki musim angin barat pada bulan-bulan
yang berakhiran ber. Bentuknya tegap, rendah, dan gemuk-gemuk.
Kami sudah sangat sering piknik ke Gunung Selumar dan agak sedikit bosan dengan
sensasinya. Biasanya kami tidak sampai ke puncak, sudah cukup puas dengan
pemandangan dari 75% ketinggiannya. Lagi pula komposisi batu granit di atas lereng
gunung ini membuat jalur pendakian ke puncak menjadi licin. Namun, kali ini aku amat
bergairah dan bertekad untuk mendaki sampai ke puncak. Laskar Pelangi menyambut
baik semangatku. Belum apa-apa mereka telah sibuk bercerita tentang pemandangan
hebat yang akan kami saksikan nanti dari puncak, yaitu seluruh jembatan di kampung
kami, kapal-kapal ikan, dan tongkang pasir gelas yang bersandar di dermaga.
Tapi aku tak peduli dengan semua pemandangan itu karena aku punya misi rahasia.
Rahasia ini menyangkut sebuah pemandangan menakjubkan yang hanya bisa disaksikan
dari puncak tertinggi Gunung Selumar. Rahasia ini juga berhubungan dengan bunga-bunga kecil
nan rupawan yang hanya tumbuh di puncak tertinggi. Mereka adalah bunga
liar Callistemon laevis atau bunga jarum merah, atau kalau beruntung, bunga kecil kuning
kelopak empat semacam Diplotaxis muralis.
Aku menyebutnya bunga rumput gunung, istilahku sendiri, karena ia senang menyelinap,
enam atau tujuh tangkai seperanakan, di antara rerumputan zebra liar di puncak-puncak
gunung dekat laut. Kelopaknya selebar ibu jari, berwarna kuning redup dan tangkai yang
menopangnya berwarna hijau muda dengan ukuran tak sepadan, natural, spontan, lucu,
dan cantik. Daun-daunnya tak dapat dikatakan indah karena bentuk dan warnanya, bukan
ukurannya, lebih seperti daun Vitex trifolia biasa. Namun jika kita siangi daunnya dan
berhasil mengumpulkan paling tidak 15 kuntum lalu disatukan dengan jumlah yang lebih
sedikit dari kuntum bunga jarum merah maka satu kata untuk mereka: fantastik!
Bunga jarum merah berbentuk jarum yang lebat dengan ujung bulat kecil-kecil berwarna
kuning. Ketika bunga jarum digabungkan dengan bunga rumput gunung tanpa diatur
maka mereka seolah berebutan tampil. Ikatlah mereka dengan pita rambut berwarna biru
muda dan tulislah sebuah puisi, maka Anda akan mampu mendinginkan hati wanita mana
Setelah tiga jam mendaki kami tiba di puncak. Lelah, haus, dan berkeringat, tapi tampak
jelas rasa puas pada setiap orang, sebuah ekspresi \"telah mampu menaklukkan\". Aku
yakin perasaan inilah yang memicu sikap obsesif setiap pendaki gunung profesional
untuk menaklukkan atap-atap dunia. Kiranya daya tarik mendaki gunung berkaitan
langsung dengan fitrah manusia. Lalu dengan hiruk pikuk sahut-menyahut teman-temanku, para
Laskar Pelangi, berkomentar tentang pemandangan yang terhampar luas di
\"Lihatlah sekolah kita,\" pekik Sahara. Bangunan itu tampak menyedihkan dari jauh.
Rupanya dilihat dari sudut dan jarak bagaimanapun, sekolah kami tetap seperti gudang
Lalu Kucai menunjuk sebuah bangunan,\"Hai! Tengoklah! Itu masjid kita.
Seluruh khalayak meneriakinya, tak terima.
\"Itu kelenteng, bodoh!\" Dan mereka pun terbelah dalam dua kelompok debat kusir.
Sebagaimana biasa Mahar mulai berdongeng, menurutnya Gunung Selumar adalah
seekor ular naga yang sedang menggulung diri dan telah tidur panjang selama berabad-abad.
\"Ular ini akan bangun nanti kalau hari kiamat. Kepalanya ada di puncak gunung ini.
Berarti tepat berada di bawah kaki-kaki kita sekarang! Dan ekornya melingkar di muara
Sungai Lenggang,\" katanya absurd.
\"Maka jangan terlalu ribut di sini, nanti kalian kualat,\" tambahnya lagi belum puas
membodohi diri sendiri. Teman-temanku riuh rendah mendengar cerita itu dalam pro dan
Tapi seperti biasa pula, A Kiong-lah yang selalu termakan dongeng Mahar, ia tampak
serius dan percaya seratus persen. Mungkin sebagai ungkapan rasa kagum atas cerita
yang sangat bermanfaat itu, dengan takzim ia memberikan bekal pisang rebusnya kepada
Mahar. Sikapnya seperti seorang anggota suku primitif menyerahkan upeti kepada dukun
yang telah menyembuhkannya dari penyakit kudis. Mahar menyambar upeti itu dan
secara kilat memasukkannya ke dalam sistem pencernaannya tanpa peduli bahwa dia
sedang dianggap sangat berwibawa oleh A Kiong. Meledaklah tawa Laskar Pelangi
melihat pemandangan itu. Namun A Kiong tetap serius, ia sama sekali tidak tertawa,
baginya kejadian itu tidak lucu.
Demikian pula aku. Aku juga tidak tertawa. Karena aku sedang merasa sepi di keramaian.
Mataku tak lepas me-mandang sebuah kotak persegi empat berwarna merah nun jauh di
bawah sana, atap sebuah rumah. Rumah A Ling.
Aku menyingkir dari kegirangan teman-temanku, sendirian menelusuri padang ilalang
rendah di puncak gunung, memetik bunga-bunga liar. Kupandangi lagi atap rumah A
Ling dan segenggam bunga liar nan cantik di dalam genggaman. Untuk inikah
aku mendaki gunung setinggi ini?
Panorama dari puncak ini seperti musik. In-tronya adalah gumpalan awan putih yang
mengapung rendah seolah aku dapat menjangkaunya. Lalu mengalir vokal dari suitansuitan
panjang burung-burung prigantil yang kadang-kadang begitu dekat dan nyaring,
sampai terdengar jauh samar-samar bersahut-sahutan dengan lengkingan-lengkingan
kecil kawanan murai batu. Reffrainnya adalah ribuan burung punai yang menyerbu
hamparan buah bakung yang masak menghitam seperti permadani raksasa. Musik
diakhiri secara fade out oleh jajaran panjang hutan bakau tang-kapan hujan yang
memagari anak-anak Sungai Lenggang, berkelok-kelok sampai tak tampak oleh
pandangan mata, ditelan muara-muara di sepanjang Pantai Manggar sampai ke Tanjong
Angin sejuk yang bertiup dari lembah menampar-nampar wajahku. Aku merasa tenang
dan akan kutulis puisi demi seseorang di balik tirai keong itu. Puisi inilah misi rahasiaku.
A Ling, hari ini aku mendaki Gunung Seiumar Tinggi, tinggi sekaii, sampai ke puncaknya
Hanya untuk melihat atap rumahmu Hatiku damai rasanya
SENIN pagi yang cerah. Sepucuk puisi dibungkus kertas ungu bermotif kembang api.
Bunga-bunga kuning kelopak empat dan kembang jarum merah primadona puncak
gunung diikat pita rambut biru muda. Tak juga hilang kesegarannya karena semalam
telah kurendam di dalam vas keramik. Tak sabar rasanya ingin segera kuberikan pada A
Benda-benda ajaib ini adalah properti sekuel cinta pagi ini, dan skenarionya ada-lah:
ketika A Ling menyodorkan kotak kapur, aku serta-merta meletakkan bunga dan puisiku
ini ke tangannya yang terbuka. Tak perlu ada kata-kata. Biarlah ia menghapus air
matanya karena keindahan bunga-bunga liar dari puncak gunung. Biarlah ia membaca
puisiku dan merasakan kue keranjang tahun ini lebih enak dari tahun-tahun lalu.
Aku gugup dan bergegas menghampiri lubang kotak kapur segera setelah A Miauw
memberi perintah. Namun ketika tinggal dua langkah sampai ke kotak itu aku terkejut tak
alang kepalang. Aku terjajar mundur ke belakang dan nyaris terantuk pada kaleng-kaleng
minyak sayur. Aku terperanjat hebat karena melihat tangan yang menjulurkan kotak
kapur adalah sepotong tangan yang sangat kasar. Tangan itu bukan tangan A Ling!
Tangan itu sangat ganjil, seperti sebilah tembaga yang jahat. Bentuknya benar-benar
kebalikan dari tangan Michele Yeohku. Tangan itu berotot, dekil, hitam legam, dan
berminyak-minyak. Dari otot lengan atasnya menjalar urat-urat besar berwarna biru,
timbul dan berkejaran.
Sebuah gelang akar bahar, tidak tanggung-tanggung, melingkar tiga kali pada lengan
tembaga sepuhan tembaga itu. Ujung gelang diukir berbentuk kepala ular beracun kuat
pinang barik yang menganga lapar siap menyambar. Sedangkan pada pergelangan siku,
seperti dikenakan raksasa jahat dalam pewayangan, melekat gelang alumunium ketat
dengan kedua ujung berbentuk gerigi kunci, biasa dipakai untuk tujuan-tujuan melanggar
hukum. Memang tidak terdapat tato pantangan bagi orang Melayu yang tahu agama, tapi
pada tiga jari jemarinya terdapat tiga mata cincin yang mengancam.
Jari telunjuknya dibalut cincin batu satam terbesar yang pernah kulihat. Batu satam
adalah material meteorit yang unik karena di muka bumi ini hanya ada di Belitong.
Warnanya hitam pekat karena komposisi carbon acid dan mangaan, dan kepadatannya
lebih dari baja sehingga tidak mungkin bisa dibentuk. Batu-batu ini biasa bersembunyi di
lubang bekas tambang timah dan tak 'kan dapat ditemukan jika sengaja dicari. Hanya
nasib baik yang dapat mengeluarkan satam dari perut bumi. Tahun 1922 kompeni
menyebut batu ini billitonite dan dari sinilah Pulau Belitong mendapatkan namanya.
Tanpa sama sekali mempertimbangkan estetika, pemilik tangan itu mengikat benda
keramat dari tata surya itu apa adanya dengan kuningan murahan. Namun, ia
memakainya dengan bangga seolah dirinya penguasa langit.
Pada jari manisnya terpajang cincin bermata batu akik yang mengesankan seperti sebuah
batu kecubung asli Kalimantan yang amat berharga. Tapi aku tak bisa dibohongi. Batu itu
tak lebih dari sintetis hasil masakan plastik yang dipadatkan dengan kristal pada suhu
yang sangat tinggi. Pemakainya adalah seorang penipu. Yang ditipunya tak lain dirinya
Yang terakhir, di jari tengahnya, tampak pemimpin dari seluruh cincin yang
mengintimidasi dan pernyataan kecenderungan licik pemiliknya. Di situ menyeringai
angker sebuah mata cincin besar tengkorak manusia dengan mata berlubang. Cincin ini
dibuat dari bahan mur baja putih yang didapat secara kongkalikong dengan orang bengkel
alat berat PN Timah. Cara mengubah baja ini menjadi cincin membuat siapa pun
bergidik. Setelah dibentuk secara kasar dengan mesin bubut kemudian mur besar baja
putih mentah yang sangat keras itu dikikir secara manual selama berminggu-minggu.
Kebiasaan membuat cincin seperti ini sering dipraktikkan oleh karyawan PN Timah
dalam tingkatan kuli. Kerja keras rahasia berminggu-minggu itu hanya akan
menghasilkan sebuah cincin putih berkilauan yang jelek sekali. Sebuah kebiasaan yang
tak masuk akalku sampai sekarang.
Lalu kuku-kuku pemilik tangan ini, aduh! Minta ampun, bentuknya seperti paras kukukuku
yang terkena kutukan. Berbeda seperti langit dan bumi dibanding kuku-kuku A
Ling yang bertahun-tahun menyihir pandanganku. Kuku-kuku ini sangat tebal, kotor,
panjang tak beraturan, dan ujungnya pecah-pecah. Secara umum kuku-kuku ini mirip
sekali dengan sisik buaya.
Belum hilang rasa terkejutku, aku mendengar suara ketukan keras kuku-kuku besi itu di
permukaan papan dekat kotak kapur tanda tak sabar, maksudnya biar aku segera
mengambil kapur itu. Dari dalam terdengar suara gerutuan tak bersahabat. Karena kukukuku
itu sangat kasar maka ketukan itu terdengar demikian keras, membuatku semakin
gelisah. Tapi yang paling merisaukanku adalah karena aku tak menemukan A Ling. Ke
manakah gerangan Michele Yeohku?
\"Apa yang terjadi?\" Syahdan mendekatiku. \"I-kal, tangan siapa seperti pentungan satpam
Aku tak menjawab, tenggorokanku tercekik. Tangan itu tak asing bagiku. Itu adalah
tangan Bang Sad. Aku ingat ketika ia mengukir kepala ular pinang barik pada akar bahar
pemberian pria-pria berkerudung tempo hari. Pernah diceritakannya padaku bahwa
dibutuhkan waktu tiga minggu untuk membentuk akar panjang dari dasar laut itu menjadi
gelang >tiga lingkar. Akar yang tadinya lurus kencang ditaklukkan dengan cara
melumurinya dengan minyak rem dan mengasapinya dengan sabar di atas suhu tungku
Ketukan-ketukan itu terus menerorku. Bang Sad sungguh tak punya perasaan. Ia tak tahu
aku sedang panik, gugup, dan risau karena tak menjumpai A Ling seperti kebiasaan yang
telah berlangsung selama tujuh tahun. Baru kali ini terjadi hal di luar kebiasaan itu.
Situasi ini sangat membingungkan buatku. Otakku tak bisa berpikir.
Hanya Syahdan yang kiranya segera dapat mencerna keadaan, mengurai kebuntuan,
memecah kebekuan. Ia berinisiatif mengambil kotak kapur itu. Bang Sad menarik
tangannya seperti seekor binatang melata yang masuk kem-bali ke dalam sarangnya.
Syahdan mendekatiku yang ber-diri terpaku, wajahnya sendu. Ia ingin menunjukkan
simpati tapi aku juga tahu bahwa ia sendiri merasa gentar. A Miauw yang dari tadi
memerhatikan menghampiriku dengan tenang. Berdiri persis di sampingku ia menarik
napas pan-jang dan mengatur dengan hati-hati apa yang ingin diucap-kannya.
\"A Ling sudah pigi Jakarta .... Nanti dia terbang naik pesawat pukul 9. Ia harus
menemani bibinya yang sekarang hidup sendiri, ia juga bisa mendapat sekolah yang
Aku tertegun putus asa. Rasanya tak percaya dengan apa yang kudengar. Terjawab sudah
firasatku ketika Bodenga mengunjungiku. Semangatku terkulai lumpuh.
\"Kalau ada nasib, lain hari kalian bisa bertemu lagi.\" A Miauw menepuk-nepuk
Aku terdiam dan menunduk seperti orang sedang mengheningkan cipta. Tanganku
mencengkeram kuat ikatan bunga-bunga liar dan selembar puisi.
\"Ia titip salam buatmu dan ia ingin kamu menyimpan ini ....\"
A Miauw menyerahkan sebuah kado yang dibungkus kertas berwarna ungu bermotif
kembang api, persis sama dengan kertas sampul puisiku. Sebuah kebetulan yang hampir
mustahil. Aku tahu, sejak awal Tuhan telah mengamati baik-baik cinta yang luar biasa
Aku merasa seluruh barang dagangan yang ada di toko itu rubuh menimpaku. Dadaku
sesak. Aku melihat sekeliling dan terpikir akan sesuatu. Aku menarik tangan Syahdan
dan mengajaknya pulang.
Persis pukul 8.50 kami sampai di halaman sekolah, lalu berlari melintasi lapangan
menuju pokok pohon gayam tempat kami sering duduk bersama-sama mengamati
pesawat terbang yang datang dan pergi meninggalkan Tanjong Pandan. Kami mengambil
posisi terbaik sambil bersandar di pokok pohon itu. Kami diam dan terus menengadahkan
kepala, memicingkan mata, ke arah langit yang cerah biru menyilaukan.
Perlahan-lahan muncul sebuah pesawat Foker 28 melintas pelan di atas lapangan sekolah
kami. Aku tahu di dalam pesawat itu ada A Ling dan ia juga pasti sedang sedih
meninggalkan aku sendiri.
Aku mengamati pesawat yang per-gi membawa cinta pertamaku menembus awan-awan
putih nun jauh tinggi di angkasa tak terjangkau. Pesawat itu semakin lama semakin kecil
dan pandanganku semakin kabur, bukan karena pesawat itu semakin jauh tapi karena air
mata tergenang pelupuk mataku. Selamat tinggal belahan jiwaku, cinta pertamaku.
Setelah pesawat itu sama sekali menghilang Syahdan meninggalkanku sendirian. Tibatiba
aku disergap oleh perasaan sunyi yang tak tertahankan. Rasanya di dunia ini hanya
aku satu-satunya makhluk hidup. Daun-daun gayam yang rontok berbunyi seperti bilahbilah
seng yang berjatuhan di kesunyian malam.
Pohon gayam ini adalah satu-satunya pohon di tengah lapangan sekolahku yang sangat
luas dan aku duduk sendiri di bawahnya, kesepian. Aku baru saja ditinggalkan oleh
seseorang yang telah memenuhi hatiku sampai meluap-luap selama lima tahun terakhir
ini. Lalu dengan tiba-tiba pagi ini, ia begitu saja tercabut dari kehidupanku.
Aku membuka kado yang dititipkan A Ling. Di dalamnya terdapat sebuah buku berjudul
Seandainya Mereka Bisa Bicarakarya Herriot dan sebuah diary yang memuat berbagai
catatan harian dan lirik-lirik lagu. Aku membalik lembar demi lembar diary itu. Tak ada
yang istimewa dan tak ada yang khusus ditujukan untukku. Namun pada suatu halaman
aku membaca judul sebuah puisi yang rasanya aku kenal, judulnya Bunga Krisan. Pada
lembar-lembar berikutnya aku melihat seluruh puisi yang dulu pernah kukirimkan
kepadanya dan selalu ia kembalikan. A Ling menylin kembali seluruh puisiku dalam
ANGIN selatan, angin paling jinak, biasa berembus dengan kecepatan maksimum 10
mph. Angin lembut ini tiba-tiba mengamuk menjadi monster puting beliung dengan
kecepatan seribu kali lipat, 10.000 mph. Pohon dan mobil-mobil beterbangan seperti
bulu, aspal jalan terkelupas. Seluruh bangunan runtuh, bahkan fondasi rumah tercabut,
yang tersisa hanya lubang-lubang WC. Tepung sari Camellia dan Buxus yang tumbuh di
kebun liar peliharaan alam di puncak Gunung Samak terhambur ke udara, menimbulkan
pemandangan menyedihkan seperti nyawa-nyawa muda yang dicabut paksa oleh malaikat
maut dari jasad yang segar bugar. Semua itu gara-gara pembakaran minyak solar
berlebihan selama ratusan tahun dalam eksploitasi timah sehingga menimbulkan gas
rumah kaca. Gas itu tertumpuk di atas atmosfer Belitong dan segera menimbulkan efek
rumah kaca, menunggu hari untuk menjadi mara bahaya. Lalu senyawa gas rumah kaca
itu karbondioksida dan radiasi matahari memicu reaksi kimia yang mengubah tepung sari
yang bergentayangan di udara menjadi semacam bubuk mesiu dengan daya ledak sangat
tinggi seperti TNT. Karena kuantitasnya telah beraku mulasi demikian lama maka pada
suatu tengah hari saat orang-orang Melayu sedang mendengarkan musik pelepas lelah di
RRI, tanpa firasat apa pun, terjadilah katastropi itu. Sebuah ledakan yang sangat dahsyat
seperti ledakan nuklir menghantam Belitong. Orang-orang Belitong mengira kiamat telah
datang maka tak perlu menyelamatkan diri. Mereka terduduk pasrah di tangga-tangga
rumahnya, melongo melihat ekor ledakan yang kemudian membentuk cendawan raksasa
yang menutupi tanah kuno pulau itu sehingga gelap gulita. Dalam waktu singkat ajal
yang sebenarnya pun pelan-pelan menjemput, yakni ketika cendawan yang mengandung
radio aktif, merkuri, dan amoniak hanyut turun mengejar orang-orang Belitong yang
kocar-kacir mencari perlindungan. Mereka menyelinap ke gorong-gorong, menyelam di
sungai, sembunyi di dalam karung goni, terjun ke sumur-sumur, dan tiarap di got-got.
Tapi semua usaha itu sia-sia karena gas-gas kimia tadi larut dalam udara dan air.
Sebagian orang Belitong tewas di tempat, tertungging seperti ekstremis dibedil kompeni,
dan mereka yang selamat berubah menjadi makhluk-makhluk cebol berbau busuk.
Melihat penampilan orang Belitong seperti itu pemerintah pusat di Jakarta merasa malu
kepada dunia internasional dan tak sudi mengakui orang Belitong sebagai warga negara
republik. Karena itu Kabupaten Belitong dipaksa rela melakukan referendum. Walaupun
hanya sedikit orang Melayu Belitong yang ingin memisahkan diri dari NKRI tapi
pemerintah menganggap keputusan manusia-manusia cebol itu sebagai aklamasi sehingga
Belitong menjadi negara yang merdeka. Bisa dipastikan bahwa Belitong tidak mampu
menghidupi dirinya sendiri. Di sisi lain, efek rumah kaca yang demikian tinggi
mengakibatkan ekologi di sana tidak seimbang, permukaan air laut naik, dan suhu
menjadi terlalu panas. Dan saat itulah kebenaran yang hakiki datang. Bodenga yang telah
lama menghilang tiba-tiba muncul mengambil alih pemerintahan kabupaten, ia menindas
tandas orang-orang cebol yang telah memper-lakukan ia dan ayahnya dengan tidak adil.
Orang-orang cebol itu digiring olehnya dan digelontor ke muara Sungai Mirang agar
dimangsa buaya. Orang-orang cebol itu meregang nyawa dan dalam waktu singkat
mereka tewas ter-apung-apung seperti ikan kena tuba.
Itulah kira-kira isi kepala seorang pemimpi yang hampir gila karena frustrasi putus cinta
Aku tak bisa berpikir jernih, bermimpi buruk, berhalusinasi, dan dihantui khayalankhayalan
aneh. Jika aku melihat ke luar jendela dan ada pelangi melingkar maka pelangi
iu menjadi monokrom. Jika aku mendengar kicauan prenjak maka ia berbunyi seperti
burung mistik pengabar kematian. Aku merasa setiap orang: para penjaga toko, Tuan Pos,
tukang parut kelapa, polisi pamong praja, dan para kuli panggul telah berkonspirasi
Meskipun selama lima tahun aku hanya dua kali berjumpa dengan Michele Yeohku tapi
perasaanku padanya melebihi segalanya. A Ling adalah sosok yang dapat menimbulkan
perasaan sayang demikian kuat bagi orang-orang yang secara emosional terhubung
dengannya. Ia cantik, pintar, dan baik. Cintanya penuh imajinasi dan kejutan-kejutan
kecil yang menyenangkan, mungkin itulah yang membuatku amat terkesan. Tapi rupanya
ketika ia melepaskan genggaman tangannya minggu lalu, saat itu pula nasib memisahkan
kami. Kini dirinya menjadi semakin berarti ketika ia sudah tak ada dan aku merasa getir.
Kepergian A Ling meninggalkan sebuah ruangan kosong, rongga hampa yang luas, dan
duka lara di dalam hatiku. Dadaku sesak karena rindu dan demi menyadari bahwa rindu
itu tak 'kan pernah terobati, aku rasanya ingin meledak. Aku selalu ingin menghambur ke
toko kelontong Sinar Harapan, tapi aku tahu tindakan dramatis seperti film India itu akan
percuma saja karena di sana aku hanya akan disambut oleh botol-botol tauco dan
tumpukan terasi busuk. Aku merana, merana sekali.
Aku merasa tak percaya, amat terkejut, dan tak sanggup menerima kenyataan bahwa
sekarang aku sendiri. Sendiri di dunia yang tak peduli. Jiwaku lumpuh karena ditinggal
kekasih tercinta, atau dalam bahasa puisi: aku mengharu biru tatkala kesepian melayap
mencekam dermaga jiwa, atau: batinku nelangsa berdarah-darah tiada daya mana kala ia
sirna terbang mencampak asmara.
Dan juga, laksana film India, perpisahan itu membuatku sakit. Seperti pertemuan pertama
dalam insiden jatuhnya kapur di hari yang bersejarah tempo hari, saat itu kebahagiaanku
tak terlukiskan kata-kata. Maka kini, saat perpisahan, kepedihanku juga tak tergambarkan
kalimat. Beberapa waktu lalu aku pernah menertawakan Bang Jumari yang menderita
diare hebat dan menggigil di siang bolong karena cintanya diputuskan oleh Kak Shita,
kakak sepupuku. Ketika itu aku tak habis pikir bagaimana kekonyolan seperti itu bisa
terjadi. Namun, kini hal serupa aku alami. Hukum karma pasti berlaku!
Selama dua hari aku sudah tidak masuk sekolah. Maunya hanya tergeletak saja di tempat
tidur. Kepalaku berat, napasku cepat, dan mukaku memerah. Ibuku memberiku Naspro
dan obat cacing Askomin. Tapi aku tak sembuh. Aku menderita panas tinggi.
Setelah Syahdan, Mahar dan pengikut setianya A Kionglah yang datang menjengukku.
Mahar memakai jas panjang sampai ke lutut seperti seorang dokter hewan dari Eropa dan
A Kiong tergopoh-gopoh di belakangnya menenteng sebuah tas koper laksana siswa
perawat yang sedang magang. Koper ini sangat istimewa karena di sana sini ditempeli
bekas peneng sepeda dan berbagai lambang pemerintahan sehingga mengesankan Mahar
seperti seorang pejabat penting kabupaten.
Syahdan sedang duduk di samping tempat tidurku ketika Mahar masuk ke kamar. A
Kiong dan Mahar tak mengucapkan sepatah kata pun, ekspresi mereka datar. Dengan
gerakan isyarat Mahar menyuruh Syahdan minggir.
Mahar berdiri persis di sampingku, memandangiku dengan cermat dari ujung kaki sampai
ujung rambut. Ia masih tetap tak bicara. Wajahnya serius seperti seorang dokter
profesional dan seolah dalam waktu singkat telah menyelesaikan diagnosisnya. Ia
menggeleng-gelengkankan kepalanya pertanda kasus yang dihadapi tidak sepele. Ia
menarik napas prihatin dan menoleh ke arah A Kiong.
\"Pisau!\" pekiknya singkat.
A Kiong cepat-cepat memutar nomor kombinasi koper lalu mengeluarkan sebilah pisau
dapur karatan. Aku dan Syahdan memerhatikan dengan khawatir. Pisau itu diberikan
dengan takzim pada Mahar yang menerimanya seperti seorang ahli bedah.
\"Kunir!\" perintah Mahar lagi, tegas dan keras.
A Kiong kembali merogoh sesuatu dari dalam koper dan segera menyerahkan kunir
seukuran ibu jari. Tanpa banyak cingcong Mahar memotong kunir dan dengan gerakan
sangat cepat tak sempat kuhindari ia menggerus kunir itu di keningku, melukis tanda
silang yang besar. Maka terpampanglah di keningku huruf X berwarna kuning. Lalu,
seperti telah sama-sama paham prosedur berikutnya, tanpa dikomando, A Kiong
mengambil dahan-dahan beluntas dari dalam koper, melemparkannya kepada Mahar yang
menyambutnya dengan tangkas dan langsung menampar-namparkan daun-daun itu ke
sekujur tubuhku tanpa ampun sambil komat-kamit.
Bukan hanya itu, sementara Mahar mengibas-ngibaskan daun-daun beluntas dengan
beringas, A Kiong serta-merta menyembur-nyemburkan air ke seluruh tubuhku termasuk
wajah melalui alat penyemprot bunga, sehingga yang terjadi adalah sebuah kekacauan.
Aku jadi berantakan dan basah seperti kucing kehujanan, namun aku tak berkutik karena
mereka sangat kompak, cepat, terencana, dan sistematis.
Tak lama kemudian mereka berhenti. Mahar menarik napas lega dan A Kiong dengan
wajah bloonnya ikut-ikutan bernapas lega sok tahu. Sebuah sikap gabungan antara
kebodohan dan fanatisme. Aku dan Syahdan hanya melongo, terpana, pasrah total.
\"Tiga anak jin tersinggung karena kau kencing sembarangan di kerajaan mereka dekat
sumur sekolah ...,\" Mahar menjelaskan dengan gaya seolah-olah kalau dia tidak segera
datang nyawaku tak tertolong. Tak ada rasa bersalah dan niat menipu tecermin dari
wajahnya. Mahar dan A Kiong tampil penuh kordinasi dengan ketenangan mutlak tanpa
dosa. Mereka tak sedikit pun ragu atas keyakinanya pada metode penyembuhan dukun
yang konyol tak tanggung-tanggung.
\"Merekalah yang membuatmu demam panas,\" sambungnya lagi sambil memasukkan
alat-alat kedokterannya tadi ke dalam koper, lalu dengan elegan menyerahkan koper itu
pada A Kiong. A Kiong menyambut tas itu seperti anggota Paskibraka menerima bendera
\"Tapi jangan cemas, Kawan, barusan mereka sudah ku-usir, besok sudah bisa masuk
Lalu tanpa basa-basi, tanpa pamit, mereka berdua langsung pulang. Hanya itu saja katakatanya.
Bahkan A Kiong tak mengucapkan sepatah kata pun. Aku terengah-engah.
Syahdan menutup wajahnya dengan tangannya.
Mahar memang sudah edan. Ia semakin tak peduli dengan buku-buku dan pelajaran
sekolah. Nilai-nilai ulangannya merosot tajam, bisa-bisa ia tidak lulus ujian nanti.
Sebenarnya ia murid yang pandai, belum lagi menghitung bakat seninya, tapi nafsu ingin
tahu yang terkekang terhadap dunia gaib membuatnya lebih senang memperdalam hal-hal
yang subtil. Belakangan ini keanehannya semakin menjadi-jadi, dan semua itu gara-gara
anak Gedong yang tomboi itu Flo atau mungkin gara-gara seorang dukun siluman
bernama Tuk Bayan Tula.
Sebulan yang lalu seluruh kampung heboh karena Flo hilang. Anak bengal penduduk
Gedong itu memisahkan diri rombongan teman-teman sekelasnya ketika hiking di
Gunung Selumar. Polisi, tim SAR, anjing pelacak, anjing kampung, kelompok pencinta
alam, para pendaki profesional dan amatir, para petualang, para penduduk yang
berpengalaman di hutan, para pengangguran yang bosan tak melakukan apa-apa, dan
ratusan orang kampung tumpah ruah mencarinya di tengah hutan lebat ribuan hektare
yang melingkupi lereng gunung itu. Kami sekelas termasuk di dalamnya.
Sampai senja turun Flo masih belum ditemukan. Bapak, Ibu, dan saudara-saudaranya
berulang kali pingsan. Guru-guru dan teman-teman sekelasnya menangis cemas. Segenap
daya upaya dikerahkan tapi belum ada tanda-tanda di mana ia berada. Susah memang,
hutan di gunung ini sangat lebat, sebagian belum terjamah, dan hutan itu ber-ujung di
lembah-lembah liar yang dialiri anak-anak sungai berbahaya.
Salak anjing, teriakan orang memanggil-manggil, dan suara belasan megafone bertalutalu
di lereng gunung. Para dukun tak mampu memberi petunjuk apa pun, ada saja
alasannya, tapi umumnya adalah bahwa para jin penunggu Gunung Selumar lebih sakti,
sebuah alasan klasik. Dari lengkingan megafone itu kami tahu nama anak perempuan
yang sedang hilang: Flo Menjelang sore sebuah lampu sorot besar yang biasa dipakai di
kapal keruk dibawa ke lereng gunung untuk memudahkan tim penyelamat. Orang-orang
dari kampung tetangga turut bergabung. Sekarang jumlah pencari mencapai ribuan. Hari
beranjak gelap dan keadaan semakin meng-khawatirkan. Kabut tebal yang menyelimuti
gunung sangat menyulitkan usaha pencarian. Wajah setiap orang mulai kelihatan cemas
dan putus asa. Tahun lalu dua orang anak laki-laki juga tersesat,setelah tiga hari mereka
ditemukan berpelukan di bawah sebatang pohon Medang, meninggal dunia karena
kelaparan dan hipotermia. Sinar merah lampu sirine mobil ambulans yang berputar-putar
menjilati sisi pohon-pohon besar, menciptakan suasana mencekam, seperti ada kematian
Sudah delapan jam berlalu tapi Flo masih tak diketahui keberadaanya di tengah hutan
rimba gunung ini. Orang tua Flo dan para pencari mulai panik. Malam pun turun.
Kami merasa kasihan pada Flo. Kini ia seorang diri dalam gelap gulita rimba. Ia bisa saja
terjatuh, mengalami patah kaki atau pingsan. Atau mungkin saat ini ia sedang terisakisak,
ketakutan, lapar dan kedinginan di bawah sebatang pohon besar, dan suaranya telah
parau memanggil-manggil minta tolong. Anak perempuan yang seperti anak laki-laki itu
tentu tadi pagi tak menyadari konsekuensi keisengannya. Mungkin awalnya ia hanya
ingin menggoda teman-temannya. Tapi sekarang, keadaan bisa fatal.
Kontur gunung ini sangat unik. Jika berada di dalam hutannya banyak sekali komposisi
pohon dan permukaan tanah yang tampak sama. Maka jika melewati jalur itu seolah
seseorang merasa berada di tempat yang telah ia kenal, padahal tanpa disadari
langkahnya semakin menjauh tersasar ke dalam rimba. Jika Flo mengalami ini ia akan
tersasar jauh ke selatan menuju aliran anak-anak Sungai Lenggang yang sangat deras
berjeram-jeram menuju ke muara. Tak sedikit orang yang telah menjadi korban di sana.
Pada beberapa bagian di wilayah selatan ini juga terhampar dataran tanah luas yang
mengandung jebakan mematikan, yaitu kiumi, semacam pasir hidup yang kelihatan solid
tapi jika diinjak langsung menelan tubuh.
Namun, ia akan sial sekali jika tersasar ke utara. Di sana jauh lebih berbahaya. Ia
memasuki semacam pintu mati. Ia tak 'kan bisa kembali, sebuah point ofno return, karena
lereng gunung di bagian itu terhalang oleh ujung aliran sungai jahat yang disebut Sungai
Buta. Sungai Buta adalah anak Sungai Lenggang tapi alirannya putus hanya sampai di
lereng utara Gunung Selumar. Sungai itu seperti sebuah gang sempit yang buntu atau
seperti jalan yang berakhir di jurang. Orang kampung menamainya Sungai Buta sebagai
representasi keangkerannya. Buta lebih berarti gelap, tak ada petunjuk, terperangkap
tanpa jalan keluar, dan mati.
Sungai Buta demikian ditakuti karena permukaannya sangat tenang seperti danau, seperti
kaca yang diam. Tapi tersembunyi di bawah air yang tenang itu adalah maut yang
sesungguhnya, yaitu buaya-buaya besar dan ular-ular dasar air yang aneh-aneh. Buaya
sungai ini berperangai lain dan amat agresif, mereka mengincar kera-kera yang
bergelantungan di dahan rendah, bahkan menyambar orang di atas perahu. Pohon-pohon
tua ru1yang tinggi tumbuh dengan akar tertanam di dasar sungai ini, sebagian telah mati
menghitam, membentuk pemandangan yang sangat menyeramkan seperti sosok-sosok
hantu raksasa yang merenungi per mukaan sungai dan menunggu mangsa melintas.
Sungai Buta berbentuk melingkar, mengurung sisi utara Gunung Selumar. Jika Flo
tersesat ke sini ia tak mung-kin dapat kembali mundur karena tenaganya pasti tak akan
cukup untuk kembali mendaki punggung granit yang curam. Jika ia memaksa, sangat
mungkin ia akan terpeleset jatuh dan terhempas di atas batu-batu karang. Pilihan satusatunya
hanya berenang melintasi Sungai Buta yang horor dengan kelebaran hampir
seratus meter. Untuk menyeberangi sungai itu ia terlebih dahulu harus menyibaknyibakkan
hamparan bakung setinggi dada dan hampir dapat dipastikan pada langkahlangkah
pertama di area bakung itu riwayatnya akan tamat. Di sanalah habitat terbesar
buaya-buaya ganas di Belitong.
Di tengah kepanikan tersiar kabar bahwa ada seorang sakti mandraguna yang mampu
menerawang, tapi beliau tinggal jauh di sebuah Pulau Lanun yang terpencil. Ialah seorang
dukun yang telah menjadi legenda, Tuk Bayan Tula, demikian namanya. Tokoh ini
dianggap raja ilmu gaib dan orang paling sakti di atas yang tersakti, biang semua
keganjilan, muara semua ilmu aneh.
Banyak orang beranggapan Tuk Bayan Tula tak lebih dari sekadar dongeng, bahwa ia
sebenarnya tak pernah ada, dan tak lebih dari mitos untuk menakuti anak kecil agar
cepat-cepat tidur. Tapi banyak juga yang berani bersaksi bahwa ia benar-benar ada.
Bahkan diyakini beliau dulu pernah tinggal di kampung dan sempat menjadi penjaga
hutan larangan suruhan Belanda, pernah menjadi carik, dan pernah menjadi nakhoda
kapal yang berulang kali memimpin armada melanglang Selat Malaka. Menjadi
Konon beliau memang memiliki bakat khusus di bidang ilmu antah berantah, karena
dalam usia muda beliau sudah menguasai budi suci. Ilmu ini sangat potensial membuat
penganutnya senang memanjat tiang bendera di tengah malam sebab menderita sakit
saraf. Jika tak kuat menahankan ilmu gaib budi suci, dalam waktu singkat seseorang bisa
menjadi gila. Tapi jika sukses, pemegangnya bisa membunuh orang bahkan tanpa
menyentuhnya. Tuk sudah khatam budi suci sejak usia belasan. Dalam usia itu beliau
juga sudah bisa mempraktikkan ilmu sekuntak, maka beliau mampu memadamkan
bohlam hanya dengan memandangnya sepintas. Namun, seiring tinggi ilmunya ia
semakin menjauhkan diri dari masyarakat dan telah berpantang kata untuk menjaga
kesaktiannya. Maka Tuk Bayan Tula tak 'kan pernah berucap lagi.
Kini Tuk menyepi di pulau tak berpenghuni. Nama Tuk Bayan Tula sendiri adalah nama
yang menciutkan nyali. Tuk adalah nama julukan lama, dari kata datuk untuk menyebut
orang sakti di Belitong. Bayan juga panggilan bagi orang berilmu hebat yang selalu
memakai nama binatang, dalam hal ini burung bayan. Tula, bahasa Belitong asli, artinya
kualat, mungkin jika kurang ajar dengan beliau orang bisa langsung kualat. Sedangkan
nama Pulau Lanun tempat tinggal Tuk sekarang juga tak kalah angker. Lanun berarti
perompak. Pulau itu tak berani didekati para nelayan karena di sanalah para perompak
yang kejam sering merapat. Namun, kabarnya para perompak itu kabur tunggang
langgang ketika Tuk Bayan Tula menguasai pulau itu. Banyak yang mengatakan para
perompak itu dipenggal Tuk dengan sadis. Kini Tuk tinggal sendirian di sana.
Berbagai cerita yang mendirikan bulu kuduk selalu dikait-kaitkan dengan tokoh siluman
ini. Ada yang mengatakan beliau sengaja mengasingkan diri di pulau kecil sebelah barat
sebagai tameng yang melindungi Pulau Belitong dari amukan badai. Ada yang percaya ia
bisa melayang-layang ringan seperti kabut dan bersembunyi di balik sehelai ilalang. Dan
yang paling menyeramkan adalah bahwa dikatakan Tuk telah menjadi manusia separuh
Anehnya, di balik keangkeran cerita yang berbau mistis itu semua orang menganggap
Tuk Bayan Tula adalah wakil dari alam bawah tanah dunia putih. Di beberapa wilayah di
Belitong beliau dianggap sebagai pahlawan yang telah membasmi para dukun hitam
nekromansi yang mengambil keuntungan melalui komunikasi dengan orang-orang yang
telah mati. Beliau dianggap ahli menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh praktik
klenik jahat untuk mencelakakan orang. Maka Tuk tak ubahnya Robin Hood, pahlawan
yang mencuri untuk menolong kaum papa, atau orang yang berbuat baik dengan cara
yang salah. Ada pula sebagian orang Belitong yang menganggap beliau bukan dukun,
tapi sekadar seorang eksentrik yang dianu-gerahi indra keenam.
Apakah Tuk Bayan Tula seseorang yang mengkhianati ajaran tauhid? Mungkinkah ia
sekadar seorang pahlawan pemusnah santet yang ingin mati sebagai martir? Ataukah ia
hanya seorang tua yang memutuskan hidup sendiri ka-rena bermasalah dengan perangkat
syahwat? Tak ada yang tahu pasti. Kisah kesaktian, gaya hidup, biografi, dan paradoks
kepahlawanan Tuk ketika dikonfrontasikan dengan keyakinan orang awam akan menjadi
sebuah misteri. Misteri ini mengandung daya tarik dunia bawah tanah, metafisika,
paranormal, fenomena-fenomena janggal, dan ilmu pengetahuan yang membakar rasa
ingin tahu sebagian orang. Sebagian dari orang itu adalah Mahar.
Dalam kasus Flo, keadaan paniklah yang menyebabkan orang-orang sudah tidak lagi
mengandalkan akal sehat sehingga berunding untuk minta bantuan Tuk Bayan Tula.
Kekalutan memuncak karena saat itu sudah tengah malam dan Flo tak juga diketahui
nasibnya. Maka diutuslah beberapa orang untuk menemui Tuk Bayan Tula. Utusan ini
bukan sembarangan, paling tidak terdiri atas orang-orang yang telah cukup
berpengalaman dalam urusan mistik sehingga cukup teguh hatinya jika digertak Tuk.
Mereka adalah seorang pawang hujan, seorang dukun angin, kepala suku Sawang, dan
seorang polisi senior. Utusan ini berangkat menggunakan speedboat milik PN Timah
yang berkecepatan sangat tinggi. Kami waswas menunggu mereka kembali, terutama
cemas kalau-kalau keempat orang utusan itu disembelih oleh sang manusia siluman
Ketika matahari pagi mulai merekah, utusan tadi kembali. Kami senang menyambut
mereka dengan mengharapkan keajaiban yang tak masuk akal, tapi itu lebih baik dari
pada patah harapan sama sekali. Namun utusan ini tak membawa kabar apa-apa kecuali
sepucuk kertas dari Tuk Bayan Tula. Puluhan orang mengerumuni cerita mereka yang
mencengangkan. Mahar duduk paling depan.
\"Ketika perahu merapat, anjing-anjing hutan melolong-lolong seolah melihat iblis
beterbangan,\" kata ketua utusan, seorang pawang hujan. Ia termasuk orang berilmu dan
dunia bawah tanah bukan hal baru baginya, tapi terlihat jelas ia takut dan merasa Tuk
tidak ada di liganya. Sama sekali bukan tandingannya.
\"Tuk Bayan Tula tinggal di sebuah gua yang gelap, di jantung Pulau Lanun. Pulau itu
berbelok menyimpang dari jalur nelayan, jadi tak seorang pun akan ke sana. Perahuperahu
perompak yang telah beliau bakar berserakan di tepi pantai. Tak ada siapa-siapa di
pulau itu kecuali beliau sendiri dan tak terlihat ada tanaman kebun atau sumur air tawar,
tak tahulah Datuk itu makan minum apa.\"
Kemudian para anggota utusan yang lain sambung-menyambung, \"Melihat wajahnya
dada rasanya berdetak, sungguh seseorang yang tampak sangat sakti dan berilmu ting-gi.
Ketika beliau keluar ke mulut gua seakan seluruh alam menunduk. Di sana kami
merasakan udara yang pe-nuh daya magis.\"
Cerita ini dikonfirmasikan oleh hampir seluruh anggota utusan, bahwa ketika Tuk Bayan
Tula berdiri kira-kira lima meter di depan mereka, mereka melihat kaki-kaki datuk itu tak
menyentuh bumi. Ia seperti kabut yang melayang.
\"Tubuhnya tinggi besar, rambut, kumis, dan jenggot-nya lebat dan panjang, matanya
berkilat-kilat seperti burung bayan. Pakaiannya hanya selembar kain panjang yang dililitlilitkan.
Ia bertelanjang dada, dan sebilah parang yang sangat panjang terselip di
pinggangnya. Aku ketakutan melihatnya.\"
Kami mendengarkan dengan saksama, terutama Mahar yang tampak terpesona bukan
main. Mulutnya ternganga dan raut wajahnya memperlihatkan kekaguman yang amat
sangat pada Tuk Bayan Tula. Ia tampak begitu terpengaruh dan siap mengabdi pada
superstardunia gaib itu. Inilah fanatisme buta. Dalam imajinasinya mungkin Tuk Bayan
Tula sedang duduk di atas singgasana yang dibuat dari tulang belulang musuh-musuhnya.
Lalu beberapa ekor dedemit yang telah ditaklukkannya patuh melayaninya dengan
limpahan anggur-anggur putih. Ketika itu tak sedikit pun terlintas dalam pikirannya kalau
nanti Tuk Bayan Tula akan memutar jalan hidupnya dan jalan hidup perempuan kecil
yang sedang tersesat di rimba ini dengan sebuah kisah antiklimaks.
\"Di depan mulut gua kami melihat empat lembar pelepah pinang raja tempat duduk telah
tergelar, seolah beliau telah tahu jauh sebelumnya kalau kami akan datang. Beliau
menemui kami, sedikit pun tidak tersenyum, sepatah pun tidak berkata.\"
Sang ketua utusan mengusap wajahnya yang masih kelihatan terkesiap karena pertemuan
langsungnya dengan tokoh sakti mandraguna Tuk Bayan Tula. Meskipun sudah beberapa
jam yang lalu ia masih belum bisa menghilangkan perasaan terkejutnya.
\"Kami menceritakan maksud kedatangan kami. Beliau mendengarkan dengan
memalingkan muka. Belum selesai kami berkisah beliau langsung memberi isyarat
meminta sepucuk kertas dan pena, lalu beliau menuliskan sesuatu. Juga diisyaratkan agar
kami segera pulang dan hanya membuka tulisan beliau setelah tiba di sini. Di kertas
inilah beliau menulis.\"
Ketua utusan memperlihatkan gulungan kertas, semua orang merubungnya. Mahar
melihat gulungan itu dengan tatapan seperti melihat benda ajaib peninggalan makhluk
angkasa luar. Dengan gemetar sang ketua utusan membuka gulungan kertas itu dan di
INILAH PESAN TUK BAYAN TULA: JIKA INGIN MENEMUKAN ANAK
PEREMPUAN ITU MAKA CARILAH DIA DI DEKAT GUBUK LADANG YANG
DITINGGALKAN. TEMUKAN SEGERA ATAU
DIA AKAN TENGGELAM DI BAWAH AKAR BAKAU
Sebuah pesan yang mendirikan bulu tengkuk, lugas, dan mengancam atau lebih tepatnya
menakut-nakuti. Tapi harus diakui bahwa pesan ini mengandung sebuah tenaga. Pilihan
katanya teliti dan menunjukkan sebuah kualitas keparanormalan tingkat tinggi. Jika Tuk
Bayan Tula seorang penipu maka ia pasti penipu ulung, tapi jika ia memang dukun maka
ia pasti bukan dukun palsu yang oportunistik. Bagaimanapun pesan ini mengandung
pertaruhan reputasi yang pasti. Tidak ada kata tersembunyi, tak ada kata bersayap.
Intinya jelas: jika Flo tidak ditemukan di dekat gubuk ladang yang telah ditinggalkan
pemiliknya atau jika ia tidak ditemukan tewas hari ini di sela-sela akar bakau, maka sang
legenda Tuk Bayan Tula tak lebih dari seorang tukang dadu cangkir di pinggir jalan.
Semua makhluk yang senang memain-mainkan dadu adalah kaum penipu. Kalau itu
sampai terjadi rasanya aku ingin berangkat sendiri ke Pulau Lanun untuk menyita satusatunya
kain yang melilit tubuh Tuk. Tapi selain semua kemungkinan itu pesan tadi juga
harus diakui telah memberi harapan dan batas waktu, apa yang akan terjadi jika
Kebiasaan berladang berpindah-pindah masih berlangsung hingga saat ini. Namun
potensi kesulitan sangat mungkin muncul. Tak mudah menentukan yang mana yang
merupakan gubuk ladang. Gubuk telantar banyak terdapat di lereng gunung, yaitu gubuk
rahasia para pencuri timah. Para pendulang liar menggali timah nun jauh di lereng
gunung secara ilegal dan menjualnya pada para penyelundup yang menyamar sebagai
nelayan di perairan Bangka Belitong. Pencuri dan penyelundup timah adalah profesi yang
sangat tua. Aktivitas kriminal ini kriminal dari kaca mata PN Timah tentu saja telah ada
sejak orang-orang Kek datang dari daratan Tiongkok untuk menggali timah secara resmi
di Belitong dalam rangka mengerjakan konsesi dari kompeni, hari-hari itu adalah abad
PN Timah memperlakukan pelaku eksploitasi timah ilegal dan penyelundup dengan
sangat keras, tanpa perikemanusiaan. Pelakunya diperlakukan seolah pelaku tindak
pidana subversif. Di gunung-gunung yang sepi tempat para pendulang timah dianggap
pencuri dan di laut tempat penyelundup dianggap perompak, hukum seolah tak berlaku.
Jika tertangkap tak jarang kepala mereka diledakkan di tempat dengan AKA 47 oleh
manusia-manusia tengik bernama Polsus Timah.
Tim kami berangkat sejak pagi benar di bawah pimpinan Mahar. Kami bergerak ke utara,
ke arah jalur maut Sungai Buta. Belasan ladang terutama yang dekat sungai telah kami
kunjungi dan gubuknya telah kami obrak-abrik, kami juga mencari-cari di sela-sela akar
bakau, tapi hasilnya nihil. Flo raib seperti ditelan bumi. Suara kami sampai parau
memanggil-manggil namanya dan satu-satunya megafone yang dibekali posko telah habis
Dan pagi pun tiba, pencarian berlangsung terus. Dari walky talky kami pantau bahwa Flo
masih tetap misteri. Sekarang baterai walky talky mulai lemah dan hanya dapat
memonitor saja. Tidak hanya batu-batu baterai itu, sema-ngat kami pun melemah. Kami
mulai dihinggapi perasaan putus asa.
Dari setiap gubuk yang kami kunjungi dan tidak ditemukan Flo di dalamnya maka satu
kredit minus mengurangi reputasi Tuk. Sesudah hampir dua puluh gubuk yang nihil, saat
itu menjelang tangah hari, reputasi beliau pun makin pudar kalau bukan disebut hancur.
Kami mulai meragukan kesaktian dukun siluman itu. Mahar tampak agak tersinggung
setiap kali kami mengeluh jika menemukan gubuk yang kosong, apa lagi ada celetukan
yang melecehkan Tuk Bayan Tula.
\"Kalau dia bisa berubah menjadi burung bayan, tak perlu susah-susah kita mencari-cari
seperti ini,\" desah Kucai sambil terengah-engah.
Berbagai pikiran buruk menghantui kepala yang penat dan tubuh yang lelah.
Ke manakah engkau gadis kecil? Mungkinkah anak gedongan itu telah tewas?
Parameter pencarian demikian luas. Flo bisa saja tidak menuruni lereng menuju ke
lembah melainkan naik terus ke puncak, atau berjalan berputar-putar mengelilingi lereng,
tersesat dalam fatamorgana sampai habis tenaganya. Mungkin juga ia telah tembus di sisi
barat daya dan memasuki perkampungan Tionghoa kebun di sana. Atau ia sedang dililit
ular untuk dibusukkan dan ditelan besok malam.
Mungkinkah ia telah berenang melintasi Sungai Buta? Bukankah ia anak tomboi yang
terkenal nekat tak kenal takut? Selamat atau sudah tamatkah riwayatnya? Perbekal-an air
dan makanan kami yang seadanya telah habis. Harun, Trapani, dan Samson sudah ingin
menyerah dan menyarankan kami kembali ke posko, tapi Mahar tak setuju, ia yakin
sekali pada kebenaran pesan Tuk Bayan Tula. Sebaliknya, bagi kami hanya bayangan
penderitaan Flo yang masih menguatkan hati untuk terus mencari. Jika ingat betapa ia
ketakutan, kelaparan, dan kedinginan, kelelahan kami rasanya dapat ditahankan.
Menjelang pukul 10 pagi, berarti telah 27 jam Flo lenyap. Kami sudah tak memedulikan
pesan Tuk. Bagi kami kecuali Mahar datuk itu tak lebih dari semua dukun-dukun lainnya,
palsu dan oportunistik. Kami memperlebar parameter pencarian sampai agak naik ke atas
ladang. Di setiap gubuk kami menemukan pemandangan yang sama, yaitu babi-babi
hutan yang kawin berpesta pora atau tikus-tikus pengerat bercengkrama di antara
dengungan kumbang yang bersarang di tiang-tiang gubuk yang lapuk.
Pukul 11, siang sudah, kami tiba di sebuah batu cadas besar yang menjorok. Kami
berkumpul di sana untuk mengistirahatkan sisa-sisa tenaga terakhir. Inilah ujung akhir
lereng utara karena setelah ini, nun setengah kilometer di bawah kami adalah wilayah
bahaya maut Sungai Buta. Kami tak 'kan turun ke wilayah yang dihindari setiap orang
itu, bahkan penjelajah profesional tak berani ke sana. Kami sudah putus asa dan setelah
beristirahat ini kami akan segera kembali ke posko. Kami telah gagal, Flo tetap nihil, dan
paling tidak di lereng utara Tuk Bayan Tula telah berdusta. Dari walky talky kami
memonitor bahwa di barat, timur, dan selatan Flo juga tak ditemukan, berati Tuk Bayan
Tula telah berdusta di empat penjuru angin.
Kami diam terpaku menerima berita itu. Wajah Mahar sembap seperti ingin menangis. Ia
seumpama kekasih yang dikhianati orang tersayang. Tuk telah melukai hatinya meskipun
ia sedikit pun tak kenal tokoh pujaannya itu. Ini risiko keyakinan yang rabun. Dan aku
sedih, bukan karena membayangkan kehancuran integritas Tuk atau perasaan Mahar yang
kecewa, tapi karena memikirkan nasib buruk yang menimpa Flo. Bisa saja ia tak 'kan
pernah ditemukan, hilang, raib. Bisa juga ia ditemukan tapi cuma tinggal berupa
kerangka yang dipatuki burung gagak. Ia juga mungkin ditemukan dalam keadaan
menyedihkan telah tercabik-cabik hewan buas. Dan yang paling tak tertahankan adalah
jika ia mati sia-sia secara memilukan karena pertolongan terlambat beberapa jam saja.
Sulit untuk bertahan hidup dalam suhu sedingin malam tadi tanpa makanan sama sekali.
Dan saat-saat sekarang ini sudah memasuki keadaan yang mulai terlambat itu. Mengapa
anak cantik kaya raya yang hidup di rumah seperti istana, dari keluarga terhormat,tanpa
trauma masa kecil, dan yang memiliki limpahan kasih sayang semua orang, serta
lingkungan seperti taman eden, ha-rus berakhir di tempat ganas ini? Aku tak sanggup
mem-bayangkan lebih jauh perasaan orangtuanya.
Aku terbaring kelelahan memandangi keseluruhan Gunung Selumar yang biru, agung,
dan samar-samar. Aku per-nah menulis puisi cinta di puncaknya dan gunung ini pernah
memberiku inspirasi keindahan yang lembut. Bahkan di sabana di atas sana tumbuh
bunga-bunga liar kuning kecil yang dapat membuat siapa pun jatuh cinta, bukan hanya
kepada bunganya, tapi juga kepada orang yang mempersembahkannya. Namun
kelembutan gunung ini, seperti kelembutan unsur-unsur alam lainnya, air, angin, api, dan
bumi, ternyata menyembunyikan kekejaman tak kenal ampun. Betapa teganya, toh
bagaimanapun nakalnya, Flo hanyalah seorang gadis kecil, permata hati keluarganya.
Kucai menepuk-nepuk bahu Mahar dan menghiburnya. Mahar memalingkan muka. Ia
menunduk diam. Matanya jauh menyapu pandangan ke Sungai Buta dan rawa-rawa
bakung di bawah sana. Kami bangkit, membereskan perlengkapan, dan mempersiapkan
diri untuk pulang. Sebelum kami melangkah pergi Syahdan yang mengalungkan teropong
kecil di lehernya mencoba-coba benda plastik mainan itu. Ia meneropong tepian Sungai
Buta. Saat kami ingin menuruni batu cadas itu tiba-tiba Syahdan berteriak, sebuah
\"Lihatlah itu, ada pohon kuini di pinggir Sungai
Kami membalikkan badan terkejut dan Mahar serta-merta merampas teropong Syahdan.
Ia berlari ke bibir cadas dan meneropong ke bawah dengan saksama, \"Dan ada gubuk!\"
katanya penuh semangat.
\"Kita harus turun ke sana!\" katanya lagi tanpa berpikir panjang.
Kami semua terperanjat dengan usul sinting itu. Kucai yang dari tadi membisu
menganggap kekonyolan Mahar telahmelampaui batas. Sebagai ketua kelas ia merasa
\"Apa kau sudah gila!\" Ia menyalak dengan galak. Sorot matanya tajam, merah, dan
marah, walaupun yang ditatapnya adalah Harun yang berdiri melongo di samping Mahar.
\"Mari aku jelaskan ke kepalamu yang dikaburkan asap kemenyan sehingga tak bisa
berpikir waras. Pertama-tama di bawah sana tak mungkin sebuah ladang. Tak ada orang
sinting yang mau berladang di pinggir Sungai Buta kecuali ia ingin mati konyol. Tak
tahukah kau cerita pengalaman orang lain, di situ buaya tidak menunggu tapi mengejar.
Dan ular-ular sebesar pohon kelapa melingkar-lingkar di sembarang tempat. Kalaupun itu
memang gubuk, itu gubuk pencuri timah. Berdasarkan pesan datuk setengah iblis anak
gedongan itu hanya ada di gubuk ladang yang ditinggalkan!\"
Mahar menatap Kucai dengan dingin, Kucai semakin geram.
\"Kalau kita turun ke sana, aku pastikan kita bisa menjadi Flo-Flo baru yang malah akan
dicari orang, menambah persoalan, merepotkan semuanya nanti. Tempat itu sangat
berbahaya, Har, pakai otakmu! Ayo pulang!!\"
Mahar tetap sedingin es, ekspresinya datar. \"Lagi pula mana mungkin anak perempuan
kecil itu dapat mencapai tempat ini. Batu ini adalah dinding utara terakhir. Kita telah
mendatangi puluhan gubuk ladang yang ditinggalkan, hasilnya nol, mendatangi satu
gubuk pencuri timah hasilnya akan tetap sama, ayolah pulang, Kawan, terimalah
kenyataan bahwa Tuk telah menipu kita, ayolah pulang, Kawan ..,,\" Kucai merendahkan
suaranya, mungkin ia sadar membujuk orang setengah gila tidak bisa dengan marah-
marah. Tapi Mahar tetap membatu, ia seperti menhir, masih belum bisa diyakinkan. Ia
tak 'kan menyerah semudah ini. Syahdan ikut menasihati dengan kata-kata pesimis.
\"Sudah hampir tiga puluh jam Flo hilang, kita harus belajar realistis, mungkin ia memang
ditakdirkan menemui ajal di gunung ini. Tuhan telah memanggilnya dan gunung ini pun
Mahar tak bergerak. Kami beranjak meninggalkan tempat itu. Lalu dengan dingin Mahar
mengatakan ini, \"Kalian boleh pulang, aku akan turun sendiri....\"
Maka turunlah kami semua walaupun kami tahu tak 'kan menemukan Flo di pinggir
Sungai Buta. Hal itu sangat muskil, sangat mustahil. Semuanya menggerutu dan kami
mengutuki Syahdan yang tadi iseng-iseng meneropong dengan teropong plastik jelek
mainan anak-anak itu. Dia menyesal. Tapi semuanya telah telanjur, sekarang kami
pontang panting menuruni punggung lereng yang curam, berkelak-kelok di antara batubatu
besar dan menerabas kerimbunan gulma yang sering menusuk mata.
Kami menuju ke sebuah gubuk pencuri timah di wi-layah maut pinggiran Sungai Buta
hanya untuk menemani Mahar, menemani ia memuaskan egonya, membuktikan padanya
bahwa insting tidak harus selalu benar, dan melindunginya dari ketololannya sendiri.
Walaupun kami benci pada kefanatikannya tapi ia tetap teman kami, anggota Laskar
Pelangi, kami tak ingin kehilangan dia. Kadang-kadang persahabatan sangat menuntut
dan menyebalkan. Pelajaran moral nomor lima: jangan bersahabat dengan orang yang
Kira-kira satu jam kemudian, tepat tengah hari, kami telah berada di lembah Sungai Buta.
Wilayah ini merupakan blank spot untuk frekuensi walky talky sehingga suara kemerosok
yang sedikit menghibur dari alat itu sekarang mati dan tempat ini segera jadi mencekam.
Untuk pertama kalinya aku ke sini dan rasa angkernya memang tidak dibesar-besarkan
orang. Kenyataannya malah terasa lebih ngeri dari bayanganku sebelumnya. Kami
memasuki wilayah yang jelas-jelas menunjukkan permusuhan pada pendatang. Wilayah
ini seperti dikuasai oleh suatu makhluk teritorial yang buas, asing, dan sangat jahat.
Kerasak-kerasakgelap di pokok pohon nipah yang digenangi air seperti kerajaan jin dan
tempat sarang berkembang biaknya semua jenis bangsa-bangsa hantu. Biawak berbagai
ukuran melingkar-lingkar di situ, sama sekali tak takut pada kehadiran kami, beberepa
ekor di antaranya malah bersikap ingin menyerang.
Hanya sedikit orang pernah ke sini dan di antara yang sedikit itu dan yang paling tolol
adalah kami. Kami berjalan dalam langkah senyap berhati-hati. Semuanya mengeluarkan
parang dari sarungnya dan terus-menerus menoleh ke kiri dan kanan serta membentuk
formasi untuk melindungi punggung orang terdekat. Kami mendengar suara sesuatu
ditangkupkan dengan sangat keras dan mengerikan disertai suara kibasan air yang besar.
Kami diam tak membahas itu, kami tahu suara itu tangkupan mulut buaya yang besarnya
tak terkira. Ada juga suara bayi-bayi buaya yang berkeciak dan pemandangan beberapa
ekor ular bergelantungan di dahan-dahan pohon. Kami terus merangsek maju seperti
sedang mengintai musuh.
Pondok itu kira-kira seratus meter di depan kami. Semakin dekat, semakin jelas dan
mencengangkan karena tempat itu agaknya memang bekas sebuah ladang yang
ditinggalkan. Kami menemukan kawat-kawat bekas pagar dan dari kejauhan melihat
pohon-pohon kuini, jambu bol, dan sawo. Siapa orang luar biasa yang berani berladang di
Jarak ladang ini dekat sekali dengan pinggiran Sungai Buta, bisa dipastikan sangat
berbahaya. Pemiliknya pasti ingin mendekati air tanpa mempertimbangkan keselamatan.
Sebuah tindakan bodoh. Atau mungkinkah karena ketololannya itulah maka riwayat sang
pemilik telah berakhir di tepi sungai ini sehingga ladangnya sekarang tak bertuan? Tapi
ada hal lain, yaitu siapa pun pemilik tersebut terutama jika ia masih hidup maka ia pasti
tak sanggup memelihara ladang ini karena hama perompak tanaman juga luar biasa di
sini. Kawanan kera sampai mencapai lima kelompok, saling berebutan lahan dengan
serakah. Belum lagi tupai, lutung, babi hutan, musang, luak, dan tikus pengerat, hewanhewan
ini sudah keterlaluan.
Kami berjingkat-jingkat tangkas di atas akar-akar bakau yang cembung berselang-seling.
Akar-akar ini seperti menopang pohonnya yang rendah. Tak kami temukan Flo
tersangkut di bawah akar-akar itu, satu lagi konfirmasi penipuan Tuk Bayan Tula. Setelah
yakin Flo tak ada di bawah akar bakau, kami pelan-pelan mendekati ladang.
Semakin dekat ke lokasi ladang kami dapat melihat dengan jelas sebuah gubuk beratap
daun nipah. Lalu ada suatu pemandangan yang agak menarik, yaitu salah satu dahan
pohon jambu mawar yang berdaun amat lebat bergoyang-goyang hebat seperti ingin
dirubuhkan. Jambu mawar itu tumbuh persis di samping gubuk. Pastilah itu ulah lutung
besar yang sepanjang waktu selalu lapar.
Kami mendekati pohon jambu mawar itu dengan waspada. Kami menyusun semacam
strategi penyergapan untuk memberi pelajaran pada lutung rakus itu. Kami mengendapendap
seperti pasukan katak baru keluar dari rawa untuk merebut sebuah gudang senjata.
Di ladang telantar ini tumbuh subur ilalang setinggi dada dan pohon-pohon singkong
yang sudah centang perenang dirampok hewan-hewan liar. Buah-buah sawo yang masih
muda, putik-putik jambu bol, dan buah kuini muda juga berserakan di tanah karena
dijarah secara sembrono oleh hama hewan-hewan itu. Bahkan buah-buahan ini tak
sempat masak. Binatang-binatang tak tahu diri!
Lutung besar yang sedang berpesta pora di dahan jambu mawar itu tak menyadari
kehadiran kami. Ia semakin menjadi-jadi, mengguncang-guncang dahan jambu itu hingga
daun dan bakal buahnya berjatuhan, kurang ajar sekali. Kami semakin dekat dan berjinjitjinjit
tak menimbulkan suara. Kami ingin menangkapnya basah sehingga ia semaput
ketakutan, inilah hiburan kecil di tengah ketegangan menyelamatkan nyawa manusia.
Setelah tiba saatnya kami bersama-sama menghitung hingga tiga dan melompat serentak,
menghambur ke bawah dahan itu sambil bertepuk tangan dan berteriak sekeras-kerasnya
untuk mengejutkan sang lutung. Tapi tak sedikit pun diduga situasi berbalik seratus
delapan puluh derajat, karena sebaliknya, ketika kami menyerbu justru kami yang
terkejut setengah mati tak alang kepalang, rasanya ingin terkencing-kencing. Kami tak
percaya dengan penglihatan kami dan terkaget-kaget hebat karena persis di atas kami, di
sela-sela dedaunan yang sangat rimbun, bertengger santai seekor kera besar putih yang
tampak riang gembira menunggangi sebatang dahan seperti anak kecil kegirangan main
kuda-kudaan, wajahnya seperti baru saja bangun tidur dan belum sempat cuci muka. Ia
tertawa terbahak-bahak sampai keluar air matanya melihat wajah kami yang terbengongbengong
pucat pasi. Flo yang berandal telah ditemukan!
AKU terengah-engah basah kuyup. Syahdan memandangi aku dengan prihatin. Kami saling
berpandangan lalu tertawa. Tawaku semakin keras seiring tangis di dalam hati tentu saja. Tangis
karena mendapati diri sampai sakit karena dera putus cinta. Mahar telah habis-habisan menjadikanku kelinci percobaan. \"Anak-anak jin yang ter-singgung?\" Ke mana perginya akal sehatnya? Dia
patut mendapat nomor 7 dalam teori gila versi ibuku. Tapi aku tahu dia sesungguhnya bermaksud
Setelah Mahar, A Kiong dan daun-daun beluntasnya pergi tanpa pamit lalu datang Bu Mus dan
teman-teman sekolahku yang lain. Syahdan mengadukan kelakuan Mahar, tapi Bu Mus menunjukkan wajah tak peduli. Beliau sudah cukup lama dibuat pusing oleh Mahar dan tak berminat
menam-bah beban berat hidupnya dengan memikirkan dukun palsu itu.
Beliau mengeluarkan pil ajaib APC. Besoknya aku sudah bisa berangkat ke sekolah dan aku tahu
persis yang menyembuhkanku adalah pil APC. Begitu melihatku memasuki kelas A Kiong
langsung menya-lami Mahar. Mahar menaikkan alisnya, mengangkat bahunya, dan menganggukangguk seperti burung penguin selesai kawin. Itulah gerakan khas Mahar yang sangat menyebalkan.
\"Apa kubilang!\" barangkali itulah maknanya.
Mahar mengelus-elus koper bututnya dan A Kiong semakin fanatik padanya. Mereka berdua
tenggelam dalam kesesatan memersepsikan diri sendiri.
Rupanya fisikku memang telah sembuh tapi hatiku tidak. Pulang dari sekolah aku kembali disergap
perasaan sedih. Tak mudah melupakan A Ling. Dadaku kosong karena kehilangan sekaligus sesak
karena rindu. Aku terbaring kuyu di atas dipan memandangi diary dan buku Herriot kenangkenangan darinya. Untuk mengalihkan kesedihan aku mengambil buku Seandainya Mereka Bis a
Bicara itu dan dengan malas aku berusaha membacanya.
Sudah kuniatkan dalam hati bahwa jika buku itu membosankan maka setelah halaman pertama ia
akan langsung kutangkupkan di wajahku karena aku ingin tidur. Lalu kata demi kata berlalu.
Setelah itu kalimat demi kalimat dan dilanjutkan dengan paragraf demi paragraf. Aku tak berhenti
membaca dan beberapa kali membaca paragraf yang sama berulang-ulang. Tanpa kusadari dalam
waktu singkat aku telah berada di halaman 10 tanpa sedikit pun sanggup menggeser posisi tidurku.
Seluruh perasaan gundah, putus asa, dan air mata rindu yang tadi sudah menggenang di pelupuk
mataku diisap habis oleh lembar demi lembar buku itu.
Buku ajaib itu bercerita tentang perjuangan seorang dokter hewan muda di zaman susah tahun
30an. Dokter muda itu, Herriot sendiri, bekerja nun jauh di sebuah desa terpencil di bagian antah
berantah di Inggrissana. Desa kecil itu bernama Edensor.
Mulutku ternganga dan aku menahan napas ketika Herriot menggambarkan keindahan Edensor:
\"Lereng-lereng bukit yang tak teratur tampak seperti berjatuhan, puncaknya seperti bergulingguling tertelan oleh langit sebelah barat, yang bentuknya seperti pita kuning dan merah tua ....
Pegunungan tinggi yang tak berbentuk itu mulai terurai menjadi bukit-bukit hijau dan lembahlembah luas. Di dasar lembah tampak sungai yang berliku-liku di antara pepohonan. Rumah-rumah
petani yang terbuat dari batu-batu yang kukuh dan berwarna kelabu tampak seperti pulau di tengah
ladang yang diusahakan. Ladang itu terbentang ke atas seperti tanjung yang hijau cerah di atas
lereng bukit .... Aku sampai di taman bunga mawar, kemudian ke taman asparagus, yang tumbuh
jadi pohon yang tinggi. Lebih jauh ada pohon arbei dan tumbuhan frambos. Pohon buah terdapat di
mana-mana. Buah persik, buah pir, buah ceri, buah prem, bergantung-an di atas tembok selatan,
berebut tempat dengan bunga-bunga mawar yang tumbuh liar.\"
Aku terkesima pada desa kecil Edensor. Aku segera menyadari bahwa ada keindahan lain yang
memukau di dunia ini selain cinta. Herriot rneng-gambarkan Edensor dengan begitu indah dan
memengaruhiku sehingga ketika ia bercerita tentang jalan-jalan kecil beralaskan batu-batu bulat di
luar rumah praktiknya rasanya aku dapat mencium harum bunga daffodil dan astuaria yang
menjalar di sepanjang pagar peternakan di jalan itu. Ketika ia bercerita tentangpadangsabana yang
terhampar di Bukit Derbyshire yang mengelilingi Edensor rasanya aku terbaring mengistirahatkan
hatiku yang lelah dan wajahku menjadi dingin ditiup angin dari desa tenang dan cantik itu. Aku
telah jatuh hati dengan Edensor dan menemukannya sebagai sebuah tempat dalam khayalanku
setiap kali aku ingin lari dari kesedihan.
Sebaliknya aku semakin mencintai A Ling. Ia dengan bijak telah mengganti kehadirannya dengan
kehadiran Edensor yang mampu melipur laraku. A Ling meninggalkan buku Herriot untukku tentu
karena sebuah alasan yang jelas. Selanjutnya, aku membaca buku Herriot berulang-ulang sehingga
hampir hafal. Ke mana pun aku pergi buku itu selalu kubawa dalam tas sandang bututku. Buku itu
adalah representasi A Ling dan pengobat jiwaku. Jika aku merasa risau dan sedih maka aku segera
mengalihkan pikiranku dengan membayangkan aku sedang duduk di bangku rendah di tengah
taman anggur di Edensor. Kumbang-kumbang berdengung huh rendah, mataku menatap lembut
Pegunungan Pennines yang biru di Derbyshire dan angin lembah
yang sejuk mengembus wajahku, menguapkan semua kepedihan, resah, dan kesulitan hidupku
di sudut kampung kumuh panas di Belitong ini. Aneh memang, jikaTrapaniseluruh hidupnya seolah
dipengaruhi oleh lagu Wajib Be/ajar maka kini seluruh hidupku terinspirasi oleh buku Seandainya
Mereka Bisa Bicara, terutama oleh Desa Edensor yang ada di buku itu. Jika beban hidup demikian
memuncak rasanya aku ingin sekali berada di Edensor. Punguk merindukan bulan tentu saja. Mana
mungkin anak Melayu miskin nun di Pulau Belitongsanamengangankan berada di sebuah tempat di
Inggris. Bermimpi pun tak pantas.
Sebaliknya, karena Edensor aku segera merasa pulih jiwa dan raga. Edensor memberiku alternatif
guna memecah penghalang mental agar tak stres berkepanjangan karena terus-terusan terpaku pada
perasaan patah hati. A Ling telah memberi racun cinta sekaligus penawarnya. Aku mulai tegar
meskipun tak 'kanada lagi Michele Yeoh. Aku siap menyesuaikan diri dengan kenyataan baru. Aku
sudah ikhlas meninggalkan cetak biru kehidupan indahasmarapertamaku yang bertaburan wangi
bunga dalam ritual rutin pembelian kapur tulis.
Inilah asyiknya menjadi anak kecil. Patah hati karena cinta yang telah berlangsung sekian
tahunlimatahun! bisa pulih dalam waktu tiga hari dan disembuhkan oleh sebuah desa bernama
Edensor di tempat antah berantah di Inggrissanadan hanya diceritakan melalui sebuah buku, ajaib.
Sedangkan orang dewasa bisa-bisa memerlu-kan waktu tiga tahun untuk mengobati frustrasi
karena hancurnya cinta platonik tiga minggu. Apakah semakin dewasa manusia cenderung menjadi
semakin tidak positif? Aku belajar berjiwa besar, berusaha memahami esensi konsep virtual dan
fisik dalam hubungan emosional. Bukankah jika mencintai seseorang kita harus membiarkan ia
bebas? Apabila hal semacam ini dialami oleh seorang dewasa mungkin ia tak mau lagi melihat
kapur tulis seumur hidupnya.
Kini aku akan mengenang A Ling sebagai bagi-an terindah dalam hidupku. Aku tetap rajin, dengan
naluri cinta yang sama, dengan semangat yang sama, berangkat dengan Syahdan setiap Senin pagi
untuk membeli kapur, meskipun sekarang aku disambut oleh sebilah tangan beruang dan kuku-k
uku burung nazar pemakan bangkai. Setiap membeli kapur aku tetap mengikuti prosedur yang sama
dan menikmati kronologi perasaanku di tengah kepe-ngapan Toko Sinar Harapan. Aku
menyimulasikan urutan-urutan sensasi keindahan cinta pertama seolah A Ling masih menungguku
di balik tirai-tirai rapat yang terbuat dari keong-keong kecil itu.
Sering kali sekarang aku bertanya pada diri sendiri: berapakah jumlah pasangan yang telah
mengalami cinta pertama, lalu hanya memiliki satu cinta itu dalam hidupnya, menikah, dan
kemudian hanya terpisahkan karena Tuhan memanggil salah satu dari mereka? Sedikit sekali! Atau
malah mungkin tidak ada! Sepertinya kedua jawaban tersebut bisa menjadi hipotesis yang
meyakinkan untuk pertanyaan dangkal semacam itu. Karena itulah yang umumnya terjadi dalam
Maka aku memiliki pandangan sendiri mengenai perkara cinta pertama ini, yaitu cinta pertama
memang tak 'kanpernah mati, tapi ia juga tak 'kanpernah survive. Selain itu aku telah menarik
pelajaran moral nomor enam dari pengalaman cinta pertamaku yaitu: jika Anda memiliki
kesempatan mendapatkan cinta pertama di sebuah toko kelontong, meskipun toko itu bobrok dan
bau tengik, maka rebutlah cepat-cepat kesempatan itu, karena cinta pertama semacam itu bisa
menjadi demikian indah tak terperikan!
Aku melihat ke belakang, membuat evaluasi kemajuan hidupku, dan bersyukur telah mengenal A
Ling. Jika berpikir positif, ternyata mengenal sese-orang secara emosional memberikan akses pada
sebuah bank data kepribadian tempat kita dapat belajar banyak hal baru. Hal-hal baru itu bagiku
pada intinya satu: wanita adalah makhluk yang tak mudah diduga. Maka banyak orang berpikir
keras mengurai sifat-sifat rahasia wanita, Paul I. Wellman misalnya dengan tesis Dewi
Aphroditenya. Ia menggambarkan wanita sebagai makhluk yang di dalam dirinya berkecamuk
pertentangan-perten-tangan, mengandung pergolakan abadi, sopan tapi berlagak, sentimental
sekaligus bengis, beradab namun ganas.
Bagiku, aku masih tak mengerti wanita, namun sepertinya ada semacam komposisi kimiawi
tertentu di dalam tubuh mereka yang menyebabkan lelaki
dengan komposisi kimiawi tertentu pula merasa betah di dekatnya. Maka cinta adalah reaksi
kimia sehingga keanehan dapat terjadi, se-orang pangeran tampan kaya raya bisa saja ditolak oleh
se-orang gadis penjaga pintu tol, dan seorang wanita public relation officer di sebuah BUMN yang
sangat luas pergaulannya bisa saja tergila-gila setengah mati dengan seorang laki-laki penyendiri
yang eksentrik. Itulah wanita, maka siapa pun ia, seorang dewi agung dalam mitologi Yunani atau
sekadar seorang penjaga toko kelontong bobrok di Belitong, masing-masing menyimpan rahasia
untuk dirinya sendiri, rahasia yang tak 'kanpernah diketahui siapa pun.
Wanita seperti apakah A Ling? Inilah yang pa-ling menarik dari kisah cinta monyet ini. Setelah
berpisah dengannya, aku baru mengerti tipe semacam ini. Ia bukanlah pribadi mekanis yang
mengungkapkan perasaan secara eksplisit. Ia memiliki pendirian yang kuat dan amat percaya diri.
Ia model wanita yang memegang pertanggung jawaban pada setiap gabungan huruf-huruf yang
meluncur dari mulutnya. Dan ini menimbulkan respek karena aku tahu banyak orang harus
berulang-ulang meyakinkan dirinya sendiri dan pasangannya dengan kata-kata basi berbusa-busa,
bahwa mereka masih saling mencintai, sungguh mengibakan! A Ling tak ingin menghabiskan
waktu berurusan dengan pola respons aksi reaksi cinta picisan yang klise, retoris, dan
Aku belajar berjiwa besar atas seluruh kejadi-an dengan A Ling. Sekarang aku memiliki cinta yang
baru dalam tas bututku: Edensor. Sudah selama 115 jam, 37 menit, 12 detik aku kehilangan A Ling
dan saat ini kuputuskan untuk berhenti mengiba-iba mengenang cinta pertama itu.
Akhirnya, aku mampu melangkah menyeberangi garis ujian tabiat mengasihani diri dan sekarang
aku berada di wilayah positif dalam menilai pengala-manku. Aku mulai bangkit untuk menata diri.
Aku mempelajari metode-metode ilmiah modern agar dapat bangkit dari keterpurukan. Aku rajin
membaca berbagai buku kiat-kiat sukses, pergaulan yang efektif, cara cepat menjadi kaya, langkahlangkah menjadi pribadi magnetik, dan bunga rampai manajemen pengembangan pribadi.
Aku berhenti membuat rencana-rencana yang tidak realistis. Filosofi just do it, itulah prinsipku
sekarang, lagi pula bukankah John Lennon mengatakan life is what happens to us while we are busy
making plans1. Sesuai saran buku-buku psikologi praktis yang mutakhir itu aku mulai
menginventarisasi bidang minat, bakat, dan kemampuanku. Dan aku tak pernah ragu akan
jawabannya yaitu: aku paling piawai bermain bulu tangkis dan aku punya minat sangat besar dalam
bidang tulis-menulis.
Kesimpulan itu kuperoleh karena aku selalu menjadi juara pertama pertandingan bulu tangkis
kelurahan U 19 dan pialanya berderet-deret di rumahku. Piala itu demikian banyak sampai ada yang
dipakai ibuku untuk pemberat tumpukan cucian, ganjal pintu, dan penahan dinding kandang
ayam.Adajuga piala yang dipakai menjadi sema-cam palu untuk memecahkan buah kemiri, dan
sebuah piala berbentuk panjang bergerigi dari pertandingan terakhir sering dimanfaatkan ayahku
untuk menggaruk punggungnya yang gatal.
Lawan-lawanku selalu kukalahkan dengan skor di bawah setengah. Kasihan mereka, meskipun
telah berlatih mati-matian berbulan-bulan dan setiap pagi makan telur setengah masak dicampur
jadam dan madu pahit, tapi mereka selalu tak berkutik di depanku. Kadang-kadang aku beraksi
dengan mela-kukan drop shot sambil salto dua kali atau menangkis sebuah smash sambil koprol.
Jika aku sedang ingin, aku juga biasa melakukan semacam pukulan straight dari celah-celah kedua
selang-kangku dengan posisi membelakangi lawan, tak jarang aku melakukan itu dengan tangan
Lawan yang tak kuat mentalnya melihat ulah-ku akan emosi dan jika ia terpancing marah maka
pada detik itulah ia telah kalah.Parapenonton bergemuruh melihat hiburan di lapangan bulu tangkis.
Jika aku bertanding maka pasar menjadi sepi, warung-warung kopi tutup, sekolah-sekolah
memulangkan murid-muridnya lebih awal, dan kuli-kuli PN membolos. \"Si kancil keriting\",
demikianlah mereka menjulukiku. Lapangan bulu tangkis di samping kantor desa membludak.
Mereka yang tak kebagian tempat berdiri di pinggir lapangan sampai naik ke pohon-pohon kelapa
Kukira semua fakta itu lebih dari cukup bagiku untuk menyebut bulu tangkis sebagai potensi
seperti dinyatakan dalam buku-buku pengembangan diri itu. Dan minat besar lainnya adalah
menulis. Tapi memang tak banyak bukti yang mengonfirmasi potensiku di bidang ini, kecuali
komentar A Kiong bahwasuratdan puisiku untuk A Ling sering membuatnya tertawa geli. Tak tahu
apa artinya, bagus atau sebaliknya.
Maka aku mulai mengonsentrasikan diri untuk mengasah kemampuan kedua bidang ini. Seperti
juga disarankan oleh buku-buku ilmiah itu maka aku membuat program yang jelas, terfokus, dan
memantau dengan teliti kemajuanku. Buku itu juga menyarankan agar setiap individu membuat
semacam rencana A dan rencana B.
Rencana A adalah mengerahkan segenap sum-ber daya untuk mengembangkan minat dan
kemampuan pada kemampuan utama atau dalam bahasa bukunya core competency, dalam kasusku
berarti bulu tangkis dan menulis. Setelah tahap pengembangan itu selesai lalu bergerak pelan tapi
pasti menuju tahap profesionalisme dan tahap aktualisasi diri, yaitu muncul menggebrak secara
memesona di hadapan publik sebagai yang terbaik. Kemudian akhir dari semua usaha sistematis
ilmiah dan terencana itu adalah mendapat pengakuan kejayaan prestasi, menjadi orang tenar atau
sele-briti, hidup tenang, sehat walafiat, bahagia, dan kaya raya. Sebuah rencana yang sangat indah.
Setiap kali membaca rencana Aku aku mengalami kesulitan untuk tidur.
Demikianlah, rencana A sesungguhnya adalah apa yang orang sebut sebagai kata-kata ajaib
mandraguna: cita-cita. Dan aku senang sekali memiliki cita-cita atau arah masa depan yang sangat
jelas, yaitu: menjadi pemain bulu tangkis yang berprestasi dan menjadi penulis berbobot. Jika
mungkin sekaligus kedua-duanya, jika tidak mungkin salah satunya saja, dan jika tidak tercapai
kedua-duanya, jadi apa saja asal jangan jadi pegawai pos.
Cita-cita ini adalah kutub magnet yang menggerakkan jarum kompas di dalam kepalaku dan
membimbing hidupku secara meyakinkan. Setelah selesai merumuskan masa depanku itu sejenak
aku merasa menjadi manusia yang agak berguna.
Jika aku menengok sahabat sekelasku mereka juga ternyata memiliki cita-cita yang
istimewa.Saharamisalnya, ia ingin mejadi pejuang hak-hak asasi wanita. Dia mendapat inspirasi
cita-citanya itu dari penindasan luar biasa terhadap wanita yang dilihatnya di film-filmIndia. A
Kiong ingin menjadi kapten kapal, mungkin karena ia senang berpergian atau mungkin topi kapten
kapal yang besar dapat menutupi sebagian kepala kalengnya itu. Kucai menyadari bahwa dirinya
memiliki sedikit banyak kualitas sebagai seorang politisi yaitu bermulut besar, berotak tumpul,
pendebat yang kompulsif, populis, sedikit licik, dan tak tahu malu, maka cita-citanya sangat
jelas: ia ingin jadi seorang wakil rakyat, anggota dewan.
Tak ada angin tak ada hujan, tanpa ragu dan malu-malu, Syahdan ingin menjadi aktor. Ia sedikit
pun tidak menunjukkan kapasitas atau bakat akting, bahkan dalam pertunjukan teater kelas kami
Syahdan tidak bisa memba-wakan peran apa pun yang mengandung dialog karena ia selalu
membuat kesalahan. Karena itu Mahar memberinya peran sederhana sebagai tukang kipas putri raja
yang selama pertunjukan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tugasnya hanya mengipas-ngipasi
sang putri dengan benda semacam ekor burung merak, itu pun masih sering tak becus ia lakukan.
Semua orang menyarankan agar Syahdan meninjau kembali cita-citanya tapi ia bergeming. Ia tak
peduli dengan segala cemoohan, ia ingin menjadi aktor, tak bisa diganggu gugat.
\"Cita-cita adalah doa, Dan,\" begitulah nasihat bijak dariSahara. \"Kalau Tuhan mengabulkan
doamu, dapatkah kaubayangkan apa jadinya dunia perfilmanIndonesia?\"
Sedangkan Mahar sendiri mengaku bahwa ia mampu menerawang masa depannya. Dan dalam
terawangannya itu ia dengan yakin mengatakan bahwa setelah dewasa ia akan menjadi seorang
sutradara sekaligus seorang penasihat spiritual dan hypno therapis 1 1 e rn a m a.
Cita-cita yang paling sederhana adalah milik Samson. Ia memang sangat pesimis dan hanya ingin
menjadi tukang sobek karcis sekaligus sekuriti di Bioskop Kicong karena ia bisa dengan gratis
menonton film. Ia memang hobi menonton film. Selain itu profesi tersebut dapat memelihara citra
machonya. Adapun Trapani yang baik dan tampan ingin menjadi guru. Ketika kami tanyakan
kepada Harun apa cita-citanya ia menjawab kalau besar nanti ia ingin menjadiTrapani.
Semua ini gara-gara Lintang. Kalau tak ada Lintang mungkin kami tak 'kanberani bercita-cita.
Vang ada di kepala kami, dan di kepala setiap anak kampung di Belitong adalah jika selesai sekolah
lanjutan pertama atau menengah atas kami akan mendaftar menjadi tenaga langkong (calon karyawan rendahan di PN Timah) dan akan bekerja bertahun-tahun sebagai buruh tambang lalu pensiun
sebagai kuli. Namun, Lintang memperlihatkan sebuah kemampuan luar biasa yang menyihir
kepercayaan diri kami. Ia membuka wawasan kami untuk melihat kemungkinan menjadi orang lain
meskipun kami dipenuhi keterbatasan. Lintang sendiri bercita-cita menjadi seorang matematikawan. Jika ini tercapai ia akan menjadi orang Melayu pertama yang menjadi matematikawan,
Pribadi yang positif, menurut buku, tidak boleh hanya memiliki satu rencana, tapi harus memiliki
rencana alternatif yang disebut dengan istilah yang sangat susah diucapkan, yaitu contingency
plan1. Rencana alternatif itu disebut juga rencana B. Rencana B tentu saja dibuat jika rencana A
gagal. Prosedurnya sederhana yakni: lupakan, tinggalkan, dan buang jauh-jauh rencana A dan
mulailah mencari minat dan kemampuan baru, setelah ditemukan maka ikuti lagi prosedur seperti
rencana A. Inilah buku resep kehidupan yang bukan main hebatnya hasil karya para pakar psikologi
praktis yang bersekongkol dengan para praktisi sumber daya manusia dan penerbit buku tentu saja.
Seorang pribadi yang efektif dan efisien harus sudah memiliki rencana A dan rencana B sebelum ia
keluar dari pekarangan rumahnya. Tapi aku tak tahan membayangkan rencana B dalam hidupku
karena selain bulu tangkis dan menulis aku tak punya kemampuan lain. Sebenarnya ada tapi
sungguh tak bisa dipertanggungjawabkan, yaitu kemampuan mengkhayal dan bermimpi, aku agak
malu mengakui ini. Aku tak punya kecerdasan seperti Lintang dan tak punya bakat seni seperti
Mahar. Aku berpikir keras untuk memformulasikan rencana B. Namun sangat berun-tung, setelah
berminggu-minggu melakukan perenungan akhir-nya tanpa disengaja aku mendapat inspirasi untuk
me-rumuskan sebuah rencana B yang hebat luar biasa.
Rencana B ku ini sangat istimewa karena aku tidak perlu meninggalkan rencana A. Para pakar
sendiri mungkin belum pernah berpikir sejauh ini. Rencana B-ku sifatnya menggabungkan minat
dan kemampuan yang ada pada rencana A. Intinya jika aku gagal meniti karier di bidang bulu
tangkis dan tak berhasil sebagai penulis sehingga semua penerbit hanya sudi menerima tulisanku
untuk dijual menjadi kertas kiloan, maka aku akan menempuh rencana B yaitu: aku akan menulis
tentang bulu tangkis!
Aku menghabiskan sekian banyak waktu untuk membuat rencana B ini agar sebaik rencana A,
yaitu sampai tahap-tahap yang paling teknis dan operasional. Oleh karena itu, aku telah punya
ancang-ancang judul bukuku, seluruhnya ada tiga yaituTATA CARA BERMAIIM BULU
TANGKIS, FAEDAH BULU TANGKIS, atauBULU TANGKIS UNTUK PERGAULAN.
Rencana B ini kuanggap sangat rasional karena aku telah melihat bagaimana pengaruh bulu tangkis
pada orang-orang Melayu pedalaman. Jika musim Thomas Cup atau All England maka di kampung
kami bulu tangkis bukan hanya sekadar olahraga tapi ia menjadi semacam budaya, semacam jalan
hidup, seperti sepak bola bagi rakyat Brasil. Pada musim itu ilalang tanah-tanah kosong dibabat,
pohon-pohon pinang ditumbangkan untuk dibelah dan dijadikan garis lapangan bulu tangkis, dan
gengsi kampung dipertaruhkan habis-habisan dalam pertandingan antardusun. Jika malam tiba
kampung menjelma menjadi semarak karena lampu petromaks menerangi arena-arena bulu tangkis
dan teriakan para penonton yang gegap gempita. Di sisi lain aku percaya bahwa ratusan kaum pria
yang tergila-gila pada bulu tangkis lalu pulang ke rumah kelelahan akan mengalihkan mereka dari
rutinas malam sehingga dapat menekan angka kelahiran anak-anak Melayu. Sungguh besar manfaat
bulu tangkis bagi kampung kami yang minim hiburan. Fenomena ini meyakinkanku bahwa
tulisanku tentang bulu tangkis akan mencapai suatu kedalaman dan kategori yang disebut para
sastrawan pintar zaman sekarang sebagai buku dalam genre humaniora!
Buku itu akan ditulis setelah melalui riset yang serius dan melibatkan studi literatur serta
wawancara yang luas. Jika beruntung aku akan mengusahakan agar mendapat semacam kata
pengantar sekapur sirih dari Ferry Sonneville dan dengan sedikit kerja sama dengan penerbit aku
sudah mengkhayalkan akan mendapat banyak komentar berisi pujian dari para pakar di sampul
Misalnya Liem Swie King, ia akan berkomentar, \"Ini adalah sebuah buku yang sangat bermanfaat
untuk meningkatkan kepercayaan diri, membangun network, dan menambah kawan.\"
Komentar Lius Pongoh agak lebih singkat: \"Sebuah buku yang memberi pencerahan.\"
Seorang birokrat dari komite olah raga me-nyumbangkan pujian yang filosofis: \"Belum pernah ada
buku olahraga ditulis seperti ini, penulisnya sangat memahami makna men sana incorpore sano.\"
Demikian pula pujian seorang seksolog yang gemar bermain bulu tangkis: \"Buku wajib bagi Anda
yang memiliki kelebihan berat badan dan kesulitan membina hubungan.\"
Rudy Hartono memuji habis-habisan: \"Sebuah buku yang menggetarkan!\"
Sedangkan komentar dari Ivana Lie adalah:
Be There or Be Damned !
\"APAKAH Ananda sudah memiliki rencana A dan rencana B?\"
Itulah pertanyaan pertama Bu Mus kepada Mahar sekaligus awal pidato panjang untuk menasihati
tindakannya yang sudah keterlaluan. la sudah berbelok ke jalan gelap dunia hitam, ia harus segera
disadarkan. Pelajaran praktik olahraga yang sangat kami sukai dibatalkan. Semuanya harus masuk
kelas dalam rangka menghakimi Mahar dan mengembali- kannya ke jalan yang lurus. Layar pun
turun, rol-rol film drama diputar.
Mahar menunduk. Ia pemuda yang tampan, pintar, berseni, tapi keras pendiriannya.
\"Ibunda, masa depan milik Tuhan .,„¦\" Aku melihat cobaan yang dihadapi seorang guru. Wajah Bu
Mus redup. Seorang sahabat pernah mengatakan bahwa guru yang pertama kali membuka mata kita
akan huruf dan angka-angka sehingga kita pandai membaca dan menghitung tak 'kanputus-putus
pahalanya hingga akhir hayatnya. Aku setuju dengan pendapat itu. Dan tak hanya itu yang
dilakukan seorang guru. Ia juga membuka hati kita yang gelap gulita.
\"Artinya Ananda tidak punya sebuah rencana yang positif, tak pernah lagi mau membaca buku dan
mengerjakan PR karena menghabiskan waktu untuk kegiatan perdukunan yang membelakangi ayatayat Allah.\"
Bu Mus mulai terdengar seperti warta berita RRI pukul 7. Lintasan berita: \"Nilai-nilai ulanganmu
merosot tajam. Kita akan segera menghadapi ulangan caturwulan ke tiga, setelah itu caturwulan
terakhir menghadapi Ebtanas. Nilaimu bahkan tak memenuhi syarat untuk melalui caturwulan tiga
ini. Jika nanti ujian antaramu masih seperti ini, Ibunda tidak akan mengizinkanmu ikut kelas
caturwulan terakhir. Itu artinya kamu tidak boleh ikut Ebtanas.\"
Ini mulai serius, Mahar tertunduk makin dalam. Kami diam mendengarkan dan khotbah berlanjut.
Berita utama: \"Hiduplah hanya dari ajaran AlQur'an, hadist, dan sunatullah, itulah pokok-pokok
tuntunan Muhammadiyah. Insya Allah nanti setelah besar engkau akan dilimpahi rezeki yang halal
dan pendamping hidup yang sakinah.\"
Disambung berita penting: \"Klenik, ilmu gaib, takhayul, paranormal, semuanya sangat dekat
dengan pemberhalaan. Syirik adalah larangan tertinggi dalam Islam. Ke mana semua kebajikan dari
pelajaran aqidah setiap Selasa? Ke mana semua hikmah dari pengalaman jahiliah masa lam-pau
dalam pelajaran tarikh Islam? Ke mana etika kemuhammadiyahan?\"
Suasana kelas menjadi tegang. Kami harap
Mahar segera minta maaf dan menyatakan pertobatan tapi sungguh sial, ia malah menjawa
b dengan nada bantahan.
\"Aku mencari hikmah dari dunia gelap Ibunda dan penasaran karena keingintahuan. Tuhan akan
memberiku pendamping dengan cara yang misterius ii
Kurang ajar betul, Bu Mus bersusah payah menahan emosinya. Aku tahu beliau sebenarnya ingin
langsung me-labrak Mahar. Air mukanya yang sabar menjadi merah. Beliau segera keluar ruangan
Kami serentak menatap Mahar dengan tajam. Alis Sahara bertemu, tatapan matanya kejam sekali.
\"Minta maafsana! Tak tahu diuntung!\" hardikSahara.
Kucai selaku ketua kelas ambil bagian, suara-nya menggelegar, \"Melawan guru sama hukumnya
dengan melawan orangtua, durhaka! Siksa dunia yang segera kauterima adalah burut! Pangkal
pahamu akan membesar seperti timun suri hingga langkahmu ngangkang!\" Keras sekali Kucai
menghardik Mahar tapi yang dipelototinya Harun.
Wajah Mahar aneh. Ia seperti sangat menye-sal dan merasa bersalah tapi di sisi lain tampak yakin
bahwa ia sedang mempertahankan sebuah argumen yang benar, menurut versinya sendiri tentu saja.
Persis ketika kami ingin memprotes Mahar secara besar-besaran tiba-tiba Bu Mus masuk lagi ke
dalam ruangan dan menyemprotkan pokok berita, \"Camkan ini anak muda, tidak ada
hikmah apa pun dari kemusyrikan, yang akan kau dapat dari praktikpraktik klenik itu adalah kesesatan yang semakin lama semakin dalam karena
sifat syirik yang berlapis-lapis. Iblis mengipasngipasimu setiap kali kau kipasi bara api
kemenyan-kemenyan itu.\"
Mahar mengerut. la tampak sangat bersalah telah membuat ibunda gurunya muntab. Bu Mus
ternyata bisa juga emosi dan tak berhenti sampai di
situ, \"Sekarang kau harus mengambil sikap karena ini
Belum selesai ultimatum itu tiba-tiba terde-ngar assalamu'alaikum . Bu Mus menjawab dan
mempersilakan masuk kepala sekolah kami, seorang bapak berwajah penting, dan seorang anak
perempuan tapi seperti laki-laki. Anak perempuan ini berpostur tinggi, dadanya rata, pantatnya juga
rata. la seperti sekeping papan Sepatunya bot Wrangler navigator yang mahal dan itu adalah sepatu
laki-laki. Kaus kakinya lucu, berwarna-warni meriah berlapis-lapis seperti sarang lebah dan
menutupi tempurung lutut. la jelas bukan orang Muhammadiyah karena semua wanita Muhammadiyah berjilbab. la memakai rok besar dari bahan wol bermotif kotak-kotak besar merah seperti kilt
orang-orang Skotlandia. Kilt itu menutupi ujung atas kaus kakinya tadi sehingga tak ada sedikit pun
celah kulit kakinya yang terbuka. Rambutnya pendek, kulitnya putih bersih sangat halus, dan
wajahnya cantik. Secara umum ia tampak seperti seorang pemuda Skotlandia yang imut.
Bapak berwajah orang penting tadi berusaha tersenyum ramah.
\"Ini anak saya, Flo,\" katanya pelan-pelan.
\"Dia sudah tidak ingin lagi sekolah di sekolah PN dan sudah membolos dua minggu. Dia bersikeras
hanya ingin sekolah di sini.\"
Orang penting ini menggaruk-garuk kepalanya. Setiap kata-katanya adalah batu berat puluhan kilo
yang ia seret satu per satu. Nada bicaranya jelas sekali seperti orang yang sudah kehabisan akal
mengatasi anaknya itu. Kami semua termasuk kepala sekolah tersipu menahan tawa. Bu Mus yang
baru saja marah juga tersenyum. Sebuah senyum terpaksa karena kami semua sudah tahu reputasi
Flo. Beliau sudah pusing tujuh keliling menghadapi Mahar dan sekarang harus ditambah lagi satu
anak setengah laki-laki setengah perempuan yang sudah pasti tak bisa diatur! Hari ini adalah hari
yang sial dalam hidup Bu Mus.
Flo sendiri acuh tak acuh, ia tak tersenyum dan hanya menatap bapaknya. Anak cantik ini
berkarakter tegas, pasti, tahu persis apa yang ia inginkan, dan tak pernah ragu-ragu, sebuah
gambaran sikap yang mengesankan. Bapak-nya juga menatap anaknya, suatu tatapan penuh
kekalahan yang pedih. Lalu bapaknya melihat sekeliling ruangan kelas kami yang seperti ruang
interogasi tentara Jepang, tatapannya semakin pedih. Dengan pasrah ia menyampaikan ini.
\"Maka saya serahkan anak saya pada Ibu, jika ia menyulitkan, Bapak Kepala Sekolah sudah tahu di
mana harus menemui saya. Menyesal harus saya sampaikan bahwa ia pasti akan menyulitkan.\"
Kami tertawa dan bapaknya tersenyum pahit. Flo masih cuek seolah semua kata-kata itu tak ada
maknanya, laksana angin lewat saja. Kepala Sekolah dan orang penting itu mohon diri. Kepala
Sekolah kami tersenyum simpul sambil memandang Bu Mus penuh arti.
Bu Mus memandangi Flo dari samping Mahar yang baru saja dimarahinya habis-habisan dan Flo
yang berandal berdiri tegak di depan kelas seperti orang mengambil pose untuk peragaan kaus kaki
Italia model terbaru. Meskipun seperti laki-laki tapi ia sesungguhnya gadis remaja yang menawan,
dan kulitnya indah luar biasa. Di kelas ini ia laksana Winona Ryder yang diutus UNICEF untuk
membesarkan hati para penderita lepra di sebuah kampung kumuh diSudan.
Flo menyilangkan kakinya, bahunya yang ku-rus bidang mekar seperti memiliki bantalan di
pundak-pundaknya. Ia sangat memesona. Semua mata menghunjam ke arahnya. Sebuah pemandangan yang tak biasa. Jika diamati dengan saksama, di balik kedua bola matanya yang gelap coklat
seperti buah hamlam tersembunyi kebaikan yang sangat besar.
Semuanya diam, Flo juga diam. Kami berharap Flo akan memecah kekakuan dengan memperkenalkan dirinya. Tapi ia tak melakukan itu dan Bu Mus juga tak memintanya mengenalkan diri
karena dua alasan: Flo jelas tak senang dengan formalitas,
kedua: siapa yang tak kenal Flo? Namanya melambung gara-gara hilang di Gunung Selumar tempo
hari dan reputasinya semakin top karena baru-baru ini menjuarai pertarungan kick boxing. Ia
mengKO hampir seluruh lawannya padahal ia satu-satunya petarung wanita. Maka Bu Mus
mengambil inisiatif sambil tersenyum bersahabat.
\"Baiklah, selamat datang di kelas kami, setelah ini pelajaran kemuhammadiyahan, silakan Ananda
duduk disanadenganSahara\"
Saharasenang bukan main karena selama sembilan tahun hanya ia satu-satunya wanita di kelas
kami. Selama ini ia duduk sendirian dan sekarang ia akan punya teman sesama jenis. Ia mengusapusap kursi kosong di sampingnya dan menampilkan bahasa tubuh selamat datang. Tapi di luar
dugaan ternyata Flo tak beranjak Wajahnya tak menunjukkan minat sama sekali. Dia membatu dan
meman-dang jauh ke luar jendela. Kami bingung, lalu Flo kembali meman-dang kami dan kami
terkejut ketika dengan pasti ia menun-juk Tarapani sambil bersabda:
\"Aku hanya ingin duduk di samping Mahar!\" Luar biasa! Kalimat pertama yang meluncur dari
mulut kecil makmurnya itu setelah baru saja beberapa menit menginjakkan kaki di sekolah
Muhammadiyah adalah sebuah pembangkangan! Pembangkangan bukanlah hal yang biasa di
perguruan kami. Kami tak pernah sekali pun dengan sengaja menyatakan pembangkangan, kami
bahkan memanggil guru kami ibunda guru.
Kami terperanjat, demikian pula Bu Mus. Air muka sabarnya menjadi keruh. Baru saja beliau
memikir-kan kemungkinan kerusakan etika Muhammadiyah yang akan dibuat Mahar dan murid
baru separuh pria ini, tiba-tiba sekarang dua ekor angin tornado ini ingin bersekutu. Berat sekali
cobaan hidup Bu Mus. Wajah Bu Mus sembap. Flo menunjukkan wajah tak mau berkompromi dan
Bu Mus sudah tahu bahwa percuma melawan dia. Lagi pula bagi Flo dirinya bukanlah wanita, maka
ia tak mau duduk denganSahara. Di sisi lain ia menganggapTrapaniharus mengalah karena ia adalah
seorang wanita. Transeksual memang sering membingungkan.
Trapanikebingungan karena dia sudah sembilan tahun terbiasa duduk sebangku dengan Mahar dan
Bu Mus harus mengambil keputusan yang sulit. Beliau memberi isyarat padaTrapaniagar lungsur.
Flo menghambur ke kursi bekasTrapanidi samping Mahar. Mahar serta-merta mengeluarkan tiga
ma-cam sikap khasnya yang menyebalkan: menaikkan alis, mengangkat bahu, dan menganggukangguk. Kami muak melihatnya tapi ia tampak senang bukan main. Seperti dugaannya, Tuhan telah
memberinya pendamping secara misterius. Sebuah doa yang langsung dikabulkan di tempat.
Bajingan kecil itu memang selalu beruntung. Sebaliknya,Trapanikehilangan teman sebangku dan ia
sekarang harus duduk denganSaharayang temperamental.Saharasendiri sangat tidak suka
menerimaTrapani. Ia mengaum, alisnya bertemu.
Flo tampak kaku duduk di kelas kami dan seluruh ruangan itu sama sekali tidak merepre-sentasikan
setiap jenis sandang yang dikena-kannya. Kelas rombeng ini juga tak cocok dengan kulit putih dan
raut mukanya yang penuh sinar kekayaan. Apa yang dicari anak kaya ini di sekolah miskin yang tak
punya apa-apa? Mengapa ia ingin menukar gemerlap sekolah PN dengan sekolah gudang kopra?
Buah khuldi di pekarangan siapa yang telah dimakannya sehingga dia terusir dari
Tidak, ia tidak dicampakkan oleh sekolah PN tapi ia sengaja ingin pindah ke sekolah
Muham-madiyah atas kemauan sendiri, tanpa tekanan dari pihak mana pun dan dalam keadaan
sehat walafiat jasmani dan rohani, hanya pikirannya saja yang sedikit kacau.
Pada hari-hari pertama kami terkagum-kagum dengan berbagai perlengkapan sekolahnya yang
menurut ia biasa saja. Ia memiliki enam macam tas yang dipakai berbeda-beda setiap hari. Tas hari
Jumat paling menarik karena ber-umbai-rumbai seperti tas Indian. Ia juga memiliki banyak kotak.
Kotak khusus untuk beragam penggaris: ada penggaris busur, penggaris segitiga, penggaris siku,
dan beragam ukuran penggaris segi empat. Kotak lainnya berisi jangka-jangka kecil, berbagai jenis
pensil, pulpen, dan penghapus seperti kue lapis yang dapat menimbulkan rasa lapar. Lalu ada
serutan yang lucu serta sapu tangan handuk kecil di dalam tas rajutan ibunya.
Di dalam tas rajutan kecil itu ada berjejal-jejal uang kertas yang dimasukkan dengan sembrono
oleh Flo. Jika ia membuka tas itu sering kali uang tadi berjatuhan ke lantai. Jumlah uang itu
semakin hari semakin banyak dan membuat tasnya menjadi gendut. Flo tidak bisa membelanjakan
uang itu di sekolah Muhammadiyah karena tak ada yang bisa dibeli. Uang itu memiliki nama yang
sangat asing bagi kami: uang saku. Sesuatu yang seumur-umur tak pernah kami dapat-kan dari
Sebagian besar benda-benda itu belum pernah kami lihat. Ia amat berbeda dengan kami dalam
semua hal. Ia seumpama bangau Hokaido yang anggun tersasar ke kandang itik. Setiap pagi ia
diantar sopirnya dengan sebuah mobil mewah tentu saja setelah ia sarapan dari semacam benda
yang dapat membuat roti meloncat.
Sejak kami menjadi pahlawan kesiangan yang menemukan Flo ketika ia hilang di Gunung Selumar
tempo hari ia memang telah mengenal kami, terutama Mahar dan reputasinya. Flo hengkang dari
sekolah PN karena didorong oleh kepribadiannya yang pembosan, cenderung antikemapanan,
tergila-gila dengan pemberontakan, dan keinginannya menjadi anggota Laskar Pelangi yang unik.
Tapi ada alasan lain yang tak banyak orang tahu, dan ini agak berbahaya, yaitu ia tergila-gila pada
Mahar. Ia mengagumi Mahar bukan sebagai pribadi tapi sebagai seorang profesional muda
Karena orangnya memang ekstrovert dan ber-pikiran terbuka maka kami segera akrab dengan Flo.
Pada sebuah sore yang dingin setelah hujan lebat Flo kami inisiasi di dahan tertinggi filicium dan
sejak sore itu ia resmi kami bai'at sebagai anggota Laskar Pelangi. Saat pelangi melingkar dan
guruh bersahut-sahutan membahana di atas langitBelitong Timur,iamengucapkan janji setia
Ternyata Flo adalah pribadi yang sangat menyenangkan. Ia memiliki kemampuan beradaptasi yang
luar biasa. Ia cantik dan sangat rendah hati, sehingga kami betah di dekatnya. Ia tak pernah segan
menolong dan selalu rela berkorban. Terbukti bahwa di balik sifatnya keras kepala tersimpan
kebaikan hati yang besar.
Aneh, di sekolah Muhammadiyah yang tak punya fasilitas apa pun Flo sangat
bersemangat.Adasesuatu yang menggerakkannya. Ia tak pernah sehari pun bolos dan bersikap
sangat santun kepada para pengajar. Konon bapaknya sampai mengucapkan terima kasih kepada
kepala sekolah kami dan Bu Mus. Ia datang lebih pagi dari siapa pun, menyapu seluruh sekolah,
menimba berember-ember air dan menyiram bunga tanpa diminta. Sekolah ini adalah jembatan jiwa
Flo sangat dekat dengan Mahar. Mereka saling tergantung dan saling melindungi. Hubungan
mereka sangat unik. Dengan bersama Mahar dan berada di sekolah Muhammadiyah Flo seperti
berada di dunia yang memang diidamkannya selama ini. Ia seperti orang yang telah menemukan
identitas setelah bersusah payah mencarinya melalui pemberontak-an-pemberontakan sinting.
Demikian pula Mahar, ia merasa menemukan satu-satunya orang yang memahaminya, tak pernah
melecehkannya, dan menghargai setiap kelakuan anehnya. Maka mereka seperti Star sky and Hutch
atau Harley Davidson and The Marlboro Man, gandeng renteng kesanakemari persisTrapanidan
Mahar benar-benar telah mendapatkan pen-damping. Mereka sering tampak berduaan, berbicara,
bertukar pikiran sampai berjam-jam. Orang yang melihatnya akan menyangka mereka berpacaran.
Seorang pemuda tampan dan seorang anak gadis cantik yang tomboi, siang malam tak terpisahkan.
Saling tergila-gila, serasi sekali. Tapi kenyataannya mereka sama sekali tidak punya hubungan
emosional semacam itu. Mereka memang tergila-gila tapi kekasih hati mereka adalah dunia gelap
Dunia gelap itulah yang memicu adrenalin Flo dan itu jugalah salah satu tujuannya mendekati
Mahar. Berbeda dengan A Kiong yang juga mengabdi kepada Mahar tapi memosisikan diri sebagai
murid, Flo sebaliknya memosisikan diri sebagai rekan. Persekutuan mereka membawa kemajuan
yang pesat dalam elaborasi dunia metafisik karena ditunjang oleh sumber daya yang dimiliki Flo.
Mereka mempelajari dengan saksama fenomena-fenomena aneh melalui majalah-majalah luar
negeri dan buku-buku ilmiah karangan psychist ternama. Kalau dulu Mahar berurusan dengan
primbon atau prasasti dan istilah-istilah kuntilanak, jenglot, Dalbho anak genderuwo, dan pocong,
sekarang referensinya meningkat menjadi paranormal-phernalia, UFO codes, science fictions news,
dan The Anomaiist, dan bicaranya juga menjadi lebih maju dan keren, kalau dulu kemenyan, tuyul,
kerasukan setan, dan santet, sekarang menjadi istilah-istilah paranormal asing seperti exorcism,
clairevoyance, sightings, dan poltergeist.
Mahar tertarik pada mitologi, hubungan supranatural dengan antropologi, sejarah, cerita rakyat,
arkeologi, kekuatan penyembuhan, ilmu-ilmu purba, ritual, dan kepercayaan berhala. Maka sedikit
banyak ia menganggap dirinya seorang ilmuwan supranatural. Sebaliknya, Flo adalah petualang
sejati. Ia kurang tertarik dengan aspek ilmu dan keyakinan dalam kejadian-kejadian mistik tapi ia
ingin mengalami manifestasi berbagai teori dan fenomena magis dalam praktik. Karena tujuan
utama pendalaman mistik Flo adalah untuk menguji dirinya sendiri, sampai sejauh mana ia bisa
menoleransi rasa takutnya. Ia kecanduan getar-getar mara bahaya dunia lain. Flo sedikit lebih parah
sintingnya dibanding Mahar.
Maka untuk merealisasikan semua tujuan itu dan untuk menikmati hobinya, mereka berdua
menyusun sebuah rencana sistematis. Langkah awal mereka adalah membentuk sebuah organisasi
rahasia para penggemar paranormal. Setelah kasakkusuk sekian lama, tak dinyana ternyata mereka mampu menemukan anggota-anggota se-paham
yang sangat antusias. Mereka membentuk sebuah perkumpulan yang disebut Societeit de Limpai
dan melakukan pertemuan rutin serta aktivitas perklenikan secara diam-diam.
Semakin lama aktivitas itu semakin tinggi dan tak jarang melibatkan perjalanan yang jauh. Tak
terbayangkan ke mana keingintahuan dapat membawa manusia: ke gunung tertinggi, ke gua yang
gelap, melintasipadang, menuruni ngarai, me-nyeberangi lumpur, sungai, dan laut. Sing-kat-nya,
organisasi bawah tanah ini sangat sibuk dan menuntut pengadministrasian jadwal, dana, dan
properti sehingga mereka membutuhkan bantuan seorang sekretaris merangkap bendahara!
Ketika aku ditawari posisi itu, aku segera menyambarnya. Meskipun tidak ada honornya sepeser
pun tapi aku merasa terhormat menjadi seorang sekretaris dari sebuah gerombolan orang-orang
yang bersahabat dengan hantu. Aku juga bangga karena jabatan itu menunjukkan bahwa aku punya
cukup integritas untuk memegang uang, artinya paling tidak aku bisa dipercaya walaupun hanya
dipercaya oleh orang-orang yang sudah tidak lurus pikirannya.
Tugasku sederhana dan cukup diatur melalui sebuah buku register. Tugas tersebut adalah mencatat
iuran anggota, menyimpan uangnya, dan mencatat barang-barang pribadi milik anggota yang akan
dijual atau digadaikan guna membeli peralatan dan membiayai ekspedisi. Tugas lainnya adalah
mengatur pertemuan rahasia. Biasanya undangan dibuat oleh bosku, Mahar atau Flo, dan aku harus
mengedarkannya pada seluruh anggota. Seperti sore ini misalnya, Flo menyerahkan undangan
Rapat mendesak, Los V/B pasar ikan, Pk. 7
Be thereor be damned!
Detik-Detik Kebenaran
DAL AM sebuah bangunan berarsitektur art deco, di ruangan oval yang ingar-bingar, kami
terpojok: aku,Sahara, dan Lintang.
Kembali kami berada dalam sebuah situasi yang mempertaruhkan reputasi. Lom-ba kecerdasan.
Dan kami berkecil hati melihat murid-murid negeri dan sekolah PN membawa buku-buku teks yang
belum pernah kami lihat. Tebal berkilat-kilat dengan sampul berwarna-warni, pasti buku-buku
mahal. Sebagian peserta berteriak-teriak keras menghafal-kan nama-nama kantor berita.
Risikonya tentu jauh lebih besar dari karnaval dulu. Lomba kecerdasan adalah arena terbuka untuk
mempertontonkan kecerdasan, atau jika sedang bernasib sial, mempertontonkan ketololan yang tak
terkira. Dan semua nasib sial itu akan ditanggung langsung oleh aku,Sahara, dan Lintang. Kami
adalah regu F pada lomba memencet tombol ini. Bagaimana kalau kami tak mampu menjawab dan
hanya membawa pulang angka nol?
Persoalan klasiknya adalah kepercayaan diri. Inilah problem utama jika berasal dari lingkungan
marginal dan mencoba bersaing. Kami telah dipersiapkan dengan baik oleh Bu Mus. Beliau
memang menaruh harapan besar pada lomba ini lebih dari beliau berharap waktu kami karnaval
dulu. Bu Mus pontang-panting mengumpulkan contoh-contoh soal dan bekerja sangat keras melatih
kami dari pagi sampai sore. Bu Mus melihat lomba ini sebagai media yang sempurna untuk
menaikkan martabat sekolah Muhammadiyah yang bertahun-tahun selalu diremehkan. Bu Mus
sudah bosan dihina. Sayangnya sekeras apa pun beliau membuat kami pintar dan menguatkan
mental kami, mendorong-dorong, membujuk, dan mengajari kami agar tegar, kami tetap gugup.
Semua yang telah dihafalkan berminggu-minggu lenyap seketika, jalan pikiran menjadi buntu. Aku
berusaha menenangkan diri dengan membayangkan duduk bersemadi di ataspadangrumput hijau di
tempat yang paling tenang dalam imajinasiku: Edensor, tapi upaya ini juga gagal.
\"Persetan kepercayaan diri, pokoknya dengar pertanyaannya baik-baik, pencet tombolnya cepatcepat, dan jawab dengan benar,\" demikian kataku.Saharamengangguk, Lintang tak peduli.
Kami duduk menghadapi sebuah meja mahoni yang besar, panjang, indah, dan dingin. Seluruh
teman sekelasku dan guru-guru hadir untuk menyemangati kami. Ruangan penuh sesak oleh para
pendukung setiap sekolah. Aku, Lintang, danSaharamengerut di balik meja itu. Kami berpakaian
amat sederhana dan sepatu cunghai Lintang masih menebarkan bau hangus.
Pendukung yang paling dominan tentu saja pendukung sekolah PN. Jumlahnya ratusan dan
menggunakan seragam khusus dengan tulisan mencolok di punggungnya: VINI, VIDI, VICI,
artinya AKU DATANG, AKU LIHAT, AKU MENANG. Benar-benar menjatuhkan mental lawan.
Sekolah PN mengirim tiga regu, masing-masing regu A, B, dan C. Anggota regu itu adalah yang
terbaik dari yang terbaik. Mereka diseleksi secara khusus dengan amat ketat dan standar yang
sangat tinggi. Beberapa peserta itu pernah menjuarai lomba cerdas cermat tingkat provinsi bahkan
ada yang telah dikirim untuk tingkat nasional. Pakaian anggota regu juga sangat berbeda. Mereka
mengenakan jas warna biru gelap yang indah, sepatu yang seragam dengan celana panjang
berwarna serasi, dan mereka berdasi.
Tahun ini mereka dipersiapkan lebih matang, sistematis, dan secara amat ilmiah oleh seorang guru
muda yang terkenal karena kepandaiannya. Guru ini membuat simulasi situasi lomba sesungguhnya dengan bel, dewan juri, stop watch, dan antisipasi variasi-variasi soal. Guru yang cemerlang ini
baru saja mengajar di PN, dulu ia bekerja di sebuah perusahaan asing di unit riset dan
pengembangan kemudian ditawari mengajar di PN dengan gaji berlipat-lipat dan janji beasiswa S2
dan S3. Ia lulus cum laude dari Fakultas MIPA sebuah universitas negeri ternama. Tahun ini ia
terpilih sebagai guru teladan provinsi. Ia mengajar fisika, Drs. Zulfikar, itulah namanya.
Pendukung kami dipimpin oleh Mahar dan Flo. Meskipun hanya berjumlah sedikit tapi semangat
mereka menggebu. Mereka membawa dua buah bendera besar Muhammadiyah yang telah lapuk
dan berbagai macam tabuh-tabuhannya seperti para suporter sepak bola.Parapelajar PN yang
menganggap Flo pengkhianat melirik kejam pada-nya, tapi seperti Lintang, Flo juga tak peduli.
Walaupun besar sekali kemungkinan tim kami dipermalukan oleh kecerdasan tim PN dalam lomba
ini, tapi Flo tak ragu sedikit pun membela habis-habisan sekolahnya, sekolah kampung
Di antara pendukung kami adaTrapanidan ibunya, kedua anak beranak ini saling bergandengan
tangan. Aku melihat pelajar-pelajar wanita berbisik-bisik, tertawa cekikikan, dan terus-menerus
melirik-nya karena semakin remajaTrapanisemakin tampan. la ramping, berkulit putih bersih,
tinggi, berambut hitam lebat, di wajahnya mulai tumbuh kumis-kumis tipis, dan matanya seperti
buah kenari muda: teduh, dingin, dan dalam.
Sesungguhnya dalam seleksi tim yang akan mewakili sekolah kamiTrapanitelah terpilih. Skornya
lebih tinggi dibanding skorSaharanamun nilai geografinya lebih rendah. Kekuatan tim kami adalah
matematika, hitungan-hitungan IPA, biologi, dan bahasa Inggris yang semuanya tak diragukan ada
di tangan Lintang. Aku agak baik pada bidangbidang kewarganegaraan, tarikh Islam, fikih, budipekerti, dan sedikit bahasaIndonesia. Yang
paling lemah dalam tim kami adalah geografi dan ahli geografi kami adalahSahara. Maka demi
kekuatan timTrapanidengan lapang dada memberi kesem-patan padaSaharauntuk
tampil.Trapaniadalah pria muda yang amat tampan dan berjiwa besar.
\"Tabahkan hatimu, Ikal ...,\" itulah nasihatTra-panipelan padaku.
Sementara di meja mahoni yang megah itu Lintang diam seribu bahasa, kelelahan, selayaknya
orang yang memikul seluruh beban pertaruhan nama baik. Aku tak henti-henti berkipas, bukan
kepanasan, tapi hatiku mendidih karena gentar. Tak pernah sekali pun sekolah kampung menang
dalam lomba ini, bahkan untuk diundang saja sudah merupakan kehormatan besar.
Lintang sudah membatu sejak subuh tadi. Di atas truk terbuka yang membawa kami ke
ibukotakabupaten ini,Tanjong Pandan,iamembisu seperti orang sakit gigi parah. Ia memandang
jauh. Tak mampu kuartikan apa yang berkecamuk di dadanya. Ayah, Ibu, dan adik-adiknya juga
ikut. Mereka, termasuk Lintang, baru pertama kali ini pergi ke Tanjong Pandan.
Saharaduduk di tengah. Aku dan Lintang di samping kiri dan kanannya. Ekspresi Lintang datar, ia
tersandar lesu tanpa minat. Agaknya ia demikian minder, berkecil hati, dan malu berada di
lingkungan yang sama sekali asing baginya. Ia hanya menatap Ayah, Ibu, dan adik-adiknya yang
berpakaian amat sederhana, duduk saling merapatkan diri di pojok, tampak bingung dalam suasana
yang hiruk pikuk. Aku mencoba berkonsentrasi tapi gagal. Lintang danSaharasudah tak bisa
Kulihat tangan para peserta lain mulai meraba tombol di depan mereka, siap
menyalak.Saharakelihatan pucat, seperti orang bingung. la yang telah ditugasi dan dilatih khusus
memencet tombol sedikit pun tak mampu mendekatkan jarinya ke benda bulat itu. la sudah pasrah
atas kemungkinan kalah mutlak.Saharamengalami demam panggung tingkat gawat. Sementara
otakku tak bisa lagi dipakai untuk berpikir. Keributan yang terjadi ketika peserta lain mencoba-coba
tombol dan mikrofon terdengar bagaikan teror bagi kami. Kami tak sedikit pun mencoba bendabenda itu. Kami sudah kalah sebelum bertanding.Parapendukung Muhamma-diyah membaca
kegentaran kami. Mereka tampak prihatin.
Suasana semakin tegang ketika ketua dewan juri bangkit dari tempat duduknya, memperkenalkan
diri, dan menyatakan lomba dimulai. Jantungku berdegup kencang,Saharapucat pasi, dan Lintang
tetap diam misterius, ia bahkan memalingkan wajah keluar melalui jendela.
Dan inilah detik-detik kebenaran itu. Pertanya-an ditujukan kepada semua peserta yang harus
berlomba cepat memencet tombol agar dapat menjawab dan jika keliru akan kena denda. Aku tak
berani melihat para penonton. Dan Bu Mus tak berani melihat wajah kami. Wajahnya dipalingkan
ke lampu besar di tengah ruangan yang berjuntai-juntai laksana raja gurita. Baginya ini adalah
peristiwa terpenting selamalimabelas tahun karier mengajarnya. Beliau benar-benar menginginkan
kami menang dalam lomba ini, karena beliau tahu lomba ini sangat penting artinya bagi sekolah
kampung seperti Muhammadiyah. Wajahnya kusut menang-gung beban, mungkin beliau juga telah
bosan bertahun-tahun selalu diremehkan.
Tak lama kemudian seorang wanita anggun yang bergaun jas cantik berwarna merah muda berdiri.
Beliau meminta penonton agar tenang karena beliau akan mengajukan pertanyaan. Suaranya indah,
bertimbre berat, dan tegas seperti penyiar RRI.
Wanita itu mendekatkan wajahnya pada mi-krofon dan menegakkan lembaran kertas di depannya
seperti orang akan membaca Pancasila. Detik-detik kebenaran yang hakiki dan men-cemaskan
tergelar di depan kami. Seluruh peserta memasang telinga baik-baik, siap menyambar tombol, dan
siaga mendengar berondongan perta-nyaan. Suasana mencekam ....
Pertanyaan pertama bergema.
\"Ia seorang wanita Prancis, antara mitos dan realita ....\"
Kring! Kriiiiiiiingggg! Kriiiiiiiiiiiiinnnggggg!
Wanita anggun itu tersentak kaget karena pertanya-annya secara mendadak dipotong oleh suara
sebuah tombol meraung-raung tak sabar. Aku danSaharajuga terperanjat tak alang kepalang
karena baru saja sepotong lengan kasar dengan kecepatan kilat menyambar tombol di depan kami,
\"Regu F!\" kata seorang pria anggota dewan juri lainnya. Wajahnya seperti almarhum Benyamin S.
la memakai jas dan dasi kupu-kupu.
\"Joan D'Arch,Loire Valley,France!\" jawab Lin-tang membahana, tanpa berkedip, tanpa keraguan
sedikit pun, dengan logat Prancis yang sengau-sengau aduhai.
\"Seratusss!\" Benyamin S. tadi membalas disam-but tepuk tangan gemuruh para penonton. Kulihat
bendera Muhammadiyah berkibar-kibar.
\"Pertanyaan kedua: Terjemahkan dalam kalimat integral dan hitung luas wilayah yang dibatasai
oleh y = 2x dan x = 5.\"
Lintang kembali menyambar tombol secepat ki-lat dan jawabannya serta-merta memecah ruangan.
\"Integral batas 5 dan 0, 2x minus x kali dx, hasilnya: dua belas komalima!\"
Luar biasa! tanpa ada kesangsian, tanpa membuat catatan apa pun, kurang dari 5 detik, tanpa
membuat kesalahan sedikit pun, dan nyaris tanpa berkedip.
\"Seratussssss!\" lengking Benyamin S. Mendengar lengkingan Benyamin S. pendukung kami
melonjak-lonjak seperti orang kesurupan. Suara mereka huh rendah laksana kawanan kum-bang
kawin. Flo melompat-lompat sambil menge-luarkan jurus-jurus kick boxing.
\"Pertanyaan ketiga: Hitunglah luas dalam jarak integral 3 dan 0 untuk sebuah fungsi 6 plus Sx
minus x pangkat 2 minus 4 x.\"
Lintang memejamkan matanya sebentar, ia tak membuat catatan apa pun, semua orang
memandangnya dengan tegang, lalu kurang dari 7 detik kembali ia melolong.
\"Tiga belas setengah!\"
Tak sebiji pun meleset, tak ada ketergesa-gesaan, tak ada keraguan sedikit pun.
\"Seratusssss!\" balas Benyamin S. sambil menggeleng-gelengkan kepalanya karena takjub melihat
kecepatan daya pikir Lintang. Pendukung kami bersorak sorai histeris gegap gempita. Mereka
mendesak maju karena perlombaan semakin seru. Ayah, Ibu, dan adik-adik Lintang berusaha
berdiri dan bergabung dengan pendukung kami yang lain. Mereka tersenyum lebar dan kulihat ayah
Lintang, pria cemara angin itu, wajahnya berseri-seri penuh kebanggaan pada anaknya, matanya
yang kuning keruh berkaca-kaca.
Sementara para peserta lain terpana dan berkecil hati. Lintang menjawab kontan, bahkan ketika
mereka belum selesai menulis soal itu dalam kertas catatan yang disedia-kan panitia. Beberapa di
antaranya membanting pensil tanpa ampun.Trapaniyang kalem mengangguk-angguk pelan. Pak
Harfan bertepuk tangan girang sekali seperti anak kecil, wajahnya menoleh kesanakemari. \"Lihatlah
murid-muridku, ini baru murid-muridku ...,\" itu mungkin makna ekspresi wajahnya. Bu Mus
bergerak maju ke depan, wajah kusutnya telah sirna menjadi cerah. Sekarang beliau berani
mengangkat wajahnya, matanya juga berkaca-kaca dan bibirnya bergumam, \"Subhanallah,
Ibu jas merah muda berupaya keras mene-nangkan penonton yang riuh dan berdecak-decak kagum,
terutama menenangkan pendukung kami yang tak bisa menguasai diri. Beliau melanjutkan
\"Selain menggunakan teknik radiocarbon untuk
menentukan usia sebuah temuan arkeologi, para ahli juga .,…\"
Kring! Khiiiiiiingggg!
Kembali Lintang mengamuk, dan ia menjawab lantang.
\"Thermoiuminescent dating1.Penentuan usia melalui pelepasan energi sinar dalam suhu panas!\"
Berikutnya hanyalah kejadian yang persis sa-ma dengan pertanyaan itu. Wanita cantik berjas merah
muda itu tak pernah sempat menyelesaikan pertanyaannya. Lintang menyambar setiap soal tanpa
memberikan kesempatan sekali pun pada peserta lain.
Ratusan penonton terkagum-kagum. Warga Muhammadiyah di ruangan itu berjingkrak-jingkrak
sambil saling memeluk pundak. Vang paling bahagia adalah Harun. Dia memang senang dengan
keramaian. Aku melihatnya bertepuk-tangan tak henti-henti, berteriak-teriak memberi semangat,
tapi wajahnya tak melihat ke arah kami, ia menoleh keluar jendela. Kiranya ia sedang memberi
semangat kepada sekelompok anak perempuan yang sedang bermain kasti di halaman.
Di tengah hiruk pikuk para penonton aku sem-pat mendengar jawaban-jawaban tangkas Lintang:
\"Vincent Van Gogh, menyasszonytanc , The Hunch back of Notredame, paradoks air, Edgar Alan
Poe, medula spinalis, Dian Fossey, artropoda, 300 ribu kilometer per detik. Basedow, dacty/orhiza
mocu-iata, ancyostoma duodenaie, Stone Henge, Platy-helminthes, endoskeleton, Serebrum,
Langerhans, fiuoxetine hydrochioride, 8,5 menit cahaya, extremely low frequency, molekul chirai
Ia tak terbendung, aku merinding melihat kecerdasan sahabatku ini. Peserta lain terpesona
dibuatnya. Mereka seperti terbius sebuah kharisma kuat kecerdasan murni dari seorang anak
Melayu pedalaman miskin, murid sekolah kampung Muhammadiyah yang berambut keriting merah
tak terawat dan tinggal di rumah kayu doyong beratap daun nun jauh terpencil di pesisir.
Parapeserta sekolah PN merasa geram karena tak kebagian satu pun jawaban. Maka mereka
mencoba berspekulasi. Tujuannya bukan untuk menjawab tapi untuk menjegal Lintang. Mereka
berusaha secara tidak rasional memencet tombol secepat mungkin. Sebuah tindakan tolol yang
berakibat denda karena tak mampu menginter-pretasikan seluruh konteks pertanyaan. Sedangkan
Lintang, seperti dulu pernah kuceritakan, anak ajaib kuli kopra ini, memiliki kemampuan yang
menga-gumkan untuk menebak isi kepala orang.
Dominasi Lintang membuat beberapa penonton terusik egonya dan penasaran ingin menguji
Einstein kecil ini maka insiden pun terjadi. Ketika itu juri menanyakan:
\"Terobosan pemahaman ilmiah terhadap konsep warna pada awal abad ke-16 memulai penelitian
yang intens di bidang optik. Ketika itu banyak ilmuwan yang percaya bahwa campuran cahaya dan
kegelapanlah yang menciptakan warna, sebuah pendapat yang rupanya keliru. Kekeliruan itu
dibuktikan dengan memantulkan cahaya pada sekeping lensa cekung .,„¦\"
Khiiiiing! Kriiiiing! Kring! Lintang menyalak-nyalak.
Sekali lagi suporter kami bergemuruh jumpali-tan, tapi tiba-tiba seseorang di antara penonton
menyela, \"Saudara ketua! Saudara ketua! Saudara ketua dewan juri! Saya kira pertanyaan dan
jawaban itu keliru besar!\"
Seluruh hadirin sontak diam dan melihat ke a-rah seorang pemuda yang kecewa ini. Oh, Drs.
Zulfikar, guru fisika teladan dari sekolah PN itu. Gawat! Urusan ini bisa runyam. Sekarang pandangan seluruh hadirin menghunjam ke arah guru muda yang otak cemerlangnya sudah kondang ke
mana- mana. Untuk diajar privat olehnya bahkan harus antre. la harapan yang akan melanjutkan
tradisi lama sekolah PN sebagai pemenang pertama lomba kecerdasan ini dan ia sudah
mempersiapkan timnya demikian sempurna. Ia tak ingin dipermalukan dan ia tak
pernah berurusan dengan sesuatu yang tidak terbaik. Sekarang apa yang akan ia perbuat? Aku
danSaharawaswas tapi Lintang tenang-tenang saja. Drs. itu angkat bicara dengangayaakademisi
\"Percobaan dengan lensa cekung tidak ada kaitannya dengan bantahan terhadap teori awal yang
meyakini bahwa warna dihasilkan oleh campuran cahaya dan kegelapan. Dan sebaliknya,
pemahaman terhadap penciptaaan warna bukanlah persoalan optik, kecuali dewan juri ingin
membantah Descartes atau Aristoteles. Soal optik dan spektrum warna adalah dua macam hal yang
berbeda. Situasi ini ambigu, di sini kita menghadapi tiga kemungkin-an, pertanyaan yang salah,
jawaban yang keliru, atau kedua-duanya tak berdasar dalam arti tidak kontekstual!\"
Aduh...! Komentar ini sudah di luar daya jang-kau akalku, asing, tinggi, dan jauh. Ini sudah
semacam debat mempertahankan tesis S2 di depan tiga orang profesor. Tapi tidakkah sedikit
banyak kata-kata sang Drs. itu berbentuk U, kritis namun berputar-putar? Dan ia pintar sekali
membimbang-kan dewan juri dengan menyintir pendapat Rene Descartes, siapa yang berani
membantah sinuhun ilmu zaman lawas itu? Mudah-mudahan Lintang punya argumentasi. Kalau
tidak kami akan habis di sini. Aku membatin dengan cemas tapi tak tahu akan berbuat apa. Pak
Harfan bertelekan pinggang lalu menunduk dan Bu Mus merapatkan kedua tangannya di
atas dadanya seperti orang berdoa,
wajahnya prihatin ingin membela kami tapi beliau tak berdaya karena serangan Drs. Zulfikar
memang sudah ter-lalu canggih. Bu Mus tampak tak tega melihat kami. Aku memandangSaharadan
ia cepat-cepat memalingkan muka, ia menoleh keluar jendela seolah tak mengenal kami. Wajahnya
menunjukkan ekspresi bahwa saat itu ia sedang tidak duduk di situ.
Parapenonton dan dewan juri terlihat bingung atas bantahan yang supercerdas itu. Jangankan
menjawab bahkan sebagian tak mengerti apa yang dipersoalkan. Tapi seseorang memang harus me-
nyelamatkan situasi ini, maka ketua dewan juri bangkit dari tempat duduknya. Lintang masih
tenang-tenang saja, ia tersenyum sedikit, santai sekali.
\"Terima kasih atas bantahan yang hebat ini, apa yang harus saya katakan, bidang saya adalah
pendidikan moral Pancasila ...,\" kata ketua dewan juri.
Si Drs. bersungut-sungut, ia merasa di atas angin. Ekor matanya seolah mengumumkan kalau ia
sudah khatam membaca buku Principia karya Isaac Newton, bahwa ia juga pelanggan jurnal-jurnal
fisika internasional, bahwa ia kutu laboratorium yang kenyang pengalaman eksperimen, bahkan
seolah fisikawan Christiaan Huygens itu uwaknya. Pria ini adalah seorang fresh graduate yang
sombong, ia memperlihatkan karakter manusia sok pintar yang baru tahu dunia. Bicaranya di
awang-awang dengangayaseperti Pak Habibie. Ia mengutip buku asing disanasini tak keruan,
menggunakan istilah-istilah aneh karena ingin mengesankan dirinya luar biasa. Tapi kali ini, aku
jamin dia akan menelan APC, pil pahit segala penyakit andalan orang kampung Belitong yang amat
Karena merasa sudah menang dengan kritiknya guru muda itu meningkatkan sifat buruk dari
sombong menjadi tak tahan pada godaan untuk meremehkan.
\"Atau barangkali anak-anak SMP Muhammadi-yah ini atau dewan juri bisa menguraikan
pendekatan optik Descartes untuk menjelaskan fenomena warna?\"
Keterlaluan! Seluruh hadirin tentu mengerti bahwa kalimat bernada menguji itu sesungguhnya tak
perlu. Pak Zulfikar hanya ingin menghina sekaligus melumpuhkan mental kami dan dewan juri
karena ia yakin bahwa kami tak mengerti apa pun mengenai Descartes. Dengan demikian ia dapat
menganulir pertanyaan awal tadi sekaligus menja-tuhkan martabat majelis ini. Yang menyakitkan
adalah ia dengan jelas menekankan kata SMP Muhammadiyah untuk megingatkan semua orang
bahwa kami hanyalah sebuah sekolah kampung yang tak penting.
Aku memang tak mengerti pendekatan optik tapi aku tahu sedikit sejarah penemuan fenomena
warna. Aku tahu bahwa Descartes bekerja dengan prisma dan lembaran-lembaran kertas untuk
menguji warna, bukan murni dengan manipulasi optik.
Newton-lah sesungguhnya sang guru besar optik. Pak Zulfikar jelas sok tahu dan dengan mulut
besarnya ia mencoba menggertak semua orang melalui kesan seolah ia sangat memahami teori
warna. Aku geram dan ingin membantah Drs. congkak ini tapi pengetahuanku terbatas. Tabiat Pak
Zulfikar adalah persoalan klasik di negeri ini, orang-orang pintar sering bicara meracau dengan
istilah yang tak membumi dan teori-teori tingkat tinggi bukan untuk menemukan sebuah karya
ilmiah tapi untuk membodohi orang-orang miskin. Sementara orang miskin diam terpuruk, tak
menemukan kata-kata untuk membantah.
Aku menatap Lintang, memohon bantuannya jika nanti aku angkat bicara melawan kezaliman Drs.
itu. Aku sangat perlu dukungannya. Tapi bagaimana nanti kalau ternyata aku yang keliru?
Bagaimana kalau aku diserang balik bertubi-tubi? Ah, risikonya terlalu tinggi, bisa-bisa aku
dipermalukan. Ini juga persoalan klasik bagi orang yang memiliki penge-tahuan setengah-setengah
sepertiku. Maka dadaku berkecamuk antara ingin melawan dan ragu-ragu. Tapi aku sangat marah
karena sekolahku dihina dan aku jengkel karena aku tahu bahwa Drs. itu membawa-bawa nama
Descartes secara keliru dan tidak adil guna keuntungannya sendiri.
Melihatku demikian gusar Lintang tersenyum kecil padaku. Sebuah senyum damai. Aku tahu,
seperti biasa, ia dapat membaca pikiranku dengan benderang. Ia membalas tatapanku dengan
lembut seakan mengatakan, \"Sabar Dik, biar Abang bereskan persoalan ini ....\" Wajahnya
tenang sekali. Aku dan Sahara ciut. Kami mengerut di ketiak kiri kanan pendekar ilmu pengetahuan
yang sakti mandraguna andalan kami ini.
Mendengar tantangan Pak Zulfikar yang tak bersahabat tadi bapak ketua dewan juri yang baik
menarik napas panjang. Beliau menoleh ke arah para koleganya, anggota dewan juri. Semuanya
menggeleng-gelengkan kepala. Lalu beliau mencoba menengahi dengan diplomatis dan sangat
merendah. \"Maafkan Bapak Guru Muda, atas nama dewan juri saya terpaksa mengatakan bahwa
pengetahuan kami agaknya belum sampai ke sana.\"
Kata-katanya demikian bersahaja. Kasihan ba-pak tua itu. Ia seorang guru senior yang rendah hati
dan sangat disegani karena dedikasinya selama puluhan tahun di dunia pendidikan Belitong. Beliau
tampak malu dan putus asa. Lalu beliau mengalihkan pandangan ke arah regu F, regu kami, Lintang
tersenyum dan mengangguk kecil padanya. Tanpa diduga ketua dewan juri mengatakan, \"Tapi
mungkin anak Muhammadiyah yang cemerlang ini bisa membantu.\"
Suasana sunyi senyap dalam nuansa yang sangat tidak mengenakkan, dan semakin tidak enak
karena sang Drs. kembali mengudara dengan komentar sengak tanpa perasaan.
\"Saya harap argumentasi mereka bisa setepat jawabannya tadi!\"
Semakin keterlaluan! Ia sengaja memprovokasi Lintang dan kali ini Lintang terpancing, ia angkat
\"Jika bantahan Bapak mengenai pertanyaan yang tidak kontekstual dengan jawaban, mungkin saja
bantahan semacam itu bisa diterima. Dewan juri menanyakan sesuatu yang jawabannya sudah
tertera di kertas yang dibacakan ibu pembaca soal. Saya yakin di sana tertulis cincin Newton dan
kami menjawab cincin Newton, berarti kami berhak atas angka seratus. Maka kalaupun itu memang
tidak kontekstual, itu hanya berarti dewan juri menanyakan sesuatu yang benar dengan cara yang
Pak Zulfikar tak terima.
\"Dengan kata lain pertanyaan nomor itu gugur karena bisa saja peserta lain menduga arah
jawaban yang keliru!\" Lintang tak sabar.
\"Tidak ada yang keliru! Kecuali Bapak tidak memedulikan substansi dan ingin menggugurkan nilai
kami karena persoalan remeh-temeh.\"
Pak Zulfikar tersinggung, ia menjadi marah, dan suasana berubah tegang.
\"Kalau begitu jelaskan pada saya substansinya! Karena bisa saja kalian mendapat nilai melalui
kemampuan menebak-nebak jawaban secara untung-untungan tanpa memahami persoalan
Wah, ini sudah kurang ajar. Sahara menyeringai, setelah sekian lama menghilang ke alam lain
kini ia kembali dalam penjelmaan seekor leopard,
alisnya bertemu. Para penonton dan dewan juri tercengang, terlongong-longong dalam adu
argumentasi ilmiah tingkat tinggi yang memanas. Mereka bahkan tak mampu memberi satu
komentar pun, persoalan ini gelap bagi mereka. Tapi aku tersenyum senang karena aku tahu kali ini
guru muda yang sok tahu ini akan kena batunya.
Bantahannya yang terakhir itu adalah pelecehan. Lintang tersengat harga dirinya, wajahnya merah
padam, sorot matanya tak lagi jenaka. Lintang, yang baru sekali ini menginjak Tanjong Pandan,
berdiri dengan gagah berani menghadapi guru PN yang arogan jebolan perguruan tinggi terkemuka
itu. Sembilan tahun sangat dekat dengan Lintang, baru kali ini aku melihatnya benar-benar muntah,
maka inilah cara orang genius mengamuk:
\"Substansinya adalah bahwa Newton terang-terangan berhasil membuktikan kesalahan teori-teori
warna yang dikemukakan Descartes dan Aristoteles! Bahkan yang pa-ling mutakhir ketika itu,
Robert Hooke. Perlu dicatat bahwa Robert Hooke mengadopsi teori cahaya berdasarkan filosofi
mekanis Descartes dan mereka semua, ketiga orang itu, menganggap warna memiliki spektrum
yang terpisah. Melalui optik cekung yang kemudian melahirkan dalil cincin, Newton membuktikan
bahwa warna memiliki spektrum yang kontinu dan spektrum warna sama sekali tidak dihasilkan
oleh sifat-sifat kaca, ia semata-mata produk dari sifat-sifat hakiki cahaya!\"
Drs. Zulfikar terperangah, penonton tersesat dalam teori fisika optik, sekadar mengangguk sedikit
saja sudah tak sanggup. Dan aku girang tak alang kepalang, dugaanku terbukti! Rasanya aku ingin
meloncat dari tempat duduk dan berdiri di atas meja mahoni mahal berusia ratusan tahun itu sambil
berteriak kencang kepada seluruh hadirin: \"Kalian tahu, ini Lintang Samudra Basara bin Syahbani
Maulana Basara, orang pintar kawanku sebangku! Rasakan kalian semua!\" Sekarang ekspresi
Sahara seperti leopard yang sedang mencabik-cabik predator pesaing, ia mengaum, alisnya bertemu
seperti sayap elang, dan Lintang masih belum puas.
\"Newton mengatakan, kecuali Bapak ingin nyangkal manuskrip ilmiah yang tak terbantahkan
selama 500 tahun hasil karya ilmuwan yang disebut Michael Hart sebagai manusia paling hebat
setelah Nabi Muhammad, bahwa tebal tipisnya partikel transparan menentukan warna yang ia
pantulkan. Itulah persamaan ketebalan lapisan udara antara optik sebagai dasar dalil warna cincin.
Semua itu hanya bisa diobservasi melalui optik, bagaimana Bapak bisa mengatakan perkara-perkara
ini tidak saling berhubungan?\"
Sang Drs. terkulai lemas, wajahnya pucat pasi. Ia membenamkan pantatnya yang tepos di bantalan
kursi seperti tulang belulangnya telah dipresto. Ia kehabisan kata-kata pintar, kacamata minusnya
merosot layu di batang hidungnya yang bengkok. Ia paham bahwa berpolemik secara membabi buta
dan berkomentar lebih jauh tentang sesuatu yang tak terlalu ia kuasai hanya akan
memperlihatkan ketololannya sendiri di mata orang genius seperti Lintang. Maka ia mengibarkan
saputangan putih, Lintang telah menghantamnya knock out. Ia dipaksa Lintang menelan pil APC
yang pahit tanpa air minum dan pil manjur itu kini tersangkut di tenggorokannya. Sekali lagi para
pendukung kami berjingkrak-jingkrak histeris seperti doger monyet. Pak Harfan mengacungkan dua
jempolnya tinggi-tinggi pada Lintang. \"Bravo! Bravo!\" teriaknya girang. Bu Mus yang berpakaian
paling sederhana dibanding guru-guru lain mengangguk-angguk takzim. Ia terlihat sangat bangga
pada murid-murid miskinnya, matanya berkaca-kaca dan dengan haru beliau berucap lirih,
\"Subhanallah ... Subhanallah ....\"
Selanjutnya, mekanisme lomba menjadi monoton, yaitu ibu cantik membacakan pertanyaan yang
tak selesai, suara kriiiiiing, teriakan jawaban Lintang, dan pekikan seratussss dari Benyamin S. Aku
terpaku memandang Lintang, betapa aku menyayangi dan kagum setengah mati pada sahabatku ini.
Dialah idolaku. Pikiranku melayang ke suatu hari bertahun-tahun yang lalu ketika sang bunga pilea
ini membawa pensil dan buku yang keliru, ketika ia beringsut-ingsut naik sepeda besar 80 kilometer
setiap hari untuk sekolah, ketika suatu hari ia menempuh jarak sejauh itu hanya untuk menyanyikan
lagu Padamu Negeri. Dan ha-ri ini ia meraja di sini di majelis kecerdasan yang amat terhormat ini.
Seperti Mahar, Lintang berhasil mengharumkan
nama per-guruan Muhammadiyah. Kami adalah sekolah kampung pertama yang menjuarai perlom-
baan ini, dan dengan sebuah kemenangan mutlak. Air yang menggenang seperti kaca di mata Bu
Mus dan laki-laki cemara angin itu kini menjadi butir-butiran yang berlinang, air mata kemenangan
yang mengobati harapan, pengorbanan, dan jerih payah.
Hari ini aku belajar bahwa setiap orang, bagai-mana pun terbatas keadaannya, berhak memiliki
cita-cita, dan keinginan yang kuat untuk mencapai cita-cita itu mampu menimbulkan prestasiprestasi lain sebelum cita-cita sesungguhnya tercapai. Keinginan kuat itu juga memunculkan
kemampuan-kemampuan besar yang tersembunyi dan keajaiban-keajaiban di luar perkiraan. Siapa
pun tak pernah membayangkan sekolah kampung Muhammadiyah yang melarat dapat mengalahkan
raksasa-raksasa di meja mahoni itu, tap/ keinginan yang kuat, yang kami pelajah dari petuah Pak
Harfan sembilan tahun yang lalu di hari pertama kami masuk SD, agaknya terbukti. Keinginan kuat
itu telah mem-belokkan perkiraan siapa pun sebab kami tampil sebagai juara pertama tanpa
banding. Maka barangkali keinginan kuat tak kalah penting dibanding cita-cita itu sendiri.
Ketika Lintang mengangkat tinggi-tinggi trofi besar kemenangan, Harun bersuit-suit panjang
seperti koboi memanggil pulang sapi-sapinya, dan di sana, di sebuah tempat duduk yang besar, ibu
Frischa berkipas-kipas kegerahan, wajahnya menunjukkan sebuah ekspresi seolah saat itu dia
MEREKA menyebut diri mereka Societeit de Limpai, sederhananya: Kelompok Limpai. Limpai
adalah binatang legendaris jadi-jadian yang menakutkan dalam mitologi Belitong. Sebuah karakter
fabel yang menarik karena beberapa cerita rakyat memberikan definisi yang berbeda bagi makhluk
mitos ini. Orang-orang pesisir menganggapnya sebagai semacam peri yang hidup di gununggunung. Di Belitong bagian tengah ia dipercaya berbentuk binatang besar berwarna putih seperti
gajah atau mammoth, Sebaliknya di utara ia adalah angin yang jika marah akan menumbangkan
pohon-pohon dan merebahkan batang-batang padi.
Ada pula beberapa wilayah yang mengartikan-nya sebagai bogey yakni hantu hitam dan besar.
Orang-orang muda semakin salah mengerti. Bagi mereka Limpai adalah urban legend maka ia bisa
saja incubus yaitu setan yang menyaru sebagai pria tampan atau death omen yang dapat menyamar
menjadi apa saja. Disebut salah mengerti karena sebenarnya akar cerita Limpai terkait dengan
ajaran kuno turun-temurun di Belitong agar masyarakat tidak semena-mena memperlakukan
hutan dan sumber- sumber air. Ajaran itu mengandung tenaga sugestif ketakutan terhadap kualat
karena hutan dan sumber-sumber air dijaga oleh hantu Limpai. Namun, dewasa ini sebagian besar
orang melihat wujud Limpai tak lebih dari kabut yang melayang-layang di dalam kepala yang
bodoh, tipis iman, senang bergunjing, dan kurang kerjaan, itulah Limpai.
Societeit de Limpai merupakan organisasi rahasia bentukan orang-orang aneh dan aku adalah
sekretaris organisasi yang unik ini. Societeit beroperasi diam-diam. la semacam organisasi tanpa
bentuk. Tak diketahui kapan, di mana mereka biasa berkumpul, dan apa yang mereka bicarakan.
Jika secara tak sengaja ada yang memergoki mereka, mereka segera mengalihkan pembicaraan,
bahkan menganggap saling tak kenal satu sama lain. Tindak tanduknya demikian disamarkan bukan
karena me-reka mengusung sebuah misi yang amat berbahaya, anarkis, komunis, atau melawan
hukum, tapi lebih karena mereka menghindarkan diri dari ejekan khalayak karena kekonyolannya.
Sebab Societeit adalah kumpulan manusia tak berguna yang memiliki kecintaan berlebihan pada
dunia klenik dan mistik. Para peminat klenik dalam masyarakat kami selalu jadi bahan tertawaan.
Mereka tidak populer karena barangkali tidak seperti pada budaya lain di tanah air, orang-orang
Melayu khususnya di Belitong me-mang tidak terlalu meminati dunia perdukunan.
Maka Societeit de Limpai pada dasarnya tidakmendapat tempat di kampung kami.
Namun bagi para anggota Societeit, organisasi mereka adalah organisasi yang sangat serius.
Anggotanya hanya sembilan orang dan untuk menjadi anggota syaratnya berat bukan main.
Anggota paling senior saat ini berusia 57 tahun, pensiunan syah bandar, dan yang termuda adalah
dua orang remaja berusia 16 tahun. Enam orang lainnya adalah seorang petugas teller di BRI
cabang pembantu, seorang Tionghoa tukang sepuh emas, seorang pengangguran, seorang pemain
organ tunggal, seorang mahasiswa teknik elektro drop out yang membuka sebuah bengkel sepeda,
dan Mujis, si tukang semprot nyamuk. Anehnya ketua kelompok ini justru yang termuda itu. Ialah
bapak pendiri organisasi yang disegani anggotanya karena pengetahuannya yang luas tentang dunia
gelap, pevalienan, serta koleksinya yang lengkap tentang cerita kabar angin atau cerita konon
kabarnya. la tak lain tak bukan adalah Mahar yang fenomenal. Sedangkan anak remaja satunya
tentu saja Flo. Adapun aku hanya seorang sekretaris dan pembantu umum, maka tidak dihitung
sebagai anggota kehormatan.
Aktivitas Societeit sangat padat. Mereka melakukan ekspedisi ke daerah-daerah angker, menyelidiki kejadian-kejadian mistik, berdiskusi dengan para spiritual di seantero Belitong, dan
memetakan mitologi lokal, baik Folklor maupun urban legend dalam suatu mitografi yang menarik.
Dalam banyak sisi dapat dianggap bahwa para anggota Societeit
sesungguhnya adalah orang-orang pemberani yang sangat penasaran ingin membongkar rahasia
feno-mena ganjil dan memiliki skeptisisme yang tak mau dikompromikan. Jika belum melihat dan
merasakan sendiri, mereka tak 'kan percaya. Societeit dengan brilian telah mengadopsi sosok
Limpai yang mistis sebagai metafora sehingga mereka bisa disebut orang-orang antusias, ilmuwan,
orang gila, atau musyrikin tergantung sudut pandang setiap orang menilainya. Sama seperti
perbedaan perspektif setiap orang dalam memaknai Limpai.
Dalam pembuktiannya terhadap fenomena pa-ranormal mereka sering menggunakan metode ilmiah
sehingga mereka dapat juga disebut sebagai ilmuwan tentu saja ilmuwan dalam definisi mereka
sendiri. Ke arah inilah Mahar telah berkembang, bukan ke arah pencapaian-pencapaian seni yang
seharusnya menjadi rencana A baginya, dan dengan kehadiran Flo, kesia-siaan bakat itu semakin
Dalam menjalankan tugas sintingnya mereka melengkapi diri dengan perangkat elektronik, misalnya beragam alat perekam audio video, perangkat-perangkat sensor, dan berbagai jenis teropong. Di
bawah supervisi mahasiswa elektro yang drop out itu mereka merakit sendiri detektor medan
elektro magnet yang dapat membaca gelombang area observasi dalam kisaran 2 sampai 7 miligauss
karena mereka yakin aktivitas kaum lelembut berada dalam kisaran tersebut. Mereka juga
menciptakan sensor frekuensi yang dapat mengenali frekuensi sangat
rendah sampai di bawah 60 hertz karena menurut akal sesat mereka dalam frekuensi itulah kaum
setan alas sering berbicara. Selain semua elek-tronik yang canggih itu pada setiap ekspedisi mereka
juga membekali diri dengan kemenyan, gaharu, jimat telur biawak, buntat, dan penangkal bala, serta
seekor ayam kate kampung karena seekor ayam dianggap paling cepat tanggap kalau iblis
Mereka secara rutin berkelana. Suatu ketika mereka memasuki Hutan Genting Apit, tempat paling
angker di Belitong. Hutan ini menyimpan ribuan cerita seram dan yang paling menonjol adalah
fenomena ectoplasmic mist yakni kabut yang bercengkerama sendiri dan secara alamiah atau
mungkin setaniah membentuk wujud-wujud tertentu seperti manusia, hewan, atau raksasa. Tak
jarang bentuk-bentuk ini tertangkap kamera film biasa. Para pengendara yang melalui kawasan ini
sangat disarankan untuk tidak melirik kaca spion karena hantu-hantu penghuni lembah ini biasa
menumpang sebentar di jok belakang.
Di lembah ini mereka memasang alat-alat elektronik tadi di cabang-cabang pohon untuk
mendeteksi gerakan, suara, dan bentuk-bentuk tak biasa lalu menganalisisnya. Kemudian Genting
Apit menjadi semacam laboratorium alam bagi Societeit. Tempat yang selalu dihindari orang
mereka kunjungi seumpama orang piknik ke pantai saja.
Tak ayal Societeit juga mendatangi kuburan-kuburan keramat, bermalam di lokasi-lokasi yang
terkenal keseramannya, mengumpulkan cerita-cerita takhayul, dan mencari benda-benda magis
pusaka warisan antah berantah. Mereka diam di tempat yang ditinggalkan orang karena takut,
mereka justru menunggu makhluk-makhluk halus yang membuat orang lain terbirit-birit. Semakin
lama Societeit semakin bergairah dengan aktivitas-nya meskipun di sisi lain masyarakat juga
semakin mencemooh mereka. Mereka dianggap orang-orang aneh yang menghambur-hamburkan
waktu untuk hal-hal tak bermanfaat.
Tak semua kegiatan Societeit tak berguna. Adakalanya pendekatan ilmiah mereka malah mampu
mematahkan mitos. Misalnya dalam kasus api anggun di atas sebatang pohon jemang besar. Telah
puluhan tahun berlangsung para pengendara sering ketakutan ketika melintasi sebuah tikungan
menuju Manggar karena pada puncak sebuah pohon jemang besar persis di seberang tikungan itu
sering tampak api berkobar-kobar. Jemang Hantu, demikian juluk-an tempat angker itu. Kejadian
itu selalu tengah malam setelah turun hujan dan sudah menjadi cerita seram yang melegenda.
Sulit untuk mengatakan bahwa para pengen-dara telah salah lihat apalagi berbohong karena di
antara mereka yang telah menyaksikan peman-dangan horor itu adalah Zaharudin bin Abu Bakar,
ustad muda kampung kami yang pantang berdusta.
Maka Societeit turun tangan melakukan sema-cam riset. Setelah sepanjang sore turun hujan
malamnya mereka mengendap-endap di sekitar jemang angker tadi untuk melakukan
pengamatan. Tak lama setelah lewat tengah malam mereka memang menyaksikan api berkobarkobar di puncak pohon itu namun pada saat itu pula mengerti jawabannya. Mereka berhasil
menghancurkan mitos angker pohon jemang yang telah puluhan tahun menciutkan nyali orang
Letupan api itu sesungguhnya berasal dari ka-bel listrik tegangan tinggi yang korslet karena air
hujan. Tiang kabel itu berjarak kira-kira 120 meter dari puncak pohon dan ketinggian keduanya
sepadan sehingga jika dilihat dari jauh sebelum memasuki tikungan seolah-olah letupan korslet
yang menimbulkan bunga-bunga api itu berkobar-kobar dari puncak pohon jemang.
Jika tiba dari pengembaraan mistiknya, Mahar dan Flo selalu membawa cerita-cerita seru ke
sekolah. Misalnya suatu hari mereka berkisah bahwa di tengah sebuah hutan yang gelap mereka
menemukan kuburan dengan ukuran tambak hampir tiga kali enam meter dan jarak antara kedua
misannya hampir lima meter. Karena orang Melayu selalu memasang misan di sekitar kepala dan
ujung kaki maka dapat diperkirakan ukuran jasad yang terkubur di bawahnya adalah ukuran
manusia yang luar biasa besar.
Flo memulai kisah bahwa ia menemukan piring-piring dari tanah liat di sekitar kuburan
dengan ukuran seperti dulang dan kondisinya masih utuh. la juga menemukan berbagai jenis kendi
yang tidak rusak dan terkubur dangkal. Flo dengan dingin saja memberi tahu kami bahwa ia tidur
paling dekat dengan misan-misan itu dan tak sedikit pun merasa takut. Ia menceritakan sebuah
pengalaman yang menderikan bulu kuduk seolah sebuah cerita lucu tentang baru saja meminumkan
susu pada anak-anak kucing persia di rumahnya. Ingin kukatakan padanya bahwa gerabah-gerabah
arkeologi itu memang tidak rusak tapi yang rusak adalah otaknya.
Sebaliknya versi Mahar jauh lebih menarik. Ia memberi penjelasan pengetahuan tentang hubu-ngan
beberapa kuburan purba bertambak super besar di Belitong dengan teori-teori para arkeolog
terkenal seperti Barry Chamis atau Harold T. Wilkins yang percaya bahwa pada suatu masa yang
lampau manusia-manusia raksasa pernah menjelajahi bumi. Ia membuat analogi yang menarik,
logis, dan lengkap dengan analisis waktu tentang kuburan itu dengan hal ikhwal tengkorak manusia
raksasa Pasnuta yang ditemukan di Omaha atau kerangka tak utuh manusia yang digali dari situssitus kubur-an purba di Dataran Tinggi Golan. Jika direkonstruksi kerangka-kerangka itu
membentuk manusia setinggi hampir enam meter.
Maka cerita Mahar selalu mengandung ilmu. Dia memang seorang eksentrik yang berdiri di area
abu-abu antara imajinasi dan kenyataan, tapi tak
diragukan bahwa ia cerdas, pemikirannya terstruk-tur dengan baik, dan pengetahuan dunia gaibnya
amat luas. Mahar dan Flo duduk santai pada cabang rendah filicium seperti para paderi tukang cerita
dari sebuah kuil Sikh dan kami, para Laskar Pelangi, bersimpuh membentuk lingkaran, terce-ngang
dengan mata berbinar-binar mendengar keajaiban-keajaiban petilasan mereka dalam dunia magis.
Adapun orang lain dari kejauhan hanya akan melihat ikatan persahabatan Laskar Pelangi yang
Pada kesempatan lain mereka bercerita ten-tang petualangan mencari sebuah gua purba
tersembunyi yang belum pernah dijamah siapa pun. Gua itu konon berada di tengah rimba dan
eksistensinya hanya berdasarkan mitos samar turun-temurun dari sebuah komunitas kecil terasing
yang hidup seperti suku primitif di barat daya Belitong. Mereka menyebutnya gua gambar. Tak
tahu apa maksud nama itu dan bagi mereka gua itu adalah gua gaib yang tak 'kan pernah ditemukan.
Mendengar kisah itu Societeit berdiri telinga-nya dan merasa tertantang.
Ketika Societeit mendatangi komunitas yang hanya terdiri dari sebelas kepala keluarga dan
mencari informasi tentang gua gambar, pawang suku di sana menertawakan mereka.
\"Ananda tak 'kan menemukan gua itu, karena gua itu adalah gua siluman. Gua itu hanya akan
menampakkan diri di malam hari yang paling gelap, itu pun hanya bisa dilihat oleh orang-orang
gunung terpilih yang tak kita kenal.\"
Orang-orang gunung adalah cerita konon yang
lain. Kami menyebutnya orang Tungkup. Mereka tinggal di gunung dan juga tak pernah dilihat
\"Selama tiga hari tiga malam kami berjalan kaki menembus rimba belantara liar untuk mencari gua
itu. Pohon-pohon di sana sebesar pelukan empat orang dewasa dengan kanopi menjulang ke langit,\"
demikian cerita Mahar.
\"Saking lebatnya hutan itu sinar matahari tak mampu menembus permukaan tanah. Pohon-pohon
berlumut, gelap dan lembap, penuh lintah, kelelawar, kadal, macan akar, luak, dan ular-ular besar,\"
sambung Flo meyakinkan.
\"Kami hampir putus asa, tapi beruntung, pe-ngetahuan Mujis yang baik tentang kontur hutan
akhirnya membimbing kami menuruni sebuah lembah curam di antara dua gunung dan di dasar
lembah itu, pas menjelang magrib, kami menemukan sebuah gua!\"
Kami ternganga-nganga, merapatkan lingkaran duduk, mendekati dua petualang sejati yang sangat
hebat ini, tak sabar mendengar kelanjutan cerita.
\"Kami belum yakin apakah itu gua gambar se-perti dimaksud komunitas kuno itu. Wilayah itu
sangat sulit ditempuh. Mulut gua sangat sempit dan ditutupi akar-akar mahoni raksasa, seperti jarijari yang sengaja menyamarkan,\" demikian kata Flo ekspresif. Ah, Flo yang cantik, ramping, atletis,
dan berkulit putih seindah anggrek bulan, dikombinasikan
dengan cerita petualangan mendebarkan penuh getaran marabahaya di tengah hutan rimba dan
sebuah gua misteri, sungguh sebuah perpaduan yang mem-buat dirinya tampak semakin indah.
mentalitas dan prinsip-prinsip hidup Flo yang tak biasa, telah menjadikan dirinya seorang wanita
yang sangat memesona.
\"Ketika kami mendekat, kami terkejut karena beberapa ekor biawak dan musang yang garang
berloncatan keluar dari gua.\" Mahar dan Flo sambung menyambung.
\"Setelah menyiangi akar-akar itu akhirnya kami berhasil masuk ke dalam gua.\"
\"Di dalamnya amat lebar dan memanjang, men-julur ke bawah seperti sumur yang landai, dingin,
gelap, dan ada suara riak-riak air.\"
\"Ternyata di tengah gua itu ada aliran air yang deras!\"
Cerita semakin seru, seperti cerita petualang-an Indian Winnetou, kami duduk terpaku menyimak.
\"Kami mencoba menelusuri gua itu, bau amis kotoran kelelawar menyengat hidung dan membuat
perut mual. Sarang laba-laba hitam besar menutupi celah-celah gua seperti tirai putih berjuntaijuntai. Laba-laba itu demikian besar sehingga cecak dan kelelawar tersangkut di jaringnya dan
mengering karena darahnya telah diisap serangga maut itu. Lintah merayapi dinding gua, mengincar
darah anak-anak kelelawar.\" Mengerikan.
\"Rantai makanan di dalam gua adalah singkat,
tidak se-perti subekosistem lain di luar!\" Flo menambahi.
\"Kami terus merambah masuk sampai beratus-ratus meter tapi tak menemukan tanda-tanda gua itu
\"Gua itu seperti tak berujung ...,\" Mahar berce-rita dengan penuh penghayatan sehingga kami
merasa seperti berada di dalam gua yang sangat mencekam itu. Kami merasakan udara dingin,
kegelapan, ketakutan, dan seakan mendengar pekik keleawar dan percikan air di dalamnya.
\"Tapi suara aliran air tadi semakin lama sema-kin bergemuruh, kami perkirakan di depan kami ada
jurang di bawah tanah yang amat berbahaya, maka kami memutus-kan untuk beristirahat.\"
Wajah Mahar serius, nyali kami ciut ketika menatap-nya, dan dia melanjutkan cerita seperti orang
\"Kami agak merapat ke dinding gua untuk menyiapkan peralatan tidur, ketika aku menaikkan
lampu aki untuk mendapat bentangan cahaya yang lebih besar, aku terkejut melihat bayangan
goresan-goresan berpola yang samar di dinding licin itu ....\"
Menegangkan sekali. Kami semakin merapat, Sahara menggigit jarinya, A Kiong berkali-kali
menarik napas panjang, Samson tak berkedip, Lintang menyimak penuh perhatian, Syahdan
ketakutan, Trapani memeluk Harun.
\"Kami semua saling berpandangan lalu serentak menaikkan lampu, dan
kami tersentak melihat sekeling kami.\"
Aku menahan napas ....
\"Ternyata kami dikelilingi oleh ribuan goresan simbol-simbol purba atau huruf-huruf hieroglif
primitif yang terhampar di dinding gua, menjalar-jalar misterius sampai ke stalagmit dan stalagtit!\"
Rasanya aku mau meloncat dari tempat duduk, dan perut bawahku ngilu menahan kencing karena
perasaan tegang yang meluap-luap. Kami terpana, bahkan tak mampu mengucapkan sepatah kata
pun. Dadaku berdegup kencang.
\"Kemudian di langit-langit gua terdapat bebera-palukisan paleolitikum yang menggambarkan
orang-orang yang tak berpakaian sedang memakan mentah-mentah seekor burung besar yang mirip
\"Sebuah gua antediluvium dengan seni lukis gua yang memukau!\" sambung Flo.
Sekarang kami mengerti mengapa komunitas terasing tadi menyebut gua itu gua gambar.
\"Ada lukisan kucing pohon, tombak kayu, ular tanah, bulan, dan bintang-bintang.\"
\"Kami memutuskan untuk tidur di bagian itu ...,\" kata Mahar pelan. Raut wajahnya
memperlihatkan bahwa ia masih memiliki sebuah kejutan lain yang tak kalah misteriusnya. Maka
dada kami tak reda berdegup.
\"Aku tak bisa tidur sepanjang malam. Ketika semua anggota Societeit terlelap karena kelelahan aku
melamun dan memerhatikan dengan saksama simbol-simbol yang berserakan tak teratur meme-
nuhi dinding dan langit-langit gua.\"
Kami terpaku, pasti akan terjadi sesuatu yang ajaib.
\"Lalu aku merasa simbol-simbol itu seperti diam-diam terangkai sendiri dan membisikkan sesuatu
Oh, jantungku berdebar-debar.
\"Tapi semuanya tak jelas, hingga aku merasa lelah dan memejamkan mata.\"
Kami menunggu kejutan besar itu.
\"Namun tak lama kemudian, antara tidur dan terjaga, aku mendengar suara gemerisik seperti jutaan
semut mendekatiku, dan agaknya ribuan simbol-simbol samar itu menjadi hidup lalu memberiku
semacam mimpi, semacam wangsit, semacam gambaran masa depan ... semua ini tak pernah
kuceritakan pada siapa pun!\"
Kami semakin merapat, sangat penasaran.
\"Apakah wangsit itu saudaraku Mahar??!!\" A Kiong berteriak tak sabar menunggu terkuaknya
sebuah misteri besar. la sedikit merayu. Suaranya tercekat dan bergetar. Bahkan Flo tampak tegang.
Rupanya ia sendiri belum pernah mendengar wangsit ini.
Mahar menarik napas panjang sekali, agaknya ia merasa berat membocorkan kisah ini. \"Begini ...,\"
\"Mimpi itu memperlihatkan bahwa sebuah ke-kuatan besar di Pulau Belitong akan segera runtuh.
Orang-orang Melayu Belitong akan jatuh melarat dan kembali berperikehidupan seperti
dulu, yaitu bernafkah secara bersahaja dari hasil-hasil laut dan hutan. Sebaliknya, du-nia luar akan
maju demikian pesat. Penggunaan kompu-ter akan merasuki seluruh segi kehidupan. Penggunaan
komputer yang merajalela itu menyebabkan praktik-praktik akuntansi tak lama lagi akan punah ....\"
SEPERTI layaknya sesuatu yang sederhana, maka tragedi atau drama semacam opera sabun tak
pernah terjadi di sekolah Muhammadiyah. Sekolah itu demikian teduh dalam kiprahnya, tenang
dalam kesahajaannya, bermartabat dalam kesederhanaan-nya, dan tenteram dalam kemiskinannya.
Namun kali ini berbeda, mendung tebal ber-gelayut rendah siap menumpahkan murka di atap
sekolah itu karena dua warganya semakin lama semakin tidak waras sehingga kelangsungan
pendidikan keduanya terancam. Lebih dari itu tingkah laku keduanya merongrong reputasi sekolah
Muhammadiyah yang ketat menjaga nilai-nilai moral Islami. Dan tak tanggung-tanggung,
rongrongan itu berupa pelanggaran paling berat dalam konteks moral itu sendiri yakni:
kemusyrikan! Kedua makhluk dramatis itu tentu saja sudah sangat dikenal: Mahar dan Flo.
Seiring dengan euforia organisasi rahasia So-cieteit yang mereka inisiasi, nilai-nilai ulangan Mahar
dan Flo persis penerjun yang terjun dengan parasut cadangan yang tak mengembang terjun
bebas. Rapor terakhir mereka memperlihatkan deretan angka merah seperti punggung dikerok.
Umumnya angka-angka biru hanya untuk mata pelajaran pembinaan kecakapan khusus, yaitu
kejuruan agraria, kejuruan teknik, ketatalaksanaan, dan bahasa Indonesia, itu pun hanya untuk
bidang bercakap-cakap dan mengarang. Nilai Flo adalah yang paling parah. Matematika, bahasa
Inggris, dan IPA hanya mendapat angka 2. Meskipun bapaknya telah menyumbang papan tulis baru,
lonceng, jam dinding, dan pompa air untuk Muhammadiyah namun Bu Mus tak peduli, beliau tak
sedikit pun sungkan menganugerahkan angka-angka bebek berenang itu di rapor Flo karena
memang itulah nilai anak Gedong itu.
Mahar dan Flo berada dalam situasi kritis dan sangat mungkin dilungsurkan ke kelas bawah karena
tidak bisa mengikuti Ebtanas. Surat peringatan telah mereka terima tiga kali. Menanggapi masalah
gawat ini diam-diam Bapak Flo melakukan konspirasi dengan Bu Frischa untuk menghasut Flo agar
kembali ke sekolah PN. Lagi pula di sekolah PN Bu Frischa telah menjamin nilai yang tak
memalukan di rapor Flo. Untuk keperluan penghasutan itu Bu Frischa mengutus seorang guru pria
muda yang flamboyan di se-kolah PN agar dapat mendekati Flo.
Sore itu kami sekelas baru saja pulang menon-ton pertandingan sepak bola dan melewati pasar. Bu
Frischa dan guru flamboyan tadi sedang berbelanja. Flo yang mengenakan celana dan jaket jin belel
mendekati Bu Frischa seperti gaya berjalan
koboi yang akan duel tembak.
\"Nama saya Flo, Floriana,\" kata Flo sambil berusaha menyalami Bu Frischa. Pria flamboyan itu
mengangguk santun dan melemparkan senyum termanisnya untuk Flo.
\"Tolong bilang pada pria tengik ini, saya tak 'kan pernah meninggalkan Bu Muslimah dan sekolah
Flo berlalu begitu saja, Bu Frischa dan sang pria flamboyan terpana, dan ide untuk menghasutnya
tak pernah terdengar lagi.
Nilai—nilai rapor Mahar dan Flo hancur karena agaknya mereka sulit berkonsentrasi sebab terikat
pada komitmen-komitmen kegiatan organisasi, dan lebih dari itu, karena mereka semakin tergilagila dengan mistik. Hari demi hari pendidikan mereka semakin memprihatinkan. Tapi bukan Mahar
dan Flo namanya kalau tidak kreatif. Mereka sadar bahwa mereka menghadapi tradeoff, dua sisi
yang harus saling menyisihkan, memilih sekolah atau memilih kegiatan organisasi paranormal.
Sekolah sangat penting namun godaan untuk berkelana menyibak misteri gaib sungguh tak
tertahankan. Mereka tidak ingin meninggalkan keduanya.
Lalu tak tahu siapa yang memulai tiba-tiba mereka muncul dengan satu gagasan yang paling
absurd. Karena tak ingin kehilangan sekolah dan tak ingin meninggalkan hobi klenik maka mereka
berusaha menggabungkan keduanya. Mahar dan Flo akan mencari jalan keluar mengatasi
kemerosotan nilai sekolah melalui cara yang mereka paling mereka kuasai, yaitu melalui jalan
pintas dunia gaib perdukunan. Sebuah oara tidak masuk akal yang unik, lucu, dan mengandung
Mahar dan Flo sangat yakin bahwa kekuatan supranatural dapat memberi mereka solusi gaib atas
nilai—nilai yang anjlok di sekolah. Dan mereka tahu seorang sakti mandraguna yang dapat
membantu mereka dan kesaktiannya telah mereka buktikan sendiri melalui pengalaman pribadi.
Orang sakti ini secara ajaib telah menunjukkan jalan untuk menemukan Flo ketika ia raib ditelan
hutan Gunung Selumar tempo hari. Orang supersakti itu tentu saja Tuk Bayan Tula. Menurut
anggapan mereka masalah sekolah ini hanyalah masalah kecil seujung kuku yang tak ada artinya
bagi raja dukun itu. Mereka percaya manusia setengah peri itu bisa dengan mudah membalikkan
angka enam menjadi sembilan, empat menjadi delapan, dan merah menjadi biru.
Setelah menemukan rencana solusi yang sa-ngat andal itu Mahar dan Flo tertawa girang sekali
sampai meloncat-loncat. Flo menunjukkan keka-gumannya pada kreativitas Mahar dalam
memecah-kan masalah mereka. Mendung yang menghiasi wajah mereka setiap kali dimarahi Bu
Mus kini sirna sudah. Di dalam kelas mereka tampak sumringah walaupun tidak sedikit pun belajar.
Seluruh anggota Societeit menyambut antusi-as ide ketuanya untuk mengunjungi Tuk Bayan Tula.
Para anggota ini sebenarnya telah lama mengidamkan pertemuan dengan Tuk, idola mereka itu,
namun niat itu terpendam karena mereka takut mengungkapkannya, bahkan membayangkannya saja
mereka tak berani. Apalagi tersiar kabar bahwa Tuk tak menerima semua orang. Hanya nasib yang
menentukan apakah Tuk berkenan atau tidak. Dan tragisnya, jika Tuk tak berkenan biasanya yang
mengunjunginya tak pernah kembali pulang. Ketika Mahar berinisiatif ke sana para anggota
menyambut usulan yang memang telah mereka tunggu-tunggu. Mereka siap menerima risiko asal
dapat melihat wajah Tuk walau hanya sekali saja.
Kunjungan ke Pulau Lanun untuk menjumpai Tuk merupakan ekspedisi paling penting dan puncak
seluruh aktivitas paranormal Societeit. Mereka mempersiapkan diri dengan teliti dan mengerahkan
seluruh sumber daya karena perjalanan ke Pulau Lanun tak mudah dan biayanya sangat mahal.
Mereka harus menyewa perahu dengan kemampuan paling tidak 40 PK, jika tidak maka akan
memakan waktu sangat lama dan tak 'kan kuat melawan ombak yang terkenal besar di sana.
Kemudian mereka harus menyewa seorang nakhoda yang berpengalaman dari suku orang-orang
berkerudung. Karena ia berpengalaman dan tak mau mati konyol sebab ia tahu reputasi Tuk maka
harga jasa nakhoda ini juga sangat mahal.
Akibatnya Mahar rela menggadaikan sepeda
warisan kakeknya, Flo menjual kalung, cincin, gelang, dan merelakan tabungan uang saku selama
dua bulan yang ada dalam tas rajutannya. Mujis melego hartanya yang paling berharga, yaitu
sebuah radio transistor dua band merk Philip, si peng-angguran menggaruk-garuk sampah untuk
tambahan ongkos, sang mahasiswa drop out meminjam uang pada bapaknya, dan si pemain organ
tunggal menggadaikan elec-tone Yamaha PSR sumber nafkahnya.
Adapun orang Tionghoa yang menjadi tukang sepuh emas memecahkan celengan ayam jago
disaksikan tangisan anak-anaknya, si petugas teller BRI kerja lembur sampai tengah malam, sang
pensiunan syah bandar menggadaikan lemari kaca yang digotong empat orang dan menimbulkan
keributan besar dengan istrinya, sementara aku sendiri merelakan koleksi uang kunoku dibeli murah
Kami berdebar-debar menunggu hari H dan ketika uang patungan digelar di atas meja gaple,
terkumpul uang sebanyak Rp 1,5 juta! Luar biasa. Uang yang sebagian besar logam itu bergemerincingan bertumpuk-tumpuk. Aku gemetar karena seumur hidupku tak pernah melihat uang sebanyak
itu, apalagi karena sebagai sekretaris Societeit aku harus menyimpannya. Aku genggam uang itu
dan terkesiap pada perasaan menjadi orang kaya. Ternyata jika kita telah menjadi orang miskin
sejak dalam kandungan, perasaan itu sedikit menakutkan. Kami bersorak karena inilah dana
terbesar yang berhasil kami kumpulkan. Aku menyimpan uang itu di dalam saku dan terus-menerus
memegangnya. Tiba-tiba semua orang tampak seperti pencuri. Kadang-kadang uang memang punya
pengaruh yang jahat. Setelah mendapatkan perahu dan bernegosiasi alot dengan nakhoda akhirnya
pas tengah hari kami berangkat.
Pada awalnya perjalanan cukup lancar, ikan lumba-lumba berkejaran dengan haluan perahu, cuaca
cerah, angin bertiup sepoi-sepoi, dan semua penumpang bersukacita. Namun, menjelang sore angin
bertiup sangat kencang. Perahu mulai ter-banting-banting tak tentu arah, meliuk-liuk mengikuti
ombak yang tiba-tiba naik turun dengan kekuatan luar biasa. Dan ombak itu semakin lama semakin
tinggi. Dalam waktu singkat keadaan tenang berubah menjadi horor. Semakin ke tengah laut perahu
semakin tak terkendali. Sama sekali tak diduga sebelumnya ombak mendadak marah dan langit
mulai mendung. Badai besar akan meng-hantam kami. Semua penumpang pucat pasi. Terlambat
untuk kembali pulang, lagi pula perahu sudah tak bisa diarahkan.
Kadang-kadang sebuah gelombang yang dah-syat menghantam lambung perahu hingga terdengar
suara seperti papan patah. Aku menyangka perahu kami pecah dan kami akan karam dan berserakan
di laut lepas ini. Gelombang itu mengangkat perahu setinggi empat meter kemudian
menghempaskannya seolah tanpa beban. Kami terhunjam bersama
ombak besar yang menimbulkan lautan buih putih meluap-luap mengerikan. Ombak sudah
demikian ganas, sedangkan badai yang sesungguhnya belum tiba.
Aku melihat wajah nakhoda yang sudah ber-pengalaman itu dan jelas sekali ia cemas, membuat
kami menjadi semakin gamang. Nakhoda menunjuk jauh ke arah depan, di sana tampak sebuah
pemandangan yang membuat kami merinding hebat, yaitu gumpalan awan gelap bergerak pasti
menuju ke arah kami dengan kilatan-kilatan halilintar sam-bung menyambung di dalamnya. Badai
besar akan segera datang menggulung kami.
Nakhoda mencoba membalikkan arah perahu tapi mesin 40 PK itu tak berdaya dan jika menelusuri
gelombang yang demikian tinggi nakhoda khawatir perahu akan tertelungkup. Maka tak ada pilihan
baginya kecuali menyonsong awan yang gelap kelam itu. Kami tak berdaya seperti diombangambingkan oleh sebuah tangan raksasa dan tangan itu justru mengumpankan kami kepada badai.
Dalam waktu singkat badai sudah tiba di atas kami dan angin puting beliung memboyakkan perahu
tanpa ampun. Hujan sangat lebat dan suasana menjadi gelap. Sambaran-sambaran kilat yang sangat
dekat dengan perahu menimbulkan pemandangan yang menciutkan nyali.
Ketika pusaran angin menusuk permukaan laut, kira-kira dua puluh meter di samping kami, seluruh
tubuhku gemetar melihat semburan air besar tumpah di atas perahu. Perahu berputar-putar di
tempat seperti gasing. Kami terpeleset dan
telentang di sepanjang geladak, berusaha saling memegangi agar tak tumpah dari perahu. Nakhoda
bertindak cepat menurunkan layar yang koyak dihantam angin, menutup palka, menjauhkan bendabenda tajam, dan mematikan mesin. Lalu ia berteriak kencang memerintahkan kami agar mengikat
tubuh masing-masing ke tiang layar. Kami melilit-lilitkan tali beberapa kali seputar lingkar
pinggang dan menyimpulkan ujungnya dengan simpul mati kemudian mengikatkan diri dengan cara
yang sama ke tiang layar. Usaha ini dilakukan agar kami tak terpelanting ke laut.
Kami segera sadar bahwa situasi telah menjadi gawat, nyawa kami berada di ujung tanduk. Begitu
cepat alam berubah dari pelayaran yang damai beberapa waktu lalu hingga menjadi usaha mempertahankan hidup yang mencekam saat ini. Kami dibukakan Allah sebuah lembar kitab yang nyata
bahwa kuasaNya demikian besar tak terbatas. Kami berkumpul membentuk lingkaran kecil
mengelilingi tiang layar. Tangan kami bertumpuk-tumpuk berusaha menggengam tiang itu. Bahu
kami saling bersentuhan satu sama lain. Kami seperti orang yang bersatu padu menjelang ajal.
Hampir satu jam kami masih tak tentu arah. Aku melihat haluan perahu berpendar-pendar dan
kepalaku pusing seolah akan pecah. Ketika kulihat Mujis menghamburkan muntah, perutku serasa
diaduk-aduk dan dalam waktu singkat aku pun muntah. Pemandangan berikutnya adalah setiap
orang di atas perahu menyemburkan seluruh isi
perutnya, termasuk nakhoda kapal yang telah ber-pengalaman puluhan tahun. Aku mencapai
tingkat puncak mabuk laut ketika tak ada lagi yang bisa dimuntahkan dan yang keluar hanya cairan
bening yang pahit. Semua penumpang perahu menga-laminya.
Kami sudah pasrah di atas perahu yang ter-angkat tinggi lalu terhempas dahsyat bak sepotong busa
di atas samudra yang mengamuk. Inilah pengalaman terburuk dalam hidupku. Saat itu aku amat
menyesal telah ikut campur dalam ekspedisi orang-orang gila Societeit untuk menemui seorang
dukun yang bahkan tak peduli dengan hidupnya sendiri. Tak adil mempertaruhkan nyawa untuk
orang yang tidak menghargai nyawa. Aku memandang permukaan laut yang biru gelap dengan
kedalaman tak terbayangkan dan dunia asing di bawah sana. Aku merasa sangat ngeri jika
Wajah nakhoda tak memperlihatkan harapan sedikit pun. la juga telah mengikatkan tubuhnya ke
tiang layar. la terpekur menunduk dalam, tangan-nya yang kuat dan tua berurat-urat memegang kuat
tiang layar, berebutan dengan tangan-tangan kami. Jika kami tenggelam maka di dasar laut mayat
kami akan melayang-layang di ujung simpul-simpul tali yang mengikat tubuh kami seperti suraisurai gurita. Sebagian besar penumpang mengalirkan air mata putus asa. Namun, Flo sama sekali
tak menangis. Sebelah tangannya menggenggam tiang layar, bibirnya membiru, dan wajahnya
menantang langit. Wanita itu tak pernah takluk pada apa pun.
Tak ada tanda-tanda ombak akan reda, bah-kan semakin menjadi-jadi. Tinggal menunggu waktu
kami akan terbenam karam. Dan saat yang menakutkan itu datang ketika dari jauh kami melihat
gelombang yang sangat tinggi, hampir tujuh meter. Inilah gelombang paling besar dalam badai ini.
Kami gemetar dan berteriak histeris. Dalam waktu beberapa detik hentakan gelombang dahsyat itu
menerjang perahu dan mematahkan tiang layar yang sedang kami pegang. Tiang itu patah dua dan
bagian yang patah meluncur deras menuju buritan rnerttbingkas* tiga keping papan di lambung
perahu sehingga kapal bocor dan air masuk berlimpah-limpah. Mujis, Mahar, dan orang Tionghoa
yang berpegangan pada sisi belakang layar tertendang patahan tadi dan terpelanting ke geladak. Jika
tak dihalangi tutup palka mereka sudah jadi santapan samudra. Mereka menjerit-jerit ketakutan,
menim-bulkan kepanikan yang mencekam. Aku berpikir inilah akhir hayatku, akhir hayat kami
semua, laut ini akan segera memerah karena ikan-ikan hiu berpesta pora. Namun pada saat paling
genting itu aku mendengar samar-samar suara orang berteriak. Rupanya syah bandar melepaskan
pegangannya dari tiang layar dan mengumandangkan azan berulang-ulang. Kami masih terlonjaklonjak dengan hebat dan air mulai menggenangi geladak tapi lonjakan perahu tiba-tiba reda.
Anehnya segera setelah azan itu selesai perlahan-lahan gelombang turun.
Gelombang laut yang meluap-luap berbuih me-ngerikan tiba-tiba surut seperti dihisap kembali oleh
awan yang gelap. Kami terkesima pada perubahan yang drastis. Ombak ganas menjadi semakin
Hanya dalam waktu beberapa menit angin ber-henti bertiup seperti kipas angin yang dimatikan.
Badai yang mencekam nyawa lenyap seketika seperti tak pernah terjadi apa-apa. Tak lama
kemudian seberkas sinar menyelinap di antara gumpalan awan hitam, mengintip-intip dari gumpalan-gumpalan kelam yang memudar. Meskipun kami tak tahu sedang berada di perairan mana
namun kami bersyukur kepada Allah berulang-ulang, bahkan menangis haru. Setidaknya harapan
muncul kembali. Lalu kami bergegas menimba air yang memenuhi perahu. Permukaan laut yang
luas tak terbatas menjadi amat tenang seperti permukaan danau.
Kami memandang jauh ke laut dan tak berkata-kata karena masih gentar pada bencana yang baru
saja mengancam. Flo tersenyum puas. la telah membuktikan bahwa ketika maut tercekat di
kerongkongannya ia tetap tak takut. Sebelum menemui Tuk Bayan Tula, ia telah mencapai salah
satu tujuannya. Pengalaman seperti tadilah yang sesungguhnya ia cari.
Awan perlahan-lahan menjadi gelap, bukan karena akan badai tapi karena senja telah turun.
Nakhoda berusaha memperkirakan posisi kami. Ia membaca bulan dan bintang di atas langit yang
cerah karena cahaya purnama hari kedua belas. Ia
menghidupkan mesin dan perahu bergerak pelan menuju arah sesuai hempasan badai. Berarti badai
tadi telah membuang kami jauh tapi ke arah yang memang kami tuju. Tak lama kemudian nakhoda
kembali mematikan mesin.
Beliau berjalan menuju haluan dan menyuruh kami diam. Pantulan sinar bulan berkilau-kilauan di
permukaan laut lepas sejauh mata memandang. Perahu pelan-pelan menembus benteng kabut yang
tebal. Sunyi senyap seperti suasana danau di tengah rimba. Ada perasaan seram diam-diam
Nakhoda mengawasi jauh ke depan dengan mata ta-jamnya yang terlatih. Kami cemas mengantisipasi bahaya lain yang akan datang, mungkin perompak, mungkin binatang yang besar, atau
mungkin badai lagi. Kami melihat bayangan hitam gelap di depan kami tapi sangat tak jelas karena
tertutup halimun yang semakin tebal. Kami ketakutan. Tiba-tiba nakhoda menunjuk lurus ke depan
dan mengatakan sesuatu dengan suaranya yang serak.
Kami serentak berdiri terperangah dan tepat ketika beliau selesai menyebutkan nama pulau itu
terdengarlah lolongan segerombolan anjing meleng-king-lengking mendiriikan bulu kuduk, seperti
me-nyambut tamu tak diundang.
Teronggok sepi seperti sebuah benda asing yang dikelilingi samudra, Pulau Lanun tampak kecil
sekali. Ada puluhan pohon kelapa di sisi timurnya
dan daun-daun kela-pa itu berkilauan laksana lampu-lampu neon yang berkibar-kibar karena
pantulan sinar purnama. Di tengah pulau tumbuh pohon-pohon besar yang rindang di antara ilalang
dan bongkahan-bongkahan batu. Lolongan anjing semakin panjang dan menjadi-jadi ketika perahu
menyelusuri naungan dahan-dahan bakau, men-dekati Pulau Lanun. Pada bagian ini cahaya bulan
tak tembus dan terang hanya kami dapat dari lampu pelita kecil yang berayun-ayun di tiang layar.
Di bawah naungan daun-daun bakau itu kami disergap perasaan takut yang sulit dijelaskan.
Di dalam hati aku mencoba merekonstruksi perasaan yang dialami utusan pawang angin tempo hari
dan sejauh ini semuanya tepat. Mereka mengatakan nuansa magis mulai terasa ketika perahu
mendekati pulau, hal itu benar. Saat perahu merapat rasanya tengkuk ditiup-tiup oleh angin yang
jahat dari mulut ribuan hantu tak kasatmata yang membuntuti kami. Ada sebuah pengaruh mistis
dan udara kuburan. Ada rasa kemurtadan, peng-khianatan, dan pembangkangan pada Tuhan. Ada
jerit kesakitan dari binatang yang dibantai untuk ritual sesat dan tercium bau amis darah, bau mayatmayat lama yang sengaja tak dikubur, bau asap dupa untuk memanggil iblis, dan bau ancaman
Kabut yang beterbangan agaknya makhluk suruhan gentayangan yang mengawasi setiap gerakgerik kami. Bangkai-bangkai perahu perompak yang pemiliknya telah dipenggal Tuk Bayan Tula
berserakan hitam dan hangus. Pakaian-pakaian lengkap manusia memperlihatkan mayat mereka tak
pernah diurus sang datuk. Jika ia ingin menyembelih kami tak ada hukum yang akan membela kami
di sini. Kami seperti menyerahkan leher memasuki sumur sarang makhluk jadi-jadian karena tak
mampu mengekang nafsu ingin tahu.
Anjing-anjing yang melolong dalam kesenyapan malam tak tampak bentuknya. Kadang kala terdengar seperti bayi yang menangis atau nenek tua yang memohon ampun karena jilatan api neraka.
Suara-suara ini mematahkan semangat dan menciutkan nyali. Sungguh besar sugesti Tuk Bayan
Tula dan sungguh hebat pengaruh magis legendanya sehingga menciptakan kesan mencekam
seperti ini. Saat itu kuakui bahwa beliau apa pun bentuknya memang orang yang berilmu sangat
tinggi. Daya bius magis Tuk Bayan Tula menisbikan pengalaman bertaruh dengan maut ketika
badai menghantam perahu kami beberapa waktu yang lalu. Seperti kharisma binatang buas yang
membuat mangsanya tak berkutik sebelum diterkam, demikianlah kharisma Tuk Bayan Tula.
Walaupun sinar purnama kedua belas terang tapi semuanya tampak kelam. Kami berjalan pelan
beriringan menuju kelompok pohon-pohon rindang dan batu-batu tadi. Di situlah Tuk Bayan Tula,
orang tersakti dari yang paling sakti, raja semua dukun, dan manusia setengah peri tinggal. Kami
gemetar namun tampak jelas setiap anggota Societeit telah menunggu momen ini sepanjang
Tiba-tiba, seperti dikomando, suara lolongan anjing berhenti, diganti oleh kesenyapan yang
mengikat. Burung-burung gagak berkaok-kaok nyaring di puncak pohon bakau yang tumbuh subur
sampai naik ke daratan. Suasana semakin seram ketika kami menerabas ilalang dan menjumpai
beberapa punsuk menyembul-nyembul seperti iblis bersembuyi di celah-celah perdu tebal. Punsuk
adalah istilah orang Kek untuk menyebut gundukan tanah seperti makam-makam kuno. Punsuk
selalu identik dengan rumah berbagai makhluk halus, lebih dari itu karena ia kelihatan seperti
kuburan-kuburan Belanda, maka padang kecil ini terkesan sangat angker.
Akhirnya, kami tiba di sebuah rongga yang disebut gua oleh utusan dulu. Gua itu adalah celah
antara dua batu be-sar yang bersanding tidak simetris. Itulah rumah Tuk Bayan Tula. Kengerian
semakin mencekam tapi apa pun yang terjadi semuanya telah terlambat karena kami melihat sebelas pelepah pinang tergelar di mulut rongga batu. Kami menjual dan datuk telah membeli. Kami
telah disambut dan harus siap dengan risiko apa pun.
Kami tak langsung duduk karena dilanda ketakutan apa-lagi di dalam gua terlihat kain tipis
berkelebat lalu pelan-pelan seperti asap yang mengepul dari tumpukan kayu basah yang dibakar
muncul sebuah sosok tinggi besar. Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan bahwa sosok itu
tidak menginjak bumi. Ia seperti mengambang di
udara, bergerak maju mundur seumpama benda tak berbobot. Belum pernah seumur hidupku
menyak-sikan pemandangan seajaib itu. Dialah sang orang sakti, manusia setengah peri, Tuk Bayan
Tanpa sempat kami berpikir tiba-tiba sosok itu melesat seperti angin dan telah berdiri tegap kukuh
di depan kami. Kami terperanjat, serentak terjajar mundur, dan nyaris lari pontang-panting. Tapi
kami menguatkan hati. Tuk Bayan Tula berada dua meter dari kami yang takzim mengelilinginya.
Beliau adalah seseorang yang sungguh-sungguh mencitrakan dirinya sebagai orang sakti berilmu
setinggi langit. Kain hitam melilit-lilit tubuhnya, parang panjangnya masih sama dengan cerita
utusan dulu, rambut, kumis, dan jenggotnya lebat tak terurus, berwarna putih bercampur cokelat.
Tulang pipinya sangat keras mengisyaratkan ia mampu melakukan kekejaman yang tak
terbayangkan dan dan alisnya mencerminkan ia tak takut pada apa pun bah-kan pada Tuhan.
Namun, yang paling menonjol adalah matanya yang berkilat-kilat seperti mata burung, seluruhnya
berwarna hitam. Sedikit banyak, apa pun yang akan terjadi, aku merasa beruntung pernah melihat
Tuk diam mematung. Seluruh anggota Societeit memandanginya. Bertarung nyawa ke pulau ini
agaknya terbayar karena telah melihat tokoh panutan mereka. Tak sedikit pun keramahan
ditunjukkan Tuk. Lalu beliau duduk dan kami juga duduk di sebelas pelepah pinang yang secara
misterius telah beliau sediakan. Mahar tampak
sangat terpesona dengan sang datuk, baginya ini mimpi yang menjadi kenyataan. Tapi ia masih tak
berani mendekat karena takut. Maka Flo bangkit menghampiri Mahar, menarik tangannya, dan
wanita muda luar biasa itu tanpa tedeng aling-aling menyeret Mahar menghadap datuk.
Selanjutnya dengan amat berhati-hati Mahar berbisik pada sang datuk. Tuk memandang jauh ke
samudra yang berkilauan tak peduli meskipun Mahar menceritakan bahaya maut yang kami alami
untuk menjumpainya. Suara Mahar terdengar sayup-sayup
\"... ombak setinggi tujuh meter....\"
\"... badai ... angin puting beliung ... tiang la-yar patah ... azan ....\"
Tuk Bayan Tula mendengarkan tanpa minat. Mahar melanjutkan kisahnya hingga sampai kepada
tujuan utama kedatangannya.
\"... saya dan Flo akan diusir dari sekolah ....\"
\"... sudah mendapat surat peringatan karena nilai-ni-lai yang merah ....\"
\"... minta tolong agar kami bisa lulus ujian ........ \"
\"... minta tolong Datuk, tak ada lagi harapan lain ....\"
\"... dimarahi orangtua dan guru setiap hari ....\"
Kami diam seribu basa dan terus-menerus memandangi Tuk dari ujung kaki sampai ujung rambut.
Tiba-tiba tak dinyana, Datuk memalingkan wajahnya pada Mahar dan Flo. Kedua anak nakal itu
pucat pasi. Tuk memegang pundak Mahar sambil mengangguk-angguk. Mahar berseri-seri bukan
main seperti korban longsor dicium presiden. Para anggota Societeit tampak bangga ketuanya
disentuh dukun sakti pujaan hati mereka. Mahar mengerti apa yang harus dilakukan. Ia mengeluarkan sepucuk surat dan sebuah pena lalu me-nyerahkannya dengan penuh hormat pada Tuk.
Datuk itu mengambilnya dan dengan kecepatan yang tak masuk akal beliau kembali masuk ke
Selanjutnya terjadi sesuatu yang sangat aneh. Dari dalam gua terdengar suara keras bantinganbantingan seperti sepuluh orang sedang berkelahi. Kami terlonjak dari tempat duduk, berkumpul
rapat-rapat, mamandang waspada ke dalam gua. Kami mendengar suara auman seekor binatang
buas bersuara menakutkan yang belum pernah kami dengar sebelumnya.
Jelas sekali di dalam sana Tuk Bayan Tula se-dang bertarung habis-habisan dengan makhlukmakhluk besar yang ganas. Rupanya untuk meme-nuhi permintaan Mahar beliau harus
mengalahkan ribuan hantu. Seberkas penyesalan tampak di wajah Mahar. Ia tak sanggup
menanggungkan beban jika tokoh kesayangannya harus tewas karena permohonannya.
Debu mengepul dari pasir lantai gua karena makhluk-makhluk liar bergumul di dalamnya. Kami
bergidik cemas tapi tak berani mendekat. Kami menunduk memejamkan mata membayangkan
risiko maut. Lalu piring kaleng, panci, tulang-tulang ikan,
tempurung kelapa, tungku, cangkir, cambuk,
parang, dan sendok terlempar keluar gua dan ber-serakan di dekat kami. Di antara benda-benda itu
terdapat primbon, penanggalan tradisional Bali, peta laut, dan beberapa kitab lama bertulisan tangan
bahasa Melayu kuno dan Kek.
Pertempuran demikian seru hingga akhirnya terdengar jeritan kekalahan. Lalu kami melihat
puluhan sosok bayangan lelembut berbentuk seperti jasad terbungkus kain kafan hitam beterbangan
melesat cepat keluar dari dalam gua menembus pucuk-pucuk pohon santigi menghilang ke arah
laut. Anjing-anjing hutan kembali melolong agaknya lolongan anjing-anjing itu memaki-maki
gerombolan hantu yang telah dikalahkan Tuk Bayan Tula.
Tuk Bayan Tula kembali hadir di mulut gua da-lam keadaan terengah-engah, compang-camping,
dan berantakan. Aku sangat prihatin melihat orang sakti sampai terseok-seok seperti itu. Demi
memenuhi permintaan Mahar dan Flo agar tak diusir dari sekolah beliau telah mempertaruhkan
Tuk mengangkat gulungan kertas pesannya tinggi-tinggi seakan mengatakan, \"Lihatlah wahai
manusia-manusia cacing tak berguna, siapa pun, kasat atau siluman tak 'kan sanggup melawanku.
Aku telah membinasakan iblis-iblis dari dasar neraka untuk membuat keajaiban yang membalikkan
hukum alam. Nilai-nilai ujianmu akan melingkar sendiri dalam kegelapan untuk menyelamatkanmu
di sekolah tua itu. Terimalah hadiahmu, karena engkau anak muda pemberani yang telah menantang
maut untuk menemuiku ....\"
Tuk menyerahkan gulungan kertas itu yang disambut Mahar dengan kedua tangannya seperti
gelandangan yang hampir mati kelaparan menerima sedekah. Mahar memasukkan gulungan kertas
ke dalam tempat bekas bola badminton dengan amat hati-hati dan menutupnya rapat-rapat seperti
arsitek menyimpan cetak biru bangunan rahasia tempat menyiksa aktivis. Kotak itu dimasukkannya
ke dalam jaketnya. Tuk memberi isyarat agar kertas itu dibuka setelah kami tiba di rumah dan
menunjuk ke perahu agar kami segera angkat kaki. Tak sempat kami mengucapkan terima kasih,
secepat kilat, seperti angin Tuk Bayan Tula lenyap dari pandangan, sirna ditelan gelap dan asap
dupa gua persemayamannya.
Kami lari terbirit-birit menuju perahu. Nakhoda segera menghidupkan mesin. Kami langsung kabur
pulang. Mahar memegangi kotak bola badminton di jaketnya tak lepas-lepas. Wajahnya senang
bukan main. Flo juga tersenyum lega. Kertas itulah sertifikat asuransi pendidikan mereka. Kami
semua sepakat akan membuka surat itu besok se-pulang sekolah di bawah ffficium.
Tengah hari itu banyak orang berkumpul di bawah pohon filicium. Seluruh teman sekelasku,
seluruh anggota Societeit termasuk nakhoda yang juga menyatakan minat mendaftar sebagai
anggota baru, dan para utusan terdahulu yaitu dua orang dukun, kepala suku Sawang, dan seorang
polisi senior. Karena berita kami mengunjungi Tuk Bayan
Tula telah tersebar ke seantero kampung maka dalam waktu singkat reputasi Societeit melejit.
Semua orang tahu betapa besarnya risiko mengunjungi Pulau Lanun, yaitu ombak yang ganas, ikanikan hiu, dan kekejaman Tuk Bayan Tula sendiri. Maka dalam pembukaan pesan Tuk siang ini
banyak sekali yang hadir. Kulihat ada Tuan Pos, para calon anggota baru Societeit yang
bersemangat karena reputasi baru organisasi, beberapa penjaga dan pemilik warung kopi, beberapa
orang tukang gosip, tukang ikan, juragan-juragan perahu, dan beberapa penggemar para normal
Setelah seluruh guru pulang Mahar dan Flo keluar dari kelas dengan wajah berseri-seri.
Langkahnya ringan karena beban hancurnya nilai-nilai ulangan yang telah sekian lama menggelayut
di pundak mereka akan segera sirna. Mereka yakin sekali pesan Tuk akan menyelamatkan masa
depannya. Parapsikologi, metafisika, dan paranormal terbukti bisa memasuki area mana pun,
demikian kesan di wajah keduanya. Lalu kesan lain: kalian boleh membaca buku sampai bola mata
kalian meloncat tapi Tuk Bayan Tula akan membuat kami tampak lebih pintar, atau: bel-ajarlah
kalian sampai muntah-muntah dan kami akan terus mengembara mengejar pesona dunia gaib, tapi
tetap naik kelas sampai tingkat berapa pun.
Mahar dengan cermat mengeluarkan kotak bo-la badminton, ia membuka tutupnya pelan-pelan.
Mengambil gulungan kertas itu dan mengangkatnya tinggitinggi. Baginya itulah dokumen deklarasi
kemerdekaan dirinya dan Flo dari penjajahan dunia pendidikan yang banyak menuntut. Mahar
meme-gangi gulungan itu kuat-kuat dan sebelum membukanya ia memberikan sebuah pidato
\"Nasib baik memihak para pemberani!\" Itulah pembukaan pidatonya, sangat filosofis
seperti Socrates sedang memberikan pelajaran filsafat pada muridmuridnya. Anggota Societeit mengangguk-angguk setuju.
\"Inilah pesan yang kami dapatkan dengan su-sah payah. Kami mengikatkan diri pada tiang layar
karena nyawa kami tinggal sejengkal dan kami memuntahkan cairan terakhir yang rasanya pahit
untuk mendapatkan keajaiban ini!\"
Anggota Societeit bertepuk tangan bangga mendengar pidato hebat ketuanya. Demi menyak-sikan
pembukaan pesan ini sang teller BRI bolos kerja sedangkan bapak Tionghoa tukang sepuh emas
menutup tokonya. Mahar melanjut-kan pidato dengan berapi-api.
\"Kami rela menggadaikan harta benda kesa-yangan dan berani mengambil risiko dimusnahkan dari
muka bumi oleh Tuk Bayan Tula, tapi akhirnya kami bisa membuktikan bahwa Societeit de Limpai
bukan organisasi sembarangan!\"
Mahar berpidato penuh wibawa di hadapan para pengikutnya lalu seperti biasa ia mengeluarkan
bahasa tubuhnya yang khas: menaikkan alis, mengangkat bahu, dan mengangguk-angguk.
\"Kami menyaksikan sendiri bahwa Tuk Bayan Tula bertempur habis-habisan untuk memberi kita
pesan pada kertas ini!! Sebagai ketua Societeit, saya merasa mendapat respek dengan perlakuan
Anggota Societeit kembali bertepuk tangan bergemuruh. Wajah Flo tampak semakin cantik ketika
\"Maka, inilah prestasi tertinggi Societeit de Limpai.\"
Mahar mengangkat lagi gulungan kertas pesan Tuk Bayan Tula tinggi dan akan segera
Semua orang merubung ingin tahu. Beberapa peminat, termasuk aku, sampai naik ke atas dahandahan rendah filicium agar dapat membaca pesan Tuk. Tangan Mahar gemetar memegang gulungan
kertas keramat itu dan wajah Flo memerah menahan girang, ia melonjak-lonjak tak sabar menunggu
kejutan yang menyenangkan. Semua orang merasa tegang dan sangat ingin tahu. Mahar perlahanlahan membuka gulungan kertas itu dan di sana, di kertas itu tertulis dengan jelas:
INILAH PESAN TUK-BAYAN-TULA UNTUK
KALAU INGIN LULUS UJIAN:
Elvis Has Left the Building
KAMIsedang benci pada Samson karena sikapnya yang keras kepala. Kami berdebat hebat di
bawah pohon filicium. Sembilan lawan satu. Tapi ia dengan konyol tetap memperjuangkan
pendiriannya, tak mau kalah.
Duduk perkaranya adalah semalam kami baru saja menonton film Puiau Putri yang dibintangi S.
Bagyo. Di film itu S. Bagyo dkk. terdampar di sebuah pulau sepi yang hanya dihuni kaum wanita.
Kerajaan atau berarti lebih tepatnya keratuan di pulau itu sedang diteror seorang ne-nek sihir
berwajah seram. Jika ia tertawa, ingin rasanya kami terkencing-kencing.
Kami menonton film yang diputar sehabis ma-grib itu di bioskop MPB (Markas Pertemuan Buruh)
yang khusus disediakan oleh PN Timah bagi anak-anak bukan orang staf. Sebuah bioskop kualitas
misbar dengan 2 buah pengeras suara lapangan merk TOA. Karena lantainya tidak didesain
selayaknya bioskop maka agar penonton yang paling belakang tidak terhalang pandangannya, di
bagian belakang disediakan bangku tinggi-tinggi.
Dan kami, sepuluh orang termasuk Flo duduk berjejer di bangku paling belakang.
Anak-anak orang staf menonton di tempat yang berbeda, namanya Wisma Ria. Di sana film diputar
dua kali seminggu. Penonton dijemput dengan bus berwarna biru. Tentu saja di bioskop itu juga
terpampang peringatan keras \"DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK\".
Kami tak menduga sama sekali kalau film yang berjudul indah Putau Putri tersebut adalah film
horor. Membaca judulnya kami pikir kami akan melihat beberapa putri cantik melumuri tubuhnya
dengan semacam krim dan lari berlarian sambil tertawa cekikikan di pinggir pantai.
\"Asyik,\" kata Kucai berbinar-binar.
Namun, perkiraan kami meleset. Baru beberapa menit film dimulai nenek sihir itu muncul dengan
tawanya yang mengerikan. Yang cekikikan adalah kaum dedemit. S. Bagyo dan kawan-kawan lari
terbirit-birit. Dari belakang aku dapat menyaksikan seluruh penonton, anak-anak kuli PN Timah,
tiarap setiap nenek jahat itu muncul di layar. Beberapa anak perempuan menangis dan anak-anak
lainnya ambil langkah seribu, kabur dari bioskop rombeng ini dan tak kembali lagi.
Di deretan tempat dudukku kulihat Samson yang duduk di ujung kiri hampir sama sekali tidak
menonton. la bersembunyi di ketiak Syahdan. Sebaliknya, Syahdan bersembunyi di ketiak A Kiong.
A Kiong bersembunyi di ketiak Kucai, Kucai di ketiakku. Aku dan Trapani di ketiak Mahar.
Trapani menjerit-jerit memanggil ibunya jika nenek sihir itu mengobrak-abrik kampung. Dan
Mahar menunduk seperti orang mengheningkan cipta.
Yang berdiri tegak tak bergerak hanya Harun, Sahara, dan Flo. Mereka tertawa terbahak-bahak
melihat S. Bagyo pontang-panting dikejar setan. Jika S. Bagyo berhasil lolos mereka bertepuk
Ketika pulang, kami bergandengan tangan. Ketika melewati kuburan, tangan Trapani sedingin es.
Esoknya, saat istirahat siang Samson berkeras bahwa nenek sihir itulah yang diuber-uber oleh S.
Bagyo. Kami semua protes karena ceritanya sama sekali tidak begitu.
\"Tahukah kau justru Bagyolah yang diuber-uber nenek sihir sepanjang film itu,\" Samson berkeras.
\"Mana mungkin,\" bantah Kucai.
\"Aku melihat sendiri kau menggigil ketakutan di bawah ketiak Syahdan,\" serang A Kiong.
Samson masih berkelit, \"Apa kau sendiri me-nonton? Setahuku hanya Sahara, Harun, dan Flo yang
Sahara melirik kami dengan pandangan jijik, \"Semua pria brengsek!\" katanya ketus.
Harun mengangguk-angguk mendukung mutlak pernyataan itu.
\"Biar kami hanya melirik sekali-sekali bukan ber-arti kami tak tahu jalan ceritanya,\" Mahar
Demi mendengar kata \"melirik sekali-sekali\" itu
Sahara semakin jijik.
\"Semua pria menyedihkan!\"
Samson membalas Mahar, \"Ah! Tahu apa kau soal film, urus saja jambulmu itu!\"
Kami semua tertawa geli, dan memang Mahar segera menyisir jambulnya.
Kami semua terlibat perang mulut, kecuali Trapani, ia diam melamun. Belakangan ini Trapani
semakin pendiam dan sering melamun. Aku paham apa yang terjadi. Samson malu mengakui bahwa
ia bersembunyi di bawah ketiak Syahdan. Ia tak ingin citranya sebagai pria macho hancur hanya
karena ketakutan nonton sebuah film. Perilakunya itu persis kaum oportunis di panggung politik
Perdebatan semakin seru. Diperlukan seorang penengah dengan wawasan dan kata-kata cerdas
pamungkas untuk mengakhiri perseteruan ini. Sayangnya si cerdas itu sudah dua hari tak tampak
batang hidungnya. Tak ada kabar berita.
Ketika esoknya Lintang tak juga hadir, kami mulai khawatir. Sembilan tahun bersama-sama tak
pernah ia bolos. Saat ini sedang musim hujan, bukan saatnya kerja kopra. Bukan pula musim panen
kerang, sementara karet telah digerus bulan lalu. Pasti ada sesuatu yang sangat penting. Rumahnya
terlalu jauh untuk mencari berita.
Sekarang hari Kamis, sudah empat hari Lintang
tak muncul juga. Aku melamun memandangi tempat duduk di sebelahku yang kosong. Aku sedih
melihat dahan filicium tempat ia bertengger jika kami memandangi pelangi. Ia tak ada di sana.
Kami sangat kehilangan dan cemas. Aku rindu pada Lintang.
Kelas tak sama tanpa Lintang. Tanpanya kelas kami hampa kehilangan auranya, tak berdaya.
Suasana kelas menjadi sepi. Kami rindu jawaban-jawaban hebatnya, kami rindu kata-kata
cerdasnya, kami rindu melihat-nya berdebat dengan guru. Kami juga rindu rambut acak-acakannya,
sandal jeleknya, dan tas karungnya.
Bu Mus berusaha ke sana sini mencari kabar dan menitipkan pesan pada orang yang mungkin
melalui kampung pesisir tempat tinggal Lintang. Aku cemas membayangkan kemungkinan buruk.
Tapi biarlah kami tunggu sampai akhir minggu ini.
Senin pagi, kami semua berharap menjumpai Lintang dengan senyum cerianya dan kejutan-kejutan
barunya. Tapi ia tak muncul juga. Ketika kami sedang berunding untuk mengunjunginya, seorang
pria kurus tak beralas kaki masuk ke kelas kami, menyampaikan surat kepada Bu Mus. Begitu
banyak kesedihan kami lalui dengan Bu Mus selama hampir sembilan tahun di SD dan SMP
Muham-madiyah tapi baru pertama kali ini aku melihatnya menangis. Air matanya berjatuhan di
Ayahku telah meninggal, besok aku akan ke sekolah. Salamku, Lintang.
Seorang anak laki-laki tertua keluarga pesisir miskin yang ditinggal mati ayah, harus menanggung
nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan paman-paman yang tak berdaya, Lintang tak punya
peluang sedikit pun untuk melanjutkan sekolah. la sekarang harus mengambil alih menanggung
nafkah paling tidak empat belas orang, karena ayahnya, pria kurus berwajah lembut itu, telah mati,
karena pria cemara angin itu kini telah tumbang. Jasadnya dimakamkan bersama harapan besarnya
terhadap anak lelaki satu-satunya dan justru kematiannya ikut membunuh cita-cita agung anaknya
itu. Maka mereka berdua, orang-orang hebat dari pesisir ini, hari ini terkubur dalam ironi. Di bawah
pohon fiiicium kami akan mengu-capkan perpisahan. Aku hanya diam. Hatiku kosong. Perpisahan
belum dimulai tapi Trapani sudah menangis terisak-isak. Sahara dan Harun duduk bergandengan
tangan sambil tersedu-sedu. Samson, Mahar, Kucai, dan Syahdan berulang kali mengambil wudu,
sebenarnya dengan tujuan menghapus air mata. A Kiong melamun sendirian tak mau diganggu. Flo,
yang baru saja mengenal Lintang dan tak mudah terharu tampak sangat muram. la menunduk diam,
matanya berkaca-kaca.
Baru kali ini aku melihatnya sedih.
Kami melepas seorang sahabat genius asli didikan alam, salah seorang pejuang Laskar Pelangi
lapisan tertinggi. Dialah ningrat di antara kami. Dialah yang telah menorehkan prestasi paling
istimewa dan pahlawan yang mengangkat derajat perguruan miskin ini. Kuingat semua jejak kecerdasannya sejak pertama kali ia memegang pensil yang salah pada hari pertama sekolah, sembilan
tahun yang lalu. Aku ingat semangat persahabatan dan kejernihan buah pikirannya. Dialah Newtonku, Adam Smithku, Andre Ampereku.
Lintang adalah mercu suar. Ia bintang petunjuk bagi pelaut di samudra. Begitu banyak energi
positif, keceriaan, dan daya hidup terpancar dari dirinya. Di dekatnya kami terimbas cahaya yang
masuk ke dalam rongga-rongga otak, memperjelas penglihatan pikiran, memicu keingintahuan, dan
membuka jalan menuju pemahaman. Darinya kami belajar tentang kerendahan hati, tekad, dan
persahabatan. Ketika ia menekan tombol di atas meja mahoni pada lomba kecerdasan dulu, ia telah
menyihir kepercayaan diri kami sampai hari ini, membuat kami berani bermimpi melawan nasib,
berani memiliki cita-cita.
Lintang seumpama bintang dalam rasi Cassio-peia yang meledak dini hari ketika menyentuh
atmosfer. Ketika orang-orang masih lelap tertidur. Cahaya ledakannya menerangi angkasa raya,
memberi terang bagi kecemerlangan pikiran tanpa seorang pun tahu, tanpa ada yang peduli.
Bagai meteor pijar ia berkelana sendirian ke planet-planet pengetahuan, lalu kelipnya meredup
dalam hitungan mundur dan hari ini ia padam, tepat empat bulan sebelum ia menyelesaikan SMP.
Aku merasa amat pedih karena seorang anak supergenius, penduduk asli sebuah pulau terkaya di
Indonesia hari ini harus berhenti sekolah karena kekurangan biaya. Hari ini, seekor tikus kecil mati
di lum-bung padi yang behimpah ruah.
Kami pernah tertawa, menangis, dan menari bersama di dalam lingkaran bayang kobaran api. Kami
tercengang karena terobosan pemikirannya, terhibur oleh ide-ide segarnya yang memberontak, tak
biasa, dan menerobos. Ia belum pergi tapi aku sudah rindu dengan sorot mata lucunya, senyum
polosnya, dan setiap kata-kata cerdas dari mulutnya. Aku rindu pada dunia sendiri di dalam
kepalanya, sebuah dunia kepandaian yang luas tak terbatas dan kerendahan hati yang tak bertepi.
Inilah kisah klasik tentang anak pintar dari keluarga melarat. Hari ini, hari yang membuat gamang
seorang laki-laki kurus cemara angin sembilan tahun yang lalu akhirnya terjadi juga. Lintang, sang
bunga meriam ini tak 'kan lagi melontarkan tepung sari. Hari ini aku kehilangan teman sebangku
selama sembilan tahun. Kehilangan ini terasa lebih menyakitkan melebihi kehilangan A Ling,
karena kehilangan Lintang adalah kesia-siaan yang mahabesar. Ini tidak adil. Aku benci pada
mereka yang berpesta pora di Gedong dan aku benci pada diriku sendiri yang tak berdaya
menolong Lintang karena keluarga kami sendiri melarat dan orangtua-orangtua kami harus berjuang
setiap hari untuk sekadar menyambung hidup.
Ketika datang keesokan harinya, wajah Lintang tampak hampa. Aku tahu hatinya menjerit, meronta-ronta dalam putus asa karena penolakan yang hebat terhadap perpisahan ini. Sekolah, kawankawan, buku, dan pelajaran adalah segala-galanya baginya, itulah dunianya dan seluruh
kecintaannya. Suasana sepi membisu, suara-suara unggas yang biasanya huh rendah di pohon
filicium sore ini lengang. Semua hati terendam air mata melepas sang mutiara ilmu dari lingkaran
pendidikan. Ketika kami satu per satu memeluknya tanda perpisahan, air matanya mengalir pelan,
pelukannya erat seolah tak mau melepaskan, tubuhnya bergetar saat jiwa kecerdasannya yang agung
tercabut paksa mening-galkan sekolah.
Aku tak sanggup menatap wajahnya yang pilu dan kesedihanku yang mengharu biru telah
mencurahkan habis air mataku, tak dapat kutahan-tahan sekeras apa pun aku berusaha. Kini ia
menjadi tangis bisu tanpa air mata, pehh sekali. Aku bahkan tak kuat mengucapkan sepatah pun
kata perpisahan. Kami semua sesenggukan. Bibir Bu Mus bergetar menahan tangis, matanya
semerah saga. Tak setitik pun air matanya jatuh. Beliau ingin kami tegar. Dadaku sesak
menahankan pemandangan itu. Sore itu adalah sore yang paling sendu di seantero Belitong, dari
muara Sungai Lenggang sampai ke pesisir Pangkalan Punai, dari Jembatan Mirang
sampai ke Tanjong Pandan. Itu adalah sore yang paling sendu di seantero jagad alam.
Saat itu aku menyadari bahwa kami se-sungguhnya adalah kumpulan persaudaran cahaya dan api.
Kami berjanji setia di bawah halilintar yang menyambar-nyambar dan angin topan yang menerbangkan gunung-gunung. Janji kami tertulis pada tujuh tingkatan langit, disaksikan naga-naga
siluman yang menguasai Laut Cina Selatan. Kami adalah lapisan-lapisan pelangi terindah yang
pernah diciptakan Tuhan.Duqbelas tahun kemudian.
SEORANGwanita setengah baya berjalan de-ngan seorang pria bernama Dahroji, menghampiriku.
Masalah! Pasti masalah lagi!
\"Kalau Nyonya mau marah, tumpahkan pada laki-laki berantakan ini,\" kata Dahroji. la pergi
Wanita itu mengamatiku baik-baik. Dandanan-nya, huruf \"r\" dan \"g\" yang keluar dari tenggorokannya, tarikan alisnya, serta gayanya memandang, mengesankan ia pernah sekian lama tinggal di
luar negeri dan ia muak dengan semua ketidakefisienan di negeri ini.
Agaknya ia memiliki masalah yang sangat ga-wat. Ya, memang gawat, surat restitusi bea masuk
lukisan dari luar negeri yang dikirim oleh kantor Duane terlambat ia terima karena aku salah sortir.
Seharusnya ia masuk kotak Ciawi tapi aku tak sengaja melemparkannya ke lubang Gunung Sindur.
Telah tiga kali aku keliru minggu ini. Alasanku karena overload. Dahroji, ketua ekspedisi, tak mau
tahu kesulitanku. Volume surat meningkat tajam
dan banyak perluasan wilayah yang membuka wijk baru yang tak kukenal. Aku memandang kuyu
pada tiga karung surat bercap Union Postale Universele ketika nyonya yang masih seksi itu
komplain. Sejenak aku benci pada hidupku yang kacau balau. Salah satu ciri hidup yang tak sukses
adalah menerima semprotan pelanggan sebelum sempat sarapan pagi. Tapi sekian lama bekerja di
sini aku telah terlatih memadamkan sementara fungsi gendang telinga. Maka madam itu hanya
kulihat bergetar-getar seperti Greta Garbo dalam film bisu hitam putih.
\"Hoe vaak moet ik je dat nog zeggenW\" har-diknya sambil melengos pergi. Benar kan kataku?
Kira-kira maksudnya: saya sudah komplain berapa kali masih saja keliru!
Dan kembali aku termangu-mangu menatap ti-ga karung surat tadi. Setelah terpuruk akibat
dikhotbahi nyonya itu aku masih harus bekerja keras menyortir semuanya karena pukul delapan
seluruh pengantar kilat khusus termin pertama akan berangkat dan karena aku adalah pegawai pos,
tukang sortir, bagian kiriman peka waktu, shift pagi, yang bekerja mulai subuh.
Aku sengsara batin karena ironi dalam hidupku. Rencana Aku dua belas tahun yang lalu untuk
menjadi seorang penulis dan pemain bulu tangkis ternama telah lenyap, kandas di dalam kotakkotak sortir surat. Bahkan rencana Bku, yaitu menjadi penulis buku tentang bulu tangkis dan
kehidupan sosial, juga telah gagal meskipun di dalam hati aku
masih menyimpan komentar-komentar manis para mantan kampiun bulu tangkis.
Buku itu sebenarnya telah selesai kutulis, tidak tanggung-tanggung, seluruhnya mencapai 34 bab
dan hampir 100.000 kata. Untuk menulisnya aku telah melakukan riset yang intensif di federasi
bulu tangkis dan komite olahraga nasional serta menga-mati kehidupan sosial beberapa mantan
pemain bulu tangkis terkenal. Aku juga mempelajari budaya pop serta tren terbaru pengembangan
kepribadian. Tapi para penerbit tak sudi menerbitkan bukuku berdasarkan pertimbangan komersial.
Mereka lebih tertarik pada karya-karya sastra cabul, yaitu buku-buku yang penuh tulisan jorok
seperti kondom, masturbasi, dan orgasme karena buku-buku semacam itu lebih mendatangkan
keuntungan. Mereka, para penerbit itu, telah melupakan prinsip-prinsip men sana in corpore sano.
Aku berusaha membesarkan hati dengan berpretensi menyama-nyamakan diriku dengan John
Steinbeck yang tujuh kali ditolak penerbit tapi akhirnya bisa mengantongi Pulitzer. Aku juga tak
keberatan menjadi Mary Shelley yang hanya pernah sekali menulis buku Frankenstein lalu hilang
dalam kejayaan. Aku harap bukuku: Bulu Tangkis dan Pergauian dapat menjadi sebuah karya
fenomenal yang dikenang orang sepanjang masa. Setidaknya itulah sumbanganku untuk
kemanusiaan. Namun bagaimanapun aku berusaha menguatkan diri, kenyataannya aku hampir mati
lemas ditumpuki kegagalan demi kegagalan. Bagaimanapun dulu Pak
Harfan dan Bu Mus mengajariku agar tak gentar pada kesulitan apa pun, namun pada titik ini
dalam hidupku ternyata nasib telah menghantamku dengan technical knock out.
Pada suatu dini hari yang paling frustrasi, di bawah hujan deras, aku menumpuk empat bendel
master tulisanku beserta enam buah disket. Tumpukan itu kusimpul mati dengan tali jalin dan
pemberat setengah kilo berupa segel timah plombir untuk mengikat kantong pos. Aku berlari
menuju Jembatan Sempur lalu buku bulu tangkis rencana B ku itu, buku bergenre humaniora itu
sambil meme-jamkan mata dengan hati yang redam kulemparkan ke dasar Kali Ciliwung. Jika tak
tersangkut di celah batu-batu di dasar kali maka buku itu akan terapung-apung bersama banjir
kiriman ke Jakarta, hanyut terombang-ambing bersama cita-citaku.
Aku ingin melarikan diri ke satu-satunya tern-pat yang paling indah dalam hidupku, yang telah
kukenal sejak belasan tahun yang lalu. Sebuah desa cantik dengan taman bunga, pagar-pagar batu
kelabu yang mengelilinginya, dan jalan setapak yang ditudungi untaian dahan-dahan prem. Itulah
Edensor, eden berarti surga, nirwana pelarian dalam otak kecilku dari buku Herriot yang sangat
kumal karena telah puluhan kali kubaca. Semakin sukar hidupku, semakin sering aku membacanya.
Sayangnya aku tak bisa ke Edensor karena sampai hari ini tempat itu masih tetap hanya ada dalam
Setiap pulang kerja aku sering duduk melamun
di pokok pohon randu, di pinggir Lapangan Sempur, dekat kamar kontrakanku. Menghadap ke Kali
Ciliwung aku memprotes Tuhan:
\"Ya, Allah, bukankah dulu pernah kuminta jika aku gagal menjadi penulis dan pemain bulu tangkis
maka jadi-kan aku apa saja asal bukan pegawai pos! Dan jangan beri aku pekerjaan mulai subuh
Tuhan menjawab doaku dulu persis sama se-perti yang tak kuminta. Begitulah cara Tuhan bekerja.
Jika kita menganggap doa dan pengabulan merupakan variabel-variabel dalam sebuah fungsi linier
maka Tuhan tak lain adalah musim hujan, sedikit banyak kita dapat membuat prediksi. Kuberi tahu
Kawan, cara bertindak Tuhan sangat aneh. Tuhan tidak tunduk pada postulat dan teorema mana
pun. Oleh karena itu, Tuhan sama sekali tak dapat diramalkan.
Maka inilah aku sekarang. Dalam asumsi yang konservatif petugas biro statistik menyebut orang
sepertiku sebagai mereka yang bekerja pada sektor jasa, mengonsumsi di bawah 2.100 kalori setiap
hari, dan berada dekat sekali dengan garis miskin. Miskin, kata itu demikian akrab sepanjang
hidupku, bagaikan sahabat baik, seperti mandi pagi. Sebenarnya sepanjang waktu aku meloncatloncat di antara garis miskin itu, tergantung jam lembur yang diberikan Dahroji. Jika aku banyak
lembur maka bulan itu mereka dapat mempertimbangkanku dalam lapisan berpenghasilan
menengah ke bawah. Toh orang-orang statistik itu tidak membuat
parameter waktu bagi setiap kategori. Tapi
singkatnya begini saja, aku adalah bagian dari 57% rakyat miskin yang ada republik ini.
Hidup membujang, mandiri, terabaikan, bekerja sepuluh jam sehari, kisaran usia 25-30 tahun,
itulah demografi yang aku wakili. Secara psikografi identitasku adalah pria yang kesepian. Orang
marketing melihatku sebagai target market produk-produk minyak rambut, deodoran, peninggi
tubuh, peramping perut buncit, atau apa saja yang berkenaan dengan upaya peningkatan
kepercayaan diri. Dunia tak mau peduli padaku, dan negara hanya mengenalku me-lalui sembilan
digit nomor, 967275337, itulah nomor induk pegawaiku.
Tak ada bahagia pada pekerjaan sortir. Peker-jaan ini tidak termasuk dalam profesi yang
ditampilkan murid-murid SD dalam karnaval. Setiap hari berkubang dalam puluhan kantong pos
dari negeri antah berantah. Masa depan bagiku adalah pensiun dalam keadaan miskin dan rutin
berobat melalui fasilitas Jamsostek, lalu mati merana sebagai orang yang bukan siapa-siapa.
Setelah usai bekerja aku terlalu lelah untuk bersosialisasi. Aku menderita insomnia. Setiap malam
antara tidur dan terjaga aku terhipnotis cerita wayang golek dan suara kemerosok radio AM. Aku
bangun pagi-pagi buta ketika orang-orang Bogor masih meringkuk di tempat tidur mereka yang
nyaman. Aku merangkak-rangkak kedinginan, ter-seok-seok menuju kantor pos melewati bantaran
Kali Ciliwung yang masih diliputi kabut untuk kembali menyortir ribuan surat. Saat orangorang Bogor
bangun dan mengibas-ngibaskan koran pagi di depan teh panas dan tangkupan roti, aku juga
sarapan makian dari madam Belanda tadi. Itulah hidupku sekarang, masa depanku tak jelas dan aku
sudah tak punya konsep lagi tentang masa depan. Semuanya serba tak pasti. Vang kutahu pasti
cuma satu hal: aku telah gagal. Aku mengutuki diri sendiri terutama ketika apel Korpri tanggal 17.
Hanya Eryn Resvaldya Novella satu-satunya hiburan dalam hidupku. la cerdas, agamais, cantik,
dan baik hati. Usianya 21 tahun. Belakangan aku memanggilnya awardee karena ia baru saja
menerima award sebagai mahasiswa paling bermutu di salah satu universitas paling bergengsi di
negeri ini di kawasan Depok. Ia mahasiswa universitas itu, jurusan psikologi. Ayah Eryn, abangku,
terkena PHK dan aku mengambil alih membiayai sekolahnya.
Lelah seharian bekerja lenyap jika melihat Eryn dan semangat belajarnya, jiwa positifnya, dan
intelegensia yang terpancar dari sinar matanya. Aku rela kerja lembur berjam-jam, membantu
menerje-mahkan bahasa Ing-gris, menerima ketikan, dan berkorban apa saja termasuk baru-baru ini
meng-gadaikan sebuah tape deck, hartaku yang paling berharga demi membiayai kuliahnya.
Pengalaman dengan Lintang telah menjadi trauma bagiku. Kadang-kadang aku bekerja begitu keras
demi Eryn untuk menghilangkan perasaan bersalah karena tak mampu membantu Lintang. Eryn
menimbulkan semacam perasaan bahwa semenyedihkan apa pun,
hidupku masih berguna. Tak ada yang dapat
dibanggakan dalam hidupku sekarang, tapi aku ingin mendedikasikannya pada sesuatu yang
penting. Eryn adalah satu-satunya arti dalam hidupku.
Saat ini Eryn sedang panik karena proposal skripsinya berulang kali ditolak. Sudan belasan kali hal
ini terjadi. Sejak kuliahnya selesai semester lalu ia telah menghabiskan waktu lima bulan hanya
untuk mencari topik skripsi yang bermutu. Bersama surat penolakan itu pembimbingnya
melampirkan lima belas lembar kertas berisi judul skripsi yang pernah ditulis. Aku melirik, benar
saja, sudah tiga puluh orang yang menulis tentang personality disorder, puluhan lainnya menulis
topik tentang kepuasan kerja, down syndrome, dan metode konseling anak. Tak terhitung yang telah
menulis skripsi mengenai autisme.
Pembimbingnya menuntut Eryn menulis sesuatu yang baru, berbeda, dan mampu membuat
terobosan ilmiah karena ia adalah mahasiswa cerdas pemenang award. Aku setuju dengan
pandangan itu. Eryn sebenarnya telah memiliki konsep tentang sesuatu yang berbeda itu. Dari
pembicaraannya yang meluap-luap aku menangkap bahwa ia telah mempelajari suatu gejala
psikologi di mana seorang individu demikian tergantung pada individu lain sehingga tak bisa
melakukan apa pun tanpa pasangannya itu. Kemudian ia pun mengajukan tema tersebut,
pembimbingnya setuju.
Masalahnya adalah gejala seperti itu sangat jarang terjadi sehingga Eryn tak kunjung
mendapatkan kasus. Memang terdapat beberapa
kasus dependensi tapi intensitasnya rendah, gejala sehari-hari saja yang tidak memerlukan
perawatan khusus sehingga dianggap kurang memadai untuk analisis mendalam. Eryn mencari
sebuah kasus ketergantungan yang akut.
Ia telah berkorespondensi dengan puluhan psikolog, psikiater, dosen-dosen universitas, lemba-galembaga yang menangani kesehatan mental, dan para dokter di rumah sakit jiwa di seluruh negeri,
tapi hampir empat bulan berlalu kasusnya tak kunjung ditemukan. Eryn mulai frustrasi.
Namun agaknya nasib menyapa Eryn hari ini. Ketika menyortir aku menemukan sepucuk surat
yang ditujukan ke kontrakanku. Surat untuk Eryn dengan sampul resmi yang bagus sekali, dari
sebuah rumah sakit jiwa di Sungai Liat, Bangka.
\"Awardee1.Seseorang dari rumah sakit jiwa agaknya jatuh hati padamu .,„¦\" kataku setiba di rumah
Ia merampas surat dari tanganku, membacanya sekilas, lalu meloncat-locat gembira.
\"Alhamdullilah, finally1. Cicik (paman), kita akan berangkat ke Sungai Liat!\"
Eryn telah menemukan kasusnya. Seorang dok-ter senior profesor tepatnya yang menjadi staf ahli
di rumah sakit jiwa Sungai Liat memberi tahu bahwa kasus langka yang dicari Eryn ditemukan di
sana. Dokter itu juga mengatakan bahwa kasus itu banyak diincar para ilmuwan, termasuk beberapa
kandidat Ph.D. untuk diteliti, tapi Eryn diprioritaskan karena prestasi kuliahnya.
Eryn memintaku cuti untuk mengantarnya ke rumah sakit jiwa itu. Apa dayaku menolak, bukankah
semuanya memang untuk mendukung dirinya. Lagi pula Sungai Liat ada di Pulau Bangka, tetangga
Pulau Belitong. Kami akan sekalian pulang kampung setelah ia riset.
Rumah sakit jiwa Sungai Liat sudah sangat tua. Orang Belitong menyebutnya Zaal Batu.
Barangkali zaman dulu dinding ruang perawatannya adalah batu. Karena di Belitong tidak ada
rumah sakit jiwa bahkan sampai sekarang maka orang Belitong yang mentalnya sakit parah sering
dikirim melintasi laut ke rumah sakit jiwa ini. Karena itu Zaal Batu bagi orang Belitong selalu
memberi kesan sesuatu yang mendirikan bulu kuduk, kelam, sakit, dan putus asa.
Sore itu mendung ketika kami tiba di Zaal Batu. Suara azan ashar bersahut-sahutan lalu sepi pun
mencekam. Kami memasuki gedung tua berwarna serba putih dengan plafon tinggi dan pilar-pilar.
Lalu kami melewati sebuah selasar panjang berlantai ubin tua berwarna cokelat dan bermotif jajaran
Beberapa jambangan bunga model lama gaya Belanda bederet-deret di sepanjang selasar itu.
Pemandangan lainnya tak berbeda dengan rumah sakit jiwa lainnya. Pintu-pintu besi dengan
gembok besar, kamar obat berisi botol-botol pendek, bau karbol, meja beroda, para perawat yang
berpakaian serba putih, dan para pasien yang berbicara sendiri atau memandang aneh. Terdengar
lamat-lamat suara cekikikan dan teriakan beberapa kelompok pasien yang sedang bercanda dengan
para perawat di halaman rumah sakit yang luas.
Setelah melewati selasar kami berhadapan dengan sebuah pintu jeruji yang dikunci dengan lilitan
rantai dan digembok. Kami terhenti di situ. Seorang perawat pria tergopoh-gopoh menghampiri
kami. Ia tahu kami sedang ditunggu, ia membuka pintu. Kami masuk melintasi sebuah ruangan
panjang. Ruangan yang terkunci rapat ini menam-pung beberapa pasien. Mereka mengikuti gerakgerik kami dengan teliti.
Eryn tak berani jauh-jauh dari perawat tadi. Aku tak takut tapi sedih melihat penderitaan jiwa
mereka. Suasana di sini mencekam. Banyak pasien berusia lanjut dan meskipun kelihatan sehat tapi
kita segera tahu bahwa orang-orang ini sangat terganggu kewarasannya. Pandangan matanya penuh
tekanan, kesedihan, dan beban. Beberapa di antaranya bersimpuh di lantai atau mengguncangguncang jerejak besi di jendela.
Aku memerhatikan beberapa wajah para pasien di balik batangan jeruji besi. Perlahan-lahan
batangan jeruji itu bergerak sendiri berselang-seling. Wujudnya menjelma menjadi puluhan pasang
kaki manusia. Di sela-sela kaki itu kulihat wajah yang telah sangat lama kukenal. Kesedihan rumah
sakit jiwa ini membuka ruangan gelap di kepalaku, tempat Bodenga bersembunyi.
Kami kembali terhenti di depan sebuah pintu besi. Kali ini pintu besi dua lapis. Setelah rantai
dibuka kami memasuki ruangan berupa lorong yang panjang. Sisi kiri kanan lorong adalah kamarkamar perawatan. Suasana di lorong ini sunyi senyap. Sebagian besar kamar kosong dengan pintu
terbuka. Kamar yang diisi pasien tertutup rapat. Lamat-lamat terdengar suara orang meratap dari
balik pintu-pintu tertutup itu.
Aku mendengar suara langkah sepatu yang bergema dalam kesepian ruangan. Seorang pria berusia
enam puluhan mendekati kami. Beliau tersenyum. Wajahnya tenang, bersih, dan bening, tipikal
wajah yang sering tersiram air wudu. Jemari tangannya menggulirkan biji-biji tasbih, beliau
mengucapkan asma-asma Allah, beliau membuatku sangat segan, seorang intelektual yang rendah
hati sekaligus yang taat beragama. Profesor ini memiliki dua kualitas agung tersebut. Dengan sangat
santun beliau menyatakan terima kasih atas kedatangan kami. Namanya Profesor Yan.
\"Ini kasus mother complex yang sangat eks-trem ...,\" kata profesor itu dengan suara berat, itu
seakan ikut merasakan penderitaan pasiennya.
\"Tiga puluh delapan tahun di bidang ini baru kali ini aku menjumpai hal semacam ini. Anak muda
ini sedikit pun tak bisa lepas dari ibunya. Jika bangun tidur tidak melihat ibunya ia menjerit-jerit
histeris. Ketergantungan yang kronis ini menyebabkan
ibunya sendiri sekarang hampir terganggu jiwanya. Mereka telah menghuni tempat ini hampir
selama enam tahun ....\"
Aku tersentak miris mendengar penjelasan be-liau. Eryn sendiri terperanjat. Ia berusaha menguatkan diri mendengar kenyataan yang menghan-curkan hati itu. Aku menatap wajah Profesor Yan.
Ia adalah dokter jiwa yang amat berpengalaman tapi jelas ia prihatin dan terpengaruh dengan kasus
ini. Di sisi lain aku kagum pada psikologi dan orang-orang yang mendedikasikan hidupnya pada
Penjelasan Profesor Yan melekat dalam pikiran-ku. Aku merinding karena merasa getir pada nasib
anak beranak itu. Anak muda yang malang. Ibunya yang tadinya sehat terpaksa hidup tidak normal.
Orangtua mana yang mampu menolak kasih sayang anaknya, meskipun rasa sayang itu berlebihan?
Mungkin ia lebih rela gila daripada membiarkan anaknya berteriak-teriak memerlukannya
sepanjang waktu. Mereka berdua pasti amat menderita. Enam tahun terpuruk di sini, betapa
mengerikan. Kadang-kadang nasib bisa demikian kejam pada manusia. Siapakah anak beranak yang
Profesor Yan membimbing kami menyelusuri lorong tadi menuju sebuah pintu paling ujung. Di
sana ada ruangan terpencil dan menyendiri. Beliau membuka pintu pelan-pelanm. Aku gugup
memba-yangkan pemandangan yang akan kulihat. Akankah aku kuat menyaksikan penderitaan
seberat itu? Apa sebaiknya aku menunggu di luar saja? Tapi Profesor Yan telanjur membuka pintu.
Engsel pintu ber-decit panjang, menimbulkan rasa gamang.
Kami berdiri di ambang pintu. Ruangan itu luas, tak berjendela, dan dindingnya polos tinggi
berwarna putih. Tak ada lukisan atau jambangan bunga. Begitu sepi, tak ada suara satu pun.
Penerangan hanya berasal dari sebuah bohlam dengan kap rendah sehingga plafon menjadi gelap.
Ruangan ini suram, penuh nuansa kepedihan dan keputusasaan. Dalam sorot lampu tak tampak
perabot apa pun kecuali sebuah bangku panjang kecil nun jauh di sudut ruangan.
Dan di bangku panjang itu, kira-kira lima belas langkah dari kami, duduk berdua rapat-rapat kedua
makhluk malang itu, seorang ibu dan anaknya. Gerak-gerik mereka gelisah, seperti tempat itu
sangat asing dan mengancam mereka. Mereka seakan memelas, memohon agar diselamatkan.
Dalam cahaya lampu yang samar tampak sang anak berpostur tinggi dan sangat kurus, rambutnya
panjang dan menutupi sebagian wajahnya. Jam-bang, alis, dan kumisnya tebal tak teratur. Kulitnya
putih. Air mukanya menimbulkan perasaan iba yang memilukan. la berpakaian rapi, bajunya adalah
kemeja putih lengan panjang, celananya berwarna gelap, dan sepatu kulitnya bersih mengilap.
Usianya kurang lebih tiga puluhan. la ketakutan. Sorot matanya yang teduh melirik ke kiri dan ke
kanan. la gugup dan sering menarik napas panjang.
Ibunya kelihatan puluhan tahun lebih tua dari usia sesungguhnya. Pancaran matanya menyimpan
kesakitan yang parah dan caranya menatap menjalarkan rasa pedih yang dalam. Lingkaran di
sekeliling matanya berwarna hitam dan ia amatlah kurus. Daya hidup telah padam dalam dirinya. Ia
memakai sandal jepit yang kebesaran dan tampak menyedihkan. Wajahnya jelas memperlihatkan
kerisauan yang amat sangat dan tekanan jiwa yang tak tertahankan.
Mereka berdua melihat kami sepintas-sepintas tapi kebanyakan menunduk. Sang anak mengapit
lengan ibu-nya. Ketika kami masuk, ia semakin merapatkan dirinya pada ibunya. Aku tak sanggup
menanggungkan pemandangan memilukan ini. Tanpa kusadari air mataku mengalir. Eryn pun ingin
menangis tapi ia berupaya keras menjaga sikap profesional sebagai seorang peneliti. Aku tak tahan
me-lihat anak beranak dengan cobaan hidup seberat ini. Mereka seperti dua makhluk yang terjerat,
cidera, dan tak berdaya. Aku minta diri keluar dari ruangan yang menyesakan dada itu.
Hampir selama satu setengah jam Eryn dibantu oleh profesor yang baik itu dalam melakukan
semacam wawancara pendahuluan dengan kedua pasien malang itu. Dari pintu yang terbuka aku
dapat melihat mereka berempat duduk di bangku tersebut. Kedua pasien itu masih terlihat gelisah.
Kemudian wawancara pun selesai dan Eryn memberi isyarat padaku untuk berpamitan pada ibu
dan anak itu. Aku masuk lagi ke ruangan, mencoba tersenyum seramah mungkin walaupun hatiku
hancur membayangkan penderitaan mereka. Aku
menyalami keduanya. Kali ini Eryn tak sanggup menahan air matanya. Lalu pelan-pelan kami
pamit keluar ruangan.
Profesor Yan dan Eryn berjalan di depanku. Mereka terlebih dahulu keluar ruangan, sementara aku
yang keluar terakhir meraih gagang pintu dan menutupnya. Tepat pada saat itu aku terperanjat
karena mendengar seseorang me-mang-gil namaku.
\"Ikal ...,\" suara lirih itu berucap. Eryn dan Profesor Yan kaget. Mereka terhe-ran-heran, apa-lagi
aku. Kami saling berpandangan. Tak ada orang lain di ruangan itu kecuali kami bertiga dan kedua
makhluk malang tadi. Dan jelas suara itu berasal dari ruangan yang ba-ru saja kututup. Kami
berbalik, tapi ragu, maka aku tak segera membuka pintu.
\"Ikal ...,\" panggilnya lagi.
\"Mereka memanggil Cicik!\" teriak Eryn mena-tapku takjub.
Salah seorang dari pasien itu jelas memanggil-ku.
Aku memutar gagang pintu dan menghambur ke dalam. Kuhampiri mereka dengan hati-hati.
Dalam jarak tiga meter aku berhenti. Mereka berdua bangkit. Aku mengamati mereka baik-baik,
berusaha keras mengenali kedua tubuh ringkih yang berdiri saling mencengkeram lengan masingmasing dengan jari-jari yang kurus tak terawat. Rambut sang ibu yang kelabu terjuntai panjang
semrawut menutupi kedua matanya yang cekung dan berwarna abuabu. Pipi anaknya basah karena air mata yang
mengalir pelan. Air matanya itu berjatuhan ke lantai. Bibirnya yang pucat bergetar mengucapkan
namaku berkali-kali, seakan ia telah bertahun-tahun menungguku, tangannya menjangkau-jangkau.
Ibunya terisak-isak dan menutup wajah de-ngan kedua tangannya. Aku tak mampu berkata apa pun
dan masih diliputi tanda tanya. Namun, tepat ketika aku maju selangkah untuk mengamati mereka
lebih dekat si anak menyibakkan rambut panjang yang menutupi wajahnya dan pada saat itu aku
tersentak tak alang kepalang. Aku terkejut luar biasa. Kurasakan seluruh tubuhku menggigil.
Rangka badanku seakan runtuh dan setiap persendian di tubuhku seakan terlepas. Aku tak percaya
dengan pemandangan di depan mataku. Aku merasa kalut dan amat pedih. Aku ingin berteriak dan
meledakkan tangis. Aku mengenal dengan baik kedua anak beranak yang malang ini. Mereka
adalah Trapani dan ibunya.
Satu titik dalam relativitas waktu: Saat inilah masa depan itu
TOKO Sinar Harapan tak banyak berubah, masih amburadul seperti dulu. Ketika bus reyot yang
membawaku pulang kampung melewati toko itu, di sebelahnya aku melihat toko yang bernama
Sinar Perkasa. Di situ ada seorang laki-laki yang menarik perhatianku. Pria itu agaknya seorang kuli
toko. Badannya tinggi besar dan rambutnya panjang sebahu diikat seperti samurai. Lengan bajunya
digulung tinggi-tinggi. la sengaja memperlihatkan otot-ototnya. Tapi wajahnya sangat ramah dan
tapaknya ia senang sekali menunaikan tugasnya. Belanjaan yang dipanggul kuli ini tak tanggungtanggung: dua karung dedak di punggungnya, ban sepeda dikalungkan di lehernya, dan plastikplastik kresek serta tas-tas belanjaan bergelantungan di lengan kiri kanannya. Ia seperti toko
kelontong berjalan. Di belakangnya berjalan terantuk-antuk seorang nyonya gemuk yang
memborong segala macam barang itu.
Setelah memuat belanjaan ke atas bak sebuah mobil pikap, pria bertulang besi tadi menerima
sejumlah uang. la mengucapkan terima kasih dengan menunduk sopan lalu kembali ke tokonya.
Toko berjudul Sinar Perkasa itu, sesuai sekali dengan penampilan kulinya. Pria itu menyerahkan
uang tadi kepada juragan toko yang kemudian mengibas-ngibaskan uang itu ke barang-barang
dagangannya lalu mereka berdua tertawa lepas layaknya dua sahabat baik. Wajah keduanya tak
lekang dimakan waktu.
Aku tersenyum mengenang nostalgia di Toko Sinar Harapan dan teringat bahwa dulu aku pernah
memiliki cinta yang ternyata tak hanya sedalam lubuk kaleng-kaleng cat yang sampai sekarang
masih berjejal-jejal di situ. Aku juga merasa ber-untung telah menjadi orang yang pernah mengungkapkan cinta. Masih terasa indahnya sampai sekarang. Merasa beruntung karena kejadian itu
merupakan tonggak bagaimana secara emosional aku telah berevolusi. Dan agaknya cinta
pertamaku dulu amat berkesan karena ia telah melam-bungkanku ke puncak kebahagiaan sekaligus
membuatku menggelongsor karena patah hati di antara keranjang buah mengkudu busuk di toko itu.
Kita dapat menjadi orang yang skeptis, selalu
curiga, dan tak gampang percaya karena satu orang pernah menipu kita. Tapi ternyata dengan satu
kasih yang tulus lebih dari cukup untuk mengubah seluruh persepsi tentang cinta. Paling tidak itu
terjadi padaku. Meskipun kemudian setelah dewasa beberapa kali cinta memperlakukan aku dengan
amat buruk, aku tetap percaya pada cinta. Semua itu gara-gara wanita berparas kuku ajaib di Toko
Sinar Harapan itu. Kemanakah gerangan dia sekarang? Aku tak tahu dan tak mau tahu. Gambaran
cinta seindah lukisan taman bunga karya Monet itu biarlah seperti apa adanya. Kalau aku
menjumpai A Ling lagi bisa-bisa citra lukisan itu pudar karena mungkin saja A Ling sekarang
adalah A Ling dengan parises, selulit, pantat turun, susu kempes, gemuk, perut buncit, dan kantong
mata. Ia dulu adalah venus dari Laut Cina Selatan dan aku ingin tetap mengenangnya seperti itu.
Aku mengeluarkan dari tasku buku Seandainya Mereka Bisa Bicara yang dihadiahkan A Ling
padaku sebagai kenangan cinta pertama kami. Bus reyot yang terlonjak-lonjak karena jalan yang
berlubang-lubang membuat aku tak dapat membacanya. Ketika jarak antara bus dan Toko Sinar
Harapan perlahan mengembang aku merasa takjub bagaimana lingkaran hidup merupakan jalinan
aksi dan reaksi seperti postulat Isaac Newton atau hidup tak ubahnya se-kotak cokelat seperti kata
Forest Gump. Jika membuka kotak cokelat kita tak 'kan dapat menduga rasa apa yang akan kita
dapatkan dari bungkus-bungkus plastik lucu di dalamnya. Sebuah benda kecil yang tak
penting atau suatu kejadian yang sederhana pada masa yang amat lampau dapat saja menjadi
sesuatu yang kemudian sangat memengaruhi kehidupan kita.
Buku itu kugenggam erat di atas pangkuanku dan aku segera menyadari bahwa seluruh kehidupan
dewasaku telah terinspirasi oleh buku kumal yang selalu kubawa ke mana-mana itu. Dulu ketika
frustrasi karena berpisah dengan A Ling maka pesona Desa Edensor, Taman Daffodil dan jalan
pasar berlandaskan batu-batu bulat, serta hamparan sabana di bukit-bukit Derbyshire telah
menghiburku. Kemudian pada masa dewasa ini ketika kehidupanku di Bogor berada pada titik
terendah aku perlahan-lahan bangkit juga karena semangat yang dipancarkan oleh Herriot, sang
tokoh utama buku itu. Seperti ajaran Pak Harfan, Bu Mus, dan Kemuham-madiyahan, Herriot juga
mengajariku tentang optimisme dan bagaimana aku harus berjuang untuk meraih masa depanku.
Seminggu setelah kulemparkan naskah bulu tangkisku ke Kali Ciliwung aku membaca sebuah
pengumuman beasiswa pendidikan lanjutan dari sebuah negara asing. Aku segera menyusun
rencana C, yaitu aku ingin sekolah lagi! Kemudian setelah itu tak ada satu menit pun waktu kusiasiakan selain untuk belajar. Aku membaca seba-nyak-banyaknya buku. Aku membaca buku sambil
menyortir surat, sambil makan, sambil minum, sambil tiduran mendengarkan wayang golek di radio
AM. Aku membaca buku di dalam angkutan umum, di dalam jamban, sambil mencuci pakaian,
sambil dimarahi pelanggan, sambil disindir ketua ekspedisi, sambil upacara Korpri, sambil
menimba air, atau sambil memperbaiki atap bocor. Bahkan aku membaca sambil membaca.
Dinding kamar kostku penuh dengan grafiti rumus-rumus kalkulus, GMAT, dan aturan-aturan
tenses. Aku adalah pengunjung perpustakaan LIPI yang paling rajin dan shift sortir subuh yang dulu
sangat kubenci sekarang malah kuminta karena dengan demikian aku dapat pulang lebih awal untuk
belajar di rumah. Jika beban pe-kerjaan demikian tinggi aku membuat resume bacaanku dalam
kertas-kertas kecil, inilah teknik jembatan keledai yang dulu diajarkan Lintang padaku. Kertaskertas kecil itu kubaca sambil menunggu ketua pos menurunkan kantong-kantong surat dari truk.
Di rumah aku belajar sampai jauh malam dan penyakit insomnia ternyata malah mendukungku.
Aku adalah penderita insomnia yang paling produktif karena saat-saat tak bisa tidur kugunakan
untuk membaca. Jika kelelahan belajar aku melakukan penyegaran mental yaitu kembali membuka
buku Seandainya Mereka Bisa Bicara dan di sana kutemukan bagaimana Herriot menghadapi
kesulitan membuktikan dirinya di depan para petani Derbyshire yang sangat skeptis, keras kepala,
dan antiperubahan. Dari buku itu juga aku merasakan angin pagi lembah Edensor yang dingin
bertiup merasuki dadaku yang sesak setelah menyelusup di antara dedaunan
astuaria. Membaca semua itu
semangatku kembali terpompa dan hatiku semakin bening siap menerima pelajaran-pelajaran baru.
\"Aku harus mendapatkan beasiswa itu!\" demi-kian kataku dalam hati setiap berada di depan kaca.
Aku benar-benar bertekad mendapatkan beasiswa itu karena bagiku ia adalah tiket untuk
meninggalkan hidupku yang terpuruk. Lebih dari itu aku merasa berutang pada Lintang, A Ling,
Pak Harfan, Bu Mus, Laskar Pelangi, Sekolah Muhammadiyah, dan Herriot.
Kemudian tes demi tes yang mendebarkan berlang-sung selama berbulan-bulan, diawali dengan
sebuah tes pe-nyaringan pertama di sebuah stadion sepak bola yang dipenuhi peserta. Hampir tujuh
bulan kemudian aku berada pada tahap yang disebut penentuan terakhir. Penentuan terakhir
merupakan sebuah wawancara di sebuah lembaga yang hebat di Jakarta. Wawancara akhir ini
dilakukan oleh seorang mantan menteri yang berwajah tampan tapi senang bukan main pada rokok.
\"Disgusting habit!\"Sebuah kebiasaan yang menjijikkan, kata Morgan Freeman dalam sebuah film.
Aku mengenakan pakaian rapi dan untuk per-tama kalinya. Berdasi, memakai sedikit minyak
wangi, dan menyemir sepatu. Pulpen di saku dan kubawa map yang tak tahu berisi apa. Aku telah
menjadi tipikal orang muda yang spekulatif. Sebuah pemandangan yang menyedihkan
Bapak perokok itu memanggilku, mempersilakanku duduk di depannya, dan mengamatiku dengan
teliti. Barangkali ia berpikir apakah anak kampung ini akan bikin malu tanah air di negeri orang.
Lalu ia membaca motivation ietterku yaitu suatu catatan alasan dari berbagai aspek yang dibuat
peserta mengapa ia merasa patut diberi beasiswa.
Mantan menteri itu mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu ajaib sekali! Ia sama sekali tidak
mengeluarkan kembali asap rokok itu. Rupanya asap itu diendapkannya sebentar di dalam rongga
dadanya. Matanya terpejam ketika menikmati racun nikotin lalu disertai sebuah senyum puas yang
mengerikan ia mengembuskan asap rokok itu dekat sekali dengan wajahku. Mataku perih, aku
menahan batuk dan ingin muntah tapi apa dayaku, laki-laki di depan-ku ini memegang tiket masa
depanku dan tiket itu amat kuperlukan. Maka aku duduk bertahan sambil membalas senyumnya
dengan senyum basi ala pramugari sementara perutku mual.
\"Saya tertarik dengan motivation ietter Anda, alasan dan cara Anda menyampaikannya dalam
kalimat Inggris sangat mengesankan,\" katanya.
Aku kembali tersenyum, kali ini senyum khas penjual asuransi.
\"Belum tahu dia, orang Melayu lincah benar bersilat kata,\" kataku dalam hati.
Lalu sang mantan menteri membuka proposal penelitianku yang berisi bidang yang akan kutekuni,
materi riset, dan topik tesis dalam pendidikan beasiswa nanti.
\"Ahhhh, ini juga menarik ....\"
la ingin melanjutkan kata-katanya tapi agaknya rokok yang sangat dicintainya itu lebih penting
maka ia kembali memenuhi dadanya dengan asap. Aku berani bertaruh jika dirontgen maka rongga
dada dan seluruh isinya pasti telah berwarna hitam. Bapak ini terkenal sangat pintar bukan hanya di
dalam negeri tapi juga di luar negeri, sumbangannya tak kecil untuk bangsa ini, tapi bagaimana ia
bisa menjadi demikian bodoh dalam persoalan rokok ini?
\"Hmmm ... hmmm ... sebuah topik yang me-mang patut dipelajah lebih jauh, menarik sekali, siapa
yang membimbing Anda menulis ini?\" beliau tersenyum lebar dan asap masih mengepul di
Aku tahu pertanyaan itu retoris, tak memerlu-kan jawaban, karena dia tahu seseorang tak mungkin
dibimbing untuk membuat proposal ter-sebut, maka aku hanya tersenyum.
\"Bu Mus, Pak Harfan, Lintang, Sekolah Muham-madiyah, A Ling, dan Herriot!\" Itulah jawaban
\"Saya telah lama menunggu ada proposal riset semacam ini, ternyata datang dari seorang pegawai
kantor pos! Ke mana kau pergi selama ini anak muda?\"
Kembali retoris dan aku kembali tersenyum. \"Edensor!\" Bisik hatiku.
Maka tak lama kemudian aku telah menjadi mahasiswa. Meskipun hanya langkah kecil aku merasa
telah membuat sebuah kemajuan dan sekarang aku dapat menilai hidupku dari perspektif
yang sama sekali berbeda. Aku lega terutama karena aku telah membayar utangku pada Sekolah
Muhammadiyah, Bu Mus, Pak Harfan, Lintang, Laskar Pelangi, A Ling, bahkan Herriot dan
Edensor. Setiap titik yang aku singgahi dalam hidupku selalu memberiku pelajaran berharga.
Sekolah Muham-madiyah dan persahabatan Laskar Pelangi telah membentuk karakterku. A Ling,
Herriot, dan Edensor telah mengajariku optimisme dan menunjukkan bahwa jalinan nasib dapat
menjadi begitu menak-jubkan. Kemudian, meskipun aku tidak menyukai pekerjaan sortir, tapi
orang-orang hebat kawan sekerja di kantor pos Bogor telah mengajariku arti integritas bagi sebuah
badan usaha dan makna dedikasi pada pekerjaan pos yang mulia, yaitu mengemban amanah.
ADA orang-orang tertentu yang memendam cinta demikian rapi. Bahkan sampai mereka mati,
sekerling pun me-reka tak pernah memperlihatkan getar hatinya. Cinta mereka sesepi stambul lama
nan melankolis dengan pengarang yang tak pernah dikenal. Jika malam tiba mereka mendengusdengus meratapi rindu, menampar muka sen-diri karena jengkel tak berani mendeklarasikan cinta
yang menggelitik perutnya. Cintanya tak pernah terungkap karena ngeri membayangkan risiko
ditolak. Lama-lama, seperti seorang narsis, mereka
menyukai mencintai seseorang di dalam hatinya sendiri. Cinta satu sisi, indah tapi merana tak
terperi. Mereka hidup dalam bayangan. Meng-ungkapkan cinta agaknya mengandung daya tarik
paling misterius dari cinta itu sendiri. Itulah yang dirasakan A Kiong selama belasan tahun.
Hampa karena cinta dan kecewa pada masa depan membuat A Kiong sempat menjalani hidup
sebagai seorang agnostik, yaitu orang yang percaya kepada Tuhan tapi tidak memeluk agama apa
pun, oleh karena itu ia tidak pernah beribadah. la mendaki puncak bukit keangkuhan di dalam
hatinya untuk berteriak lantang menentang segala bentuk penyembahan. Ia berkelana mengamati
agama demi agama, terombang ambing dalam kebingungan tentang keyakinan dan konsep keadilan
Tuhan. Hari demi hari ia semakin sesat. Ia kafir bagi agama mana pun.
Namun, menjelang dewasa ia mengalami suatu masa di saat setiap mendengar suara azan ia sering
disergap perasaan sepi nan indah yang menyelusup ke dalam kalbunya, membuatnya terpaku, dan
melelehkan air matanya. Panggilan shalat itu mengembuskan rasa hampa yang menyuruhnya
merenung. Ia cemas serasa akan mati esok pagi. Ia merenung dan pada suatu hari dengungan azan
magrib membuatnya berputar seperti gasing, perutnya naik memuntahkan seluruh makanan dan
minuman haram dari lipatan-lipatan ususnya, ia terjerembap tak berdaya seakan tulang belulangnya
hancur dihantam palu godam. Air matanya berlinang tak terbendung. Ia merangkak-rangkak
memohon ampunan. Ia telah dipilih oleh Allah untuk diselamatkan. A Kiong, makhluk pendusta
agama ini, bagian dari sebagian kecil orang yang amat beruntung, mendapat magfirah*.
Ia memeluk Islam, disunat, dan mengucapkan kalimat syahadat disaksikan Pak Harfan dan Bu
Mus. Bu Mus menganugerahkan sebuah nama untuknya: Muhammad Jundullah Gufron Nur
Zaman. Nama yang sangat hebat. Artinya tentara Allah, orang yang mendapat ampunan dan cahaya.
A Kiong tinggal sejarah, bagian dari sebuah masa lalu yang gelap. Ia segera menjadi muslim yang
taat. Hidupnya tenang, namun kesepian sepanjang malam masih merisaukannya.
Penerima cahaya ini menceritakan dengan se-penuh jiwa kepadaku bahwa yang merisaukannya itu
adalah cinta yang telah disimpannya sangat lama. Cinta yang tak terungkap. Tak seorang pun tahu
kalau Nur Zaman selama ini telah menjadi seekor pungguk. Wanita itu, katanya, telah membuat
malam-malamnya gelisah.
\"Aku lemas karena paru-paruku basah digena-ngi air mata rindu,\" demikian ungkapan perasaannya
padaku. Laki-laki berkepala kaleng kerupuk ini bisa juga puitis.
\"Berhari-hari terperangkap dalam bingkai kaca seraut wa-jah yang sama, tak dapat lagi kupikirkan
lagi hal-hal lain. Setiap melihat cermin yang terpantul hanya wajahnya. Aku tak mau makan, tak
bisa tidur ...,\" kenangnya. Romantis laksana opera sabun, sekaligus lucu dan menyedihkan.
Lalu setelah belasan tahun mengumpulkan keberanian, pada suatu malam, dengan basmallah, ia
menjumpai wanita itu dan langsung, di depan orangtuanya, menyatakan keinginannya melamar. Ia
pasrahkan semua keputusan kepada Allah. Ia siap hijrah ke Kanton naik kapal barang jika ditolak.
Ternyata wanita itu juga telah lama diam-diam menaruh hati padanya. Terberkatilah mereka yang
berani berterus terang. Wanita itu adalah Sahara.
Sekarang mereka sudah punya anak lima dan membuka toko kelontong dengan judul Sinar Perkasa
tadi. Mereka mempekerjakan seorang kuli dan memperlakukannya sebagai sahabat. Kulinya adalah
pria raksasa berambut sebahu seperti samurai itu, tak lain adalah Samson.
Jika waktu luang mereka bertiga mengunjungi Harun. Harun bercerita tentang kucingnya yang
berbelang tiga, melahirkan anak tiga, semuanya berbelang tiga, dan kejadian itu terjadi pada tanggal
tiga. Sahara mendengarkan penuh perha-tian. Kalau dulu Harun adalah anak kecil yang
terperangkap dalam tubuh orang dewasa, sekarang ia adalah orang dewasa yang terperangkap dalam
alam pikiran anak kecil.
\"Aku mendapatkan kebahagiaan terbesar yang mungkin didapatkan seorang pria,\" kata Nur Zaman
Ingatkah akan kata-kata itu? Bukankah dulu kata-kata itu pernah kuucapkan? Klise! Tidak, sama
sekali tidak klise bagi Nur Zaman. Ia adalah pria
terhormat yang telah memanfaatkan dengan baik waktu yang diberikan Tuhan. Ia berhasil menemukan kebenaran hakiki melalui penderitaan pergolakan batin. Tuhan mencintai orang-orang
BUS reyot itu menurunkan aku di seberang ja-lan di depan rumah ibuku. Aku mendengar lagu
Rayuan Pulau Kelapa di RRI, yang berarti wart a berita pukul 12. Sebuah siang yang panas dan
sunyi. Dan kesunyian itu bubar oleh suara klakson panjang dari sebuah mobil tronton kapasitas
sepuluh ton, gardan ganda, bertenaga turbo, dengan delapan belas ban berdiameter satu meter.
Seorang pria kecil terlonjak-lonjak di jok sopir. Ia terlalu kecil bagi truk raksasa pengangkut pasir
\"Pulang kampung juga kau akhirnya, Ikal. Hari yang sibuk! Datanglah ke proyek,\" teriaknya.
Aku melepaskan empat tas yang membebaniku tapi hanya sempat melambaikan tangan. Ia pun
pergi meninggalkan debu.
Esoknya aku berkunjung ke bedeng proyek pa-sir gelas sesuai undangan sopir kecil itu. Bedeng itu
memanjang di tepi pantai, tak berpintu, lebih seperti kandang ternak. Inilah tempat beristirahat
puluhan sopir truk pasir yang bekerja siang malam
bergiliran 24 jam untuk mengejar tenggat waktu mengisi tongkang. Tongkang-tongkang itu dimuati
ribuan ton kekayaan bumi Belitong, tak tahu dibawa ke mana, salah satu perbuatan kongkalikong
yang mengangkangi hak-hak warga pribumi.
Aku masuk ke dalam bedeng dan melihat ke sekeliling. Di tengah bedeng ada tungku besar tempat
berdiang melawan dingin angin laut. Di pojok bertumpuk-tumpuk kaleng minyak solar, bungkus
rokok Jambu Bol, dongkrak, beragam kunci, pompa minyak, tong, jerigen air minum, semuanya
serba kumal dan berkilat. Panci hitam, piring kaleng, kotak obat nyamuk, kopi, dan mi instan
berserakan di lantai tanah. Selembar sajadah usang terhampar lesu. Sebuah kalender bergambar
wanita berbikini tergantung miring. Walaupun sekarang sudah bulan Mei tak ada yang berminat
menyobek kalender bulan Maret, karena gambar wanita bulan Maret paling hot dibanding bulan
Pria yang kemarin menyapaku, yang menyetir tronton itu, salah satu dari puluhan sopir truk yang
tinggal di bedeng ini, duduk di atas dipan, dekat tungku, berhadap-hadapan denganku. la kotor,
miskin, hidup membujang, dan kurang gizi, ia adalah Lintang.
Aku tak berkata apa-apa. Terlihat jelas ia kelelahan melawan nasib. Lengannya kaku seperti besi
karena kerja rodi tapi tubuhnya kurus dan ringkih. Binar mata kepintaran dan senyum manis yang
jenaka itu tak pernah hilang walaupun sekarang kulitnya kering berkilat dimakan minyak.
Rambutnya semakin merah awut-awutan. Lin- tang dan keseluruhan bangunan ini menimbulkan
rasa iba, iba karena kecerdasan yang sia-sia terbuang.
Aku masih diam. Dadaku sesak. Bedeng ini ber-diri di atas tanah semacam semenanjung, daratan
yang menjorok ke laut. Aku mendengar suara ... Bum ...! Bum ...! Bum ...! Aku melihat ke luar
jendela sebelah kananku. Sebuah tug-boat* penarik tongkang meluncur pelan di samping bedeng.
Suara motor tempel yang nendang menggetarkan tiang-tiang bedeng dan asap hitam mengepul
tebal. Gelombang halus yang ditimbulkan tugboat tersebut memecah tepian yang berkilat seperti
permukaan kaca berwarna-warni karena digenangi minyak.
Kupandangi terus tugboat yang melaju dan sekejap aku merasa tugboat itu tak bergerak tapi justru
aku dan bedeng itu yang meluncur. Lintang yang dari tadi mengamatiku membaca pikiranku.
\"Einstein's simultaneous relativity...,\" katanya memulai pembicaraan. Ia tersenyum getir.
Kerinduannya pada bangku sekolah tentu membuatnya perih.
Aku juga tersenyum. Aku mengerti ia tidak mengalami apa yang secara imajiner baru saja aku
alami. Dua orang melihat objek yang sama dari dua sudut pandang yang berbeda maka pasti mereka
memiliki persepsi yang berbeda. Oleh karena itu, Lintang menyebutnya simultan. Sebuah konteks
yang relevan dengan perspektifku melihat hidup kami berdua sekarang.
Tak lama kemudian aku mendengar lagi suara
bum! Bum! Bum! Kali ini sebuah tugboat yang lain meluncur pelan dari arah yang berlawanan
dengan arah tugboat yang pertama tadi. Buritan tugboat yang pertama belum habis melewatiku
maka aku menoleh ke kiri dan ke kanan membandingkan panjang ke dua tugboat yang melewatiku
secara berlawanan arah.
Lintang mengobservasi perilakuku. Aku tahu ia kembali membaca isi kepalaku, keahliannya yang
selalu mem-buatku tercengang.
\"Paradoks ...,\" kataku.
\"Relatif...,\" kata Lintang tersenyum.
Aku menyebut paradoks karena ukuran yang kuper-kirakan sebagai subjek yang diam akan
berbeda dengan ukuran orang lain yang ada di tugboat meskipun untuk tugboat yang sama.
\"Bukan, bukan paradoks, tapi relatif,\" sanggah Lintang.
\"Ukuran objek bergerak dilihat oleh subjek yang diam dan bergerak membuktikan hipotesis bahwa
waktu dan jarak tidaklah mutlak tapi sebaliknya relatif. Einstein membantah Newton dengan pendapat itu dan itulah aksi oma pertama teori relativitas yang melambungkan Einstein.\"
Ugghh, Lintang! Sejak kecil aku tak pernah punya kesempatan sedikit pun untuk berhenti
mengagumi tokoh di depanku ini. Man tan kawanku sebangku yang sekarang menjadi penghuni
sebuah bedeng kuli ternyata masih sharp1. Walaupun bola mata jenakanya telah menjadi kusam
seperti kelereng diamplas namun intuisi kecerdasannya
tetap tajam seperti alap-alap mengintai anak ayam. Aku beruntung sempat bertemu dengan
beberapa orang yang sangat genius tapi aku tahu Lintang memiliki bakat genius yang jauh melebihi
Aku termenung lalu menatapnya dalam-dalam. Aku merasa amat sedih. Pikiranku melayang
membayangkan dia memakai celana panjang putih dan rompi pas badan dari bahan rajutan
poliester, melapisi kemeja lengan panjang berwarna biru laut, naik mimbar, membawakan sebuah
makalah di sebuah forum ilmiah yang terhormat. Makalah itu tentang terobosannya di bidang
biologi maritim, fisika nuklir, atau energi alternatif.
Mungkin ia lebih berhak hilir mudik keluar ne-geri, mendapat beasiswa bergengsi, dibanding
begitu banyak mereka yang mengaku dirinya intelektual tapi tak lebih dari ilmuwan tanggung tanpa
kontribusi apa pun selain tugas akhir dan nilai-nilai ujian untuk dirinya sendiri. Aku ingin membaca
namanya di bawah sebuah artikel dalam jurnal ilmiah. Aku ingin mengatakan pada setiap orang
bahwa Lintang, satu-satunya ahli genetika di Indonesia, orang yang telah menguasai operasi pohon
Pascal sejak kelas satu SMP, orang yang memahami filosofi diferensial dan integral sejak usia
demikian muda, adalah murid perguruan Muham-madiyah, temanku sebangku.
Namun, hari ini Lintang ternyata hanya seor-ang laki-laki kurus yang duduk bersimpuh menunggu
giliran kerja rodi. Aku teringat lima belas tahun yang
lalu ia memejamkan matanya tak lebih dari tujuh detik untuk menjawab soal matematika yang rumit
atau untuk meneriakkan Joan d'Arch! Merajai lomba kecerdasan, melejitkan kepercayaan diri kami.
Kini ia terpojok di bedeng ini, tampak tak yakin akan masa depannya sendiri. Aku sering beranganangan ia mendapat kesempatan menjadi orang Melayu pertama yang menjadi matematikawan. Tapi
angan-angan itu menguap, karena di sini, di dalam bendeng tak berpintu inilah Isaac Newtonku
\"Jangan sedih Ikal, paling tidak aku telah memenuhi harapan ayahku agar tak jadi nelayan ....\"
Dan kata-kata itu semakin menghancurkan hatiku, maka sekarang aku marah, aku kecewa pada
kenyataan be-gitu banyak anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi. Aku
mengutuki orang-orang bodoh sok pintar yang menyombongkan diri, dan anak-anak orang kaya
yang menyia-nyiakan kesempatan pendidikan.
ALASAN orang menerima profesi tertentu kadang-kadang sangat luar biasa.Adaorang yang senang
menjadi kondektur karena hobinya jalan-jalan kelilingkota, ada yang gembira memandikan gajah di
kebun binatang karena hobinya main air, dan ada yang selalu meminta tugas ke luarkotaagar dapat
sekian lama meninggalkan istrinya. Tapi tak ada yang senang menyortirsuratuntuk alasan apa pun.
Oleh karena itu, ketika 10 karungsuratditumpahkan di depanku untuk disortir sedangkan tambahan
tenaga yang kuminta berulang-ulang tak terpenuhi, aku langsung hengkang meninggalkan meja
sortir itu, tak pernah kembali.
Sebagian orang menduduki profesinya sekarang sesuai cita-citanya, sebagian besar tak pernah
sama sekali menduga bahwa ia akan menjadi seperti apa adanya sekarang, dan sebagian kecil
memilih profesi karena pertemuan dengan seseorang.
Pertemuan dengan seseorang sering menjadi sebuah titik balik nasib. Jika tak percaya, tanyakan itu
pada Mahar, Flo, dan seluruh anggota Societeit de Limpai. Pertemuan dengan Tuk Bayan Tula dan
pesan beliau yang berbunyi: \"Jika ingin lulus ujian, buka buku, belajar!\" Ternyata menjadi kata-kata
keramat yang mampu memutar haluan hidup mereka.
Pada hari Sabtu, sehari sesudah Mahar mem-baca pesan Tuk, kami berdesak-desakkan di jendela
kelas menyaksikan Flo dan Mahar menemui Bu Mus di bawah pohon filicium. Ketiga orang itu
berdiri mematung dan tak banyak bicara. Lalu tampak kedua anak berandal itu bergantian mencium tangan Bu Mus, guru kami yang bersahaja. Per-seteruan lama telah berakhir dengan damai.
Keesokan harinya Mahar membubarkan Societeit de Limpai, dan esoknya lagi, pada Senin pagi
yang biasa saja, kami menerima kejutan yang luar biasa, mengagetkan, dan
amat mengharukan, Flo datang ke sekolah mengenakan jilbab.
Mahar dan Flo berhasil lulus ujian caturwulan terakhir. Flo telah berubah total. la dulu seorang
wanita yang berusaha melawan kodratnya namun akhirnya ia menjadi wanita sejati. Momentum
dalam hidupnya jelas terjadi karena pertemuan dengan seseorang. Seseorang itu ada dua, yaitu
Mahar dan Tuk Bayan Tula. Kejadian itu telah memutarbalikkan hidupnya. Flo menempuh
perguruan tinggi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Univer-sitas Sriwijaya. Setelah
lulus, ia menjadi guru TK di Tanjong Pandan dan bercita-cita membangun gerakan wanita
Muhammadiyah. Ia menikah dengan seorang petugas teller bank BRI mantan anggota Societeit, dan
keinginan lama Flo untuk menjadi laki-laki dibayar Allah dengan memberinya dua kali persalinan
yang melahirkan empat anak laki-laki yang tampan luar biasa dalam jarak hanya setahun. Dua kali
Pesan Tuk Bayan Tula telah memberi pence-rahan bagi para anggota Societeit, bahwa tak ada yang
dapat dicapai di dunia ini tanpa usaha yang rasional. Sebuah pencerahan terang benderang yang
datang justru dari seorang tokoh dunia gelap, manusia separuh peri, bahkan banyak yang
menganggapnya manusia separuh iblis.
Paraanggota Societeit adalah orang-orang biasa, miskin, dan kebanyakan, namun mereka kaya raya
akan pengalaman batin dan petualangan penuh mara bahaya untuk mencari kebenaran hakiki.
Mereka memastikan setiap kesangsian, membuktikan prasangka dan mitos-mitos, serta menga-lami
sendiri apa yang hanya bisa diduga-duga orang. Mereka memuaskan sifat dasar keingin tahuan
manusia sampai batas akhir yang menguji keyakinan. Mereka adalah orang-orang yang menjemput
hidayah dan tidak duduk termangu-mangu menunggunya. Kini mereka menjadi orang-orang Islam
yang taat yang menjauhkan diri dari syirik. Di bawah pemimpin baru, pemain organ tunggal itu,
mereka mem-bentuk perkumpulan yang aktif melakukan dakwah dan mengislamkan komunitaskomunitas terasing di pulau-pulau terpencil di perairan Bangka Belitong. Mereka laksana manusiamanusia baru yang dilahirkan dari kegelapan dan kini berjalan tegak di ladang ijtihad di bawah
siraman air Danau Kautsar yang membersihkan hati.
Tuk Bayan Tula sendiri tak ada kabar berita-nya. Anggota Societeit adalah manusia terakhir yang
melihat beliau masih hidup. Dalam kaar (peta laut) terakhir perairan Belitong yang dipetakan oleh
TNI AL, Pulau Lanun sudah tak tampak. Di perairan ini sering sekali pulau-pulau kecil timbul dan
tenggelam karena badai atau ketidakstabilan permukaan air laut. Adapun pensiunan syah bandar
yang dulu mengumandangkan azan ketika anggota Societeit hampir tewas dilamun badai sekarang
menjadi muazin tetap di Masjid Al-Hikmah
Nasib, usaha, dan takdir bagaikan tiga bukit biru samar-samar yang memeluk manusia dalam lena.
Mereka yang gagal tak jarang menyalahkan aturan main Tuhan. Jika me-reka miskin mereka
mengatakan bahwa Tuhan, melalui takdir-Nya, memang mengharuskan mereka miskin.
Bukit-bukit itu membentuk konspirasi rahasia masa depan dan definisi yang sulit dipahami
sebagian orang. Seseorang yang lelah berusaha menunggu takdir akan mengubah nasibnya.
Sebaliknya, seseorang yang enggan mem-banting tulang menerima saja nasibnya yang menurutnya
tak 'kanberubah karena semua telah ditakdirkan. Inilah lingkaran iblis yang umumnya melanda para
pemalas. Tapi yang pasti pengalaman selalu menunjukkan bahwa hidup dengan usaha adalah mata
yang ditutup untuk memilih buah-buahan dalam keranjang. Buah apa pun yang didapat kita tetap
mendapat buah. Sedangkan hidup tanpa usaha ada-lah mata yang ditutup untuk mencari kucing
hitam di dakan kamar gelap dan kucingnya tidak ada. Mahar memiliki bukti untuk hipotesis ini.
la hanya berijazah SMA. Nasibnya seperti Lintang. Mereka adalah dua orang genius yang
kemampuannya dinisbikan secara paksa oleh tuntutan tanggung jawab pada keluarga. Mahar tak
bisa meninggalkan rumah untuk berkiprah di lingkungan yang lebih mendukung bakatnya sejak
ibunya sakit-sakitan karena tua. Sebagai anak tunggal ia harus merawat ibunya siang malam karena
ayahnya telah meninggal.
Mahar pernah menganggur dan setiap hari, tanpa berusaha, menunggu takdir menyapanya. Ia
mengharapkan su-rat panggilan dari Pemda untuk tenaga honorer. Ketika itu ia berpikir kalau takdir
menginginkannya menjadi se-orang guru kesenian maka ia tak perlu melamar. Ternyata cara
berpikir seperti itu tak berhasil.
Maka ia mulai berusaha menulis artikel-artikel kebudayaan Melayu. Artikelnya menarik bagi para
petinggi lalu ia dipercaya membuat dokumentasi permainan anak tradisional. Dokumentasi itu berkembang ke bidang-bidang lain seperti kesenian dan bahasa yang membuka kesem-patan riset
kebu-dayaan yang luas dan memungkinkannya menulis beberapa buku
Jika dulu ia tak menulis artikel maka ia tak 'kanpernah menulis buku. Melalui buku-buku itu ia
tertakdirkan menjadi seorang narasumber budaya. One thing leads to another. Dalam kasus Mahar
nasib adalah setiap deretan titik-titik yang dilalui sebagai akibat dari setiap gerakan-gerakan
konsisten usahanya dan takdir adalah ujung titik-titik itu. Sekarang Mahar sibuk mengajar dan
mengor-ganisasi berbagai kegiatan budaya.
Tentu saja pekerjaan-pekerjaan itu tak mampu menyokong nafkah ia dan ibunya maka honor kecil
tapi rutin juga Mahar peroleh dari orang pesisir yang
meminta bantuannya melatih beruk memetik buah kelapa. la sangat ahli dalam bidang ini. Dalam
tiga minggu seekor beruk sudah bisa mengguncang-guncang kelapa untuk membedakan mana
kelapa yang harus dipetik.
Lain pula cerita Syahdan. Syahdan yang kecil, santun, dan lemah lembut agaknya memang
ditakdirkan untuk menjadi pecundang yang selalu menerima perintah. Jika kami membentuk tim ia
pasti menjadi orang yang paling tak penting. Ia adalah seksi repot, tempat penitipan barang,
pengurus konsumsi, pembersih, tukang angkat-angkat, dan jika makan paling belakangan. Ia adalah
kambing hitam tempat tumpahan semua kesalahan, dia tak pernah sekalipun dimintai pertimbangan
jika Laskar Pelangi mengambil keputusan, lalu dalam lomba apa pun dia selalu kalah. Lebih dari itu
ia sangat menyebalkan karena sangat gagap teknologi. Ia sama sekali tak bisa diandalkan untuk halhal berbau teknik, bahkan hanya untuk membetulkan rantai sepeda yang lepas saja ia sering tak
becus. Cita-citanya untuk menjadi aktor sangat tidak realistis, maka kami tak pernah berhenti
menyadarkannya dari mimpi itu, bahkan bertubi-tubi mencemoohnya. Namun tak disangka di balik
kelembutannya ternyata Syahdan adalah seorang pejuang. Semangat juangnya sekeras batu satam.
Setelah SMA ia berangkat keJakarta. Dengan map di ketiaknya ia melamar untuk menjadi aktor dari
satu rumah produksi ke rumah produksi lainnya, hanya bermodalkan satu hal: keinginan! Itu saja.
Aneh, setelah lebih dari setahun akhirnya ia benar-benar menjadi aktor!
Sayangnya sampai hampir tiga tahun berikut-nya ia masih saja seorang aktor figuran. Lalu ia bosan
berperan sebagai figuran makhluk-makhluk aneh: tuyul, setan, dan jin-jin kecil karena tubuhnya
yang mini dan berkulit gelap. Ia juga bosan menjadi pesuruh ini itu di sebuah grup sandiwara
tradisional kecil yang sering manggung di pinggiranJakarta. Tugas ini itu-nya itu antara lain
memikul genset dan mencuci layar panggung yang sangat besar. Lebih dari semua itu, menjadi
figuran dan pesuruh ternyata tak mampu menghidupinya. Di tengah kemelaratannya Syahdan
yangmalangiseng-iseng kursus komputer dan di tengah perjuangan mendapatkan kursus itu ia nyaris
menggelandang diJakarta.
Di luar dugaan, orang lain umumnya menge-tahui bakatnya ketika masih belia tapi Syahdan baru
tahu kalau ia berbakat mengutak-atik program komputer justru ketika sudah dewasa. Dengan cepat
ia menguasai berbagai bahasa pemrograman dan dalam waktu singkat ia sudah menjadi net-work
designer. Tahun berikutnya sangat mengejutkan. Ia mendapat beasiswa short course di bidang
computer net-work di Kyoto University, Jepang. Disanaia berhasil men-capai kualifikasi
keahliannya dan menjadi salah satu dari segelintir orangIndonesiayang memiliki sertifikat Sisco
Expert Network. Ia kembali ke Indonesia dan dua tahun kemudian Syahdan, pria liliput putra orang
Melayu, nelayan, jebolan sekolah gudang kopra Muhammadiyah telah menduduki posisi sebagai
Information Technology Manager di sebuah perusahaan multinasional terkemuka yang berkantor
pusat di Tangerang. Dari sudut pandang material Syahdan adalah anggota Laskar Pelangi yang
paling sukses. la yang dulu selalu menjadi penerima perintah, tukang angkat-angkat, dan tak becus
terhadap sesuatu yang berbau teknik, kini memimpin divisi inovasi teknologi dengan ratusan anak
Namun Syahdan tak pernah menyerah pada cita-citanya untuk menjadi aktor sungguhan. Suatu hari
ia meneleponku tanpa salam pembukaan dan tanpa basa-basi penutupan. Ia hanya mengatakan ini
dan tanpa sempat aku berkata apa-apa ia langsung menutup teleponnya.
\"Kau dengar ini Ikal, aku ingin menjadi aktor!!11Syahdan tak pernah melepaskan mimpinya
ka-rena ia adalah seorang pejuang.
DAN inilah yang paling menyedihkan dari seluruh kisah ini. Karena tak selembar pun daun jatuh
tanpa sepengetahuan Tuhan maka tak absurd untuk menyamakan PN Timah dengan The Tower of
Babel di Babylonia. Sebuah analogi yang pas karena setelah membentuk provinsi baru kawasan itu
juga disebutBabel: Bangka Belitung.
Pada tahun 1987 harga timah dunia merosot dari 16.000 USD/metriks ton menjadi hanya 5.000
USD/metriks ton dan dalam sekejap PN Timah lumpuh. Seluruh fasilitas produksi tutup, puluhan
ribu karyawan terkena PHK.
Ketika berada di puncak komidi putar dulu, barangkali itu sebuah kemunafikan, seperti
halnyaBabylonia, sebab Tuhan menghukum keduanya dengan kehancuran berkeping-keping yang
meng-hinakan. Ternyata untuk musnah tak harus termaktub dalam Talmud. Tak ada firasat
sebelum-nya, Perusahaan Gulliver yang telah berjaya ratusan tahun itu mendadak lumpuh hanya
dalam hitungan malam. Maka Babel adalah inskripsi,
sebuah prasasti peringatan bahwa Tuhan telah menghancurkan dekadensi diBabyloniaseperti
Tuhan menghancurkan kecongkakan di Belitong. Segera setelah harga timah dunia turun, keadaan
diperparah oleh ditemukannya sumber suplai lain di beberapa negara, PN Timah pun megap-megap.
Orang Islam tidak diperbolehkan memercayai ramalan namun ingin rasanya mengenang mimpi
Mahar bertahun-tahun yang lalu di gua gambar tentang kehancuran sebuah kekuatan besar di
Belitong. Hari ini mimpi meracau itu terbukti.
Pemerintah pusat yang rutin menerima royalti dan deviden miliaran rupiah tiba-tiba seperti tak
pernah mengenal pulau kecil itu. Mereka mema-lingkan muka ketika rakyat Belitong menjerit
menuntut ketidakadilan kompensasi atas PHK massal. Habis manis sepah dibuang. Jargon persatuan
dan kesatuan menjadi sepi ketika ayam petelur telah menjadi mandul. Pulau Belitong yang dulu biru
berkilauan laksana jutaan ubur-ubur Ctenopore redup laksana kapal hantu yang terapung-apung tak
tentu arah, gelap, dan sendirian.
Dalam waktu singkat Gedong berada dalam status quo. Warga pribumi yang menahankan sakit hati
karena kesenjangan selama puluhan tahun, dan yang agak sedikit picik, menyerbu Gedong. Para
Polsus kocar-kacir ketika warga menjarah rumah-rumah Victoria mewah di kawasan prestisus tak
bertuan itu. Laksana kaum proletar membalas kesemena-menaan borjuis, mereka merubuhkan
dinding, menariki genteng, menangkapi angsa dan ayam kalkun, men-cabuti pagar, mencuri daun
pintu dan jendela, mencongkel kusen, memecahkan setiap kaca, mengungkit tegel, dan membawa
Tanda-tanda peringatan \"DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK\"
diturunkan dan dibawa pulang untuk dijadikan koleksi seperti cinderamata pecahan batu
tembokBerlin. Sebagian penjarah yang marah duduk sebentar di sofa besar chesterfield dan makan
di meja terracotta yang mahal, berpura-pura menjadi orang staf sebelum mereka beramai-ramai
Rumah-rumahVictoriadi kawasan Gedong, negeri dongeng tempat puri dan Cinderella bersukaria
langsung berubah menjadi Bukit Carphatian tempat kastil keluarga Dracula. Jika malam kawasan
itu gelap gulita. Pohon-pohon beringin tak lagi imut tapi kini menunjukkan karakter asli-nya
sebagai pohon tempat kaum jin rajin beranak pinak. Daunnya yang rindang memayungi jalan raya
seakan siap memangsa siapa pun yang melintas di bawahnya. Danau-danau buatan ber-ubah
menjadi habitat biawak dan tiang-tiang utama dari bangunan yang telah dijarah tampak seumpama
bangkai binatang besar atau tombak-tombak perang bangsa Troya yang panjang dan di puncak-nya
ditancapkan kepala-kepala manusia. Sekolah-sekolah PN bubar, berubah menjadi bangunan kosong
yang termangu-mangu sebagai jejak feodalisme. Kini sekolah-sekolah itu lebih cocok
menjadi lokasi shooting acava misteri. Ratusan siswa PN yang masih aktif dilungsurkan ke
sekolah-sekolah negeri atau sekolah kampung.
Rumah Kepala Wilayah Produksi PN yang berdiri amat megah seperti istana di Manggar, puncak
Bukit Samak dengan pemandangan spektakuler laut lepas dan sebuah generator listrik terbesar
seAsia Tenggara dijarah sehingga rata dengan tanah. Rumah Sakit PN yang hebat juga tak luput
dari anarkisme. Obat-obatan dihamburkan ke jalan, kursi dan meja roda dibawa pulang atau
dihancurkan. Sepintas aku masih mencium amis darah di atas brankar dan bau cairan kompres yang
tergenang dalam piring piala ginjal*, suatu bau busuk kekayaan yang dikumpulkan dalam pundipundi ketidakadilan tanpa belas kasihan pada rakyat kecil.
Bentangan kawat telepon digulung. Kabel lis-trik yang masih dialiri tegangan tinggi dikampak
sehingga menimbulkan bunga api seperti asteroid menabrak atmosfer. Kapal keruk digergaji
menjadi besi kiloan. Sebuah dinasti yang kukuh dan congkak hancur berantakan menjadi remahremah hanya dalam hitungan malam, seiring dengan itu, reduplah seluruh metafora yang mewakili
kedigdayaan sebuah perusahaan yang telah membuat Belitong dijuluki Pulau Timah.
Yang terpukul knock out tentu saja orang-orang staf. Tidak hanya karena secara mendadak
kehilangan jabatan dan hancur citranya tapi sekian lama mapan dalam mentalitas feodalistik terorganisasi yang inheren tiba-tiba menjadi miskin tanpa pelindungan sistem. Karakter terbunuh
secara besar-besaran. Verloop ke wisma-wisma timah yang mewah diJakartaatauBandungdua kali
setahun sekarang harus diganti dengan mencang-kul, memanjat, memancing, menjerat, menggali,
mendulang, atau menyelam untuk menghidupi keluarga. Anakronistis mungkin, sebab mereka
kembali hidup bersahaja seperti zaman antediluvium ketika orang Melayu masih menyembah bulan.
Karena tak terbiasa susah dan ditambah de-ngan anak-anak yang tak mau berkompromi dalam
menurunkan standar hidup sementara mereka tengah kuliah di universitas-universitas swasta mahal
membuat orang-orang staf stres berke-panjangan. Tak jarang masalah mereka berakhir dengan
stroke, operasi jantung, mati mendadak, drop out massal, dan lilitan utang. Mereka seperti orang
tersedak sendok perak. Yang tak mampu menerima kenyataan dan hidup menipu diri sendiri didera
post power syndrome, biasanya tak bertahan lama dan segera check in di Zaal Batu. Komidi
berputar berbalik arah dalam kecepatan tinggi, penumpangnya pun terjungkal.
Kehancuran PN Timah adalah kehancuran agen kapitalis yang membawa berkah bagi kaum yang
selama ini terpinggirkan, yakni penduduk pribumi Belitong. Blessing in disguise, berkah tersamar.
Sekarang mereka bebas menggali timah di mana pun mereka suka di tanah nenek moyangnya dan
menjualnya seperti menjual ubi jalar.
Saat ini diperkirakan tak kurang dari 9.000 orang bekerja mendulang timah di Belitong. Mereka
menggali tanah dengan sekop dan mendulang tanah itu dengan kedua tangannya untuk memisahkan
bijih-bijih timah. Mereka bekerja dengan pakaian seperti tarzan namun menghasilkan 15.000 ton
timah per tahun. Jumlah itu lebih tinggi dari produksi PN Timah dengan 16 buah kapal keruk,
tambang-tambang besar, dan open pit mining, serta dukungan miliaran dolar aset. Satu lagi bukti
kegagalan metanarasi kapitalisme.
Ekonomi Belitong yang sempat lumpuh pelan-pelan menggeliat, berputar lagi karena aktivitas para
pendulang. Suatu profesi yang dulu dihukum sangat keras seperti pelaku subversi.
Tahun 1991 perguruan Muhammadiyah ditutup. Namun perintis jalan terang yang gagah berani ini
meninggalkan semangat pendidikan Islam yang tak pernah mati. Sekarang Belitong telah memiliki
dua buah pesantren. Pembangunan pesantren ini adalah harapan para tokoh Muhammadiyah sejak
lama. Generasi baru para legenda K.H. Achmad Dahlan, Zubair, K.A. Abdul Hamid, Ibrahim bin
Zaidin, dan K.A. Harfan Effendi Noor lahir silih berganti. Suatu hari nanti akan ada yang
mengisahkan hidup mereka laksana sebuah epik.
Tak dapat dikatakan bahwa seluruh alumni sekolah Muhammadiyah Belitong telah menjadi
orang yang suksesapalagi secara materialnamun para mantan pengajar sekolah itu patut bangga
bahwa mereka telah mewariskan semacam rasa bersalah bagi mantan muridnya jika mencoba-coba
berdekatan dengan khianat terhadap amanah, jika mempertimbangkan dirinya merupakan bagian
dari sebuah gerombolan atau rencana yang melawan hukum, dan jika membelakangi ayat-ayat
Allah. Itulah panggilan tak sadar yang membimbing lurus jalan kami sebagai keyakinan yang
dipegang teguh karena bekal dari pendidikan dasar Islam yang tangguh di sekolah miskin itu.
Perasaan beruntungku karena didaftarkan ayahku di 5D miskin itu puluhan tahun lalu terbukti dan
masih berlaku hingga saat ini.
Fondasi budi pekerti Islam dan kemuham-madiyahan yang telah diajarkan padaku menggema
hingga kini sehingga aku tak pernah berbelok jauh dari tuntunan Islam bagaimanapun ibadahku
sering berfluktuasi dalam kisaran yang lebar. Sepanjang pengetahuanku tak ada mantan warga
Muham-madiyah yang menjadi bagian dari sebuah daftar para kriminal, khususnya koruptor. Pesan
Pak Harfan bahwa hiduplah dengan memberi sebanyak-banyaknya, bukan menerima sebanyakbanyaknya terefleksi pada kehidupan puluh-an mantan siswa Muhammadiyah yang kukenal dekat
secara pribadi. Mereka adalah tipikal orang yang sederhana namun bahagia dalam kesederhanaan
Pak Harfan dan mantan pengajar perguruan Muhammadiyah hingga kini tak pernah berhenti
mendengungkan syiar Islam. Mereka bangga memikul takdir sebagai pembela agama. Bu Mus dan
guru-guru muda Muhammadiyah mendapat kesem-patan dari Depdikbud untuk mengikuti kursus
Pendidikan Guru (KPG) lalu diangkat menjadi PNS. Bu Mus sekarang mengajar Matematika di SD
Negeri 6 Belitong Timur. Beliau telah menjadi guru selama 34 tahun dan mengaku tak pernah lagi
menemukan murid-murid spektakuler seperti Lintang, Flo, dan Mahar.
AKUbangga duduk di sini di antara para panelis, yaitu para budayawan Melayu yang selalu
menimbulkan rasa iri. Sebuah benda segitiga dari plastik di depanku menyatakan eksistensiku:
Syahdan Noor Aziz Bin
Aku terutama bangga pada sahabat lamaku Mahar Ahlan bin Jumadi Ahlan bin Zubair bin Awam,
cicit langsung tokoh besar pendidikan Belitong, Zubair. la meluncurkan bukunya hari ini. Sebuah
novel tentang persahabatan yang sangat indah. Ketika ia memintaku menjadi panelis, aku langsung
setuju. Aku mengambil cuti di antara kesibukanku diBandungsekaligus pulang kampung ke
Di antara hadirin ada Nur Zaman dan guruku, Bu Mus serta Pak Harfan.Adapula Kucai, sekarang
ia adalah Drs. Mukharam Kucai Khairani, MBA dan selalu berpakaian safari. Dulu di kelas otaknya
paling lemah tapi sekarang gelar akademiknya termasuk paling tinggi di antara kami. Nasib
Kucai selalu berpakaian safari karena cita-citanya untuk menjadi anggota dewan rupanya telah
tercapai. la telah menjadi politisi walaupun hanya kelas kampung. la menjadi seorang ketua salah
satu fraksi di DPRD Belitong. Kucai sangat progresif. la bertekad menurunkan peringkat korupsi
bangsa ini dan ia geram ingin membongkar perilaku eksekutif yang sengaja membuat struktur baru
guna melegalisasi skenario besar, yaitu merampoki uang rakyat. Bersama Mahar ia juga berniat
mengem-balikan nama-nama daerah di Belitong kepada nama asli berbahasa setempat. Nama-nama
itu selama masa orde baru dengan konyol dibahasaIndonesiakan. Proyek prestisius mereka lainnya
adalah mematenkan permainan perosotan dengan pelepah pinang.
Tapi lebih dari semua itu aku rindu pada Ikal. Kasihan pria keriting yang pernah jadi tukang sortir
itu. Kelelahan mencari identitas, insomnia, dan terobsesi dengan satu cinta telah membuatnya agak
senewen. Kabarnya ia hengkang dari kantor pos lalu mendapat beasiswa untuk melanjutkan
pendidikan. Barangkali untuk tujuan sebenarnya: membuang dirinya sendiri.
Setelah acara peluncuran buku, aku, Nur Za-man, Mahar, dan Kucai mengunjungi ibu Ikal untuk
bersilaturahmi sekalian menanyakan kabar anaknya di rantau orang. Ketika bus umum yang kami
tumpangi melewati pasar Tanjong Pandan, aku melihat seorang pria yang sangat gagah seperti
seorang petinggi bank atau seperti petugas asuransi dariJakartayang sedang mengincar asuransi aset
di provinsi baruBabel.
Pria itu bercelana panjang cokelat teduh se-nada dengan warna ikat pinggangnya. Kemejanya jatuh
menarik di tubuhnya yang kurus tinggi dengan bahu bidang. Postur yang disukai para perancang
mode. Sepatu pantofelnya jelas sering disemir. Rambutnya lurus pendek disisir ke belakang.
Kulitnya putih bersih. Tak berlebihan, ia seperti Adrien Brody!
Sayangnya barang bawaannya sama sekali tak sesuai dengan penampilan gagahnya. Ia menenteng
plastik kresek be-lanjaan, ikatan daun saledri, kangkung, kardus, dan alat-alat dapur. Ia berjalan
tercepuk-cepuk mengikuti seorang ibu di depannya. Meskipun sangat repot dan kepanasan ta-pi ia
berseri-seri. Aku kenal pria ganteng itu, iaTrapani. Tahun lalu aku mendengar cerita pertemuannya
dengan Ikal di Zaal Batu. Ia mengalami kemajuan dan diizinkan pulang. Aku tak memberi tahu Nur
Zaman, Mahar, dan Kucai. Aku memandang ibu dan anak itu berjalan beriringan sampai jauh. Air
mataku mengalir. Nur Zaman, Mahar, dan Kucai tak tahu.
Aku terkenanglimabelas tahun yang lalu. Setelah tamat SMA, aku, Ikal,Trapani, dan Kucai
memutuskan untuk merantau mengadu nasib ke Jawa. Hari itu kami berjanji berangkat dengan
kapal barang dari Dermaga Olivir. Tapi sampai
soreTrapani tak datang. Karena kapal barang hanya
berangkat sebulan sekali maka terpaksa kami berangkat tanpa dia. Pada saat itu
rupanyaTrapanitelah mengambil keputusan lain. la tak datang ke dermaga karena ia tak mampu
meninggalkan ibunya. Setelah itu kami tak pernah mendengar kabarTrapani.
Sekarang kami duduk di beranda sebuah rumah panggung kuno khas Melayu, rumah ibu Ikal.
\"Bagaimana kabarnya si Ikal itu, Ibunda?\" ta-nya Mahar kepada ibu Ikal.
Ibu tua berwajah keras itu awalnya tadi sa-ngat ramah. Beliau menyatakan rindu kepada kami,
namun demi mendengar pertanyaan itu beliau menatap Mahar dengan tajam.
Mahar tersenyum kecut. Wajah ibu Ikal keli-hatan kecewa berat. Beliau diam. Tangannya
memegang sebilah pisau antip, mencengkeramnya dengan geram sehingga dua butir pinang terbelah
dua tanpa ampun. Salah satu belahan pinang jatuh berguling dan terjerumus di antara celah lantai
papan lalu diserbu ayam-ayam di bawah rumah, beliau tak sedikit pun peduli.
Si pemimpi itu pasti sudah bikin ulah lagi. Ma-har sedikit menyesal mengungkapkan pertanyaan
Ibu Ikal meramu tembakau, pinang, kapur sirih, dan gambir yang bertumpuk-tumpuk di dalam
kotak tembaga yang disebut keminangan. Lalu dua lembar daun sirih dibalutkan pada ramuan tadi
sehingga menjadi bola kecil. Beliau menggigit bola kecil itu dengan geraham di sudut mulutnya
seperti orang ingin memutuskan kawat dengan gigi, bersungut-sungut, dan bersabda dengan tegas:
\"Terakhir ia mengirimiku sepucuksuratdan diselipkannya selembar foto dalam suratnya itu.\"
Beliau meludahkan cairan merah yang terbang melalui jendela rumah panggung sambil melilitkan
jilbabnya dua kali menutupi dagunya sehingga seperti cadar. Beliau jelas sedang marah.
\"Rupanya dia dan kawan-kawannya sedang mengikuti semacam festival seni mahasiswa.
Wajahnya di foto itu di-coreng-moreng tak keruan tapi dia sebut itu seni?!!11
Kami menunduk tak berani berkomentar.
\"Menurutnya itu seni lukis wajah, ya seni lukis wajah, apa itu... gotik! Ya gotik! Dia sebut itu seni
lukis wajah gotik! Dan dia sangat bangga pada coreng-morengnya itu!\"
Beliau menghampiri kami yang duduk tertunduk melingkari meja tua batu pualam. Kami pun ciut.
\"Bukan main anak muda Melayu zaman seka-rang!!!\"
Ibu Ikal mengepalkan tinjunya, kami ketakut-an, beliau mengacung-acungkan pisau antip, kami tak
berkutik, suara beliau meninggi
\"Dia sebut itu seni??? Ha! Seni!! Barangkali dia ingin tahu pendapatku tentang seninya itu!!!\"
Beliau benar-benar muntab, murka tak terkira-kira. Untuk kedua kalinya beliau menyemburkan
cairan merah sirih melalui jendela seperti anak-anak panah yang melesat.
\"Pendapatku adalah wajahnya itu persis benar dengan wajah orang yang sama sekali tidak pernah
Demi mendengar kata-kata itu Kucai yang te-ngah memamah biak sagon tak bisa menguasai diri.
Dia berusaha keras menahan tawa tapi tak berhasil sehingga serbuk kelapa sagon terhambur ke
wajah Mahar, membuat jambul pengarang berbakat itu kacau balau. Kucai berulang kali minta maaf
pada ibu Ikal, bukan pada Mahar, tapi wajahnya meng-angguk-angguk takzim menghadap ke Nur
Dul Muluk:sandiwara orang Melayu, dipentaskan seperti ketoprak tapi pakemnya berbabak-babak,
dalam Dul Muluk tak ada unsur musik sebagai bagian dari dramatisasi sandiwara. Temanya selalu
tentang sesuatu yang berhubungan dengan kerajaan. Dul Muluk disebut Demulok dalam dialek
Belitong atau sekadar Mulok saja.
Filicium (Filicium decipiens; fern tree;pohon kere/kiara/kerai payung; Ki Sabun): pohon yang
termasuk familia Sapindaceae, disebut Ki Sabun karena seluruh bagian tubuhnya mengandung
saponin atau zat kimia yang menjadi salah satu bahan dasar sabun. Pohon peneduh ini termasuk
salah satu jenis pohon yang dapat mengurangi polusi udara sampai 67%.
Keramba:keranjang atau kotak dari bilah bambu untuk membudidayakan ikan yang diletakkan di
pinggir pantai, sungai, danau, atau bendungan; atau keranjang untuk mengangkut ikan,
bentuknya lonjong, terbuat dari anyaman bambu dengan kerangka kayu, biasanya berlapis ter
Kopra:daging buah kelapa yang dikeringkan untuk membuat minyak kelapa.
Tercepuk-cepuk: istilah daerah untuk menggam-barkan cara jalan yang terpincang-pincang/
Antediluvium:masa sebelum diluvium (zaman pleistosen).
Burungpelintangpulau: agaknya berada dalam keluarga betet dan bayan penampilannya seperti itu,
selebihnya misterius.
Bushman: suku yang hidup di dataran bersemak-semak dan belukar di sabana-sabana Afrika (push
dalam bahasa Inggris berarti semak/belukar). Nama
itu didapat dari antropolog Prancis. Suku ini terangkat pamornya karena film God Must be
Crazy, wajah dan sifat mereka polos dan lugu.
Cemara angin:salah satu jenis cemara (Casuarina eqnisetifolia)
yang penampakannya sangat seram, tinggi meranggas, sekeras batu. Entah menanggung karma apa
jenis cemara ini karena sering sekali disambar petir, tapi mungkin karena ada unsur medan magnet
di dalamnya. Daunnya jika ditiup angin kadang-kadang berbunyi seperti siulan, mungkin ini yang
menyebabkan orang menamainya cemara angin.
Crinum giganteum: jenis crinum yang paling besar (kata giganteum berasal dari kata gigantic
yang berarti raksasa). Umumnya setiap bunga crinum mengeluarkan aroma seperti aroma vanili.
Di dunia terdapat tidak kurang dari 180 jenis crinum,
banyak ahli yang menganggap ia masuk dalam familia lily, lebih tepatnya
parennial lily, karena warnanya yang putih dan bentuknya yang mirip
bunga tersebut. Tapi ada juga ahli yang tidak sependapat, karena jika dilihat dari jenis crinum
raw a (swamp crinum atau Crinum asiaticum) yang beracun, penampilannya jauh benar dibanding
Ketapang (Terminalia catapa):pohon besar yang berdaun lebar dan buahnya bertempurung keras.
Kulit buahnya dipakai untuk menyamak kulit dan bijinya dapat dibuat minyak. Pohon ini banyak
sekali tumbuh di daerah pinggir laut.
Lintang:bahasa Jawa, berarti bintang.
Nebula:sekelompok bintang di langit yang tampak sebagai kabut atau gas pijar bercahaya.
Nipah (Nipa fruticans):palem yang tumbuh merumpun dan subur di rawa-rawa daerah tropis,
menyerupai pohon sagu, tingginya mencapai 8 meter, daunnya digunakan untuk bahan atap, tikar,
keranjang, topi, dan payung. Nira dari sadapan perbungaannya digunakan untuk pembuatan gula
Pilea/bunga meriam (Pilea microphyllaatau artillery plant): tanaman ini berbentuk menyerupai
pakis, dengan daun-daun hijau yang mungil. Daunnya mengandung tepung sari yang pada musim
kemarau akan menebal dan jika terkena percikan air, tepung sari tersebut akan terlontar, atau seperti
meledak sehingga disebut bunga meriam.
Atap sirap:Atap yang dibuat dari kayu ulin (Eusideroxy/on zwageri), sebagian orang menye-butnya
kayu besi atau kayu belian. Ulin sirap secara alamiah berupa pohon yang batangnya seperti
berlapis-lapis sehingga begitu dibelah langsung rata menyerupai tripleks atau papan tipis. Langkah
selanjutnya tinggal memotong-motong ulin sirap sesuai dengan ukuran yang dikehendaki dan siap
digunakan untuk atap rumah. Kayu ulin sirap yang berusia tua sudah semakin sulit diperoleh karena
penebangan hutan yang tidak terkendali. Sekarang ini penggunaan atap sirap sudah semakin langka,
namun masih bisa dilihat misalnya gedung asli ITB di Bandung.
Tionghoa kebun:sebuah julukan di masyarakat Melayu untuk orang-orang Tionghoa yang tidak
berdagang seperti kebanyakan profesi komunitas-nya, melainkan berkebun untuk mencari nafkah.
Kebanyakan kehidupannya kurang beruntung diban-dingkan saudara-saudaranya yang berdagang,
sehingga julukan Tionghoa kebun identik dengan kemiskinan.
Lais (Tandarus furcatus):tanaman semacam pandan tapi berduri, anyaman daunnya digunakan
untuk membuat topi kerucut, karung, dan tas.
Aichang:dahan-dahan, ranting, dan dedaunan yang digunakan untuk menyumbat sela-sela kiaw
agar aliran air tidak bocor.
Aluvium:lempung, pasir halus, pasir, kerikil, atau butiran lain yang terendapkan oleh air mengalir;
zaman geologi yang paling muda dari zaman kuarter atau zaman geologi yang sekarang.
Bangsa Lemuria:seperti Pompeii yang dilanda bencana terus punah, Lemuria dianggap bangsa
berbudaya tinggi yang ada di wilayah Samudra Pasifik. Hilang secara misterius dan sebagian
arkeolog menganggap Lemuria hanya mitos.
Galena:mineral yang terdiri atas unsur plumbum (Pb) dan sulfur (S), berbentuk seperti bijih timah,
Granit:batuan keras yang berwarna keputih-putihan dan berkilauan.
Hematit:bijih besi yang berwarna merah kehitaman; Fe203
Ilmenit:mineral yang bentuknya persis bijih timah, yaitu berupa pasir, berwarna hitam, tapi sangat
ringan, sementara bijih timah amat berat. Berat segenggam timah seperti segenggam besi,
sedangkan segenggam ilmenit lebih ringan daripada segenggam pasir, sehingga ilmenit disebut juga
timah kosong. Ilmenit banyak sekali berada di lapisan aluvium yang dangkal. Sekian lama tak
dipedulikan karena dianggap tak berharga sampai seorang ilmuwan Australia menemukan bahwa
ilmenit merupakan bahan yang nyaris sempurna untuk produk-produk antipanas tinggi.
Kaolin:tanah liat yang lunak, halus, dan putih, terjadi dari pelapukan batuan granit, dijadikan
bahan untuk membuat porselen atau untuk campuran membuat kain tenun (kertas, karet, obatobatan, dan sebagainya); tanah liat Cina.
Khaknai:lumpur yang akan dibuang setelah bijih-bijih timah dipisahkan dari lumpur tersebut.
Kiaw:kayu-kayu bulat sepanjang dua atau tiga meter sebesar lengan laki-laki dewasa yang
digunakan untuk membuat phok.
Knautia (widow flower):tanaman ini diyakini hanya hidup di daerah tropis, karena susah tumbuh
jika terlindung dari sinar matahari. Bunganya bertangkai kurus, kelopaknya menyerupai daun-daun
kecil dan berwarna merah menyala.
Kuarsa: mineral penyusun utama dalam pasir, batuan, dan berbagai mineral, bersifat lebih tembus
cahaya ultraungu daripada kaca biasa sehingga banyak digunakan dalam alat optik; silika.
Monazite: fosfat berwarna cokelat kemerahan,
mengandung logam bumi yang langka dan merupakan sumber penting dari
thorium, lanthanum, dan cerium. Biasanya berupa kristal-kristal kecil yang terisolasi.
Phok:tanggul air yang dibuat oleh penambang dalam instalasi penambangan timah tradisional.
Senotim:berada pada lapisan aluvium, berbentuk butir-butir pasir berwarna kekuning-kuningan
dengan kandungan utama fosfat, thorium, dan yttrium. Mineral ini juga mengandung unsur
radioaktif, namun masih bisa ditoleransi karena kadarnya sangat rendah.
Siderit:mineral besi karbonat alamiah, lazim diperoleh dari meteor.
Silika:mineral terbesar dari pasir dan batu pasir; Si02; kristal; hablur.
Tanah ulayah:tanah hutan yang diwariskan turun-temurun (sudah menjadi milik orang/adat) tapi
Titanium:logam berwarna kelabu tua dan amorf; unsur dengan nomor atom 22, berlambang Ti.
Logam ini sangat ringan dan kuat.
Topas:batu permata berwarna macam-macam (kuning, cokelat, kemerah-merahan, tidak ber-warna,
dan sebagainya); aluminium silikat dengan berbagai campuran.
Trickle down effect:teori ekonomi yang menyebutkan bahwa keuntungan finansial dan lainnya
yang diterima oleh bisnis besar secara bertahap akan menyebar menjadi keuntungan seluruh
Zirkonium:logam tanah langka, berwarna putih perak kristalin atau kelabu amorf, tahan terhadap
korosi, lambang kimia Zr.
Caesar salad:salad yang dibuat dari campuran lettuce (daun dari tanaman serupa kol yang berwarna
putih kehijauan, lebar, dan renyah), croutons (roti tawar kering berbentuk dadu), keju parmesan,
dan anchovy (semacam ikan teri yang diasinkan), dengan bumbu (dressing) berbahan dasar telur.
Namanya diambil dari Caesar Gardini, pemilik sebuah restoran di Tijuana, Meksiko, yang konon
pertama kali menemukannya.
Cappuccino:minuman yang merupakan campuran dari kopi espresso dan susu panas yang berbusa,
kadang ditaburi bubuk kayu manis atau cokelat.
Chicken cordon bleu:ayam yang diisi dengan gulungan daging asap dan keju dan digoreng dengan
Chyisis (baby orchid): anggrek ini sepintas menyerupai catteiya, tapi bunganya lebih tebal dan
berlilin. Sepal dan petalnya lebar dan luas, labelumnya berdaging tebal dan berlilin. Daunnya
tersusun seperti kipas dan berbaris di sepanjang pseudobulbnya. Spesiesspesiesnya memiliki warna yang berbeda-beda: putih-kuning, putih dengan
ujung ungu, kuning kecokelatan, kur\\\
\\g-peachdengan setrip merah di labelumnya.
Culdesac: jalan yang tertutup di salah satu ujungnya, biasanya untuk di kawasan permukiman
Mannequin Piss:nama sebuah patung yg sangat terkenal, merupakan landmark berusia ratusan
tahun yang terletak di sebuah persimpangan kecil di pusat Kota Brussel, Belgia. Legendanya,
zaman dahulu ketika terjadi sebuah kebakaran hebat warga diselamatkan oleh seorang malaikat
yang berkemih. Patung-patung kecil menyerupai Manne-quin Piss banyak diproduksi dan
digunakan sebagai hiasan di air mancur.
Nymphaea caerulea(seroja biru; tunjung biru; the blue waterlily; blue lotus; egyptian lotus; Sacred
Narcotic Lily of the Nile)', jenis lotus air berwarna biru nan cantik. Dipercaya telah digunakan oleh
bangsa Mesir kuno sebagai obat dan pelengkap ritual. Bunga yang dikeringkan terkadang diisap
seperti rokok untuk menimbulkan efek sedatif ringan.
Plum:buah kecil bulat berwarna ungu gelap kemerahan dengan kulit licin. Berasal dari pohon plum,
yang satu genus (Prunus) dengan buah persik (peach), ceri, aprikot, dan Iain-Iain. Buah plum
mengandung antioksidan, vitamin C dengan kadar
sangat tinggi, rasanya asam, berair, dan bisa dimakan segar atau dibuat selai dan prunes
PumpkindanGorgonzola soup: sup labu yang dicampur dengan Gorgonzola (keju biru Italia yang
lembap dengan rasa yang kuat).
Saga (Adenanthera microsperma):Ada dua macam saga, yaitu saga pohon dan saga rambat. Saga
pohon biasa disebut saga saja, pohonnya bisa tumbuh sangat besar seperti be-ringin dan berbuah
keras, kecil, dan berwarna merah berkilap. Tum-buhan ini termasuk suku polong-polongan
(Papilio-caceae), berdaun majemuk menyirip ganjil, bunga-nya berwarna merah.
Snooker bar:tempat bermain snooker, yaitu sebuah variasi dari permainan biliar, yang dimainkan di
atas meja berlapis kain laken yang memiliki 6 kantung berbukaan bundar (4 di tiap sudut dan 2 di
tengah sisi panjangnya). Permainan ini meng-gunakan sebuah tongkat panjang (cue), satu bola putih
(cue ball), 15 bola merah, serta 6 bola warna lainnya (merah muda, hijau, cokelat, biru, kuning, dan
hitam). Permainan ini sangat populer di Inggris dan negara-negara yang pernah menjadi bagian dari
Tainia shimadai (azalea orchid):anggrek ini memiliki sepal berwarna kuning, cokelat kehijauan,
atau cokelat. Labelumnya berwarna kuning dengan bercak-bercak merah cokelat kecil di kedua
sisinya, dengan ujung depan terbelah tiga. Tainia banyak hidup di pegunungan yang dingin dan
lem-bap. Namanya berasal dari kata Vunani, \"tainia\" yang berarti fillet, karena daunnya yang
panjang dan sempit dengan tangkai daun yang panjang.
Teh Earl Grey: teh khas Inggris yang menggunakan bergamot sebagai campuran, sehingga menghasilkan warna seduhan yang lebih muda dengan rasa yang musky. Konon nama tersebut diambil
dari Charles Grey, yaitu Earl Grey kedua (1764-1845), seorang negarawan dan mantan perdana
Vitello alia Provenzale:masakan Italia, terbuat dari daging sapi muda (umumnya berusia 18-20
bulan) yang dimasak (di-stew) dengan tomat dan bumbu-bumbu lain.
Yuka:sebutan untuk pekerjaan terendah, jika di PN Timah pekerjaan itu adalah menjahit karung
timah yang bersifat musiman dan borongan.
Entok:itik yang dipelihara sebagai pengeram yang baik, terutama untuk mengerami telur bebek
yang tidak dapat dierami induknya sendiri, suaranya berdesis; itik manila; itik surati.
Gangan:nama semacam sayuran dengan bumbu kunir, bisa dimasak bersama daging (gangan
daging) atau ikan (gangan ikan).
Ikangabus (Ophiocephalus sthatus): ikan air tawar, bentuknya seperti ikan lele, tetapi tidak
berpatil; ikan aruan.
Jadam: getah dan semacam pohon yang hanya tumbuh di Arab, dibentuk seperti kapur, dan
berwarna hitam. Bila ada yang menderita sakit, misalnya memar di tulang rusuk, maka jadam
tersebut dikikis, dicampur air, dan diminum.
Bondol peking (Lonchura punctulata; scaly -breasted Munia; Nutmeg Mannikin; Spice Finch):jenis
bondol (Munia maja: burung kecil pemakan biji yang berkepala putih, pipit uban; emprit kaji) yang
setelah dewasa akan memiliki ciri: berparuh pendek, tebal, dan gelap, berpunggung cokelat,
berkepala cokelat gelap, dengan dada berbercak putih dan hitam atau cokelat. Panjang tubuhnya
sekitar 11-12 cm. Burung muda memiliki punggung yang lebih pucat, kepala lebih terang, dan dada
yang berwarna krem kekuningan.
Bubu:alat untuk menangkap ikan yang dibuat dari saga atau bambu yang dapat dianyam, dipasang
dalam air sehingga ikan dapat masuk tapi tidak bisa keluar lagi.
Burung matahari:burung kecil, berdada kuning, dengan sayap berwarna hitam, bentuk tubuhnya
seperti kolibri, dan ia pemakan sari bunga.
Cinenen kelabu (Orthotomus sepium; Ashy Tailorbird; Olive -backed Tailorbird): burung kicau
kecil (sekitar 13 cm) berwarna kelabu, dengan campuran warna hitam pada sayapnya, merah pada
bagian kepala, dan kuning pada dada. Burung ini memiliki sayap yang pendek dan membulat, ekor
pendek yang tegak, kaki yang kuat, serta paruh yang panjang dan melengkung. Nama tailorbird
diambil dari cara mereka membangun sarang menjahit tepian beberapa daun besar menjadi satu
dengan serat tanaman atau sarang laba-laba sehingga menjadi semacam kantung tempat sarang
rumput yang sesungguhnya dibangun.
Gay am (Inocarpus edulis):pohon yang daunnya lebat dan dapat dipakai sebagai pembungkus,
biasanya tumbuh di daerah yang banyak air. Buah pohon ini enak dimakan biasanya orang Melayu
merebusnya dan menyajikannya bersama kelapa parut, asal jangan digoreng, karena buah tersebut
akan mengeras seperti batu.
Gelatik (Munia oryzivora):burung pipit, bulunya berwarna abu-abu, berparuh merah, berbadan
Jalak (Sturnupostor jala)\\burung beo kecil, bulunya hitam, kaki dan paruhnya berwarna kuning.
Jalak biasa:jalak yang berparuh hitam.
Jamur telur:jamur kecil yang tumbuh di sembarang tempat, beracun.
Kertas kajang:kertas minyak berwarna merah, biru, kuning, biasa dibuat layangan.
Madu sepah:burung kecil dengan punggung berwarna merah dan paruh lancip.
Markacite: berbentuk batangan-batangan kecil kisut berwarna abuabu. Juga mengandung plum bum dan sulfur, namun kadarnya berbeda dengan phyrite .
Ornitologi: ilrnu pengetahuan tehtang burung, termasuk deskripsi dan klasifikasi, penyebaran, dan
P a rkit (Psitacula passerina; parakeet): b u ru n g bayan kecil, berbulu cerah (biasanya bertubuh
hijau, berkepala kuning, dan bermuka oranye), berekor panjang dan lancip, berukuran sekitar 30
cm. Burung jenis ini sekarang sudah semakin langka, dulunya mereka ditembaki karena dianggap
sebagai hama di perkebunan buah.
Peneng sepeda:pajak sepeda berupa semacam perangko yang ditempelkan di sepeda.
Phyrite:Mineral yang berbentuk seperti kristal, mengandung unsur sulfur (S) dan plumbum (Pb).
Dapat memengaruhi keasaman air.
Trapeze:artinya tongkat horizontal yang terikat pada dua lajur tali yang tergantung secara paralel,
digunakan untuk sebuah nomor dalam senam indah atau dalam permainan akrobat di sirkus.
Ungkut-ungkut (Coppersmith barbet; Megalaema haema)'. burung yg agak ke hijauhijauan pada punggungnya, dada berwarna putih.
Vessel board:adalah alat sambung komunikasi model lama yang ditunggui seorang operator. Jika
ada panggilan telepon maka operator ini akan menyambungkan kawat-kawat pada sebuah papan
yang penuh lubang saluran telekomunikasi.
Wasserij: (baca: wasray), bhs. belanda, tempat pencucian. Timah wasserij adalah timah yang telah
Andromeda:nama untuk konstilasi terbesar di belahan bumi utara yang terletak persis di selatan
dari konstilasi Cassiopeia dan di utara konstilasi Perseus. Tidak ada bintang di Andromeda
melainkan tempat beradanya Galaksi Andromeda, yaitu salah satu anggota dari kelompok yang
sama dengan Galaksi Bimasakti (Milky Way) kita.
Jawi (Ficus rhododendrifoiia):pohon sejenis beringin tapi kecil yang banyak sekali akar tunjangnya
dan biasanya tumbuh di tepi telaga atau sungai.
Kumpai (Panicum stagninum):rumput (gelagah), tumbuh di paya-paya, hijau, mengambang di atas
Musim selatan:sebutan orang Melayu untuk sekitar bulan April-Mei, di saat tiupan angin lebih
tenang. Berlawanan dengan musim barat yang dingin dan berangin (di saat nama bulan berakhiran
dengan suku kata \"-ber\").
Triangulum:konstilasi kecil di belahan bumi selatan yang berada di dekat Aries dan Perseus.
Zaman Cretaceous:istilah geologi untuk menyebutkan masa setelah zaman Mesozoic
berakhir, yaitu sekitar 65 sampai 144 juta tahun yang lalu. Bumi mulai menghangat pada masa ini,
beberapa genus reptilia besar mulai punah pada akhir zaman ini, sementara jenis flora yang masih
ada sampai sekarang mulai tumbuh (seperti pohon eik dan maple).
Auriga:konstelasi berbentuk layangan di langit sebelah utara. Bintang yang terbesar dalam
konstelasi ini adalah Capella. Bintang-bintang di dalam Auriga kebanyakan merupakan bintang
biner, yaitu sepasang bintang yang berputar mengelilingi pusat massa. Auriga mencapai titik
tertingginya pada bulan Juni dan dapat terlihat dari belahan bumi utara dan sebelah utara belahan
Gurindam:sajak dua baris yang mengandung petuah atau nasihat (misalnya: baik-baik memilih
kawan, salah-salah bisa jadi lawan).
Andante:tempo musik yang agak lambat, lebih pelan daripada moderate tapi lebih cepat daripada
adagio. Berasal dari bahasa Italia yang berarti \"berjalan\". Jika ditambah dengan \"maestoso\" maka
berarti tempo tersebut harus dimainkan dengan berwibawa.
Linaria (toadflax; butter-and-eggs)\
ama genus untuk tanaman liar yang memiliki bunga
bergerombol (ada yang tegak, ada yang merayap di atas tanah) yang umumnya berwarna menyala
kuning pucat-oranye (spesies lain ada yang berwarna ungu, biru, merah, putih) dan daun-daun yang
kecil. Bunganya berbentuk tabung sempit yang terbelah di ujungnya sehingga membentuk bibir atas
(disebut hood atau kerudung/topi) dan bibir bawah yang kecil dan berwarna lain. Tanaman ini
disebut toadflax karena jika bunganya ditekan sisinya, ia akan berbentuk seperti katak (toad) yang
sedang membuka mulut.
Perenjaksayap garis (Prinia familiaris; Barwinged Prinia)'.burung kecil pemakan serangga,
berwarna kelabu, memiliki sayap pendek bergaris-garis dan ekor yang panjang lentik seperti murai
batu. Paruhnya tipis dan agak melengkung. Habitat burung ini adalah di tempat terbuka seperti
Thistle crescent (Vanessa cardui; painted lady, thistle butterfly, cosmopolite)',jenis kupu-kupu yang
mungkin pa-ling luas persebarannya dan paling banyak dijumpai di seluruh dunia. Kupu-kupu ini
hidup di daerah yang terbuka dan terkena cahaya matahari terutama taman, lapangan, dan tanah
kosong. Sayapnya berwarna oranye atau merah kecokelatan dengan bercak dan tepian hitam,
sementara permukaan bawahnya biasanya ber-warna merah muda dengan corak putih dan hitam.
Sayap belakangnya biasa-nya memiliki corak seperti mata yang berwarna biru. Kupu-kupu ini
hidup dari nektar bunga thistle (tanaman dengan batang dan daun berduri, dengan braktea bunga
yang lancip-lancip seperti duri, biasanya berwarna ungu), aster, dan red clover (sejenis semanggi).
Cymbal:alat musik berupa dua piring kuningan yang diadu.
Eureka:istilah yang digunakan untuk mengeks-presikan keberhasilan dalam menemukan sesuatu
atau memecahkan suatu masalah. Dari kata Vunani \"heurgka\" yang secara harfiah berarti \"aku telah
menemukan(nya)\", konon diucapkan oleh Archi-medes saat ia berhasil menemukan hukum berat
Paleontologi:ilmu tentang fosil (binatang dan tumbuhan).
Sekstan:alat untuk mengukur sudut astronomis yang meliputi seperenam lingkaran (60°) untuk
menentukan posisi kapal di laut).
Colias crocea (Pure clouded yellow):kupu-kupu dengan warna dasar kuning-jingga, dengan tepian
luar sayap berwarna gelap bersetrip kuning di atas pembuluh darahnya. Habitat kupu-kupu ini
adalah di stepa, lembah, dan lereng yang kering.
Colias myrmidone (Danube clouded yellow)',mirip dengan C. Crocea, juga memiliki tepian
berwarna gelap, namun tanpa pembuluh-pembuluh kuning. Habitatnya di daerah stepa dan hutanstepa dengan pepohonan yang renggang, biasanya pinus.
Papilio blumei:kupu-kupu dari jenis swallowtail (dicirikan dengan \"ekor\" di ujung bawah
sayapnya) yang berukuran cukup besar (sekitar 12 cm lebar dan 10 cm panjang). Sayapnya yang
berwarna hitam begitu kontras dengan strip biru hijau sehingga memberinya tampilan yang sangat
eksotis. Konon ditemukan di Taman Nasional Bantimurung di Maros, Sulawesi Selatan, dan diberi
nama ber-dasarkan nama panggilannya, Belu, dan bulan penemuannya, Mei.
Pohon santigi:pohon langka yang biasanya tumbuh di daerah pantai. Pohon ini bisa dibonsai seperti
beringin dan harganya mencapai jutaan rupiah. Konon termasuk pohon keramat dan kayunya
banyak dicari karena diyakini dapat menolak santet atau bisa menjadi gagang keris atau tombak
Shaman:pemimpin spiritual, seseorang yang bertindak sebagai perantara antara wilayah fisik dan
wilayah spiritual, dan yang dipercaya memiliki kekuatan tertentu seperti kemampuan meramal dan
Pinang (Areca catechu):tumbuhan berumpun, berbatang lurus seperti lilin, tangkai daun yang
melekat pada batangnya berbentuk seperti lembaran kulit, buah yang tua berwarna kuning kemerahmerahan untuk kawan makan sirih.
Pohon kepang (Aquilaria malaccensis):pohon yang kulitnya bisa dijadikan tali.
Antip kuku:istilah orang Melayu untuk menyebut alat pemotong kuku.
Burung ayam-ayam (Gallierex cinerea)'.unggas yang serupa ayam, berkaki panjang, tidak kuat
terbang, biasa hidup di tambak atau di rawa-rawa.
Petunia:tanaman terna (tumbuhan dengan batang lunak tidak berkayu atau hanya mengandung
jaringan kayu sedikit sekali sehingga pada akhir masa tumbuhnya mati sampai ke pangkalnya
tanpa ada batang yang tertinggal di atas tanah) dari famili Solanaceal, tingginya antara 16-30 cm,
batangnya lengket, bunganya berbentuk kerucut seperti corong, ada yang bermahkota tunggal dan
ada pula yang bermahkota ganda dengan warna yang bervariasi (merah, putih, kuning pucat, biru,
Pohon angsana (Pterocarpus indica):pohon yang bunganya berwarna kuning dan berbau jeruk,
kulitnya dapat dimanfaatkan sebagai obat, kayunya digunakan untuk pembuatan alat-alat rumah
tangga, bahan bangunan, kerajinan tangan, dan Iain-Iain.
Pohon medang (Cinnamomum porrectum);pohon gadis; kayu lada; madang loso; medang sahang;
kisereh; kipedes; selasihan; marawali; merang; parari; pelarah; peluwari; palio): salah satu jenis
suku Lauraceae, yang kulit dan kayunya berbau harum. Pohon ini berukuran sedang hingga besar
dengan ketinggian bisa mencapai 35-45 meter. Batang pohonnya bundar, lurus, dan umumnya tidak
berbanir (banir: akar yang menganjur ke luar menyerupai dinding penopang pohon, seperti pada
beringin). Permukaan kulit batang berwarna kelabu atau kelabu cokelat sampai krem, serta beralur
dangkal merapat dan mengelupas kecil-kecil. Bagian kulit dalam pohon ini cokelat kemerahan, dan
makin ke dalam menjadi merah muda atau putih. Pohon ini
termasuk beruntung karena banyak dilestarikan oleh pen-duduk yang memanfaatkan kulitnya
sebagai sumber nafkah (meskipun seperti juga banyak jenis pohon lain, kayu pohon medang
sebenarnya bisa digunakan untuk bahan bangunan, kayu lapis, mebel, lantai, dinding, kerangka
pintu dan jendela, dan sebagainya). Kulit kayu medang merupakan bahan baku racun nyamuk bakar
dan gaharu (hio). Sementara getah yang menempel di kulitnya bisa digunakan untuk bahan baku
lem. Pohon itu tidak akan mati meskipun berkali-kali diambil kulitnya, melainkan akan semakin
besar sehingga semakin banyak kulitnya yang bisa diambil oleh para pemburu.
Pohon meranti:termasuk jenis Shorea, kayunya keras, digunakan untuk bahan bangunan, landasan
rel kereta api, tiang listrik, dan lain sebagainya.
Tanjung (Mimusops elengi):pohon yang bunganya berwarna putih kekuning-kuningan dan berbau
harum, biasa dipakai untuk hiasan sanggul.
Abutilon (Mallow, Indian Mallow, Flowering
Maple):genus besar yang terdiri dari sekitar ISO spesies tanaman berdaun lebar yang tergolong
dalam familia mallow (Malvaceae). Tanaman ini sangat populer di daerah subtropis. Daun-
daun abutilon ada yang tidak berkelompok, ada yang tanpa kelopak, ada juga yang menjari
dengan 3-7 kelopak. Bunga-bunganya sangat mencolok dengan lima petal, kebanyakan berwarna
merah, merah muda, jingga, kuning, atau putih.
Amarilis (Amaryllis; naked lady)',genus yang terdiri dari hanya satu spesies, yaitu Belladona Lily
(Amaryllis belladonna), yang berasal dari Afrika Selatan. Amarilis merupa-kan tanaman berumbi
yang memiliki beberapa helai daun dengan panjang 30-50 cm dan lebar 2-3 cm, yang tertata dalam
dua baris. Di musim gugur daun-daun amarilis akan tumbuh dan kemudian gugur di akhir musim
semi. Di akhir musim panas umbinya memproduksi satu atau dua batang setinggi 30-60 cm, di
ujungnya akan muncul 2 sampai 12 buah bunga berbentuk corong. Bunga ini berdiameter sekitar 6-
10 cm dan terdiri dari 6 tepal (3 sepal luar dan 3 petal dalam yang hampir mirip), dan berwarna
putih, merah mu-da, merah, atau ungu. Nama amarilis juga sering digunakan untuk menyebut
familia Amaryllidaceae yang terdiri dari beragam genus seperti Hippeas-trum, Narcissus, Galanthus, dan C/ivia.
Ardisia:kelompok besar beberapa jenis pohon dan semak hijau.Tanaman kecil akan tampak cantik
di dalam pot jika sedang tertutup oleh buah-buah berri kecilnya yang berwarna merah sampai
hitam. Daunnya kecil-kecil, berwarna hijauy gelap, dengan bunga putih-merah muda.
Aster (Aster corvifoiius):nama yang umum digunakan untuk sebuah genus yang memiliki lebih
dari 250 spesies tanaman berbunga majemuk yang ha rum, termasuk familia Compositae
(Composite Flowers) atau Asteraceae. Bunga aster berwama merah, putih, kuning, ungu, atau
merah muda. Aster memiliki floret tengah (disk floret) yang bundar dan berwama kuning sementara
floret pinggir (ray florets, terdiri dari banyak petal) yang mengelilinginya memiliki warna bervariasi
dari ungu sampai biru, serta dari merah muda sampai putih.
Azalea:nama spesies dari genus Rhododendron. Berasal dari kata Yunani \"azaleas\" yang berarti
\"kering\", meski sebenarnya ini tidak cocok dengan azalea zaman sekarang yang tidak tumbuh di
daerah kering seperti varietas aslinya. Tanaman ini merupakan sesemakan dengan kelompokkelompok besar bunga berwama merah muda, merah, jingga, ungu, kuning, atau putih.
Banar (Smiiax heiferi):pohon yang merambat seperti rotan, akarnya bisa digunakan sebagai
pengikat, juga sebagai obat.
Begonia:nama umum untuk familia tanaman berbunga yang terdiri lebih dari 1.000 spesies,
memiliki karakteristik berupa daun-daun yang asimetris serta bunga-bunga jantan dan betina yang
terpisah dalam tanaman yang sama. Bunga-bunga ini berwama kuning, oranye, merah muda, atau
putih. Batangnya kebanyakan berair, namun ada yang tegak, merambat, atau tumbuh di bawah
tanah. Begonia ada yang sengaja dibudidayakan karena keindahan daunnya (painted-ieaf begonia)
yang berbentuk hati (bisa mencapai panjang 30 cm) dan berpola mencolok dengan kombinasi warna
merah, hitam, perak, dan hijau dengan tepian yang berimpel.
Galathea: tanaman tropis yang unik, daunnya hijau gelap (pada Cafathea amabiiis [kadang juga
disebut Stromanthe amabiiis atau Ctenante] daunnya disertai pola garis-garis putih-hijau) dan
berimpel, berbentuk oval dan melancip di ujung, sementara bagian bawah daunnya berwama
maroon. Bentuk braktea (daun gagang; daun pelindung) bunganya bervariasi, dari bentuk kerucut
sarang lebah yang berkilau sampai bentuk ekor ular derik dan berwama biru, merah, putih, dan lain
sebagainya (pada Cafathea crocata bunganya berbentuk seperti nyala api dan berwama oranye atau
kuning). Di Afrika Selatan, orang menggunakan Calathea sebagai makanan, obat, anyaman
keranjang, dan atap. Menariknya, tanaman ini akan menutup daunnya di kala malam tiba.
Damar: getah keras yang berasal dari bermacam-macam pohon dan banyak macamnya.
Daun picisan (sisik naga): merupakan tumbuhan epifit, terna, tumbuh di batang dan dahan pohon,
memiliki akar rimpang panjang, kecil, merayap, bersisik, panjang 5-22 cm, dengan akar melekat
kuat. Daun yang satu dengan yang lainnya tumbuh dengan jarak yang pendek, tebal berdaging,
berbentuk jorong (bulat panjang), dengan ujung tumpul atau membundar, pangkal runcing, tepi rata,
permukaan daun tua gundul dan berambut jarang pada permukaan bawah, warnanya berkisar dari
hijau sampai kecokelatan. Ukuran daun yang berbentuk bulat sampai jorong hampir sama dengan
uang logam picisan sehingga tanaman ini dinamakan picisan. Tanaman ini memiliki berbagai
khasiat, salah satunya adalah bisa digunakan sebagai penghilang rasa nyeri dan obat batuk.
Delima (Punica granatum):tumbuhan perdu dengan cabang yang rendah dan berduri jarang.
Daunnya kecil-kecil agak kaku dan berwarna hijau berkilap. Buahnya dapat dimakan, berkulit
kekuning-kuningan sampai merah tua, kalau masak merekah. Juga disebut cempaka tanjung.
Dendrobium:merupakan jenis anggrek epifit (menumpang di pohon tapi tidak mengambil makanan darinya seperti anggrek parasit). Namanya diambil dari kataYunani, \"dendron\" yang berarti
pohon dan \"bios\" yang berarti hidup. Spesies dari anggrek ini memiliki bunga warna merah muda,
putih, kuning, atau kombinasi.
Gaharu: kayu yang harum baunya, biasanya dari pohon tengkaras (Aquiiaria malaccensis),
Jambu air ma war (Eugenia jambos):jambu air yang berbentuk bulat kecil, berwarna kuning pucat
atau kehijauan, berkulit licin dan agak keras.
Jurassic:periode geologi di saat dinosaurus berkembang pesat, burung-burung dan mamalia
pertama kali muncul, berlangsung sekitar 210-140 juta tahun yang lalu. Jurassic merupakan periode
pertengahan dari zaman Mesozoic.
Keladi (Coiocasia esculenta):tumbuhan jenis terna; berdaun lebar dan berumbi dan ada yang dapat
dimakan ada yang tidak.
Keranjang pempang:keranjang yang bercabang agar bisa diletakkan di bagian belakang sepeda.
Mammillaria:nama genus yang termasuk familia Cactaceae (cacti) atau kaktus. Nama Mammillaria
datang dari bahasa Latin \"mamma\" karena tonjolan-tonjolan (tubercuies) yang menutupi seluruh
tubuh tanaman tersebut, dan yang, pada beberapa spesies, mengandung cairan tubuh yang kental
sepeti susu (lateks). Tubuh kaktus ini bulat dan pendek, tumbuh soliter atau berkelompok. Duri-duri
kaktusnya tumbuh di puncak tonjolan tadi dan dibedakan menjadi duri sentral dan duri radial.
Bunganya berwarna merah, merah muda, putih,
kuning, atau bervariasi, biasanya mekar di sianghari.
Monstera (Monstera delicioca; Swiss cheese plant): tumbuhan berdaun besar berwarna hijau,
berkilap, dan bundar atau berbentuk hati ketika masih muda. Ciri khasnya adalah tepian yang robek
serta behubang, yang baru tampak ketika tanaman ini dewasa. Dengan perawatan yang tepat
tanaman ini bisa tumbuh sampai mencapai lebar 60 cm dan tinggi 2,4 m. Monstera menyukai posisi
yang terang tapi teduh. Di alam liar tanaman ini tumbuh di batang pohon dan se-pan-jang cabang
pohon, bergantung dengan akar aerialnya yang menyerupai ekor berwarna cokelat.
Nolina (Beaucarnea recurvata; pony tail plant; pony tail palm; elephants foot):sebuah genus dari
familia agave (Agavaceae). Nolina memiliki daun yang panjang, langsing, dan lancip, yang keluar
dan menjuntai dari puncak sebuah batang keras yang panjang dengan dasar yang menggelembung
mirip kaki gajah. Beberapa spesiesnya dibudidayakan sebagai tanaman hias. Jenis yang paling
sering ditemui adalah Nolina recurvata, yang biasa ditanam di dalam rumah.
Peperomia:genus dengan lebih dari 1.500 spesies di seluruh dunia dan sekitar 20 di antaranya
sudah populer sebagai tanaman pot. Semuanya memiliki varietas dengan dedaunan berwarna unik
yang tepiannya tidak rata. Batangnya berdaging, ada
yang tumbuh ke atas, ada yang menggantung atau merambat. Warnanya bervariasi antara hijau
muda, merah, kuning, dan kombinasi. Kebanyakan adalah tumbuhan epifit. Namanya diambil dari
kata Vunani \"pepri\" (lada) dan \"homoios\" (mirip), yang berarti \"tampak seperti lada\".
Stromanthe:genus dari familia yang sama dengan Calathea yang terdiri dari dua spesies tanaman
dalam ruang, yaitu S. amabilis dan 5. sanguinea. 5. amabilis memiliki daun-daun yang berukuran
panjang 15-25 cm dan lebar 5 cm, sementara S. sanguinea memiliki daun yang lebih besar
(mencapai panjang 30-50 cm dan lebar sekitar 10 cm) dan berkilat. Keduanya memiliki daun-daun
yang berbentuk seperti kipas.
Tabla:sepasang drum asli India, satu berbentuk silinder, satunya lagi berbentuk seperti mangkuk.
Trombon:alat musik tiup berbentuk trompet panjang dan cara memainkannya ditiup sambil
menyorong dan menarik alat pada pipa trompet tersebut.
Klarinet: alat musik tiup dengan lidah-lidah tunggal (single reeds) yang dapat bergetar, dibuat dari
kayu atau logam yang diberi lubang-lubang dan gamitan, menghasilkan suara kecil melengking.
Saksofon: alat musik tiup yang dibuat dari logam, berbentuk lengkung seperti pipa cangklong,
dileng-kapi dengan lubang dan tombol jari. Saksofon ada berbagai macamnya: saksofon tenor,
saksofon alto, dan saksofon bariton.
Snare drum(side drum): sejenis drum yang dilengkapi dengan bentangan kawat di bagian
bawahnya agar menghasilkan suara yang bergetar atau berderik.
Bugenvil(bunga kertas; Bougainvillea): nama umum genus tanaman bunga merambat yang
memiliki sulur berduri. Genus ini terdiri dari sekitar 13 spesies. Tanaman ini memiliki bunga yang
kecil, sederhana, dan terpisah, yang biasanya dikelilingi oleh braktea yang mencolok. Braktea ini
bisa berwarna merah, merah muda, ungu, kuning, oranye, atau putih. Namanya diambil dari Louis
Antoine de Bougainville, pria Prancis pemimpin ekspedisi saat tanaman ini ditemukan.
Burung sekretaris (secretary bird)', burung dari kelompok bangau, begitu anggun, tinggi, berkaki
panjang, dan berjalan melenggak lenggok, berasal dari Afrika.
Daffodil (Narcissus); dinamai dari tokoh pemuda dalam mitologi Yunani yang terpesona oleh
keindahannya sendiri sampai ajal menjemputnya dan ia pun berubah menjadi sekuntum bunga.
Genus Narcissus merupakan keluarga amarilis. Tanaman ini berumbi, memiliki bunga tunggal atau
ganda dengan enam petal, mahkota bunga yang memiliki enam petal yang bersatu, enam benang
sari, dan sebuah putik yang soliter. Sebuah mahkota berbentuk seperti piala disebut korona mencuat
dari permukaan dalam bunganya. Daffodil biasanya berwarna putih atau kuning, atau kombinasi
dari keduanya. Spesies yang paling umum ditemui adalah yeiiow daffodil (Narcissus
pseudonarcissus) yang memiliki ciri khas mahkota bunga berwarna kuning yang dalam dan
menyerupai trompet. Urnbi Narcissus mengandung alkaloid yang beracun jika dimakan karena bisa
menyebabkan gangguan pencernaan akut seperti muntah, diare, disertai dengan gemetar dan kejang.
Dracaena:genus besar tanaman tropis yang memiliki daun runcing seperti pedang atau oval dan
lancip di ujungnya, sering kali dengan corak warna yang bergradasi, yang berkelompok di ujung
batangnya. Tanaman ini jarang sekali memproduksi bunganya yang kecil dan berwarna putih
kehijauan. Spesiesnya yang paling umum ditemui adalah fragrant dracaena (Dracaena
fragrans; cornplant), dengan ciri khas berupa daun yang lemas dan melengkung, dengan setrip
warna daun yang lebih muda di tengahnya. Ada juga spesies golddust dracaena (Dracaena
surculosa)yang memiliki daun berbintik keemasan.
Katebelece: surat pendek untuk memberitakan hal seperlunya saja; surat pengantar dari pejabat
untuk urusan tertentu
Pittosporum:narna genus besar untuk semak hijau dengan daun kecil yang kasar. Bunganya berkelompok, berwarna putih, ungu, atau kuning kehijauan dan berbau harum. Biasa digunakan sebagai
Bambu tali (Gigantochha apus):bambu yang batangnya (setelah dibelah-belah) dapat dijadikan tali.
Callistemon laevis atau bunga jarum merah (Bottlebrush): adalah sebuah genus yang memiliki
34 spesies dari familia Myrtaceae. Disebut bottlebrush
karena bunganya yang silindris dan seperti sikat botol. Daun-daunnya berbentuk linier dan lancip.
Hipokondria:ketakutan yang berlebihan dan terus-menerus (bersifat jangka panjang) terhadap
gangguan kesehatan tubuh. Penderita hipokondria biasanya yakin bahwa ia memiliki penyakit serius
tanpa ada bukti yang objektif.
Vitex trifolia:tumbuhan dengan daun-daun yang bagian permukaan atasnya berwarna hijau keabuabuan dengan corak putih yang menawan, sementara permukaan bawahnya berwarna perak. Daundaun yang sangat dekoratif ini cocok untuk daerah tropis dan dapat tumbuh dengan mudah, selain
itu juga tanaman ini tak membutuhkan banyak air.
Camellia (Camellia japonic a; japonic a):tumbuhan sesemakan dari keluarga teh dengan bunga
yang bentuknya menyerupai mawar. Daunnya berwarna hijau dan berkilat. Berasal dari bahasa
Latin modern untuk nama Joseph Kamel (1661-1706), seorang misionaris dan ahli botani yang
pertama kali men-deskripsikan tanaman ini.
Hipotermia:keadaan suhu tubuh yang turun sampai di bawah 35° C, biasanya karena terpaan dingin
Buntat:semacam batu hitam yang terdapat di perut kelabang, dipercaya ampuh sebagai jimat
Incubus:berasal dari cerita rakyat Eropa, yaitu seorang setan laki-laki yang dipercaya suka mencari
wanita untuk disetubuhi saat mereka tidur.
Ma can akar:sebutan untuk macan kecil yang selalu berada di dekat akar pohon.
Paleolitikum:zaman batu tua; purba yang berlangsung dari 750.000 sampai 15.000 tahun yang lalu,
ditandai dengan pemakaian alat-alat serpih.
Syah bandar:pejabat pemerintah yang bertugas mengatur pelabuhan.
Metafisika: ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hal-hal yang nonfisik atau tidak kelihatan.
Parapsikologi:cabang ilmu jiwa tentang hal-hal yang gaib atau di luar jangkauan pancaindra.
Trade-off: sebuah situasi saat seseorang harus berkompromi dengan menyerahkan seluruh atau
sebagian dari suatu hal untuk menukarnya dengan hal lainnya.
Cassiopeia:konstelasi bintang berbentuk seperti huruf \"W\" di belahan bumi utara, berada di dekat
Agnostik:orang yang berpandangan bahwa kebenaran tertinggi (Tuhan) tidak dapat diketahui dan
mungkin tidak akan dapat diketahui. Orang seperti ini percaya bahwa Tuhan ada tapi tak mau
memeluk agama apa pun. Agnotisisme tumbuh subur di Belanda.
Pungguk (Ninox sentulata malaccensis):burung elang malam (burung hantu) yang suka
Anakronistis(a):tidak cocok dengan zaman tertentu.Anakronisme(n): hal ketidakcocokan
dengan zaman tertentu; bisa juga berarti penempatan tokoh, peristiwa, percakapan, dan
unsur latar yang tidak sesuai menurut waktu dalam karya sastra.
Open pit mining:pertambangan sumur terbuka, istilah untuk bagian dari lubang sumur yang
digunakan untuk menahan guguran yang bisa menutupi sumur jika ada ledakkan dari dalam.
Gotik:dalam fesyen berarti gaya busana dan has wajah yang serbagelap, biasanya dengan lipstik
dan has mata hitam dengan wajah yang dipucatkan, dilengkapi dengan perhiasan perak yang berat.
Gaya ini populer di tahun 80an.
Pisau antip:sebutan untuk semacam alat pemotong dengan sistem per seperti pemotong kuku.
Tentang Tetralogi Laskar PelangiAndrea Hirata: Out of the Blue
Di negeri ini, tidak mudah menulis novel-novel yang kesemuanya best seller, apalagi merupakan
karya-karya pertama, ditulis seseorang yang tak berasal dari lingkungan sastra, dan lebih gawat lagi,
novel-novel itu sama sekali tak sejalan dengan trend pasar. Tapi hal itu dapat dilakukan Andrea
Hirata. Melalui Laskar Pelangi, Andrea Hirata langsung menempatkan dirinya sebagai salah satu
penulis muda Indonesia yang amat menjanjikan. Laskar Pelangi telah beredar di luar negeri, bahkan
mampu mencapai best seller di Malaysia.
Andrea Hirata, out of the blue, tak dikenal sebelumnya, tak pernah menulis sepotong pun cerpen,
tiba-tiba muncul, langsung menulis tetralogi sesuatu yang juga cukup ajaib bagi penulis pemula
dengan gaya realis bertabur metafora yang disebut Prof. Sapardi Djoko Damono, guru besar sastra
Universitas Indonesia, sebagai metafora yang berani, tak biasa, tak terduga, kadang kala ngawur,
Bagaimana karya-karya Andrea dapat menjadi best seller tanpa harus mengorbankan mutu?
Tentu tak terlepas dari muatan intelektualitas dan spiritualitas buku-buku itu. Sastrawan Ahmad
Tohari mengatakan, \"Andrea adalah jaminan bagi sebuah karya sastra bergaya saintifik dengan
penyampaian yang cerdas dan menyentuh.\" Prof. Dr. Syafii Maarif, mantan ketua umum Muhammadiyah berkomentar,, \"Andrea langsung membidik pusat kesadaran.\"
Meski masih terlalu hipotetik, karya Andrea diterima secara luas mungkin juga karena pembaca
kita jenuh akan sajian metropop bertema urban superringan, pornografi, hedonistik, dan mulai
mendamba tulisan yang lebih berkapasitas. \"Andrea mengobati kehausan para pencinta buku akan
buku-buku Indonesia bermutu\" (Kompas, 11 November 2006).
Daya tarik yang menonjol dari karya-karya Andrea juga terletak pada kemungkinan yang amat
luas dari eksplorasinya terhadap karakter dan peristiwa, sehingga paragrafnya selalu
mengandung kekayaan. Setiap paragraf seakan dapat berkembang menjadi sebuah cerpen, dan setiap bab
mengandung letupan intelejensia, kisah, dan romantika
untuk dapat tumbuh menjadi buku tersendiri. Andrea tak pernah kekeringan ide dan tak
pernah kehilangan tempat untuk melihat suatu fenomena dari satu sudut yang tak pernah dilihat
orang lain. Setiap kalimatnya potensial. Ironi diolahnya menjadi jenaka, cinta pertama yang
absurd menjadi demikian memesona, tragedi diparodikan, ia menyastrakan fisika, kimia, biologi, dan astronomi. \"Andrea adalah seorang seniman
kata-kata,\" ujar Nicola Horner. Majalah Tempo menye-butnya, \"Andrea berhasil menyajikan
kenangannya menjadi cerita yang menarik, deskripsinya kuat, filmis.\" Santi Indra Astuti, Msi.,
seorang dosen komunikasi, di Koran Tempo berpendapat, \"Laskar Petangi ageless, timeless,
borderless.\" Garin Nugroho, \"Inspiratif.\" Dan, Riri Riza, \"A must read.\"
Novel pertama Andrea Hirata, Laskar Pelangi, telah berkembang bukan hanya sebagai bacaan
sastra, namun sebagai referensi ilmiah. Novel ini banyak dirujuk untuk penulisan skripsi, tesis, dan
telah diseminarkan oleh birokrat untuk menyusun rekomendasi kebijakan pendidikan.
Adapun dalam novel keduanya, Sang Pemimpi,
Andrea menarikan imajinasi dan melantunkan stambul mimpi
mimpi dua anak Melayu kampung: Ikal dan Arai.
Novel Edensor adalah novel ketiga dari te-tralogi Laskar Pelangi. Novel ini bercerita tentang
keberanian bermimpi, kekuatan cinta, pencarian diri sendiri, dan penaklukan-penaklukan yang
Novel keempat, atau terakhir dalam rangkaian empat karya tetralogi Laskar Pelangi, adalah
Marya-mah Karpov. Dalam Maryamah Karpov, dengan satirenya yang khas, ironi yang
menggelitik, dan intelegensia yang meluap-luap namun membumi, Andrea berkisah tentang
perempuan dari satu sudut yang amat jarang diekspos penulis Indonesia dewasa ini.
Membaca keempat novel tetralogi Laskar Pe-angi, kita tak hanya menikmati epik yang bermutu.
Kita juga akan menyaksikan bagaimana seorang penulis berbakat berevolusi dari satu karya ke
karya lainnya untuk menuju master piecenya.
Nama Putri Ariani tengah ramai dibicarakan setelah mengikuti ajang pencarian bakat America's Got Talent.
Sebelum mengikuti ajang tersebut, Putri Arini ternyata pernah merilis lagu berjudul Mimpi.